Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas
di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas
sebesar 9.260.421 ha, lebih kurang 2.478.952 ha atau 26 % telah dialokasikan dan
digunakan untuk pengembangan tanaman perkebunan dan Hutan Tanaman
Industri (HTI). Tidak dipungkiri bahwa usaha perkebunan dan HTI yang sebagian
besar diselenggarakan oleh perusahaan-perusahan skala besar telah memberikan
nilai positif pembangunan, termasuk konstribusinya bagi pendapatan daerah.
Namun demikian, selagi intervensi program dan investasi skala besar seperti itu
tidak diiringi perhatian pembangunan terhadap berbagai aktivitas ekonomi mikro
dan tradisional yang biasanya menjadi tumpuan kehidupan mayoritas masyarakat
perdesaan di sekitarnya, maka tujuan pertumbuhan ekonomi daerah dan
pemerataan pembangunan yang berkesinambungan dipastikan juga akan sulit
dicapai. Hal ini tercermin dari masih beratnya masalah kemiskinan yang dihadapi
masyarakat perdesaan sekitar lokasi kegiatan akumulasi kapital perusahaan-
perusahaan besar kontraktor perkebunan dan HTI tersebut.
Keadaan yang lebih menghawatirkan biasanya terjadi di daerah perdesaan
yang berbatasan dengan kawasan hutan. Perusahaan-perusahaan skala besar
pemegang konsesi HPH dan HTI seringkali masih dominan menganut orientasi
pandangan arus utama (mainstream) memanfaatkan hutan dan lahan dengan
tujuan mengeksploitasi kayu. Dalam praktek eksploitasi sumberdaya alam seperti
ini, perhatian terhadap nilai ekonomi berupa hasil hutan non-kayu (HHNK)
beserta fungsi ekologis dan sosial dari keberadaan hutan seringkali diabaikan.
Pemberian hak konsesi kepada perusahaan-perusahaan skala besar dan konversi
lahan yang dilangsungkan bahkan sering menimbulkan ancaman kerusakan
lingkungan, fungsi ekologis hutan menjadi terganggu, lahan garapan para petani
perdesaan semakin sempit dan tekanan penduduk terhadap hutan pun semakin
meningkat. Kehadiran aktivitas akumulasi kapital skala besar ternyata juga belum

1
memberikan kontribusi yang nyata terhadap ketersediaan lapangan kerja dan
pilihan-pilihan sumber pendapatan bagi masyarakat perdesaan di sekitarnya yang
masih tergantung dari sektor pertanian dan ekonomi skala kecil lainnya. Ironisnya
lagi, di beberapa penjuru daerah perdesaan yang dahulunya dikenal dengan
kehidupan tradisionalnya yang harmonis, kemudian juga mengalami perubahan
sosial seperti nilai-nilai tradisional menjadi longgar, peranan lembaga-lembaga
tradisional memudar ataupun berkurangnya legitimasi pemimpin tradisional.
Situasi ini tidak terkecuali juga terjadi di kawasan hutan Tesso Nilo di
Provinsi Riau. Di kawasan hutan tropis dataran rendah terbesar di Pulau Sumatra
ini telah berlangsung proses pengalihan fungsi hutan yang semula sebagai sumber
kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, habitat satwa khas,
penghasil oksigen, mengatur iklim mikro maupun makro, menyerap gas-gas
perusak lapisan ozon penyebab efek rumah kaca yang menaikan suhu bumi,
melindungi tanah serta air tanah, penghasil produk hutan seperti getah, madu,
buah-buahan, obat-obatan, protein hewani, rotan, damar dan kayu serta sumber
mata pencaharian penduduk perdesaan sekitar kini mengalami berbagai benturan
kepentingan. Rantai panjang proses benturan kepentingan tersebut meliputi fakta
penebangan hutan secara besar-besaran untuk industri kayu, pengalihan fungsi
hutan primer yang heterogen menjadi hutan tanaman homogen dan pembukaan
perkebunan besar sangat tidak hanya mengancam pelestarian keanekaragaman
hayati, tetapi juga telah menimbulkan dampak negatif bagi eksistensi masyarakat
lokal. Secara bersamaan dewasa ini berlangsung pula pemanfaatan sumber daya
hutan secara berlebih oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan akibat
menyempitnya lahan sebagai tiang utama mata pencaharian mereka. Bukan hanya
akibat pertumbuhan penduduk secara alamiah di kawasan itu, tetapi juga akibat
peningkatan migrasi yang menyertai laju okupasi lahan dan pengalihan fungsi
hutan menjadi fungsi-fungsi lain, termasuk untuk permukiman permanen.
Berdasarkan krusialitas dan kompleksnya persoalan pembangunan di
kawasan hutan Tesso Nilo ini wajarlah jika banyak pihak menunjukkan
keprihatinannya, utamanya kalangan pemerhati dan aktivis lingkungan. Sejak
tahun 2000 beberapa NGO, terutama diprakarsai oleh WWF Indonesia mulai
memikirkan langkah-langkah ke depan mengenai kawasan hutan Tesso Nilo yang
2
dititik beratkan pada usaha-usaha untuk menjaga supaya dapat seluas mungkin
mempertahankan daerah tersebut tetap berupa hutan dan membuatnya menjadi
kawasan lindung. Pandangan ini dituangkan dalam apa yang di Riau dikenal
sebagai Tesso Nilo Bukit Tigapuluh Landscape (TNBTL) atau Lansekap
(Kawasan) Bukit Tigapuluh Tesso Nilo yang meliputi daerah seluas kira-kira 2
juta hektar termasuk blok terbesar hutan dataran rendah yang masih tersisa, yang
ketika itu dikenal sebagai Usulan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Dalam
dokumen perencanaan konservasi kawasan hutan Tesso Nilo tahun 2000
disebutkan bahwa TNBTL tersebut mencakup Taman Nasional Bukit Tigapuluh
(TNBT) yang sudah lebih dulu diresmikan; Lansekap TNBT terletak di dalam
sebuah wilayah multi guna seluas 2 juta hektar yang dibatasi oleh empat kawasan
lindung yang sudah ada yaitu Bukit Rimbang, Bukit Baling, Bukit Bungkuk dan
Kerumutan, dan kawasan lindung yang diusulkan menjadi taman nasional yaitu
Tesso Nilo. Total area hutan dalam kawasan lindung ini adalah 600.000 hektar.
Upaya pembangunan konservasi kawasan hutan Tesso Nilo itu selanjutnya
mulai mendapatkan dukungan formal. Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo
(TNTN) telah diresmikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No
255/Menhut-II/2004 bertanggal 15 Maret 2004 seluas 38.576 hektar. Lebih dari
120.000 hektar sisa hutan alam di Tesso Nilo untuk saat ini masih digunakan
sebagai kawasan hutan produksi hingga 15-20 tahun ke depan selanjutnya juga
diharapkan untuk dimasukkan ke dalam areal taman nasional tersebut.
TNTN berbatasan dengan 22 desa dengan lokasi yang tersebar di 4
kabupaten di Provinsi Riau, yakni: Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan
Kuantan Singingi. Menurut laporan WWF Indonesia, desa-desa yang berbatasan
dengan TNTN di Provinsi Riau ini hingga kini masih mengalami berbagai
masalah pembangunan, utamanya dalam bidang sosial ekonomi. Masalah ini
meliputi persoalan ketimpangan ekonomi internal antar desa dan kompleksitas
konflik kepentingan antar para pihak. Tingkat perekonomian desa-desa
transmigrasi misalnya digambarkan cenderung lebih baik dibandingkan dengan
desa-desa yang didiami oleh mayoritas penduduk tempatan.
Salah satu persoalan utama masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan
Tesso Nilo adalah kurangnya pilihan-pilihan ekonomi secara berkelanjutan yang
3
memungkinkan mereka hidup berdampingan secara harmonis dengan hutan Tesso
Nilo. Persoalan lain yang juga mengemuka saat ini adalah munculnya konflik
pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan
pemegang konsesi di kawasan tersebut. Belum lagi konflik antara masyarakat
dengan hidupan liar yang ada di hutan Tesso Nilo terutama konflik dengan gajah
dan harimau Sumatra masih berlangsung hingga saat ini.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan diatas, maka diajukan
beberapa pemasalahan kajian pada penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat desa dan ketergantungannya
terhadap sumber daya hutan?
2. Bagaimana konflik antar para pemangku kepentingan
(stakeholders/actors) yang berhubungan dengan potensi dan peluang
pengembangan pilihan-pilihan pembangunan sosial ekonomi perdesaan?

1.3 Tujuan
1. Mempelajari kehidupan ekonomi masyarakat desa dan ketergantungannya
kerhadap sumber daya hutan. Telaahan ini terutama difokuskan terhadap
pemahaman tentang ketersediaan sumber daya alam termasuk hasil hutan
non-kayu (non timber forest product), pola mata pencaharian, masalah
kemiskinan dan strategi survival keluarga dan masyarakat di desa-desa di
sekitar hutan Tesso Nilo.
2. Mengenali dan menganalisis konflik antar para pemangku kepentingan
(stakeholders/actors) yang berhubungan dengan potensi dan peluang
pengembangan pilihan-pilihan pembangunan sosial ekonomi perdesaan.
Telaahan ini difokuskan terhadap tata hubungan dan konflik antara
manusia dengan gajah, antara masyarakat dengan TNTN, antara
masyarakat desa dengan perusahaan, antara masyarakat dengan
pemerintahan daerah, serta resolusi konflik yang relevan dengan upaya
mengembangkan pilihan-pilihan pembangunan sosial ekonomi perdesaan
sekitar hutan Tesso Nilo.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi teknis situasi
dan kondisi serta dinamika masyarakat perdesaan sekitar kawasan hutan Tesso
Nilo. Memberikan pemetaan konflik social terkait dengan masyarakat, otoritas
pemerintah pengelola kawasan, perusahaan dan pemerintahan daerah. Serta
memberikan masukan mengenai resolusi konflik yang relevan dengan kondisi
sosial ekonomi perdesaan sekitar hutan Tesso Nilo.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori


2.1.1 Strukturalisme Konflik
Konflik berasal dari kata kerja configere yang maknanya adalah saling
memukul. Sementara istilah conflict dalam bahasa Inggris berarti suatu
perkelahian, peperanangan, atau perjuangan yang berupa konfrontasi fisik antara
beberapa pihak. Istilah tersebut memberikan penjelasan bahawa sebuah konflik
berlaku kerana adanya interaksi fizikal oleh dua pihak atau lebih. Hal ini
menunjukkan bahawa konflik merupakan interaksi sosial yang melibatkan
hubungan antara individu (Pruitt 2004). Konflik menjadi sebuah fakta kehidupan
yang tak dapat dihindari, yang melekat pada jaringan kehidupan. Konflik atau
perlawanan antara kumpulan atau komuniti merupakan bentuk dari pada interaksi
sosial, yang dapat berlaku pada masyarakat manapun, yang mana pelbagai
perbezaan kepentingan saling berbenturan sehingga menciptakan konflik dalam
pelbagai derajatnya.
Berkaitan dengan kondisi integrasi di dalam sebuah sistem sosial, Talcott
Parsons menyatakan bahawa tidak ada sistem sosial yang terintegrasi secara
sempurna, kerana selalu ada kemungkinan berlaku: a) ketidaksesuaian dalam
prioritas bagi nilai-nilai yang berbeza ; b) interpretasi yang saling bertentangan
mengenai nilai-nilai bersama ; c) konflik peranan ; d) motivasi ambivalen atau
negatif ; e) ketegangan antara kebutuhan individu dan peranan yang ditentukan
secara budaya ; f) harapan individu yang tidak tetap. Konflik sosial merupakan
gejala ketegangan yang harus diatasi oleh sistem untuk mempertahankan
keseimbangan keperluan atau kepentingan individu. Hubungan antara individu
yang mengalami ketegangan secara konsisten tunduk pada persyaratan sistem
keseluruhan untuk mempertahankan keseimbangan dan stabilitas sosialnya
(Johnson 1986; Ritzer 1988).
Beberapa proposisi penting mengenai konflik menurut pemikiran Marx
menjelaskan hubungan kepentingan antara kumpulan dominan yang kuat dan

6
memiliki power, dengan kumpulan subordinat yang lemah dan tidak memiliki
power. Marx menggambarkan tingkat inequality didalam distribusi sumberdaya
langka, menentukan konflik kepentingan antara kumpulan yang menguasai power
dengan yang tidak menguasainya. Proposisi-proposisi penting yang dimaksudkan
iaitu sebagai berikut (Turner 1978; Wirawan 2012) :
1. Semakin tidak merata distribusi sumberdaya langka dalam suatu sistem,
semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan (kumpulan kuat)
dan segmen subordinat (kumpulan lemah) dalam sistem tersebut.
2. Semakin menyadari segmen subordinat akan kepentingan kolektif, semakin
besar kemungkinan mereka mempertanyakan keabsahan distribusi sumber
yang tidak merata.
A. Perubahan sosial yang diciptakan oleh segmen dominan semakin
mengacaukan hubungan yang ada di antara para subordinat, maka semakin
besar kemungkinannya segmen subordinat menyadari kepentingan kolektif
mereka.
B. Semakin praktik-praktik segmen dominan menimbulkan disposisi
keterasingan di antara segmen subordinat, maka semakin besar
kemungkinan kumpulan lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif
mereka.
C. Semakin segmen subordinat dapat saling berkomunikasi mengenai
keluhan-keluhan mereka, maka semakin besar kemungkinan kumpulan
lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif mereka.
1) Semakin konsentrasi anggota dari pada kumpulan subordinat bersifat
spasial, maka semakin besar kemungkinan mereka akan
menyampaikan (berkomunikasi tentang) keluhan-keluhan mereka.
2) Semakin kumpulan subordinat memiliki akses kepada media
pendidikan, semakin beraneka-ragam cara komunikasi mereka, maka
semakin besar kemungkinan menyampaikan (berkomunikasi tentang)
keluhan-keluhan mereka.
D. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan kesatuan sistem
keyakinan, maka semakin besar kemungkinan mereka menjadi sadar
kepada kepentingan kolektif mereka yang sesungguhnya.
7
1) Semakin besar kemampuan untuk mendapatkan (to recruit) juru bicara
ideologis, maka semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan
ideology mereka
2) Semakin kecil kemampuan kumpulan dominan mengatur proses
sosialisasi dan jaringan komunikasi di dalam suatu sistem, maka
semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan ideologis pada
kumpulan subordinat
3. Semakin segmen subordinat dalam suatu sistem menyadari kepentingan
kolektif mereka, semakin kuat mereka mempertanyakan keabsahan
(legitimacy) distribusi sumberdaya langka, maka semakin besar kemungkinan
mereka mengorganisir untuk memulai konflik terbuka dengan segmen
dominan.
a. Semakin besar kemerosotan (deprivation) kumpulan subordinat
bergerak dari dasar absolut ke dasar relative, maka semakin besar
kemungkinan mereka menyusun dan memulai konflik
b. Semakin kumpulan dominan kehilangan kemampuan untuk
menyatakan kepentingan kolektif mereka, semakin besar
kemungkinan kumpulan subordinat menyusun dan memulai konflik
c. Semakin besar kemampuan kumpulan subordinat mengembangkan
struktur kepemimpinan, semakin besar kemungkinan mereka
menyusun dan memulai konflik
4. Semakin segmen subordinat disatukan oleh keyakinan bersama dan semakin
berkembang struktur kepemimpinan politik mereka, maka segmen dominan
dan segmen-segmen yang dikuasai dalam sistem tersebut akan mengalami
polarisasi.
5. Semakin besar polarisasi antara segmen dominan dengan segmen yang
dikuasai, maka akan semakin keras konflik yang berlaku.
6. Semakin keras suatu konflik, maka semakin besar perubahan struktur sebuah
sistem dan redistribusi sumberdaya langka.
Penjelasan struktural terhadap fenomena konflik sosial merujuk kepada
perspektif konflik Ralf Dahrendorf yang mementingkan elemen-elemen struktur
sosial sebagai dasar terciptanya konflik sosial. Konflik didasari oleh susunan-
8
susunan struktural tertentu, yang oleh kerananya selalu cenderung melahirkan
susunan struktural sebagai yang telah ada. Dengan demikian Dahrendorf
menghubungkan konflik dengan struktur sosial tertentu, dan bukan
menganggapnya berhubungan dengan variabel-variabel psikologis (sifat-sifat
agresif) atau variabel historis deskriptif dan variabel kebetulan (Poloma 2003)
Selanjutnya Dahrendorf menyatakan bahawa pendekatan konflik
berpangkal pada anggapan-anggapan dasar sebagai berikut :
1. Setiap masyarakat sentiasa berada dalam proses perubahan yang tidak
pernah berakhir atau dengan kata lain perubahan sosial merupakan gejala
yang melekat pada setiap masyarakat. Masyarakat merupakan suatu proses
sosial dan memiliki sifat yang dinamis, dimana keadaan masyarakat selalu
berubah sesuai dengan fenomena-fenomena yang berlaku di dalam
masyarakat tersebut dalam waktu yang terus berterusan.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik didalam dirinya atau
dengan kata lain konflik ialah merupakan gejala yang melekat di dalam
setiap masyarakat, salah satu yang dapat mempengaruhi perubahan
ditengah-tengah masyarakat adalah konflik di masyarakat tersebut.
3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi
berlakunya disintegrasi dan perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi diatasi penguasaan atau dominasi oleh
sejumlah orang.
Dahrendorf melihat kumpulan-kumpulan yang bertentangan sebagai
kumpulan yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang
mampu berorganisasi. Pada asosiasi yang ditandai oleh pertentangan, terdapat
ketegangan antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk
pada struktur itu. Secara empiris, pertentangan kumpulan mungkin paling mudah
dianalisis jika dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-
hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kumpulan penguasa
merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaannya,
sementara kepentingan-kepentingan kumpulan bawah melahirkan ancaman bagi
ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. Setiap
kumpulan atau sistem sosial terbagi ke dalam berbagai kepentingan, yakni :
9
kepentingan orang-orang yang menguasai kepemilikan material, dan orang-orang
yang tidak menguasainya (institusi ekonomi), dan kepentingan mereka yang
memiliki dominasi otoritatif dan mereka yang harus tunduk pada penggunaan
otoritas tersebut. Setiap perbezaan kepentingan menempatkan anggota masyarakat
pada posisi dominan dan subordinat (Poloma 2003).
Setiap fenomena konflik memiliki intensitasnya masing-masing. Sumber-
sumber konflik tertentu menghasilkan konflik dengan intensitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan konflik yang dihasilkan oleh sumber konflik yang lain.
Intensitas, merujuk pada pengeluaran energi dan keterlibatan kepentingan dari
pihak-pihak yang berkonflik. Dua variabel utama yang mempengaruhi intensitas
adalah tingkat keserupaan (konsistensi) konflik di pelbagai asosiasi yang berbeza
serta tingkat mobilitas. Tingkat konsistensi yang tinggi bermakna, para anggota
dari kumpulan konflik saling berkonfrontasi dalam berbagai hubungan
asosiasional. Hal ini berlaku kerana orang yang dominan pada satu asosiasi, juga
dominan dalam asosiasi yang lain, sedangkan yang subordinat pada satu asosiasi
juga demikian pada asosiasi yang lain. Selain itu, kesempatan untuk konflik yang
luas dan mendalam akan semakin besar kalau tak satupun dari asosiasi yang
terlibat mampu menyediakan peluang untuk mobilitas keatas. Semakin besar
konsistensi antara persebaran penghargaan ekonomis, status sosial atau prestise,
dan sebagainya, dengan persebaran otoritas, maka semakin besar pula intensitas
konflik kelas (Johnson 1986; Poloma 2003).
Berbeda dengan intensitas konflik, maka kekerasan merujuk pada alat
yang digunakan oleh pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingan.
Tingkat kekerasan boleh sangat bervariasi, mulai dari negosiasi yang penuh
ketenangan sampai pada kekerasan terbuka, termasuk serangan fisik atas manusia
dan miliknya. Tingkat deprivasi sosio ekonomis daripada mereka yang berada
dalam posisi subordinat, merupakan faktor yang dapat membawa impak pada
munculnya konflik yang keras.
Sehubungan dengan konflik sosial, George Simmel (Turner 1978;
Wirawan 2012) mengembangkan tiga perangkat proposisi tentang intensitas
konflik bagi pihak yang terlibat dan fungsi konflik bagi sistem keseluruhan, dalam
rangkaian proposisi tentang intensitas konflik. George Simmelmengemukakan
10
bahawa semakin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat dalam
suatu konflik, maka semakin kuat kecenderungan untuk mengarah pada
kekerasan. Dalam konteks ini ada korelatif positif antara solidaritas antar anggota
dalam suatu kumpulan dengan derajat keterlibatan emosional. Demikian pula ada
korelasi positif antara harmoni awal (pervious harmony) antara anggota kumpulan
yang bertikai dengan derajat keterlibatan emosional mereka. Selanjutnya, semakin
suatu konflik dianggap telah merintangi pencapaian tujuan dan kepentingan
individu oleh para anggota kumpulan yang bertikai, maka konflik itu cenderung
menjadi kekerasan.
2.1.2 Teori Galtung tentang Munculnya Konflik dalam Masyarakat

