EKONOMI ISLAM
BAB 6
“Institut Keuangan Non Bank : Pasar Modal Syariah, Asuransi
Syariah, dan Pegadaian Syariah”
DISUSUN OLEH :
Primadya Tirtasari
(F0318089)
Ekonomi Islam / A
B. ASURANSI SYARIAH
1. Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi Syariah merupakan asuransi berdasarkan prinsip tolong menolong
dan saling melindungi antar peserta. Pengertian tersebut sesuai dengan Fatwa
MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001, yaitu Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful,
atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di
antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset
dan/atau Tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariat Islam.
2. Karakteristik Asuransi Syariah
a. Asuransi Syariah memiliki sifat tabarru' (tolong-menolong), sama halnya
dengan lembaga lain, tolong-menolong dalam Asuransi Syariah bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya atau masyarakat pada
umumnya.
b. Setiap keputusan yang ada dalam asuransi syariah berasal dari keputusan
yang bersama dengan para anggotanya (berjamaah) sehingga tidak ada
pihak yang lebih kuat atau yang lebih berhak dalam memutuskan
sesuatu.
c. Asuransi syariah bisa dikatakan sebagai asuransi yang berbentuk
kekeluargaan di mana pihak-pihak yang ada di dalamnya saling bekerja
sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan serta membangun
komunikasi dan kepercayaan yang baik.
3. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah
a. Berdasarkan PSAK 108 maka prinsip dasar yang ada dalam asuransi
syariah yaitu prinsip tolong-menolong (ta'awuni) dan saling
menanggung (takafuli) antara para anggota dengan pihak asuransi.
b. Tauhid (ketakwaan)
Merupakan prinsip terpenting yang diterapkan dalam asuransi syariah
agar setiap bentuk kegiatan yang dilakukan tidak melanggar aturan
ataupun hukum Islam. Dengan adanya prinsip ketakwaan maka pihak-
pihak yang terlibat dengan asuransi akan berupaya untuk meningkatkan
keimanannya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Keadilan
Menjadi prinsip yang sangat diperlukan dalam kegiatan bermuamalah,
apalagi dalam kegiatan asuransi yang diikuti oleh banyak peserta, jika
keadilan tidak dapat diterapkan dengan baik dalam asuransi syariah,
maka sudah dapat dikatakan bahwa akan ada pihak yang terzalimi dan
meninggalkan kegiatan kerjasama dengan pihak asuransi syariah.
d. Kejujuran
Hal ini dijadikan sebagai prinsip dalam asuransi syariah supaya setiap
kegiatan yang dilakukan dapat berjalan lancar dan semua informasi yang
terkait dengan asuransi syariah disampaikan dengan jelas dan benar.
e. Al-Rida (suka sama suka)
Tak hanya di asuransi syariah, dengan adanya sikap saling rela antara
satu sama lain akan meningkatkan rasa saling percaya dan menyayangi
antara satu sama lainnya, sehingga masalah dalam kehidupan bersosial
pun akan berkurang.
f. Larangan melakukan risywah (sogok/suap)
Hal ini merupakan prinsip yang harus dipertahankan oleh asuransi
syariah agar menjadi lembaga yang profesional dan mengutamakan apa
yang seharusnya diutamakan. Selain itu, dengan adanya
pelarangan risywah ini maka masyarakat akan lebih bersemangat untuk
meningkatkan kemampuannya dalam setiap bidang yang diminati dan
tidak hanya mengandalkan uang atau pun kekayaan untuk mendapatkan
posisi yang aman.
g. Al-Maslahah (kemaslahatan)
Dengan prinsip ini asuransi syariah akan menjadi lembaga yang akrab
dengan masyarakat, dikarenakan kemaslahatan atau kebaikan merupakan
hal yang dapat menjadikan tatanan kehidupan masyarakat lebih berarti
dan inilah yang menjadi target terpenting untuk diperhatikan oleh pihak
asuransi syariah.
h. Al-Khidmah (pelayanan).
