REFERENSI
https://majid-pendidikan.blogspot.com/2012/03/pengertian-psikologi-agama.html
METODE PENELITIAN
Dalam sebuah penelitian agama, tentunya akan menyangkut masalah yang berkaitan
dengan kehidupan batin yang sangat mendalam, maka masalah agama sulit untuk
diteliti secara seksama, terlepas dari pengaruh-pengaruh subjektivitas. Namun
demikian, agar penelitian mengenai agama dapat dilakukan lebih netral, dalam arti
tidak memihak kepada suatu keyakinan atau menentangnya, maka diperlukan adanya
sikap yang objektif. Maka dalam meneliti ilmu jiwa agama diharuskan menggunakan
sejumlah metode, yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
Dokumen Pribadi
Metode ini digunakan untuk mempelajari tentang bagaimana pengalaman dan
kehidupan batin seseorang dalam hubungannya dengan agama, dengan cara
mengumpulkan dokumen pribadi orang tersebut. Dokumen tersebut mungkin berupa
autobiografi, biografi, tulisan ataupun catatan-catatan yang dibuatnya.
Didasarkan atas pertimbangan bahwa agama merupakan pengalaman batin yang
bersifat individual, di kalah seseorang merasakan sesuatu yang gaib maka dokumen
pribadi dinilai dapat memberikan informasi yang lengkap. William James dalam
bukunya “the varieties of religious experience” tampaknya juga menggunakan metode
ini.[4]
Dalam penerapannya, metode dokumen pribadi ini dilakukan dengan berbagai cara
atau teknik-teknik tertentu. Di antara yang banyak digunakan adalah :
1. Teknik Nomotatik
2. Teknik Analisis Nilai
3. Teknik Idiography
4. Teknik Penilaian terhadap Sikap
5. Kuesioner Dan Wawancara
Digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang lebih banyak dan
mendalam secarea langsung kepada responden. Metode ini dinilai memiliki beberapa
kelebihan, antara lain : memberi kemungkinan untuk memperoleh jawaban yang cepat
dan segera, dan hasilnya dapat dijadikan dokumen pribadi tentang seseorang, serta
dapat pula dijadikan data nomotatik.
Namun demikian, metode ini juga mempunyai kelemahan-kelemahan, seperti :
1. Jawaban yang diberikan terikat oleh pertanyaan sehingga responden tak
dapat memberikan jawaban secara lebih bebas.
2. Kadang-kadang, sering terjadi salah penafsiran terhadap pertanyaan yang
kurang tepat, dan tak semua pertanyaan sesuai untuk seperti orang.
Dalam penerapannya, metode kuesioner dan wawancara dilakukan dalam berbagai
bentuk, diantaranya :
1. Pengumpulan Pendapat Masyarakat
2. Skala Penilaian
3. Tes (Test)
Untuk mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu. Untuk
memperoleh gambaran yang diinginkan, biasanya diperlukan bentuk tes yang sudah
disusun sistematis.
Eksperimen
Untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan
khusus yang sengaja dibuat.
1. Observasi Melalui Pendekatan Sosiologi Dan Antropologi
Melakuakan dengan menggunakan data sosiologi dengan mempelajari sifat-sifat
manusiawi orang per-orang atau kelompok.
1. Studi Agama Berdasarkan Pendekatan Antropologi Budaya
Dengan membandingkan antara tindak keagamaan (upacara, ritus) dengan
menggunakan pendekatan sosiologi.
1. Pendekatan Terhadap Perkembangan
Untuk meneliti mengenai asal-usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam
hubungannya dengan agama yang dianutnya. Cara yang digunakan antara lain,
melalui pengumpulan dokumen, dan riwayat hidup.
1. Metode klinis dan proyektivitas
Memanfaatkan cara kerja klinis. Penyembuhan dilakukan dengan cara
menyelarasakan hubungan antara jiwa dengan agama.
