PENDAHULUAN
1
memberikan kontribusi yang nyata terhadap ketersediaan lapangan kerja dan
pilihan-pilihan sumber pendapatan bagi masyarakat perdesaan di sekitarnya yang
masih tergantung dari sektor pertanian dan ekonomi skala kecil lainnya. Ironisnya
lagi, di beberapa penjuru daerah perdesaan yang dahulunya dikenal dengan
kehidupan tradisionalnya yang harmonis, kemudian juga mengalami perubahan
sosial seperti nilai-nilai tradisional menjadi longgar, peranan lembaga-lembaga
tradisional memudar ataupun berkurangnya legitimasi pemimpin tradisional.
Situasi ini tidak terkecuali juga terjadi di kawasan hutan Tesso Nilo di
Provinsi Riau. Di kawasan hutan tropis dataran rendah terbesar di Pulau Sumatra
ini telah berlangsung proses pengalihan fungsi hutan yang semula sebagai sumber
kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, habitat satwa khas,
penghasil oksigen, mengatur iklim mikro maupun makro, menyerap gas-gas
perusak lapisan ozon penyebab efek rumah kaca yang menaikan suhu bumi,
melindungi tanah serta air tanah, penghasil produk hutan seperti getah, madu,
buah-buahan, obat-obatan, protein hewani, rotan, damar dan kayu serta sumber
mata pencaharian penduduk perdesaan sekitar kini mengalami berbagai benturan
kepentingan. Rantai panjang proses benturan kepentingan tersebut meliputi fakta
penebangan hutan secara besar-besaran untuk industri kayu, pengalihan fungsi
hutan primer yang heterogen menjadi hutan tanaman homogen dan pembukaan
perkebunan besar sangat tidak hanya mengancam pelestarian keanekaragaman
hayati, tetapi juga telah menimbulkan dampak negatif bagi eksistensi masyarakat
lokal. Secara bersamaan dewasa ini berlangsung pula pemanfaatan sumber daya
hutan secara berlebih oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan akibat
menyempitnya lahan sebagai tiang utama mata pencaharian mereka. Bukan hanya
akibat pertumbuhan penduduk secara alamiah di kawasan itu, tetapi juga akibat
peningkatan migrasi yang menyertai laju okupasi lahan dan pengalihan fungsi
hutan menjadi fungsi-fungsi lain, termasuk untuk permukiman permanen.
Berdasarkan krusialitas dan kompleksnya persoalan pembangunan di
kawasan hutan Tesso Nilo ini wajarlah jika banyak pihak menunjukkan
keprihatinannya, utamanya kalangan pemerhati dan aktivis lingkungan. Sejak
tahun 2000 beberapa NGO, terutama diprakarsai oleh WWF Indonesia mulai
memikirkan langkah-langkah ke depan mengenai kawasan hutan Tesso Nilo yang
2
dititik beratkan pada usaha-usaha untuk menjaga supaya dapat seluas mungkin
mempertahankan daerah tersebut tetap berupa hutan dan membuatnya menjadi
kawasan lindung. Pandangan ini dituangkan dalam apa yang di Riau dikenal
sebagai Tesso Nilo Bukit Tigapuluh Landscape (TNBTL) atau Lansekap
(Kawasan) Bukit Tigapuluh Tesso Nilo yang meliputi daerah seluas kira-kira 2
juta hektar termasuk blok terbesar hutan dataran rendah yang masih tersisa, yang
ketika itu dikenal sebagai Usulan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Dalam
dokumen perencanaan konservasi kawasan hutan Tesso Nilo tahun 2000
disebutkan bahwa TNBTL tersebut mencakup Taman Nasional Bukit Tigapuluh
(TNBT) yang sudah lebih dulu diresmikan; Lansekap TNBT terletak di dalam
sebuah wilayah multi guna seluas 2 juta hektar yang dibatasi oleh empat kawasan
lindung yang sudah ada yaitu Bukit Rimbang, Bukit Baling, Bukit Bungkuk dan
Kerumutan, dan kawasan lindung yang diusulkan menjadi taman nasional yaitu
Tesso Nilo. Total area hutan dalam kawasan lindung ini adalah 600.000 hektar.
Upaya pembangunan konservasi kawasan hutan Tesso Nilo itu selanjutnya
mulai mendapatkan dukungan formal. Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo
(TNTN) telah diresmikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No
255/Menhut-II/2004 bertanggal 15 Maret 2004 seluas 38.576 hektar. Lebih dari
120.000 hektar sisa hutan alam di Tesso Nilo untuk saat ini masih digunakan
sebagai kawasan hutan produksi hingga 15-20 tahun ke depan selanjutnya juga
diharapkan untuk dimasukkan ke dalam areal taman nasional tersebut.
TNTN berbatasan dengan 22 desa dengan lokasi yang tersebar di 4
kabupaten di Provinsi Riau, yakni: Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan
Kuantan Singingi. Menurut laporan WWF Indonesia, desa-desa yang berbatasan
dengan TNTN di Provinsi Riau ini hingga kini masih mengalami berbagai
masalah pembangunan, utamanya dalam bidang sosial ekonomi. Masalah ini
meliputi persoalan ketimpangan ekonomi internal antar desa dan kompleksitas
konflik kepentingan antar para pihak. Tingkat perekonomian desa-desa
transmigrasi misalnya digambarkan cenderung lebih baik dibandingkan dengan
desa-desa yang didiami oleh mayoritas penduduk tempatan.
Salah satu persoalan utama masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan
Tesso Nilo adalah kurangnya pilihan-pilihan ekonomi secara berkelanjutan yang
3
memungkinkan mereka hidup berdampingan secara harmonis dengan hutan Tesso
Nilo. Persoalan lain yang juga mengemuka saat ini adalah munculnya konflik
pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan
pemegang konsesi di kawasan tersebut. Belum lagi konflik antara masyarakat
dengan hidupan liar yang ada di hutan Tesso Nilo terutama konflik dengan gajah
dan harimau Sumatra masih berlangsung hingga saat ini.
1.3 Tujuan
1. Mempelajari kehidupan ekonomi masyarakat desa dan ketergantungannya
kerhadap sumber daya hutan. Telaahan ini terutama difokuskan terhadap
pemahaman tentang ketersediaan sumber daya alam termasuk hasil hutan
non-kayu (non timber forest product), pola mata pencaharian, masalah
kemiskinan dan strategi survival keluarga dan masyarakat di desa-desa di
sekitar hutan Tesso Nilo.
2. Mengenali dan menganalisis konflik antar para pemangku kepentingan
(stakeholders/actors) yang berhubungan dengan potensi dan peluang
pengembangan pilihan-pilihan pembangunan sosial ekonomi perdesaan.
Telaahan ini difokuskan terhadap tata hubungan dan konflik antara
manusia dengan gajah, antara masyarakat dengan TNTN, antara
masyarakat desa dengan perusahaan, antara masyarakat dengan
pemerintahan daerah, serta resolusi konflik yang relevan dengan upaya
mengembangkan pilihan-pilihan pembangunan sosial ekonomi perdesaan
sekitar hutan Tesso Nilo.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi teknis situasi
dan kondisi serta dinamika masyarakat perdesaan sekitar kawasan hutan Tesso
Nilo. Memberikan pemetaan konflik social terkait dengan masyarakat, otoritas
pemerintah pengelola kawasan, perusahaan dan pemerintahan daerah. Serta
memberikan masukan mengenai resolusi konflik yang relevan dengan kondisi
sosial ekonomi perdesaan sekitar hutan Tesso Nilo.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
memiliki power, dengan kumpulan subordinat yang lemah dan tidak memiliki
power. Marx menggambarkan tingkat inequality didalam distribusi sumberdaya
langka, menentukan konflik kepentingan antara kumpulan yang menguasai power
dengan yang tidak menguasainya. Proposisi-proposisi penting yang dimaksudkan
iaitu sebagai berikut (Turner 1978; Wirawan 2012) :
1. Semakin tidak merata distribusi sumberdaya langka dalam suatu sistem,
semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan (kumpulan kuat)
dan segmen subordinat (kumpulan lemah) dalam sistem tersebut.
2. Semakin menyadari segmen subordinat akan kepentingan kolektif, semakin
besar kemungkinan mereka mempertanyakan keabsahan distribusi sumber
yang tidak merata.
A. Perubahan sosial yang diciptakan oleh segmen dominan semakin
mengacaukan hubungan yang ada di antara para subordinat, maka semakin
besar kemungkinannya segmen subordinat menyadari kepentingan kolektif
mereka.
B. Semakin praktik-praktik segmen dominan menimbulkan disposisi
keterasingan di antara segmen subordinat, maka semakin besar
kemungkinan kumpulan lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif
mereka.
C. Semakin segmen subordinat dapat saling berkomunikasi mengenai
keluhan-keluhan mereka, maka semakin besar kemungkinan kumpulan
lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif mereka.
