Anda di halaman 1dari 45

BAHAN AJAR

OPERATIONAL RESEARCH

MATA KULIAH SEMESTER IV

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Dasar
Dalam suatu organisasi, manajemen selalu dihadapkan pada masalah pengambilan keputusan.
Keputusan ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Sebelum mengambil keputusan
biasanya dilakukan analisis terhadap data yang ada. Untuk malakuakn analisis ini diperlukan alat-alat
analisis diantaranya adalah analisis kuantitatif untuk manajemen. Dikatakan kuantitatif karena dalam
analisis ini menggunakan ukuran atau satuan angka. Konsep-konsep yang digunakan dalam
menganalisis data adalah matematika, statistik, akuntansi dan sebagainya, sehingga membentuk
suatu model yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah.
Dalam operations research, tujuan kita mencari pemecahan secara optimal dengan mengingat
tujuan serta keterbatasan yang ada. Optimal berarti sebaik-baiknya, yaitu yang paling dikehendaki.
Kalau biaya atau pengorbanan tentu saja kita meminimumkan, tetapi kalau manfaat atau keuntungan
tentu saja kita maksimumkan.

B. Proses Pengambilan Keputusan


Pengambilan keputusan bisa dilakukan secara sembarang tanpa didahului oleh suatu analisis,
tetapi cara ini tentu saja tidak dijamin diperolehnya hasil optimal, terutama kalau masalahnya relatif
rumit dan terjadi pada organisasi yang relatif besar. Untuk bisa mengambil keutusan secara lebih baik
bisa digunakan prosedur yang skemanya tercantum pada gambar berikut.

Gambar 1 Skema Proses Pengambilan Keputusan

INDENTIFIKASI MASALAH

PENGUMPULAN DATA

atau

ANALISIS DATA

atau

PENEMUAN ALTERNATIF
PEMECAHAN MASALAH

atau
PEMILIHAN ALTERNATIF

PELAKSANAAN

TERUS DILAKSANAKAN
a. Identifikasi masalah

Masalah yang timbul harus diketahui dengan jelas, sebab kalau masalah pokoknya belum
diketahui kita tidak mungkin mengatasi/ memecahkan masalah tersebut dengan baik. Untuk
mengetahui masalah tersebut bisa dilakukan penelitian pendahuluan. Berdasarkan atas masalah ini
bisa ditentukan cara-cara yang cocok untuk mengatasinya.

b. Mengumpulkan data
Untuk mengetahui cara mengatasi masalah tersebut harus didukung dengan data yang relevan atau
cocok. Untuk itu kita harus mengumpulkan data yang diperlukan tersebut.

c. Menganalisis data
Data yang terkumpul harus dianalisis terlebih dahulu, agar bisa diketahui pemecahannya. Dalam
analisis ini biasanya dibuat suatu model. Model adalah tiruan atau abstraksi dari kejadian
sebenarnya, biasanya dalam bentuk yang lebih sederhana. Untuk melakukan analisis biasanya
digunakan ilmu-ilmu pengetahuan seperti matematika, operations research, statistik, akuntansi dan
lain-lain. Disinilah kedudukan analisis kuantitatif sebagai alat untuk membantu manajemen dalam
menganalisis data, sebagai dasar untuk mengambil keputusan.
Dalam analisis ini, selain dipertimbangkan hasil-hasil perhitungan dari analisis kuantitatif juga
dipertimbangkan faktor-faktor lain yang tidak bisa diukur dengan satuan angka, misalnya
kebudayaan, perikemanusiaan, agama, kepercayaan, politik dan sebagainya. Faktor-faktor ini tidak
bisa dimasukan dalam model kuantitatif, tetapi memiliki pengaruh yang kuat. Oleh karena itu hasil
analisis kuantitatif yang kita peroleh kadang-kadang tidak bisa diterapkan begitu saja, tetapi
diperlukan penyesuaian terlebih dahulu.

d. Penentuan alternatif-alternatif pemecahan masalah


Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan bisa diperoleh alternatif-alternatif pemecahan
masalah.

e. Pemilihan alternatif
Diantara alternatif-alternatif yang ada itu kita pilih salah satu yang paling cocok untuk mengatasi
masalah tadi.

f. Pelaksanaan
Alternatif yang telah dipilih di atas kemudian dilaksanakan/dijlankan untuk mengatasi masalah
yang timbul. Dalam pelaksanaan ini dapat dilihat apakah langkah itu sudah cocok atau belum. Kalau
alternatif itu sudah cocok dan bisa mengatasi masalah yang timbul maka langka ini bisa dijalankan.
Sebaliknya kalau alternatif ini ternyata setelah dicoba tidak cocok, maka harus diulang lagi langkah-
langkah sebelumnya, mungkin pemilihan alternatifnya yang salah , mungkin analisisnya kurang tepat
atau mungkin datanya yang kurang relevan (cocok).
Demikianlah kedudukan alat-alat analisis kuantitatif dalam pengambilan keputusan oleh
manajemen. Yang penting harus diingat adalah bahwa alat analisis ini hanya sekedar membantu
memudahkan analisis, sedangkan untuk mengambil keputusan masih dipertimbangkan pula berbagai
aspek yang basanya bersifat kualitatif.

C. Sejarah Perkembangan Penggunaan Operations Research


Sebenarnya analisis kuantitatif ini sudah mulai dikenal lama. Tokoh-tokoh yang perna mencoba
menerapkannya untuk pengambilan keputusan antara lain : F.W. Harris yang pada tahun 1915
mengemukakan konsep pengawasan inventory. Pada 1931 Walter Shewart mengemukakan
penggunaan statistik untuk pengawasan kualitas.
Sebelum Perang Dunia II masih banyakorang yang menganggap bahwa metode-metode
kuantitaif itu tidak bisa diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Tetapi pada Perang Dunia II, ada gagasan
untuk menggunakan/menerapkan metode kuantitatif ini untuk strategi perang. Di Inggris pada tahun
1941, para sarjana dari berbagai bidang ilmu pengetahuan terutama sarjana-sarjana matematika
dikerahkan untuk ikut memikirkan strategi perang. Hasil kerja mereka antara lain sistem radar,
pengaturan convoy dan cara-cara mengetahui kakuatan armada angkatan laut musuh.
Karena penerapan pertamanya dalam operasi militer di Inggris, maka disebut “ Operations
Research in the United Kingdom “, yang selanjutnya disebut “ Operations Research”. Kemudian
menyusul Amerika Serikat, yang juga mengerahkn sarjana-sarjana metematika untuk ikut
memecahkan masalah-masalah peperangan. Ternyata hasilnya juga cukup memuaskan. Setelah
Perang Dunia II berakhir ada beberapa ilmuwan yang dulu ikut aktif dalam mengatur strategi perang
tersebut mencoba menerapkan Operations Research tersebut dalam perekonomian pada umumnya,
dan dalam kehidupan perusahaan pada khususnya. Dengan demikian lahirlah analisis kuantitatif
untuk manajemen yang disebut sebagai Operations Research atau manajemen science.