Kajian ini merujuk kepada teori kekerasan struktural dan kultural dari
Johan Galtung. Johan Galtung mengatakan bahawa konflik dapat dilihat sebagai
sebuah segitiga, dengan kontradiksi (Contradiction = C), sikap (Attitude =
A),perilaku (Behaviour = B) pada puncak-puncaknya. Kontradiksi merujuk pada
dasar situasi konflik, termasuk “ketidakcocokan tujuan” yang ada atau dirasakan
oleh pihak-pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh ”ketidakcocokan antara
nilai sosial dan struktur sosial”. Kontradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang
bertikai, hubungan mereka, dan benturan kepentingan inheren di antara mereka
(Galtung 1973; Liliweri 2009).
Sikap ialah persepsi pihak-pihak yang bertikai dan kesalahan persepsi
antara mereka dan dalam diri mereka sendiri, merupakan persepsi tentang isu-isu
tertentu yang berkaitan dengan kumpulan lain. Dalam konflik dan kekerasan,
pihak-pihak yang bertikai cenderung mengembangkan stereotip yang
merendahkan satu sama lain. Sikap ini sering dipengaruhi oleh emosi seperti
takut, marah, kepahitan, atau kebencian. Sikap tersebut termasuk elemen emotif
(perasaan), kognitif (keyakinan) dan konatif (kehendak). Perilaku yang
merupakan kerjasama atau pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang
menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Perilaku konflik dengan kekerasan
dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan yang merusak.
Kontradiksi ialah kemunculan situasi yang melibatkan masalah sikap dan
perilaku sebagai suatu proses. Dalam hal ini kontradiksi diciptakan oleh unsur

11
persepsi dan gerak kumpulan yang terlibat, yang hidup dalam persekitaran sosial.
Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku, kemudian melahirkan kontradiksi
atau situasi. Sebaliknya, situasi boleh melahirkan sikap dan perilaku. Konsep
mengenai situasi kontradiksi yang didahului oleh sikap dan perilaku ini
digambarkan pada skema segitiga ABC Galtung (lihat Rajah 2.1). Galtung
berpendapat bahawa tiga komponen harus muncul dalam sebuah konflik total.
Struktur konflik tanpa sikap atau perilaku konfliktual merupakan sebuah konflik
laten. Galtung melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan
perilaku secara konstan berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik
muncul, kepentingan pihak-pihak yang bertikai masuk ke dalam konflik atau
hubungan dimana mereka berada. Kemudian pihak-pihak yang bertikai
mengorganisasi diri di sekitar struktur ini untuk mengejar kepentingan mereka.
Mereka mengembangkan sikap yang membahayakan dan perilaku konfliktual,
sehingga formasi konflik mulai tumbuh dan berkembang.

Contradiction
(kontradiksi)

Attitude Behaviour
(Sikap) (Perilaku)

Gambar 2.1: Segitiga ABC Galtung


Sumber : Johan Galtung (1973)

Konflik dapat melebar, menimbulkan konflik sekunder pada pihak-pihak


utama, atau pihak-pihak yang terseret masuk. Hal ini akan merumitkan tugas
menyelesaikan konflik intinya, dan pada akhirnya penyelesaian konflik harus
melibatkan seperanangkat perubahan dinamis, yang melibatkan penurunan
perilaku konflik, perubahan sikap, dan transformasi hubungan atau kepentingan
yang berbenturan, yang berada dalam inti struktur konflik (Liliweri 2009; Susan
2009).

12
Pembahasan tentang konflik selalu mengarah pada upaya penyelesaiannya
serta analisis mengenai sumber-sumber penyebab munculnya konflik tersebut.
Salah satu penjelasan mengenai sumber konflik yang diajukan oleh para
pemerhati konflik adalah, adanya kelangkaan sumber daya untuk pemenuhan
keinginan dan keperluan hidup individu dan masyarakat. Keadaan ini akan
membuat banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber
daya tersebut, dan ketika berlaku ketidakpuasan, maka akan berlaku konflik
(Liliweri 2009).
Sehubungan dengan kelangkaan sumber pemenuhan keperluan hidup,
maka setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi sumber konflik antara dua
pihak, yaitu kepentingan (interest), kekuasaan (power), dan hak (right), yang
mana :
1) Kepentingan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber
konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama
terhadap obyek yang disengketakan, misalnya barang, uang, jasa layanan,
dan lain-lain
2) Kekuasaan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber
konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama
untuk memperoleh status dan peranan sehingga memiliki kewenangan
yang dominan
3) Hak sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik.
Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama untuk
memperoleh tuntutannya, kerana masing-masing merasa bahawa tuntutan
itu berkaitan dengan hak dan tanggungjawabnya.
Salah satu bentuk penyelesaian konflik yang mungkin ditawarkan ialah
dengan memenuhi kepentingan semua pihak. Akan tetapi penyelesaian ini hanya
menghentikan konflik untuk sementara waktu. Apabila sumber daya yang
diperebutkan telah habis, maka situasi konflik akan muncul kembali. Cara yang
lain, yaitu menyerahkan kekuasaan atau hak kepada salah satu pihak merupakan
solusi konflik yang tidak berdampak kepada integrasi sosial. Cara ini adalah
sebuah bentuk penyelesaian yang bersifat zero-sum solution, dan akan diikuti oleh
penyalahgunaan wewenang dan hak oleh pihak dominan, yang kemudian akan
13
menimbulkan konflik yang baru. Oleh kerana itu, konflik sosial seringkali
memiliki sifat berulang sesudah beberapa tahun mereda. Konflik sedemikian
adalah kerana sumber konflik yang sebenarnya sulit terungkap, dan konflik tidak
dapat diselesaikan dengan sepenuhnya. Selalu masih tersisa perbezaan-perbezaan
yang akan memicu konflik pada masa-masa mendatang.
Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan, yaitu kekerasan
struktural, kekerasan kultural, dan kekerasan langsung. Kekerasan langsung
seringkali didasarkan atas penggunaan kekuatan sumberdaya (resource power).
Kekuatan sumberdaya boleh dibagi menjadi kekuatan punitive yaitu kekuatan
yang menghancurkan. Kemudian, kekuatan ideologis, kekuatan remuneratif yang
cenderung menciptakan kekerasan budaya. Galtung mendefinisikan kekerasan
budaya sebagai aspek budaya , iaitu ruang simbolik keberadaan manusia seperti
agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu empirik dan ilmu formal (logika,
matematika), yang dapat dipakai untuk melegitimasi kekerasan langsung atau
kekerasan struktural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan
kekuasaan struktural atau penggunaan otoritas (wewenang) untuk menciptakan
sebuah kebijakan. Jadual 2.2 ialah tipologi kekerasan yang disebutkan oleh
Galtung (Galtung 1990).
Tabel 2.1: Tipologi kekerasan Galtung (Galtung’s typology of violence)
Survival Well-being Identity needs Freedom needs
needs needs
Kekerasan Killing Maiming, Desocialization Repression
langsung siege, misery, resocialization detention
sanction second citizen expulsion
Kekerasan exploitation exploitation Penetration Marginalization
struktural segmentation fragmentation
Sumber : Johan Galtung (1990)

Kekuatan sumberdaya dan kekuasaan struktural saling memperkuat.


Galtung mengungkapkan bahawa kekerasan struktural, kultural, dan langsung
dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini
adalah kelestarian dan keberlangsungan hidup (survival needs), kesejahteraan
(well-being needs), kebebasan (freedom needs), dan identitas (identity needs). Jika
empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan

14
personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul (Galtung 1973;
Susan 2009)
2.1.3 Pengendalian Konflik

Kemampuan sebuah masyarakat mengelola perselisihan kepentingan dan


konflik erat kaitannya dengan mutu dan legitimasi struktur, lembaga, dan tata
aturannya. Kunci untuk penyelesaian konflik secara damai ialah dengan
mengembangkan lembaga-lembaga demokrasi yang stabil dan menghormati hak
asasi manusia (Anwar 2005). Katup penyelamat (savety-valve) merupakan salah
satu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kumpulan dari
kemungkinan konflik sosial, membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa
menghancurkan seluruh struktur, dan membersihkan suasana dalam kumpulan
yang sedang kacau. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lewis A. Coser melihat
katup penyelamat itu sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan
antara dua pihak yang berlawanan. Lewat katup penyelamat (savety-valve)
permusuhan dihambat dan diungkapkan dengan cara-cara yang tidak mengancam
atau merusakkan solidaritas. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga
biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu : mengurangi tekanan untuk
menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah
maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan
tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif (Johnson 1986, Poloma 2003).
Secara umum, ada tiga macam bentuk pengendalian konflik, yakni : a)
Konsiliasi, iaitu pengendalian konflik yang dilakukan dengan melalui lembaga-
lembaga tertentu yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang
adil di antara pihak-pihak bertikai ; b) Mediasi, iaitu pengendalian yang dilakukan
apabila kedua-dua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga
sebagai mediator ; c) Arbritasi, iaitu pengendalian yang dilakukan apabila kedua-
dua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa menerima
hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk
menyelesaikan konflik (Kerr dalam Dahrendorf 1986). Ketiga mekanisme
pengendalian konflik ini banyak digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
untuk menyelesaikan pelbagai konflik sosial yang berlaku.

15
Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kerr sebelumnya, mengenai
konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi, berikut ini terdapat beberapa bentuk akomodasi
lainnya. Akomodasi, ialah keadaan yang merupakan hasil dari interaksi yang
bersifat damai (Summerdalam Narwoko 2010). Akomodasi sebagai proses sosial
berlangsung dalam beberapa bentuk, masing-masing dapat disebutkan dan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemaksaan (coercion) proses akomodasi yang berlangsung melalui cara
paksaan sepihak dan yang dilakukan dengan mengancam sanksi.
2. Kompromi (compromise) proses akomodasi yang berlangsung dalam
bentuk usaha pendekatan oleh kedua belah pihak yang sadar menghendaki
akomodasi, kedua belah pihak bersedia mengurangi tuntutan masing-
masing sehingga dapat diperoleh kata sepakat mengenai titik tengah
penyelesaian.
3. Pengguna jasa perantara (mediation) suatu usaha kompromi yang
dilakukan sendiri secara langsung, melainkan dilakukan dengan bantuan
pihak ketiga, dan tidak memihak, mencuba mempertemukan dan
mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa atas dasar itikat kompromi
kedua belah pihak.
4. Pengguna jasa penengah (arbitrate) suatu usaha penyelesaian sengketa
yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga. Seperti halnya dengan
perantara, penengah ini juga dipilih oleh kedua belah pihak yang bertikai.
Tetapi perantara itu sekedar mempertemukan kehendak kompromistis
kedua-dua pihak, penengah ini menyelesaikan sengketa dengan membuat
keputusan-keputusan penyelesaian atas dasar ketentuan-ketentuan yang
ada.
5. Peradilan (adjudication) suatu usaha penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh pihak ketiga yang memang mempunyai authoriti untuk
menyelesaikan konflik. Pengadilan (hakim) tidaklah dipilih oleh pihak-
pihak yang bertikai seperti apa yang berlaku pada proses akomodasi
melalui penengah. Akan tetapi, seperti halnya para penengah, para
pengadilan (adjudication, khusus hakim) itu selalu menggunakan aturan-
aturan tertentu sebagai standar penyelesaian sengketa.
16
6. Toleration, suatu bentuk akomodasi yang berlangsung tanpa manifestasi
persetujuan formal macam apapun. Pertentangan berlaku kerana individu-
individu bersedia menerima perbezaan-perbezaan yang ada sebagai suatu
kenyataan, dan dengan kerelaan membiarkan perbezaan itu, serta
menghindari diri dari pertelingkahan-pertelingkahan yang mungkin
timbul.
7. Stalemat, adalah suatu bentuk akomodasi, dimana pihak-pihak yang
bertentangan tiba pada suatu posisi “maju tidak boleh dan mundur tidak
boleh”. Stalemate adalah suatu situasi kemacetan yang stabil, sehingga
beberapa pihak mengatakan bahawa stalemate bukanlah proses akomodasi
melainkan resultant suatu proses akomodasi
Beberapa cara lain yang digunakan dalam usaha mengendalikan konflik,
dinyatakan oleh Moore Christopher (Susan 2009). Bentuk-bentuk pengendalian
dan proses pengurusan konflik yang dimaksud iaitu:
a. Avoidance ialah pihak-pihak berkonflik saling menghindari dan
mengharap konflik boleh terselesaikan dengan sendirinya.
b. Informan problem solving ialah pihak-pihak yang berkonflik setuju dengan
pemecahan masalah yang diperoleh secara informal.
c. Negotiation ketika konflik masih terus berlanjut, maka para pihak
berkonflik perlu melakukan negosiasi. Artinya mencari jalan keluar dan
pemecahan masalah secara formal. Hasil dari negosiasi bersifat prosedural
yang meningkat semua pihak yang terlibat dalam negosiasi.
d. Mediation ialah munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua pihak
kerana dipandang boleh membantu parah pihak berkonflik dalam
penyelesaian konflik secara damai.
e. Executivedispute resolution approach iaitu kemunculan pihak lain yang
memberi suatu bentuk penyelesaian konflik.
f. Arbitration suatu proses tanpa paksaan dari para pihak berkonflik untuk
mencari pihak ketiga dipandang netral atau imparsial.
g. Judicial approach berlakunya intervensi yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga berwenang dalam memberi kepastian hukum.

