Anda di halaman 1dari 25

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Hubungan Konseling KB pada PUS 4T dengan Penggunaan Kontrasepsi


6.1.1 Hubungan Konseling Dengan Pengetahuan

Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan mengenai pengaruh konseling


terhadap pengetahuan yang berkaitan dengan kontrasepsi. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian mengenai ‘Pengaruh Pemberian Konseling terhadap Pengetahuan
tentang KB dan Kemantapan dalam Pemilihan Alat Kontrasepsi pada Calon
Akseptor KB (Studi di Puskesmas Ngunut Kabupaten Tulungagung) didapatkan
ada perbedaan pengetahuan antara kelompok diberi konseling dengan tidak diberi
konseling dengan p<0,001 dan ada perbedaan kemantapan dalam pemilihan alat
kontrasepsi pada calon akseptor KB antara kelompok diberi konseling dengan
tidak diberi konseling dengan p<0,001. Hal ini disebabkan dengan konseling
maka terjadi transfer informasi mengenai kelebihan, kekurangan, efektivitas dan
efisiensi masing-masing alat kontrasepsi antara calon akseptor dengan petugas
kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa konseling efektif untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemantapan dalam pemilihan kontrasepsi pada calon akseptor.
Disarankan agar petugas kesehatan tetap memberikan konseling kepada setiap
calon akseptor untuk meningkatkan pengetahuan dan kemantapannya dalam
memilih alat kontrasepsi (Tumini, 2010).

Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian mengenai ‘Pengaruh Konseling
Bidan terhadap Tingkat Pengetahuan dan Minat menjadi Akseptor Iud Post
Plasenta di Kecamatan Ungaran Barat Tahun 2016’ terdapat perbedaan tingkat
pengetahuan yang bermakna setelah dilakukan konseling (p=0,000), serta minat
antara pretest dan posttest dengan nilai perbedaan rata-rata (mean) sebesar 3,83
dan nilai p=0,000 (p<0,05). Konseling berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan
dan minat menjadi akseptor IUD Post Plasenta di Kecamatan Ungaran Barat (Asa
dkk, 2017).

67
68

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian mengenai ‘Pengaruh


Konseling Keluarga Berencana terhadap Tingkat Pengetahuan dan Minat menjadi
Akseptor Keluarga Berencana Pasca Persalinan di Puskesmas Melati II
Yogyakarta’ menunjukkan nilai perbedaan rata-rata (mean) antara pre test dan
post test adalah 3,60 dan nilai p=0,003 (p<0,05) berarti terdapat pengaruh antara
konseling terhadap tingkat pengetahuan ibu hamil tenatang keluarga berencana
pasca persalinan di Puskesmas Mlati II Yogyakarta. Ada pengaruh konseling
keluarga berencana terhadap tingkat pengetahuan keluarga berencana pasca
persalinan di Puskesmas Mlati II Yogyakarta. Berdasarkan hasil tersebut
hendaknya ibu hamil yang masih mempunyai tingkat pengetahuan kurang dan
cukup untuk terus menambah informasi tentang KB terutama KB pasca persalinan
dengan membaca buku KIA (Endah dkk.,2015).
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian mengenai ‘Pengaruh
Konseling terhadap Pengetahuan dan Sikap Pasangan Usia Subur tentang Intra
Uterine Devices’ didapatkan sikap responden sebelum dilakukan konseling
sebesar 1.39 dan sesudah dilakukan konseling sebesar 2.00, sehingga nilai
perubahan sebesar 0.61. Kesimpulan ada pengaruh konseling terhdap pengetahuan
dan sikap Ibu tentang IUD di Kelurahan Sirandorung Kecamatan Rantau Utara
Kabupaten Labuhan Batu tahun 2016 (Maria, 2018).
Apodaca (2018) dalam penelitiannya mengatakan bahwa banyak
perempuan usia diatas 35 tahun di US tidak mendapatkan konseling kontrasepsi
dalam 12 bulan ini. Sehingga banyak yang tidak mengetahui tentang pentingnya
penggunaan kontrasepsi, serta kontrasepsi apa yang harus digunakan. Perlu
dilakukan konseling terutama kontrasepsi yang komperhensif dan sterilisasi pada
perempuan berusia 35 – 44 tahun.
Responden yang mengatakan tidak menggunakan kontrasepsi tidak pernah
mendatangi tenaga kesehatan untuk mendiskusikan mengenai kontrasepsi setelah
kehamilan. Konseling mengenai kontrasepsi ini berpengaruh besar dalam
penggunaan kontrasepsi pada responden. (Upadhaya, 2015)

6.1.2 Hubungan Konseling Terhadap Hasrat Fertilitas (Keinginan


Menambah Anak)

68
69

Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan mengenai pengaruh konseling


terhadap pengetahuan yang berkaitan dengan kontrapsi. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian mengenai, ‘Pengaruh Keinginan Pasangan Usia Subur (PUS)
dalam Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP), pada uji regresi
logistik didapatkan variabel yang signifi kan yaitu umur (p= 0,002), efek samping
(p= 0,005), ingin punya anak lagi (p= 0,028), dukungan suami dan keluarga (p=
0,008). Variabel umur, efek samping, keinginan mempunyai anak lagi, dukungan
suami dan keluarga memengaruhi keinginan PUS dalam penggunaan MKJP
(Sumartini, 2016).

Karakteristik dominan transisi fertilitas adalah turunnya keinginan


mempunyai anak seiring dengan terjadinya perubahan sosial, termasuk pendidikan
yang menjadi pendorong utama perubahan tersebut. Peningkatan pengetahuan dan
kemampuan seseorang dalam membaca maupun menulis dapat menjadikan suatu
instrument untuk mengakses informasi dan mendapatkan informasi pilihan dalam
mengatur fertilitas baik dalam hal membatasi maupun menjarangkan. Memberikan
konseling dan memperluas pengetahuan dengan tingginya penggunaan alat
kontrasepsi dan keberlangsungan penggunaan alat kontrasepsi (Masita, 2013)

6.1.3 Hubungan Konseling Terhadap Sikap

Pengaruh konseling terhadap perubahan sikap dalam penelitian ini tidak


signifikan, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2013) serta
Suparwati (2013). Dalam penelitian yang sama oleh Nurhayati (2013)
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh konseling terhadap peningkatan sikap
tentang IUD postplasenta. Sikap ibu sebelum diberi konseling masuk kategori
cukup sebanyak 12 orang (75%) dan setelah diberi konseling paling banyak punya
sikap baik 10 orang (62,5%).

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Suparwati (2013) dengan


adanya perubahan sikap sebelum konseling didapatkan akseptor yang bersikap
positif sebanyak 18 responden lalu meningkat menjadi 25 responden. Sementara

69
70

itu yang bersikap negative turun dari 22 responden sebelum konseling menjadi 15
responden setelah konseling.