1) Semakin konsentrasi anggota dari pada kumpulan subordinat bersifat
spasial, maka semakin besar kemungkinan mereka akan
menyampaikan (berkomunikasi tentang) keluhan-keluhan mereka.
2) Semakin kumpulan subordinat memiliki akses kepada media
pendidikan, semakin beraneka-ragam cara komunikasi mereka, maka
semakin besar kemungkinan menyampaikan (berkomunikasi tentang)
keluhan-keluhan mereka.
D. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan kesatuan sistem
keyakinan, maka semakin besar kemungkinan mereka menjadi sadar
kepada kepentingan kolektif mereka yang sesungguhnya.
7
1) Semakin besar kemampuan untuk mendapatkan (to recruit) juru bicara
ideologis, maka semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan
ideology mereka
2) Semakin kecil kemampuan kumpulan dominan mengatur proses
sosialisasi dan jaringan komunikasi di dalam suatu sistem, maka
semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan ideologis pada
kumpulan subordinat
3. Semakin segmen subordinat dalam suatu sistem menyadari kepentingan
kolektif mereka, semakin kuat mereka mempertanyakan keabsahan
(legitimacy) distribusi sumberdaya langka, maka semakin besar kemungkinan
mereka mengorganisir untuk memulai konflik terbuka dengan segmen
dominan.
a. Semakin besar kemerosotan (deprivation) kumpulan subordinat
bergerak dari dasar absolut ke dasar relative, maka semakin besar
kemungkinan mereka menyusun dan memulai konflik
b. Semakin kumpulan dominan kehilangan kemampuan untuk
menyatakan kepentingan kolektif mereka, semakin besar
kemungkinan kumpulan subordinat menyusun dan memulai konflik
c. Semakin besar kemampuan kumpulan subordinat mengembangkan
struktur kepemimpinan, semakin besar kemungkinan mereka
menyusun dan memulai konflik
4. Semakin segmen subordinat disatukan oleh keyakinan bersama dan semakin
berkembang struktur kepemimpinan politik mereka, maka segmen dominan
dan segmen-segmen yang dikuasai dalam sistem tersebut akan mengalami
polarisasi.
5. Semakin besar polarisasi antara segmen dominan dengan segmen yang
dikuasai, maka akan semakin keras konflik yang berlaku.
6. Semakin keras suatu konflik, maka semakin besar perubahan struktur sebuah
sistem dan redistribusi sumberdaya langka.
Penjelasan struktural terhadap fenomena konflik sosial merujuk kepada
perspektif konflik Ralf Dahrendorf yang mementingkan elemen-elemen struktur
sosial sebagai dasar terciptanya konflik sosial. Konflik didasari oleh susunan-
8
susunan struktural tertentu, yang oleh kerananya selalu cenderung melahirkan
susunan struktural sebagai yang telah ada. Dengan demikian Dahrendorf
menghubungkan konflik dengan struktur sosial tertentu, dan bukan
menganggapnya berhubungan dengan variabel-variabel psikologis (sifat-sifat
agresif) atau variabel historis deskriptif dan variabel kebetulan (Poloma 2003)
Selanjutnya Dahrendorf menyatakan bahawa pendekatan konflik
berpangkal pada anggapan-anggapan dasar sebagai berikut :
1. Setiap masyarakat sentiasa berada dalam proses perubahan yang tidak
pernah berakhir atau dengan kata lain perubahan sosial merupakan gejala
yang melekat pada setiap masyarakat. Masyarakat merupakan suatu proses
sosial dan memiliki sifat yang dinamis, dimana keadaan masyarakat selalu
berubah sesuai dengan fenomena-fenomena yang berlaku di dalam
masyarakat tersebut dalam waktu yang terus berterusan.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik didalam dirinya atau
dengan kata lain konflik ialah merupakan gejala yang melekat di dalam
setiap masyarakat, salah satu yang dapat mempengaruhi perubahan
ditengah-tengah masyarakat adalah konflik di masyarakat tersebut.
3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi
berlakunya disintegrasi dan perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi diatasi penguasaan atau dominasi oleh
sejumlah orang.
Dahrendorf melihat kumpulan-kumpulan yang bertentangan sebagai
kumpulan yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang
mampu berorganisasi. Pada asosiasi yang ditandai oleh pertentangan, terdapat
ketegangan antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk
pada struktur itu. Secara empiris, pertentangan kumpulan mungkin paling mudah
dianalisis jika dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-
hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kumpulan penguasa
merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaannya,
sementara kepentingan-kepentingan kumpulan bawah melahirkan ancaman bagi
ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. Setiap
kumpulan atau sistem sosial terbagi ke dalam berbagai kepentingan, yakni :
9
kepentingan orang-orang yang menguasai kepemilikan material, dan orang-orang
yang tidak menguasainya (institusi ekonomi), dan kepentingan mereka yang
memiliki dominasi otoritatif dan mereka yang harus tunduk pada penggunaan
otoritas tersebut. Setiap perbezaan kepentingan menempatkan anggota masyarakat
pada posisi dominan dan subordinat (Poloma 2003).
Setiap fenomena konflik memiliki intensitasnya masing-masing. Sumber-
sumber konflik tertentu menghasilkan konflik dengan intensitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan konflik yang dihasilkan oleh sumber konflik yang lain.
Intensitas, merujuk pada pengeluaran energi dan keterlibatan kepentingan dari
pihak-pihak yang berkonflik. Dua variabel utama yang mempengaruhi intensitas
adalah tingkat keserupaan (konsistensi) konflik di pelbagai asosiasi yang berbeza
serta tingkat mobilitas. Tingkat konsistensi yang tinggi bermakna, para anggota
dari kumpulan konflik saling berkonfrontasi dalam berbagai hubungan
asosiasional. Hal ini berlaku kerana orang yang dominan pada satu asosiasi, juga
dominan dalam asosiasi yang lain, sedangkan yang subordinat pada satu asosiasi
juga demikian pada asosiasi yang lain. Selain itu, kesempatan untuk konflik yang
luas dan mendalam akan semakin besar kalau tak satupun dari asosiasi yang
terlibat mampu menyediakan peluang untuk mobilitas keatas. Semakin besar
konsistensi antara persebaran penghargaan ekonomis, status sosial atau prestise,
dan sebagainya, dengan persebaran otoritas, maka semakin besar pula intensitas
konflik kelas (Johnson 1986; Poloma 2003).
Berbeda dengan intensitas konflik, maka kekerasan merujuk pada alat
yang digunakan oleh pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingan.
Tingkat kekerasan boleh sangat bervariasi, mulai dari negosiasi yang penuh
ketenangan sampai pada kekerasan terbuka, termasuk serangan fisik atas manusia
dan miliknya. Tingkat deprivasi sosio ekonomis daripada mereka yang berada
dalam posisi subordinat, merupakan faktor yang dapat membawa impak pada
munculnya konflik yang keras.
Sehubungan dengan konflik sosial, George Simmel (Turner 1978;
Wirawan 2012) mengembangkan tiga perangkat proposisi tentang intensitas
konflik bagi pihak yang terlibat dan fungsi konflik bagi sistem keseluruhan, dalam
rangkaian proposisi tentang intensitas konflik. George Simmelmengemukakan
10
bahawa semakin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat dalam
suatu konflik, maka semakin kuat kecenderungan untuk mengarah pada
kekerasan. Dalam konteks ini ada korelatif positif antara solidaritas antar anggota
dalam suatu kumpulan dengan derajat keterlibatan emosional. Demikian pula ada
korelasi positif antara harmoni awal (pervious harmony) antara anggota kumpulan
yang bertikai dengan derajat keterlibatan emosional mereka. Selanjutnya, semakin
suatu konflik dianggap telah merintangi pencapaian tujuan dan kepentingan
individu oleh para anggota kumpulan yang bertikai, maka konflik itu cenderung
menjadi kekerasan.
2.1.2 Teori Galtung tentang Munculnya Konflik dalam Masyarakat
Kajian ini merujuk kepada teori kekerasan struktural dan kultural dari
Johan Galtung. Johan Galtung mengatakan bahawa konflik dapat dilihat sebagai
sebuah segitiga, dengan kontradiksi (Contradiction = C), sikap (Attitude =
A),perilaku (Behaviour = B) pada puncak-puncaknya. Kontradiksi merujuk pada
dasar situasi konflik, termasuk “ketidakcocokan tujuan” yang ada atau dirasakan
oleh pihak-pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh ”ketidakcocokan antara
nilai sosial dan struktur sosial”. Kontradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang
bertikai, hubungan mereka, dan benturan kepentingan inheren di antara mereka
(Galtung 1973; Liliweri 2009).
Sikap ialah persepsi pihak-pihak yang bertikai dan kesalahan persepsi
antara mereka dan dalam diri mereka sendiri, merupakan persepsi tentang isu-isu
tertentu yang berkaitan dengan kumpulan lain. Dalam konflik dan kekerasan,
pihak-pihak yang bertikai cenderung mengembangkan stereotip yang
merendahkan satu sama lain. Sikap ini sering dipengaruhi oleh emosi seperti
takut, marah, kepahitan, atau kebencian. Sikap tersebut termasuk elemen emotif
(perasaan), kognitif (keyakinan) dan konatif (kehendak). Perilaku yang
merupakan kerjasama atau pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang
menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Perilaku konflik dengan kekerasan
dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan yang merusak.
