Anda di halaman 1dari 37

RESUME PSIKOLOGI AGAMA

NAMA : DIKRI PUADI


NIM : 1182020059
KELAS : PAI VB
BAB 1
1. Pengertian Psikologi agama
Psikologi berasal dari perkataan yunani psyce yang artinya jiwa, dan logos yang
artinya ilmu. Jadi secara etimologi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya (
ilmu jiwa ).
Sedangkan Agama adalah ikatan yang harus dipegang dan dipenuhi manusia.
Ikatan adalah kekuatan yang lebih tinggi dari manusia yang tidak dapat ditangkap
keduanya, namun mampu mewarnai kehidupan.
Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa Psikologi Agama Merupakan cabang
psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku mannusia dalam hubungan
dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya
dengan perkembangan usia masing-masing.

2. Tujuan Psikologi Agama


Tujuan psikologi agama yaitu mengembangkan pikiran dan perilaku berdasarkan
apa yang dirasakan melalui kejiwaan yang ditanamkan melalui pengetahuan agama
dari dini. Agama menjadi dasar perkembangan kejiwaan seseorang dalam menentukan
perilaku yang baik untuk lingkungannya.

Tujuan psikologi agama yaitu :

1.Untuk kesejahteraan seluruh umat.


2.Memprediksi, mengontrol, dan mengarahkan perilaku manusia.
3.Membangun keilmuan dengan dasar agama.
Mengkaji psikologi agama memiliki kepentingan terhadap tiga poin berikut :

A. Teoritis: Psikologi agama digunakan untuk meneliti perilaku kejiwaan yang


berhubungan dengan keagamaan dan mengembangkan pemikiran tentang perilaku
beragama.
B. Praktis: Perilaku keagamaan didukung oleh motif tertentu. Secara praktis,
keagamaan membimbing orang orang dalam berperilaku.
C. Normatif: Keagamaan bertujuan mendorong kehidupan saling menghormati
sehingga tercipta kerukunan dalam bermasyarakat. Kerukunan antar umat beragama,
kerukunan antar individu beragama, dan kerukunan umat dengan pemerintahan.

3. Kegunaan Psiologi Agama


Diantara kegunaan psikologi agama yaitu sejalan dengan ruang lingkup kajiannya
telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia
kaitannya dengan agama yang dianutnya, perasaan keagamaan itu dapat
mempengaruhi ketentraman batinnya baik konflik itu terjadi pada diri seseorang
hingga ia menjadi lebih taat menjalankan ajaran agamanya maupun tidak.
   Psikologi agama dapat di manfaatkan dalam berbagai lapangan kehidupan
seperti dalam bidang pendidikan, psikoterapi dan dalam lapangan lain dalam
kehidupan.
Di bidang industri, psikologi juga dapat dimanfaatkan. Misalnya, adanya ceramah
agama islam guna untuk menyadarkan para buruh dari perbuatan yang tak terpuji dan
merugikan perusahaan.
Dalam banyak kasus, pendekatan psikologi agama, baik langsung maupun tidak
langsung dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan dan kesadaran beragama.
Selain itu dalam pendidikan psikologi agama dapat difungsikan pada pembinaan
moral dan mental keagamaan peserta didik.

REFERENSI
https://majid-pendidikan.blogspot.com/2012/03/pengertian-psikologi-agama.html

BAB 2 LAPANGAN PENELITIAN PSIKOLOGI AGAMA

METODE PENELITIAN
Dalam sebuah penelitian agama, tentunya akan menyangkut masalah yang berkaitan
dengan kehidupan batin yang sangat mendalam, maka masalah agama sulit untuk
diteliti secara seksama, terlepas dari pengaruh-pengaruh subjektivitas. Namun
demikian, agar penelitian mengenai agama dapat dilakukan lebih netral, dalam arti
tidak memihak kepada suatu keyakinan atau menentangnya, maka diperlukan adanya
sikap yang objektif. Maka dalam meneliti ilmu jiwa agama diharuskan menggunakan
sejumlah metode, yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
Dokumen Pribadi
Metode ini digunakan untuk mempelajari tentang bagaimana pengalaman dan
kehidupan batin seseorang dalam hubungannya dengan agama, dengan cara
mengumpulkan dokumen  pribadi orang tersebut. Dokumen tersebut mungkin berupa
autobiografi, biografi, tulisan ataupun catatan-catatan yang dibuatnya.
Didasarkan atas pertimbangan bahwa agama merupakan pengalaman batin yang 
bersifat individual, di kalah seseorang merasakan sesuatu yang gaib maka dokumen
pribadi dinilai dapat memberikan informasi yang lengkap. William James dalam
bukunya “the varieties of religious experience” tampaknya juga menggunakan metode
ini.[4]
Dalam penerapannya, metode dokumen pribadi ini dilakukan dengan berbagai cara
atau teknik-teknik tertentu. Di antara yang banyak digunakan adalah :
1. Teknik Nomotatik
2. Teknik Analisis Nilai
3. Teknik Idiography
4. Teknik Penilaian terhadap Sikap
5. Kuesioner Dan Wawancara
Digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang lebih banyak dan
mendalam secarea langsung kepada responden. Metode ini dinilai memiliki beberapa
kelebihan, antara lain : memberi kemungkinan untuk memperoleh jawaban yang cepat
dan segera, dan hasilnya dapat dijadikan dokumen pribadi tentang seseorang, serta
dapat pula dijadikan data nomotatik.
Namun demikian, metode ini juga mempunyai kelemahan-kelemahan, seperti :
1. Jawaban yang diberikan terikat oleh pertanyaan sehingga responden tak
dapat memberikan jawaban secara lebih bebas.
2. Kadang-kadang, sering terjadi salah penafsiran terhadap pertanyaan yang
kurang tepat, dan tak semua pertanyaan sesuai untuk seperti orang.
Dalam penerapannya, metode kuesioner dan wawancara dilakukan dalam berbagai
bentuk, diantaranya :
1. Pengumpulan Pendapat Masyarakat
2. Skala Penilaian
3. Tes (Test)
Untuk mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu. Untuk
memperoleh gambaran yang diinginkan, biasanya diperlukan bentuk tes yang sudah
disusun sistematis.
Eksperimen
Untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan
khusus yang sengaja dibuat.
1. Observasi Melalui Pendekatan Sosiologi Dan Antropologi
Melakuakan dengan menggunakan data sosiologi dengan mempelajari sifat-sifat
manusiawi orang per-orang atau kelompok.
1. Studi Agama Berdasarkan Pendekatan Antropologi Budaya
Dengan membandingkan antara tindak keagamaan (upacara, ritus) dengan
menggunakan pendekatan sosiologi.
1. Pendekatan Terhadap Perkembangan
Untuk meneliti mengenai asal-usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam
hubungannya dengan agama yang dianutnya. Cara yang digunakan antara lain,
melalui pengumpulan dokumen, dan riwayat hidup.
1. Metode klinis dan proyektivitas
Memanfaatkan cara kerja klinis. Penyembuhan dilakukan dengan cara
menyelarasakan hubungan antara jiwa dengan agama.
1. Metode umum proyektivitasi
Berupa penelitian dengan cara menyadarkan sejumlah masalah yang mengandung
makna tertentu.
1. Apersepsi nomotatik
Menggunakan gambar-gambar yang samar. Melalui gambar-gambar yang diberikan,
orang yang diteliti diharapkan dapat mengenal dirinya.
1. Studi kasus
Mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus-kasus
tertentu.

Survey
Metode ini biasanya digunakan dalam penelitian social dan dapat digunakan untuk
tujuan penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi
dalam masyarakat.
Penggunaan metode-metode dalam penelitian psikologi agama sebenarnya dapat
dilakukan dengan beragam, bergantung pada kepentingan dan jenis data yang akan
dikumpulkan. Demikian pula, ada yang menggunakan dokumen pribadi, baik berupa
riwayat hidup dan sebagainnya.
REFERENSI
Arifin, Bambang Syamsul, Psikolgi Agama. Bandung 2008 ,
Jalaluddin, Psikologi Agama. Jakarta 2009

BAB 3 METODE PENELITIAN PSIKOLOGI AGAMA


Sebagai disiplin ilmu yang otonom, maka psikologi agama juga memiliki metode
penelitian ilmiah. Kajian dilakukan dengan mempelajari fakta-fakta berdasarkan data
yang terkumpul dan dianalisis secara objektif.
Karena agama menyangkut masalah yang berkaitan dengan kehidupan batin
yang sangat mendalam, maka masalah agama sulit untuk diteliti secara seksama,
terlepas dari pengaruh-pengaruh subjektifitas. Namun demikian, agar penelitian
mengenai agama dapat dilakukan lebih netral, dalam arti tidak memihak kepada suatu
keyakinan atau menentangnya, maka diperlukan adanya sikap yang objektif. Maka
dalam penelitian psikologi agama perlu diperhatikan antara lain: Memiliki
kemampuan dalam meneliti kehidupan dan kesadaran batin manusia;  Memiliki
keyakinan bahwa sebagal bentuk pengalaman dapat dibuktikan secara empiris Dalam
penelitian harus bersikap filosofis spiritualistis; Tidak mencampuradukkan antara
fakta dengan angan-angan atau perkiraan khayali;  Mengenal dengan baik masalah-
masalah psikologi dan metodenya;  Memiliki konsep mengenai agama serta
mengetahui metodologinya;\
Dengan berpedoman kepada petunjuk-petunjuk seperti dikemukakan di atas,
diharapkan para peneliti dalam mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data akan
bersikap lebih objektif. Dengan demikian, hasil yang diperoleh tidak akan
menyimpang dari tujuan semula. Misalnya, karena seorang peneliti menganut
keyakinan agama tertentu, maka dalam mantafsir fakta yang ada ia memasukkan
konsep-konsep yang sejalan dengan keyakinannya. Pengaruh keyakinan tadi paling
tidak akan cenderung membawa kesimpulan yang bersifat subjektif. Dan akan lebih
parah lagi, kalau kesimpulan itu mencela terhadap suatu keyakinan agama. Padahal
dalam meneliti, seorang peneliti harus bersikap objektif.
Dalam meneliti ilmu jiwa agama menggunakan sejumlah metode, yang antara
lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.        Dokumen Pribadi Metode ini digunakan untuk mempelajari tentang
bagaimana pengalaman dan kehidupan batin seseorang dalam hubungannya dengan
agama. Untuk memperoleh informasi tersebut maka cara yang ditempuh adalah
mengumpulkan dokumen pribadi orang tersebut. Dokumen tersebut mungkin berupa
autobiografi, biografi, tulisan ataupun catatan-catatan yang dibuatnya. 2.      
Kuesioner dan Wawancara Metode kuesioner maupun wawancara digunakan untuk
mengumpulkan data dan informasi yang lebih banyak dan mendalam secara langsung
kepada responden. Metode ini dinilai memiliki beberapa kelebihan, antara lain adalah
dapat memberi kemungkinan untuk memperoleh jawaban yang cepat dan segera dan
hasilnya dapat dijadikan dokumen pribadi tentang seseorang serta dapat pula
dijadikan data nomotatik.