17
Langkah-langkah penyelesaian konflik dan pertikaian sosial mana yang
sesuai tentunya sangat bergantung kepada sumber konflik, pencetus konflik,
keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik serta tingkat intensitas konflik. Faktor
pencetus konflik dan pertikaian kerapkali bukan merupakan sumber konflik yang
sebenarnya. Pencetus konflik ialah suatu tindakan atau kejadian yang langsung
mencetuskan pertikaian antara kedua-dua pihak. Sedangkan sumber konflik
merupakan akar permasalahan yang harus ditarik jauh ke belakang secara historis,
yang akan memberikan penjelasan secara substansi mengenai asal-muasal
kebencian antara pihak-pihak yang bertikai.
Pengendalian atau penyelesaian konflik yang hanya berasas kepada faktor
pencetus konflik, tidak akan menghasilkan sebuah solusi yang menyeluruh dan
mendalam, namun mungkin hanya akan meredam pertikaian atau kekerasan pada
masa yang singkat sahaja, dan tidak lama kemudian akan muncul pertikaian yang
serupa, bahkan mungkin dengan intensitas yang lebih kuat. Oleh itu, beberapa
konflik yang berlaku tidak dapat benar-benar dihapuskan, dan akan berulang pada
bilangan masa tertentu. Sumber setiap pertikaian ialah kebencian yang tersimpan.
Apabila kebencian kepada pihak yang berkuasa tidak mampu diungkapkan, maka
akan berlaku transfer of hate, iaitu kebencian yang dialihkan kepada pihak lain
yang mewakili kepentingan lawan yang berkuasa tersebut. Pada keadaan seperti
ini tentu konflik dan pertikaian menjadi fenomena yang sangat sukar untuk
diselesaikan, terutama untuk mendapatkan sumber konfliknya, kerana sebenarnya
pada setiap pertikaian memiliki nilai pembenarannya sendiri.
Dalam rangka upaya pembangunan sosial ekonomi perdesaan sekitar hutan
Tesso Nilo saat ini dibutuhkan strategi khusus yang mampu mengintegrasikan
tujuan konservasi alam, perbaikan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan
penguatan fiskal bagi pembangunan daerah secara terpadu. Untuk itulah
diperlukan suatu pendekatan pengelolaan pembangunan perdesaan sekitar
kawasan hutan Tesso Nilo (yang sebagaimana kini sudah ditetapkan sebagai
Taman Nasional Tesso Nilo) yang menganut prinsip “dari pembangunan
konservasi untuk pembangunan ekonomi ke arah pembangunan ekonomi untuk
pembangunan berkelanjutan”.

18
Upaya mengembangkan pembangunan konservasi ini membutuhkan
strategi yang integral dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat desa-desa
di sekitar hutan mengingat sejatinya masyarakat perdesaan sekitar hutan adalah
bagian tidak terpisahkan dari pemangku kepentingan utama pembangunan itu
sendiri. Secara khusus dalam upaya pembangunan TNTN, persepktif ini menjadi
sangat relevan karena sesuai pula dengan visi pembangunan daerah Provinsi Riau
yang memprioritaskan penanggulangan K2I (kemiskinan, kebodohan dan
infrastruktur) yang antara lain dengan memberikan perhatian khusus terhadap
upaya untuk membangun otonomi desa. Inilah momentum untuk membuktikan
komitmen berbagai pihak dalam menyelaraskan pembangunan daerah yang
mampu mengakomodasi asas-asas fungsi ekologis, ekonomis dan sosial budaya
dalam membangun kehidupan yang lebih berkualitas di perdesaan sekitar kawasan
hutan Tesso Nilo Provinsi Riau.
Secara teoritik, masalah pembangunan perdesaan di sekitar hutan dapat
dijelaskan sebagai masalah persaingan yang kompleks antara kepentingan
konservasi untuk pelestarian lingkungan alam dengan kepentingan ekonomi dan
sosial dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Hal ini meliputi kepentingan yang
terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa dalam tradisi
dan pengalaman praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya hutan maupun yang
terkait dengan persaingan antara usaha ekonomi “kapitalistik” dengan usaha
ekonomi “rakyat” yang tidak seimbang. Hal yang disebutkan terkahir bisanya juga
dilingkupi pula masalah struktural dalam pembangunan yang tidak terpisahkan
dalam proses pembangunan yang bersifat sentralistik dan uniformitas yang juga
sudah cukup lama berlangsung.
Berkenaan dengan ini diperlukan suatu pendekatan terpadu dalam kelola
kawasan, kelola usaha dan kelola sosial yang hendaknya mampu mengupayakan
rekonsiliasi antara para pemangku kepentingan dalam pembangunan.
Pembangunan perdesaan di sekitar hutan dengan sendirinya secara khas juga
membutuhkan perhatian penyesuaian terhadap keadaan ekologi, ekonomi, sosial
dan budaya setempat dengan memposisikan masyarakat perdesaan sebagai
pemangku utama pembangunan.

19
2.2 KERANGKA PEMIKIRAN
Pemerintah
Masyarakat Daerah Pengelola TNTN Perusahaan

RESOLUSI:
Taman Nasional KONFLIK  Konsiliasi
Tesso Nilo  Mediasi
(TNTN)  Arbritasi

Sumber

Kepentingan Kekuasaan Hak


(interest) (power) (right)

Gambar 2.2 : Kerangka Pemikiran“Konflik Antar Pemangku Kepentingan di Taman Nasional Tesso Nilo Provinsi Riau”
20
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Penelitian dalam rangka penyusunan rekomendasi teknis pembangunan
sosial ekonomi masyarakat perdesaan di sekitar hutan Tesso Nilo Provinsi Riau.
Daerah sasaran penelitian ini meliputi 22 desa sekitar kawasan TNTN yang
tersebar di empat kabupaten di Provinsi Riau, yakni: Pelalawan, Indragiri Hulu,
Kampar dan Kuantan Singingi.

3.2 Informan
Karena penelitian ini merupakan studi kasus dan menggunakan
pendekatan kualitatif, maka pengambilan informan dilakukan berdasarkan tujuan
tertentu, yaitu untuk memperoleh gambaran seluas-luasnya tentang konflik antar
pemangku kepentingan di seputar Taman Nasional Tesi Nilo. Informan dalam
penelitian ini adalah tokoh-tokoh terkait dengan masyarakat, otoritas pemerintah
pengelola kawasan, perusahaan dan pemerintahan daerah.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan dengan menerapkan metode
dan teknik pengumpulan data untuk masing-masing tahapannya adalah sebagai
berikut.
Tahap I. Pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan intervensi
kebijakan dan program pembangunan yang pernah dilakukan pemerintah serta
pihak lain, baik tingkat nasional maupun daerah. Bersamaan dengan ini dilakukan
pengumpulan data tentang keadaan demografis, peta wilayah, potensi sumber
daya, keadaan ekonomi perdesaan, tingkat kemiskinan, kategori dan intervensi
pembangunan yang pernah dilakukan terkait dengan keberadaan perusahaan-
perusahan besar yang melakukan akumulasi kapital di sekitar kawasan hutan
Tesso Nilo ini. Data sekunder dikumpulkan melalui laporan penelitian terdahulu,
dinas dan instansi terkait serta berbagai dokumen yang relevan.

21
Tahap II. Pengumpulan data primer tentang struktur sosial, kehidupan
sosial budaya, pola mata pencaharian, seluk beluk aktivitas ekonomi menurut
jenis-jenis usaha perdesaan, konflik antar para pemangku kepentingan dan strategi
survival keluarga perdesaan di sekitar hutan. Data dikumpulkan dengan metode
pengamatan langsung (direct observation), wawancara mendalam (depth
interview) dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) melalui
kunjungan lapangan dan transek ke desa-desa sasaran penelitian. Dalam
melaksanakan wawancara mendalam dan FGD, antara 5-10 orang terdiri dari
pemimpin formal, pemimpin informal dan warga petani di setiap desa-desa
sasaran penelitian yang dikunjungi telah menjadi informan kunci dalam penelitian
ini. Pada tahap ini juga dilakukan verifikasi data sekunder dan temuan-temuan
data primer awal secara langsung dengan pemerintah (dinas/instansi terkait di
tingkat provinsi Riau dan keempat kabupaten yang mewilayahi TNTN), peneliti
dari perguruan tinggi setempat, praktisi NGO dan Forum Masyarakat Tesso Nilo.
Melalui tahapan ini, didapatkan kategorisasi masyarakat menurut tingkat
kemiskinannya, kategorisasi dan karakteristik usaha ekonomi perdesaan di sekitar
hutan serta peta konflik dan resolusi konflik antar para pemangku kepentingan
pembangunan. Banyak data penting dan relevan berupa kekayaan informasi
kualitatif yang telah didalami sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Tahap III. Melakukan crosscheck melalui diskusi kelompok terarah
(Focus Group Discussion/FGD) bersama para pihak (multi-steakholders/actors)
dengan tujuan melakukan pembahasan partisipatif dan multi-pihak dalam rangka
menemukan usulan pilihan-pilihan strategi pembangunan berkelanjutan yang tepat
dan layak terap oleh pemerintah daerah dalam rangka pembangunan sosial
ekonomi masyarakat perdesaan di sekitar hutan Tesso Nilo Provinsi Riau.

3.4 Teknik Analisis Data


Sesuai dengan prinsip pendekatan penelitian yang digunakan, penelitian
ini tidak berpretensi untuk mencapai tujuan generalisasi ataupun representatifitas
yang dapat dilengkapi melalui pelaksanaan survei opini publik dan respon
masyarakat desa serta evaluasi kebijakan publik dalam studi-studi lanjutan di
masa akan datang.
22
Teknik analisa data dalam penelitian ini mengacu pada model interaktif
Huberman dan Miles (dalam Bungin, 2003:69). Teknik analisis data model
interaktif huberman dan Miles menyatakan adanya sifat interaktif antara kolektif
data atau pengumpulan data dengan analisis data. Analisis data yang dimaksud
yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data atau penarikan kesimpulan.

Pengumpul Data

Reduksi Data Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan
(Penarikan/ Verifikasi)

Gambar 3.1 Analisis Data Model Interaktif Huberman dan Miles

Reduksi data adalah mengelola data dengan bentuk analisis yang


menajamkan, menggolongkan, mengarahkan dan membuang data yang tidak
diperlukan serta mengorganisir data tersebut. Dengan mengorganisir data maka
dapat dengan mudah menyajikan atau memaparkan data-data yang diperlukan
untuk disimpulkan dengan cara induktif pada penelitian, dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan atau verifikasi dalam menganalisis data penelitian (Bungin,
2003).

23
BAB IV

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA SEKITAR TESSO NILO

Di dalam peta wilayah Provinsi Riau antara lain dapat ditemukan adanya
dua buah sungai bernama Sungai Tesso dan Sungai Nilo yang melintasi empat
daerah kabupaten yakni Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi,
tepat di bagian inti dan masing-masingnya membelah di bagian tengah wilayah
Riau ibaratkan jantungnya provinsi ini. Kedua sungai ini hingga sekarang masih
dikitari kawasan hutan alam paru-paru penghasil oksigen terpenting dari kawasan
hutan tropis dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Sumatra. Secara
hidrologis, kedua sungai ini juga memiliki fungsi tata air yang penting sebagai
kawasan tangkapan air dan menjadi kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
tidak terpisahkan dengan Sub-DAS Kampar DAS Indragiri Rokan.
Bagi kalangan komunitas peneliti dan praktisi konservasi, kawasan sekitar
Sungai Tesso dan Sungai Nilo ini kemudian lebih populer disebut dengan nama
kawasan hutan Tesso Nilo dan sejak Tahun 2004 telah dikukuhkan pula secara
resmi oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai kawasan Taman Nasional
Tesso Nilo (TNTN).

4.1 Letak Administratif dan Sebaran Desa


Menurut pembagian wilayah administratif, 22 desa sekitar kawasan hutan
Tesso Nilo ini tersebar di 4 kabupaten di Provinsi Riau, yaitu: Pelalawan,
Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi. Menurut pembagian wilayah
Kecamatannya, Desa-desa ini terbagi lagi ke dalam 9 Kecamatan, masing-masing
3 Kecamatan di Kabupaten Pelalawan, 1 Kecamatan di Kabupaten Indragiri Hulu,
2 Kecamatan di Kabupaten Kampar dan 3 Kecamatan di Kabupaten Kuantan
Singingi.
Secara terperinci daftar desa sekitar TNTN menurut pembagian wilayah
administratif kecamatan dan kabupaten yang menaungi selanjutnya dapat dilihat
pada Tabel 4.1 berikut ini:

24
Tabel 4.1 Nama Desa Sekitar TNTN Menurut Pembagian Wilayah Administratif

KABUPATEN KECAMATAN DESA


Langgam 1. Pangkalan Gondai
Langgam 2. Segati
Pelalawan Pangkalan Kuras 3. Kesuma/Sei Medang
Ukui 4. Lubuk Kembang Bunga
Ukui 5. Air Hitam
Pasir Penyu 6. Pontian Mekar
Pasir Penyu 7. Tasik Juang
Indragiri Hulu
Pasir Penyu 8. Sei. Beras-beras
Kelayang 9. Air Putih
Kampar Kiri 10. Gunung Sari
Kampar Kiri 11. Suka Makmur
Kampar
Kampar Kiri 12. Gunung Sahilan
Kampar Kiri Hilir 13. Rantau Kasih
Kuantan Hilir 14. Gunung Melintang
Logas Tanah Darat 15. Situgal
Logas Tanah Darat 16. Rambahan
Logas Tanah Darat 17. Perhentian Luas
Kuantan Singingi Logas Tanah Darat 18. Giri Sako
Logas Tanah Darat 19. Lubuk Kebun
Logas Tanah Darat 20. Hulu Tesso
Logas Tanah Darat 21. Logas Tanah Darat
Singingi Hilir 22. Suka Maju
Sumber: WWF Riau, 2015

Pengidentifikasian 22 desa sekitar TNTN ini tidak terlepas dari langkah


yang lebih awal dilakukan WWF Indonesia, Ada 3 kriteria yang digunakan
sebagai acuan penentuan desa-desa perbatasan TNTN ini, yaitu:

1) Letak geografis desa dekat/berdekatan dengan kawasan TNTN dan


kawasan yang masih diusulkan untuk menjadi kawasan perluasan TNTN,
2) Desa sering mengalami gangguan serangan gajah, dan
3) Desa memiliki hak ulayat di kawasan TNTN dan kawasan yang masih
diusulkan untuk menjadi kawasan perluasan TNTN.

4.2 Tipologi Desa dan Keadaan Demografi

Secara demografis, desa-desa sekitar kawasan TNTN ini dapat dibagi ke


dalam 3 tipologi desa, yakni: desa asli, desa transmigrasi dan desa campuran
(mix).

25
Pertama, tipologi desa asli dengan ciri-ciri utamanya mayoritas penduduk
desa adalah penduduk tempatan atau penduduk asal setempat yang mengklaim diri
secara umum bersuku bangsa Melayu Riau. Sebagian besar desa bertipologi ini
merupakan desa-desa dengan sejarah pembentukan desanya lebih tua atau lebih
dahulu dibandingkan dua kategori desa yang lainnya. Namun demikian ditemukan
juga adanya desa-desa asli dengan riwayat pembentukannya relatif baru sebagai
hasil ekspansi penerukaan penduduk tempatan.