Perbedaan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2013) adalah


difokuskannya konseling tentang pentingnya kunjungan ulang pada pemasangan
IUD sehingga tidak terjadi kegagalan. Sebelumnya terjadi kegagalan pada KB
IUD karena akseptor tidak mengetahui tentang pentingnya kunjungan ulang
setelah pemasangan IUD. Pemberian informasi yang terperinci oleh tenaga
kesehatan mengenai IUD ini memungkinkan perubahan yang signifikan dalam
penelitian.

Perbedaan dalam penelitian oleh Suparwati (2013) yaitu metode yang


digunakan untuk konseling berbeda dengan penelitian ini. Suparwati
menggunakan ABPK yang sudah terstandar dan tersedia di masing-masing
fasilitas kesehatan dasar, sedangkan peneliti menggunakan lembar balik yang
berbeda. Lembar balik yang digunakan oleh peneliti memang beberapa di ambil
dari ABPK yang sudah ada, namun kemungkinan perbedaan media dalam
konseling dapat mempengaruhi hasil dari perubahan sikap responden.

CDC menyatakan konseling kontrasepsi berisi informasi umum mengenai


kelebihan dan efek samping metode kontrasepsi dapat mengatasi preferensi
individu dan kehawatiran pasien (Gavin et al, 2014; Klein, Arnold, & Reese,
2015). Selain metode konseling hal yang dapat mempengaruhi hasil perubahan
sikap adalah tingkat pendidikan serta usia. Persebaran tingkat usia dan pendidikan
berbeda antara penelitian yang dilakukan di wilayah kecamatan kota wilayah utara
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2013) dan Suparwati (2013).

6.1.4 Hubungan Konseling Terhadap Dukungan Sosial

Dalam penelitian ini didapatkan hasil tidak signifikan (p=1,000). Tidak


ada perubahan dukungan social pada responden setelah dilakukan konseling. Hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Marliana, dkk bahwa
dukungan keluarga mempunyai hubungan terhadap keberhasilan kontrasepsi.

70
71

Pinamangun, dkk (2018) juga mengatakan hal yang sama bahwa dukungan suami
memberikan dukungan yang baik sehingga terdapat hubungan yang signifikan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh


Darmawati (2008) menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan sikap suami dalam
pengambilan keputusan KB sebelum intervensi dan setelah intervensi, tetapi
terdapat perbedaan yang bermakna pada jumlah keikutsertaan alat kontrasepsi.

Konseling yang dilakukan oleh Darmawati dilakukan setelah 2 minggu


diberikan pretest dengan rincian durasi konseling 60 menit. Responden diberikan
booklet untuk dibaca dirumah lalu setelah 4 minggu dilakukan post test. Penelitian
ini berbeda dimana peneliti melakukan konseling selama 1 hari sehingga
didapatkan hasil yang tidak signifikan.

Selain itu, dukungan sosial yang diteliti dalam penelitian ini merupakan
satu kesatuan yang terdiri dari dukungan pasangan, ibu dan teman. Sedangkan
pada saat melakukan konseling tidak semua responden ditemani oleh pasangan,
ibu atau teman. Sehingga dukungan sosial dinilai tidak signifikan dalam penelitian
ini.

6.1.5 Hubungan Konseling Terhadap Self-Efficacy

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan konseling


terhadap self efficacy. Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh (Skogsdal et, al, 2019) yang menyatakan bahwa konseling
meningkatkan self efficacy seseorang untuk menggunakan KB. Begitu juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Weissman et al, 2002) yang juga
menyatakan bahwa self efficacy akan meningkat dengan seringnya dilakukan
konseling.

Perbedaan hasil pada penelitian sebelumnya ini kemungkinan disebabkan


karena pada penelitian (Skogsdal et, al, 2019) konseling dilakukan selama dua
bulan sedangkan (Weissman et al, 2002) dilakukan selama dua tahun. Penelitian
yang dilakukan oleh (Dirsken et al, 2014) menyatakan bahwa konseling yang
sering yang dapat meningkatkan self efficacy seseorang.

71
72

Perbedaaan waktu penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya


dengan penelitian saat ini menyebabkan hasil yang berbeda. Kepercayaan diri
seseorang tidak dapat terbentuk secara instan dengan hanya pemberian satu kali
konseling yang dilakukan dalam durasi pendek.

6.2 Hubungan Usia Dengan Penggunaan Kontrasepsi

Dari hasil uji bivariat Chi-square didapatkan nilai p = 0.036 dengan nilai
sigifikansi sebesar p<0.05 sehingga didapatkan hasil yang signifikan. Artinya
terdapat pengaruh usia terhadap PUS 4T untuk menggunakan kontrasepsi.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Junita (2009) di
Kabupaten Rokan Hulu Riau yaitu terdapat hubungan antara usia dengan
pemakaian alat kontrasepsi. Nsanya (2019) dalam penelitiannya juga menyatakan
hal yang sama, bahwa usia berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi. Hasil
ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Solanke (2018). Hubungan
antara usia ibu dengan keinginan menggunakan kontrasepsi positif pada
perempuan muda namun negatif pada perempuan usia lanjut.

Solanke (2017) menyatakan bahwa usia berhubungan dengan penggunaan


kontrasepsi. Resiko (expected risk) tidak menggunakan kontrasepsi lebih tinggi
pada usia 45-49 tahun dibandingkan dengan usia 35-39 tahun. Aksu J, (2015)
mengatakan bahwa banyak pasangan dengan perempuan usia lebih dari 40 tahun
tidak menggunakan kontrasepsi karena menurunnya frekuensi ovulasi, aktivitas
ovarium, jumlah dan kualitas folikel ovarium menurun.

Berdasarkan penelitian Emily, hampir 20% dari wanita berusia 40-44


tahun dan 15% wanita berusia 35-39 tahun tidak menggunakan kontrasepsi.
Wanita yang tidak mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (Unintended
Pregnacy) setelah berusia diatas 30 tahun lebih lebih pada: (1) menggunakan
metode kontrasepsi yang telah membantu kondisi kesehatannya, (2) Menganggap
bahwa kehamilan sebagai sesuatu yang berbahaya, dan (3) Menyatakan keraguan
mengenai tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Kontrasepsi meminimalisir
kemungkinan kehamilan yang tidak disengaja dan resiko yang berkaitan dengan

72
73

kehamilan tidak disengaja. Wanita diatas 35 tahun lebih dari 3 kali lebih mungkin
untuk melepaskan kontrasepsi dibanding wanita berusia 20-24 tahun. Pilihan
kontrasepsi wanita diatas 35 tahun telah berubah sepanjang dekade terakhir.
Meskipun sterilisasi masih paling banyak digunakan pada wanita diatas 35 tahun,
pada beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah pengguna metode
hormonal yang reversibel, senggama terputus, dan pengaturan ritme bersenggama.