1. Metode umum proyektivitasi
Berupa penelitian dengan cara menyadarkan sejumlah masalah yang mengandung
makna tertentu.
1. Apersepsi nomotatik
Menggunakan gambar-gambar yang samar. Melalui gambar-gambar yang diberikan,
orang yang diteliti diharapkan dapat mengenal dirinya.
1. Studi kasus
Mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus-kasus
tertentu.
Survey
Metode ini biasanya digunakan dalam penelitian social dan dapat digunakan untuk
tujuan penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi
dalam masyarakat.
Penggunaan metode-metode dalam penelitian psikologi agama sebenarnya dapat
dilakukan dengan beragam, bergantung pada kepentingan dan jenis data yang akan
dikumpulkan. Demikian pula, ada yang menggunakan dokumen pribadi, baik berupa
riwayat hidup dan sebagainnya.
REFERENSI
Arifin, Bambang Syamsul, Psikolgi Agama. Bandung 2008 ,
Jalaluddin, Psikologi Agama. Jakarta 2009
REFERENSI
https://makalahnih.blogspot.com/2015/06/metode-dalam-psikologi-agama.html
REFERENSI
https://suwardisagama94.blogspot.com/2013/04/hubungan-manusia-dengan-
agama.html
A. TEORI MONISTIK
Teori ini berpendapat bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu
sumber kejiwaan. Selanjutnya, sumber tunggal manakah yang dimaksut paling
dominan sebagai sumber kejiwaan itu. Timbul beberapa pendapat yang dikemukakan
oleh Para Pemuka Teori Monistik, diantaranya :
1. Thomas van Aquino mengemukakan bahwa sumber jiwa agama itu adalah
berfikir. Manusia ber-Tuhan karena menggunakan kemampuan berpikirnya dan
kehidupan beragama merupakan refleksi kehidupan berfikir manusia itu sendiri.
Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang dimana
para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.
2. Frederick Hegel, Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Thomas van Aquino, maka filosof Jerman ini berpendapat, agama adalah suatu
pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan menjadi tempat kebenaran abadi.
Berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal atau persoalan yang
berhubungan dengan pikiran.
3. Frederick Schleimacher, Berlainan dengan pendapat kedua ahli diatas, maka
F.Hegel berpendapat bahwa yang menjadi sumber agama adalah rasa ketergantungan
yang mutlak (sence of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini
manusia merasa dirinya lemah. Kelemahan ini menyebkan manusia selalu tergantung
hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Berdasarkan rasa
ketergantungan itulah maka muncul konsep Tuhan. Manusia merasa tak berdaya
menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, maka mereka menggantung
harapannya kepada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak. Berdasarkan konsep ini
timbullah upacara untuk meminta perlindungan pada kekuasaan yang diyakini dapat
melindungi mereka. Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam
realitas upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama pada suatu
kekuasaan yang mereka namakan Tuhan.
4. Rudolf Otto, Menurut pendapat tokoh ini, sumber kejiwaan agama adalah rasa
kagum yang berasal dari sesuatu yang lain (the wholly other). Jika seseorang
dipengaruhi rasa kagum erhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain, maka
keadaan mental seperti itu diistilahkan oleh Rudolf Otto keadaan mental itu disebut
dengan “numinous”. Perasaan yang semacam itulah yang menurut pendapatnya
sebagai sumber kejiwaan agama pada manusia. Walaupun factor-faktor lainnya diakui
oleh Rudolf Otto, namun ia berpendapat numinous merupakan sumber yang
essential.