REFERENSI
 https://makalahnih.blogspot.com/2015/06/metode-dalam-psikologi-agama.html

BAB 4 HUBUNGAN MANUSIA DAN AGAMA


Kondisi umat islam dewasa ini semakin diperparah dengan merebaknya
fenomena kehidupan yang dapat menumbuhkembangkan sikap dan prilaku yang a
moral atau degradasi nilai-nilai keimanannya. Fenomena yang cukup berpengaruh
itu adalah :
1.  Tayangan media televisi tentang cerita yang bersifat tahayul atau kemusrikan,
dan film-film yang berbau porno.
2.  Majalah atau tabloid yang covernya menampilkan para model yang mengubar
aurat.
3.  Krisis ketauladanan dari para pemimpin, karena tidak sedikit dari mereka itu
justru berprilaku yang menyimpang dari nilai-nilai agama.
4.  Krisis silaturahmi antara umat islam, mereka masih cenderung mengedepankan
kepentingan kelompoknya (partai atau organisasi) masing-masing.
Sosok pribadi orang islam seperti di atas sudah barang tentu tidak
menguntungkan bagi umat itu sendiri, terutama bagi kemulaian agama islam
sebagai agama yang mulia dan tidak ada yang lebih mulia di atasnya. Kondisi umat
islam seperti inilah yang akan menghambat kenajuan umat islam dan bahkan dapat
memporakporandakan ikatan ukuwah umat islam itu sendiri. Agar umat islam bisa
bangkit menjadi umat yang mampu menwujudkan misi “Rahmatan lil’alamin”
maka seyogyanya mereka memiliki pemahaman secara utuh (Khafah) tentang
islam itu sendiri umat islam tidak hanya memiliki kekuatan dalam bidang imtaq
(iman dan takwa) tetapi juga dalam bidang iptek (ilmu dan teknologi).
Mereka diharapkan mampu mengintegrasikan antara pengamalan ibadah
ritual dengan makna esensial ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti : pengendalian diri, sabar, amanah, jujur, sikap
altruis, sikap toleran dan saling menghormatai tidak suka menyakiti atau
menghujat orang lain. Dapat juga dikatakan bahwa umat islam harus mampu
menyatu padukan antara mila-nilai ibadah mahdlah (hablumminalaah) dengan
ibadag ghair mahdlah (hamlumminanas) dalam rangka membangun “Baldatun
thaibatun warabun ghafur” Negara yang subur makmur dan penuh pengampunan
Allah SWT.
Agama sangat penting dalam kehidupan manusia antara lain karena agama
merupakan : a. sumber moral, b. petunjuk kebenaran, c. sumber informasi tentang
masalah metafisika, dan d. bimbingan rohani bagi manusia, baik di kala suka
maupun duka.
a.   Agama Sumber moral
Dapat disimpulkan, bahwa pentingnya agama dalam kehidupan disebabkan oleh
sangat diperlukannya moral oleh manusia, padahal moral bersumber dari agama.
Agama menjadi sumber moral, karena agama mengajarkan iman kepada Tuhan
dan kehidupan akhirat, serta karena adanya perintah dan larangan dalam agama.
b.  Agama Petunjuk Kebenaran
Sekarang bagaimana manusia mesti mencapai kebenaran? Sebagai jawaban atas
pertanyaan ini Allah SWT telah mengutus para Nabi dan Rasul di berbagai
masa dan tempat, sejak Nabi pertama yaitu Adam sampai dengan Nabi terakhir
yaitu Nabi Muhammad SAW. Para nabi dan Rasul ini diberi wahyu atau agama
untuk disampaikan kepada manusia. Wahyu atau agama inilah agama Islam, dan
ini pula sesungguhnya kebenaran yang dicari-cari oleh manusia sejak dulu kala,
yaitu kebenaran yang mutlak dan universal. Dapat disimpulkan, bahwa agama
sangat penting dalam kehidupan karena kebenaran yang gagal dicari-carioleh
manusia sejak dulu kala dengan ilmu dan filsafatnya, ternyata apa yang
dicarinya itu terdapat dalam agama. Agama adalah petunjuk kebenaran. Bahkan
agama itulah kebenaran, yaitu kebenaran yang mutlak dan universal.

c.   Agama Sumber Informasi Metafisika


Sesungguhnya persoalan metafisika sudah masuk wilayah agama tau iman, dan
hanya Allah saja yang mengetahuinya. Dan Allah Yang Maha Mengetahui
perkara yang gaib ini dalam batas-batas yang dianggap perlu telah menerangkan
perkara yang gaib tersebut melalui wahyu atau agama-Nya. Dengan demikian
agama adalah sumber infromasi tentang metafisika, dan karena itu pula hanya
dengan agama manusia dapat mengetahui persoalan metafisika. Dengan
agamalah dapat diketahui hal-hal yang berkaitan dengan alam barzah, alam
akhirat, surga dan neraka, Tuhan dan sifat-sifat-Nya, dan hal-hal gaib lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa agama sangat penting bagi manusia (dan karena itu
sangat dibutuhkan), karena manusia dengan akal, dengan ilmu atau filsafatnya
tidak sanggup menyingkap rahasia metafisika. Hal itu hanya dapat diketahui
dengan agama, sebab agama adalah sumber informasi tentang metafisika.
d.  Agama pembimbing rohani bagi manusia
Dengan sabdanya ini Nabi mengajarkan, hendaknya orang beriman bersyukur
kepada Allah pada waktu memperoleh sesuatu yang menggembirakan dan tabah
atau sabar pada waktu ditimpa sesuatu yang menyedihkan. Bersyukur di kala
sukadan sabar di kala duka inilah sikap mental yang hendaknya selalu dimiliki
oleh orang beriman. Dengan begitu hidup orang beriman selalu stabil, tidak ada
goncangan-goncangan, bahkan tenteram dan bahagia, inilah hal yang
menakjubkan dari orang beriman seperti yang dikatakan oleh Nabi. Keadaan
hidup seluruhnya serba baik.Bagaiman tidak serba baik, kalau di kala suka
orang beriman itu bersyukur, padahal “ Jika engkau bersyukur akan Aku
tambahi” , kata Allah sendiri berjanji (Ibrahim ayat 7). Sebaliknya, orang
beriman tabah atau sabar di kala duka, padahal dengan tabah di kala duka ia
memperoleh berbagai keutamaan, seperti pengampunan dari dosa-dosanya(H.R
Bukhari dan Muslim), atau bahkan mendapat surga (H.R Bukhari), dan
sebagainya. Bahkan ada pula keuntungan lain sebagai akibat dari kepatuhan
menjalankan agama, seperti yang dikatakan oleh seorang psikiater, Dr. A.A.
Brill, “Setiap orang yang betul-betul menjalankan agama, tidak bisa terkena
penyakit syaraf. Yaitu penyakit karena gelisah rsau yang terus-menerus.

REFERENSI
https://suwardisagama94.blogspot.com/2013/04/hubungan-manusia-dengan-
agama.html

BAB 5 SUMBER DAN GEJALA-GEJALA JIWA KEAGAMAAN PADA


MANUSIA

A.    TEORI MONISTIK
Teori ini berpendapat bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu
sumber kejiwaan. Selanjutnya, sumber tunggal manakah yang dimaksut paling
dominan sebagai sumber kejiwaan itu. Timbul beberapa pendapat yang dikemukakan
oleh Para Pemuka Teori Monistik, diantaranya :
1.      Thomas van Aquino mengemukakan bahwa sumber jiwa agama itu adalah
berfikir. Manusia ber-Tuhan karena menggunakan kemampuan berpikirnya dan
kehidupan beragama merupakan refleksi kehidupan berfikir manusia itu sendiri.
Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempatnya hingga sekarang dimana
para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.
2.      Frederick Hegel, Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Thomas van Aquino, maka filosof Jerman ini berpendapat, agama adalah suatu
pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan menjadi tempat kebenaran abadi.
Berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal atau persoalan yang
berhubungan dengan pikiran.
3.      Frederick Schleimacher, Berlainan dengan pendapat kedua ahli diatas, maka
F.Hegel berpendapat bahwa yang menjadi sumber agama adalah rasa ketergantungan
yang mutlak (sence of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini
manusia merasa dirinya lemah. Kelemahan ini menyebkan manusia selalu tergantung
hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Berdasarkan rasa
ketergantungan itulah maka muncul konsep Tuhan. Manusia merasa tak berdaya
menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, maka mereka menggantung
harapannya kepada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak. Berdasarkan konsep ini
timbullah upacara untuk meminta perlindungan pada kekuasaan yang diyakini dapat
melindungi mereka. Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam
realitas upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama pada suatu
kekuasaan yang mereka namakan Tuhan.
4.      Rudolf Otto, Menurut pendapat tokoh ini, sumber kejiwaan agama adalah rasa
kagum yang berasal dari sesuatu yang lain (the wholly other). Jika seseorang
dipengaruhi rasa kagum erhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain, maka
keadaan mental seperti itu diistilahkan oleh Rudolf Otto keadaan mental itu disebut
dengan “numinous”. Perasaan yang semacam itulah yang menurut pendapatnya
sebagai sumber kejiwaan agama pada manusia. Walaupun factor-faktor lainnya diakui
oleh Rudolf Otto, namun ia berpendapat numinous  merupakan sumber yang
essential.
5.      Sigmund Freud, Pendapatnya unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan
agama adalah “libido sexualita”. Libido menimbulkan ide ke-Tuhanan dan ritual
keagamaan setelah melalui proses :
a.       Oedipus Complex, sumber jiwa keagamaan berasal dari rasa bersalah
(sence or guilty) kasus oudipus complex mitos Yunani yang menceritakan perasaan
cinta pada ibunya, maka Oedipus complex membunuh ayahnya. Kejadian yang
demikian itu berawal dari manusia yang primitive. Mereka bersekongkol untuk
membunuh ayah yang berasal dalam masyarakat promiscuitas. Setelah ayah mereka
mati maka timbullah rasa bersalah pada diri anak-anak itu.
b.      Father Image (citra bapak), Setelah mereka membunuh ayah mereka dan
dihantui oleh rasa bersalah itu timbullah penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide
untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahan mereka yang telah mereka
lakukan. Karena oudipus maka dipujalah arwah bapaknya karena khawatir akan
pembalasan arwah ayahnya tersebut. Maka agama muncul dari ilusi (hayalan)
manusia.
Sigmud Freud bertambah keyakinan akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan
kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan dilingkungannya yang beragama Nasrani,
Freud menyaksikan kata “bapak” dalam untaian doa mereka.
6.      William Mac Dougall, Sebagai salah seorang ahli Psikologi instink, Ia
berpendapat, bahwa memang instink khusus sebagai sumber agama tidak ada. Ia
berpendapat, sumber jiwa keagamaan  adalah kumpulan beberapa instink, dimana
pada diri manusia terdapat 14 instink dan agama timbul dari dorongan instink yang
terintegrasi. Namun demikian teori instink agama ini banyak mendapat bantahan dari
para ahli psikologi agama. Alasannya, jika agama merupakan instink, maka setiap
orang tanpa harus belajar agama pasti akan terdorong secara spontan kegereja, begitu
mendengar lonceng gereja. Tetapi kenyataannya tidak demikian.[1]
B.Teori Fakulty (  Faculty Theory )
A.    Pengertian
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu
faktor yang tunggal tetapi terdiri dari beberapa unsur antara lain yang dianggap
memegang peranan penting adalah
1.Cipta (Reason) merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam merupakan
cerminan adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta orang dapat menilai dan
membandingkan dan selanjutnya memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulan
tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat
dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern peranan dan fungsi reason ini sangat
menentukan. Dalam lembaga-lembaga keagamaan yang menggunakan ajaran
berdasarkan jalan pikiran yang sehat dalam mewujudkan ajaran-ajaran yang masuk
akal, fungsi berpikir sangat diutamakan.

2.Rasa ( Emotion ) suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam
membentuk motivasi dalam corak tingkah laku keagaan seseorang. Betapa pentingnya
fungsi reason, namun jika digunakan secara berlebih-lebihan akan menyebabkan
ajaran agama itu akan dingin.

Untuk itu fungsi reason hanya pantas berperan dalam membentuk pemikiran
mengenai Super Power saja, sedangkan untuk memberi makna dalam kehidupan
beragama diperlukan penghayatan yang seksama dan mendalam kehidupan sehingga
ajaran tampak hidup.

3.Karsa (Will) merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi


mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin sebagai ajaran agama berdasarkan fungsi
kejiwaan. Mungkin pengalan keagamaan seseorang bersifat intelek ataupun emosi
namun jika adanya peranan will maka agama tersebut belum tentu terwujud sesuai
dengan kehendak reason dan emosi. Masih diperlukan suatu tenaga pendorong agar
ajaran keagamaan itu menjadi suatu tindak keagamaan. Jika yang demikian terjadi
misalnya orang berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya, maka dari
itu fungsi willnya lemah. Jika tingkah laku keagamaan itu terwujud dalam bentuk
perwujudan yang sesuai dengan ajaran keagamaan dan selalu mengimbangi tingkah
laku, perbuatan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan maka funsi willnya
kuat.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :

1.      Cipta (Reason) berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran


suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.

2.      Rasa (Emotion) menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif


dalam menghayati kebenaran ajaran agama.