Pelayanan yang baik tentu saja akan memikat hati para anggota asuransi
syariah. Di sisi lain, baik buruknya pelayanan pada suatu lembaga dapat
menunjukkan tingkat keikhlasan pihak lembaga tersebut dalam melayani
nasabah atau pelanggannya.
i. Larangan melakukan tatfif (kecurangan).
Prinsip ini sangatlah diperlukan demi kebaikan dan keselamatan sebuah
lembaga, jika kecurangan sudah menjadi budaya, maka sudah dapat
dipastikan bahwa lembaga tersebut berada dalam posisi yang tidak aman
dan peluang untuk runtuh atau hancur sangatlah besar.
j. Menjauhi gharar, maysir, dan riba.
Hal ini sudah pasti harus dihindari agar asuransi syariah benar-benar
menjadi sebuah lembaga yang murni syariah dan tidak memanfaatkan
kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari bidang-bidang yang
telah diharamkan.
4. Mekanisme Operasional Asuransi Syariah
a. Setiap premi takaful yang diterima dimasukkan ke dalam
rekening tabarru' (akad tolong-menolong).
b. Selanjutnya premi takaful dipisahkan dengan cara dimasukkan ke dalam
rekening kumpulan dana para peserta, yang tujuannya yaitu untuk
disalurkan ke dalam bentuk investasi bisnis yang dihalalkan dalam Islam.
c. Apabila pihak asuransi mendapatkan keuntungan atas investasi yang
dilakukan maka keuntungan tersebut dimasukkan lagi ke dalam rekening
kumpulan dana para peserta.
d. Kemudian, keuntungan yang telah dimasukkan ke dalam rekening
kumpulan dana para peserta dikurangi dengan beban asuransi
(klaim/premi asuransi) dan apabila masih ada kelebihan, maka kelebihan
itulah yang akan dibagi antara pihak asuransi dengan para peserta (pihak
yang menanggung dengan pihak yang tertanggung).
e. Pembagian keuntungan ini dengan menggunakan prinsip mudharabah
sehingga lebih mudah dalam hal pembagian keuntungan dan sesuai
dengan syariah.
C. PEGADAIAN SYARIAH
1. Pengertian Pegadaian Syariah
Pegadaian syariah sendiri berasal dari prinsip Islam yang dikenal dengan
sebutan Rahn, yang berarti tetap atau lama. Dengan kata lain, pegadaian
merupakan penahanan suatu barang dalam jangka waktu tertentu. Beberapa
ahli juga menyatakan bahwa rahn juga berarti menjadikan barang yang
memiliki nilai harta sebagai jaminan pada utang-piutang.
2. Tujuan Pegadaian Syariah
a. Ikut berperan dalam melaksanakan dan menjunjung pelaksanaan
kebijakan dan program dari pemerintah di bidang ekonomi serta
pembangunan nasional pada umumnya dengan melalui penyaluran uang
pembiayaan atas dasar hukum gadai.
b. Menerapkan sistem gadai bebas bunga yang berfungsi sebagai jaring
pengaman sosial. Hal tersebut dikarenakan masyarakat yang
membutuhkan dana mendesak tidak lagi dijerat dengan pinjaman atau
pembiayaan berbasis bunga.
c. Mencegah terjadinya praktek ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman yang
tidak wajar / bertentangan dengan hukum lainnya.
d. Membantu masyarakat yang memerlukan pinjaman dengan syarat yang
mudah.
3. Produk Pegadaian Syariah
a. Rahn
Singkatnya, produk pegadaian syariah ini memberikan skim pinjaman
dengan syarat penahanan agunan, yang bisa berupa emas, perhiasan,
berlian, elektronik, dan kendaraan bermotor. Untuk penyimpanan barang
selama digadai, nasabah harus membayar sejumlah sewa yang telah
disepakati bersama antara pihak pegadaian dan nasabah. Uang sewa ini
mencakup biaya penyimpanan serta pemeliharaan barang yang digadai.