PERENCANAAN PENUGASAN

A. Pengantar
Dalam melakukan alokasi karyawan pada tugas yang ada, kadang-kadang memerlukan pemikiran
yang cukup sulit. Hal ini disebabkan karena kita memiliki bebrapa macam pekerjaan yang berbeda-
beda cara menyelesaikannya, di samping itu karyawan yang ada memiliki keahlian dan sifat yang
berbeda-beda. Alokasi karyawan itu tidak boleh asal dilakukan saja, sebab kalau cara alokasinya
berbeda akan membawa konsekuensi hasil atau pengorbanan yang berbeda pula. Karyawan harus
kita alokasikan secara optimal artinya jika berkaitan dengan biaya/pengorbanan maka harus sekecil-
kecilnya dan kalau menghasilkan manfaat/ keuntungan maka kita usahakan agar sebesar-besarnya.
Dengan karyawan yang sama dan pekerjaan yang sama kita harus bisa memilih cara alokasi yang
sebaik-baiknya/ paling baik.
Cara alokasi dalam kuliah ini menggunakan algoritma. Biasanya yang digunakan sebagai ukuran
untuk menentukan efisien tidaknya adalah uang. Metode algoritma yang digunakan ini sering disebut
sebagai Hungarian method.
Algoritma yang digunakan dalam memecahkan masalah penugasan ada dua macam yaitu : (1)
algoritma dengan tujuan meminimumkan pengorbanan/biaya, (2) algoritma dengan tujuan
memaksimumkan manfaat/keuntungan.

B. Algoritma dengan Tujuan Meminimumkan

Dalam algoritma model ini, tujuan kita meminimumkan pengorbanan/biaya. Pengorbanan yang
ditanggung biasanya diukur dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
oleh seorang karyawan. Biaya untuk menyelesaikan pekerjaan itu berbeda-beda bila dilakukan oleh
karyawan yang berbeda, hal ini disebabkan oleh perbedaan keterampilan, kepandaian, latar belakang
pendidikan, kerajinan, pengalaman dan sebagainya. Sedangkan seorang karyawan akan memerlukan
biaya yang berbeda pula apabila mengerjakan pekerjaan yang berbeda. Untuk itu kita harus
menempatkan orang yang paling cocok dengan kebutuhan pekerjaan itu. Caranya dengan
menggunakan matriks atau tabel yang berisi biaya penugasan karyawan. Tabel itu kita olah
sedemikian rupa sehingga memperoleh hasil penugasan optimal. Sebagai contoh kita perhatikan
masalah sebagai berikut :
Contoh :
Suatu perusahaan memiliki 4 orang karyawan yang akan ditugaskan untuk menyelesaikan 4 macam
tugas. Satu karyawan hanya boleh mengerjakan satu pekerjaan. Data biaya penyelesaian pekerjaan
itu oleh tiap karyawan seperti terlihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1 . Biaya penyelesaian pekerjaan oleh tiap-tiap karyawan

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 20 28 25 24

B 15 13 13 11

C 10 21 20 30

D 25 20 23 20

Arti dari tabel di atas adalah sebagai berikut :


Pekerjaan I jika diselesaikan oleh karyawan A memakan biaya Rp 20, karyawan B Rp 15, karyawan C
Rp 10, dan karyawan D Rp 25, dan seterusnya.
Untuk melakukan alokasi penugasan karawan yang optimal dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Membuat Opportunity Cost Matrix
Rubalah matrix pada tabel di atas menjadi opportunity cost matrix, dengan jalan nilai tiap-tiap
baris dikurangi nilai terkecil dari baris itu.

Tabel 2 . tabel Opportunity Cost Matrix

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 0 8 5 4

B 4 2 2 0

C 0 11 10 20

D 5 0 3 0

2. Membuat Total Opportunity Cost Matrix


Jika dalam tabel opportunity cost masih ada kolom yang memiliki nilai 0, maka harus
diusahakan agar kolom tersebut memiliki nilai 0, dengan cara mengurangi nilai-nilai pada kolom
itu dengan nilai kolom yang terkecil. Pada tabel 2 di atas kolom III belum memiliki nilai 0, dan
nilai terkecil dari kolom III tersebut adalah pada baris B yakni nilai 2, maka semua nilai yang ada
pada kolom itu dikurangi dengan nilai 2, maka tabel total opportunity cost matrix seperti berikut
ini :

Tabel 3 . tabel Opportunity Cost Matrix

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 0 8 3 4

B 4 2 0 0

C 0 11 8 20

D 5 0 1 0

3. Membuat garis untuk meliputi angka 0


Setelah semua baris dan kolom memiliki nilai 0, maka tariklah garis seminimum mungkin, baik
vertikal maupun horisontal yang bisa menghubungkan setiap angka nol yang ada. Dalam hal ini
bisa dibuat garis pada kolom I, baris B dan baris D. (sebenarnya bisa dibuat 4 garis yaitu pada
kolom I, II, III dan IV, tetapi ini tidak minimum). Hasilnya seperti tampak pada tabel 4. Kalau
jumlah garis minimum yang bisa dibuat itu kurang dari jumlah baris atau kolom maka tabel 3 di
atas harus dirubah lagi, tetapi kalau jumlah garis yang dibuat paling tidak sama dengan jumlah
baris atau kolom maka alokasi optimal bisa diperoleh berdasarkan tabel itu.