Alasan utama ketidakinginan penggunaan kontrasepsi hormonal yaitu


ketakutan terhadap kanker dan kemungkinan efek samping yang berhubungan
dengan penggunaan kontrasespi hormonal (Mendoza et al, 2014).

Kontrasepsi perlu didiversivikasi dan sesuai dengan usia. Wanita yang


berusia di atas 40 tahun memiliki tingkat kegagalan kontrasepsi yang lebih rendah
dengan metode apapun dari pada wanita yang lebih muda karena fertilitas lebih
rendah, aktivitas seksual lebih jarang, dan kepatuhan terhadap penggunaan
kontrasepsi yang lebih besar (Mendoza et al, 2016)

Usia bukanlah faktor kontraindikasi penggunaan metode kontrasepsi


apapun. Oleh sebab itu, pilihan metode kontrasespsi untuk wanita di atas usia 40
tahun, sebaiknya dikonsultasikan mengenai keadaan kesehatannya, kebiasaan
hidupnya, dan pengalaman penggunaan metode kontrasepsi sebelumnya
(Mendoza et al, 2014).

Penggunaan kontrasepsi yang berkualitas sangat penting untuk mencegah


kehamilan yang tidak diinginkan khususnya kalangan remaja. Dalam sebuah studi
di 40 negara melalui survei demografi dan kesehatan, penggunaan kontrasepsi
pada kalangan remaja tidak konsisten, lebih banyak mengalami kegagalan metode,
dan lebih banyak pemberhentian penggunaan dibanding dengan wanita yang lebih
tua (Emma et al, 2018). Kontrasepsi pada perempuan usia 15-19 tahun rendah
karena kurangnya informasi dan miskonsepsi tentang metode kontrasepsi,
terutama kontrasepsi jangka panjang. Dukungan dari pasangan maupun komunitas
juga jarang didapatkan. (Fikree, 2017)

Masalah kesehatan dan efek samping penggunaan kontrasepsi merupakan


alasan tersering remaja tidak menggunakan kontrasepsi dan remaja sering

73
74

mengalami kesalahpahaman mengenai cara kerja kontrasepsi. Remaja sering


menghadapi hambatan dalam mengakses kesehatan yang berkualitas, termasuk
bias penyedia, pembatasan usia, stigma dalam mengcari kontrasespsi, dan
kekhawatiran tentang kerahasiaan (Emma et al, 2018).

6.3 Hubungan Pekerjaan Ibu Dengan Penggunaan Kontrasepsi

Status pekerjaan ibu merupakan salah satu faktor dari penggunaan KB.
Menurut distribusi pada penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa sebanyak 40, 4
% wanita muda tidak bekerja sedangkan 59,6 % bekerja (Kabagenyi et al, 2017).
Sebanyak 31,3 ibu yang memiliki pekerjaan (Jonas et al, 2016).

Dari hasil penelitian ini, pekerjaan ibu memiliki pengaruh terhadap


penggunaan kontrasepsi pada PUS 4T. Hasil uji statistik dengan uji chi-square
menunjukkan nilai p = 0,003 yang berarti signifikan (P< 0,05). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Olla Amma dan OlaOami, 2019)
menunjukkan adanya hubungan antara pekerjaan ibu dengan kemampuan ibu
mengambil keputusan untuk menggunakan kontrasepsi/KB. Penelitian ini juga
menyatakan bahwa ibu yang sedang mencari pekerjaan lebih banyak
menggunakan KB dibandingkan dengan ibu rumah tangga, ibu yang bekerja atua
yang sudah pensiun dan yang tidak bekerja kemungkinannya lebih kecil untuk
menggunakan KB. Penelitian lain yang mendukung penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh (Wijayaningrum, 2014) yang menyatakan
pemakaian KB pada wanita bekerja lebih banyak dibandingkan dengan wanita
yang tidak bekerja.

Penelitian lain yang dilakukan oleh (Behera et al, 2016) dan (Tsikouras,
2018) menyatakan bahwa penghasilan yang didapatkan setiap bulan tidak
mempengaruhi penggunaan kontrasepsi pada wanita usia muda di India. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai (p> 0,05) pada penelitiannya tersebut. Penelitian ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Ibrahim et al, 2015) terhadap
wanita dengan jumlah anak banyak di Nigeria yang menyatakan bahwa pekerjaan
ibu tidak berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi. Penelitian oleh (Solanke,

74
75

2017) juga menyatakan pengaruh status pekerjaan ibu dengan penggunaan


kontrasepsi modern tidak signifikan. Akan tetapi didapatkan presentase nilai
penggunaan kontrasepsi lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak bekerja
yaitu 14,8% dibanding 4,9%.

Hasil analisis data kebanyakan tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya


yang menjelaskan bahwa pekerjaan ibu tidak erat kaitannya dengan penggunaan
kontrasepsi. Akan tetapi beberapa teori menyatakan bahwa pekerjaan ibu
mempunyai pengaruh banyak terhadap penggunaan kontrasepsi. Betrand (1998)
dan UNFPA (2012) dalam Wijayaningrum (2014) menyatakan bahwa pemakaian
kontrasepsi pada wanita merupakan indikasi terdapat kebutuhan kontrasepsi pada
wanita bekerja untuk menghindari kehamilan yang dapat mengganggu pekerjaan
mereka. Pekerjaan adalah cara untuk kemandirian secara finansial bagi wanita
agar tidak bergantung pada suami. Lingkungan pekerjaan juga akan menciptakan
cara pandang terhadap pemakaian kontrasepsi serta pandangan terhadap keluarga
kecil.

Ibu yang bekerja di lingkungan militer yang menjalani pelatihan selama 6


bulan dan 24 bulan memiliki perbedaan pemilihan metode kontrasepsi. Pelatihan
selama 6 bulan membuat ibu memilih untuk menggunakan kontrasepsi jangka
pendek, sedangkan yang bertugas 24 bulan memilih untuk kontrasepsi jangka
panjang. Pemilihan metode kontasepsi ini berhubungan dengan pendidikan
mengnai kontrasepsi serta kebijakan yang ada di masing-masing tempat (Roberts,
2019)

6.4 Hubungan Pekerjaan Ayah Dengan Penggunaan Kontrasepsi

Hasil uji statistik menunjukan ada pengaruh pekerjaan suami terhadap


pemakaian alat kontrasespsi (Sig= 0,041).

Wanita yang suaminya berkerja sebagai tenaga profesional lebih


cenderung menggunakan metode kontrasepsi modern dibandingkan dengan
wanita yang suaminya pekerja manual. Sebagian besar pekerjaan suami responden

75
76

adalah swasta yaitu 23 responden ataus 41,1%. Rata-rata pendapatan keluarga


adalah <Rp.1.297.700 yaitu 29 keluarga atau 51,8% (Ahmed, 2018).