Proses pelunasan sewa ini dapat dibayar kapan saja selama jangka waktu
yang telah ditetapkan. Kalau tidak menyanggupi, maka barang akan
dilelang.
b. Arrum
Seperti produk rahn, produk Arrum ini juga memberikan skim pinjaman.
Biasanya, pinjaman ini diberikan kepada pengusaha mikro dan UKM
dengan menjaminkan BPKB motor atau mobil, dengan kata lain, barang
bergerak. Seperti halnya rahn, biaya gadai yang dibebankan kepada
nasabah merupakan biaya penyimpanan, perawatan, dan sejumlah proses
kegiatan penyimpanan lainnya, dengan jumlah yang telah disepakati
antara pegadaian dan nasabah. Meskipun demikian untuk jumlah
pembayaran tertentu, nasabah juga dapat mengagunkan emas sebagai
jaminan pinjaman.
c. Program Amanah
Skim pinjaman dari program ini sama dengan produk Arrum, tapi
pinjaman ini biasanya difungsikan untuk nasabah yang ingin memiliki
kendaraan bermotor. Program amanah ini mensyaratkan uang muka yang
disepakati untuk kendaraan bermotor ini, biasanya berjumlah minimal
20%.
d. Program Produk Mulia
Berbeda dengan produk lainnya yang memberikan pinjaman berjangka,
program produk mulia merupakan produk yang berfungsi untuk melayani
investasi jangka panjang untuk nasabah. Untuk program produk mulia,
ada beberapa pelayanan yang diberikan oleh pegadaian syariah. Nasabah
dapat membeli emas batangan secara langsung di gerai-gerai pegadaian
syariah atau menabungkan emas yang dimiliki di pegadaian, dengan kata
lain dititipkan dengan biaya sewa yang ditentukan. Tabungan emas ini
bisa berupa saldo, bisa juga dicetak berbentuk fisik dengan biaya yang
telah ditentukan. Selain itu, adapula konsinyasi emas, yaitu layanan titip-
jual. Anda menitipkan emas Anda kepada pegadaian untuk dijual kembali
oleh pegadaian. Hasil penjualan emas tersebut akan diberikan kepada
nasabah dengan prinsip bagi hasil (mudharabah) antara pegadaian dan
nasabah. Setelah itu, emas fisik yang dimiliki oleh nasabah akan
dikembalikan kembali kepada nasabah.
4. Rukun Pegadaian Syariah
a. Yang menggadaikan (Ar-Rahin)
Adalah orang yang sudah dewasa, berakal, dapat dipercaya, dan
mempunyai barang yang akan digadaikan.
b. Yang menerima gadai (Al-Murtahin)
Adalah orang, bank, atau suatu lembaga tertentu yang mendapat
kepercayaan dari Ar-Rahin untuk memperoleh modal dengan
menggunakan jaminan suatu barang (gadai).
c. Barang yang digadaikan (Al-Marhun/rahn)
Adalah barang yang dipakai rahin untuk dipakai sebagai jaminan dalam
memperoleh utang.
d. Utang (Al-Marhun Bih)
Adalah sejumlah dana yang diberikan oleh murtahin kepada rahin atas
dasar besarnya tafsiran marhun.
e. Sighat, ijab, dan qabul
Adalah kesepakatan yang dilakukan antara rahin dan murtahin dalam
melakukan transaksi gadai.
5. Syarat Pegadaian Syariah
a. Rahin dan Murtahin
Para pihak yang terlibat dalam perjanjian rahn, yaitu rahin dan murtahin
harus mengikuti semua syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat.
Kemampuan berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi
gadai.
b. Sighat
Sighat tidak boleh berkaitan dengan syarat tertentu dan juga dengan
suatu waktu dimasa yang akan datang.
Rahn memiliki sisi pelepasan barang dan pemberian utang sama
seperti akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu
atau dengan suatu waktu di masa yang akan datang.
c. Marhun Hih (Utang)
Harus berupa hak yang wajib untuk diberikan atau diserahkan kepada
pemiliknya.