Tabel 4 . Menggambar garis seminimum mungkin

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 0 8 3 4

B 4 2 0 0

C 0 11 8 20

D 5 0 1 0

4. Merubah Total Opportunity Cost Matrix


Untuk merubah total opportunity cost matrix dilakukan dengan cara :

a. Pililah angka terkecil diantara semua angka yang belum terliput oleh garis minimum , dan
semua angka yang belum terliput oleh garis dikurangi dengan angka terkecil ini. Yang belum
terliput oleh garis adalah nilai-nilai pada baris A dan C pada kolom II, III dan IV. Angka terkecil
diantara semua angka itu adalah 3, sehingga angka-angka itu dikurangi dengan 3 sehingga
angka mula-mula 8 menjadi 5, yang mula-mula 3 menjadi 0 dan seterusnya.
b. Nilai-nilai yang sudah terliput oleh dua garis harus ditambah dengan angka terkecil yang
belum terliput garis (yang dipakai untuk mengurangi pada butir a diatas ). Dalam tabel di atas
ada dua yakni 4 menjadi 7 dan 5 menjadi 8.

Hasil setelah perubahan ini tampak pada tabel 5 berikut ini :

Tabel 5 . Perubahan terhadap total opportunity cost matrix

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 0 5 0 1

B 7 2 0 0

C 0 8 5 17

D 8 0 1 0

5. Membuat Alokasi Penugasan

Berdasarkan tabel 5 di atas kita dapat melakukan alokasi karyawan, karena garis yang dibuat
bisa 4, sama dengan jumlah baris atau kolom. Caranya letakan karyawan pada salah satu
pekerjaan yang dinilainya pada opportunity cost matrix = 0 dan satu pekerjaan hanya bisa diisi
oleh satu orang saja.
Untuk itu tugaskanlah terlebih dahulu karyawan yang dalam tabel itu hanya memiliki satu
nilai 0. Dalam tabel di atas tampak bahwa karyawan C hanya memiliki satu nilai 0 maka harus
ditugakan terlebih dahulu pada pekerjaan I. Akibatnya karyawan A tidak bisa menempati
pekerjaan I tetapi harus ditugaskan pada pekerjaan III. Karena pekerjaan III ditempati oleh
karyawan A maka karyawan B ditugaskan di pekerjaan IV, dan karyawan D hanya di pekerjaan II
sebagaimana terlihat alokasi dengan biaya minimum pada tabel 6 berikut ini :

Tabel 6 Alokasi Penugasan Karyawan

Karyawa Tugas yang ditempati Biaya yang dikeluarkan


n

A III Rp 25,00

B IV Rp 11,00

C I Rp 10,00

D II Rp 20,00

Jumlah Rp 66,00
Biaya yang tercantum pada kolom 3 diambil dari tabel 1. Jumlah biaya Rp 66,00 merupakan biaya
termurah dibanding dengan semua alternatif lain (tidak ada yang lebih murah)

C. Algoritma Dengan Tujuan Memaksimumkan

Kita juga bisa melakukan alokasi karyawan dengan tujuan memaksimumkan, yaitu apabila yang
diketahui sebagai ukuran untuk menentukan efisiensi itu adalah besarnya keuntungan atau
manfaat yang ditimbulkannya. Cara alokasinya mirip dengan algoritma yang bersifat
meminimumkan. Perbedaanya hanya pada langkah pertama. Pada langkah perama kita cari
selisih data keuntungan pada tiap-tiap baris dengan keuntungna terbesar pada baris itu. Hasil
setelah langkah pertama disebut sebagai opportunity loss. Sebagai contoh kita gunakan data
sebagai berikut :

Suatu perusahaanakan melakukan penempatan 4 orang karyawan pada 4 pekerjaan. Data


keuntungna yang dihasilkan oleh setiap karyawan kalau menyelesaikan pekerjaan itu sebagai
berikut :

Tabel 7 Matrix keuntungan atas penugasan karyawan

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 20 24 20 16

B 28 20 18 30

C 16 18 14 16

D 26 30 16 32

Langkah- lanhkanya sebagai berikut :

1. Membuat Opportunity Loss Matrix

Kalau tujuan kita memaksimumkan, maka kita cari opportunity loss matrix yaitu dengan mengurangi
nilai-nilai keuntungan pada tiap baris dari tabel 7 di atas, dengan nilai terbesar dari baris itu.
Hal ini disebabkan kalau karyawan ditugaskan pada pekerjaan lain akan mengakibatkan perbedaan
keuntungan yang seharusnya diterima. Misalnya karyawan B, kalau ia ditugaskan pada pekerjaan IV
ia akan mengahsilkan keuntungan Rp 30,00, tetapi kalau ia ditugaskan pada pekerjaan II, ia hanya
bisa menghasilkan keuntungan Rp 20,00 saja. Akibatnya terjadi opportunity loss Rp 10,00 (Rp 30,00 –
Rp 20,00), yaitu hilangnya keuntungan yang seharusnya diterima. Semua nilai pada tiap baris
dikurangi dengan nilai terbesar pada baris itu. Hasilnya seperti pada tabel 8 berikut ini :
Tabel 8 Matrix keuntungan atas penugasan karyawan

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 4 0 4 8

B 2 10 12 0

C 2 0 4 2

D 6 2 16 0

2. Membuat Total Opportunity Loss Matrix

Cara membuat total opportunity loss matrix mirip dengan langkah kedua dari algoritma
minimumkan, yaitu dengan merubah nilai pada kolom yang belum memiliki angka 0. Dalam contoh
kita kolom I dan kolom III. Namun kita pilih salah satu kolom dengan nilai keuntungan yang lebih
besar yakni kolom III. Nilai paling kecil pada kolom III adalah 4, maka semua nilai yang ada pada
kolom itu dikurangi dengan nilai 4. Hasilnya seperti terlihat pada tabel 9 berikut ini.

Tabel 9 Total Opportunity Loss Matrix

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 4 0 0 8

B 2 10 8 0

C 2 0 0 2

D 6 2 12 0

3. Membuat garis seminimum mungkin untuk meliputi angka 0


Caranya sama dengan contoh meminimumkan di depan. Untuk contoh kita baru bisa buat 3 garis
seperti pada tabel 10 berikut :
Tabel 10 Menggambar garis untuk meliputi nilai 0

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 4 0 0 8

B 2 10 8 0

C 2 0 0 2
D 6 2 12 0
4. Merubah Total Opportunity Loss Matrix
Dalam tabel 10 baru terdapat 3 garis, pada hal ada 4 baris atau kolom, sehingga tabel itu harus
dirubah lagi agar bisa diperoleh alokasi optimal. Cara merubahnya seperti pada algoritma
meminimumkan, yaitu angka yang belum terliput garis dikurangi dengan angka terkecil dari yang
belum terliput itu, dan angka yang diliput garis dua kali harus ditambahkan dengan pengurangan
tersebut. Hasilnya sebagaimana tampak pada tabel 11 berikut ini :

Tabel 11 total opportunity loss matrix yang diperbaiki

Pekerjaan I II III IV
Karyawan ( dalam rupiah)
A 4 0 0 10

B 0 8 6 0

C 2 0 0 4

D 4 0 10 0

5. Membuat Alokasi Penugasan


Mengalokasikan penugasan sama dengan alokasi minimumkan yaitu mengalokasikan terlebih
dahulu karyawan yang hanya memiliki 1 nilai 0 kemudian dikuti karyawan yang lain. Alokasi tugas
karyawan sebagai berikut : A melaksanakan pekerjaan II, B melaksanakan pekerjaan I, C
melaksanakan pekerjaan III dan D melaksanakan pekerjaan IV
Dengan demikian hasil alokasi akan memberikan manfaat/ keuntungan sebagaimana tampak pada
tabel berikut 12.