3.      Karsa (Will) menimbulkan amalan-amalan atau praktek keagamaan yang


benar dan logis.[2]

Diantara Pemuka Teori Fakulti antara lain :


1.      G.M. Straton, yang mengemukakan “teori konflik”, yang menyatakan bahwa
keberadaan konflik dalam jiwa manusia menjadi sumber kejiwaan agama. Keadaan
yang berlawanan seperti : Baik-buruk, benar-salah, bermoral-tak bermoral, kepasifan-
keaktifan,rasa rendah diri, dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan dalam diri
manusia. Dikotomi termasuk dapat menimbulkan rasa agama dalam diri manusia.
Adanya dikotomi merupakan menyataan dalam kehidupan jiwa manusia. Konflik,
selain dapat membawa kemunduran, juga dalam kehidupan sehari-hari dapat
membawa kearah kemajuan.
Jika konflik itu sudah demikian mencekam dan mempengaruhi kejiwaan
seseorang, maka manusia akan mencari pertolongan kepada suatu kekuasaan tertinggi,
yaitu Tuhan. Konflik kejiwaan itu menurut Sigmund Freud adalah :
a.    Life-urge, keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari awal sampai
akhir.
b.    Death-urge, keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai benda mati.
W.H. Clark berpendapat bhw ekspresi pertentangan antara death-
urge dan life-urge merupakan sumber kejiwaan agama dalam diri manusia. Life-urge 
secara positif mendorong pemeluk agama untuk mengamalkan agamanya dengan
penuh keihlasan dalam hidupnya &death-urge mendorong ketakutan akan hari
akherat. Didunia manusia menjunjung budi luhur agar disenangi Tuhan shgg
diharapkan bisa beumur panjang (life-urge) dan mendapat tempat yang wajar disisi
Tuhan ketika meninggal kelak (death-urge). Life-urge membawa penganut agama
kearah pandangan yang positif dan liberal, death-urge membawa kearah sikap pasif &
konservatif (jumud).
1.      Zakiah Daradjat, yang menyatakan bahwa pada diri manusia terdapat kebutuhan
pokok (selain kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani), yakni kebutuhan akan
keseimbangan dalam kehidupan jiwa, adapun unsur-unsur kebutuhan yang
dikemukakan yaitu :
a.         Kebutuhan akan rasa kasih sayang, yang dalam bentuk nigatifnya dapat dilihat
dalam kehidupan sehari-hari. Jika kebutuhan tersebut tak terpenuhi, hal itu akan
menimbulkan gejala psikosomatis.
b.        Kebutuhan akan rasa aman, merupakan kebutuhan yang mendorong manusia untuk
memperoleh perlindungan. Kehilangan rasa aman akan mengakibatkan ke hal yang
negatife. Kenyataan dalam kehidupan kecenderungan manusia mencari perlindungan
dari kemungkinan gangguan terhadap dirinya.
c.         Kebutuhan akan rasa harga diri adalah kebutuhan yang bersifat individual yang,
mendorong manusia agar dihormati dan diakui orang lain. Dalam kenyataan terlihat
kehilangan rasa harga diri ini akan mengakibatkan tekanan batin.
d.        Kebutuhan akan rasa bebas adalah kebutuhan yang menyebabkan seorang bertindak
secara bebas untuk mencapai kondisi dan situasi rasa lega. Kebebasan dapat
berbentuk tindakan ataupun pernyataan kebebasan untuk menyatakan keinginan
sesuai dengan pertimbangan batinnya, misalnya melakkan dan menyatakan sesuatu.
e.         Kebutuhan akan rasa sukses merupakan kebutuhan manusia yang menyebabkan ia
mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil
karyanya. Jika kebutuhan akan sukses ini ditekan, seseorang yang mengalami hal
tersebut akan kehilangan harga dirinya.
f.         Kebutuhan akan rasa ingin tahu adalah kebutuhan yang menyebabkan manusia
selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. Jika kebutuhan ini diabaikan akan
mengakibatkan tekanan batin.
Menurut Dr. Zakiah Daradjat, gabungan keenam macam kebutuhan tersebut
menyebabkan seseorang memerlukan agama. Melalui agama, kebutuhan-kebutuhan
tersebut dapat disalurkan. Dengan melaksanakan ajaran agama secara baik, kebutuhan
akan rasa kasih saying, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses, dan rasa
ingin tahu akan terpenuhi.
2.      W.H. Thomas, mengemukakan bhw sumber kejiwaan agama itu ada 4 (empat)
keinginan dasar yang ada pada jiwa manusia, yaitu :
a.       Keinginan untuk keselamatan (security).
Keinginan ini tampak jelas dalam kenyataan manusia untuk memperoleh
perlindungan atau penyelamatan dirinya, baik berbentuk biologis maupun
nonbiologis. Misalnya mencari makan, perlindungan diri, dan sebagainya.
b.      Keinginan untuk mendapatkan penghargaan (recognation).
Keinginan ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia mendambakan
adanya rasa ingin dihargai dan dikenali orang lain. Ia mendambakan dirinya untuk
selalu menjadi orang terhormat dan dihormati.
c.       Keinginan untuk ditanggapi (response).
Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencinta dan dicintai dalam pergaulan.
d.      Keinginan akan pengetahuan dan pengalaman baru (new experience).
Keinginan ini menyebabkan manusia mengeksplorasi dirinya untuk mengenal
sekelilingnya dan mengembangkan dirinya. Manusia, pada dasarnya, selalu cepat
bosan dan jenuh terhadap sesuatu dan hal-hal yang monoton di sekelilingnya. Mereka
selalu ingin mencari dan mengetahui sesuatu yang tak tampak dan berada di luar
dirinya.
Didasarkan atas keempat keinginan dasar itulah, pada umumnya manusia
menganut agama menurut W.H Thomas. Melalui ajaran agama yang teratur, maka
keempat keinginan dasar itu akan tersalurkan. Dengan menyembah dan mengabdi diri
kepada Tuhan, keinginan untuk keselamatan akan terpenuhi.
Pengabdian menimbulkan perasaan mencintai dan dicintai. Demikian pula,
keinginan untuk mendapat penghargaan maka ajaran agama mengindoktrinasikan
konsep keberadaan balasan bagi setiap amal baik dan buruk. Agama juga memberi
penghargaan kepada penganutnya yang setia dan ikhlas melebihi penganut awam
lainnya (ingat kaum ulama, pendeta ataupun pimpinan lainnya). Karisma para
pemimpin keagamaan merupakan ganjaran batin (remuneration) dalam kehidupan
seorang penganut agama yang mereka dambakan berdasarkan keinginan untuk
dihargai (recognition). Selanjutnya, penelitian dan penelaahan ajaran-ajaran
keagamaan dapat menyalurkan kebutuhan manusia akan keinginan terhadap
pengalaman dan pengetahuan yang baru (ingat para mujaddid dan reformer dalam
bidang keagamaan).[3]
C.Teori Fitrah
Pada manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah bersifat suci,
namun kesucian tersebut perlu dijaga dan dikembangkan melalui pola pengasuhan,
pembinaan, pendidikan dan pergaulan yang baik.
Para ahli memiliki beberapa pengertian fitrah antara lain:
1.      Fitrah berarti suci
Artinya ketika seorang bayi lahir kedunia dalam keadaan suci, tanpa dosa. Tidak ada
dosa warisan orang tuanya. Baru kemudian dalam mengarungi kehidupan orang
tersebut terkena kotoran noda dosa.
2.      Fitrah berarti bertauhid
Artinya sejak lahir manusia telah membawa bersifat-sifat percaya kepada Tuhan. Jadi
sudah naluri bila manusia menolak adanya atheism atau pholitesme.
3.      Fitrah dalam arti ikhlas
Ketika lahir, manusia dibekali sifat-sifat Tuhan. Salah satu sifat tersebut adalah ikhlas.
Jadi ikhlas tersebut merupakan fitrah manusia.
4.      Fitrah dalam arti insting
Ibn Taimiyah membagi fitrah dalam dua bagian:
a.       Fitrah al-Munazalah
Yaitu fitrah luar yang masuk kedalam manusia. Fitrah ini berupa al-qur’an dan
sunnah.
b.      Fitrah al-Gharizah
Yaitu fitrah yang dalam diri manusia untuk mengembangkan potensi manusia.
5.      Fitrah dalam arti tabiat
Menurut al-Ghazaly fitrah sebagai sifat dasar yang diperoleh manusia sejak lahir yang
terdiri dari:
a.       Beriman kepada Allah
b.      Menerima pendidikan dan pengajaran
c.       Mencari kebenaran
d.      Dorongan syahwat, ghodob dan insting.
Banyak pengertian tentang fitrah, dilihat dari berbagai sudut dan pandangan
akan mempunyai makna dan pengertian yang berbeda, tapi pada dasarnya
dapat kita simpulkan tentang makna fitrah adalah potensi dasaar manusia yang
bersifat suci, namun kesucian tersebut perlu dijaga dan dikembangkan melalui
pola pengasuhan, pembinaan, pendidikan dan pergaulan yang baik.[4]

REFERENSI
Badarudin dan  M. Maulana. Psikologi Agama dalam Perpektif Agama Islam: UIN-
Malang.
Arifin Syamsul Bambang . 2008. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia.
Jalaludin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
M. Ramayulis. 2002. Psikologi Agama . Jakarta: Radar Jaya.

BAB 6 FAKTOR SOSIAL DALAM AGAMA


B. Faktor - faktor sosial dalam agama
1. KOOPERASI
Kooperasi adalah suatu bentuk kerjasama yang di lakukan oleh sekurang-
kurangnya dua orang untuk meraih tujuan tertentu. Dalam hal kooperasi menjadi
pendorong untuk berlangsungnya proses sosialisasi, adapun permasalahnnya yaitu,
apakah orang-orang juga perlu bekerjasama untuk merealisasikan perlaku agamanya?
Kalau iya, bagaimana kerjasamnya dengan orang bergama itu menimbulkan proses
sosialisasi? Agaknya terlalu banyak perilaku agama yang menuntut kerjasama,
terutama diantara mereka yang seagama. Mendirikan tempat ibadah,
menyelenggarakan pendidikan agama, sampai ke melaksanakan ritual dan ibadah
agama pasti memerlukan kerjasama. Orang islam misalnya, untuk keperluan
ibadahnya, mereka harus mempunyai tempat ibadah. Betapapun di paksakannya, akan
sangat sulit mendirikan masjid seorang diri, sebab dari unsur fisiknya saja, secara
kasar untuk tegaknya sebuah tempat ibadah di perlukan pasir batam semen, tegel,
kayu , genting dan kaca. Padahal belum pernah belum pernah ada orang yang
menekuni usaha membuatkan ketujuh material bangunan tersebut sekaligus. Dari segi
keahlian memasang alat-alatnya sehingga dapat berdiri tegak suatu bangunan, juga
tidak dapat di kuasai sendiri.
Sementara untuk memenuhi tuntutan terselangganya ibadah secara berjamaah,
tentu tempat ibadah itu harus dapat menampung sejumlah tertentu, bukan untuk orang
seorang. Pendeknya untuk mendirikan tempat ibadah khususnya masjid, pasti
memerlukan banyak orang. Sejumlah orang yang diperlukan untuk membangun suatu
tempat ibadah itu harus terikat dalam suatu kerjasama yang rapih, sehingga jelas dan
tanggung jawabnya masing-masing, tetapi masalahnya, dapatkah terkumpul sejumlah
orang tanpa didahului oleh proses sosialisasi?/ ini berarti pula, dapatkan terwujud
kerjasama antara tukang tembok, tukang kayu, tukang genting, tukang cat dan
sebagainnya, tanpa melalui proses sosialisasi terlebih dahulu? Disitulah perlunya
seorang A mendatangi B,C,D dst. Sementara E mengontak F,G,H dst sehingga
berlangsunglah proses sosialisasi sebelum tapi dalam rangka kerja sama membangun
sebuah tempat ibadah. Nah itu berarti kooperasi atau kerjasama menjadi pendorong
bagi orang-orang beragama, khususnya islam untuk melakukan proses sosialisasi.
Sebagaimana dalam masyarakat lain, dalam kelompok orang bergama pun
bekerjasama seperti itu tidak dapat dielakkan, apalagi di tengah-tengah persamaan
pendirian bahwa sentral pengabdian manusia diarahkan kepada yang maha kuasa. Jadi
dalam masyarakat agama, inti orientasi hidup bermasyarakat itu senantiasa dipusatkan
kepada tuhan istimewannya pengabdian tuhan itu bukan sebatas harus hadir, tapi
bahkan selalu aktual dalam kurun waktu yang manapun. Aktualisasi juga bahkan
sebatas menuntut penyesuaian waktu, sebagaimana tidak dapat hanya di ukur oleh
tuntutan hidup seseorang diri dalam suatu daerah tertentu, melainkan tetap bergantung
pada komunitas bermasyarakat kenyataannya, masyarakat pun tidak akan berkembang
tanpa terjalin kerjasama dan pembagian tugas masing-masing antar individunya.
Akhirnya tetap kembali pada prinsip semula, yakni tidak akan terjadi kerja sama
apabila tidak di dahului oleh proses sosialisasi.