Kedua, tipologi desa transmigrasi dengan ciri-ciri utamanya mayoritas


penduduk desa terdiri dari warga transmigran asal Pulau Jawa. Sebagai desa yang
dibentuk secara resmi menjadi desa permanen dengan sendirinya warga desa-desa
transmigrasi ini juga telah menjadi penduduk permanen di daerah ini dari hasil
program nasional transmigrasi sejak tahun 1970an. Umumnya keluarga kaum
transmigran asal Pulau Jawa di daerah ini kini telah terdiri atas 2-3 generasi.

Ketiga, tipologi desa campuran (mix) dengan ciri-ciri utama komposisi


penduduknya terdiri atas beragam latar belakang suku bangsa yang merupakan
campuran antara penduduk yang berasal dari desa-desa asli sekitarnya dan
penduduk pendatang yang berasal dari daerah seprovinsi dan dari luar provinsi
Riau. Selain penduduk asal Melayu Riau, di perdesaan ini dapat ditemui juga
warga suku bangsa lainnya seperti Batak, Jawa, Nias, Minangkabau dan lain-lain.
Desa-desa tipologi ketiga ini umumnya berdiri lebih akhir dibandingkan desa-desa
dari kedua tipologi desa lainnya. Desa-desa campuran ini umumnya berdiri
melalui proses transmigrasi swakarsa yang mengikuti berlangsungnya pembukaan
hutan dan lahan yang telah meningkat sangat pesat di kawasan ini di era akhir
tahun 1970an dan 1980an. Dapat dipastikan bahwa pendirian desa-desa ini terkait
erat dengan hadirnya aktivitas-aktivitas akumulasi kapital skala besar yang
diselenggarakan kontraktor-kontraktor HPH, perkebunan kelapa sawit, HTI dan
pengembangan industri pulp, serta tidak terkecuali juga karena adanya program
transmigrasi resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah nasional.

Menurut data BPS (2014) desa-desa sekitar TNTN ini didiami oleh lebih
dari 41.181 jiwa penduduk yang terdiri dari 9.775 KK. Adapun gambaran

26
terperinci mengenai jumlah penduduk di 22 desa sekitar TNTN ini dapat dilihat
dari Tabel 4.2 di bawah ini:

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk dan Jumlah KK di Desa-Desa Sekitar TNTN

JUMLAH JUMLAH
KABUPATEN KECAMATAN DESA
PENDUDUK KK
1. Pangkalan
Langgam 2.114 497
Gondai
Langgam 2. Segati 1.918 460
3. Kesuma/Sei
Pelalawan Pangkalan Kuras 1.515 341
Medang
4. Lubuk Kembang
Ukui 1.792 392
Bunga
Ukui 5. Air Hitam 2.022 484
Pasir Penyu 6. Pontian Mekar 1.796 476
Pasir Penyu 7. Tasik Juang 1.239 272
Indragiri Hulu
Pasir Penyu 8. Sei. Beras-beras 1.633 392
Kelayang 9. Air Putih 3.963 963
Kampar Kiri 10. Gunung Sari 3.977 844
Kampar Kiri 11. Suka Makmur 2.851 709
Kampar
Kampar Kiri 12. Gunung Sahilan 1.569 325
Kampar Kiri Hilir 13. Rantau Kasih 596 146
14. Gunung
Kuantan Hilir 2.650 701
Melintang
Logas Tanah Darat 15. Situgal 215 51
Logas Tanah Darat 16. Rambahan 687 160
Logas Tanah Darat 17. Perhentian Luas 2.056 463
Kuantan Singingi Logas Tanah Darat 18. Giri Sako 1.921 480
Logas Tanah Darat 19. Lubuk Kebun 364 96
Logas Tanah Darat 20. Hulu Tesso 1.284 311
21. Logas Tanah
Logas Tanah Darat 569 139
Darat
Singingi Hilir 22. Suka Maju 4.450 1.073
JUMLAH 41.181 9.775
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015

Gambaran data penduduk yang dipaparkan di atas memperlihatkan bahwa


jumlah penduduk antar desa bervariasi besarnya dan secara umum menunjukkan
proporsi seimbang antara jumlah penduduk asli dan penduduk pendatang. Hal ini
sekaligus membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk di daerah ini
sesungguhnya lebih dipengaruhi oleh faktor tingginya tingkat migrasi penduduk
pendatang dibandingkan pertumbuhan alamiah dari penduduk asal di daerah ini
sendiri.

Adapun keadaan sumber daya manusia di desa-desa sekitar TNTN dapat


dikatakan masih memprihatinkan sehingga perlu perhatian dan terobosan untuk
mengatasinya. Dari sumber resmi kependudukan tingkat provinsi yang tersedia di
27
BPS (2014) ditunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk di desa-desa sekitar
TNTN ini tergolong rendah dengan ciri-ciri mayoritas penduduk maupun Kepala
Keluarga di desa-desa ini hanya berpendidikan terakhir tidak tamat dan tamat
Sekolah Dasar.

Sebagian besar penduduk desa sekitar hutan Tesso Nilo mata


pencahariannya bergerak dalam sektor pertanian perdesaan. Pertanian tanaman
perkebunan seperti karet dan kelapa sawit serta mencari kayu ke kawasan hutan
masih merupakan mata pencaharian utama masyarakat desa sekitar kawasan hutan
Tesso Nilo. Sebagian kecil masyarakat seperti di Desa Gunung Sahilan dan
Rantau Kasih di Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar, Hulu Tesso
Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi, Lubuk Kembang
Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan dan desa-desa di pinggiran sungai
lainnya juga memiliki mata pencaharian sebagai nelayan mencari ikan di sungai-
sungai utama di sekitar permukiman mereka. Kegiatan berternak sapi dan kerbau
serta memelihara ayam juga dijumpai di sejumlah desa, tetapi umumnya masih
kurang berkembang. Cara berternak sapi misalnya secara umum masih dilakukan
dengan sistem dilepas dan biasanya memang belum dijadikan andalan pendapatan
keluarga. Desa Perhentian Luas, Desa Rambahan, Desa Situgal dan Desa Logas di
Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi, Desa Lubuk
Kembang Bunga Kecamatan Ukui dan Desa Pangkalan Gondai Kecamatan
Langgam di Kabupaten Pelalawan mengandalkan juga lebah madu sebagai mata
pencaharian sampingan penduduk. Sementara itu, kehadiran banyaknya
perusahaan besar yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan dan industri
pengolahan hasil hutan di daerah ini tampaknya belum memberi kontribusi berarti
dalam menampung tenaga kerja di sektor jasa dan formal dari kalangan penduduk
asal desa-desa sekitarnya. Penyerapan tenaga kerja lokal mulai dari pekerja buruh
harian hingga pekerja terampil dan profesional relatif sangat rendah. Tingkat
penyerapan tenaga kerja lokal yang terbesar hanya untuk buruh harian
perkebunan, sedangkan untuk tenaga kerja terampil dan profesional di perusahaan
sangatlah kecil.

28
4.3 Sistem Organisasi Sosial

Kehidupan masyarakat desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo antara lain
juga perlu dipahami dari sudut pandang sosial budaya yang meliputi sistem
organisasi sosial tradisional masyarakat desa sekitar kawasan ini. Secara sosio-
kultural, khususnya apabila merujuk pada pembagian sosio-kultural masyarakat
tempatan, desa-desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo dapat pula dibagi ke dalam
dua varian sistem organisasi sosial tradisional. Pertama, desa-desa yang secara
organisasi sosial dominan mengikuti sistem perbatinan atau dalam istilah setempat
biasa juga disebut menganut adat Melayu Petalangan. Desa-desa yang menganut
sistem organisasi sosial tradisional seperti ini terutama dapat ditemukan di daerah
perdesaan sekitar TNTN di kabupaten Pelalawan dan kabupaten Indragiri hulu,
seperti:

1. Desa Pangkalan Gondai


2. Desa Segati
3. Desa Desa Kesuma/Sungai Medang
4. Desa Lubuk Kembang Bunga
5. Desa Air Hitam
6. Desa Pontian Mekar
7. Desa Tasik Juang
8. Desa Sei. Beras-Beras
9. Air Putih

Kedua, desa-desa sekitar TNTN yang menganut sistem kepenghuluan


dengan sistem organisasi sosial dan kekerabatan yang mendapat pengaruh dari
kebudayaan Minangkabau. Dalam penggolongan sosial-budaya Minangkabau
memang dikenal adanya pengkategorian mengenai daerah rantau, yang
wilayahnya meliputi beberapa daerah di Provinsi Riau, seperti di kabupaten
Kampar dan Kuantan Singingi. Dalam hal ini patut dicatat meskipun dinyatakan
mendapat pengaruh dari kebudayaan Minangkabau, tetapi pada hakikatnya
terdapat cukup banyak juga perbedaan dan kekhasan yang menjadikan sistem
kehidupan sosial budaya masyarakat desa-desa ini unik dan tidak dapat
digeneralisasi sebagaimana kedudayaan Minangkabau sendiri yang sejatinya juga
29
bersifat plural. Adapun desa-desa sekitar TNTN yang dominan menganut sistem
kepenghuluan ini secara administratif berada di kabupaten Kampar dan kabupaten
Kuantan Singingi, seperti:

1. Desa Gunung Melintang


2. Desa Situgal
3. Desa Ramabahan
4. Desa Perhentian luas
5. Desa Giri Sako
6. Desa Lubuk Kebun
7. Desa Hulu Tesso
8. Desa Logas Tanah Darat
9. Desa Suka Maju
10. Desa Gunung Sari
11. Desa Suka Makmur
12. Desa Gunung Sahilan
13. Desa Rantau Kasih

Secara tradisional, baik sistem pebatinan maupun sistem kepenghuluan


merupakan kesatuan kelompok masyarakat yang tersusun berdasarkan struktur
dan hubungan hubungan kekerabatan. Dari para tetua adat disebutkan bahwa
terdapat perbedaan sistem adat antara kedua masyarakat yang menganut sistem
organisasi sosial ini. Perbedaan itu terutama terlihat dalam pola kepemimpinan
pada sistem perbatinan yang dinyatakan lebih bersifat otokrasi dengan undang
adat “lantak luka”, sedangkan sistem kepenghuluan lebih bersifat demokratis,
dengan undang adat “lantak bane”.

Hubungan antara anggota-anggota suku atau kerabat dengan pemimpin


tradisional pada masing-masing masyarakat ini dilukiskan bahwa dalam sistem
pebatinan agak lebih longgar dibandingkan pada masyarakat yang menganut
sistem kepenghuluan. Longgar dalam pengertian lemahnya solidaritas sosial pada
tingkat kesatuan komunitas wilayah pebatinan. Solidaritas sosial biasanya masih
terpelihara pada tingkat keluarga luas ataupun kesatuan sosial berdasarkan
territorial yang terikat oleh kerja sama aktivitas mata pencaharian seperti dalam
30
pembukaan ladang, berburu dan dalam melawan serangan-serangan dari binatang
atau dari warga masyarakat lainnya. Sifat individualistik, sebagai konsekuensi dari
pola okupasi yang kurang berkembang (tetap bertahan sebagai petani peladang)
dalam masyarakat pebatinan, dalam banyak hal tidak menguntungkan dalam
usaha melakukan perbaikan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pada masyarakat desa-desa pertalangan yang biasanya hidup lebih di


daerah pedalaman terdapat kecenderungan untuk hidup mengelompok
berdasarkan ikatan kekerabatan dan memberi corak terhadap pola pembentukan
pemukiman. Menurut Parsudi Suparlan (1993), ada beberapa pola pengelompokan
tempat tinggal pada masyarakat Melayu yang menganut sistem pebatinan ini
seperti ini, seperti: 1) ada kecenderungan memilih tempat tinggal berdekatan
dengan orang tua, mertua, saudara sekandung; 2) ada kecenderungan memilih
tempat tinggal berdekatan dengan saudara sepupu, saudara angkat, saudara laki-
laki dari ibu, saudara-saudara kandung ibu atau bapak; 3) memilih tempat tinggal
dengan orang-orang yang berasal dari pebatinan yang sama. Pola seperti ini
sampai sekarang juga kami temui di sejumlah desa pertalangan, termasuk di
kampong-kampung daerah penerukaan baru yang dipelopori oleh penduduk
tempatan di desa-desa sekitar TNTN di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten
Indragiri Hulu.

Di desa-desa yang masyarakatnya mengklaim menganut pengaruh


kebudayaan matrilineal Minangkabau seperti di Kabupaten Kampar dan
Kabupaten Kuantan Singingi ditemukan susunan kekerabatan yang ditarik
berdasarkan garis keturunan ibu. Setiap individu adalah anggota dari kaum dan
suku ibunya. Keluarga matrilineal ini tersusun dalam struktur keluarga luas
(extended family) yang dipimpin oleh ninik mamak. Di antara sesama anggota
sekerabat matrilineal ini tidak diperkenankan menjalin tali perkawinan karena
melanggar prinsip perkawinan eksogami suku. Namun demikian terdapat
perbedaan yang mendasar dibandingkan dari praktek-praktek umum adat yang
masih berlaku di tanah Minangkabau, misalnya dalam pola kepemilikan komunal,
sistem pewarisan dan pola pengambilan keputusan yang di dalam praktek di desa-

31
desa sekitar Tesso Nilo ini ternyata lebih meniru prinsip-prinsip sistem patrilineal
yang secara struktural lebih cenderung menguntungkan posisi kaum laki-laki.

Meskipun terdapat perbedaan ideasional mengenai sistem organisasi sosial


dan struktur kepemimpinan tradisional antara sistem pebatinan dengan sistem
kepenghuluan, namun di dalam kenyataannya perbedaan ini juga tidaklah selalu
menonjol terlihat dalam tataran praktek kehidupan sosial budaya masyarakat desa
sekitar kawasan Tesso Nilo. Struktur kepemimpinan tradisional dalam masyarakat
yang menganut sistem pebatinan di desa-desa sekitar kawasan Tesso Nilo
biasanya terdiri dari: Batin, Ninik Mamak dan kepala keluarga inti atau kepala
rumah tangga. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kepenghuluan
struktur kepemimpinannya terdiri dari atas: Penghulu, Mamak nan Barompek,
Mamak Sako dan Tungganai. Di desa-desa ataupun di kampung-kampung yang
menganut sistem pebatinan maupun kepenghuluan terdapat pengelompokan
kekerabatan yang disebut suku. Nama-nama suku pada kedua sistem ini ternyata
juga tidak memperlihatkan banyak perbedaan, seperti pada beberapa desa dengan
sistem pebatinan terdapat beberapa nama-nama suku seperti: Melayu,
Mandahiling, Palabi dan Piliang. Hanya saja di dalam masyarakat yang menganut
sistem kepenghuluan, nama-nama suku ini biasanya lebih banyak, seperti:
Mandahiling, Melayu, Kampuang Salapan, Piliang, Pitopang, Melayu Darek,
Melayu Kepalo Koto, Domo, Caniago dan lain-lain.

Dalam kenyataannnya di banyak desa sekitar kawasan Tesso Nilo


pengaruh sistem organisasi sosial dan kepemimpinan tradisional umumnya
semakin memudar. Bahkan ada sejumlah desa yang sebenarnya sistem organisasi
sosialnya tidak lagi dapat dikategorikan ke dalam kedua sistem organisasi sosial
berbasis kebudayaan penduduk tempatan tersebut. Hal ini terutama dapat dijumpai
di sebagian besar desa-desa bentukan baru melalui transmigrasi yang diprakarsai
pemerintah nasional maupun transmigrasi swakarsa. Desa-desa ini biasanya
mayoritas penduduknya adalah warga pendatang. Desa-desa ini meliputi daerah
perdesaan sekitar TNTN bertipologi desa transmigrasi dan desa campuran (mix),
seperti:

1. Desa Pontian Mekar


32
2. Desa Tasik Juang
3. Desa Sei. Beras-Beras
4. Desa Air Putih
5. Desa Gunung Sari
6. Desa Suka Makmur
7. Desa Giri Sako
8. Desa Hulu Tesso
9. Desa Suka Maju

4.4 Sistem Kepemilikan dan Hak-hak Tradisional atas Tanah

Sistem pemilikan tanah dalam masyarakat perdesaan sekitar kawasan


hutan Tesso Nilo baik yang menganut sistem organisasi sosial pebatinan maupun
kepenghuluan bersifat komunal. Menurut klasifikasi beberapa tipe pemilikan
tanah yang dikemukakan oleh World Bank, pola penguasaan dan pemilikan tanah
seperti ini masih dapat digolongkan ke dalam tipe komunal tradisional dengan
ciri-ciri sebagai berikut:

1. konsentrasi pemilikan yang rendah – dimana hak kedaulatan berada


pada komunitas,
2. pengolahan tanah tidak terpusat dan hak pengelolaan berada pada
anggota-anggota kelompok,
3. kesama-rataan sosial ekonomi yang tinggi,
4. produktifitas tenaga kerja rendah,
5. produktifitas tanah rendah,
6. intensitas tenaga kerja rendah,
7. intensitas modal rendah,
8. produksi lebih berorientasi subsistensi, dan
9. struktur jasa dan pelayanan pendukung masih terkebelakang.