Tabel 12 Alokasi Penugasan Karyawan

Karyawa Pekerjaan yang Keuntungan yang


n dilaksanakan dihasilkan

A II Rp 24,00

B I Rp 28,00

C III Rp 14,00

D IV Rp 32,00

Jumlah Rp 98,00

Keuntungan sebagaimana pada tabel di atas merupakan keuntungan maksimum, alternatif alokasi
lain tidak ada yang menghasilkan lebih dari Rp 98,00.
D. Bila jumlah karyawan tidak sama dengan jumlah pekerjaan
Bila jumlah karyawan tidak sama dengan jumlah pekerjaan maka digunakan tabel dummy
variables atau variabel semu/boneka. Fungsi/guna dari variabel semu ini adalah untuk mengisi
ketidak cocokan itu. Kalau lebih sedikit banyaknya baris (karyawan), maka diperlukan baris semu
dengan biaya atau keuntungan sebesar 0. Sebaliknya apabila lebih sedikit adalah banyaknya
pekerjaan yang ada maka diperlukan kolom (pekerjaan) semu. Sebagai contoh kita memiliki 5
pekerjaan pada hal kita hanya memilki 4 karyawan, maka tabelnya harus dirubah seperti tabel 13.
Sedangkan proses mengerjakannya seperti prosedur yang dijelaskan di depan, baik untuk
meminimumkan maupun untuk memaksimumkan.

Tabel 13 penambahan baris semu karena karyawan lebih sedikit dari jumlah pekerjaan

Pekerjaan I II III IV V
Karyawan ( dalam rupiah)
A 20 28 25 24 27

B 15 13 13 11 17

C 10 21 20 30 25

D 25 20 23 20 21

Kolom semu/E 0 0 0 0 0
BAB II
PENGAWASAN PERSEDIAAN

Yang dimaksudkan dengan persediaan adalah persediaan barang yang biasanya selalu ada dalam
setiap lembaga. Misalnya dalam perusahaan dagang biasanya memiliki barang dagangan, perusahaan
industri memiliki persediaan bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi, kantor-kantor swasta
biasanya memiliki persediaan alat-alat tulis, rumah sakit biasanya memiliki obat-obatan, darah, bahan
makanan dan sebagainya.
Jumlah persediaan barang harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat menghemat biaya dan
pengorbanan-pengorbanan perusahaan. Kalau jumlah persediaan terlalu sedikit akan mengganggu
kelancaran kerja lembaga tersebut. Misalnya kalau persediaan bahan baku perusahaan industri kurang
maka kelancaran proses produksi akan terganggu, akibatnya volume produksi menurun, pemanfaatan
buruh tidak efisien dan laba tentu akan berkurang. Sebaliknya kalau persediaan barang terlalu banyak
akan menyebabkan banyak barang yang rusak karena terlalu lama disimpan, biaya penyimpanan
menjadi mahal, asuransi lebih tinggi, dan persediaan berlebihan berarti terdapat pengangguran modal
kerja yang tidak produktif. Oleh karena itu jumlah persediaan harus ditentukan sebaik-baiknya, jangan
terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit. Untuk menentukan jumlah yang tepat dapat digunakan
beberapa model persediaan yang akan dibahas satu persatu.

MODEL PERSEDIAAN SEDERHANA

A. Model Persediaan paling sederhana


Model persediaan yang paling sederhana ini berlaku untuk menentukan jumlah pembelian
barang, bahan baku atau bahan pembantu yang penggunaannya secara teratur. Dalam model ini
belum memasukan kemungkinan keterlambatan pengiriman barang.
Dalam model sederhana ini kita mennunakan beberapa asumsi sebagai berikut :
1. Kebutuhan barang sepanjang tahun relatif stabil dan bisa diperkirakan.
2. Biaya yang berhubungan dengan pemeliharaan barang yang disimpan tergantung pada
banyaknya barang yang disimpan.
3. Besar biaya pemesanan barang untuk setiap kali pesan sama.
4. Barang yang disimpan tidak mudah rusak.
5. Barang selalu tersedia di pasar, dalam jumlah berapapun kebutuhan barang akan selalu dibeli.
6. Harga barang relatif stabil.

Untuk menentukan jumlah pembelian yang paling ekonomis atau Economic Order Quantity
(EOQ), kita harus mempertimbangkan besarnya biaya-biaya yang berhubungan dengan
kebijaksanaan pembelian itu. Biaya itu terdiri dari biaya set-up dan biaya pemeliharaan barang dalam
penyimpanan.

a. Biaya set-up
Yang dimaksud dengan biaya set-up adalah biaya yang dikeluarkan setiap kali perusahaan
memesan barang. Besarnya biaya ini untuk setiap kali pesan selalu sama, tidak dipengaruhi oleh
jumlah barang yang dipesan. Yang termasuk dalam kelompok biaya ini misalnya biaya pengiriman
surat pesanan, ongkos interlokal, pengiriman petugas pembelian dan sebagainya, yang besarnya
tidak dipengaruhi oleh jumlah barang yang dipesan. Dalam biaya ini tidak termasuk ongkos
pengangkutan barang dan harga barang, karena macam biaya ini biasanya terganggu pada jumlah
barang yang dibeli. Pada dasarnya biaya set-up adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan pada saat
melakukan pemesanan barang, berapapun jumlah barang yang dibeli besar biaya set-up ini selalu
sama.
Simbol yang biasa digunakan untuk biaya set-up ini adalah “Cs”. Kebutuhan barang selama
satu tahun disimbolkan dengan “R” dan jumlah barang setiap kali membeli adalah “Q” . dengan
demikian satu tahun dilakukan pembelian R/Q kali (R/Q x). dan biaya setiap pemesanan selama
satu tahun adalah sebesar (R/Q) Cs.