2. KOMPETISI
Kata “kompetensi” dalam bahasa Inggis competititon merupakan kata benda.
Kata itu berasal dari kata kerja to compete, artinya perjuangan untuk memperoleh
superioritas. Sebagai kata benda menurut Sykes kompetensi artinya sebagai kegiatan
saling berlomba, semisal dalam ujian, usaha dan sebagainnya; tau kegiatan saling
berlomba, semisal dalam ujian, usaha dan sebagainnya; atau kegiatan yang bersifat
adu kecakapan yang melibatkan pribadi-pribadi untuk memperoleh yang terbaik.
Itu berarti bahwa kompetensi itu tumbuh karena adanya hajat dan kebutuhan
manusia yang di dasarkan atas ketidakpuasan yang tidak putus-putusnya, pada pihak
lain di sediakan barang, prestise dan keuntungan yang merupakan hadiah bagi
keberhasilan kompetensi tersebut. Dari uraian itu dapat di batasi bahwa kompetensi
adalah usaha yang bersifat adu kecakapan atau lomba kemampuan yang dilakukan
oeh setiap orang untuk memeperoleh prestasi atau prestise, baik bersifat/materi
maupun berupa penghargaan dan penilaian moral, semisal kalau A dan B bermain
bulutangkis didalamnya terkandung nilai kompetisi, karena sudah ada unsur ingin
memperoleh prestasi yang lebih baik satu sama lain dari lawannya, sebagaimana satu
sama lain juga ingin dhargai, paling tidak penghargaan moral, dan apabila mungkin
pada tingkat tertentu akan memperoleh imbalan materi.
Pada dasarnya kompetesi itu dilakukan oleh setiap orang secara alamiaha,
walaupun dalam perkembangan selanjutnya untuk maksud-maksud tertentu kompetisi
itu di formalkan sedemikian rupa disertai imbalan perolehan terutama yang bersifat
materi.
Sementara di sisi lain, dari lingkunganlah manusia endapatkan unsur-unsur yang
di perlukannya unuk produksi dan konsumsi. Kebutuhan dasar manusia itu meliputi:
a. Kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati
b. Kebutuhan dasar untuk memilih kelagsungan hidup manusiawi dan derajat
kebebasan memilih hanyalah muugkin apabila kelangsungan hidup hayati terjamin
dan terpenuhi.
Kalau prinsip kompetisi itu didampingkan dengan tuntutan aktualisasi diri disertai
upaya memperoleh dengn tuntutan aktualisasi diri disertai upaya memperoleh nilai
tambah terhadap kenyataan yang ada dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
Karena itu apabila aktualisasi diri itu berkembnag, maka akan terjadilah empat hal
sebagai berikut:
a. Aktualisasi diri itu akan menumbuhkan ukuran dan tuntutan yang melebihi
keadaan apa yang ada pada diri seseorang. Artinya ia akan menuntut sesuatu yang
melebihi apa yang sudah dimilikinya, serta mengharapkan balasan yang lebih besar
dari pa yang di lakukannya.
b. Aktualisasi diri akan berakibat meningkatnya kemampuan seseorang secara
berkelanjutan. Peningkatan ini bisa terjadi mungkin karena membaca buku, majalah,
mengikuti kursus dan lain-lain, atau melalui perjalanan tertentu, termasuk anjang
sono.
c. Aktualisasi diri juga akan dapat menigkatkan pengertian-pengertian, sehingga
menjadi orang yang selalu ddorong untuk meninginginkan perolehan lebih dari apa
yang ada pada dirinya. Sebab dengan eningkatkan penegrtian akan meningkat pula
keingintahuannya
d. Aktualisasi diri mendorong seseorang untuk mau memanfaatkan segala
kemampuan dan bakat yang di miliknya, bahkan akan berusaha menegmbangkan
kemampuan bagi dirinya dengan menyediakan modal yang sekecil-kecilnya.
Sekarang kita dapat memahami hubungan antara kompetesi dengan aktualisasi
diri. Namun masih ada masalah lain, apakah ada hubungan antara kompetisi dan
proses sosialisasi? Kalau ada, bagaimana logikanya kompetisi dapat mendorong
seseorang unutk melakukan interaksi sosial? Pertanyaannya sederhana, dan memnag
keduanya ada hubungannya, mengingat kompetisi disini dapat di pandang sebagai
tujuan tersembunyi yang di harapkannnya, sednag proses sosialisi merupakan
perantara yang dapat menyampaikan pad aperalihan tujuan tersebut.

3. KONFLIK
Konflik adalah kesulitan meneyeasikan pertentangan yang dialami oleh seseorang
karena dihadapkan pada keinginan-keinginan yang tidak dapat di persatukan atau
didamaikan. Atau juga bisa sebagai penyimpangan atau pertentangan sosial
berdampak terhadap individu.
Ada dua jenis konflik yang dapat di ketahui: (1) konflik intern/individu, (2) konflik
ektern/ antar anggota sosial.
a. Konflik intern/individu.
Dari sekian banyak pertimbangan, konflik jenis ini terjadi karena sesorang
menghadapi dua pilihan atau lebih yang sama nilainya, tanpa dapat digabungkan
sekaligus. Dalam penampakannya Atwater membagi konflik ini ke dalam empat
kategori. Yaitu:
1) Pendekatan-pendekatan
Dua orang kebutuhan keinginan atau pilihan yang merupakan dambaan yang
saling bergantung akan menciptakan konflik yang bersifat pendekatan-pendekatan.
Dalam hal ini orang dituntut memutuskan dan menentukan pilihan terhadap dua
pekerjaan yang di pandang sama baiknya. Dalam kehidupan beragama jelas konflik
seperti ini buhan hanya ada, tetapi sering terjadi, misalnya orang islam terjebak harus
memillih antara membaca Al-Qur’an atau menegrjakan shalat sunnah, padahal
keadaan suasananya sangat mendesak, karena ia berada ada stasiun pemberhentian
kereta api. Apabila faktor ketidaktahuan dan rasa berdosa itu berakumulasi, tidak
mustahil untuk mengatasi konfliknya, orang akan meminta nasehat kepad A,
berkonsultasi dengan B, atau hanya sebatas menyatakan kebutuhan dan kesesalan
kepada C, dan seterusnya. Dorongan untuk berinteraksi seperti ini dapat berlangsung
karena mendengar orang lain atau membaca suatu tulisan, sebelum ia mengalami
sendiri. Dengan suatu konflik orang beragama akan terdorong untuk melakukan
proses sosialisasi.

2) Penghindaran-Penghindaran
Dalam konflik jenis ini, orang akan terpaksa harus memilih dua alternatif yang
sama-sama tidak mneyenagkan, kedua alternatif itu bersifat negatif, tapi melekat pada
diri seseorang dan tidak mungkin di persatukan.
Dalam konteks kehidupan beragama, tidak mustahil seorang ibu yang sedang hamil
mengalami konflik karena disarankan oleh dokter unutk tidak berpuasa karena untuk
kesehatan si bayi dalam kandungannya, menghadapi keadaaan seperti itu sang ibu
berpikir, apakah membatalkan puasanya demi anak, atau meneruskan puasa, tapi
keselamatan anak terancam? Dan itulah contoh khusus dari peghindaran-
penghindaran.

3) Pendekatan Penghindaran
Berbada dengan dua kategori di atas konflik jenis ini terjadi karena orang harus
menuntaskan, pakah mendekati dan meraih sesuatu yang menyenangkan atau
menghindari yang memuakan. Misalnya, kalau seseorang menggunakan uang untuk
memebli baju, berarti ia harus membiarkan di dalam suasana kalut di rumah, akrena
uangnya tidak dapat di gunakan untuk rekreasi atau anjang sono pada keluarga dekat.
Lalu dalam konflik ini yaitu pendekatan dan pehindaran orang bergama akan terpaksa
melakukan proses sosialisasi.

4) Multi pendekatan dan penghindaran


Dalam konflik seperti ini terkumpul harapan, keinginan dan kewajiban yang
dapat mendatangkan kesenangan dengan melarang yang pasti membuat orang bosan
dan menyebalkan. Misalnya.Ali adalah anak orang kaya yang pada mulanya setelah
tamat SMA, ia berketetapan untuk tidak melanjutkan sekolah, namun setelah
mengikuti pengajian, ia memperoleh kepastian bahwa menuntut ilmu itu hukumnya
wajib. Menyadari kedudukannya sebagai seorang muslim, ia memantapakan diri
untuk kuliah walaupun sudah hampir dua tahun ia tidak aktif belajar. Artinya konflik
seperti ini pulalah maraknya kontak dan interaksi sosial.

b. Konflik Eksternal antar anggota sosial.


Kalau kita mempelajari perkembangan kehidupan beragama, sejak dari dulu
sampai sekarang agaknya tidak akan pernah berakhir mengenai adanya perbedaan
agama. Dilihat dari banyak sedikitnya penganut suatu agama, kita dapat
mengklasifikasi ke dalam agama besar dan agama kecil walaupun sukar menetapkan
batas-batas besar-kecilnya suatu agama, akan tetapi COLE dalam pengantar buku
perbandingan agama, menyebutkan agama-agama Hindu, Yahudi,Nasrani, Islam dan
Sikh sebagai lima agam besar di dunia, karena kelima agama inilah yang paling
banyak di jumpai di berbagai negara yag dapat didekati dengan menggunakan bahasa
inggris sebagai lata komunikaisnya. Di Indonesia saja dalam agam islam terdapat
NU,Muhammadiyah, Persis dan PUI (persatuan umat islam), dll. Begitu juga dalam
agam hindu, yahudi, nasrani atau sikh terdpat sekte-sekte yang dari kacamata tertentu
dapat di pisahkan satu sama lain, nah, perbedaan-perbedaan itulah yang dapat menjadi
pangkal munculnya konflik dikalangan ornag beragama dengan berbagai variasinya.

4. AKOMODASI
Akomodasi adalah suatu suatu keadaan hubungan antara kedua belah pihak yang
menunjukkan keseimbangan yang berhubungan dengan nilai dan norma-norma sosial
yang berlaku dalam masyarakat.
Bentuk-bentuk akomodasi adalah sebagai berikut :
1) Coercion(koersi) adalah bentuk akomodasi yang proses pelaksanaannya
menggunakan paksaan. Pemaksaan terjadi bila satu pihak menduduki posisi kuat,
sedangkan pihak lain dalam posisi lemah.
2) Compromise(kompromi) adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak
yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap
perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah
bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak
lainnya dan begitu pula sebaiknya.
3) Arbitration adalah suatu cara untuk mencapai kompromi apabila pihak-pihak
yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh
pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atauoleh satu badan yang
berkedudukan lebih tinggi dari pihakpihak yang bertentangan.
4) Mediation hampir menyerupai arbitration. Adanya pihak ketiga yang
mengusahakan suatupenyelesaian secara damai.Kedudukan pihak ketiga hanyalah
sebagai penasehat belaka.
5) Concilation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak
yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
6) Toleranion juga dinamakan tolerant-participation.Ini merupakan suatu bentuk
akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya.Dalam bentuk ini terkadang
timbul secara tidak sadar dan tanpa direnanakan karena adanya watak orang-
perorangan atau kelompokkelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindari
diri suatu perselisihan.
7) Stalemate adalah suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena
mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada satu titik tertentu dalam
melakukan pertentangannya. Hal ini disebabkan karena bagi kedua belah pihak sudah
tidak ada kemungkinan lagi baik untuk maju maupun untuk mundur.
8) Ajudication adalah penyelesaian perkara melalui pengadilan.
Akomodasi adalah usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan.
Akomodasi dilakukan dengan tujuan tercapainya kestabilan dan keharmonisan dalam
kehidupan.Akomodasi dalam masyarakat dilakukan dalam meminimalisir
perbedaanperbedaan yang terjadi pada masyarakat, namun lebih mengedepankan
persamaan-persamaan yang ada dalam kehidupan masyarakat; seperti persoalan
kesulitan hidup atau kemiskinan yang banyak dialami oleh kebanyakan masyarakat,
kondisi ini menjadi pintu tejalinnya kebersamaan dalam mengupayakan meningkatkan
tarap kehdupan masyarakat .Artinya, Akomodasi merupakan bentuk penyelesaian
tanpamengorbankan salah satu pihak.Adakalanya, pertentangan yang terjadi sulit
diatasi sehingga membutuhkan pihak ketiga sebagai perantara. Adapun tujuan
akomodasi adalah untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau
kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat perbedaan yang muncul dalam
kehidupan.Memungkinkan terwujudnya kerja sama antara kelompok-kelompok sosial
yanghidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan.
5. ASIMILASI
Jean Peaget mengartikan asimilasi sebagai proses merubah suasana menjadi
bagian dari organisme manusia untuk kemudian di sesuaikan dengan tuntutan
lingkungan yang di hadapinya. Secara sosiologik, asimilasi itu merupakan suatu
proses yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan kelompok hilang secara berangsur-
angsur.
Untuk mengukur berarti tidaknya pengalaman agama yang dihasilkan oleh prses
asimilasi, bisa jadi dapat di gunakan empat pertimbangan yang diajukan oleh
WIEMAN sebagai berikut:
a. Mungkinkah pada saatnya orang akan dapat mengembangkan pengabdiannya
terhadap tuhan secara lebih berarti bagi dirinya?
b. Sejauhmana kemungkinan pemanfaatan pengalaman lama dalam pengalaman
barunya yang lebih segar dan lebih kuat/
c. Sejauhmana pengalaman baru yang akan dilakukannya itu dapat membebaskan
dirinya dari ketegangan-ketegangan dan ketidakleluasannya akibat beban yang
dialami dari pengalaman lainnya?
d. Sejauhmana pengalaman baru itu dapat mempercepat pengertian mengenai
kesempurnaan pengalaman barunya sebagai dasar pertimbangan untuk meninggalkan
pengalaman lainnya.