Faktor pekerjaan identik dengan sumber pendapatan keluarga, dan


pendapatan keluarga memengaruhi perilaku ibu dalam melakukan penggunaan
kontrasepsi. Pekerjaan dan tugas-tugas sosial lainnya menjadi salah satu variabel
yang menentukan perilaku kesehatan, faktor ini pula sebagai salah satu penentu
seseorang dalam menyikapi masalah kesehatannya (Abraham & Eamon Shanley
Mechanic 1978 dalam Sudarma, 2008).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ma’rifatul Auliah (2015),


bahwa sebagian besar pekerjaan suami responden adalah swasta. Ratna (2009),
menjelaskan bahwa pekerjaan suami yang menyita banyak waktu akan membuat
sang istri sulit untuk berkomunikasi dengan suami mengenai masalah kesehatan
reproduksi terutama dalam pemakaian kontrasepsi, sehingga hal ini yang
menyebabkan dukungan dari suami untuk istri menjadi berkurang.

Jenis pekerjaan suami berhubungan dengan diperolehnya informasi suami


terhadap keluarga berencana. Pekerjaan seseorang berhubungan dengan
pemerolehan pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak
langsung (Notoatmodjo, 2010).

Faktor yang berhubungan dengan peran suami sebagai fasilitator adalah


pekerjaan suami. Karakteristik pekerjaan suami menunjukkan bahwa sebagian
besar bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang sehingga tergolong dalam
kategori menengah keatas. Pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa
uang maupun barang baik dari pihak lain maupun dari hasil sendiri dengan dinilai
sejumlah uang atas harga yang berlaku pada saat itu. Pendapatan keluarga diukur
dengan banyaknya akumulasi pendapatan semua anggota keluarga, setelah
dikonversi menjadi per bulan, jadi satuannya adalah rupiah per bulan (Rp/bulan)
(Tjitoherijanto, 2008).

Suatu pekerjaan dapat mempengaruhi responden dalam memberikan


dukungan terhadap pemilihan kontrasepsi. Responden dengan jam kerja yang
padat dalam memberikan dukungan kepada istri belum maksimal. Misalnya secara

76
77

dukungan penghargaan yang diberikan suami kepada istri melakukan konseling


kontrasepsi dari tenaga kesehatan. Jika responden memiliki pekerjaan yang begitu
menyita waktu meluangkan waktu untuk mengantar istri tidak bisa terpenuhi
(Ahmed, 2018).

6.5. Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Penggunaan Kontrasepsi

Dari hasil uji Chi-Square didapatkan nilai p=0.000 dengan nilai sigifikansi
sebesar p<0.05 maka didapatkan hasil yang signifikan, terdapat pengaruh antara
pendidikan ibu dengan penggunaan kontrasepsi.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim


(2015), Solanke (2018) dan Nsanya (2019). Ibrahim (2015) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan
kontrasepsi dan tingkat pendidikan perempuan. Nsanya (2019) menyebutkan
terdapat bukti yang kuat bahwa perempuan dengan tingkat pendidikan sampai
universitas tiga kali lebih mungkin menggunakan kontrasepsi modern
dibandingkan dengan perempuan yang tidak menempuh jalur pendidikan. Solanke
(2018) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan buruk pada responden yang tidak
menggunakan kontrasepsi.

Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan penggunaan kontrasepsi.


pada tingkat pendidikan yang rendah, hubungannya positif namun di tingkat
pendidikan yang lebih tinggi hubungannya negative. Perbaikan pada tingkat
pendidikan ibu menurunkan proporsi non-user kontrasepsi namun secara statistik
tidak signifikan pada pendidikan dasar. Pendidikan ibu ditingkatkan dari tidak
sekolah menjadi pendidikan dasar, expected risk untuk menggunakan kontrasepsi
modern meningkat. Begitu pula perubahan dari pendidikan dasar ke pendidikan
menengah pertama, namun peningkatan expected risk lebih rendah. (Solanke,
2017)

Rabiu (2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa tidak ada hubungan


yang signifikan secara statistik antara penggunaan kontrasepsi dan pendidikan.
Keputusan perempuan dalam menggunakan metode kontrasepsi dipengaruhi oleh

77
78

tingkat pendidikan. (Aksu, 2016) pendidikan yang tinggi pada orang dewasa
memudahkan untuk mendapatkan informasi tentang kontrasepsi maupun
produknya. Perempuan dengan tingkat pendidikan menengah pertama atau
diatasnya dua kali lebih cenderung menggunakan kontrasepsi modern daripada
yang memiliki background pendidikan dasar. Pengaruh pendidikan pada
perempuan bisa dijelaskan dengan kemampuan perempuan untuk mendapatkan
pengetahuan tentang jasa atau pelayanan keluarga berencana. Bisa juga tingkat
pendidikan ini dihubungkan dengan pekerjaan dimana mereka mendapatkan akses
untuk komoditas keluarga berencana yang dibutuhkan. (Allen, 2017)

Pendidikan meningkatkan kesadaran yang kemudian menjadi penerimaan


diri pada penggunaan kontrasepsi yang permanen. (Singh, 2019). Salah satu
alasan untuk menunda kehamilan adalah pendidikan yang lama dan rencana karir.
Lebih jauh lagi, finansial dan praktek selama pendidikan mungkin sulit jika
bersamaan dengan membangun keluarga. Tingkat pendidikan yang tinggi dan
keinginan untuk mengembangkan karir akan meningkatkan keinginan untuk
menunda kehamilan pada perempuan. Perempuan usia muda sering menunda
kehamilan karena terlalu muda untuk mengasuh bayi dan harus mengakhiri atau
menunda pendidikan mereka. (Islam, 2018)

6.6 Hubungan Jumlah Anak dengan Penggunaan Kontrasepsi

Jumlah anak tidak berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi. Hasil uji


statistik dengan uji chi-square menunjukkan nilai p = 0,114. Hal ini menyatakan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah anak dengan pemilihan
kontrasepsi. Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Singh dan Kaur 2019) yang menyatakan bahwa jumlah anak hidup 2 atau lebih
mempunyai pengaruh besar dalam pengambilan keputusan ibu untuk
menggunakan kontrasepsi. Penelitian lain yang tidak sejalan dalam penelitian ini
adalah penelitian yang dilakukan oleh (Islam, 2018) yang juga menyatakan hal
yang sama dengan penelitian (Singh dan Kaur 2019) yang ditunjukkan dengan
nilai (p < 0,005). Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati

78
79

dan Prasetyo 2016 di Jakarta yang menunjukkan nilai signifikan mengenai


pengaruh jumlah anak dan penggunaan kontrasepsi.

Mantra (2006) dalam Junita (2009) mengatakan bahwa kemungkinan


seorang istri untuk menambah kelahiran tergantung pada jumlah anak yang telah
dilahirkan. Semakin sering seorang wanita melahirkan anak maka resiko kematian
dalam persalinan akan semakin tinggi. Hal ini akan memperkuat alasan ibu
dengan jumlah anak banyak untuk menggunakan kontrasepsi.