b. Biaya pemeliharaan barang


Yang termasuk dalam biaya pemeliharaan barang adalah semua biaya yang keluarkan
perusahaan karena perusahaan melakukan penyimpanan barang. Besarnya biaya ini tergantung dari
banyaknya barang yang disimpan, serta lamanya waktu penyimpanan. Contoh : biaya asuransi, sewa
gudang yang didasarkan volume atau berat dan lama penyimpanan, penyusutan atau berkurangnya
barang yang disimpan (apabila presentasi susutnya tergantung pada lamanya penyimpanan). Kalau
sewa suatu gudang yang dipakai atau tidak, membayarnya sewanya sama, tentu saja tidak masuk
dalam biaya ini. Demikian juga bila gudang dimiliki sendiri dan penyusutan dilakukan dengan metode
garis lurus, maka biaya penyusutan ini juga tidak termasuk biaya pemeliharaan. Pokoknya yang
termasuk dalam biaya ini , hanyalah biaya yang besarnya tergantung pada volume/berat yang
disimpan dan lamanya waktu penyimpanan.
Biaya pemeliharaan setiap barang setiap tahun biasanya diberi simbol Ci. Besarnya biaya
pemeliharaan barang seluruhnya selama satu tahun sebesar rata-rata jumlah barang dikalikan biaya
pemeliharaan setiap barang setiap tahun.
Banyaknya barang yang disimpan selama setahun, tiap hari selalu berubah-ubah, pada saat
pembelian baru saja dilakukan, jumlah barang sebanyak yang dibeli tadi, tetapi setiap hari dipakai
maka selalu berkurang dan akhirnya habis dan membeli lagi. Oleh karena itu untuk mencari rata-rata
jumlah barang yang disimpan dalam gudang = (Q + 0) : 2 atau Q/2. Biaya pemeliharaan barang
selama satu tahun = (Q/2)Ci.

Inventory

Q Q/2
anan

t Periode (waktu)

Gambar 1 : jumlah persediaan dan rata-rata persediaan.


Pada gambar 1 di atas tampak bahwa selama satu tahun dipesan beberapa kali, setelah barang habis
maka barang yang dibeli datang dan persediaan diisi lagi sebanyak pembelian. Barang dalam persediaan
bergerak antara 0 sampai dengan Q. jangka waktu diantara pesanan satu dengan pesanan berikutnya
adalah “t”. Apabila pembelian jarang dilakukan maka biaya set-up/pemesanan selama satu tahun
sedikit, tetapi setiap kali membeli harus dalam jumlah banyak dan akhibatnya biaya pemeliharaan
barang tinggi. Sebaliknya jika pemesanan sering dilakukan maka biaya pemesanan tinggi, namun biaya
pemeliharaan rendah. Dari uraian di atas tampak bahwa perubahan biaya set-up berlawanan dengan
biaya pemeliharaan. Kalau pembelian sering dilakukan maka biaya set-up tinggi namun biaya
pemeliharaan rendah, demikian pula sebaliknya kalu pembelian jarang dilakukan maka jumlah biaya set-
up rendah namun jumlah biaya pemeliharaan tinggi. Lalu bagaimana sebaiknya?
Jumlah dari kedua macam barang itu selama satu tahun dapat dilihat pada persamaan berikut ini :

R Q
JB = Q Cs + 2 Ci

Kalau kedua macam biaya itu dan jumlahnya kita gambarkan akan tampak seperti pada gambar berikut :

Biaya (Rp) Jumlah biaya

Minimum

Biaya pemeliharaan

Biaya set-up

0 Q Q

Gambar 2 : Hubungan antara setiap pembelian dengan biaya set up, biaya pemeliharaan,
dan jumlah dari kedua biaya itu.

Skala horisontal menunjukan jumlah setiap kali pembelian dan skala vertikal menunjukan
besarnya biaya selama satu tahun. Kalau setiap kali membeli dalam jumlah sedikit (berarti
sering dilakukan pembelian) maka biaya set-up mahal, semakin besar jumlah setiap
pembelian berarti semakin jarang dibeli , maka jumlah biaya set-up selama setahun
semakin murah. Lain halnya dengan biaya pemeliharaan, semakin sedikit jumlah setiap kali
membeli biaya ini akan semakin murah dan sebaliknya kalau semakin banyak jumlah setiap
kali membeli maka jumlah biaya ini akan semakin mahal. Kalau kedua biaya itu dijumlahkan
akan tampak pada garis biaya paling atas, kalau jumlah setiap pembelian sedikit maka
jumlah kedua biaya itu mahal. Semakin banyak jumlah setiap kali membeli mula-mula
jumlah biaya semakin menurun, tetapi sampai pada titik tertentu mulai naik lagi. Jumlah
biaya terendah terjadi pada titik Q. Untuk mencari titik Q itu dilakukan minimisasi dengan
menggunakan pendekatan diferensial terhadap persamaan jumlah biaya JB (persamaan I)
pada Q. Setelah dilakukan perubahan seperlunya dan digunakan pendekatan diferensial
maka hasilnya sebagai berikut :
Jumlah pemebelian yang paling ekonomis (EOQ) atau Q*

2. R .Cs
Q* = √ Ci

Jangka waktu di antara pesanan satu dengan pesanan berikutnya :

Q∗¿
¿ = 2. R .Cs
Contoh :
t* = R √
Ci

Seorang pedagang selama satu tahunharus memenuhi permintaan pembeli sebanyak 24.000 kg.
permintaan sepanjang tahun relatif stabil. Biaya pemesanan setiap kali membelisebesar Rp 3.500,00
biaya penyimpan setiap kg barang selama satu tahun Rp 10,00.
a. Berapakah jumlah pembelian yang paling ekonomis ?
b. Berapa lamakah jangka waktu antara pesanan yang satu dengan pesanan berikutnya agar pesanan
ekonomis ?
Jawab :
R = 24.000 kg
Cs = Rp 3.500,00
Ci = Rp 10,00

2.( 24.000)(3.500) 168.000 .000


a). Q* =
√ 10
= √ 10
= √ 16.800.000 = = 4.098,78

b). Jangka waktu di antara pesanan yang ekonomis :


Q∗¿ 2.( 24.000)(3.500)
t* = R
¿ =
√ (24.000)10
= 0,171 tahun,

atau kira-kira = 61,56 hari (62 hari)