Hampir semua informan pemuka adat yang ditemui, menyatakan bahwa


seluruh tanah dan hutan Tesso Nilo beserta semua tanaman yang ada di atasnya
dikenai hak ulayat milik komunal dari suku ataupun pebatinan yang ada di daerah
tersebut. Adapun otoritas tertinggi atas hak ulayat ini, dalam masyarakat yang
33
menganut sistem pebatinan otoritasnya dipegang oleh Batin sedangkan pada desa-
desa yang menganut sistem kepenghuluan otoritasnya dipegang oleh
Datuk/Penghulu.

Sistem kepemilikan tanah secara komunal tradisional seperti ini sampai


sekarang umumnya masih tetap dipertahankan oleh masyarakat tempatan di
sekitar kawasan hutan Tesso Nilo. Dalam contoh kasus adanya penebangan pohon
sialang (jenis pohon tempat lebah menghasilkan madunya) yang dilakukan oleh
pihak perusahaan pemegang HPH, maka suku ulayat pemilik lahan tersebut
mengajukan keberatan kepada perusahaan dan menuntut denda ganti rugi sesuai
dengan adat yang berlaku. Setelah melalui proses yang cukup panjang, dan ketika
tidak dapat diselesaikan melalui jalur penegakan hukum adat, perkaranya bahkan
dilanjutkan hingga ke pengadilan negara. Hasilnya keputusan pengadilan
mengabulkan tuntutan komunitas adat, sehingga meskipun perusahaan melakukan
penebangan di areal konsesi HPHnya, pihak perusahaan yang melakukan
penebangan pohon sialang itu tetap dikenai denda membayar ganti rugi kepada
suku pemegang ulayat atas tanah tersebut.

Tetapi, walaupun pengakuan hak ulayat dan kepemilikan komunal atas


lahan dan hutan diakui dan tetap dipegang dengan teguh oleh masyarakat
tempatan, terdapat pemandangan umum bahwa pengaturan penggunaan dan
penguasaan atas lahan dan hutan di kawasan ini ternyata relatif longgar. Pada
suatu lahan atau hutan yang dimiliki oleh suku atau batin tertentu misalnya, tidak
berarti hanya anggota suku atau batin bersangkutan itu saja yang berhak
menggunakan dan menguasainya. Anggota dari suku atau batin lain di daerah itu
juga dapat meminta dan menerima hak untuk membuka ladang, mengambil kayu,
mendirikan rumah, memetik buah-buahan yang ada di dalamnya dan berburu
hewan. Urusannya tidaklah rumit, cukup dengan mengurusnya kepada batin, atau
datuk, atau penghulu atau ninik mamak pemegang otoritas hak ulayat untuk
meminta izin. Dalam kehidupan tradisional dahulunya dikenal adanya syarat
mengisi adat.

Dengan perkataan lain, ini berarti bahwa adanya pola kememilikan atas
tanah dan hutan oleh batin atau suku tertentu, sifatnya tidak terlalu mengikat
34
dengan pola penguasaan dan aturan penggunaannya. Apabila telah meminta izin
dan mendapat persetujuan dari otoritas pemilik ulayat atau pemimpin suku
tertentu, maka tanah beserta tanaman yang ada di atas kalau terus dikelola akan
dapat menjadi hak milik individu. Hak kepemilikan atas tanah yang terus diurus
ini selanjutnya dapat permanen (sebagai hak milik individu) dan dapat diwariskan
pula kepada generasi anak cucu dalam keluarganya. Dengan demikian konsep
kepemilikan kumunal atas tanah pada masyarakat desa sekitar kawasan hutan
Tesso Nilo ini dapat menjadi jauh lebih luas sebagai faktor internal (internal
factor) dan sekaligus faktor penekan (push factor) yang mendorong laju ekspansi
penduduk dan eskalasi okupasi lahan atau hutan.

4.5 Pola Perkampungan

Secara tradisional, pola permukiman masyarakat asli di desa-desa sekitar


kawasan hutan Tesso Nilo terdiri atas perkampungan yang berada di sepanjang
aliran sungai dengan tingkat kemiringan 15° sampai dengan 45°. Aliran sungai
memiliki arti penting bagi masyarakat desa di daerah ini terutama karena
fungsinya sebagai prasarana transportasi dan untuk memenuhi kebutuhan dasar air
minum dan MCK. Penduduk yang tinggal di pinggiran sungai, biasanya juga
melakukan aktivitas mencari ikan. Di sejumlah desa secara amat terbatas dijumpai
pula pemanfaatan aliran sungai sebagai sumber pengairan pertanian sawah.
Pertanian padi di daerah ini memang umumnya besifat tadah hujan dan itupun
biasanya diproduksi secara terbatas pada ladang-ladang penduduk yang baru
dibuka. Mayoritas penduduk memenuhi keputuhan pangan beras mereka dengan
cara membeli dari pedagang yang mendatangkan beras dari luar daerah ini.

Perkampungan asal di daerah ini biasanya mengelompok berdasarkan


hubungan kekerabatan, yang biasanya berjumlah 6 sampai dengan 10 buah rumah
yang masing-masing dihuni oleh keluarga-keluarga inti atau dengan tambahan
keluarga muda yang masih hidup menumpang dengan orang tua atau mertua
mereka karena belum mendirikan rumah sendiri. Kelompok-kelompok
permukiman yang tersusun menurut kesatuan suku secara patrilineal maupun
matrilineal ini biasanya terdiri dari perumahan dengan luas lahan kurang lebih 500
meter persegi. Jarak dan batas antara rumah yang satu dengan yang lainnya
35
maupun antara satu kelompok kerabat dengan kerabat lainnya bervariasi sehingga
terkesan tidak teratur secara rapi disebabkan biasanya perumahan dibangun dan
dikembangkan sesuai keadaan topografi alam di sekitar dengan berorientasi ke
arah sungai.

Berdasarkan pengetahuan budaya dan pengalaman adaptasi masyarakat


dengan lingkungan alamnya, secara umum masyarakat desa asli sekitar kawasan
hutan Tesso Nilo mempunyai sistem kategorisasi penggunaan lahan dan hutan
yang ada di lingkungannya atas empat (4) bagian, yaitu: perkampungan, polak,
ladang/kebun dan hutan.

Perkampungan merupakan kesatuan wilayah pusat konsentrasi penduduk


dengan permukimannya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat
melakukan berbagai aktivitas kehidupan sosial antar keluarga dan antar kelompok
komunitas. Perkampungan biasanya juga dijadikan tempat memelihara dan
menggembalakan ternak.

Polak merupakan kesatuan lahan yang biasanya terletak di sekitar


permukiman dan masih menjadi bagian yang menyatu dengan pusat kampung
hingga pinggir kampung yang biasanya digunakan untuk menanam tanaman padi,
beragam tanaman buah-buahan (kelapa, durian, kuini, pisang, rambutan dan
sebagainya) dan tanaman muda lainnya. Polak seperti kebun campur yang
merupakan bentuk evolusi tertua dari sistem perladangan yang memiliki fungsi
penting bagi ekonomi subsistens bagi keluarga dan masyarakat perdesaan.

Ladang/kebun merupakan satu kesatuan lahan yang biasanya terletak di


pinggiran hingga di luar perkampungan yang digunakan untuk cocok tanam
tanaman tua. Bedanya dari polak, di ladang penduduk biasanya melakukan cocok
tanam secara monokultur dan mengusahakan cash crop sebagai tanaman
utamanya yang diandalkan untuk menghasilkan pendapatan uang tunai. Tanaman
karet diusahakan oleh penduduk desa sekitar hutan Tesso Nilo sudah lama, sejak
generasi kakek dan nenek mereka, ketika pertama kalinya masyarakat di daerah
ini berpapasan dengan ekonomi tanaman ekspor dan kapitalisme di jaman
pendudukan kolonial Belanda.

36
Adapun hutan, merupakan bagian wilayah hutan alam yang dimiliki secara
ulayat (komunal) dan dijadikan sebagai cadangan lahan untuk generasi keturunan
hingga masa akan datang. Hutan biasanya juga digunakan penduduk desa untuk
tempat mengambil kayu bahan bangunan, bahan membuat sampan untuk
transportasi sungai dan tempat mengambil hasil hutan non-kayu seperti madu
lebah, getah damar, jelutung, rotan, manau, tabu-tabu, tumbuhan tertentu untuk
obat-obatan, serta tempat melakukan kegiatan berburu.

Dalam perkembangannya kemudian, terutama sejak tahun 1980an terjadi


perubahan pola permukiman penduduk di beberapa tempat di sekitar kawasan
hutan Tesso Nilo. Hal ini terkait langsung dengan adanya kebijakan pemerintah
dalam memberikan hak konsesi kepada perusahaan pemegang HPH dan penetapan
beberapa daerah sekitar kawasan ini menjadi desa transmigrasi. Begitu pula
seterusnya pembukaan perkebunan-perkebunan kelapa sawit, HTI dan
pembangunan industri kayu dan kertas berskala besar di kawasan ini, secara
sistematik turut mendorong terjadinya perubahan pola perkampungan di berbagai
pelosok desa sekitar kawasan ini.

Beberapa desa asli hingga kini memang masih memperlihatkan ciri-ciri


perkampungan tradisional. Demikian pula beberapa pemukiman transmigrasi
masih tetap mengikuti pola pemukiman di sepanjang aliran sungai. Namun
demikian terdapat kecenderungan umum di beberapa desa, terlihat adanya inisiatif
masyarakat untuk pindah dari pemukiman lama di sepanjang aliran sungai ke
pinggiran jalan yang dapat dilalui oleh alat transportasi darat. Salah seorang
pemuka masyarakat menyebutkan alasan pindah dan mendirikan rumah di
sepanjang jalan yang dapat dilalui oleh transportasi darat, dengan tujuan agar
hubungan transportasi, interaksi dan komunikasi dengan dunia luar dapat lebih
mudah dilakukan.

4.6 Pengaruh Kehadiran Perusahaan bagi Masyakat sekitar Hutan

Kehadiran perusahaan skala besar penyelenggara aktivitas akumulasi


kapital di sektor kehutanan dan perkebunan di Propinsi Riau telah berlangsung
sejak lama ditandai masuknya perusahaan pemegang HPH ke daerah ini mulai
tahun 1967. Peningkatan yang pesat terlihat nyata sampai akhir tahun 1992, dari
37
17 buah pada tahun 1974/1975 menjadi 68 buah pada tahun 1991/1992. Dengan
begitu luasnya areal konsesi hutan yang dimiliki oleh 68 perusahaan pemegang
HPH di Propinsi Riau ketika itu secara langsung telah mengakibatkan munculnya
sejumlah persoalan pada masyarakat desa sekitar yang sebagian besar
menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian dan perhutanan. Kehadiran
aktivitas akumulasi kapital bidang kehutanan secara besar-besaran juga telah
menimbulkan ekses negatif sebagai akibat dari penebangan hutan, seperti;
bencana banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. San Afri
Awang (1993: 64) ketika itu mengemukakan bahwa konflik antara masyarakat
dengan perusahaan pemegang HPH tidak terjadi, hal ini disebabkan karena
perusahaan pemegang HPH tidak pernah melarang masyarakat untuk membuka
hutan dan mengambil hasil hutan, seperti rotan, kayu gaharu dan madu, di dalam
wilayah konsesi perusahaan.

WWF Riau mengidentifikasi ada 9 perusahaan besar yang bergerak di


bidang perkebunan kelapa sawit yang terletak dekat dengan kawasan hutan Tesso
Nilo (termasuk perluasan TNTN). Selain itu terdapat pula sejumlah perusahaan
besar lainnya yang bergerak dalam usaha skala besar di bidang kehutanan dan
industri pengolahan hasil hutan di sekitar kawasan hutan Tesso Nilo. Perusahaan-
perusahaan ini terdiri dari 38 perusahaan pemegang HPH yang meliputi total
penguasaan hutan seluas 2.608.208 ha dan dan 20an perusahaan pemegang
konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), termasuk di antarnya PT. RAPP yang
paling populer dikenal oleh masyarakat desa sekitar kawasan ini.

38
Gambar .4.1. Peta Sebaran Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, HPH dan HTI di Sekitar
Kawasan Hutan Tesso Nilo
Sumber: WWF Riau, 2015

4.7 Penerimaan Masyarakat Desa terhadap TNTN

Pengukuhan kawasan hutan Tesso Nilo menjadi taman nasional pada


tahun 2004 memberi harapan baru bagi masyarakat desa sekitar. Setidaknya hal
ini terlihat dengan adanya komitmen dukungan formal dari 22 desa yang tersebar
di sekitarnya. Sejumlah program telah diluncurkan, seperti program konservasi
gajah yang terpadu dengan tujuan penanganan gangguan gajah; program
penguatan ekonomi keluarga perdesaan yang telah dimulai melalui pembinaan
produksi lebah madu dan bubidaya ikan di sungai; penguatan masyarakat desa
sekitar hutan melalui pembinaan forum masyarakat Tesso Nilo; dan berkoordinasi
dengan masing-masing pemerintah daerah dalam mendukung program-program
pembangunan daerah yang berorientasi pelestarian lingkungan.

Penerimaan masyarakat kedua puluh dua desa sekitar kawasan hutan Tesso
Nilo terhadap keberadaan TNTN ternyata cukup beragam. Dari berbagai
informasi kualitatif yang diperoleh selama penelitian ini diketahui masih relatif
rendahnya pengenalan mayoritas masyarakat desa sekitar terhadap TNTN. Sejak
TNTN dikukuhkan secara resmi sampai sekarang sosialisasinya sebenarnya
belumlah sampai pada berbagai lapisan masyarakat desa sekitar.
39
Di setiap desa memang ditemukan adanya tokoh-tokoh masyarakat (formal
dan informal) yang sudah mengetahui karena mereka beberapa kali pernah terlibat
dalam proses perencanaan hingga pengukuhan TNTN. Tetapi di kalangan para
tokoh masyarakat itu sendiri terkesan adanya beragam pemahaman dan
interpretasi tentang urgensi dan keberadaan TNTN. Sebagian tokoh desa yang
hingga kini masih berposisi mendukung program pembangunan TNTN umumnya
belum memandang kehadiran kebjakan dan program ini sebagai bagian dari
kebutuhan dan kepentingan bersama masyarakatnya. Pemahaman mereka tentang
keberadaan TNTN umumnya juga masih bersifat parsial. Pandangan parsial yang
paling umum ditemui adalah adanya anggapan bahwa keberadaan TNTN sebatas
kepentingan untuk konservasi gajah. Selain itu, TNTN lebih dipandang sebagai
programnya WWF. NGO bertaraf Internasional ini lewat perwakilannya WWF
AREAS Riau Project memang dapat dikatakan paling banyak terlibat
memprakarsai dan mengimpelementasikan pembangunan TNTN. Tetapi
bagaimanapun juga posisi organisasi ini sesungguhnya tetaplah sebagai salah satu
pihak fasilitator-dinamisator pembangunan TNTN. Oleh sebab itu amatlah keliru
apabila masih ditemui juga pejabat/aparat pemerintahan setingkat kabupaten dan
provinsi sekalipun yang ikut memandang bahwa TNTN itu adalah milik dan
programnya WWF.
Sebagian besar para tokoh masyarakat desa yang kami wawancarai soal
pandangannya terhadap kebijakan dan keberadaan TNTN bahkan mulai
mengambil posisi ragu dan apatis. Bagi mereka, kebijakan dan tindak lanjut
program TNTN dianggap tidak pasti. Hingga sekarang ketidak-pastian ini masih
terus berlanjut dan tidak tahu sampai kapan hal ini terus berlangsung. Terlepas
dari kompleksnya persoalan yang ada, mereka beranggapan bahwa pemerintah
dan pihak-pihak terkait sangat lamban dalam mengambil langkah. Tuntutan
kepastian yang mereka butuhkan sebenarnya hanya dua macam. Pertama,
perlunya segera melakukan pengukuran dan penentuan tapal batas TNTN.
Harapan mereka atas hal ini adalah untuk menghambat laju pembukaan hutan oleh
perusahan-perusahaan besar dan warga pendatang. Di samping itu juga terdapat
harapan agar jangan sampai penetapan tapal batas TNTN itu memasuki lahan
garapan dan sisa hutan ulayat mereka yang selama ini diklaim telah banyak
40
diambil oleh perusahaan-perusahaan besar di sekitarnya. Kedua, perlunya tindak
lanjut program yang lebih konkrit dalam rangka upaya perbaikan ekonomi
keluarga dan masyarakat perdesaan. Bagi mereka apapun namanya program
pembangunan yang diarahkan ke desa, saat ini yang paling mendesak ialah adanya
upaya nyata untuk mengatasi masalah kesulitan ekonomi yang dihadapi
masyarakat.
Ada pula tokoh masyarakat yang kini sudah terang-terangan mengambil
posisi menolak kehadiran TNTN, meskipun semulanya mereka akui ikut
mendukung. Di salah satu desa transmigrasi yang dalam 1 tahun terakhir
mengalami peningkatan serangan gajah, secara resmi pemerintah desanya telah
mengajukan surat penolakan. Dalam logika mereka pembangunan TNTN inilah
yang telah memicu peningkatan serangan gajah terhadap tanaman penduduk dan
manusia. Dalam kalangan warga awam memang tidak ditemukan pro kontra yang
tajam dalam menyikapi keberadaan TNTN. Hal ini tampaknya lebih disebabkan
karena masih minimnya pengenalan mereka terhadap keberadaan TNTN.