Jadi, asimilasi merupakan pembauran suatu kebudayaan yang disertai dengan


hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru dan
asimilasi ini ditandai dengan usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau
kelompok

REFERENSI
Buku
Baihaqi , Wildan. 2012. Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri
Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama (Bandung : Nuansa
Aulia,2007).
Jurnal
Al-Adyan, P-ISSN: 1907-1736, E-ISSN: 2685-3574
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan Volume 13, Nomor 2, Juli-
Desember, 2018

BAB 7 PERKEMBANGAN AGAMA PADA ANAK


dalam pandangan para psikolog agama, perkembangan keberagamaan pada anak
melalui tiga tahapan penting, yaitu sebagai berikut :

1. The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng). Hal ini ditandai dengan kesenangan


anak-anak bercerita hal-hal yang luar biasa seperti kebesaran, kehebatan, dan
kekuatan Tuhan. Tidak jarang anak membandingkan Tuhan dengan tokoh-
tokoh yang ia kenal seperti Power Rangers.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan). Ini tampak dengan mulai
pahamnya anak-anak tersebut tentang wujud Allah swt sebagai sosok yang
Maha Besar dan Maha Kuat, serta pencipta. Dari sini anak menyadari bahwa
kepatuhan kepada-Nya adalah suatu yang lumrah dan mesti. Inilah yang
menyebabkan mereka bergairah mengikuti acara-acara keagamaan.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu). Tanda ini terlihat pada sensitivitas
keberagamaan anak. Tahap ini dibagi kepada tiga golongan :
1. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif. Anak takut
kemurkaan Allah; dan neraka; sedangkan orang baik akan dimasukkah
surga, sebuah  taman bermain yang indah.
2. Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pendangan
yang bersifat personal (perorangan). Di sini anak ingin meniru Tuhan
dan dekat dengan-Nya; Ingin merasakan sentuhan kasih Tuhan dan
menampung internalisasi kekuatan Tuhan.
3. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Tanda ini tampak pada
pengakuan mereka akan pentingnya keadilan. Buruknya perbuatan
jahat, sehingga jika melakukannya anak akan gelisah, bingung, sedih,
dan juga malu.

 Adapun ciri dan sifat keberagamaan pada anak-anak sebagai berikut :

1. Unreflective (tidak mendalam). Ini kentara sekali pada ciri antropomorfisme,


yang mengungkapkan Tuhan seperti makhluk lainnya, misalnya punya mata,
punya telinga, dan lainnya.
2. Egosentris (Egocentric Orientation). Anak mengharapkan adanya imbalan
bagi semua aktivitas yang dilakukannya. Pada sisi lain anak cenderung tidak
mau disalahkan, tetapi senang mendapat pujian.
3. Eksperimentasi (Experimentation). Anak mengharapkan pembuktian akan
keyakinan yang ada dibenaknya.
4. Inisiatif (Initiative), misalnya ditandai dengan pikiran bahwa ia mudah keluar
dari kepungan api neraka, karena pengalamannya setiap berbuat kesalahan
tidak mendapatkan azab yang sering ditakut-takutan.
5. Spontanitas (Spontaneity). Misalnya, tampak pada pertanyaan atau jawaban
yang dilontarkan anak dengan polosnya. Dia mengemukakan persis seperti apa
yang diberitahukan guru atau orang tuanya.
6. Verbalis dan Ritualis, yang diindikasikan dengan hapalan-hapalan yang tanpa
makna. Saat ditanyakan “Apakah marah itu perbuatan baik atau buruk?”
Mereka menjawab, “Buruk!”. Kemudian saat diajukan proposisi logis, “kalau
begitu Allah, dan orang tuanya sering berbuat buruk karena sering marah-
marah.” Anak bingung dan gelisah.
7. Imitatif, tampak pada peniruan yang nyata dilakukan anak, seperti berdoa dan
salat. Pembiasaan keluarga sangat berpengaruh pada anak, seperti berdoa mau
makan, tidur, senang ke mesjid beramai-ramai.
8. Rasa Heran dan Kagum,  yaitu ditandai dengan keinginan kuat anak menjadi
sakti dan mendapat limpahan kekuatan Tuhan. Mempertanyakan kehebatan
dan kebesaran Tuhan yang menjadi pencipta manusia.

Sedangkan alur pembentukan pengetahuan keagamaan anak tersebut terjadi dalam


enam tahap, sebagai berikut :

1. Fitrah yang merupakan format khusus penciptaan manusia. Meskipun awalnya


tidak mendalam, tetapi menjadi model dan modal yang berharga bagi
perkembangan keberagamaan anak.
2. Pengetahuan imajinatif yang membuat anak penuh khayalan-khayalan.
Imajinasi ini menjadikan anak manafsirkan secara sendiri akan berbagai
informasi yang diterimanya selama ini dari lingkungan sekitarnya.
3. Pencarian dialektik yang dilakukan dengan melemparkan berbagai pertanyaan
dan menanggapi secara spontanitas berbagai jawaban yang diberikan untuk
mendapatkan informasi yang lebih banyak.
4. Pencarian maknawiyah yang diindikasikan dengan perilaku religius dan ritual-
ritual yang fantastis, penuh eksperimentasi, inisiatif, dan imitative. Pencarian
maknawiyah ini memberikan peran penting untuk membentuk sikap dan
pandangan anak terhadap agama, karena hal ini berhubungan secara langsung
dengan pengalaman dirinya sendiri saat memasuki ranah keberagamaan
dengan berbagai ajaran dan ritual-ritualnya.
5. Internalisasi pengetahuan ke dalam pikiran dan benak anak sehingga menjadi
bagian dari kehidupan dan keyakinannya. Ini bermanfaat untuk memberikan
respon terhadap informasi-informasi baru. Respon ini bisa lahir dalam bentuk
kompromi, complaince, atau juga konfrontatif.
6. Keyakinan yang dipegang teguh. Prinsip ini juga berbeda pada tiap anak yang
secara sederhana dapat digolongkan kepada dua yaitu keyakinan yang bersifat
statis dan keyakinan yang bersifat dinamis. Keyakinan yang statis berarti
adalah keyakinan yang tidak berkembang dan sulit menerima informasi baru
yang menggugat keyakinannya. Sedangkan keyakinan dinamis merupakan
keyakinan yang penuh dengan kreatifitas, selektifitas, dan analisis kritis
terhadap informasi-informasi baru yang diterimanya.

REFERENSI
https://liputanislam.com/keluarga/tahap-tahap-perkembangan-keagamaan-pada-anak/

BAB 8 PERKEMBANGAN AGAMA PADA REMAJA


Dalam pembagian tahapan perkembangan manusia, maka masa remaja
menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja
mencakup masa juvenilitas (adolescantium), pubertas, dan nubilitas.
Masa remaja disebut juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan
antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan
perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rokhaniyah dan
jasmaniyah. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama
para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para
remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada remaja
banyak berkaitan dengna faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor
perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain :[2]
a.       Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-
kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajran agama
mulai timbul. Selain masalah agama merekapun sudah tertarik pada masalah
kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
b.      Perkembangna perasaan
Perekembangan telah berkembangna pada masa remaja. Perasaan sosial, etis,
dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam
lingkungannya.
Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah
hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan
dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa
remaja merupan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan
perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan seksual yang negatif.
c.       Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial.
Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangna moral dan
material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi
lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung
jiwanya untuk bersikap materialis.
d.      Perkembangan moral
Perkembangna moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk
mencapai proteksi. Tipe moral yanh juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1.      Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan
pertimbangna pribadi.
2.      Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3.      Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan
agama.
4.      Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan
moral.
5.      Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral
masyarakat.
e.       Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat
kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang
mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).

f.        Ibadah
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Ross dan Oskar Kupky
menunjukkan bahwa hanya 17 % remaja mengatakan sembahyang bermanfaat untuk
berkomunikasi dengan tuhan, sedangkan 26% diantaranya menganggap bahwa
sembahyang hanyalah merupan media untuk bermeditasi
Masa Remaja Pertama (13 – 16 tahun)
Setelah si anak melalui usia 12 tahun, mereka memasuki  masa goncang,
karena pertumbuhan cepat di segala bidang. Pertumbuhan jasmani yang pada usia
sekolah tampak serasi, seimbang dan tidak terlalu cepat, berubah menjadi goncang.
Semua perubahan jasmani yang nampak pada usia ini menyebabkan
kecemasan pada remaja. Bahkan kepercayaan kepada agama yang telah tumbuh
mungkin juaga mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya. Maka
kepercayaan remaja terhdap tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang
pula menjadi ragu dan berkurang. Hal ini nampak pada cara ibadahnya yang kadang
rajin dan kadang-kadang malas. Perasaannya kepada tergantung pada perubahan
emosi yang sedang dialaminya.
Dalam kondisi yang demikian hendaknya guru agama memahami keadaan
anak yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang
berjalan sangat cepat itu dan semua keinginan, dorongan dan ketidak stabilan
kepercayaan itu. Dengan pengertian itu, guru agama dapat memilihkan penyajian
agama yang tepat bagi mereka, kegoncangna perasaan dapat diatasi.
Masa Remaja Akhir (17 – 21 tahun)
Disamping perkembangan, pertumbuhan dan kecerdasan semakin berkembang,
berbagai ilmu pengetahuan yang bermacam-macam juga diterima oleh anak usia
remaja sesuai dengna keahlian dibidang masing-masing telah memenuhi otak remaja.
Di samping itu semua remaja sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan
kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga imgim mengembangkan agama,
mengikuti perkembangan dan alun jiwanya yang sedang tumbuh pesat saat itu. Cara
menerima dan menanggapi pendidikan agama jauh berbeda dengna masa sebelumnya,
mereka ingin agar agama menyelesaikan kegoncangan dan kepincangan-kepincangan
yang terjadi di masyarakat.
Banyak faktor lain yang menyebabkan kegoncangan jiwa remaja, oleh karenya
sebagai seorang pendidik kita harus dapat memahaminya, agara dapat menyelami jiwa
remaja tersebut, lalu membawa mereka kepada ajaran agama, sehingga ajaran agama
yang mereka dapat betul-betul dapat meredakan kogoncangan jiwa mereka.

REFERENSI
https://alfallahu.blogspot.com/2013/04/perkembangan-keberagamaan-pada-
remaja.html
Prof.DR.Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama , 1996. (PT.Bulan Bintang: Jakarta)hal.
119