Kontradiksi ialah kemunculan situasi yang melibatkan masalah sikap dan
perilaku sebagai suatu proses. Dalam hal ini kontradiksi diciptakan oleh unsur
11
persepsi dan gerak kumpulan yang terlibat, yang hidup dalam persekitaran sosial.
Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku, kemudian melahirkan kontradiksi
atau situasi. Sebaliknya, situasi boleh melahirkan sikap dan perilaku. Konsep
mengenai situasi kontradiksi yang didahului oleh sikap dan perilaku ini
digambarkan pada skema segitiga ABC Galtung (lihat Rajah 2.1). Galtung
berpendapat bahawa tiga komponen harus muncul dalam sebuah konflik total.
Struktur konflik tanpa sikap atau perilaku konfliktual merupakan sebuah konflik
laten. Galtung melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan
perilaku secara konstan berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik
muncul, kepentingan pihak-pihak yang bertikai masuk ke dalam konflik atau
hubungan dimana mereka berada. Kemudian pihak-pihak yang bertikai
mengorganisasi diri di sekitar struktur ini untuk mengejar kepentingan mereka.
Mereka mengembangkan sikap yang membahayakan dan perilaku konfliktual,
sehingga formasi konflik mulai tumbuh dan berkembang.
Contradiction
(kontradiksi)
Attitude Behaviour
(Sikap) (Perilaku)
12
Pembahasan tentang konflik selalu mengarah pada upaya penyelesaiannya
serta analisis mengenai sumber-sumber penyebab munculnya konflik tersebut.
Salah satu penjelasan mengenai sumber konflik yang diajukan oleh para
pemerhati konflik adalah, adanya kelangkaan sumber daya untuk pemenuhan
keinginan dan keperluan hidup individu dan masyarakat. Keadaan ini akan
membuat banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber
daya tersebut, dan ketika berlaku ketidakpuasan, maka akan berlaku konflik
(Liliweri 2009).
Sehubungan dengan kelangkaan sumber pemenuhan keperluan hidup,
maka setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi sumber konflik antara dua
pihak, yaitu kepentingan (interest), kekuasaan (power), dan hak (right), yang
mana :
1) Kepentingan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber
konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama
terhadap obyek yang disengketakan, misalnya barang, uang, jasa layanan,
dan lain-lain
2) Kekuasaan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber
konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama
untuk memperoleh status dan peranan sehingga memiliki kewenangan
yang dominan
3) Hak sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik.
Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama untuk
memperoleh tuntutannya, kerana masing-masing merasa bahawa tuntutan
itu berkaitan dengan hak dan tanggungjawabnya.
Salah satu bentuk penyelesaian konflik yang mungkin ditawarkan ialah
dengan memenuhi kepentingan semua pihak. Akan tetapi penyelesaian ini hanya
menghentikan konflik untuk sementara waktu. Apabila sumber daya yang
diperebutkan telah habis, maka situasi konflik akan muncul kembali. Cara yang
lain, yaitu menyerahkan kekuasaan atau hak kepada salah satu pihak merupakan
solusi konflik yang tidak berdampak kepada integrasi sosial. Cara ini adalah
sebuah bentuk penyelesaian yang bersifat zero-sum solution, dan akan diikuti oleh
penyalahgunaan wewenang dan hak oleh pihak dominan, yang kemudian akan
13
menimbulkan konflik yang baru. Oleh kerana itu, konflik sosial seringkali
memiliki sifat berulang sesudah beberapa tahun mereda. Konflik sedemikian
adalah kerana sumber konflik yang sebenarnya sulit terungkap, dan konflik tidak
dapat diselesaikan dengan sepenuhnya. Selalu masih tersisa perbezaan-perbezaan
yang akan memicu konflik pada masa-masa mendatang.
Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan, yaitu kekerasan
struktural, kekerasan kultural, dan kekerasan langsung. Kekerasan langsung
seringkali didasarkan atas penggunaan kekuatan sumberdaya (resource power).
Kekuatan sumberdaya boleh dibagi menjadi kekuatan punitive yaitu kekuatan
yang menghancurkan. Kemudian, kekuatan ideologis, kekuatan remuneratif yang
cenderung menciptakan kekerasan budaya. Galtung mendefinisikan kekerasan
budaya sebagai aspek budaya , iaitu ruang simbolik keberadaan manusia seperti
agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu empirik dan ilmu formal (logika,
matematika), yang dapat dipakai untuk melegitimasi kekerasan langsung atau
kekerasan struktural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan
kekuasaan struktural atau penggunaan otoritas (wewenang) untuk menciptakan
sebuah kebijakan. Jadual 2.2 ialah tipologi kekerasan yang disebutkan oleh
Galtung (Galtung 1990).
Tabel 2.1: Tipologi kekerasan Galtung (Galtung’s typology of violence)
Survival Well-being Identity needs Freedom needs
needs needs
Kekerasan Killing Maiming, Desocialization Repression
langsung siege, misery, resocialization detention
sanction second citizen expulsion
Kekerasan exploitation exploitation Penetration Marginalization
struktural segmentation fragmentation
Sumber : Johan Galtung (1990)
14
personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul (Galtung 1973;
Susan 2009)
2.1.3 Pengendalian Konflik
15
Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kerr sebelumnya, mengenai
konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi, berikut ini terdapat beberapa bentuk akomodasi
lainnya. Akomodasi, ialah keadaan yang merupakan hasil dari interaksi yang
bersifat damai (Summerdalam Narwoko 2010). Akomodasi sebagai proses sosial
berlangsung dalam beberapa bentuk, masing-masing dapat disebutkan dan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemaksaan (coercion) proses akomodasi yang berlangsung melalui cara
paksaan sepihak dan yang dilakukan dengan mengancam sanksi.
2. Kompromi (compromise) proses akomodasi yang berlangsung dalam
bentuk usaha pendekatan oleh kedua belah pihak yang sadar menghendaki
akomodasi, kedua belah pihak bersedia mengurangi tuntutan masing-
masing sehingga dapat diperoleh kata sepakat mengenai titik tengah
penyelesaian.
3. Pengguna jasa perantara (mediation) suatu usaha kompromi yang
dilakukan sendiri secara langsung, melainkan dilakukan dengan bantuan
pihak ketiga, dan tidak memihak, mencuba mempertemukan dan
mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa atas dasar itikat kompromi
kedua belah pihak.
4. Pengguna jasa penengah (arbitrate) suatu usaha penyelesaian sengketa
yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga. Seperti halnya dengan
perantara, penengah ini juga dipilih oleh kedua belah pihak yang bertikai.
Tetapi perantara itu sekedar mempertemukan kehendak kompromistis
kedua-dua pihak, penengah ini menyelesaikan sengketa dengan membuat
keputusan-keputusan penyelesaian atas dasar ketentuan-ketentuan yang
ada.
5. Peradilan (adjudication) suatu usaha penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh pihak ketiga yang memang mempunyai authoriti untuk
menyelesaikan konflik. Pengadilan (hakim) tidaklah dipilih oleh pihak-
pihak yang bertikai seperti apa yang berlaku pada proses akomodasi
melalui penengah. Akan tetapi, seperti halnya para penengah, para
pengadilan (adjudication, khusus hakim) itu selalu menggunakan aturan-
aturan tertentu sebagai standar penyelesaian sengketa.
16
6. Toleration, suatu bentuk akomodasi yang berlangsung tanpa manifestasi
persetujuan formal macam apapun. Pertentangan berlaku kerana individu-
individu bersedia menerima perbezaan-perbezaan yang ada sebagai suatu
kenyataan, dan dengan kerelaan membiarkan perbezaan itu, serta
menghindari diri dari pertelingkahan-pertelingkahan yang mungkin
timbul.
7. Stalemat, adalah suatu bentuk akomodasi, dimana pihak-pihak yang
bertentangan tiba pada suatu posisi “maju tidak boleh dan mundur tidak
boleh”. Stalemate adalah suatu situasi kemacetan yang stabil, sehingga
beberapa pihak mengatakan bahawa stalemate bukanlah proses akomodasi
melainkan resultant suatu proses akomodasi
Beberapa cara lain yang digunakan dalam usaha mengendalikan konflik,
dinyatakan oleh Moore Christopher (Susan 2009). Bentuk-bentuk pengendalian
dan proses pengurusan konflik yang dimaksud iaitu:
a. Avoidance ialah pihak-pihak berkonflik saling menghindari dan
mengharap konflik boleh terselesaikan dengan sendirinya.
b. Informan problem solving ialah pihak-pihak yang berkonflik setuju dengan
pemecahan masalah yang diperoleh secara informal.
c. Negotiation ketika konflik masih terus berlanjut, maka para pihak
berkonflik perlu melakukan negosiasi. Artinya mencari jalan keluar dan
pemecahan masalah secara formal. Hasil dari negosiasi bersifat prosedural
yang meningkat semua pihak yang terlibat dalam negosiasi.
d. Mediation ialah munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua pihak
kerana dipandang boleh membantu parah pihak berkonflik dalam
penyelesaian konflik secara damai.
e. Executivedispute resolution approach iaitu kemunculan pihak lain yang
memberi suatu bentuk penyelesaian konflik.
f. Arbitration suatu proses tanpa paksaan dari para pihak berkonflik untuk
mencari pihak ketiga dipandang netral atau imparsial.
g. Judicial approach berlakunya intervensi yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga berwenang dalam memberi kepastian hukum.