41
BAB V

KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN DI

KAWASAN TESSO NILO

5.1 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Kawasan TNTN

Analisis pemangku kepentingan untuk menelaah dan memecahkan konflik


di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) perlu dilakukan, karena analisis
konflik dan resolusi konflik memerlukan pemahaman mengenai peta konflik,
siapa berkonflik dengan siapa dan hal apa yang dikonflikkan.
Pada saat ini, kawasan TNTN dapat dibagi dua menurut peresmian
areanya. Pertama adalah kawasan TNTN yang telah diresmikan menjadi TNTN
seluas 38.576 ha. Area kedua merupakan kawasan rencana atau usulan
pengembangan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo seluas 116.424 ha. Analisis
ini mempertimbangkan pemangku kepentingan pada kedua klasifikasi kawasan
TNTN tersebut.
Secara konsepsional, TNTN berinteraksi baik secara langsung maupun
tidak dengan berbagai pihak pemangku kepentingan. Secara langsung TNTN
berinteraksi dengan pihak-pihak pemangku kepentingan berikut ini:
1. Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo beinteraksi dengan perusahahan-
perusahaan yang beroperasi baik dalam kawasannya, umumnya di
kawasan rencana pengembangan, maupun di lahan yang berdampingan
dengan TNTN. Perusahahan-perusahaan tersebut keseluruhannya
berorientasi penggunaan lahan yang luas untuk aktivitas akumulasi
kapitalnya. Mereka terdiri dari 5 buah perusahaan yang mengelola Hutan
Tanaman Indusri (HTI), 3 buah perusahahan pemegang Hak Penguasaan
Hutan (HPH) dan 7 buah perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala
besar. Kesemuanya mengontrol lahan yang sangat luas.
2. TNTN berinteraksi dengan 22 komunitas desa yang tinggal di sekitarnya
(9 komunitas asli, 8 komunitas transmigran asal Pulau Jawa dan 4
komunitas gabungan penduduk asli dengan transmigran asal Pulau Jawa).
42
Secara umum, komunitas tersebut bergantung kepada lahan pertanian
maupun hutan sebagai sumber pendapatan utamanya. Secara kebudayaan
komunitas tersebut dapat dibagi 5 yaitu Pelalawan, Indagiri Hulu,
Kampar, Kuantan dan Jawa.
Secara tidak langsung, TNTN berinteraksi dengan pemerintah daerah 4
kabupaten (Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi)
dan pemerintah Provinsi Riau. Di satu pihak, pemerintah Provinsi maupun
Kabupaten membuat kebijakan-kebijakan yang dapat berdampak terhadap
komunitas setempat dan perusahaan dan juga TNTN, seperti kebijakan yang
terkait dengan peruntukan lahan. Salah satu contoh adalah Dinas Kehutanan
Provinsi Riau mengeluarkan Surat Keputusan tentang pemanfatan hasil hutan oleh
PT. RAPP dan menegaskan bahwa Dinas Kehutanan Provinsi Riau wajib
memonitor dan mengontrol aktivitas PT. RAPP karena aktivitas perusahaan ini
tersebar di beberapa daerah Kabupatennya. Di pihak lain, baik komunitas lokal
maupun perusahaan-perusahaan mencari bantuan kepada Pemerintah setempat
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Sebagai contoh,
pemimpin formal maupun informal komunitas desa-desa yang berkonflik dengan
perusahaan meminta bantuan Bupati, DPRD Kabupaten dan Camat setempat
untuk menyelesaikan konflik mereka.

5.2 Hubungan yang Berkonflik Antar Pemangku Kepentingan

Pemangku kepentingan TNTN yang telah dipaparkan di atas merupakan


pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang kadang-kadang bersesuaian satu
sama lain, tetapi kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Konflik atau
kerjasama terjadi antara mereka bergantung kepada situasi kepentingaan mereka.
Apabila kepentingan mereka berkesesuaian, maka mereka akan berkooperasi.
Apabila kepentingan mereka bertentangan, maka mereka berkonflik. Pada saat ini,
kepentingan antar pemangku kepentingan sering bertentangan yang membuat
hubungan antar mereka berkonflik.
TNTN itu sendiri merupakan pihak yang mempunyai kepentingan sendiri,
yaitu konservasi satwa liar, terutama gajah dan harimau Sumatra. TNTN
dirancang untuk menjadi perlindungan terakhir gajah dan harimau Sumatra
43
tersebut. Gajah Sumatra merupakan binatang yang suka menjelajah dalam wilayah
yang jauh, dapat mencapai 7 Km dalam satu malam. Gajah berdarah panas,
sehingga mereka membutuhkan vegetasi hutan yang lebat untuk bernaung. Gajah
memerlukan lestarinya hutan juga untuk makan dan minum. Hal ini berarti gajah
memerlukan hutan yang lebat sebagai habitatnya. Untuk dapat berfungsi sebagai
pelindung satwa liar tersebut, TNTN berkepentingan untuk menjaga kelestarian
hutannya. Selanjutnya keterjaminan kelestarian hutan memiliki fungsi ekologis,
ekonomis dan sosial yang lebih luas mencakup keseimbangan ekosistem hutan,
fungsi hidrologis (tata air) dan kesejahteraan masyarakat, utamanya masyarakat
desa di sekitar hutan.
Kepentingan TNTN tersebut ada yang berkesesuaian dengan kepentingan
sekelompok penduduk desa-desa sekitarnya.
1. Kepentingan TNTN untuk melestarikan hutan berkesesuaian dengan
kepentingan sekelompok penduduk sekitar yang mencari produk non kayu
ke TNTN, yaitu mereka yang mencari madu lebah sebagai sumber
pendapatan tambahan. Kelompok pencari madu hutan ini pada umumnya
terdapat di Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi,
desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui dan desa Pangkalan Gondai
Kecamatan Langgam di Kabupaten Pelalawan. Karena lebah memerlukan
pohon Sialang untuk bersarang, penduduk memerlukan kelestarian pohon
Sialang tersebut. Mereka malah telah merumuskan hukum adat dan bahkan
telah melahirkan Peraturan Desa (Perdes), seperti yang telah dirumuskan
di Desa Rambahan Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan
Singingi untuk melestarikan pohon Sialang tersebut.1
2. Pada umumnya penduduk desa-desa sekitar TNTN berkepentingan untuk
mengendalikan gajah dan harimau agar satwa liar tersebut tidak
mengganggu mereka dan mata pencaharian mereka. Sedangkan konservasi
gajah dan harimau dalam kawasan TNTN disamping bertujuan untuk
melestarikan satwa juga untuk tujuan agar binatang tersebut tidak
mengganggu penduduk.

1
Lihat juga laporan WWF Area Riau Project tahun 2005 tentang Pengembangan Kegiatan Usaha
Madu Sialang di Kecamatan Logas Tanah Darat.
44
Akan tetapi, terdapat pula kepentingan TNTN yang dinilai penduduk desa-
desa sekitar bertentangan dengan kepentingan mereka karena hal-hal berikut:
1. Gajah Menyerang Perkebunan Penduduk.
Gajah di kawasan Tesso Nilo diperkirakan tinggal 165 – 203 ekor. Akibat
konflik antara gajah dan penduduk sekitar TNTN, baik Gajah itu sendiri maupun
penduduk setempat menderita kerugian. Gajah juga menyerang tanaman karet dan
kelapa sawit serta padi ladang penduduk hampir di semua desa yang berbatasan
langsung dengan hutan. Serangan gajah ini terjadi hampir di seluruh 22 desa
sekitar TNTN, tetapi intensitasnya berbeda.
Dari sudut intensitas serangan gajah, desa-desa sekitar TNTN dapat dibagi
dua. Pertama, desa-desa yang serangan gajah sudah mulai berkurang secara
signifikan (tidak ada serangan dua tahun terakhir) karena terhalang oleh kawasan
perkebunan perusahaan-perusahaan besar. Kedua, desa-desa yang intensitas
serangan gajah tinggi (lebih dari tiga kali setahun terakhir). Desa-desa yang
termasuk kategori ini adalah : desa Situgal Kecamatan Logas Tanah Darat
Kabupaten Kuantan Singingi, desa Lubuk Kembang Bunga, desa Air Hitam
(keduanya termasuk wilayah Kecamaatn Ukui Kabupaten Pelalawan) dan desa
Gunung Sahilan Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar. Perbedaan
intensitas serangan gajah di dua klasifikasi desa-desa ini akibat beroperasinya
berbagai perusahaan besar yang membuat desa-desa tidak lagi berbatasan
langsung dengan hutan.
2. Penduduk Mengambil Hasil Kayu ke Hutan
Ada kelompok penduduk desa-desa sekitar yang mengambil kayu ke hutan
Tesso Nilo untuk dijual. Praktek mereka disebut oleh pihak berwenang sebagai
pembalakan liar (illegal logging). Mereka ini adalah penduduk setempat yang
laki-laki yang pada umumya tidak mempunyai kebun, baik kebun karet maupun
kebun kelapa sawit sebagai sumber pendapatan atau mereka yang mempunyai
kebun karet tetapi anak-anaknya sudah besar dan kebun karetnya sudah tua seluas
hanya 1 sampai 2 ha. Penduduk desa-desa sekitar TNTN adalah petani peladang,
bukan petani sawah. Mata pencaharian ini dikondisikan oleh keadaan alam desa
mereka yang rawa dan perbukitan hutan dataran rendah. Akibatnya, sumber
pendapatan potensial penduduk bertumpu kepada ladang (umumnya perkebunan
45
karet dan akhir-akhir ini sawit). Bagi mereka yang tidak mempunyai kebun oleh
berbagai sebab seperti tidak adanya lahan, tidak adanya modal untuk membangun
kebun atau terbiasa kehutan untuk mengambil kayu, semenjak 1980an mengambil
kayu ke hutan merupakan sumber pendatan alternatif. Menurut pengakuan baik
pemimpin formal maupun informal komunitas desa, jumlah penduduk desa yang
mencari kayu ke hutan untuk dijual akhir-akhir ini makin berkurang, bukan karena
sadar konservasi melainkan karena kayu sudah mulai sulit.
Untuk membuktikan adanya pembalakan liar di sekitar TNTN tidaklah
sulit. Tumpukan kayu bulat hasil tebangan telihat dengan mudah di berbagai
tempat dan truk-truk bermuatan kayu bulat lalu lalang di jalan-jalan PT. RAPP,
jalan perkebunan hingga jalan raya yang melintasi desa. Di samping itu, sawmill
ditemukan di berbagai tempat di dekat kawasan TNTN.
3. Menjual Lahan Hutan dalam Kawasan Tanah Ulayat
a. Proses Okupasi Lahan Usulan TNTN
PT. RAPP berdampak besar terhadap kawasan hutan. Untuk melancarkan
aktivitas produksinya terutama untuk mengangkut kayu akasia dari lokasi
perkebunan ke pabrik, perusahaan besar ini membuat jalan poros yang
menghubungkan desa satu dengan desa yang lain. Hampir tidak ada desa-desa
sekitar TNTN yang tidak terhubungkan oleh jalan poros PT. RAPP. Biasanya
jalan yang dibuat oleh perusahahan ini dulunya termasuk kawasan hutan yang
cukup jauh dari perkampungan penduduk setempat. Terbukanya kawasan hutan
oleh jalan PT. RAPP tersebut membuat kawasan hutan makin bernilai ekonomis,
karena memungkinkan untuk ditransformasi menjadi kawasan perkampungan dan
perladangan seiring tersedianya kemudahan untuk memobilisasi orang dan barang.
Semua ini menimbulkan komoditifikasi lahan hutan. Di mata penduduk
lokal, kawasan hutan di atas tanah ulayat suku mereka dilihat sebagai komoditi,
sebagai komoditi yang bernilai untuk dijual kepada orang lain. Aktor-aktor desa
yang kreatif dan yang berjiwa kewirausahaan menangkap peluang ini sebagai
peluang bisnis. Mereka mengorganisasi penjualan lahan hutan atas tanah ulayat
yang menyebabkan terjadinya okupasi lahan pada kawasan usulan pengembangan
TNTN. Persoalan tersebut ditunjukkan oleh kasus okupasi lahan di Dusun Toro
Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan dan Dusun
46
Bukit Kesuma Desa Kesuma Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan.
Berikut ini akan dipaparkan proses okupasi lahan usulan TNTN di Dusun Bukit
Kesuma.
Kawasan Bukit Kesuma terlihat dalam proses perkembangan menjadi
sebuah pemukiman yang mapan. Di kawasan tersebut, daerah yang dulunya hutan,
kini telah benar-benar menjelma menjadi sebuah perkampungan. Di sana sudah
ada pusat aktivitas penduduk; ada pasar yang telah mempunyai kios dan los yang
permanen yang ramai dikunjungi oleh penduduk sekitar sekali dalam seminggu;
ada sebuah masjid yang cukup luas untuk ukuran daerah setempat; ada beberapa
warung di sekitar pasar.
b. Pemerintah Setempat Memfasilitasi dan Memberi Peluang Terjadinya
Okupasi Lahan
Bukan hanya pemimpin adat Desa Bukit Kesuma yang melegitimasi
okupasi lahan, melainkan juga aparat pemerintahan desa. Di dinding sebuah
warung di pusat perkampungan Bukit Kesuma tertempel sebuah pengumuman
yang ditujukan kepada pembeli lahan hutan di kawasan tersebut. Pengumuman
tersebut ditandatangani oleh kepala desa, ketua RW dan ketua RT Desa Kesuma.
Isi pengumuman tersebut adalah pemerintah desa meminta kepada pembeli lahan
hutan untuk mengurus kembali ke aparat Desa Kesuma untuk mendapatkan surat
izin pembukaan kebun, karena surat izin yang dikantongi pembeli selama ini
adalah hanya surat keterangan pembelian lahan hutan. Pengumuman ini,
sesunguhnya, menyatakan bahwa pemerintah Desa Kesuma melegetimasi
penjualan lahan hutan di Bukit Kesuma kepada pihak luar desa.
Pemerintah Kabupaten Pelalawan dan Kecamatan Pangkalan Kuras juga
turut memungkinkan okupasi lahan usulan TNTN tersebut terjadi dan berkembang
sampai pada situasi saat ini. Hal ini terjadi karena tidak ada larangan yang
dikeluarkan baik oleh pemerintah kabupaten maupun kecamatan terhadap
penjualan lahan eks konsesi HPH PT. Siak Raya di Bukit Kesuma. Alasan yang
disampaikan oleh Kecamatan Pangkalan Kuras tentang mengapa mereka
membiarkan penjualan dan okupasi lahan di Bukit Kesuma adalah si pemegang
HPH sendiri atas lahan tersebut, PT. Siak Raya, tidak peduli dengan penjualan
dan okupasi lahan tersebut. Bagi mereka sebagai pihak pemerintah kecamatan,
47
adalah sebuah kewajiban perusahaan tersebut untuk mencegah terjadinya okupasi
lahan di kawasan yang bersangkutan. Alasan penting lain yang perlu diperhatikan
adalah pihak Kecamatan Pangkalan Kuras tidak mengetahui bahwa lahan hutan
dalam area HPH PT. Siak Raya di Bukit Kesuma termasuk kawasan usulan
pengembangan Taman Nasional Tesso Nilo yang tidak boleh diduduki oleh
penduduk. Ironisnya, pemerintah Kabupaten Pelalawan, khususnya melalui Dinas
Kehutanan setempat pun juga tidak melakukan kontrol pengawasan terhadap
perusahaan konsesi ini.

