Anda di halaman 1dari 4

NAMA : DELA ROSA DIANITA PUTRI

NIM : 19050011

PRODI : S1 KEBIDANAN

TUGAS : BIORE (MERESUME) :

 Immunoprofilaksis
 Imunitas
 Imunologi reproduksi
 Antibodi antisperma

IMUNITAS

Sistem imunitas atau sering juga disebut kekebalan tubuh, merupakan pertahanan tubuh
menghadapi organisme dan kuman-kuman berbahaya. Sistem imunitas merupakan hasil
kerjasama dari rangkaian sel, jaringan, protein, dan organ tubuh.
Manusia dan vertebrata berahang lainnya memiliki mekanisme pertahanan yang kompleks,
yang dapat dibagi menjadi sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif. Sistem imun
bawaan merupakan bentuk pertahanan awal yang melibatkan penghalang permukaan, reaksi
peradangan, sistem komplemen, dan komponen seluler. Sistem imun adaptif berkembang
karena diaktifkan oleh sistem imun bawaan dan memerlukan waktu untuk dapat
mengerahkan respons pertahanan yang lebih kuat dan spesifik. Imunitas adaptif (atau
dapatan) membentuk memori imunologis setelah respons awal terhadap patogen dan
membuat perlindungan yang lebih ditingatkan pada pertemuan dengan patogen yang sama
berikutnya. Proses imunitas dapatan ini menjadi dasar dari vaksinasi.

Gangguan fungsi pada sistem imunitas dapat menyebabkan empat kondisi khusus yang
mengganggu kesehatan anak, yaitu:

 Reaksi alergi yaitu reaksi berlebihan dari sistem imunitas terhadap faktor/senyawa yang dianggap
asing dan berbahaya. Reaksi alergi akibat gangguan sistem imunitas bisa memicu terjadinya
asma, eksim, dan alergi terhadap berbagai macam alergen seperti obat, makanan, dan
lingkungan.
 Gangguan autoimun. Kondisi di mana sistem imunitas menyerang organ dan jaringan tubuh yang
sehat karena dianggap benda asing. Kondisi ini terjadi pada penyakit lupus, scleroderma, serta
radang sendi pada anak.
 Gangguan imunodefisiensi. Kondisi di mana sebagian dari sistem imunitas menghilang atau tidak
berfungsi, disebut juga kekurangan kekebalan tubuh. Contoh penyakit akibat kekurangan
kekebalan tubuh antara lain defisiensi IgA yaitu kekurangan Imunoglobulin A yang merupakan zat
antibodi pada air liur dan cairan tubuh lainnya dan sindrom Chediak-Higashi yaitu
ketidakmampuan sel darah putih jenis netrofil melaksanakan tugasnya sebagai pemakan kuman.
 Kanker sistem imunitas. Dua jenis kanker yang berkaitan dengan sistem imunitas adalah kanker
sel darah putih atau leukemia yang sering terjadi pada anak-anak dan limfoma yaitu kanker yang
muncul dalam sistem limfatik
Antibodi anti sperma

Lebih dari 20% pasangan dengan infertilitas yang tidak jelas, penyebabnya ada;ah gangguan
sistem imun. Sistem imun memegang peranan yang besar dalam proses kesuburan (fertilitas).
Untuk persiapan ovulasi dan implantasi, tubuh membutuhkan sel-sel tertentu dari sistem
imun, contohnya, sel-sel inflamasi dibutuhkan untuk persiapan endometrium untuk
implantasi. Tanpa sistem imun yang normal, proses reproduksi bisa terpengaruh, sehingga
tidak terjadi kehamilan.

Antibodi antisperma (ABAS) (English : ASA) adalah sel-sel yang menyerang sperma normal.
Jika ditubuh kita ada ABAS, maka sperma normal akan dianggap sebagai benda asing
sehingga sperma akan diserang dan dirusak.

Belum sepenuhnya dimengerti kenapa ABAS bisa timbul pada sebagian orang. Biasanya
sperma terlindungi dari sistem imun dengan adanya lapisan pelindung yang disebut blood-
testes barrier. Barrier (pelindung) ini mencegah sel-sel sistem imun agar tidak bisa
bercampur dengan sel lainnya. Kadang-kadang , pembedahan atau cedera dapat mengganggu
barrier ini, sehingga sel-sel sistem imun bisa kontak dengan sel sperma.