Sedangkan penenilitian yang dilakukan oleh (Ibrahim, 2015) menyatakan


bahwa jumlah anak tidak berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi. Hal ini
dikarenakan jumlah anak yang diteliti dalam penelitian ini merupakan jumlah
anak dari suami (anak tiri) bukan jumlah anak yang telah dilahirkan. Penelitian
lain yang memiliki hasil yang sama dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh (Jurisman dkk, 2016) yang menyatakan bahwa jumlah anak tidak
berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi. Hal ini dapat disebabkan masih
tingginya anggapan masyarakat yang mengatakan banyak anak banyak rezeki,
sehingga tidak sejalan dengan tujuan BKKBN seperti selogan “dua anak lebih
baik”.

Pada penelitian ini jumlah anak tidak dibedakan anak kandung atau anak
dari pihak suami (anak tiri). Hal ini dapat menyebabkan hasil penelitian tidak
signifikan karena peneliti tidak mencatumkan penjabaran jumlah anak secara
jelas, seperti jumlah anak yang dilahirkan.

6.7 Hubungan Status Ekonomi dengan Penggunaan Kontrasepsi

Hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan signifikan mengenai


pengaruh status ekonomi terhadap pemakaian alat kontrasespsi (Sig= 0,143),
artinya tinggi rendahnya jumlah ekonomi tidak mepengaruhi jumlah pemakaian
alat kontrasepsi

Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa kondisi sosial ekonomi demografi
(pendidikan, pendapatan, dan lamanya menikah) tidak berpengaruh dalam

79
80

pemilihan metode kontrasepsi tetapi mempengaruhi dalam pemilihan jalur


pelayanan alat kontrasespsi, karena pemilihan jalur pelayanan alat kontrasepsi ini
berhubungan dengan kemampuan ekonomi seseorang (Endah, 2016).

Status ekonomi atau penghasilan yang lebi tinggi tidak menjamin atau
tidak memastikan bahwa ibu akan memilih menggunakan metode kontrasepsi
IUD yang cendrung lebih mahal dalam sekali pemasangan (Imelda dkk, 2018).
Berdasarkan dari hasil wawancara dengan ibu kader, sebagian besar warganya
memiliki BPJS sehingga mendapat tunjangan biaya. Oleh sebab itu, status
ekonomi dan penghasilan tidak mempengaruhi dalam pemilihan metode
kontrasespi.

Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Olaolorun
(2014), yang menyatakan terdapat pengaruh status ekonomi dengan penggunaan
kontrasepsi. Pada penelitian ini disebutkan semakin kaya wanita memiliki
pengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk memakai kontrasepsi lebih
tinggi. Pada penelitian ini sampel diambil satu negara Nigeria berdasar catatan
demografi pada tahun 2008 dan sampel yang diambil yaitu usia 35-49 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Mouli (2014) juga menyatakan bahwa orang yang
mempunyai penghasilan menengah kebawah lebih banyak menggunakan alat
kontrasepsi.

Yarger (2017) mengatakan bahwa perbedaan penggunaan kontrasepsi di


desa dan kota karena letak desa yang jauh dari fasilitas kesehatan, sehingga perlu
biaya lebih untuk pergi ke fasilitas kesehatan. Selain biaya untuk perjalanan,
masih perlu biaya untuk penggunaan kontrasepsi sendiri, terutama di negara yang
tidak memiliki jaminan kesehatan.

Di negara yang kaya maupun miskin, terdapat masalah yaitu jarak


kelahiran yang terlalu dekat maupun terlalu jauh. Jarak yang terlalu dekat
menggambarkan pemberian ASI yang kurang, maupun penggunaan kontrasepsi
yang tidak efisien. Hal ini juga bisa dihubungkan dengan kebiasaan tentang
kesehatan maupun status ekonomi. (Grundy, 2014)

80
81

6.8 Hubungan Dukungan Sosial dengan Penggunaan Kontrasepsi

Dari hasil uji Chi-Square didapatkan nilai p= 0.000 dengan nilai


sigifikansi sebesar p<0.05 maka didapatkan hasil yang signifikan, terdapat
pengaruh antara dukungan sosial dengan penggunaan kontrasepsi. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nsanya (2019), Mutumba (2018) dan
Regan (2017).

Penggunaan kontrasepsi modern pada responden yang tidak mendapat


dukungan dari pasangan atau teman dibandingkan dengan mereka yang
mendapatkan dukungan lebih tinggi. Dukungan sosial menunjukkan secara
konsisten menunjukkan pengaruh keputusan yang diambil oleh perempuan untuk
menggunakan kontrasepsi. Tidak ditemuan hubungan antara persepsi dukungan
ibu untuk menggunakan kontrasepsi dan untuk perempuan yang tidak menikah,
dukungan pasangan dan teman mungkin pengaruhnya lebih penting dibandingkan
dukungan ibu. (Nsanya, 2019)

Teman dalam sebuah komunitas dapat membentuk kebiasaan perempuan


mengenai kontrasepsi. Demografi komunitas (usia saat menikah dan debut
seksual) dapat dihubungkan dengan ekspektasi seorang perempuan tentang ukuran
ideal keluarga. Faktor tingkat komunitas memiliki dampak yang berbeda di antara
generasi muda karena mereka memiliki sosial yang unik dan kebutuhan yang
berkembang seperti peran dan status sosial, akses informasi dan otonomi dalam
pengambilan keputusan yang membentuk uptake tentang kontrasepsi yang
berbeda maknanya dibandingkan perempuan yang lebih tua. Misalnya, perempuan
muda adalah subjek dari otoritas orang dewasa dan institusi seperti sekolah,
organisasi kebudayaan atau keagamaan dan intitusi kesehatan yang dapat
membentuk dan meregulasi kebiasaan mereka. (Mutumba, 2018)

Pasangan memiliki peran dalam pengambilan keputusan kontrasepsi pada


perempuan. Preferensi reproduksi suami merupakan determinan dari kebiasaan
reproduksi. Suami yang menginginkan anak lebih berhubungan secara signifikan
pada penggunaan kontrasepsi, termasuk pada penggunaan kontrasepsi jangka
panjang. (Regan, 2017)

81
82

Hasil studi kualitatif yang dilakukan oleh Claringbold (2019) mengatakan


bahwa beberapa orang yang tidak menggunakan kontrasepsi karena keluarga
menganggap pembicaraan mengenai seks secara aman adalah hal yang tabu, di
lingkungan pertemanan juga seperti itu. Tidak ada yang pernah membicarakan hal
seperti itu secara bebas. Satu-satunya informasi adalah dari internet.

6.9 Hubungan Usia Rata-rata Menikah dengan Penggunaan Kontrasepsi


Hasil uji statistik dengan uji chi-square menunjukkan nilai p = 0,481 yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna yang terjadi antara usia rata-
rata menikah dengan pengunaan kontrasepsi.