17
Langkah-langkah penyelesaian konflik dan pertikaian sosial mana yang
sesuai tentunya sangat bergantung kepada sumber konflik, pencetus konflik,
keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik serta tingkat intensitas konflik. Faktor
pencetus konflik dan pertikaian kerapkali bukan merupakan sumber konflik yang
sebenarnya. Pencetus konflik ialah suatu tindakan atau kejadian yang langsung
mencetuskan pertikaian antara kedua-dua pihak. Sedangkan sumber konflik
merupakan akar permasalahan yang harus ditarik jauh ke belakang secara historis,
yang akan memberikan penjelasan secara substansi mengenai asal-muasal
kebencian antara pihak-pihak yang bertikai.
Pengendalian atau penyelesaian konflik yang hanya berasas kepada faktor
pencetus konflik, tidak akan menghasilkan sebuah solusi yang menyeluruh dan
mendalam, namun mungkin hanya akan meredam pertikaian atau kekerasan pada
masa yang singkat sahaja, dan tidak lama kemudian akan muncul pertikaian yang
serupa, bahkan mungkin dengan intensitas yang lebih kuat. Oleh itu, beberapa
konflik yang berlaku tidak dapat benar-benar dihapuskan, dan akan berulang pada
bilangan masa tertentu. Sumber setiap pertikaian ialah kebencian yang tersimpan.
Apabila kebencian kepada pihak yang berkuasa tidak mampu diungkapkan, maka
akan berlaku transfer of hate, iaitu kebencian yang dialihkan kepada pihak lain
yang mewakili kepentingan lawan yang berkuasa tersebut. Pada keadaan seperti
ini tentu konflik dan pertikaian menjadi fenomena yang sangat sukar untuk
diselesaikan, terutama untuk mendapatkan sumber konfliknya, kerana sebenarnya
pada setiap pertikaian memiliki nilai pembenarannya sendiri.
Dalam rangka upaya pembangunan sosial ekonomi perdesaan sekitar hutan
Tesso Nilo saat ini dibutuhkan strategi khusus yang mampu mengintegrasikan
tujuan konservasi alam, perbaikan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan
penguatan fiskal bagi pembangunan daerah secara terpadu. Untuk itulah
diperlukan suatu pendekatan pengelolaan pembangunan perdesaan sekitar
kawasan hutan Tesso Nilo (yang sebagaimana kini sudah ditetapkan sebagai
Taman Nasional Tesso Nilo) yang menganut prinsip “dari pembangunan
konservasi untuk pembangunan ekonomi ke arah pembangunan ekonomi untuk
pembangunan berkelanjutan”.
18
Upaya mengembangkan pembangunan konservasi ini membutuhkan
strategi yang integral dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat desa-desa
di sekitar hutan mengingat sejatinya masyarakat perdesaan sekitar hutan adalah
bagian tidak terpisahkan dari pemangku kepentingan utama pembangunan itu
sendiri. Secara khusus dalam upaya pembangunan TNTN, persepktif ini menjadi
sangat relevan karena sesuai pula dengan visi pembangunan daerah Provinsi Riau
yang memprioritaskan penanggulangan K2I (kemiskinan, kebodohan dan
infrastruktur) yang antara lain dengan memberikan perhatian khusus terhadap
upaya untuk membangun otonomi desa. Inilah momentum untuk membuktikan
komitmen berbagai pihak dalam menyelaraskan pembangunan daerah yang
mampu mengakomodasi asas-asas fungsi ekologis, ekonomis dan sosial budaya
dalam membangun kehidupan yang lebih berkualitas di perdesaan sekitar kawasan
hutan Tesso Nilo Provinsi Riau.
Secara teoritik, masalah pembangunan perdesaan di sekitar hutan dapat
dijelaskan sebagai masalah persaingan yang kompleks antara kepentingan
konservasi untuk pelestarian lingkungan alam dengan kepentingan ekonomi dan
sosial dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Hal ini meliputi kepentingan yang
terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa dalam tradisi
dan pengalaman praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya hutan maupun yang
terkait dengan persaingan antara usaha ekonomi “kapitalistik” dengan usaha
ekonomi “rakyat” yang tidak seimbang. Hal yang disebutkan terkahir bisanya juga
dilingkupi pula masalah struktural dalam pembangunan yang tidak terpisahkan
dalam proses pembangunan yang bersifat sentralistik dan uniformitas yang juga
sudah cukup lama berlangsung.
Berkenaan dengan ini diperlukan suatu pendekatan terpadu dalam kelola
kawasan, kelola usaha dan kelola sosial yang hendaknya mampu mengupayakan
rekonsiliasi antara para pemangku kepentingan dalam pembangunan.
Pembangunan perdesaan di sekitar hutan dengan sendirinya secara khas juga
membutuhkan perhatian penyesuaian terhadap keadaan ekologi, ekonomi, sosial
dan budaya setempat dengan memposisikan masyarakat perdesaan sebagai
pemangku utama pembangunan.
19
2.2 KERANGKA PEMIKIRAN
Pemerintah
Masyarakat Daerah Pengelola TNTN Perusahaan
RESOLUSI:
Taman Nasional KONFLIK Konsiliasi
Tesso Nilo Mediasi
(TNTN) Arbritasi
Sumber
Gambar 2.2 : Kerangka Pemikiran“Konflik Antar Pemangku Kepentingan di Taman Nasional Tesso Nilo Provinsi Riau”
20
BAB III
METODE PENELITIAN
3.2 Informan
Karena penelitian ini merupakan studi kasus dan menggunakan
pendekatan kualitatif, maka pengambilan informan dilakukan berdasarkan tujuan
tertentu, yaitu untuk memperoleh gambaran seluas-luasnya tentang konflik antar
pemangku kepentingan di seputar Taman Nasional Tesi Nilo. Informan dalam
penelitian ini adalah tokoh-tokoh terkait dengan masyarakat, otoritas pemerintah
pengelola kawasan, perusahaan dan pemerintahan daerah.
21
Tahap II. Pengumpulan data primer tentang struktur sosial, kehidupan
sosial budaya, pola mata pencaharian, seluk beluk aktivitas ekonomi menurut
jenis-jenis usaha perdesaan, konflik antar para pemangku kepentingan dan strategi
survival keluarga perdesaan di sekitar hutan. Data dikumpulkan dengan metode
pengamatan langsung (direct observation), wawancara mendalam (depth
interview) dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) melalui
kunjungan lapangan dan transek ke desa-desa sasaran penelitian. Dalam
melaksanakan wawancara mendalam dan FGD, antara 5-10 orang terdiri dari
pemimpin formal, pemimpin informal dan warga petani di setiap desa-desa
sasaran penelitian yang dikunjungi telah menjadi informan kunci dalam penelitian
ini. Pada tahap ini juga dilakukan verifikasi data sekunder dan temuan-temuan
data primer awal secara langsung dengan pemerintah (dinas/instansi terkait di
tingkat provinsi Riau dan keempat kabupaten yang mewilayahi TNTN), peneliti
dari perguruan tinggi setempat, praktisi NGO dan Forum Masyarakat Tesso Nilo.
Melalui tahapan ini, didapatkan kategorisasi masyarakat menurut tingkat
kemiskinannya, kategorisasi dan karakteristik usaha ekonomi perdesaan di sekitar
hutan serta peta konflik dan resolusi konflik antar para pemangku kepentingan
pembangunan. Banyak data penting dan relevan berupa kekayaan informasi
kualitatif yang telah didalami sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Tahap III. Melakukan crosscheck melalui diskusi kelompok terarah
(Focus Group Discussion/FGD) bersama para pihak (multi-steakholders/actors)
dengan tujuan melakukan pembahasan partisipatif dan multi-pihak dalam rangka
menemukan usulan pilihan-pilihan strategi pembangunan berkelanjutan yang tepat
dan layak terap oleh pemerintah daerah dalam rangka pembangunan sosial
ekonomi masyarakat perdesaan di sekitar hutan Tesso Nilo Provinsi Riau.