5. Sigmund Freud, Pendapatnya unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan
agama adalah “libido sexualita”. Libido menimbulkan ide ke-Tuhanan dan ritual
keagamaan setelah melalui proses :
a. Oedipus Complex, sumber jiwa keagamaan berasal dari rasa bersalah
(sence or guilty) kasus oudipus complex mitos Yunani yang menceritakan perasaan
cinta pada ibunya, maka Oedipus complex membunuh ayahnya. Kejadian yang
demikian itu berawal dari manusia yang primitive. Mereka bersekongkol untuk
membunuh ayah yang berasal dalam masyarakat promiscuitas. Setelah ayah mereka
mati maka timbullah rasa bersalah pada diri anak-anak itu.
b. Father Image (citra bapak), Setelah mereka membunuh ayah mereka dan
dihantui oleh rasa bersalah itu timbullah penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide
untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahan mereka yang telah mereka
lakukan. Karena oudipus maka dipujalah arwah bapaknya karena khawatir akan
pembalasan arwah ayahnya tersebut. Maka agama muncul dari ilusi (hayalan)
manusia.
Sigmud Freud bertambah keyakinan akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan
kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan dilingkungannya yang beragama Nasrani,
Freud menyaksikan kata “bapak” dalam untaian doa mereka.
6. William Mac Dougall, Sebagai salah seorang ahli Psikologi instink, Ia
berpendapat, bahwa memang instink khusus sebagai sumber agama tidak ada. Ia
berpendapat, sumber jiwa keagamaan adalah kumpulan beberapa instink, dimana
pada diri manusia terdapat 14 instink dan agama timbul dari dorongan instink yang
terintegrasi. Namun demikian teori instink agama ini banyak mendapat bantahan dari
para ahli psikologi agama. Alasannya, jika agama merupakan instink, maka setiap
orang tanpa harus belajar agama pasti akan terdorong secara spontan kegereja, begitu
mendengar lonceng gereja. Tetapi kenyataannya tidak demikian.[1]
B.Teori Fakulty ( Faculty Theory )
A. Pengertian
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu
faktor yang tunggal tetapi terdiri dari beberapa unsur antara lain yang dianggap
memegang peranan penting adalah
1.Cipta (Reason) merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam merupakan
cerminan adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta orang dapat menilai dan
membandingkan dan selanjutnya memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulan
tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat
dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern peranan dan fungsi reason ini sangat
menentukan. Dalam lembaga-lembaga keagamaan yang menggunakan ajaran
berdasarkan jalan pikiran yang sehat dalam mewujudkan ajaran-ajaran yang masuk
akal, fungsi berpikir sangat diutamakan.
2.Rasa ( Emotion ) suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam
membentuk motivasi dalam corak tingkah laku keagaan seseorang. Betapa pentingnya
fungsi reason, namun jika digunakan secara berlebih-lebihan akan menyebabkan
ajaran agama itu akan dingin.
Untuk itu fungsi reason hanya pantas berperan dalam membentuk pemikiran
mengenai Super Power saja, sedangkan untuk memberi makna dalam kehidupan
beragama diperlukan penghayatan yang seksama dan mendalam kehidupan sehingga
ajaran tampak hidup.
REFERENSI
Badarudin dan M. Maulana. Psikologi Agama dalam Perpektif Agama Islam: UIN-
Malang.
Arifin Syamsul Bambang . 2008. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia.
Jalaludin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
M. Ramayulis. 2002. Psikologi Agama . Jakarta: Radar Jaya.
2. KOMPETISI
Kata “kompetensi” dalam bahasa Inggis competititon merupakan kata benda.
Kata itu berasal dari kata kerja to compete, artinya perjuangan untuk memperoleh
superioritas. Sebagai kata benda menurut Sykes kompetensi artinya sebagai kegiatan
saling berlomba, semisal dalam ujian, usaha dan sebagainnya; tau kegiatan saling
berlomba, semisal dalam ujian, usaha dan sebagainnya; atau kegiatan yang bersifat
adu kecakapan yang melibatkan pribadi-pribadi untuk memperoleh yang terbaik.