Studi yang dilakukan (Mutummba, 2018) menyatakan bahwa usia rata-rata


menikah tidak seluruhnya berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi.
Penelitian ini menyatakan bahwa rata-rata usia pernikahan di daerah Amerika dan
Asia Tenggara tidak mempunyai pengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi. Hal
ini disebabkan adanya pengaruh dari sosiokultural yang ada di masing-masing
daerah.

Di Indonesia, BKKBN memberikan batasan usia pernikahan 21 tahun bagi


perempuan dan 25 tahun untuk pria. Umur ideal untuk menikah menurut BKKBN
20-25 tahun bagi wanita, kemudian umur 25-30 tahun bagi pria. Usia tersebut
dianggap masa yang paling baik untuk berumah tangga, karena sudah matang dan
bisa berpikir dewasa secara rata-rata.

Lingkungan sosial dan budaya memiliki peran penting dalam pengambilan


keputusan untuk menikah. Aturan sosial yang ada dan budaya disuatu tempat
berbeda-beda, hal ini menyebabkan usia rata- rata menikah pada setiap manusia
tidak sama.

6.10 Hubungan Perbedaan Usia Pasangan dengan Penggunaan Kontrasepsi

82
83

Hasil uji statistik menunjukan ada pengaruh perbedaan usia pasangan


terhadap pemakaian alat kontrasespsi (Sig= 0,001), artinya semakin besar jarak
perbedaan usia pasangan responden akan diikuti dengan peningkatan pemakaian
alat kontrasepsi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Clarke (2016), terdapat


sejumlah perbedaan dalam faktor yang berkaitan dengan penggunaan kontrasepsi
berdasarkan usia. Hasil mendukung perhatian khusus untuk konseling mengenai
komunikasi pasangan yang sehat, khususnya di kalangan remaja yang
menunjukkan kurangnya keterlibatan saat ini dalam pengambilan keputusan
seksual dan yang mengalami perbedaan usia remaja dengan pasangannya lebih
dari 2 tahun. Hasil juga memperkuat bahwa kesempatan untuk merefleksikan
pengalaman pribadi dan bagaimana menerapkan pengetahuan itu untuk keputusan
di masa depan bisa menjadi alat konseling yang efektif di kalangan remaja.
Analisis sampel yang lebih besar dan lebih representatif diperlukan untuk lebih
memahami apakah dan bagaimana perubahan perkembangan membentuk
pengambilan keputusan kontrasepsi. Konfirmasi lebih lanjut dari temuan ini akan
mendukung analisis penggunaan kontrasepsi remaja berdasarkan usia, atau
mempertimbangkan bahwa kelompok usia mungkin merupakan pengubah efek.
Pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan faktor-faktor yang terkait dengan
penggunaan kontrasepsi di kalangan remaja yang lebih tua dan lebih muda dapat
membantu mengembangkan intervensi yang lebih efektif dan disesuaikan usia,
dan konseling kontrasepsi untuk remaja.

6.11 Hubungan Usia Pernikahan dengan Penggunaan Kontrasepsi

Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p=0.672 dengan


nilai signifikansi sebesar p<0.05 maka didapatkan hasil yang tidak signifikan.
Tidak ada hubungan antara usia pernikahan dengan penggunaan kontrasepsi.

Adioetomo dan Samosir (2011) dalam Aryati (2019) menyebutkan bahwa


penggunaan KB dapat dianalisis menurut umur, lama menikah, pendidikan dan
jumlah anak masih hidup. Afrous Mahdi (2017) juga mengatakan bahwa usia

83
84

pernikahan memiliki hasil yang signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi.


Perbedaan hasil dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dikarenakan opsi
yang diberikan pada responden di kuisioner berbeda dengan yang dituliskan oleh
Afrous. Usia pernikahan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjarak
>10 tahun sedangkan penelitian oleh Afrous maksimal hanya 2 tahun.

6.12 Hubungan Ukuran Ideal Keluarga dengan Penggunaan Kontrasepsi


Hasil uji statistik dengan uji chi-square menunjukkan nilai p = 0,005 yang
mempunyai arti terdapat hubungan ukuran ideal keluarga dengan kenggunaan
kontrasepsi.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Solanke, 2018)


menyatakan bahwa ukuran keluarga ideal adalah faktor yang mempengaruhi
penggunaan kontrasepsi pada wanita, akan tetapi tidak berlaku secara konstan
seiring bertambahnya ukuran ideal keluarga dari waktu ke waktu.

6.13 Hubungan Hasrat Fertilitas dengan Penggunaan Kontrasepsi

Hasil uji statistik menunjukan ada pengaruh jumlah anak terhadap


pemakaian alat kontrasespsi (Sig= 0,000), artinya semakin banyak anak yang
dimiliki oleh responden akan diikuti dengan peningkatan pemakaian alat
kontrasepsi.

Jika jumlah anak telah dirasa cukup, maka responden akan mengusahakan
dengan sungguh-sungguh untuk memakai alat kontrasepsi. Kemungkinan seorang
istri untuk menambah kelahiran tergantung kepada jumlah anak yang telah
dilahirkannya. Seorang istri mungkin menggunakan alat kontrasespsi setelah
mempunyaai jumlah anak tertentu dan juga umur anak yang masih hidup.
Semakin sering seorang wanita melahirkan anak, maka akan semakin memiliki
risiko kematian dalam persalinan (Junita, 2009).

Sedangkan jumlah anak lebih dari 2 menunjukan bahwa respon terhadap


pelayanan KB dan kontrasespsi belum baik. Istilah “dua anak saja” belum menjadi
tujuan pokok dalam keluarga. Tujuan normative program KB adalah untuk
menciptakan NKKBS, maka diharapkan keluarga sudah harus mampu mebentuk

84
85

keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi keluarga dengan cara
mengatur kelahiran anak supaya dieproleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera
yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Junita, 2009).

Berdasarkan penelitian Njoku ola dkk. (2019), bahwa terdapat


kemungkinan beberapa orang dewasa tua memiliki hasrat untuk mempunyai anak
lagi sebelum mencapai usia 50 tahun. Rolf dan Nieschlag (2001) telah
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan perceraian dan tingkat pernikahan
kembali, yang mendorong peningkatan proporsi pria yang lebih tua dan wanita
berusia lebih dari 50 tahun, yang masih subur, untuk membentuk hubungan baru
dengan keinginan untuk melakukan hubungan seks aktif dan seringkali, memiliki
anak. Untuk kelompok ini, pendidikan seksual hingga penggunaan metode untuk
mencegah kehamilan lebih lanjut serta untuk mencegah IMS.
Soeradji, dkk. Dalam Mutiara (1998) melaporkan bahwa pada awal
program KB, penggunaan alat kontrasepsi adalah mereka yang telah mempunyai
anak cukup banyak. Dengan berjalannya waktu dan pelaksanaan program maka
lebih banyak wanita dengan paritas yang lebih kecil akan menggunakan alat
kontrasepsi. Gejala ini melandasi pengaruh jumlah anak terhadap penggunaan alat
kontrasepsi.