Pengumpul Data
Penarikan Kesimpulan
(Penarikan/ Verifikasi)
23
BAB IV
Di dalam peta wilayah Provinsi Riau antara lain dapat ditemukan adanya
dua buah sungai bernama Sungai Tesso dan Sungai Nilo yang melintasi empat
daerah kabupaten yakni Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi,
tepat di bagian inti dan masing-masingnya membelah di bagian tengah wilayah
Riau ibaratkan jantungnya provinsi ini. Kedua sungai ini hingga sekarang masih
dikitari kawasan hutan alam paru-paru penghasil oksigen terpenting dari kawasan
hutan tropis dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Sumatra. Secara
hidrologis, kedua sungai ini juga memiliki fungsi tata air yang penting sebagai
kawasan tangkapan air dan menjadi kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
tidak terpisahkan dengan Sub-DAS Kampar DAS Indragiri Rokan.
Bagi kalangan komunitas peneliti dan praktisi konservasi, kawasan sekitar
Sungai Tesso dan Sungai Nilo ini kemudian lebih populer disebut dengan nama
kawasan hutan Tesso Nilo dan sejak Tahun 2004 telah dikukuhkan pula secara
resmi oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai kawasan Taman Nasional
Tesso Nilo (TNTN).
24
Tabel 4.1 Nama Desa Sekitar TNTN Menurut Pembagian Wilayah Administratif
25
Pertama, tipologi desa asli dengan ciri-ciri utamanya mayoritas penduduk
desa adalah penduduk tempatan atau penduduk asal setempat yang mengklaim diri
secara umum bersuku bangsa Melayu Riau. Sebagian besar desa bertipologi ini
merupakan desa-desa dengan sejarah pembentukan desanya lebih tua atau lebih
dahulu dibandingkan dua kategori desa yang lainnya. Namun demikian ditemukan
juga adanya desa-desa asli dengan riwayat pembentukannya relatif baru sebagai
hasil ekspansi penerukaan penduduk tempatan.
Menurut data BPS (2014) desa-desa sekitar TNTN ini didiami oleh lebih
dari 41.181 jiwa penduduk yang terdiri dari 9.775 KK. Adapun gambaran
26
terperinci mengenai jumlah penduduk di 22 desa sekitar TNTN ini dapat dilihat
dari Tabel 4.2 di bawah ini:
JUMLAH JUMLAH
KABUPATEN KECAMATAN DESA
PENDUDUK KK
1. Pangkalan
Langgam 2.114 497
Gondai
Langgam 2. Segati 1.918 460
3. Kesuma/Sei
Pelalawan Pangkalan Kuras 1.515 341
Medang
4. Lubuk Kembang
Ukui 1.792 392
Bunga
Ukui 5. Air Hitam 2.022 484
Pasir Penyu 6. Pontian Mekar 1.796 476
Pasir Penyu 7. Tasik Juang 1.239 272
Indragiri Hulu
Pasir Penyu 8. Sei. Beras-beras 1.633 392
Kelayang 9. Air Putih 3.963 963
Kampar Kiri 10. Gunung Sari 3.977 844
Kampar Kiri 11. Suka Makmur 2.851 709
Kampar
Kampar Kiri 12. Gunung Sahilan 1.569 325
Kampar Kiri Hilir 13. Rantau Kasih 596 146
14. Gunung
Kuantan Hilir 2.650 701
Melintang
Logas Tanah Darat 15. Situgal 215 51
Logas Tanah Darat 16. Rambahan 687 160
Logas Tanah Darat 17. Perhentian Luas 2.056 463
Kuantan Singingi Logas Tanah Darat 18. Giri Sako 1.921 480
Logas Tanah Darat 19. Lubuk Kebun 364 96
Logas Tanah Darat 20. Hulu Tesso 1.284 311
21. Logas Tanah
Logas Tanah Darat 569 139
Darat
Singingi Hilir 22. Suka Maju 4.450 1.073
JUMLAH 41.181 9.775
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015
28
4.3 Sistem Organisasi Sosial
Kehidupan masyarakat desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo antara lain
juga perlu dipahami dari sudut pandang sosial budaya yang meliputi sistem
organisasi sosial tradisional masyarakat desa sekitar kawasan ini. Secara sosio-
kultural, khususnya apabila merujuk pada pembagian sosio-kultural masyarakat
tempatan, desa-desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo dapat pula dibagi ke dalam
dua varian sistem organisasi sosial tradisional. Pertama, desa-desa yang secara
organisasi sosial dominan mengikuti sistem perbatinan atau dalam istilah setempat
biasa juga disebut menganut adat Melayu Petalangan. Desa-desa yang menganut
sistem organisasi sosial tradisional seperti ini terutama dapat ditemukan di daerah
perdesaan sekitar TNTN di kabupaten Pelalawan dan kabupaten Indragiri hulu,
seperti:
31
desa sekitar Tesso Nilo ini ternyata lebih meniru prinsip-prinsip sistem patrilineal
yang secara struktural lebih cenderung menguntungkan posisi kaum laki-laki.
Dengan perkataan lain, ini berarti bahwa adanya pola kememilikan atas
tanah dan hutan oleh batin atau suku tertentu, sifatnya tidak terlalu mengikat
34
dengan pola penguasaan dan aturan penggunaannya. Apabila telah meminta izin
dan mendapat persetujuan dari otoritas pemilik ulayat atau pemimpin suku
tertentu, maka tanah beserta tanaman yang ada di atas kalau terus dikelola akan
dapat menjadi hak milik individu. Hak kepemilikan atas tanah yang terus diurus
ini selanjutnya dapat permanen (sebagai hak milik individu) dan dapat diwariskan
pula kepada generasi anak cucu dalam keluarganya. Dengan demikian konsep
kepemilikan kumunal atas tanah pada masyarakat desa sekitar kawasan hutan
Tesso Nilo ini dapat menjadi jauh lebih luas sebagai faktor internal (internal
factor) dan sekaligus faktor penekan (push factor) yang mendorong laju ekspansi
penduduk dan eskalasi okupasi lahan atau hutan.
36
Adapun hutan, merupakan bagian wilayah hutan alam yang dimiliki secara
ulayat (komunal) dan dijadikan sebagai cadangan lahan untuk generasi keturunan
hingga masa akan datang. Hutan biasanya juga digunakan penduduk desa untuk
tempat mengambil kayu bahan bangunan, bahan membuat sampan untuk
transportasi sungai dan tempat mengambil hasil hutan non-kayu seperti madu
lebah, getah damar, jelutung, rotan, manau, tabu-tabu, tumbuhan tertentu untuk
obat-obatan, serta tempat melakukan kegiatan berburu.
38
Gambar .4.1. Peta Sebaran Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, HPH dan HTI di Sekitar
Kawasan Hutan Tesso Nilo
Sumber: WWF Riau, 2015
Penerimaan masyarakat kedua puluh dua desa sekitar kawasan hutan Tesso
Nilo terhadap keberadaan TNTN ternyata cukup beragam. Dari berbagai
informasi kualitatif yang diperoleh selama penelitian ini diketahui masih relatif
rendahnya pengenalan mayoritas masyarakat desa sekitar terhadap TNTN. Sejak
TNTN dikukuhkan secara resmi sampai sekarang sosialisasinya sebenarnya
belumlah sampai pada berbagai lapisan masyarakat desa sekitar.
39
Di setiap desa memang ditemukan adanya tokoh-tokoh masyarakat (formal
dan informal) yang sudah mengetahui karena mereka beberapa kali pernah terlibat
dalam proses perencanaan hingga pengukuhan TNTN. Tetapi di kalangan para
tokoh masyarakat itu sendiri terkesan adanya beragam pemahaman dan
interpretasi tentang urgensi dan keberadaan TNTN. Sebagian tokoh desa yang
hingga kini masih berposisi mendukung program pembangunan TNTN umumnya
belum memandang kehadiran kebjakan dan program ini sebagai bagian dari
kebutuhan dan kepentingan bersama masyarakatnya. Pemahaman mereka tentang
keberadaan TNTN umumnya juga masih bersifat parsial. Pandangan parsial yang
paling umum ditemui adalah adanya anggapan bahwa keberadaan TNTN sebatas
kepentingan untuk konservasi gajah. Selain itu, TNTN lebih dipandang sebagai
programnya WWF. NGO bertaraf Internasional ini lewat perwakilannya WWF
AREAS Riau Project memang dapat dikatakan paling banyak terlibat
memprakarsai dan mengimpelementasikan pembangunan TNTN. Tetapi
bagaimanapun juga posisi organisasi ini sesungguhnya tetaplah sebagai salah satu
pihak fasilitator-dinamisator pembangunan TNTN. Oleh sebab itu amatlah keliru
apabila masih ditemui juga pejabat/aparat pemerintahan setingkat kabupaten dan
provinsi sekalipun yang ikut memandang bahwa TNTN itu adalah milik dan
programnya WWF.