5.3 Hubungan Berkonflik Antara Penduduk Sekitar dengan Perusahaan


5.3.1 Konflik dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit

Hampir seluruh 22 komunitas perdesaan yang ada sekitar TNTN


berdampingan dan berhubungan dengan berbagai perusahahan-perusahahan besar
yang kesemuanya bergerak dalam bidang kehutanan dan perkebunan. Seperti yang
telah disinggung terdahulu, komunitas perdesaan tersebut berdampingan dengan
5 buah perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Indusri (HTI), 3 buah
perusahahan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan 7 buah perusahaan
perkebunan kelapa sawit berskala besar. Kesemuanya mengontrol lahan yang
sangat luas.
Terjadi konflik antara sebagian penduduk umumnya 22 desa tetangga
TNTN dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Penduduk telah melakukan
aksi-aksi kolektif untuk menyatakan protes mereka terhadap prilaku perusahaan
bahkan semenjak mulainya proses pembersihan lahan. Walaupun ada penduduk
setempat yang melakukan aksi-aksi kekerasan untuk menyatakan protes dan
menuntut hak seperti memanen buah kelapa sawit tanpa izin perusahaan, pada
umumnya penduduk melakukan taktik-taktik damai seperti menyurati dan
mendatangi pihak manajemen perusahaan untuk melobi mereka agar
mengabulkan permintaannya.
5.3.2 Konflik dengan PT. RAPP
Di samping penduduk setempat berkonflik dengan berbagai perusahaan
perkebunan kelapa sawit, mereka juga berkonflik dengan PT. Riau Andalan Pulp
and Paper (RAPP). Konflik tersebut pada umumnya berkenaan dengan bagi hasil

48
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
terpadu kebun plasma sawit dan penguasaan tanah ulayat.
Bagi hasil HTR. Salah satu model produksi kayu akasia PT. RAPP adalah
menerapkan konsep bagi hasil dengan penduduk sekitar pemilik lahan.
Perusahaan tersebut meminta penduduk setempat pemilik lahan untuk
menyerahkan lahannya kepada PT. RAPP guna ditanami pohon akasia (bahan
baku pulp produksi RAPP) dengan kontrak 2 x 7 tahun2 untuk satu kali
penyerahan. Mulai dari pembersihan lahan sampai panen merupakan tanggung
jawab PT. RAPP. Persentase bagi hasil terdiri dari 60% untuk PT. RAPP dan
40% bagi pemilik lahan.
Sebagian peserta HTR kecewa dengan uang bagi hasil yang mereka
terima, seperti yang terjadi di Kecamatan Logas Tanah Darat. Menurut mereka,
untuk panen pertama, uang bagi hasil yang mereka terima kecil yaitu Rp
3.000.000,- per ha. Penilaian peserta HTR terhadap besarnya uang bagi hasil
yang diterima tidak berdasarkan pengetahuan mereka terhadap harga pasar, karena
mereka tidak mengetahui harga pasar pohon akasia.
Pembangunan HTI Terpadu Kebun Plasma Sawit. Penduduk desa Gunung
Sahilan Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar menuntut kompensasi dari
pembukaan HTI oleh PT. RAPP agar perusahaan membangun kebun plasma
kelapa sawit untuk masyarakat desa. Perusahaan tersebut menyatakan
kesediaannya untuk mengabulkan tuntutan penduduk desa yang bersangkutan,
tetapi atas alasan terbatasnya lahan (lahan yang ada termasuk konsesi perusahaan
lain) pembangunan perkebunan tersebut terkendala.
Penguasaan Tanah Ulayat. Konflik antara komunitas desa-desa sekitar
TNTN dengan PT. RAPP berkenaan dengan isu penggunanan tanah ulayat oleh
perusahaan tersebut jauh lebih serius ketimbang persoalan bagi hasil HTR yang
telah dipaparkan di atas. Hampir di seluruh 22 desa, terdapat ketidak-puasan
penduduk lokal baik penduduk awam maupun elit lokal terhadap PT. RAPP.
Dari kaca mata penduduk setempat, lahan yang dieksploitasi oleh PT.
RAPP termasuk dalam wilayah tanah ulayat mereka yang terdiri dari dua
klasifikasi. Pertama, tanah yang ditanami akasia oleh PT. RAPP merupakan lahan
2
Satu kontrak 7 tahun karena pohon akasia dipanen setelah berumur 7 tahun.
49
hutan eks HPH sebuah perusahaan, yang belum pernah digarap oleh penduduk
lokal. Akan tetapi, menurut konsepsi lokal, lahan ini masuk wilayah ulayat suku-
suku komunitas desa-desa yang pada suatu waktu nanti mungkin akan dapat
digarap sebagai lahan cadangan generasi anak cucu. Tidak ada ganti rugi atau
bentuk pembayaran lain yang diterima oleh pemilik tanah ulayat dari PT. RAPP.
Kedua, lahan yang ditanami PT. RAPP merupakan lahan bekas garapan penduduk
setempat yang dalam terminologi lokal disebut sasok (sesap). Mata pencaharian
umumnya penduduk di 22 desa-desa sekitar TNTN adalah pertanian perladangan
yang semi berpindah-pindah, karenanya ada lahan yang dulunya pernah digarap,
kemudian ditinggalkan. Bekas penggarap tanah ulayat menerima kompensasi dari
PT. RAPP berupa uang ganti jerih payah menggarap lahan yang disebut upah
tobeh (upah tebas) dan upah tobang (upah tebang) karena penduduk menebas
semak belukar dan menebang kayu-kayu besar sebelum dapat mengolah tanah.
Berkaitan dengan itu, tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh pemimpin-
pemimpin umumnya desa sekitar TNTN kepada PT. RAPP bukan kembalikan
tanah ulayat, melainkan bantuan untuk pembangunan fasilitas umum desa dan
perbaikan ekonomi penduduk kurang mampu.

5.4 Penyebab Inti Konflik Penduduk dengan Perusahaan

Penyebab konflik dapat dibagi dua. Pertama adalah penyebab esensi dari
konflik. Tanpa adanya penyebab ini aktor-aktor tidak punya landasan untuk
berkonflik. Kedua adalah faktor yang memberi peluang untuk munculnya atau
untuk berkembangnya konflik (perubahan era reformasi termasuk ke dalam faktor
ini). Studi ini memfokuskan terhadap penyebab esensi konflik antar para
pemangku kepentingan (stakeholders) di sekitar TNTN, karena tanpa menyentuh
penyebab ini solusi konflik tidak akan bertahan lama.
Ada dua penyebab esensi konflik antara penduduk setempat dengan
perusahaan-perusahaan, yaitu status tanah yang dipakai oleh perusahaan adalah
tanah ulayat komunitas desa dan proses pembebasan tanah yang tidak berpihak
kepada komunitas desa yang bersangkutan. Kedua penyebab tersebut saling
berkaitan dan, oleh sebab itu, tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain.

50
Tanah yang dikuasai oleh keseluruhan perusahaan termasuk kawasan
TNTN menurut konsepsi lokal adalah tanah ulayat suku atau batin mereka.
Perusahaan-perusahaan yang sekarang mengontrol tanah tersebut tidak
membelinya dari pemegang otoritas tanah ulayat, melainkan sebagian dengan cara
membayar uang tobeh / uang tobang (upah garap) apabila bekas garapan
penduduk dan dengan tidak membayar apapun untuk tanah yang tidak bekas
garapan. Oleh sebab itu, menurut penduduk setempat, tanah yang dipakai oleh
perusahaan statusnya masih tanah ulayat mereka yang dipakai oleh perusahaan-
perusahaan.

5.5 Upaya Resolusi Konflik

5.5.1 Komunitas-komunitas Desa Lemah


Lembaga internal komunitas desa pada dasarnya terdiri dari dua macam.
Pertama adalah lembaga pemerintahan desa dan lembaga lain yang berkaitan
dengan pemerintahan yang dibentuk oleh pemerintah. Kedua adalah lembaga
kekerabatan yang terdiri dari persukuan atau perbatinan yang dipimpin oleh
seorang pimpinan tradisional (ninik mamak atau batin). Ninik mamak atau batin
tidak mempunyai organisasi pada tingkat desa. Ada organisasi kelompok tani
yang pada dasarnya bentukan pemerintah, tetapi ini juga tidak efektif yang
diindikasikan oleh anggotanya sedikit dan sudah lama tidak mempunyai aktivitas.
Perjuangan komunitas desa berhadapan dengan perusahaan-perusahahan
dan pemerintah kabupaten cenderung diorganisiasi oleh pemerintah desa (kepala
desa), tidak terlihat ada perjuangan menuntut hak yang diorganisasi oleh
pemimpin adat (ninik mamak atau batin). Terkesan pemimpin adat secara politik
lemah dalam desa dan mereka tidak terorganisiasi secara solid. Di samping itu,
ada indikasi bahwa lembaga formal desa terkooptasi oleh perusahaan karena
kepala desanya atau personil lembaga desa yang lain punya pertalian bisnis
dengan perusahaan atau bekerja di perusahaan atau anggota keluarganya bekerja
di perusahaan. Akibatnya, komitmen mereka untuk memperjuangkan kepentingan
komunitas desa lemah. Di sebuah desa, pada tahun 1996 dan 2001, kepala desa
diprotes oleh masyarakatnya karena dituduh berpihak kepada PT. RAAP.3

3
Purwoko, 2003: 12.
51
5.5 2 Forum Tesso Nilo untuk Memperkuat Komunitas Desa belum Berdaya
Di bawah koordinasi Divisi Community Development, WWF AREAS
Riau Project melaksanakan fasilitasi pendirian dan melakukan pendampingan
untuk pengembangan Forum Tesso Nilo. Program WWF ini merupakan
pendekatan keorganisasian untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan
dengan TNTN, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gangguan-
gangguan hubungan sosial antara berbagai pihak terhadap kepentingan TNTN. Di
antaranya adalah gangguan hubungan yang berkonflik antara para pemangku
kepentingan (stakeholders).
Didirikan pada tahun 2004, Forum Tesso Nilo adalah sebuah Organisasi
Non Pemerintah (Ornop) yang beranggotakan komunitas-komunitas 22 desa yang
berbatasan dengan TNTN. Pengurusnya juga terdiri dari orang-orang yang berasal
dari komunitas-komunitas desa tersebut. Struktur kepengurusan forum terdiri dari:

Pengawas Ketua Umum


(Pemimin adat dari 22 desa (utusan dari sebuah desa)
sekitar TNTN)

Sekretaris Bendahara
(utusan sebuah desa) (utusan sebuah desa)

Ekonomi Perlindungan Hubungan Multi Pengembangan


Berkelanjutan SDA Pihak Organisasi
(utusan sebuah (utusan sebuah (utusan sebuah (utusan sebuah
desa) desa) desa) desa)

Personil pengurus Forum terdiri dari utusan-utusan desa dan pemimpin


adat desa-desa, tetapi unsur lembaga pemerintahan desa tidak termasuk ke dalam
kepengurusan Forum. Personil Forum terdiri dari utusan-utusan desa yang dikirim
oleh pemerintah desa (bukan dipilih oleh penduduk desa) yang bersangkutan pada
acara beberapa kali lokakarya yang diorganisasi oleh Divisi Community
Empowerment WWF. Peserta lokakarya tersebutlah yang menempatkan utusan-
utusan desa ke dalam jabatan-jabatan Forum. Melalui mekanisme seperti ini, ada
52
kemungkinan orang yang lebih potensial untuk mengelola Forum yang berasal
dari 22 desa menjadi tidak terekrut ke dalam Forum.
5.5.3 Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi Riau Tidak Responsif
Sampai akhir Desember 2005 tuntutan-tuntutan calon penerima plasma
dari berbagai desa sekitar TNTN agar kebun plasma sawit dikonversi belum
direalisasikan. Menurut praturan, pemerintah kabupaten bertanggung jawab untuk
mengorganisasi pengkonversian kebun plasma dalam pembangunan perkebunan
dengan model inti-plasma. Konversi kebun plasma itu sendiri memerlukan
kordinasi berbagai pihak, karena hal tersebut terkait dengan berbagai hal, adanya
sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN dan adanya penunjukan bank sebagai
pelaksana. Tugas pemerintah setempatlah melakukan koordinasi ini. Untuk kasus
desa-desa sekitar TNTN, pemerintah Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hulu,
Kampar dan Kuantan Singingi menurut peraturan merupakan aktor yang
bertanggung jawab untuk mengorganisasi pengkoversian kebun plasma kelapa
sawit yang telah berproduksi kepada calon penerima plasma di wilayahnya
masing-masing. Belum dikonversinya kebun plasma tersebut mengisyaratkan
bahwa pemerintah kabupaten tersebut, termasuk DPRD setempat tidak responsif
terhadap tuntutan komunitas sekitar TNTN. Sementara ini pihak pemerintah
Provinsi sebagai unit pembina pemerintahan daerah yang berada di wilayahnya
juga tidak melakukan kontrol pengawasan untuk memecahkan masalah-masalah
ini.

5.6 Resolusi Konflik di Luar Pengadilan yang telah Dilakukan

Program Community Development


Walaupun program Community Development (CD) yang dilancarkan oleh
perusahaan-perusahaan ditujukan untuk membantu penduduk ekonomi lemah
untuk dapat meningkatkan pendapatannya, program tersebut dapat pula dipahami
sebagai sebuah pendakatan untuk memecahkan hubungan yang berkonflik antara
perusahaan-perusahaan dengan penduduk 22 desa desa sekitar TNTN, karena
program tersebut dapat berfungsi sebagai katup peredam konflik.
Dari semua perusahaan yang beroperasi sekitar TNTN, ternyata hanya ada
dua perusahaan yang terdidentifikasi melakukan program CD, yakni PT. RAPP
53
dan PT. Siak Raya. Di antara kedua perusahaan pelaksana CD itu ternyata hanya
PT. RAPP yang mempunyai program CD yang lebih intensif dan telah dikelola
secara kelembagaan oleh perusahaan. Program-program CD PT. RAPP pada
umumnya berkenanan dengan pengembangan usaha-usaha ekonomi alternatif
penduduk berekonomi lemah pada umumnya di desa-deda peserta HTR
perusahaan yang bersangkutan. Unit usaha ekonomi yang diintroduksi kepada
penduduk seluruh desa yang dibantu adalah peternakan Sapi Bali dan palawija dan
sayur mayur. Penduduk desa yang dibantu diharuskan membentuk kelompok tani.
Mereka, kemudian dilatih dan diberikan bantuan bibit dan pupuk. Sayangnya
program CD yag dilakukan ini umumnya masih belum memberi dampak positif
berarti bagi perbaikan kehidupan masyarakat dampingannya. Unit usaha yang
dikembangkan tidak menjalar ke penduduk lain, bahkan anggota kelompok yang
dilatih banyak yang drop-out dari program tersebut.
Selain dari itu, program CD PT. RAPP juga memberikan bantuan
pembangunan fasilitas umum (FASUM) seperti pembangunan fisik sarana ibadah,
sekolah, peningkatan sarana jalan desa, kantor desa dan tempat pertemuan umum.
Program-program CD PT. RAPP yang bersifat fisik ini telah memberikan kesan
positif keberadaan perusahaan yang bersangkutan di mata penduduk. Namun,
terdapat kesan di kalangan penduduk bahwa mereka harus mengemis kepada PT.
RAPP untuk mendapatkan bantuan-bantuan tersebut, karena inisiatif bantuan tidak
berasal dari perusahaan yang bersangkutan, malainkan dari usaha penduduk untuk
melobi pihak PT. RAPP. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa program-
program CD PT. RAPP tidak dapat berfungsi sebagai katup penyelamat yang
berfungsi sebagai pereda konflik antara perusahaan yang bersangkutan dengan
penduduk sekitar.
5.7 Resolusi Konflik Gajah-Manusia yang Telah Dilakukan
5.7.1 Usaha Komunitas Tempatan
Para petani di desa-desa sekitar TNTN yang tanaman mereka sering
diserang oleh gajah telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi tanaman
mereka dari serangan gajah.
a) Teknik Pemantauan Serangan Gajah. Para petani setempat berusaha
untuk memantau serangan gajah dengan tujuan agar serangan dini dari
54
gajah dapat diketahui. Cara yang mereka lakukan adalah menunggui
lahan yang tanaman di atasnya rawan untuk diserang gajah pada
waktu malam hari. Para petani membangun pondok-pondok di lahan
mereka dan secara bergantian anggota keluarga dewasa yang laki-laki
pada malam hari melakukan ronda untuk memantau serangan gajah.
Hal ini dilakukan di semua desa yang sering diserang gajah.
b) Menghalau Gajah. Apabila terjadi serangan gajah, para petani
menghalau gajah ke hutan dengan menggunakan bunyi-bunyian (suara
dan suara pentongan atau benda yang lain) dan api bukan untuk
membakar gajah tetapi untuk menakuti gajah. Cara ini umumnya
dilakukan sebagai bagian dari penerapan pengetahuan asli dan tradisi
penduduk tempatan di desa-desa sekitar TNTN. Ada juga mereka
yang memasang lampu-lampu minyak tanah atau obor bambu di jalan
masuk ke kebun atau di dalam kebun seperti yang dilakukan di Desa
Lubuk Kembang Bunga.
5.7.2 Usaha WWF dan Perusahaan-Perusahaan
a) Membuat Parit. Taktik resolusi konflik gajah-manusia dengan cara
membuat parit-parit di tapal batas dengan kawasan hutan untuk
membuat gajah tidak dapat masuk ke kawasan yang dilindungi
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta besar perkebunan kelapa
sawit.
b) Pemantauan. WWF telah melaksanakan taktik pemantauan dengan
cara menugaskan petugas patroli di beberapa buah desa. Di samping
itu, WWF juga telah memfasilitasi gajah piaraan beserta tenaga terlatih
untuk menghalau jagah liar yang mengganggu tanaman dan penduduk.
Kegiatan ini terdapat di Desa Lubuk Kembang Bunga di Kabupaten
Pelalawan.