B. Model Persediaan dengan keterlambatan barang

Dalam model ini dimungkinkan keterlambatan penyediaan barang yang dibutuhkan, tetapi
keterlambatan ini memerlukan tambahan biaya. Jadi perusahaan menanggung tiga macam biaya
yaitu biaya set-up, biaya pemeliharaan barang dan biaya keterlambatan. Misalnya pada suatu hari
datang seorang pembeli pada suatu toko ban, pembeli tersebut akan membeli ban radial tertentu,
tetapi pada saat itu persediaan ban radial tersebut sedang habis. Pembeli akhirnya bersepakat untuk
melakukan pembelian, tetapi barangnya baru akan diperoleh 2 hari lagi. Untuk memenuhi
kebutuhan ini tentu saja toko tersebut harus mengeluarkan biaya tambahan karena harus membeli
dengan order khusus, meminjam pada toko lain, yang terdekat mengantar ke rumah pembeli dan
sebagainya.
Dengan demikian keterlambatan barang masih diperbolehkan tetapi disertai dengan biaya
ekstra. Asumsi yang digunakan adalah bahwa besar biaya ekstra karena keterlambatan ini harus
tergantung pada jumlah kekurangan barang dan jangka waktu keterlambatan. Tujuan kita dalam
model ini adalah menentukan jumlah pemesanan yang bisa meminimumkan jumlah ketiga macam
biaya tersebut .
Hubungan antara jumlah dalam setiap pemesanan, persediaan dan kekurangan barang seperti
terlihat pada gambar 3 di bawah ini. Jumlah dalam setiap kali pembelian diberi simbol Q, jumlah
barang yang dibeli yang masuk persediaan diberi simbol S (pada awal siklus pembelian), dan sisanya
yang untuk memenuhi kekurangan permintaan adalah Q – S. kalau jumlah kebutuhan barang selama
satu tahun sebesar R, maka jangka waktu setiap siklus pembelian (mulai dari satu pembelian sampai
pada pembelian berikutnya) = Q/R tahun. Pada gambar itu tampak bahwa selma satu siklus
pembelian dibagi menjadi dua bagian (fase). Fase pertama pada saat permintaan masih bisa
terpenuhi dengan barang yang ada dalam gudang, ini ditunjukan dengan segitiga pertama yang
berada di atas garis 0, yang tingginya S. Jangka waktu perusahaan masih memiliki barang dalam siklus
adalah S/R tahun. Fase kedua pada saat persediaan barang sudah habis dan pemenuhan kebutuhan
barang ditunda sampai saat pesanan pembelian datang, ini ditunjukan dengan segitiga kedua yang
berada di bawah garis 0 dan tingginya Q-S. Jangka waktu di mana perusahaan dalam kekurangan
barang dalam setiap siklus adalah (Q-S)/A tahun.

Tingkat Persediaan

Q-S
R

Waktu
O S
A
Q-S

Q
t= S
Gambar 3 : Hubungan persediaan barang, pemesanan dan kekurangan barang.

karena keterlambatan barang. Berikut ini akan dibahas satu per satu sebelum dimasukan ke
dalam persamaan jumlah biaya.

Biaya set-up :
Besarnya biaya set-up sama seperti dalam model persediaan yang sederhana, yaitu : (R/Q)Cs.

Biaya pemeliharaan :
Besarnya biaya pemeliharaan dapat dicari dengan luas segi tiga pertama dikalikan dengan biaya
pemeliharaan tiap unit tiap tahun, yaitu :

1 S s 2 . Ci
(S) ( ) Ci =
2 R 2R
Kalau jumlah biaya di atas dikalikan dengan banyaknya siklus dalam satu tahun R/Q maka akan kita
dapatkan jumlah biaya selama setahun, sebagai berikut :

s 2 Ci R s 2 Ci
Q
=
2R 2Q

Biaya keterlambatan
Besar biaya keterlambatan sama dengan luas segi tiga kedua dikalikan dengan biaya keterlambatan
setiap unit barang setiap tahun (Ct) sebagai berikut :

Biaya keterlambatan selama satu siklus :

2
1 Q−S
( (Q−S)Ct = (Q−S) C t
)
2 R 2R
Biaya keterlambatan selama satu tahun sebesar biaya di atas dikalikan dengan banyaknya siklus selama
satu tahun (R/Q), sebagai berikut :

Q−S R Q−( S)2


( 2R
C) ( )
t
Q
=
2R
Ct

Oleh karena itu jumlah biaya seluruhnya selama satu tahun menjadi sebagai berikut :

2
R s 2 Ci Q−(S)
( )
JB = Q Cs +
2Q
+
2R
Ct

Apabila persamaan itu diminimumkan dengan diferensial pada Q akan diperoleh jumlah pemesanan
yang optimal (Q*) dan apabila diturunkan pada S akan diperoleh jumlah-jumlah pembelian yang
masukan dalam persediaan (pada awal siklus pembelian).
2 RCs¿ Ct +Ci
Q* = √ Ci ¿ √ Ct

2 RCs¿ Ct
S* = √ Ci ¿ √ Ct +Ci
Jangka waktu optimal antara dua pemesanan :

Q∗¿
t*= R x 1 tahun
¿
contoh :
Suatu perusahaan menjual suatu barang, banyaknya kebutuhan konsumen setiap tahun sebanyak
1.000 buah. Biaya penyimpanan barang setiap tahun sebesar 20% dari harga barang, harga setiap
barang Rp 20,00. Setiap melakukan pemesanan memerlukan biaya Rp 100,00. Kalau terjadi
keterlambatan barang konsumen masih mau membeli, tetapi perusahaan harus menanggung biaya
ekstra Rp 3,65 setiap barang setiap tahun.
Berdasarkan data di atas dapat kita hitung bahwa Ci sebesar 20% x Rp 20,00 = Rp 4,00, Cs sebesar
100,00, R sebanyak 1.000 barang dan Ci sebesar Rp 3,65.