Sebagian besar para tokoh masyarakat desa yang kami wawancarai soal
pandangannya terhadap kebijakan dan keberadaan TNTN bahkan mulai
mengambil posisi ragu dan apatis. Bagi mereka, kebijakan dan tindak lanjut
program TNTN dianggap tidak pasti. Hingga sekarang ketidak-pastian ini masih
terus berlanjut dan tidak tahu sampai kapan hal ini terus berlangsung. Terlepas
dari kompleksnya persoalan yang ada, mereka beranggapan bahwa pemerintah
dan pihak-pihak terkait sangat lamban dalam mengambil langkah. Tuntutan
kepastian yang mereka butuhkan sebenarnya hanya dua macam. Pertama,
perlunya segera melakukan pengukuran dan penentuan tapal batas TNTN.
Harapan mereka atas hal ini adalah untuk menghambat laju pembukaan hutan oleh
perusahan-perusahaan besar dan warga pendatang. Di samping itu juga terdapat
harapan agar jangan sampai penetapan tapal batas TNTN itu memasuki lahan
garapan dan sisa hutan ulayat mereka yang selama ini diklaim telah banyak
40
diambil oleh perusahaan-perusahaan besar di sekitarnya. Kedua, perlunya tindak
lanjut program yang lebih konkrit dalam rangka upaya perbaikan ekonomi
keluarga dan masyarakat perdesaan. Bagi mereka apapun namanya program
pembangunan yang diarahkan ke desa, saat ini yang paling mendesak ialah adanya
upaya nyata untuk mengatasi masalah kesulitan ekonomi yang dihadapi
masyarakat.
Ada pula tokoh masyarakat yang kini sudah terang-terangan mengambil
posisi menolak kehadiran TNTN, meskipun semulanya mereka akui ikut
mendukung. Di salah satu desa transmigrasi yang dalam 1 tahun terakhir
mengalami peningkatan serangan gajah, secara resmi pemerintah desanya telah
mengajukan surat penolakan. Dalam logika mereka pembangunan TNTN inilah
yang telah memicu peningkatan serangan gajah terhadap tanaman penduduk dan
manusia. Dalam kalangan warga awam memang tidak ditemukan pro kontra yang
tajam dalam menyikapi keberadaan TNTN. Hal ini tampaknya lebih disebabkan
karena masih minimnya pengenalan mereka terhadap keberadaan TNTN.
41
BAB V
1
Lihat juga laporan WWF Area Riau Project tahun 2005 tentang Pengembangan Kegiatan Usaha
Madu Sialang di Kecamatan Logas Tanah Darat.
44
Akan tetapi, terdapat pula kepentingan TNTN yang dinilai penduduk desa-
desa sekitar bertentangan dengan kepentingan mereka karena hal-hal berikut:
1. Gajah Menyerang Perkebunan Penduduk.
Gajah di kawasan Tesso Nilo diperkirakan tinggal 165 – 203 ekor. Akibat
konflik antara gajah dan penduduk sekitar TNTN, baik Gajah itu sendiri maupun
penduduk setempat menderita kerugian. Gajah juga menyerang tanaman karet dan
kelapa sawit serta padi ladang penduduk hampir di semua desa yang berbatasan
langsung dengan hutan. Serangan gajah ini terjadi hampir di seluruh 22 desa
sekitar TNTN, tetapi intensitasnya berbeda.
Dari sudut intensitas serangan gajah, desa-desa sekitar TNTN dapat dibagi
dua. Pertama, desa-desa yang serangan gajah sudah mulai berkurang secara
signifikan (tidak ada serangan dua tahun terakhir) karena terhalang oleh kawasan
perkebunan perusahaan-perusahaan besar. Kedua, desa-desa yang intensitas
serangan gajah tinggi (lebih dari tiga kali setahun terakhir). Desa-desa yang
termasuk kategori ini adalah : desa Situgal Kecamatan Logas Tanah Darat
Kabupaten Kuantan Singingi, desa Lubuk Kembang Bunga, desa Air Hitam
(keduanya termasuk wilayah Kecamaatn Ukui Kabupaten Pelalawan) dan desa
Gunung Sahilan Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar. Perbedaan
intensitas serangan gajah di dua klasifikasi desa-desa ini akibat beroperasinya
berbagai perusahaan besar yang membuat desa-desa tidak lagi berbatasan
langsung dengan hutan.
2. Penduduk Mengambil Hasil Kayu ke Hutan
Ada kelompok penduduk desa-desa sekitar yang mengambil kayu ke hutan
Tesso Nilo untuk dijual. Praktek mereka disebut oleh pihak berwenang sebagai
pembalakan liar (illegal logging). Mereka ini adalah penduduk setempat yang
laki-laki yang pada umumya tidak mempunyai kebun, baik kebun karet maupun
kebun kelapa sawit sebagai sumber pendapatan atau mereka yang mempunyai
kebun karet tetapi anak-anaknya sudah besar dan kebun karetnya sudah tua seluas
hanya 1 sampai 2 ha. Penduduk desa-desa sekitar TNTN adalah petani peladang,
bukan petani sawah. Mata pencaharian ini dikondisikan oleh keadaan alam desa
mereka yang rawa dan perbukitan hutan dataran rendah. Akibatnya, sumber
pendapatan potensial penduduk bertumpu kepada ladang (umumnya perkebunan
45
karet dan akhir-akhir ini sawit). Bagi mereka yang tidak mempunyai kebun oleh
berbagai sebab seperti tidak adanya lahan, tidak adanya modal untuk membangun
kebun atau terbiasa kehutan untuk mengambil kayu, semenjak 1980an mengambil
kayu ke hutan merupakan sumber pendatan alternatif. Menurut pengakuan baik
pemimpin formal maupun informal komunitas desa, jumlah penduduk desa yang
mencari kayu ke hutan untuk dijual akhir-akhir ini makin berkurang, bukan karena
sadar konservasi melainkan karena kayu sudah mulai sulit.
Untuk membuktikan adanya pembalakan liar di sekitar TNTN tidaklah
sulit. Tumpukan kayu bulat hasil tebangan telihat dengan mudah di berbagai
tempat dan truk-truk bermuatan kayu bulat lalu lalang di jalan-jalan PT. RAPP,
jalan perkebunan hingga jalan raya yang melintasi desa. Di samping itu, sawmill
ditemukan di berbagai tempat di dekat kawasan TNTN.
3. Menjual Lahan Hutan dalam Kawasan Tanah Ulayat
a. Proses Okupasi Lahan Usulan TNTN
PT. RAPP berdampak besar terhadap kawasan hutan. Untuk melancarkan
aktivitas produksinya terutama untuk mengangkut kayu akasia dari lokasi
perkebunan ke pabrik, perusahaan besar ini membuat jalan poros yang
menghubungkan desa satu dengan desa yang lain. Hampir tidak ada desa-desa
sekitar TNTN yang tidak terhubungkan oleh jalan poros PT. RAPP. Biasanya
jalan yang dibuat oleh perusahahan ini dulunya termasuk kawasan hutan yang
cukup jauh dari perkampungan penduduk setempat. Terbukanya kawasan hutan
oleh jalan PT. RAPP tersebut membuat kawasan hutan makin bernilai ekonomis,
karena memungkinkan untuk ditransformasi menjadi kawasan perkampungan dan
perladangan seiring tersedianya kemudahan untuk memobilisasi orang dan barang.
Semua ini menimbulkan komoditifikasi lahan hutan. Di mata penduduk
lokal, kawasan hutan di atas tanah ulayat suku mereka dilihat sebagai komoditi,
sebagai komoditi yang bernilai untuk dijual kepada orang lain. Aktor-aktor desa
yang kreatif dan yang berjiwa kewirausahaan menangkap peluang ini sebagai
peluang bisnis. Mereka mengorganisasi penjualan lahan hutan atas tanah ulayat
yang menyebabkan terjadinya okupasi lahan pada kawasan usulan pengembangan
TNTN. Persoalan tersebut ditunjukkan oleh kasus okupasi lahan di Dusun Toro
Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan dan Dusun
46
Bukit Kesuma Desa Kesuma Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan.
Berikut ini akan dipaparkan proses okupasi lahan usulan TNTN di Dusun Bukit
Kesuma.
Kawasan Bukit Kesuma terlihat dalam proses perkembangan menjadi
sebuah pemukiman yang mapan. Di kawasan tersebut, daerah yang dulunya hutan,
kini telah benar-benar menjelma menjadi sebuah perkampungan. Di sana sudah
ada pusat aktivitas penduduk; ada pasar yang telah mempunyai kios dan los yang
permanen yang ramai dikunjungi oleh penduduk sekitar sekali dalam seminggu;
ada sebuah masjid yang cukup luas untuk ukuran daerah setempat; ada beberapa
warung di sekitar pasar.
b. Pemerintah Setempat Memfasilitasi dan Memberi Peluang Terjadinya
Okupasi Lahan
Bukan hanya pemimpin adat Desa Bukit Kesuma yang melegitimasi
okupasi lahan, melainkan juga aparat pemerintahan desa. Di dinding sebuah
warung di pusat perkampungan Bukit Kesuma tertempel sebuah pengumuman
yang ditujukan kepada pembeli lahan hutan di kawasan tersebut. Pengumuman
tersebut ditandatangani oleh kepala desa, ketua RW dan ketua RT Desa Kesuma.