55
BAB VI

PENUTUP

6.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian dilapangan, maka dapat ditarik beberapa


kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Tingkat kemiskinan di desa-desa sekitar TNTN dicirikan dengan masih
tingginya jumlah penduduk dan rumah tangga miskin yang umumnya
bahkan lebih tinggi dari angka rata-rata tingkat kemiskinan di provinsi dan
masing-masing kabupaten yang mewilayahinya.
2. Situasi sosial ekonomi desa-desa sekitar TNTN masih ditandai dengan
terdapatnya kesenjangan sosial ekonomi antara desa asli/tempatan yang
umumnya lebih miskin dibandingkan dengan desa-desa transmigrasi.
3. Keberadaan perusahaan-perusahaan besar sekitar desa-desa sekitar TNTN
ternyata belum memberikan kontribusi berarti bagi perbaikan ekonomi
masyarakat desa-desa tersebut bahkan meluas pandangan dalam
masyarakat bahwa keberadaan perusahaan-perusahan besar itulah yang
menjadi salah satu faktor penyebab utama kontinuitas kemiskinan
perdesaan sekitar.
4. Terdapat hubungan yang berkonflik antara penduduk desa-desa sekitar
TNTN dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
berkenaan dengan konversi kebun plasma kelapa sawit.
5. Terdapat hubungan yang berkonflik antara penduduk desa-desa dengan PT
RAPP berkenaan dengan harga penjualan produksi hasil HTR dan tuntutan
kepedulian perusahaan terhadap masalah sosial ekonomi dan
pembangunan perdesaan karena perusahaan menggunakan tanah ulayat
komunitas lokal yang selama ini menjadi sumber ekonomi dan lahan
cadangan bagi masyarakat.

56
6. Di beberapa penjuru saat ini berlangsung okupasi lahan di areal eks
konsesi HPH dan areal taman nasional yang masih potensial akan terjadi
juga di lokasi lainnya di masa akan datang.
7. Di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Tesso Nilo,
serangan gajah cukup intensif yang menimbulkan kerugian terhadap
perekonomian penduduk.
8. Sosialisasi program konservasi TNTN, khususnya sosialisasi program
konservasi gajah ternyata masih minim dan belum merata diterima
masyarakat sehingga pandangan pro kontra tentang program-program
konservasi ini berpotensi meluas dan cenderung kontra produktif bagi
upaya menggalang partisipasi masyarakat perdesaan dalam rangka
pembangunan TNTN itu sendiri.
9. Terdapat juga kenyataan masih minimnya inisiatif kebijakan pembangunan
daerah oleh pemerintah Provinsi Riau maupun pemerintah daerah di
keempat kabupaten yang mewilayahi TNTN dalam mengembangkan
kebijakan pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan
sosial ekonomi perdesaan maupun dukungan terhadap pembangunan
TNTN.

6.2 SARAN

Adapun saran yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah:

1. Tingkat konversi lahan dan hutan pada lokasi dan sekitar TNTN sangatlah
tinggi, hal ini terlihat dengan banyaknya perusahaan perkebunan sawit,
perkebunan karet, HPH dan HTI yang memiliki konsesi lahan skala besar
di daerah ini. Dengan ini diharapkan terjalinnya kerjasama yang saling
menguntungkan antara masyarakat dengan perusahaan dalam upaya
meningkatkat perekonomian masyarakat tempatan melalui program
Community Development.
2. Konversi lahan dan hutan telah menimbulkan berbagai konflik dengan
masyarakat setempat, bukan saja karena konversi hutan yang diklim
sebagai hutan ulayat oleh masyarakat, tapi juga sebagian konversi lahan
57
yang semula merupakan lahan sosok (bekas garapan masyarakat). Dalam
hal ini diharapkan kebijaksanaan perusahaan yang didukung oleh
pemerintah setempat dalam upaya penyelesaian konflik dengan
mempertimbangkan aspirasi masyarakat serta kepentingan perusahaan.
3. Masyarakat melihat perbedaan tingkat ekonomi warga transmigrasi dengan
masyarakat lokal sebagai akibat dari perbedaan perlakuan baik oleh
pemerintah maupun oleh investor. Hal ini membutuhkan perhatian khusus
terutama pemerintah desa untuk dapat bersosialisasi dengan baik serta
mengintegrasikan masyarakat, menjadi jembatan maupun fasilitator antar
penduduk lokal, trnasmigarasi dan perusahaan dengan membuat berbagai
kebijakan yang tidak memihak dan mengedepankan kepentingan bersama.

58
DAFTAR PUSTAKA

Burhan Bungin, 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo

Perkasa.

Burhan Bungin, 2009, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada Media Group

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I dan II, Jakarta: Gramedia,

1986

Fearon, James D & Latin, David. 2000. Violence and The Social Construction of

Etnich Identity, In International Organization 54 Autum, IO Foundation

and The Massachhusetts Institute of Technology.

Gould, Roger V. 1999. Collective Violence and Group Solidarity : Evidence From

A Feuding Society. In American Sociological Review Vol. 64, June 1999.

Francis Fukuyama, 2002, Trust. Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran,

Yogyakarta, Qalam

George Ritzer, Sociological Theory 2nd ed, 1988, New York : Albert A Knopf

Harry Hikmat, 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora

Utama Press

I Ngurah Suryawan., 2010, Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern,

Bara di Bali Utara, Jakarta : Prenada

Isbandi Rukminto Adi, 2008, Intervensi Komunitas. Pengembangan Masyarakat

sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta : Rajawali

59
Johan Galtung, 1973, Theories of Conflict : Definitions, Dimensions, Negations,

Formations, URL: http://www.transcend.org/files/Galtung Book Theories

Of Conflict.pdf

Johan Galtung, 1990, Cultural Violence, Journal of Peace Research, Vol.27,No.3,

Aug., 1990, Sage Publications Ltd, URL:

http://www.jstor.org/stable/423472

Jonathan H Turner, 1978, The Structure of Sociological Theory, Illinois : The

Dorsey Press

Kamaruddin M. Said, 2002, Etnisiti atau Anomie? Analisis Sosiologikal Peristiwa

Pergaduhan Beramai-ramai di Petaling Jaya Selatan, dalam Akademika

Jurnal Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, bilangan 60 Januari

2010

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT

Gramedia

Margaret Poloma, 1999, Sosiologi Kontemporer, Jakarta : Gramedia

Michael D. Hills, 2002. Kluckhohn and Strodtbeck's Values Orientation Theory.

Online Readings in Psychology and Culture, Unit 4,

http://scholarworks.gvsu.edu/orpc/vol4/i

Novri Susan, 2009,Sosiologi Konflik, Isu-Isu Konflik Kontemporer, Jakarta:

Prenada Media Group

Ralf Dahrendorf, 1986, Klas dan Konflik Klas dalam Masyarakat Industri,

Jakarta: Rajawali

60
Robert M.Z. Lawang, 2005, Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Suatu

Pengantar, Jakarta : FISIP-UI Press

Robert K. Merton,1981, Social Theory and Social Structure, New Delhi :

Amerind Publishing Co,

Syarif Ibrahim Alqadri, 2003. Pola Pertikaian di Kalimantan Barat, Faktor-faktor

yang mempengaruhinya dan Peranan Media Massa.

_______,2003 b, Otonomi dan Multikulturalisme, Makalah Seminar Nasional

“Pendidikan Multikulturalisme dan Revitalisasi Hukum Adat”

Diselenggarakan oleh Asisten Deputi Urusan Pemikiran Kolektif Bangsa,

Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Jakarta 18 – 20 Desember

2003.

Varsney, Ashutosh. 2001. Ethnic Conflict and Civil Life : Hindus and Muslims in

India. Book Draft. Forthcoming Yale University Press.

__________2002. The Local Roots of India Riots. Far Eastern Economic Review

(March 21- th)

Suwarsono dan Alvin Y. So, 1991, Perubahan Sosial Dan Pembangunan di

Indonesia, Jakarta: LP3ES.

61
LAPORAN PENELITIAN
TAHUN ANGGARAN 2016

KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN


DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO PROVINSI RIAU

KETUA:
Dr. H. YOSERIZAL, MS
NIDN: 0018095901

ANGGOTA:
YESI S.Sos M.Soc Sc
NIDN: 9910677081

SUMBER DANA: PNBP FISIP UR 2016

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS RIAU
JUNI 2016

62
63
KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN
DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO PROVINSI RIAU

ABSTRAK
Di kawasan hutan tropis dataran rendah terbesar di Pulau Sumatra ini
Taman Nasional Tesso nilo telah berlangsung proses pengalihan fungsi hutan
yang semula sebagai sumber kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman
hayati, habitat satwa khas, penghasil oksigen, mengatur iklim mikro maupun
makro, menyerap gas-gas perusak lapisan ozon penyebab efek rumah kaca yang
menaikan suhu bumi, melindungi tanah serta air tanah, penghasil produk hutan
seperti getah, madu, buah-buahan, obat-obatan, protein hewani, rotan, damar
dan kayu serta sumber mata pencaharian penduduk perdesaan sekitar kini
mengalami berbagai benturan kepentingan. Rantai panjang proses benturan
kepentingan tersebut meliputi fakta penebangan hutan secara besar-besaran
untuk industri kayu, pengalihan fungsi hutan primer yang heterogen menjadi
hutan tanaman homogen dan pembukaan perkebunan besar sangat tidak hanya
mengancam pelestarian keanekaragaman hayati, tetapi juga telah menimbulkan
dampak negatif bagi eksistensi masyarakat lokal.
Penelitian ini merupakan studi kasus dan menggunakan pendekatan
kualitatif, maka pengambilan informan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu,
yaitu untuk memperoleh gambaran seluas-luasnya tentang konflik antar
pemangku kepentingan di seputar Taman Nasional Tesso Nilo. Informan dalam
penelitian ini adalah tokoh-tokoh terkait dengan masyarakat, otoritas pemerintah
pengelola kawasan, perusahaan dan pemerintahan daerah.
Situasi sosial ekonomi desa-desa sekitar TNTN masih ditandai dengan
terdapatnya kesenjangan sosial ekonomi antara desa asli/tempatan yang
umumnya lebih miskin dibandingkan dengan desa-desa transmigrasi. Keberadaan
perusahaan-perusahaan besar sekitar desa-desa sekitar TNTN ternyata belum
memberikan kontribusi berarti bagi perbaikan ekonomi masyarakat desa.
Terdapat hubungan yang berkonflik antara penduduk desa-desa sekitar TNTN
dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berkenaan
dengan konversi kebun plasma kelapa sawit. Terdapat hubungan yang berkonflik
antara penduduk desa dengan perusahaan perusahaan disekitar kawasan
penduduk seperti PT.RAPP berkenaan dengan harga penjualan produksi hasil
HTR dan tuntutan kepedulian perusahaan terhadap masalah sosial ekonomi dan
pembangunan perdesaan karena perusahaan menggunakan tanah ulayat
komunitas lokal yang selama ini menjadi sumber ekonomi dan lahan cadangan
bagi masyarakat. Di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Tesso
Nilo, serangan gajah cukup intensif yang menimbulkan kerugian terhadap
perekonomian penduduk. Sosialisasi program konservasi TNTN, khususnya
sosialisasi program konservasi gajah ternyata masih minim dan belum merata
diterima masyarakat sehingga pandangan pro kontra tentang program-program
konservasi ini berpotensi meluas dan cenderung kontra produktif bagi upaya
menggalang partisipasi masyarakat perdesaan dalam rangka pembangunan
TNTN itu sendiri.
Keyword: Konflik Kepentingan, Taman Nasional Tesso nilo
64
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkat dan
Rahmat-Nya maka laporan penelitian yang berjudul “Konflik Antar Pemangku
Kepentingan di Taman Nasional Tesso Nilo Provinsi Riau” dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pelaksanaan penelitian ini dibiayai Oleh Dana PNBP Fisip Universitas
Riau Tahun Anggaran 2016.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang telah turut serta memberikan bantuan dan
dorongan sehingga tersusunya laporan penelitian ini, yaitu kepada:
1. Rektor Universitas Riau dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Universitas Riau yang telah menyediakan dana untuk
penelitian ini sehingga seluruh kegiatan ini dapat dilaksanakan.
2. Bapak Dekan dan Wakil Dekan bidang akademis Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Riau yang telah memberikan izin penelitian.
3. Seluruh responden yang bersedia menyediakan waktu dan informasi dalam
menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan guna kepentingan penelitian
ini.
4. Semua pihak yang telah membantu demi pelaksanaan penelitian ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.

Sangat disadari bahwa rancangan penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta masukan demi
perbaikan. Demikian rancangan penelitian ini di susun, kepada semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, yang terlibat pada kegiatan ini dari awal
hingga selesai, diucapkan ribuan terima kasih. Semoga bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat sekitar.
Pekanbaru, Juni 2016
Tim Peneliti

65
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ........................................................................................ i


Abstrak ............................................................................................................ ii
Kata Pengantar ................................................................................................. iii
Daftar Isi .......................................................................................................... iv
Daftar Tabel .................................................................................................... vi
Daftar Gambar ................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian .............................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6


2.1 Kerangka Teoretis ......................................................................... 6
2.1.1 Strukturalisme Konflik ......................................................... 6
2.1.2 Teori Galtung ...................................................................... 11
2.1.3 Pengendalian Konflik ........................................................... 15
2.2 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 20

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 21


3.1 Lokasi Penelitian .......................................................................... 21
3.2 Informan Penelitian ...................................................................... 21
3.3 Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 21
3.4 Analisis Data ................................................................................ 22

BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA


4.1 Letak Administratif Desa ............................................................. 24
4.2 Keadaan Demografi Desa.............................................................. 25
4.3 Sistem Organisasi Sosial ............................................................... 29
66
4.4 Sistem Kepemilikan Tanah ........................................................... 33
4.5 Pola Perkampungan ...................................................................... `35
4.6 Pengaruh Perusahaan Bagi Masyarakat ........................................ 37
4.7 Penerimaan Masyarakat terhadap TNTN ..................................... 39

BAB V KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN


5.1 Analisis Pemangku Kepentingan Kawasan TNTN ...................... 42
5.2 Hubungan Konflik antar Pemangku Kepentingan ....................... 43
5.3 Hubungan Konflik antar Penduduk dengan Perusahaan .............. 48
5.3.1 Konflik dengan Perusahaan Kelapa Sawit .......................... 48
5.3.2 Konflik dengan PT.RAPP ................................................... 48
5.4 Penyebab Konflik Penduduk dengan Perusahaan ....................... 50
5.5 Upaya Resolusi Konflik ................................................................ 51
5.5.1 Komunitas Desa Lemah ...................................................... 51
5.5.2 Forum Tesso Nilo belum Berdaya ...................................... 52
5.5.3 Pemerintah Kabupaten dan Provinsi Riau tidak responsif ... 53
5.6 Resolusi Konflik di Luar Pengadilan ........................................... 53
5.7 Resolusi Konflik yang sudah dilakukan ....................................... 54
5.7.1 Usaha Komunitas Tempatan ............................................... 54
5.7.2 Usaha bersama WWF dan Perusahaan ................................ 55

BAB VI PENUTUP ..................................................................................... 56


6.1 Kesimpulan ................................................................................... 56
6.2 Saran .............................................................................................. 57

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2

67
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tipologi kekerasan Galtung (Galtung’s typology of violence) ....... 14


Tabel 4.1 Nama Desa sekitar TNTN ............................................................... 25
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk dan KK di Desa Sekitar TNTN ......................... 27

68
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Segitiga ABC Galtung ............................................................... 12


Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................... 20
Gambar 3.1 Analisis Data Model Interaktif .................................................. 23
Gambar 4.1 Peta Sebaran Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit ................... 39

69

Anda mungkin juga menyukai