BAB 9 PERKEMBANGAN AGAMA PADA USIA DEWASA


   Sikap Keberagamaan pada Orang Dewasa
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a.       Masa Dewasa Awal (Masa Dewasa Dini/Young Adult)
b.      Masa Dewasa Madya (Midle Adulthood)
c.       Masa Dewasa Lanjut (masa tua/older adult)[2]
Pembagian senada juga diungkap oleh beberapa ahli psikologi. Lewis Sherril,
misalnya, membagi masa dewasa sebagai berikut:
a.       Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan
diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b.      Masa dewasa tengah, sudah mulai menghadapi tantangan hidup, sambil
memantapkan tempat dan mengembangkan filsaafat untuk mengolah kenyataan yang
tidak disangka-sangka. Jadi masalah sentral pada masa ini adalah mencapai
pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat
keputusan secara konsisten.
c.       Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan
kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan  lebih berpusat pada hal-
hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia
tua.[3]
Charlotte Buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada periode
prapubertas, periode pubertas dan periode adolesen dengan semboyan yang
merupakan  ungkapan batin mereka. Di periode prapubertas oleh Charlotte dengan
kata-kata: “Perasaan saya tidak enak, tetapi tidak tahu apa sebabnya.” Untuk
periode pubertas ia melukiskan sebagai berikut: “Saya ingin sesuatu, tetapi saya
tidak tahu ingin akan apa.” Adapun dalam periode adolesen, ia mengemukakan
dengan kata-kata: “Saya hidup dan saya tahu untuk apa.”
Kata-kata yang digunakan Charlotte tersebut mengungkapkan betapa masih
labilnya kehidupan jiwa anak-anak ketika menginjak usia menjelang remaja dan di
usia remaja mereka. Sebaliknya, saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya
kemantapan jiwa mereka: “Saya hidup dan saya tahu untuk apa.” menggambarkan
bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah
menyadari makna hidup. Dengan kata lain, orang dewasa sudah memahami  nilai-
nilai yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang
dipilihnya. Orang dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian
yang mantap.[4]
Kemantapan jiwa orang dewasa ini setidaknya memberikan gambaran tentang
bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki
tanggung jawab terhadap system nilai yang dipilihnya, baik system nilai yang
bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain
dalam kehidupan. Pokoknya, pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas
pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap
keberagamaan seseorang di usia dewasa sulit untuk diubah. Jika pun terjadi
perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan atas pertimbangan yang
matang.
Sebaliknya, jika seorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai
nonagama, itu pun akan dipertahankannya sebagai pandangan hidupnya.
Kemungkinan ini member peluang bagi munculnya kecenderungan sikap yang
anti agama, bila menurut pertimbangan akal sehat, terdapat kelemahan-kelemahan
tertentu dalam ajaran agama yang dipahaminya. Bahkan tak jarang sikap
antiagama seperti itu diperlihatkannya dalam bentuk sikap menolak hingga ke
tindakan memusuhi agama yang dinilainya mengikat dan bersifat dogmatis.[5]
Sikap keberagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan
atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga
dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran
agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap
hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan.[6]
Sementara menurut Ericson, masa dewasa muda merupakan pengalaman
menggali keintiman (intimacy), kemampuan untuk membaurkan identitas anda
dengan identitas orang lain tanpa takut bahwa anda akan kehilangan suatu dari diri
anda.
Masa dewasa tengah merupakan masa produktivitas maksimum. Pada masa ini
kekuatan watak yang muncul, perhatian (care) rasa prihatin dan tanggung jawab
yang menghargai siapa yang membutuhkan perlindungan dan perhatian.
Sementara itu, masa dewasa akhir merupakan  masa kematangan. Masalah
sentral dalam masa ini adalah menemukan kepuasan bahwa  hidup yang
dijalaninya merupakan penemuan dan penyelesaian pada masa tua, terjadi
integrasi emosional, sehingga oleh Ericson disebut sebagai pencapaian
kebijaksanaan (widsom). Masa dewasa akhir disebut juga dengan masa usia lanjut.
Ciri-ciri sikap keberagamaan pada masa dewasa:
1.      Menerima keberadaan agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang,
bukan sekedar ikut-ikutan;
2.      Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan
dalam sikap dan tingkah laku;
3.      Bersifat positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk
mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan;
4.      Tingkat ketaatan keagamaan didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri 
hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup;
5.      Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas;
6.      Bersikap lebih kritis  terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama
selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati
nurani;
7.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-
masing, sehingga perhatian terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima,
memahami serta melaksanakan ajaran agama.
Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial,
sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah
berkembang.[7]

REFERENSI
[2]Elizabeth, B., Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm.
13.
[3]Crapps Roberth W., Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), hlm. 31.
[4]Jalaluddin, Op. Cit., h. 106.
[5]Ibid., h. 107.
[6]Ibid., h. 108.
[7]Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 95

BAB 10 PERKEMBANGAN AGAMA PADA ORANG USIA TENGAH


UMUR DAN USIA LANJUT
A. Periodesasi Orang Usia Tengah Umur dan Usia Lanjut
Pada saat orang menginjak periode ini, baik laki-laki maupun
perempuan, keadaan dan perkembangan agamanya dapat diklasifikasi ke dalam
dua periode, yaitu :
1. Periode peningkatan yang berlangsung antara usia 40-an sampai 50-an.
Menurut hasil pengutipan Michael Argylr dan Benjamin Beit Hallami
(1957, hal 67) peningkatan itu terjadi pada pelaksanaan ibadah, pandangan
mereka terhadap nilainilai agama, perssepsi dan perhatian mereka terhadap
pentingnya agama bagi kehidupan. Bahkan menurut Elizabeth B Hurlok
sendiri, perhatian orang-orang usia tengah umur terhadap tempat-tempat
ibadah dan kegiatan keagamaannya menjadi lebih meningkat dibanding
dengan keadaannya pada waktu mereka masih muda walaupun hal itu
dilakukan karena alasan-alasan tertentu dari pada karena alasan kesadaran
beragama semata-mata. Orang-orang usia ini, terutama kaum wanitanya
yang lebih mempunyai waktu luang atau tanggung jawab dalam
keluarganya yang lebih terbatas, kehidupan keagamaannnya justru akan
dirasakan dapat mengisi kebutuhan hidupnya.
2. Periode penurunan yang berlangsung antara usia 50-60 tahun-an. Tendensi
penurunan ini ditandai oleh tiga hal, yaitu : a. Mereka tidak begitu
khawatir atau cemas terhadap masalah-masalah agama; b. Keyakinan
agamanya tidak begitu dogmatis sehingga terjadi penurunan keyakinan
bahwa agama yang benar hanya satu, c. mereka lebih skeptis terhadap
masalah syetan dan iblis, neraka atau kekuatan ghaib lainnya yang dapat
memberikan gambaran kengerian. Kenyataan ini diduga ada hubungannya
dengan pandangan hidup mereka menghadapai masa depan eksistensi
dirinya, mungkin sajad seseorang akan lebih tajam menganalisa persoalan
hidup yang dihadapinya.

B. Karakteristik Orang Usia Tengah Umur dan Usia Lanjut


a. Karakteristik Orang Usia Tengah Umur
1. Usia tengah umur merupakan periode khawatir dan takut. Masa dewasa
madya dikatakan masa yang menakutkan karena kondisi fisik seseorang
mulai mengalami penurunan, untuk wanita mulai mengalami
monopause yang berarti potensi untuk mengandung dan melahirkan tak
memungkinkan lagi.
2. Masa dewasa madya adalah masa transisi. Karena pada masa dewasa
madya ini seseorang mengalami peralihan yaitu tidak dapat lagi disebut
muda namun juga belum dapat dikatakan tua dan peralihan dari usia
muda yang penuh dengan kekuatan fisik dan pengalaman-pengalaman
indah menuju masa tua yang yang diliputi perasaan suram, baik fisik
maupun pengalaman hidupnya.
3. Masa usia tengah umur/dewasa madya ini adalah usia yang berbahaya.
Disebut usia berbahaya karena pada usia ini relative lebih sering
mengalami gangguan fisik maupun mental. Misalnya kondisi fisik pada
usia ini berbagai penyakit misalnya hipertensi, diabetes dll mulai
menghampiri, sedangkan dari segi psikologis mereka menjadi lebih
peka dalam arti mudah tersinngung hingga depresi.
4. Masa Berprestasi. Dikatakan masa berprestasi misalnya dalam
kehidupan karir masa dewasa madya adalah masa dimana mereka
mencapai puncak prestasi dan memiliki posisi penting dalam
perusahaan, pendidikan atau pemerintahan.
5. Masa Sepi. Dikatakan masa sepi misalnya karena pada usia dewasa
madya, anak -anak mereka sudah mulai meninggalkan rumah untuk
hidup dengan pasangan hidupnya.

b. Karakteristik Orang Usia Lanjut


1. Usia Tua merupakan periode penurunan. Penurunan ini bisa disebabkan
oleh faktor fisik, yakni karena sel-sel tubuh sudah tidak dapat
melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya.
2. Usia tua merupakan periode dimana pengaruh umur tidak senantiasa
dominan terhadap semua orang. Maksudnya, perspektif bahwasanya
semakin tua usia seseorang maka akan semakin serba susah hidupnya
itu tidak berlaku kepada semua orang. Karena pada umumnya keadaan
seseorang tersebut akan berbeda sesuai dengan anugerah dari Tuhan,
berbeda karena keadaan sosial ekonominya, latar belakang
pendidikannya, dan berbeda pola hidupnya.
3. Usia tua merupakan kelompok minoritas, yang mana adanya sikap
negatif tentang usia lanjut. Artinya dalam interaksi sosial, kelompok
orangtua dipandang mempunyai andil yang terbatas sekali. Kebanyakan
masyarakat juga menganggap orang berusia lanjut tidak begitu
dibutuhkan karena energinya sudah tidak dibutuhkan. Tetapi disisi lain,
ada masyarakat yang masih menghormati orang yang berusia lanjut
terutama yang dianggap berjasa bagi masyarakat.
4. Usia tua adalah kelompok orang yang memerlukan perubahan peranan.
Karena dalam kehidupan modern ini, tindakan seseorang dipandang
bernilai apabila tindakan itu dilaksanakan dengan penuh efisiensi,
penuh kekuatan dan kecepatan serta menuntut reaksi fisik yang konstan.
5. Penyesuaian diri yang buruk. Penyesuaian diri yang buruk ini timbul
karena adanya konsep diri yang negatif yang disebabkan oleh sikap
sosial yang negatif.
C. Sikap Keberagamaan Orang Usia Tengah Umur dan Usia Lanjut
Religiusitas adalah tingkat konsepsi seseorang terhadap agama dan tingkat
komitmen seseorang terhadap agamanya. Tingkat konseptualisasi adalah tigkat
pengetahuan seseotang terhadap agamanya, sedangkan yang dimaksud dengan
tingkat komitmen adalah sesuatu hal yang perlu dipahami secara menyeluruh.
Sehingga terdapat berbagai cara individu menjadi religius. Saat telah menginjak
usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka, “Saya hidup dan saya tahu
untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki
tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata lain, orang
dewasa memahami nilainilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk
5mempertahankan nilainilai yang dipilihnya. Orang dewasa sudah memiliki
identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap.
a) Sikap Keberagamaan Orang Usia Tengah Umur
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang
matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih bannyak
diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha
untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Bersikap kritis terhadap materi ajaran agama seehinnga kemantapan
beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan
atas pertimbangan hati nurani.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
b) Sikap Keberagamaan Orang Usia Lanjut
Semakin lanjut usia seseorang, biasanya mereka menjadi semakin
kurang tertarik terhadap kehidupan akhirat dan lebih mementingkan
tentang kematian itu sendiri serta kematian dirinya. Pendapat semacam ini
benar, khususnya bagi orang yang kondisi fisik mentalnya yang semakin
memburuk (Elizabeth, 1980:402). Berikut diantara sikap keberagamaan
orang usia lanjut :
1. Meningkatnya kecenderungan menerima pendapat keagamaan.
2. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling
cinta antar sesama manusia serta sifat- sifat luhur.
3. Timbul rasa takut pada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya.
4. Perasaan takut pada kematian berdampak pada peningkatan
pembentukan skap keagamaan dan kepercayaan terhadap kehidupan
abadi (akhirat).

REFERENSI
Baihaqi, W. (2019). Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri.
Iswati, I. (2019). Karakteristik Ideal Sikap Religiustas pada Masa Dewasa. At
Tajdid: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 2(01).
Mulyadi, M. (2015). PERKEMBANGAN JIWA KEBERAGAMAAN PADA
ORANG DEWASA DAN LANSIA. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan
dan Konseling Islami, 1 (1), 44-55

BAB 11 KRITERIA KEMATANGAN BERAGAMA


A.  Kriteria Orang Yang Matang Beragama
Kematangan beragama adalah kemampuan seseorang untuk mengenali atau
memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-
nilai dalam berikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan bergama.
Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kematangan beragama atau kedewasaan seseorang dalam bergama biasanya
ditunjukkan dengan kesadaran keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan
agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama tersebut dalam hidupnya.
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani
dan perkembangan rohani. perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur
kronologis. puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan.
sebaliknya, perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitasi).
Pencapaian tingkat abilitasi tertentu bagi perkembangan rohani biasa disebut dengan
istilah kematangan (maturity). Berdasarkan ilmu psikologi agama, latar belakang
psikologis baik diperoleh berdasarkan faktor intern maupun hasil pengaruh
lingkungan memberi ciri pada pola tingkah laku dan sikap seorang dalam bertindak.
Dengan demikian, Kematangan beragama dapat dipandang sebagai
keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, serta memberi arah pada
kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh
pada ajaran agama.
Dalam buku The varieties of religious experience William James menilai secara garis
besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:

1. Tipe orang yang sakit jiwa (The sick soul)


Menurut William james, sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ditemui
pada orang yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang
terganggu misal seseorang menyakinkan suatu agama dikarenakan oleh adanya
penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah. konflik batin atau
pun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.

2. Tipe orang yang sehat jiwa (Healthy-Mindednes)


Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut N. Star buck yang
dikemukankan oleh W. Houston clark dalam bukunya Religion Psychology adalah
Optimis dan gembira.
Orang yang sehat jiwanya menghayati segala bentuk ajaran agama dengan
perasaan optimis. pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih
payahnya yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan
penderitaan dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang di buatnya tidak
beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia, mereka yakin
bahwa Tuhan bersifat pengasih dan penyayang dan bukan pemberi azab.