ABAS pada laki2 yang subur angkanya sekitar 1% sedangkan pada laki2 yang infertil
angkanya sekitar10%. Sedangkan laki2 yang pernah mengalami pembedahan saluran
reproduksi angkanya bisa mencapai 70%.

Kadang2 wanita juga bisa mengalami ABAS. Sekitar 5% wanita dengan infertilitas yang tak
terjelaskan memiliki antibodi ini di dalam darahnya. Sehingga sperma akan mati sebelum
sempat membuahi sel telur .

Setiap laki2 maupun wanita berpotensi mengalami ini. Namun ada beberapa faktor yang
membuat risiko terkena lebih tinggi yaitu pada pasien pembalikan vasektomi, kanker testis,
biopsi testis, torsi testis dan infeksi.

Terdapat bermacam2 test untuk mengecek keberadaan ABAS dalam tubuh:


* Pemeriksaan darah
Pada wanita, pemeriksaan darah biasa dipergunakan untuk memeriksa antibodi.

* Uji paska senggama


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengecek ABAS pada cairan serviks (leher rahim).

* Pemeriksan Sperma
Pemeriksaan sperma adalah cara terbaik mengecek ABAS.

Terdapat berbagai pengobatan yang ada untuk membantu pasangan yang mengalami masalah
ABAS :

* Kortikosteroid
Obat ini bisa menurunkan produksi ABAS.

* Intrauterine Insemination(IUI)
IUI bisa membantu mengatasi masalah ABAS, karena sperma langsung mencapai sel telur
tanpa melewati leher rahim.

* In-Vitro Fertilization(IVF)
IVF merupakan metode yang paling sukses untuk mengobati pasangan, Karena sperma
langsung bertemu sel telur tanpa melewati rahim dan tuba (saluran telur)

Sebab-sebab unxeplained infertility yang telah diketahui antara lain adalah

* akibat adanya antibodi atau imunologi reproduksi. Hal ini dapat terjadi pada istri yang alergi
terhadap sperma suami. Akibatnya, sperma ditolak sel telur (ovum), sehingga tidak pernah terjadi
pembuahan.  Ada juga antibodi yang dihasilkan tubuh suami sendiri, sehingga sperma yang
dihasilkan dihancurkan atau dilemahkan kemampuannya karena dianggap benda asing
* Selain imunologis, penyebab unexplained infertility juga bisa dari genetik. Gangguan gen pada
kromosom Y dapat mengakibatkan pembentukan sperma terganggu. Kromosom Y mengalami delesi
(lengan panjang), sehingga sperma menjadi sedikit atau oligospermi, yaitu jumlahnya kurang dari 20
juta sperma/ml atau bahkan tidak ada sama sekali alias azoospermi.
* Selain itu, adanya gangguan gen porin, yaitu gen yang mengatur penyaluran energi berupa ATP
(adenosin tri phosphate), mengakibatkan sperma tidak dapat bergerak dengan gesit dan mengalami
kesulitan saat membuahi sel. Kelainan pada gen juga dapat menyebabkan penyumbatan saluran
sperma dan mengakibatkan terjadinya kista

Sistem Kekebalan Pada Sistem Reproduksi

Pada sistem reproduksi juga  terdapat sistem kekebalan atau sistem imun. Pada perempuan, sistem
kekebalan berperan penting dalam menjaga janin. Dengan adanya sistem kekebalan, proses
perkembangan janin dapat berlangsung baik dan kebal akan berbagai infeksi. Tetapi pada beberapa
perempuan ada juga yang memiliki antibodi antisperma. Akibatnya, ketika memasuki tubuh, sperma
dihancurkan oleh antibodi antisperma tadi sehingga terjadi kegagalan pada saat pembuahan.

Perempuan memang tidak memiliki unsur antigen, seperti halnya pada sperma atau komponen
plasma semen. Namun, pada saat perempuan mulai berhubungan seksual dengan pria, dalam
tubuhnya akan terbentuk antibodi antisperma terhadap antigen sperma. Pada tingkat tertentu
antibodi masih dapat ditembus oleh sperma yang bagus kualitasnya dan dapat mengakibatkan
kehamilan.