Jumlah pemesanan optimum adalah :

2 ( 1000 ) 100 3.65+ 4


Q* =
√ 4 √
3,65
= 324
Jumlah obtimal barang yang dibeli yang dimasukan dalam persediaan :

2 ( 1000 ) 100 3,65


S* =
√ 4 √
3.65+ 4
= 154
Jangka waktu optimal antara suatu pesanan dengan pesanan berikutnya :
t* = x 1 tahun
t* = x 1 tahun = 0,324 tahun
Jumlah biaya yang optimal :
2 2
R
JB = Cs + s Ci + (Q−S) Ct
( )
Q 2Q 2Q
2
1000 4 (154) 3,65(170)2
JB = 100+ + = 617,82
324 2(324) 2(324)
jadi jumlah biaya optimal Rp 617,82 selama satu tahun.
BABA III
LINEAR PROGRAMMING, METODE GRAFIK

Pengantar :

Ditinjau dari kata-katanya linear programming berarti pembuatan program atau rencana yang
mendasarkan pada asumsi-asumsi linear. Penjelasan di atas merupakan pengertian secara sempit.
Adapun arti secara lebih luas adalah suatu cara alokasi sumber daya yang terbatas jumlahnya secara
optimal untuk melaksanakan beberapa macam aktivitas yang semuanya memerlukan sumber-sumber
tadi.
Sumber daya yang ada akan kita gunakan untuk mencapai tujuan kita itu, terbatas jumlahnya, pada
hal kita harus melaksanakan aktivitas, di mana tiap-tiap aktivitas itu memerlukan sumber-sumber daya
tadi, sehingga seolah-olah aktivitas-aktivitas itu berebut sumber daya yang terbatas jumlahnya itu. Oleh
karena itu sumber-sumber daya itu harus dialokasikan sedemikian rupa agar diperoleh hasil optimal.
Yang dimaksud dengan optimal adalah yang sebaik-baiknya untuk kita, tentu saja kalau hal-hal yang
kita senangi seperti laba, penerimaan uang, kepuasan, kenikmatan, kegembiraan dan sebagainyam kita
usahakan sebanyak mungkin (kita maksimumkan), sedangkan untuk hal-hal seperti kerugian,
pembayaran, biaya, kesedihan, kekecewaan, waktu menunggu, dan sebagainya sebaiknya kita tekan
sekecil mungkin (kita minimumkan). Adapun yang dimaksudkan dengan asumsi linear adalah anggapan
bahwa perubahan segala sesuatu yang dimasukkan dalam model kita bersifat linear, atau ada hubungan
linear atau proporsional dengan tingkat aktivitas yang kita lakukan.
Sebagai contoh masalah alokasi sumber untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas dengan optimal
adalah dalam kegiatan kita sehari-hari. Sebenarnya banyak aktivias yang akan kita laksanakan, tetapi
terdapat batasan paling tidak waktu yang sehari hanya 24 jam dengan uang yang hanya sebanyak yang
kita miliki. Pada hal kita ingin belajar, olah raga, memperoleh hiburan, istirahat dan sebagainya. Semua
aktivitas itu kalau bisa akan kita laksanakan semua agar diperoleh kepuasan yang sebanyak-banyaknya,
tetapi sayang sekali terbatasnya waktu dan uang yang kita miliki menyebabkan kita harus membagi
waktu dan uang kita sedemikian rupa agar tingkat pelaksanaan tiap aktivitas itu dapat sebaik-baiknya
bagi kita. Misalnya belajar 3 jam, olah raga sekali seminggu saja, tidur setiap hari 7 jam, hiburan
seminggu sekali saja dan sebagainya. Pengaturan itu terpaksa kita lakukan karena kita tidak mungkin
melaksanakan semua aktivitas sepuas-puasnya, sehingga dicari kombinasi yang terbaik bagi kita.

PEMECAHAN MASALAH YANG MASIH DALAM BENTUK STANDAR


DENGAN METODE GRAFIK

A. FORMULASI MASALAH

Agar masalah yang kita hadapi bisa diselesaikan, terlebih dahulu harus diformulasikan atau
dinyatakan dalam persamaan-persamaan linear. Persamaan itu ada dua macam, pertama yang
menyatakan tujuan yang akan dicapai, misalnya bertujuan memaksimumkan atau meminimumkan
nilai tertentu sesuai masalah yang kita hadapi. Kedua persamaan atau fungsi yang menunjukan
batasan yang ada.
Batasan ini terdiri dari dua macam, yaitu yang disebut batasan fungsional menyatakan
keterbatasan sumber daya yang ada dan batasan non negatif yang menyatakan bahwa hasil
pemecahan itu tidak boleh negatif. Batasan biasanya berbentuk pertidaksamaan dengan tanda ≤,
yang menunjukan maksimum tersedianya sumber serta kebutuhan sumber itu oleh tiap aktivitas.
Untuk membuat persamaan-persamaan itu kita menggunakan simbol-simbol sebagaimana terlihat
berikut :

I : nomor dari sumber daya


j : nomor aktivitas
m : banyaknya macam sumber
n : banyaknya macam aktivitas
aij : kebutuhan tiap unit aktivitas j akan sumber i
bi : banyaknya sumber I yang tersedia
Cj : manfaat yang diperoleh oleh setiap unit
Xj : Ukuran (unit) aktivitas
Z : jumlah nilai yang mau dituju, maksimumkan untuk manfaat atau penerimaan, dan
meminimumkan untuk biaya/pemmaka kita dapat gunakan contoh berikut ini:bayaran atau
pengorbanan.

Untuk menjelaskan cara formulasi masalah ke dalam persamaan-persamaan linear maka kita gunakan
contoh berikut ini.

PT. KEMBANGARUM memproduksi dan menghasilkan dua macam barang. Setiap unit barang pertama
memerlukan bahan baku A 2 kg dan bahan baku B 2 kg. Setiap unit produk kedua memerlukan bahan
baku A 1 kg dan bahan baku B 3 kg. jumlah bahan baku A yang bisa disediakan perusahaan sebanyak
6.000 kg dan bahan baku B 9.000 kg. Sumbangan terhadap laba dan biaya tetap (yang dihitung dengan
harga jual per satuan dikurangi biaya variabel per satuan) setiap unit produk pertama sebesar Rp 3,- dan
setiap unit produk kedua Rp 4,-

Agar masalah di atas bisa jelas kita pahami maka kita perlu susun ke dalam tabel seperti berikut ini.

Tabel 3.1
Kebutuhan bahan baku per unit, maksimum tersedianya bahan baku
dan sumbangan terhadap laba.

Produk Kebutuhan bahan baku/unit Kapasitas


Bahan Baku Produk I Produk II Maksimum
2 1 6.000
A

2 3 9.000
B

Sumbangan
terhadap laba 3 4
( dalam Rp)

Apabila simbol-simbol yang ada di depan kita masukan ke dalam tabel di atas maka dapat terlihat pada
tabel 2 berikut ini.