Itu berarti bahwa kompetensi itu tumbuh karena adanya hajat dan kebutuhan
manusia yang di dasarkan atas ketidakpuasan yang tidak putus-putusnya, pada pihak
lain di sediakan barang, prestise dan keuntungan yang merupakan hadiah bagi
keberhasilan kompetensi tersebut. Dari uraian itu dapat di batasi bahwa kompetensi
adalah usaha yang bersifat adu kecakapan atau lomba kemampuan yang dilakukan
oeh setiap orang untuk memeperoleh prestasi atau prestise, baik bersifat/materi
maupun berupa penghargaan dan penilaian moral, semisal kalau A dan B bermain
bulutangkis didalamnya terkandung nilai kompetisi, karena sudah ada unsur ingin
memperoleh prestasi yang lebih baik satu sama lain dari lawannya, sebagaimana satu
sama lain juga ingin dhargai, paling tidak penghargaan moral, dan apabila mungkin
pada tingkat tertentu akan memperoleh imbalan materi.
Pada dasarnya kompetesi itu dilakukan oleh setiap orang secara alamiaha,
walaupun dalam perkembangan selanjutnya untuk maksud-maksud tertentu kompetisi
itu di formalkan sedemikian rupa disertai imbalan perolehan terutama yang bersifat
materi.
Sementara di sisi lain, dari lingkunganlah manusia endapatkan unsur-unsur yang
di perlukannya unuk produksi dan konsumsi. Kebutuhan dasar manusia itu meliputi:
a. Kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati
b. Kebutuhan dasar untuk memilih kelagsungan hidup manusiawi dan derajat
kebebasan memilih hanyalah muugkin apabila kelangsungan hidup hayati terjamin
dan terpenuhi.
Kalau prinsip kompetisi itu didampingkan dengan tuntutan aktualisasi diri disertai
upaya memperoleh dengn tuntutan aktualisasi diri disertai upaya memperoleh nilai
tambah terhadap kenyataan yang ada dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
Karena itu apabila aktualisasi diri itu berkembnag, maka akan terjadilah empat hal
sebagai berikut:
a. Aktualisasi diri itu akan menumbuhkan ukuran dan tuntutan yang melebihi
keadaan apa yang ada pada diri seseorang. Artinya ia akan menuntut sesuatu yang
melebihi apa yang sudah dimilikinya, serta mengharapkan balasan yang lebih besar
dari pa yang di lakukannya.
b. Aktualisasi diri akan berakibat meningkatnya kemampuan seseorang secara
berkelanjutan. Peningkatan ini bisa terjadi mungkin karena membaca buku, majalah,
mengikuti kursus dan lain-lain, atau melalui perjalanan tertentu, termasuk anjang
sono.
c. Aktualisasi diri juga akan dapat menigkatkan pengertian-pengertian, sehingga
menjadi orang yang selalu ddorong untuk meninginginkan perolehan lebih dari apa
yang ada pada dirinya. Sebab dengan eningkatkan penegrtian akan meningkat pula
keingintahuannya
d. Aktualisasi diri mendorong seseorang untuk mau memanfaatkan segala
kemampuan dan bakat yang di miliknya, bahkan akan berusaha menegmbangkan
kemampuan bagi dirinya dengan menyediakan modal yang sekecil-kecilnya.
Sekarang kita dapat memahami hubungan antara kompetesi dengan aktualisasi
diri. Namun masih ada masalah lain, apakah ada hubungan antara kompetisi dan
proses sosialisasi? Kalau ada, bagaimana logikanya kompetisi dapat mendorong
seseorang unutk melakukan interaksi sosial? Pertanyaannya sederhana, dan memnag
keduanya ada hubungannya, mengingat kompetisi disini dapat di pandang sebagai
tujuan tersembunyi yang di harapkannnya, sednag proses sosialisi merupakan
perantara yang dapat menyampaikan pad aperalihan tujuan tersebut.
3. KONFLIK
Konflik adalah kesulitan meneyeasikan pertentangan yang dialami oleh seseorang
karena dihadapkan pada keinginan-keinginan yang tidak dapat di persatukan atau
didamaikan. Atau juga bisa sebagai penyimpangan atau pertentangan sosial
berdampak terhadap individu.