Ketidakmampuan pembuahan dapat pula disebabkan ketidakcocokan secara seluler antara sperma
dan sel telur. Karena itulah harus dilakukan upaya untuk mencocokkan agar tidak terjadi penolakan.

Untuk mengatasi adanya antibodi terhadap sperma dapat dilakukan beberapa terapi, antara lain
dengan terapi kondom ataupun pemberian obat-obatan imunologis sejenis kortikosteroid, juga
terapi imunosupresif atau menekan reaksi imun. Pada terapi kondom, suami dianjurkan untuk
menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual selama 3 hingga 6 bulan. Diharapkan selama
itu antibodi pada tubuh istri dapat menurun dan tidak lagi terdapat pada organ reproduksi.

Jika upaya terapi kondom dan pemberian obat-obatan tidak juga membuahkan hasil, cara inseminasi
dapat dilakukan. Inseminasi biasanya dilakukan pada pria yang tidak subur karena gangguan pada
testis. Yaitu jika testis hanya sedikit memproduksi sperma, ataupun gangguan genetik.
Faktor imunologis.
Dalam menjalankan fungsinya, sistem reproduksi melibatkan mekanisme imunologi/kekebalan.
Sudah lama diketahui, pada perempuan, mekanisme kekebalan tersebut berperan penting dalam
melindungi janin. Dengan adanya sistem kekebalan, proses perkembangan janin dapat berlangsung
dengan baik serta terlindungi dari berbagai infeksi. Di samping itu, dalam keadaan normal, setiap
wanita yang pernah terpapar sperma akan membentuk antibodi terhadap sperma. Hal tersebut
wajar sebab tidak ada wanita yang menghasilkan sperma sehingga sperma dianggap sebagai zat
baru/benda asing layaknya bakteri, virus, jamur, dan kuman lainnya yang harus dilawan. Antibodi
tersebut disebut Antibodi Anti-Sperma (ASA = Anti-Sperm Antibody). Tetapi pada beberapa
perempuan, kekebalan tubuhnya sangat tinggi hingga membentuk ASA dalam jumlah yang sangat
besar.
Pada tingkat yang tidak terlalu tinggi (tingkat yang wajar), dengan kualitas sperma yang baik, maka
kehamilan sangat mungkin terjadi. Namun demikian, bila kadar ASA terlalu tinggi, dengan kualitas
sperma yang sangat baik pun sulit sekali terjadi kehamilan. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat
dilakukan berbagai terapi , antara lain dengan pemakaian kondom, pemberian obat imunosupresif
ataupun terapi imunoseluler.
Pada terapi kondom, suami istri memakai kondom saat berhubungan seksual selama kurang lebih 3-
6 bulan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terpaparnya tubuh istri dengan sperma sehingga
tidak membentuk antibodi anti-sperma. Terapi tersebut banyak menuai protes dari kalangan suami
karena jangka terapi yang lama serta berkurangnya kenikmatan berhubungan.
Di samping terapi kondom, dapat pula diberikan obat-obatan imunosupresif, seperti golongan
kortikosteroid. Obat-obat tersebut bertujuan menekan sistem kekebalan tubuh istri dengan harapan
walau terpapar sperma, tubuh istri tidak membentuk antibodi anti-sperma. Walaupun demikian,
kerja obat-obat tersebut bersifat global. Artinya, respon imun istri akan ditekan secara menyeluruh
termasuk terhadap bakteri, virus, parasit. Hal tersebut menyebabkan istri lebih mudah sakit.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, telah dikembangkan terapi imunoseluler, yakni PLI
(Paternal Leukocyte immunization). PLI berkerja spesifik hanya menurunkan antibodi anti-sperma
sehingga wanita yang menjalani terapi tersebut tetap mampu menghasilkan kekebalan terhadap
virus, bakter, parasit, dll. Selain itu, PLI bekerja optimal sehingga walaupun terpapar sperma, efek PLI
tetap lebih kuat. Namun demikian, menghindari paparan terhadap sperma dapat membantu
menurunkan kadar ASA lebih cepat.

Anda mungkin juga menyukai