Isi pengumuman tersebut adalah pemerintah desa meminta kepada pembeli lahan
hutan untuk mengurus kembali ke aparat Desa Kesuma untuk mendapatkan surat
izin pembukaan kebun, karena surat izin yang dikantongi pembeli selama ini
adalah hanya surat keterangan pembelian lahan hutan. Pengumuman ini,
sesunguhnya, menyatakan bahwa pemerintah Desa Kesuma melegetimasi
penjualan lahan hutan di Bukit Kesuma kepada pihak luar desa.
Pemerintah Kabupaten Pelalawan dan Kecamatan Pangkalan Kuras juga
turut memungkinkan okupasi lahan usulan TNTN tersebut terjadi dan berkembang
sampai pada situasi saat ini. Hal ini terjadi karena tidak ada larangan yang
dikeluarkan baik oleh pemerintah kabupaten maupun kecamatan terhadap
penjualan lahan eks konsesi HPH PT. Siak Raya di Bukit Kesuma. Alasan yang
disampaikan oleh Kecamatan Pangkalan Kuras tentang mengapa mereka
membiarkan penjualan dan okupasi lahan di Bukit Kesuma adalah si pemegang
HPH sendiri atas lahan tersebut, PT. Siak Raya, tidak peduli dengan penjualan
dan okupasi lahan tersebut. Bagi mereka sebagai pihak pemerintah kecamatan,
47
adalah sebuah kewajiban perusahaan tersebut untuk mencegah terjadinya okupasi
lahan di kawasan yang bersangkutan. Alasan penting lain yang perlu diperhatikan
adalah pihak Kecamatan Pangkalan Kuras tidak mengetahui bahwa lahan hutan
dalam area HPH PT. Siak Raya di Bukit Kesuma termasuk kawasan usulan
pengembangan Taman Nasional Tesso Nilo yang tidak boleh diduduki oleh
penduduk. Ironisnya, pemerintah Kabupaten Pelalawan, khususnya melalui Dinas
Kehutanan setempat pun juga tidak melakukan kontrol pengawasan terhadap
perusahaan konsesi ini.
48
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
terpadu kebun plasma sawit dan penguasaan tanah ulayat.
Bagi hasil HTR. Salah satu model produksi kayu akasia PT. RAPP adalah
menerapkan konsep bagi hasil dengan penduduk sekitar pemilik lahan.
Perusahaan tersebut meminta penduduk setempat pemilik lahan untuk
menyerahkan lahannya kepada PT. RAPP guna ditanami pohon akasia (bahan
baku pulp produksi RAPP) dengan kontrak 2 x 7 tahun2 untuk satu kali
penyerahan. Mulai dari pembersihan lahan sampai panen merupakan tanggung
jawab PT. RAPP. Persentase bagi hasil terdiri dari 60% untuk PT. RAPP dan
40% bagi pemilik lahan.
Sebagian peserta HTR kecewa dengan uang bagi hasil yang mereka
terima, seperti yang terjadi di Kecamatan Logas Tanah Darat. Menurut mereka,
untuk panen pertama, uang bagi hasil yang mereka terima kecil yaitu Rp
3.000.000,- per ha. Penilaian peserta HTR terhadap besarnya uang bagi hasil
yang diterima tidak berdasarkan pengetahuan mereka terhadap harga pasar, karena
mereka tidak mengetahui harga pasar pohon akasia.
Pembangunan HTI Terpadu Kebun Plasma Sawit. Penduduk desa Gunung
Sahilan Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar menuntut kompensasi dari
pembukaan HTI oleh PT. RAPP agar perusahaan membangun kebun plasma
kelapa sawit untuk masyarakat desa. Perusahaan tersebut menyatakan
kesediaannya untuk mengabulkan tuntutan penduduk desa yang bersangkutan,
tetapi atas alasan terbatasnya lahan (lahan yang ada termasuk konsesi perusahaan
lain) pembangunan perkebunan tersebut terkendala.
Penguasaan Tanah Ulayat. Konflik antara komunitas desa-desa sekitar
TNTN dengan PT. RAPP berkenaan dengan isu penggunanan tanah ulayat oleh
perusahaan tersebut jauh lebih serius ketimbang persoalan bagi hasil HTR yang
telah dipaparkan di atas. Hampir di seluruh 22 desa, terdapat ketidak-puasan
penduduk lokal baik penduduk awam maupun elit lokal terhadap PT. RAPP.
Dari kaca mata penduduk setempat, lahan yang dieksploitasi oleh PT.
RAPP termasuk dalam wilayah tanah ulayat mereka yang terdiri dari dua
klasifikasi. Pertama, tanah yang ditanami akasia oleh PT. RAPP merupakan lahan
2
Satu kontrak 7 tahun karena pohon akasia dipanen setelah berumur 7 tahun.
49
hutan eks HPH sebuah perusahaan, yang belum pernah digarap oleh penduduk
lokal. Akan tetapi, menurut konsepsi lokal, lahan ini masuk wilayah ulayat suku-
suku komunitas desa-desa yang pada suatu waktu nanti mungkin akan dapat
digarap sebagai lahan cadangan generasi anak cucu. Tidak ada ganti rugi atau
bentuk pembayaran lain yang diterima oleh pemilik tanah ulayat dari PT. RAPP.
Kedua, lahan yang ditanami PT. RAPP merupakan lahan bekas garapan penduduk
setempat yang dalam terminologi lokal disebut sasok (sesap). Mata pencaharian
umumnya penduduk di 22 desa-desa sekitar TNTN adalah pertanian perladangan
yang semi berpindah-pindah, karenanya ada lahan yang dulunya pernah digarap,
kemudian ditinggalkan. Bekas penggarap tanah ulayat menerima kompensasi dari
PT. RAPP berupa uang ganti jerih payah menggarap lahan yang disebut upah
tobeh (upah tebas) dan upah tobang (upah tebang) karena penduduk menebas
semak belukar dan menebang kayu-kayu besar sebelum dapat mengolah tanah.
Berkaitan dengan itu, tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh pemimpin-
pemimpin umumnya desa sekitar TNTN kepada PT. RAPP bukan kembalikan
tanah ulayat, melainkan bantuan untuk pembangunan fasilitas umum desa dan
perbaikan ekonomi penduduk kurang mampu.
Penyebab konflik dapat dibagi dua. Pertama adalah penyebab esensi dari
konflik. Tanpa adanya penyebab ini aktor-aktor tidak punya landasan untuk
berkonflik. Kedua adalah faktor yang memberi peluang untuk munculnya atau
untuk berkembangnya konflik (perubahan era reformasi termasuk ke dalam faktor
ini). Studi ini memfokuskan terhadap penyebab esensi konflik antar para
pemangku kepentingan (stakeholders) di sekitar TNTN, karena tanpa menyentuh
penyebab ini solusi konflik tidak akan bertahan lama.
Ada dua penyebab esensi konflik antara penduduk setempat dengan
perusahaan-perusahaan, yaitu status tanah yang dipakai oleh perusahaan adalah
tanah ulayat komunitas desa dan proses pembebasan tanah yang tidak berpihak
kepada komunitas desa yang bersangkutan. Kedua penyebab tersebut saling
berkaitan dan, oleh sebab itu, tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain.
50
Tanah yang dikuasai oleh keseluruhan perusahaan termasuk kawasan
TNTN menurut konsepsi lokal adalah tanah ulayat suku atau batin mereka.
Perusahaan-perusahaan yang sekarang mengontrol tanah tersebut tidak
membelinya dari pemegang otoritas tanah ulayat, melainkan sebagian dengan cara
membayar uang tobeh / uang tobang (upah garap) apabila bekas garapan
penduduk dan dengan tidak membayar apapun untuk tanah yang tidak bekas
garapan. Oleh sebab itu, menurut penduduk setempat, tanah yang dipakai oleh
perusahaan statusnya masih tanah ulayat mereka yang dipakai oleh perusahaan-
perusahaan.
3
Purwoko, 2003: 12.
51
5.5 2 Forum Tesso Nilo untuk Memperkuat Komunitas Desa belum Berdaya
Di bawah koordinasi Divisi Community Development, WWF AREAS
Riau Project melaksanakan fasilitasi pendirian dan melakukan pendampingan
untuk pengembangan Forum Tesso Nilo. Program WWF ini merupakan
pendekatan keorganisasian untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan
dengan TNTN, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gangguan-
gangguan hubungan sosial antara berbagai pihak terhadap kepentingan TNTN. Di
antaranya adalah gangguan hubungan yang berkonflik antara para pemangku
kepentingan (stakeholders).