Ada dua jenis konflik yang dapat di ketahui: (1) konflik intern/individu, (2) konflik
ektern/ antar anggota sosial.
a. Konflik intern/individu.
Dari sekian banyak pertimbangan, konflik jenis ini terjadi karena sesorang
menghadapi dua pilihan atau lebih yang sama nilainya, tanpa dapat digabungkan
sekaligus. Dalam penampakannya Atwater membagi konflik ini ke dalam empat
kategori. Yaitu:
1) Pendekatan-pendekatan
Dua orang kebutuhan keinginan atau pilihan yang merupakan dambaan yang
saling bergantung akan menciptakan konflik yang bersifat pendekatan-pendekatan.
Dalam hal ini orang dituntut memutuskan dan menentukan pilihan terhadap dua
pekerjaan yang di pandang sama baiknya. Dalam kehidupan beragama jelas konflik
seperti ini buhan hanya ada, tetapi sering terjadi, misalnya orang islam terjebak harus
memillih antara membaca Al-Qur’an atau menegrjakan shalat sunnah, padahal
keadaan suasananya sangat mendesak, karena ia berada ada stasiun pemberhentian
kereta api. Apabila faktor ketidaktahuan dan rasa berdosa itu berakumulasi, tidak
mustahil untuk mengatasi konfliknya, orang akan meminta nasehat kepad A,
berkonsultasi dengan B, atau hanya sebatas menyatakan kebutuhan dan kesesalan
kepada C, dan seterusnya. Dorongan untuk berinteraksi seperti ini dapat berlangsung
karena mendengar orang lain atau membaca suatu tulisan, sebelum ia mengalami
sendiri. Dengan suatu konflik orang beragama akan terdorong untuk melakukan
proses sosialisasi.
2) Penghindaran-Penghindaran
Dalam konflik jenis ini, orang akan terpaksa harus memilih dua alternatif yang
sama-sama tidak mneyenagkan, kedua alternatif itu bersifat negatif, tapi melekat pada
diri seseorang dan tidak mungkin di persatukan.
Dalam konteks kehidupan beragama, tidak mustahil seorang ibu yang sedang hamil
mengalami konflik karena disarankan oleh dokter unutk tidak berpuasa karena untuk
kesehatan si bayi dalam kandungannya, menghadapi keadaaan seperti itu sang ibu
berpikir, apakah membatalkan puasanya demi anak, atau meneruskan puasa, tapi
keselamatan anak terancam? Dan itulah contoh khusus dari peghindaran-
penghindaran.
3) Pendekatan Penghindaran
Berbada dengan dua kategori di atas konflik jenis ini terjadi karena orang harus
menuntaskan, pakah mendekati dan meraih sesuatu yang menyenangkan atau
menghindari yang memuakan. Misalnya, kalau seseorang menggunakan uang untuk
memebli baju, berarti ia harus membiarkan di dalam suasana kalut di rumah, akrena
uangnya tidak dapat di gunakan untuk rekreasi atau anjang sono pada keluarga dekat.
Lalu dalam konflik ini yaitu pendekatan dan pehindaran orang bergama akan terpaksa
melakukan proses sosialisasi.
4. AKOMODASI
Akomodasi adalah suatu suatu keadaan hubungan antara kedua belah pihak yang
menunjukkan keseimbangan yang berhubungan dengan nilai dan norma-norma sosial
yang berlaku dalam masyarakat.
Bentuk-bentuk akomodasi adalah sebagai berikut :
1) Coercion(koersi) adalah bentuk akomodasi yang proses pelaksanaannya
menggunakan paksaan. Pemaksaan terjadi bila satu pihak menduduki posisi kuat,
sedangkan pihak lain dalam posisi lemah.
2) Compromise(kompromi) adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak
yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap
perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah
bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak
lainnya dan begitu pula sebaiknya.
3) Arbitration adalah suatu cara untuk mencapai kompromi apabila pihak-pihak
yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh
pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atauoleh satu badan yang
berkedudukan lebih tinggi dari pihakpihak yang bertentangan.