Menurut hatmadji (2004) yang mengutip pendapat Leibenstein, anak


dilihat dari dua segi yaitu kegunaannya (utility) dan biaya (cost). Kegunaannya
ialah memberikan kepuasan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau
membantu dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang dapat
menghidupi orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk mebesarkan
anak adalah biaya dari mempunyai anak tersebut.

6.14 Hubungan Status Kontrasepsi Sebelumnya dengan Penggunaan


Kontrasepsi

Dari hasil uji Chi-Square didapatkan nilai signifikansi sebesar p<0.05


maka didapatkan hasil yang tidak signifikan, tidak terdapat pengaruh antara status
kontrasepsi sebelumnya dengan penggunaan kontrasepsi.

85
86

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Solanke (2018). Kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi berhubungan
secara negative dengan status kontrasepsi sebelumnya. Perempuan yang belum
pernah menggunakan kontrasepsi sebelumnya lebih tinggi kecenderungannya
untuk menggunakan kontrasepsi nantinya.

Perbedaan hasil pada penelitian ini karena perbedaan responden dimana


pada penelitian yang dilakukan Solanke responden yang tidak pernah
menggunakan kontrasepsi sebelumnya sebesar 92%. Pada penelitian ini responden
yang pernah menggunakan kontrasepsi sebelumnya lebih besar jumlahnya
dibandingkan yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi sebelumnya.

6.15 Hubungan Jarak Kelahiran dengan Penggunaan Kontrasepsi


Hasil uji statistik dengan uji chi-square menunjukkan nilai p = 0,841. Hal
ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jarak kelahiran
anak dengan pemilihan kontrasepsi.

Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Kurniawati


dan Prasetyo, 2016) , (Karbagenyi, 2017) dan (Brown, 2015) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara jarak kelahiran dengan penggunaan kontrasepsi
dengan nilai p < 0,0005. Hal ini kemungkinan disebabkan karena banyaknya
faktor lain yang berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi seperti yang tertera
dalam penelitian (Heller, 2014) yang menyebutkan banyak faktor sosiodemografi
lain yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi.

pengetaPada penelitian ini jarak kelahiran tidak memiliki hubungan


dengan penggunaan kontrasepsi, hal ini kemungkinan disebabkan karena
rendahnya pengetahuan yang ada tentang bahaya jarak kelahiran yang terlalu
dekat, sehingga para wanita kurang memperhatikan hal ini.

Perbedaan penelitan yang dilakukan oleh Heller (2014) dengan peneliti


adalah responden yang mengikuti penelitian adalah yang memiliki jarak kelahiran
antar anak kurang dari 1 tahun, sedangkan responden pada penelitian ini beragam.
Bukan hanya yang memiliki jarak kelahiran terlalu dekat namun juga terlalu

86
87

banyak jumlah anak, terlalu muda dan terlalu tua. Perbedaan penelitian ini
mungkin memberikan hasil yang berbeda.

6.16 Hubungan Pengetahuan dengan Penggunaan Kontrasepsi

Hasil uji statistik menunjukan ada pengaruh yang bermakna antara tingkat
pengetahuan terhadap pemakaian alat kontrasepsi (Sig=0,014). Hasil ini
menunjukan bahwa tingkat pengetahuan berbanding lurus dengan pemakaian alat
kontrasepsi, artinya bahwa semakin rendah pengetahuan responden maka
pemakaian alat kontrasepsi juga rendah. Demikian juga sebaliknya jika
pengetahuan responden tinggi maka pemakaian alat kontrasepsi juga akan
meningkat.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Juanita (2009), menunjukan


bahwa seluruh responden mendapat informasi dari PPLKB/PLKB, 66% dari
klinik KB/puskesmas, 36% dari dokter/bidan praktek swasta, 23% dari surat
kabar/majalah, 14% dari radio/televisi, dan 13%dari suami/orang tua/ mertua.
Seluruh responden menjawab pengertian KB yaitu suatu dengan kesadran sendiri
mebatasi kelahiran untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, 63% menjawab
sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui
pengaturan kelahiran dan 30% sebagai suatu cara yang dianjurkan pemerintah
untuk membatasi jumlah anak (idealnya adalah 2 anak). Seluruh responden
menjawab tujuan KB sebagai usaha membentuk keluarga kecil, bahagia dan
sejahtera, memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak (64%),
penundaan/penjarangan kelahiran (39%), dan pembatasan kelahiran (22%). Semua
responden menyebutkan manfaat pemakaian alat kontrasepsi untuk mencegah
terjadinya kehamilan, untuk mengatur jarak kehamilan (59%) dan untuk
mengakhiri kesuburan (27%). Seluruh responden mengetahui jenis alat
kontrasespi spiral/IUD, Implant/Susuk (67%), Suntik (41%), Pil (18%), Kondom
(13%0, dan Tubektomi/Vasektomi (MOP/MOW) sebanyak 11%. Seluruh
responden menyebutkan efek samping dari penggunaan alat kontrasepsi adalah
rasa nyeri/mules, kelainan haid/perdarahan/bercak darah (58%),
mual/muntah/pusing (35%), infeksi atau keputihan (17%), dan perubahan berat

87
88

badan/gemuk (13%). Semua responden menjawab alat kontrasepsi yang paling


cocok untuk ibu menyusui adalah pil dan jenis alat kontrasepsi untuk laki-laki
kondom (Junita, 2009). Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan
kontrasepsi lainnya adalah kanker payudara, thromboemboli vena, miokard
jantung, dan efek metabolic. (Cho, 2018)

Pengetahuan peserta KB yang baik tentang hakekat program KB akan


mempengaruhi mereka dalam memilih metode/alat kontrasepsi yang akan
digunakan termasuk keleluasaan atau kebebasan pilihan, kecocokan, pilihan
efektif tidaknya, kenyamanan dan keamanan, juga dalam memilih tempat
pelayanan yang lebih sesuai dan lengkap karena wawasan sudah lebih baik,
sehingga dengan demikian kesadaran mereka tinggi untuk terus memanfaatkan
pelayanan (Junita, 2009).

Hal ini sesuai dengan pendapat Blum yang dikutip oleh Notoatmojo
(2003) yang mengatakan bahwa tindakan seorang individu termasuk kemandirian
dan tanggungjwabnya dalam berperilaku sangat dipengaruhi oleh domain kognitif
atau pengetahuan. Tindakan kemandirian setiap individu yang lebih nyataakan
lebih lenggeng dan bertahan apabila hal ini didasari oleh pengetahuan yang kuat
(Junita, 2009).