B.  Orang yang Matang Beragama Menurut Al-Qur’an


Kriteria yang diberikan oleh Al-Qur'an bagi mereka yang dikategorikan orang
yang matang beragama Islam cukup bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama
pada Surah Al-Mu'minun dan bagian akhir dari Surah Al-Furqan.
1.      Mereka yang khusyu' shalatnya
2.      Menjauhkan diri dari (perbuatan-perbuatan) tiada berguna
3.      Menunaikan zakat
4.      Menjaga kemaluannya kecuali kepada isteri-isteri yang sah
5.      Jauh dari perbuatan melampaui batas (zina, homoseksual, dan lain-lain)
6.      Memelihara amanat dan janji yang dipikulnya
7.      Memelihara shalatnya (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
8.      Merendahkan diri dan bertawadlu'
9.      Menghidupkan malamnya dengan bersujud (Qiyamullail)
10.  Selalu takut dan meminta ampunan agar terjauh dari jahanam
11.  Membelanjakan hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula kikir
12.  Tidak menyekutukan allah, tidak membunuh, tidak berzina
13.  Suka bertaubat, tidak memberi persaksian palsu dan jauh dari perbuatan sia-sia,
memperhatikan Al-Qur'an, bersabar, dan mengharap keturunan yang bertaqwa
(QS. Al-Furqan : 63 - 67)

C.  Orang yang matang beragama menurut As-Sunnah


Rasulullah SAW memberikan batas minimal bagi seorang yang disebut
muslim yaitu disebut muslim itu apabila muslim-muslim lain merasa aman dari lidah
dan tangannya (HR. Muslim). Sementara ciri-ciri lain disebutkan cukup banyak bagi
orang yang meningkatkan kualitas keimanannya. Sehingga tidak jarang Nabi SAW
menganjurkan dengan cara peringatan, seperti: "Barangsiapa beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya hendaknya dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai
dirinya sendiri" (HR. Bukhari). "Tidak beriman seseorang sampai tetangganya merasa
aman dari gangguannya" (HR. Bukhari dan Muslim). "Tidak beriman seseorang
kepada Allah sehingga dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada kecintaan
lainnya..."
Dengan demikian petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kepada seseorang yang
beragama Islam agar dia menjaga lidah dan tangannya sehingga tidak mengganggu
orang lain, demikian juga dia menghormati tetangganya, saudara sesama muslim dan
sangat mencintai Allah Dan Rasul nya.
Ringkas kata, dia berpedoman kepada petunjuk Al-Qur'an dan mengikuti
contoh praktek Rasulullah SAW, sehingga dia betul-betul menjaga hubungan "hablum
minallah" (hubungan vertikal) dan "hablum minannaas" (hubungan horizontal).
Peringatan shahabat Ali r.a. bahwa klimaks orang ciri keagamaannya matang
adalah apabila orang tersebut bertaqwa kepada Allah SWT. Dan inti taqwa itu ada
empat, yaitu:
1.      Mengamalkan isi Al-Qur'an
2.      Mempunyai rasa takut kepada Allah sehingga berbuat sesuai dengan perintah-
perintah Nya dan meninggalkan larangan-Nya
3.      Merasa puas dengan pemberian atau karunia Allah SWT meskipun terasa
sedikit
4.      Persiapan untuk menjelang kematian dengan meningkatkan kualitas keimanan
dan amal shaleh.
Sedangkan Ibnul Qoyyim, ulama abad ke 7, menyebutkan  bahwa orang yang matang
beragama mempunyai 9 kriteria, yaitu:
1.      Dia terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanannya agar
selalu bertambah kualitasnya
2.      Dia terbina ruhiyahnya yaitu menanamkan pada dirinya kebesaran dan
keagungan Allah serta segala yang dijanjikan di akherat kelak, sehingga dia
menyibukkan diri untuk meraihnya
3.      Dia terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan untuk memikirkan ayat-
ayat Allah Al-Kauniyah (cipataan-Nya) dan Al-Qur'aniyah (firman-Nya).
4.      Dia terbina perasaannya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan kepada
allah, senang atau benci, marah atau rela, semuanya karena Allah.
5.      Dia terbina akhlaknya dimana kepribadiannya di bangun diatas pondasi akhlak
mulia sehingga kalau berbicara dia jujur, bermuka manis, menyantuni yang tidak
mampu, tidak menyakiti orang lain dan berbagai akhlak mulia
6.      Dia terbina kemasyarakatannya karena menyadari sebagai makhluk sosial, dia
harus memperhatikan lingkungannya sehingga dia berperan aktif
mensejahterakan masyarakat baik intelektualitasnya, ekonominya, kegotang-
royongannya, dan lain-lain
7.      Dia terbina keamuannya sehingga tidak mengumbar kemauannya ke arah yang
distruktif tetapi justru diarahkan sesuai dengan kehendak Allah. Kemauan yang
mendorongnya selalu beramal shaleh
8.      Dia terbina kesehatan badannya karena itu dia memberikan hak-hak badan
untuk ketaatan kepada Allah karena Rasulullah SAW bersabda : "Orang mukmin
yang kuat itu lebih baik dan dicintai Allah daripada mukmin yang lemah" (HR.
Ahmad)
9.      Dia terbina nafsu seksualnya yaitu diarahkan kepada perkawinan yang
dihalalkan Allah SWT sehingga dapat menghasilkan keturunan yang shaleh dan
bermanfaat bagi agama dan negara.

D.  Kriteria Orang Yang Matang Bergama Menurut  Ahli (Allport: 1993)


Allport, Memberikan Ciri-Ciri Individu Yang Memiliki Kematangan Bergama Yaitu
Sebagai Berikut:
1.      Kemampuan Melakukan Differensi, Artinya Kemampuan Differensi Dengan
Baik Dimaksudkan Sebagai Individu Dalam Bersikap Dan Berperilaku Terhadap
Agama Secara Objektif, Kritis, Reflektif, Berpikir Terbuka Atau Tidak Dogmatis.
Individu Yang Memiliki Kehidupan Bergama Yang Differensiasi, Akan Mampu
Menempatkan Rasio Sebagai Salah Satu Bagian Dari Kehidupan Bergamanya,
Sehingga Pandangan Terhadap Agama Menjadi Lebih Kompleks Dan Realistis,
Tidak Terjebak Dengan Pemikiran Yang Dogmatis.
2.      Berkarakter Dinamis, Artinya Apabila Individu Telah Berkarakter Dinamis,
Agama Telah Mampu Mengontrol Dan Mengarahkan Motif-Motif Dan
Aktivitasnya. Aktivitas Keagamaan Semuanya Dilaksanakan Demi Kepentingan
Agama Itu Sediri.
3.      Konsistensi Moral, Kematangan Beragama Ditandai Dengan Konsistensi
Individu Pada Konsikuensi Moral Yang Dimiliki Dengan Ditandai Oleh
Keselarasan Antara Tingkah Laku Dengan Nilai Moral. Salah Satunya Adalah
Adanya Keselarasan Dan Kesamaan Antara Tingkah Laku Dengan Nilai Agama,
Kepercayaan Tentang Agama Yang Intens Akan Mampu Mengubah Atau
Memtransfomasikan Tingkah Laku.
4.      Komprehensif, Kebergamaan Yang Komprehensif Dapat Diartikan Segabai
Kebaragamaan Yang Luas, Universal Dan Toleran Dalam Arti Mampu Menerima
Perbedaan.
5.      Integral, Keberagamaan Yang Matang Akan Mammpu Mengintegrasikan Atau
Menyatukan Agama Dengan Segenap Aspek-Aspek Lain Dalam Kehidupan
Termasuk Di Dalamnya Dengan Ilmu Pengetahuan
6.      Heuristik, Ciri Heuristik Dari Kematangan Beragama Berarti Individu Akan
Menyadari Keterbatasannya Dalam Beragama, Serta Selalu Berusaha Untuk
Meningkatkan Pemahaman Dan Penghayatan Dalam Bergama. 

REFERENSI

Jalaludin. Psikologi Agama Edisi Refisi 2002, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada


http://krewengcool.blogspot.com/2011/05/kriteria-orang-yang-matang-dalam-
beragama. html
http://imronfauzi.wordpress.com/category/psikologi-agama/

BAB 12 PROBLEMA KEIMANAN


A. Faktor – Faktor Penyebab Problema Keimanan
1. Pertentangan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama
Dilihat dari pemanfaatannya oleh manusia, memang terdapat kesesuaian
antara ilmu pengetahuan dan agama. Secara esensial kehadiran ilmu itu dimaksudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia. Karena itu kehadiran dan
pengembangannya menuntut kebebasan, kelugasan dan kerasionalan. Ilmu
pengetahuan juga menuntut dan melahirkan arus informasi yang lebih intensif,
sehingga dapat merangsang usaha bersama untuk menjadikan penelitian-penelitian
ilmiah lebih relevan dengan kebutuhan umat manusia dan meyakinkan semua negara
mengenai keadaan dan perkembangannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya sendiri.
Pada akhirnya bagi para individu bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan upaya untuk menghasilkan satu interaksi yang mengatur
ekonomi dan masalah-masalah kompleks antara kemasyarakatan dengan pelatihan
para peneliti dan ahli-ahli lainnya untuk mengorganisasi penelitian-penelitian ilmiah
tersebut agar benar-benar manfaat umat manusia (Amaddu - Mahtar M'bow, 1982,
hal. 69).
2. Akibat Mempelajari Agama lain
Dengan terbukanya kesempatan belajar di berbagai lembaga formal untuk
berbagai jenjang, disiplin ilmu dan suasana yang diinginkan, terbuka pulalah bagi
seseorang untuk memperoleh berbagai pengalaman hidup dalam format yang lebih
teratur. Dilihat dari pengaruhnya, tentu saja setiap lingkungan pendidikan dapat
membentuk serta mengarahkan perkembangan pribadi peserta didiknya..
Ilmu perbandingan agama bukanlah ilmu yang menyelewengkan agama islam,
ilmu perbandingan agama sendiri memiliki dampak terhadap keimanan seorang
pemeluk agama islam. Pengetahuan tentang agama islam yang bertambah akan
meningkatkan mutu keimanan seorang muslim. Tidak hanya meningkatkan mutu
keimanan, namun tingkat dakwah seorang pemeluk islam akan bertambah. Informasi
yang telah didapat dan penguatan atas atas perbedaan-perbedaan dari setiap agama
akan meningkatkan rasa bertanggung jawab atas agama yang telah dipeluknya. Dapat
membenarkan apabila terdapat penyelewengan dari setiap pemikiran-pemikiran
negatif atas agama islam ataupun agama lainnya. Dari hal tersebut sudah jelas bahwa
ilmu perbandingan agama bukanlah ilmu yang termasuk penistaan agama. [CITATION
Muh19 \l 14345 ]