4) Mediation hampir menyerupai arbitration. Adanya pihak ketiga yang
mengusahakan suatupenyelesaian secara damai.Kedudukan pihak ketiga hanyalah
sebagai penasehat belaka.
5) Concilation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak
yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
6) Toleranion juga dinamakan tolerant-participation.Ini merupakan suatu bentuk
akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya.Dalam bentuk ini terkadang
timbul secara tidak sadar dan tanpa direnanakan karena adanya watak orang-
perorangan atau kelompokkelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindari
diri suatu perselisihan.
7) Stalemate adalah suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena
mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada satu titik tertentu dalam
melakukan pertentangannya. Hal ini disebabkan karena bagi kedua belah pihak sudah
tidak ada kemungkinan lagi baik untuk maju maupun untuk mundur.
8) Ajudication adalah penyelesaian perkara melalui pengadilan.
Akomodasi adalah usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan.
Akomodasi dilakukan dengan tujuan tercapainya kestabilan dan keharmonisan dalam
kehidupan.Akomodasi dalam masyarakat dilakukan dalam meminimalisir
perbedaanperbedaan yang terjadi pada masyarakat, namun lebih mengedepankan
persamaan-persamaan yang ada dalam kehidupan masyarakat; seperti persoalan
kesulitan hidup atau kemiskinan yang banyak dialami oleh kebanyakan masyarakat,
kondisi ini menjadi pintu tejalinnya kebersamaan dalam mengupayakan meningkatkan
tarap kehdupan masyarakat .Artinya, Akomodasi merupakan bentuk penyelesaian
tanpamengorbankan salah satu pihak.Adakalanya, pertentangan yang terjadi sulit
diatasi sehingga membutuhkan pihak ketiga sebagai perantara. Adapun tujuan
akomodasi adalah untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau
kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat perbedaan yang muncul dalam
kehidupan.Memungkinkan terwujudnya kerja sama antara kelompok-kelompok sosial
yanghidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan.
5. ASIMILASI
Jean Peaget mengartikan asimilasi sebagai proses merubah suasana menjadi
bagian dari organisme manusia untuk kemudian di sesuaikan dengan tuntutan
lingkungan yang di hadapinya. Secara sosiologik, asimilasi itu merupakan suatu
proses yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan kelompok hilang secara berangsur-
angsur.
Untuk mengukur berarti tidaknya pengalaman agama yang dihasilkan oleh prses
asimilasi, bisa jadi dapat di gunakan empat pertimbangan yang diajukan oleh
WIEMAN sebagai berikut:
a. Mungkinkah pada saatnya orang akan dapat mengembangkan pengabdiannya
terhadap tuhan secara lebih berarti bagi dirinya?
b. Sejauhmana kemungkinan pemanfaatan pengalaman lama dalam pengalaman
barunya yang lebih segar dan lebih kuat/
c. Sejauhmana pengalaman baru yang akan dilakukannya itu dapat membebaskan
dirinya dari ketegangan-ketegangan dan ketidakleluasannya akibat beban yang
dialami dari pengalaman lainnya?
d. Sejauhmana pengalaman baru itu dapat mempercepat pengertian mengenai
kesempurnaan pengalaman barunya sebagai dasar pertimbangan untuk meninggalkan
pengalaman lainnya.
REFERENSI
Buku
Baihaqi , Wildan. 2012. Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri
Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama (Bandung : Nuansa
Aulia,2007).
