Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan permendikbud baru yakni
Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang merupakan pengganti dari peraturan sebelumnya yaitu Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang penerimaan peserta didik baru pada taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan layanan pendidikan sehingga perlu diganti. Dimana dalam peraturan terbaru ini mewajibkan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah memberlakukan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Kebijakan kemendikbud menggunakan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru, disatu sisi, dinilai cukup baik. Karena, siswa lebih dekat ke lokasi sekolah. Dengan mendekatkan jarak antara rumah dengan sekolah, akan memudahkan para orang tua memonitor perkembangan anaknya dan dapat mengurangi kekhawatiran para orang tua akan terjadinya tawuran atau karena pulang lebih sore dari sekolah, karena ada ekstrakulikuler atau pelajaran tambahan. Namun, dalam pelaksanaannya, ternyata banyak hal yang harus diperhatikan. Sistem zonasi ini mewajibkan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota 90% (sembilan puluh persen) dari keseluruhan peserta didik yang nantinya diterima. Sedangkan 5% berdasarkan jalur prestasi diluar radius zona terdekat dari sekolah dan alasan khusus bagi calon peserta didik dimana domisili orangtua/wali peserta didik atau terjadi bencana alam/sosial, paling banyak 5% (lima persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Pemberlakuan sistem zonasi sesuai dengan peraturan Permendikbud terbaru ini bertujuan untuk menjamin bahwa penerimaan peserta didik baru akan berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminati, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan maupun pemerataan pendidikan. Namun, hal tersebut juga menyebabkan masalah bagi calon peserta didik dan orang tua /wali. Orang tua yang memiliki anak berprestasi merasa khawatir untuk mendaftarkan anaknya disekolah favorit diluar zona domisilinya. Jumlah kuota sebesar 5% untuk jalur prestasi dinilai cukup kecil untuk calon peserta didik dari luar zona domisili, hal tersebut yang membuat banyak orang tua merasa ragu untuk mendatarkan anaknya diluar zona domisili dimana sekolah favorit berada. Pemberlakuan sistem terbaru ini juga dinilai dapat mengatasi persoalan tentang ketimpangan kualitas pendidikan. Perspektif masyarakat tentang favoritisme masih sangat dominan di kalangan kita. Dimana masyarakat sekarang ini berangan-angan anaknya bisa masuk sekolah favorit dengan segala cara. Tak pelak isu jual beli kursi di sekolah favorit sempat muncul. Kenyataannya sekolah favorit itu hanya ada di kota-kota besar dan di pusat-pusat kota. Sedangkan yang di pinggiran tidak terfasilitasi dengan baik. Ketimpangan semacam ini, tidak lain diakibatkan karena sekolah-sekolah yang dianggap favorit tersebut leluasa memilih calon siswa degan nilai yang paling tinggi. Mereka sangat mungkin mengatrol nilai akreditasi sekolah karena akreditasi memang salah satunya mengacu kepada komponen prestasi siswa. Yang favorit akan kian favorit. Sementara, yang terbelakang akah jauh lebih tertinggal. Semua siswa layaknya bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kualitas pendidik dan pendidikan yang baik. Sekolah yang baik harus bisa juga mendidik anak yang kurang pintar. Jika yang diinginkan adalah pemerataan pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP dan SMA, di seluruh Indonesia, maka, pemerintah juga perlu memahami kondisi para orang tua siswa, dan juga sarana prasarana pendukung di sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar mengajar siswa. Sebab, tidak semua sekolah negeri di perkotaan, maupun di pedesaan, memiliki sarana prasarana yang memadai yang dapat menunjang prestasi belajar siswa.