Memungkinkan untuk dimanfaatkan atau mempunyai manfaat. Jika
sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidaklah sah.
Harus dikuantifikasi atau bisa dihitung jumlahnya. Jika tidak bisa
diukur atau di kualifikasi rahn tersebut tidaklah sah.
d. Al-Marhun (Barang)
Aturan pokok yang dijelaskan dalam madzab Maliki tentang masalah ini
adalah, bahwa gadai itu bisa dilakukan pada seluruh macam harga pada
semua macam jual-beli. Kecuali pada jual-beli mata uang (sharf) dan
pokok modal pada salam yang berhubungan dengan tanggungan. Karena
pada sharf disyaratkan tunai (yaitu ke-2 belah pihak saling menerima),
maka tidak boleh terjadi akad gadai padanya.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, barang
yang digadaikan itu mempunyai 3 syarat:
Berupa utang. Karena barang nyata tidak bisa digadaikan.
Menjadi tetap. Karena sebelumnya tetap tidak bisa digadaikan,
seperti halnya jika seseorang menerima gadai dengan suatu imbalan
yang dipinjam-nya. Namun Imam Malik membolehkan hal ini.
Mengikatnya gadai tidak sedang dalam proses penantian terjadi dan
tidak menjadi wajib, seperti halnya gadai dalam kitabah.
Pada umumnya barang yang digadai harus memenuhi beberapa syarat,
yaitu sebagai berikut.
Harus harta yang mempunyai nilai atau bernilai.
Harus dapat diperjualbelikan.
Marhun harus dapat dimanfaatkan secara syariah.
Harus dimiliki oleh rahin, kalaupun tidak harus mendapatkan izin
dari pemiliknya.
Harus bisa diketahui kondisi fisiknya.
6. Akad Perjanjian Gadai
a. Akad al-Qardul Hasan
Akad tersebut dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan
barangnya untuk kebutuhan konsumtif. Dengan begitu, nasabah akan
memberikan sejumlah biaya kepada pegadaian yang sudah menjaga atau
merawat barang gadaiannya tersebut.
b. Akad al-Mudharabah
Akad tersebut dilakukan untuk para nasabah yang menggadaikan
jaminan-nya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan
modal usaha). Dengan begitu, rahin atau nasabah akan bagi hasil
(berdasarkan pada keuntungan yang diperoleh) kepada murtahin sesuai
dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam dapat dilunasi.
c. Akad Bai’ al-Muqayadah
Untuk sementara akad tersebut bisa dilakukan apabila rahin
menginginkan menggadaikan barangnya untuk memenuhi kebutuhan
yang produktif. Artinya dalam menggadaikan, nasabah tersebut
menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan barang
jaminan yang bisa digunakan sebagai jaminan untuk akad ini adalah
berbagai barang yang bisa dimanfaatkan atau tidak bisa dimanfaatkan
oleh rahin atau murtahin. Dengan begitu, murtahin akan membelikan
suatu barang yang sesuai dengan apa yang diinginkan rahin.
Atau rahin akan memberikan suatu mark-up kepada murtahin sesuai
dengan apa yang sudah disepakati ketika akad berlangsung hingga batas
waktu yang sudah ditentukan.
7. Berakhirnya Akad Gadai Syariah
Berikut ini merupakan beberapa hal yang menjadi penyebab berakhirnya akad
gadai syariah dalam pegadaian syariah.
a. Barang gadai sudah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
b. Rahin sudah melakukan pembayaran atau melunasi hutang-nya.
c. Pembebasan hutang dengan menggunakan cara apa pun, meskipun
dengan pemindahan oleh murtahin.
d. Pembatalan yang dilakukan oleh murtahin, meskipun tidak ada
persetujuan dari pihak lain.
e. Rusaknya barang rahin yang bukan dikarenakan oleh tindakan atau
pengguna murtahin.