Didirikan pada tahun 2004, Forum Tesso Nilo adalah sebuah Organisasi
Non Pemerintah (Ornop) yang beranggotakan komunitas-komunitas 22 desa yang
berbatasan dengan TNTN. Pengurusnya juga terdiri dari orang-orang yang berasal
dari komunitas-komunitas desa tersebut. Struktur kepengurusan forum terdiri dari:
Sekretaris Bendahara
(utusan sebuah desa) (utusan sebuah desa)
55
BAB VI
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
56
6. Di beberapa penjuru saat ini berlangsung okupasi lahan di areal eks
konsesi HPH dan areal taman nasional yang masih potensial akan terjadi
juga di lokasi lainnya di masa akan datang.
7. Di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Tesso Nilo,
serangan gajah cukup intensif yang menimbulkan kerugian terhadap
perekonomian penduduk.
8. Sosialisasi program konservasi TNTN, khususnya sosialisasi program
konservasi gajah ternyata masih minim dan belum merata diterima
masyarakat sehingga pandangan pro kontra tentang program-program
konservasi ini berpotensi meluas dan cenderung kontra produktif bagi
upaya menggalang partisipasi masyarakat perdesaan dalam rangka
pembangunan TNTN itu sendiri.
9. Terdapat juga kenyataan masih minimnya inisiatif kebijakan pembangunan
daerah oleh pemerintah Provinsi Riau maupun pemerintah daerah di
keempat kabupaten yang mewilayahi TNTN dalam mengembangkan
kebijakan pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan
sosial ekonomi perdesaan maupun dukungan terhadap pembangunan
TNTN.
6.2 SARAN
1. Tingkat konversi lahan dan hutan pada lokasi dan sekitar TNTN sangatlah
tinggi, hal ini terlihat dengan banyaknya perusahaan perkebunan sawit,
perkebunan karet, HPH dan HTI yang memiliki konsesi lahan skala besar
di daerah ini. Dengan ini diharapkan terjalinnya kerjasama yang saling
menguntungkan antara masyarakat dengan perusahaan dalam upaya
meningkatkat perekonomian masyarakat tempatan melalui program
Community Development.
2. Konversi lahan dan hutan telah menimbulkan berbagai konflik dengan
masyarakat setempat, bukan saja karena konversi hutan yang diklim
sebagai hutan ulayat oleh masyarakat, tapi juga sebagian konversi lahan
57
yang semula merupakan lahan sosok (bekas garapan masyarakat). Dalam
hal ini diharapkan kebijaksanaan perusahaan yang didukung oleh
pemerintah setempat dalam upaya penyelesaian konflik dengan
mempertimbangkan aspirasi masyarakat serta kepentingan perusahaan.
3. Masyarakat melihat perbedaan tingkat ekonomi warga transmigrasi dengan
masyarakat lokal sebagai akibat dari perbedaan perlakuan baik oleh
pemerintah maupun oleh investor. Hal ini membutuhkan perhatian khusus
terutama pemerintah desa untuk dapat bersosialisasi dengan baik serta
mengintegrasikan masyarakat, menjadi jembatan maupun fasilitator antar
penduduk lokal, trnasmigarasi dan perusahaan dengan membuat berbagai
kebijakan yang tidak memihak dan mengedepankan kepentingan bersama.
58
DAFTAR PUSTAKA
Burhan Bungin, 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo
Perkasa.
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I dan II, Jakarta: Gramedia,
1986
Fearon, James D & Latin, David. 2000. Violence and The Social Construction of
Gould, Roger V. 1999. Collective Violence and Group Solidarity : Evidence From
Yogyakarta, Qalam
George Ritzer, Sociological Theory 2nd ed, 1988, New York : Albert A Knopf
Utama Press
59
Johan Galtung, 1973, Theories of Conflict : Definitions, Dimensions, Negations,
Of Conflict.pdf
http://www.jstor.org/stable/423472
Dorsey Press
2010
Gramedia
http://scholarworks.gvsu.edu/orpc/vol4/i
Ralf Dahrendorf, 1986, Klas dan Konflik Klas dalam Masyarakat Industri,
Jakarta: Rajawali
60
Robert M.Z. Lawang, 2005, Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Suatu
2003.
Varsney, Ashutosh. 2001. Ethnic Conflict and Civil Life : Hindus and Muslims in
__________2002. The Local Roots of India Riots. Far Eastern Economic Review
61
LAPORAN PENELITIAN
TAHUN ANGGARAN 2016
KETUA:
Dr. H. YOSERIZAL, MS
NIDN: 0018095901
ANGGOTA:
YESI S.Sos M.Soc Sc
NIDN: 9910677081
62
63
KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN
DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO PROVINSI RIAU
ABSTRAK
Di kawasan hutan tropis dataran rendah terbesar di Pulau Sumatra ini
Taman Nasional Tesso nilo telah berlangsung proses pengalihan fungsi hutan
yang semula sebagai sumber kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman
hayati, habitat satwa khas, penghasil oksigen, mengatur iklim mikro maupun
makro, menyerap gas-gas perusak lapisan ozon penyebab efek rumah kaca yang
menaikan suhu bumi, melindungi tanah serta air tanah, penghasil produk hutan
seperti getah, madu, buah-buahan, obat-obatan, protein hewani, rotan, damar
dan kayu serta sumber mata pencaharian penduduk perdesaan sekitar kini
mengalami berbagai benturan kepentingan. Rantai panjang proses benturan
kepentingan tersebut meliputi fakta penebangan hutan secara besar-besaran
untuk industri kayu, pengalihan fungsi hutan primer yang heterogen menjadi
hutan tanaman homogen dan pembukaan perkebunan besar sangat tidak hanya
mengancam pelestarian keanekaragaman hayati, tetapi juga telah menimbulkan
dampak negatif bagi eksistensi masyarakat lokal.
Penelitian ini merupakan studi kasus dan menggunakan pendekatan
kualitatif, maka pengambilan informan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu,
yaitu untuk memperoleh gambaran seluas-luasnya tentang konflik antar
pemangku kepentingan di seputar Taman Nasional Tesso Nilo. Informan dalam
penelitian ini adalah tokoh-tokoh terkait dengan masyarakat, otoritas pemerintah
pengelola kawasan, perusahaan dan pemerintahan daerah.
Situasi sosial ekonomi desa-desa sekitar TNTN masih ditandai dengan
terdapatnya kesenjangan sosial ekonomi antara desa asli/tempatan yang
umumnya lebih miskin dibandingkan dengan desa-desa transmigrasi. Keberadaan
perusahaan-perusahaan besar sekitar desa-desa sekitar TNTN ternyata belum
memberikan kontribusi berarti bagi perbaikan ekonomi masyarakat desa.
Terdapat hubungan yang berkonflik antara penduduk desa-desa sekitar TNTN
dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berkenaan
dengan konversi kebun plasma kelapa sawit. Terdapat hubungan yang berkonflik
antara penduduk desa dengan perusahaan perusahaan disekitar kawasan
penduduk seperti PT.RAPP berkenaan dengan harga penjualan produksi hasil
HTR dan tuntutan kepedulian perusahaan terhadap masalah sosial ekonomi dan
pembangunan perdesaan karena perusahaan menggunakan tanah ulayat
komunitas lokal yang selama ini menjadi sumber ekonomi dan lahan cadangan
bagi masyarakat. Di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Tesso
Nilo, serangan gajah cukup intensif yang menimbulkan kerugian terhadap
perekonomian penduduk. Sosialisasi program konservasi TNTN, khususnya
sosialisasi program konservasi gajah ternyata masih minim dan belum merata
diterima masyarakat sehingga pandangan pro kontra tentang program-program
konservasi ini berpotensi meluas dan cenderung kontra produktif bagi upaya
menggalang partisipasi masyarakat perdesaan dalam rangka pembangunan
TNTN itu sendiri.
Keyword: Konflik Kepentingan, Taman Nasional Tesso nilo
64
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkat dan
Rahmat-Nya maka laporan penelitian yang berjudul “Konflik Antar Pemangku
Kepentingan di Taman Nasional Tesso Nilo Provinsi Riau” dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pelaksanaan penelitian ini dibiayai Oleh Dana PNBP Fisip Universitas
Riau Tahun Anggaran 2016.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang telah turut serta memberikan bantuan dan
dorongan sehingga tersusunya laporan penelitian ini, yaitu kepada:
1. Rektor Universitas Riau dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Universitas Riau yang telah menyediakan dana untuk
penelitian ini sehingga seluruh kegiatan ini dapat dilaksanakan.
2. Bapak Dekan dan Wakil Dekan bidang akademis Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Riau yang telah memberikan izin penelitian.
3. Seluruh responden yang bersedia menyediakan waktu dan informasi dalam
menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan guna kepentingan penelitian
ini.
4. Semua pihak yang telah membantu demi pelaksanaan penelitian ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Sangat disadari bahwa rancangan penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta masukan demi
perbaikan. Demikian rancangan penelitian ini di susun, kepada semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, yang terlibat pada kegiatan ini dari awal
hingga selesai, diucapkan ribuan terima kasih. Semoga bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat sekitar.
Pekanbaru, Juni 2016
Tim Peneliti
65
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian .............................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 5
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
67
DAFTAR TABEL
68
DAFTAR GAMBAR
69