Dosen:
Disusun Oleh:
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia cenderung memiliki iklim tropis, yaitu terdiri dari 2 musim; musim
kemarau dan musim hujan karena letaknya di antara dua samudera, yaitu antara Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia menyebabkan rentanitas akibat berbagai bencana alam,
perubahan iklim, dan urbanisasi yang cepat dalam berbagai skala menyebabkan kerusakan
jiwa dan harta benda.
BMKG menyatakan bahwa curah hujan di Indonesia tergolong cukup tinggi. Pada
Januari 2020 kemarin, curah hujan di DKI Jakarta lebih dari 150 mm/hari (Arnani, 2020).
Curah hujan pada saat itu tercatat merupakan curah hujan tertinggi sejak 154 tahun yang lalu.
Oleh sebab itu, Jakarta dilanda banjir yang cukup parah di awal tahun 2020.
Banjir tersebut bukan hanya disebabkan oleh curah hujan yang cukup tinggi, tetapi
juga disebabkan hal-hal lain, seperti menurunnya kapasitas infiltrasi/peresapan air hujan di
kawasan tersebut. Banyaknya bangunan-bangunan yang dibangun secara illegal oleh
masyarakat setempat menyebabkan berkurangnya daerah resapan air dan mengurangi
kuantitas debit air yang dapat ditampung oleh sungai di daerah tersebut. Kemudian ulah
manusia lainnya yang menyebabkan perubahan-perubahan lingkungan, seperti perubahan
kondisi Daerah Aliran Sungan (DAS), rusaknya drainase lahan, kerusakan infrastruktur
pengendali banjir, dan perencanaan sistem kontrol banjir yang kurang tepat.
Hal ini akan berdampak pada permasalahan banjir pada area sungai atau badan air
penerima, sebagai dampak pembangunan di hulu. Sehingga terdapat seorang rekayasawan
yang akan melakukan pengendalian banjir dengan penertiban lingkungan sekitar sungai
seperti melakukan normalisasi dan penggusuran. Namun, di wilayah tersebut terdapat
anggota keluarga. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan kajian analisis etika seorang
rekayasawan terhadap kepentingan bersama yaitu dampak positif yang didapatkan dari
pelaksanaan system tersebut dengan kepentingan pribadi.
Dalam mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam suatu proyek yang
berhubungan dengan teknik, diperlukan suatu etika untuk mendukung suatu profesi
khususnya profesi insinyur. Hal ini perlu diterapkan untuk insinyur agar terhindar dari
berbagai macam tindakan yang beresiko dan memiliki konsekuensi yang serius dalam
penerapan keahlian profesi. Kode etik profesi adalah sistem norma, nilai dan aturan
profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang
tidak benar dan tidak baik bagi professional. Tujuan kode etik yaitu untuk memberikan jasa
yang sebaik-baiknya bagi pengguna jasa. Hal ini dimaksudkan agar dapat melindungi
perbuatan yang tidak professional.
Profesi insinyur sipil adalah suatu pekerjaan keteniksipilan yang dalam pekerjaannya
dituntut keahlian untuk melayani masyarakat di bidang infrastuktur. Untuk melindungi dari
hal-hal yang tidak profesional, diperlukan kode etik insinyur bagi seorang insinyur sipil. Di
Indonesia, kode etik ini terdapat di dalam “Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia”.
Catur Karsa merupakan 4 prinsip dasar bagi seorang insinyur sipil yang akan dijelaskan
sebagai berikut.
1. Mengutamakan keluhuran budi.
2. Menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan kesejahteraan
umat manusia.
3. Bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat, sesuai dengan
tugas dan tanggung jawabnya.
4. Meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesional
keinsinyuran.
Kemudian, sebagai seorang insinyur sipil memiliki 7 tuntutan sikan yang dinamakan
Sapta Dharma yang terdiri dari:
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
1.2.3 Kode etika rekayasawan yang mana yang dapat diimplementasikan pada
permasalahan ini?
1.3.3 Memahami alternatif yang dapat dilakukan dengan keterbatasan yang ada
1.3.4 Memahami undang-undang yang berkaitan dan seharusnya dipilih oleh seorang
rekayasawan
BAB II
LANDASAN TEORI
Pengendalian banjir di beberapa daerah di Indonesia memerlukan pengawasan dan
usaha yang sangat keras, mengingat kondisi yang berbeda-beda di setiap daerah dan target
pengendalian jangka Panjang sehingga dimaksudkan untuk mengendalikan debit banjir
dengan periode ulang dan debit tertentu, setelah semua kegiatan pembangunan pengendali
banjir selesai. Untuk itu, sungai-sungai yang mengalir perlu dikaji dan dihitung terlebih
dahulu karakteristik dan hidrologinya seperti daerah hulu terutama di daerah pegunungan
sungai-sungan biasanya mempunyai kemiringan yang terjal (steep slope). Kemudian
komponen dasar penyusunnya terdiri dari batu besar, kerakal, kerikil, dan pasir. Sedangkan
bentuk sungai di daerah hilir adalah selampit/kepang. Di daerah pantai dan berakhir di laut
seperti sungai-sungai di Jakarta memiliki kemiringan dasar sungai mendekati dari 0% karena
kemiringan memanjang dasar sungai lama-lama menjadi landai semakin mendekati daerah
pantai. Proses penumpukan sedimen lebih dominan terjadi, material dasar sungai lebih halus
dibanding dengan daerah transisi dan hulu. Jika terjadi banjir periodenya lebih lama
dibanding daerah hulu dan daerah transisi. Kemudian kita dapat menggunakan metode analisa
frekuensi data banjir dengan hubungan empiris curah hujan limpasan.
Dalam hal ini cara penanggulangan banjir yang cocok yaitu secara struktural, yaitu
mengangkat sedimen yang menumpuk pada dasar sungai sehingga sungai dapat berfungsi
secara optimum kembali dan memperdalamnya agar kapasitas sungai dalam menampung air
dapat meningkat atau disebut juga normalisasi. Normalisasi dilakukan untuk menghasilkan
kondisi sungai dengan lebar dan kedalaman tertentu sehingga sungai tersebut mampu
mengalirkan air sampai pada tingkat tertentu dan luapan dari sungai tersebut dapat
dikendalikan. Sungai tersebut dikeruk pada titik rawan kemacetan aliran air agar tingkat
keberhasilannya lebih tinggi dan meminimalisir kerugian. Proyek normalisasi sungai
mencakup pengerasan dinding sungai, pembangunan sodetan, pembuatan tanggul dan juga
pengerukan. Pengerasan atau penguatan tebing sungai dilakukan dengan pembetonan dinding
atau dengan pemasangan batu kali, sodetan dilakukan dengan membuat sungai baru yang
lurus dengan lintasan terpendek. Pembuatan tanggul dilakukan dengan timbunan tanah atau
dengan dinding beton yang dipasang memanjang di lokasi–lokasi bergeografi rendah yang
rawan banjir. Pengerjaan sejumlah proyek normalisasi kali untuk mencegah banjir di Ibu kota
dipercepat. Upaya perlindungan fungsi sungai dilakukan dengan penataan jalur sempadan
sungai, yaitu dengan cara menetapkan 1-50 meter dari sungai tidak boleh ada aktivitas
apapun.
Dampak Positif:
o Mengurangi banjir
2.4 Risiko