3. Menentukan Tujuan Hidup


Orang-orang yang beragama mereka memiliki tujuan hidup yaitu mengabdi
kepada Tuhan. Tetatpi ada pula yang menetapkan bahwa tujuan hidup itu adalah
justru untuk menikmati hidup, atau mencapai kesuksesan, atau berbakti kepaa negara.
Walaupun demikian, kebanyakan orang menjadi ragu-ragu , setelah disadari bahwa
tujuan-tujuan tersebut sebenarnya hanya tujuan hidup umum. Sebaliknya merka tidak
menemukan suatu tujuan lain sebagai pengganti yang lebih esensial dan lebih
memadai. Secara prosedural tujuan hidup itu dapat ditetapkan melalui pergaulan
,pengembangan pikiran, atau mendasar pada literatur dan referensi tertentu.
Formulasinya tentu tidak statis, dan mungkin berkelanjutan untuk berkembang serta
berubah mengikuti tahun – tahun kematangan beragamanya walaupun kebingungan
dan kemuraman akan senantiasa berulang kembali.
4. Tempat Kebebasan Beragama.
Dalam mengaitkan keterikatan seseorang pada agamanya dapat pula dilihat
dari hak dan kewajibannya. Berkenaan dengan hal itu Abdul A’al Maududi membagi
hak dan kewajiban itu kedalam empat hal, yaitu : 1. Hak dan kewajiban terhadap
Yuhannya, 2. Hak dan kewajibankepada dirinya sendiri, 3. Hak dan kewajiban
terhadap sesama,4. Hak dan kewajiban terhadap makhluk lain yang telah memberikan
manfaat kepada dirinya. Dengan aspek hak dan kewajiban itu banyak diukur dan
dipertimbangkan oleh pertanyaan sejauh mana suatu kewajiban itu bisa memberikan
keuntungan dan kepuasan bagi dirinya.
B. Arti Mati dan Hidup Setelah Mati
Keterangan-keterangan agama mengenai arti dan eksistensi manusia setelah
kematiannya. Memang memberikan kesenangan dan ketenangan terhadap sejumlah
orang. Sehingga tidak perlu lagi memikirkan masa depan yang tanpa eksistensi.
Namun hal itu tidak berarti menutup peluang untuk tetap mempertahankan, apa
sebenarnya mati itu? Bukankah Saya pernah berada dalam ketidakadaan saya, dan
pada waktu itu saya tidak merasakan apapun tentang diri saya? Apabila mati itu
berarti kembali pada ketidakadaan. Mengapa saya harus mempercayai adanya hidup
sesudah mati? Apalagi mengapa saya harus mempercayai bahwa wa konon di sana
akan diperoleh ganjaran dan siksaan? Bukankah hal itu justru membuat panik
manusia? Demikian kira-kira ekspresi internal seseorang yang mengalami problema
keimanan.
Kematian
Kematian merupakan ketiadaan hidup atau antonim dari hidup. Manusia dalam
hidupnya mengalami dua kali masa kematian. Kematian pertama dialami oleh
manusia sebelum kelahirannya. Kematian kedua manusia ialah saat manusia
menghembuskan nafas terakhirnya di dunia. Setelah itu manusia akan mengalami
kehidupan yang kekal di akhirat (Shihab, 2001). Kematian tidaklah dipandang sebagai
akhir keberadaan seseorang meskipun tubuh telah tiada namun jiwa diyakini masih
terus hidup (Santrock, 2011). Terdapat beberapa tahap menjelang kematian menurut
Kubler-Ross (1969) dalam Santrock (2011) membagi perilaku dan pikiran dari orang
yang mendekati ajal ke dalam lima tahap, yaitu penolakan dan isolasi, kemarahan,
tawar-menawar, depresi, dan penerimaan.
Makna Kematian
Makna kematian bagi seseorang dapat berubah seiring dengan perubahan usia
manusia. Karena seiring rentang kehidupan manusia akan menemukan
pengalamanpengalaman dalam kehidupannya. Dari situlah manusia mulai dapat
memaknai arti kematian bagi dirinya, ketika manusia melihat sebuah kematian
manusia mulai mencari tahu bagaimana kematian dapat terjadi dan mulai memikirkan
apa yang akan terjadi setelah kematian tersebut .
Berbeda dengan teori manajemen teror (terror management theory) yang
membahas bahwa kematian merupakan suatu tindakan pengantisipasian manusia
ketika ia mengingat suatu kematian. Teori manajemen teror menjelaskan bahwa
kematian merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari namun arti kematian sangat
dipengaruhi oleh self esteem dan keyakinan manusia.
Self esteem merupakan suatu pendorong manusia untuk yakin akan
kepercayaan yang dianutnya. Aspek lainnya yang dapat memengaruhi kematian
manusia dalam teori manajemen teror (terror management theory) ialah pandangan
budaya, dari pandangan budaya yang dianut maka dapat membedakan arti kematian
bagi diri seseorang.
Aspek Makna Kematian
Makna kematian bagi tiap manusia dapat berbeda. Ketika manusia mulai
beranjak dewasa maka manusia mulai memiliki tujuan dalam hidupnya dan dari hal
itulah manusia mulai dapat memaknai kematiannya.
1. Kematian sebagai motivasi (motivation).
2. Kematian sebagai kehidupan baru (afterlife).
3. Kematian sebagai warisan (legacy).
4. Kematian sebagai kepunahan (extinction).
Faktor Makna Kematian
1. Faktor usia.
2. Faktor gender.
3. Faktor pengalaman.
4. Faktor sosiokultural.
5. Faktor religiusitas.

DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi,Wildan. 2019. Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996
Pratiwi,dkk.Makna Kematian pada Wanita Lanjut Usia yang Melajang.2018
Miakahuddin.KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI QUR’ANI. Banda
Aceh
Utami, M. I. (2019). PENGARUH MEMPELAJARI ILMU PERBANDINGAN
AGAMA TERHADAP MUTU KEIMANAN MAHASISWA IAIN KUDUS. Jurnal
Tarbawi, 59.
https://www.academia.edu/16654694/PROBLEMA_KEIMANAN

BAB 13 KONVERSI AGAMA


KONVERSI AGAMA
Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat
diartikan dengan perubahan agama ataupun masuk agama
(Jalaluddin, 2010). Pengertian konversi menurut etimologi,
konversi berasal dari kata latin “conversion” yang berarti:
taubat, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut
dipakai dalam bahasa Inggris conversioan yang mengandung
pengertian: berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke
agama lain. Berdasarkan arti kata-kata di atas, dapat
disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian:
bertaubat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran
agama atau masuk kedalam agama lain (Jalaluddin, 2010).
Menurut Clark (dalam Darajat, 2009) konversi agama
sebagai sutau macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual
yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap
terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas
lagi, konversi agama menunjukkan bahwa suatu perubahan emosi
yang tiba-tiba mendapat hidayah Allah secara mendadak, telah
terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal.
Perubahan tersebut dapat juga terjadi secara berangsur- angsur.
Beberapa ahli mengemukakan pendapat sesuai dengan bidang
ilmu yang mereka tekuni (Jalaluddin, 2010) antara lain:
a. Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor
pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk Illahi.
Pengaruh supranatural berperan secara dominan dalam proses
terjadinya konversi agama pada diri seseorang ataupun
kelompok.
b. Para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan
terjadi konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh
sosial yang mendorong terjadinya konversi agama itu terdiri
dari adanya beberapa faktor antara lain:
- pengaruh hubungan antar pribadi, baik pergaulan yang
bersifat keagaamaan maupun non agama (kesenian, ilmu
pengetahuan, maupun bidang yang lain)
- Pengaruh kehidupan yang rutin. Pengaruh ini dapat
mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah
kepercayaan jika dilakukan secara rutin hingga terbiasa,
misalnya: menghadiri upacara keagamaan, ataupun
pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan baik dalam
lembaga formal maupun informal.
- Pengaruh anjuran ataupun propaganda dari orang-orang
terdekat, misalnya: karib, keluarga, dan sebagainya
- Pengaruh pemimpin keagamaan.
- Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi
- Pengaruh kekuasaan pemimpin.
Faktor sosial yang mempengaruhi terjadinya konversi agama
selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kesuma
(2011) pada suku Baduy di Banten. Dalam penelitiannya, ia
menemukan yang menjadi salah satu faktor yang melatar belakangi
masyarakat suku Baduy melakukan konversi agama ialah karena
adanya faktor sosial. Dimana, mereka memeluk islam karena
tertarik dengan ajaran islam yang disampaikan oleh para
pendakwah didaerah mereka. Selain itu, faktor lainnya yang
mempengaruhi masyarakat Baduy memeluk islam ialah karena adanya
hubungan perniakahn antara suku Baduy yang beragama non islam
dan beragama islam.
c. Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang mendorong
terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang
ditimbulkan oleh faktorfaktor intern maupun faktor ektern.
Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang
atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin,
makan akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu
ketenangan batin. Dalam uraian James (dalam Jalaluddin, 2010)
yang berhasil meneliti pengalaman berbagai tokoh yang mengalami
konversi agama, menyimpulkan sebagai berikut:
- Konversi agama terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa
yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada
dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang
bersemi secara mantap
- Konversi dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun
secara mendadak (tanpa suatu proses) Dengan menggunakan
istilah yang dikemukakan oleh Starbuck, maka James (dalam
Jalaluddin, 2010) membagi konversi agama menjadi dua
tipe, yaitu:
a. Tipe Volitional (perubahan bertahap). Konversi agam
pada tipe ini terjadi secara berproses sedikit demi
sedikit, sehingga menjadi seperangkat aspek dan
kebiasaan rohaniah yang baru.
b. Tipe Self-Surrender (perubahan drastis) Konversi agama
pada tipe ini adalah konversi yang terjadi secara
mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses
tertentu tiba-tiba berubah pendirian terhadap suatu
agama yang dianutnya. Perubahan inipun terjadi dari
kondisi yang tidak taat menjadi lebih taat, dan tidak
percaya terhadap suatu agama menjadi percaya dan
sebagainya. Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya
konversi agama tersebut berdasarkan tinjauan para
psikolog adalah berupa pembebasan diri dari tekanan
batin.

BAB 14 PSIKOTERAPI AGAMA


PSIKOTERAPI AGAMA
Secara terminologi psikoterapi (psychotherapy) adalah pengobatan
alam pikiran, atau lebih tepatnya, pengobatan dan perawatan gangguan
psikis melalui metode psikologis. Pengertian psikoterapi mencakup
berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu individu dalam
mengatasi gangguan emosional dengan cara memodifikasi perilaku,
pikiran, dan emosinya seperti halnya proses redukasi (pendidikan
kembali), sehingga individu tersebut mampu mengembangkan dirinya
dalam mengatasi masalah psikisnya.
Orang yang melakukan psikoterapi disebut Psikoterapis
(Psychotherapist). Seorang psikoterapis bisa dari kalangan dokter,
psikolog atau orang dari latar belakang apa saja yang mendalami ilmu
psikologi dan mapu melakuka psikoterapi. Psikoterpi bisa diartikan
sebagai suatu interaksi antara dua orang atau yang lebih yang
hasilnya adlah mengubah pikiran, perasaan atau perilaku seseorang
menjadi lebih baik.
Pengertian psikoterapi selain digunakan untuk penyembuhan
penyakit mental, juga dapat digunakan untuk membantu, mempertahankan
dan mengembangkan integritas jiwa, agar ia tetap tumbuh secara sehat
dan memiliki kemampuan penyesuaian diri lebih efektif terhadap
lingkungannya. Dengan demikian, tugas utama psikoterapis di sini
adalah memberi pemahaman dan wawasan yang utuh mengenai diri pasien
serta memodifikasi atau bahkan mengubah tingkah laku yang dianggap
menyimpang.
Psikoterapi sangat berguna untuk:
1. Membantu penderita memahami dirinya, mengetahui sumber-sumber
psikopatologi dan kesulitan penyesuaian diri, serta memberikan
perspektif masa depan yang lebih cerah dalam kehidupan jiwanya
2. Membantu penderita mendiagnosis bentuk-bentuk psikopatologi;
3. Membnatu penderita dalam menentukan langkah-langkah praktis dan
pelaksanaan terapinya
Psikoterapi berbeda dengan pengobatan tradisional yang sering
memandang gangguan psikologis sebagai gangguan karena sihir,
kesurupan jin atau karena roh jahat. Anggapan-anggapan yang kurang
tepat tersebut karena sebagian masyarakat terlalu mempercayai tahayul
dan kurang wawasan ilmiahnya. Dalam psikoterapi, gangguan psikologis
diidentifikasi secara ilmiah dengan standar tertentu kemudian
dilakukan proses psikoterapi menggunakan cara-cara modern yang
terbukti berhasil mengatasi hambatan psikologis. Dalam psikoterapi
tidak ada hal-hala yang bersifat mistik, klien psikoterapi juga tidak
diberi obat karena yang sakit adalah jiwanya, bukan fisiknya.

HUBUNGAN AGAMA DENGAN PSIKOTERAPI


Pada dasarnya bahwa manusia terdiri dari dua substansi yang
berbeda, yaitu tubuh yang bersifat materi dan jiwa yang bersifat
immateri (al-nafs). Yang menjadi hakekat manusia adalah al-nafs yang
mempunnyai dua daya, yaitu daya berpikir yang disebut rasio (akal)
yang berpusat di kepala dan daya rasa yang berpusat di dada.
Tanpa agama, jiwa manusia tidak mungkin dapat merasakan
ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup. Jadi, agama dan percaya pada
Tuhan adalah kebutuhan pokok manusia, yang akan menolong orang dalam
memenuhi kekosongan jiwanya.
Ada empat fungsi agama dalam kehidupan, yaitu:
a. Agama memberi bimbingan dan petunjuk dalam hiduup.
b. Agama adalah penolong dalam kesukaran.
c. Agama menentramkan batin.
d. Agama mengendalikan moral.

Ada beberapa cara untuk mencegah munculnya penyakit kejiwaan dan


sekaligus menyembuhkannya, melalui konsep-konsep dalam Islam. Adapun
upaya tersebut, adalah:
a. Menciptakan kehidupan yang islami dan religius.
b. Mengintensifkan kualitas ibadah.
c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas dzikir.
d. Melaksanakan rukun Islam, rukun Iman dan berbuat ihsan.
e. Menjauhi sifat-sifat tercela (akhlak mazmumah).
f. Mengembangkan sifat-sifat terpuji (akhlak mahmudah)

Psikoterapi dan agama sama-sama memandang manusia secara utuh


sebagai terapi. Ada beberapa kasus gangguan mental yang dapat
disembuhkan melalui perilaku keagamaan. Walaupun agama tidak identik
dengan psikoterapi, namun perilaku keagamaan mempunyai peran sangat
besar untuk mengatasi gangguan mental. Bahkan agama dapat dijadikan
landasan untuk membina kesehatan mental serta mampu membentuk dan
mengembangkan kepribadian seseorang melalui kegiatan peribadatan.

Anda mungkin juga menyukai