Jurnal
Al-Adyan, P-ISSN: 1907-1736, E-ISSN: 2685-3574
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan Volume 13, Nomor 2, Juli-
Desember, 2018
REFERENSI
https://liputanislam.com/keluarga/tahap-tahap-perkembangan-keagamaan-pada-anak/
f. Ibadah
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Ross dan Oskar Kupky
menunjukkan bahwa hanya 17 % remaja mengatakan sembahyang bermanfaat untuk
berkomunikasi dengan tuhan, sedangkan 26% diantaranya menganggap bahwa
sembahyang hanyalah merupan media untuk bermeditasi
Masa Remaja Pertama (13 – 16 tahun)
Setelah si anak melalui usia 12 tahun, mereka memasuki masa goncang,
karena pertumbuhan cepat di segala bidang. Pertumbuhan jasmani yang pada usia
sekolah tampak serasi, seimbang dan tidak terlalu cepat, berubah menjadi goncang.
Semua perubahan jasmani yang nampak pada usia ini menyebabkan
kecemasan pada remaja. Bahkan kepercayaan kepada agama yang telah tumbuh
mungkin juaga mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya. Maka
kepercayaan remaja terhdap tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang
pula menjadi ragu dan berkurang. Hal ini nampak pada cara ibadahnya yang kadang
rajin dan kadang-kadang malas. Perasaannya kepada tergantung pada perubahan
emosi yang sedang dialaminya.
Dalam kondisi yang demikian hendaknya guru agama memahami keadaan
anak yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang
berjalan sangat cepat itu dan semua keinginan, dorongan dan ketidak stabilan
kepercayaan itu. Dengan pengertian itu, guru agama dapat memilihkan penyajian
agama yang tepat bagi mereka, kegoncangna perasaan dapat diatasi.
Masa Remaja Akhir (17 – 21 tahun)
Disamping perkembangan, pertumbuhan dan kecerdasan semakin berkembang,
berbagai ilmu pengetahuan yang bermacam-macam juga diterima oleh anak usia
remaja sesuai dengna keahlian dibidang masing-masing telah memenuhi otak remaja.
Di samping itu semua remaja sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan
kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga imgim mengembangkan agama,
mengikuti perkembangan dan alun jiwanya yang sedang tumbuh pesat saat itu. Cara
menerima dan menanggapi pendidikan agama jauh berbeda dengna masa sebelumnya,
mereka ingin agar agama menyelesaikan kegoncangan dan kepincangan-kepincangan
yang terjadi di masyarakat.
Banyak faktor lain yang menyebabkan kegoncangan jiwa remaja, oleh karenya
sebagai seorang pendidik kita harus dapat memahaminya, agara dapat menyelami jiwa
remaja tersebut, lalu membawa mereka kepada ajaran agama, sehingga ajaran agama
yang mereka dapat betul-betul dapat meredakan kogoncangan jiwa mereka.
REFERENSI
https://alfallahu.blogspot.com/2013/04/perkembangan-keberagamaan-pada-
remaja.html
Prof.DR.Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama , 1996. (PT.Bulan Bintang: Jakarta)hal.
119
REFERENSI
[2]Elizabeth, B., Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm.
13.
[3]Crapps Roberth W., Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), hlm. 31.
[4]Jalaluddin, Op. Cit., h. 106.
[5]Ibid., h. 107.
[6]Ibid., h. 108.
[7]Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 95
REFERENSI
Baihaqi, W. (2019). Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri.
Iswati, I. (2019). Karakteristik Ideal Sikap Religiustas pada Masa Dewasa. At
Tajdid: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 2(01).
Mulyadi, M. (2015). PERKEMBANGAN JIWA KEBERAGAMAAN PADA
ORANG DEWASA DAN LANSIA. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan
dan Konseling Islami, 1 (1), 44-55
REFERENSI
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi,Wildan. 2019. Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996
Pratiwi,dkk.Makna Kematian pada Wanita Lanjut Usia yang Melajang.2018
Miakahuddin.KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI QUR’ANI. Banda
Aceh
Utami, M. I. (2019). PENGARUH MEMPELAJARI ILMU PERBANDINGAN
AGAMA TERHADAP MUTU KEIMANAN MAHASISWA IAIN KUDUS. Jurnal
Tarbawi, 59.
https://www.academia.edu/16654694/PROBLEMA_KEIMANAN