Penelitian Prihastuti (2005) menunjukan bahwa informasi yang diberikan


petugas kepada akseptor tentang metode KB-nya masih kurang memadai,
sehingga akseptor tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang kontrasepsi. Hal
inilah yang berdampak pada rendahnya pemanfaatan pelayanan KB (Junita, 2009).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Meutia (1997) yang


mengatakan bahwa ada pengaruh pengetahuan akseptor KB terdapat utilitas alat
kontrasespsi Implant (Sig=0,001). Juga sejalan dengan penelitian Pardosi (2005)
yang mengatakan bahwa secara statistik diperoleh hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan tingkat kemandirian akseptor KB aktif dalam
pemanfaatan prpgram KB mandiri LIMAS (Sig=0,001) (Junita, 2009).

Pengetahuan responden yang rendah berhubungan juga dengan tingkat


pendidikan yang masih rendah yaitu mayoritas berada pada kategori pendidikan

88
89

dasar, demikian juga dengan pendidikan suami. Pendidikan yang rendah akan
berhubungan dengan pengetahuan yang rendah pula karena responden tidak
mendapatkan pendidikan yang memadai untuk menambah wawasan merekan
tentang alat kontrasepsi. Pada umumnya responden dianggap sebagai pasien saja
tanpa dibekali dengan pendidikan yang baik tentang KB dan kesehatan reproduksi
(Junita, 2009).

Hal lain yang mempengaruhi adalah petugas PLKB yang tidak lagi seperti
tahun-tahun sebelumnya. Pada awal program, para PLKB inilah sebagai garda
depan dalam menyukseskan program KB, setelah desentralisasi PLKB tidak dapat
lagi melaksanakan tugas seperti dulu karena telah dilebur dengan lembaga lain
(Junita, 2009).

Pengetahuan juga berhubungan dengan tempat tinggal responden. Dalam


penelitian yang dilakukan oleh Yarger (2017) pengetahuan responden berbeda
antara yang tinggal di desa dan kota. Pengetahuan yang rendah ini kemudian
membuat kesadaran untuk menggunakan kontrasepsi rendah. Selain itu, jarak
membuat responden kesulitan mendapatkan informasi maupun untuk penggunaan
alat kontrasepsi.

Pengetahuan tentang kontrasepsi ini kurang komprehensif pada responden


sehingga perempuan dewasa muda ini tidak mengetahui alternative kontrasepsi
yang bisa digunakan. Kebanyakan dari responden menggunakan pil meskipun
dengan kepatuhan yang terbatas. (Oppelt, 2018) Pada perempuan dengan usia
lanjut melaporkan sendiri penggunaan pil kontrasepsi, dan sudah mengkonsumsi
selama 5 tahun sebelumnya. (Spangler, 2015)

6.17 Hubungan Sikap dengan Penggunaan Kontrasepsi

Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p=0.015 dengan


nilai signifikansi sebesar p<0.05 maka didapatkan hasil yang signifikan, terdapat
pengaruh antara sikap dengan penggunaan kontrasepsi. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Junita (2009) dan Goncalves (2019).

89
90

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Junita (2009) didapatkan data


bahwa sikap berhubungan dengan pemakaian alat kontrasepsi. Responden dengan
sikap yang baik lebih banyak menggunakan kontrasepsi. Sikap yang diteliti adalah
penerimaan terhadap tujuan yang ditawarkan dalam program KB, manfaat dan
juga kegunaan pemakaian alat kontrasepsi. Sikap yang belum baik menandakan
penilaian yang kurang baik terhadap program KB dan pemakaian alat kontrasepsi
sehingga responden memberi tindakan negatif dengan tidak menggunakannya.

Hasi ini sesuai dengan Goncalves (2014) yang mengatakan bahwa sikap
memiliki hubungan yang bermaksan dengan pemakaian alat kontrasepsi. Sikap
yang dinilai pada penelitiannya adalah setuju atau tidaknya pada program
keluarga berencana hingga kesediaannya menggunakan alat kontrasepsi.

6.18 Hubungan Self Efficacy dengan Penggunaan Kontrasepsi

Self efficacy memiliki nilai signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi


dengan nilai p = 0,002. Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh (Nsanya, 2019), dalam penelitiannya self efficacy mempunyai
nilai signifikansi (p <0,0001). Keinginan untuk menggunakan kontrasepsi modern
sebanding dengan tingginya tingkat pendidikan dan self efficacy. Di tingkat
pendidikan yang sama namun self efficacy lebih rendah responden lebih rendah
keinginannya untuk menggunakan kontrasepsi.

Hasil penelitian (Sulaiman dkk, 2018) menunjukkan bahwa terdapat


pengaruh self efficacy terhadap penggunaan alat kontrasepsi. Hal ini sejalan
dengan penelitian oleh Wahyuni pada tahun 2015 menemukan ada hubungan
antara Self efficacy dengan penggunaan alat kontrasepsi pada pria di kelurahan
Tarok Dipo Kota Bukit Tinggi (p value = 0.004).

Hasil penelitian ini didukung oleh teori bahwa self efficacy adalah
keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan
kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi. Self
efficacy akan meningkat melalui pengamatan terhadap keberhasilan orang lain
dengan kemampuan yang sebanding dengan mengerjakan suatu tugas yang sama.

90
91

Begitu pula sebaliknya, pengalaman terhadap kegagalan orang lain akan


menurunkan self efficacy. Kondisi Emosi yang kuat akan menurunkan keinginan
menggunakan alat kontrasepsi. Ketika seseorang mengalami ketakutan,
kecemasan, dan rasa stres yang tinggi, pasangan usia subur memiliki ekspektasi
self efficacy yang rendah dalam menggunakan alat kontrasepsi (Sulaiman dkk,
2018).

6.19 Hubungan Faktor-Faktor PUS 4T dengan Penggunaan Kontrasepsi


Faktor yang mempengaruhi PUS untuk menggunakan kontrasepsi yaitu
usia, pendidikan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, dan ketersediaan alat
kontrasepsi. Faktor yang paling dominan terhadap pemakaian alat kontrasepsi
dalam penelitian yang dilakukan oleh Junita (2009) adalah ketersediaan alat
kontrasepsi.

Dari hasil uji regresi logistik didapatkan 4 variabel terbaik yakni


pendidikan ibu, hasrat fertilitas, dukungan sosial dan perbedaan usia pasangan.
Dari 4 variabel tersebut yang paling berpengaruh adalah hasrat fertilitas karena
memiliki nilai p tertinggi yaitu p=0,000. Artinya responden yang tidak
menginginkan anak atau tidak tau ingin punya anak atau tidak berpengaruh paling
besar terhadap penggunaan kontrasepsi. Faktor kedua yang dominan adalah
perbedaan usia pasangan yang memiliki nilai p=0,003. Faktor ketiga yaitu
pendidikan yang memiliki nilai p=0,009. Faktor keempat yaitu dukungan sosial
dengan nilai p=0,0116.

91

Anda mungkin juga menyukai