Tabel 3. 2
Kebutuhan bahan baku per unit, maksimum tersedianya bahan baku
serta simbol-simbol lainnya.

Produk Kebutuhan bahan baku/unit Kapasitas


Bahan Baku Produk I Produk II Maksimum
2 a11 1 a21 6.000
A

2 a12 3 a22 9.000


B

Sumbangan
terhadap laba
( dalam Rp)
3 c1 4 c2

Untuk membuat formulasi masalah ikutilah langkah-langkah berikut ini :

a. Fungsi tujuan

Fungsi ini menunjukan tujuan yang akan dioptimalkan, bisa memaksimumkan atau
meminimumkan nilai tujuan yang diberi simbol “ Z “. Untuk pertma kali kita buat bentuk yang paling
sederhana yaitu memaksimumkan nilai tujuan dengan persamaan sebagai berikut :

Memaksimumkan Z = C1X1 + C2X2 + ………CnXn


Untuk contoh kita di atas tujuannya adalah memaksimumkan seluruh nilai sumbangan
terhadap laba, pada hal setiap unit produk I dan produk II masing-masing sebesar Rp 3,- dan Rp 4,-
maka fungsi tujuannya adalah sebagai berikut :

Memaksimumkan Z = 3X1 + 4X2

b. Batasan fungsional

Batasan ini menunjukan alokasi sumber yang tersedia. Kalau setiap unit aktivitas memerlukan
“a” unit sumber “ I “ maka dapat ditunjukan dengan persamaan sebagai berikut :

ai1x1 + ai2x2 + ai3x3 + ……………….. + ainxn ≤ bi


(untuk I = 1,2, 3………………….m)

Atau secara lebih jelas :

a11x1 + a12x2 + a13x3 + ………..a1nxn ≤ b1


a21x1 + a22x2 + a23x3 + ………..a2nxn ≤ b2
a31x1 + a32x2 + a33x3 + ………..a3nxn ≤ b3
- - - - -

- - - - -

amx1 + am2x2 + am3x3 + ………..amnxn ≤ bm


Pada contoh kita di depan, kita memiliki dua batasan, yaitu bahan baku A dan bahan baku B. bahan
baku A dibutuhkan oleh setiap unit produk I sebanyak 2 kg dan oleh setiap unit produk II sebesar 2
kg. Jadi banyaknya kebutuhan setiap unit produk I akan bahan baku A (2 kg) ini dikalikan dengan
jumlah produk I yang dihasilkan ( x1) ditambah dengan kebutuhan produk II yang dihasilkan (X2)
merupakan
kebutuhan bahan baku A untuk berproduksi, ini tidak boleh melebihi 6.000 kg. Sehingga formulasi
batasan bahan baku A ini sebagai berikut :

2X1 + X2 ≤ 6.000

Demikian pula untuk bahan baku B, dengan logika yang sama dapat disusun persamaan sebagai
berikut :
2X1 + 3X2 ≤ 9.000

c. Batasan non negatif

Batasan non-negatif mengharuskan hasil aktivitas itu (X1 dan X2) tidak boleh negatif. Harus positif
atau paling kecil sebesar 0. Hal itu dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

X1 ≥ 0 ; X2 ≥ 0

Secara keseluruhan formulasi dapat dicantumkan formulasi masalah di atas ke dalam fungsi-fungsi
sebagai berikut :

Fungsi Tujuan : Maksimumkan Z = 3X1 + 4X2

Batasan-batasan : (1) 2X1 + X2 ≤ 6.000

(2) 2X1 + 3X2 ≤ 9.000

(3) X1 ≥ 0 ; X2 ≥ 0

Bentuk formulasi di atas disebut bentuk standar dari linear programming, yaitu bentuk yang paling
sederhana dan bisa langsung dipecahkan. Tanda-tanda dari bentuk standar adalah :

a. Fungsi tujuan bersifat memaksimumkan


b. Batasan fungsional bertanda ≤ atau tidak boleh lebih dari nilai maksimum tertentu, dan
c. Batasan non-negatif bertanda ≥ 0 atau nilai ukuran aktivitas (Xj) minimum 0, tidak boleh negatif.
Setelah masalah diformulasikan, kemudian dipecahkan. Ada dua metode yang bisa dipakai untuk
menyelesaikannya yaitu : metode grafik dan metode simplex.

Metode grafik merupakan pemecahan masalah yang menggunakan bantuan grafik. Cara ini sederhana
tetapi hanya bisa dipakai kalau masalah itu hanya mempunyai dua aktivitas atau dua variabel saja. Kalau
lebih dari dua variabel tidak bisa diselesaikan dengan metode grafik, karena membuat grafik itu hanya
mudah kalau gambarnya hanya dua dimensi atau dengan dua sumbu.
Untuk memecahkan masalah yang mempunyai lebih dari dua aktivitas atau lebih dari dua variabel maka
pemecahannya menggunakan metode simplex. Metode simplex pemecahan masalah menggunakan
tabel matrix.

B. PEMECAHAN MASALAH DENGAN METODE GRAFIK

Langkah-langkah pemecahan masalah dengan metode grafik sebagai berikut :

1. Persiapan
Mula-mula menggambarkan sumbu horisontal yang mewakili ukuran aktivitas pertama (produk I
dalam contoh di atas) yang diberik simbol X 1, dan sumbu vertikal yang mewakili tingkat aktivitas
kedua atau jumlah produk II yang dihasilkan dalam contoh di atas yang diberi simbol X 2 seperti
terlihat pada gambar 4 berikut ini.

Gambar 3.1 : sumbu X1 dan X2

X2

X1
2. Menggambarkan semua batasan fungsional

Semua batasan kita tambahkan pada gambar di atas. Pada contoh di atas hanya ada dua batasan
fungsional, yaitu bahan baku A dan bahan baku B. batasan bahan baku A adalah

2X1 + X2 ≤ 6.000
Karena maksimum bahan baku A yang tersedia 6.000 kg , berarti penggunaan tidak lebih dari
6.000 kg. yang mula-mula kita gambarkan adalah penggunaan maksimumnya, baru kemudian
derah yang bisa dicapai. Maksimum penggnaan kapasitas bahan baku A ditunjukan oleh garis :

2X1 + X2 = 6.000

Untuk menggambarkannya mula-mula kita cari titik potongnya dengan sumbuh X2, yaitu
pada nilai X = 0, sehingga nilai X2 = 6.000. kemudian kita cari pula titik potong dengan sumbu X1
yaitu pada nilai X2 = 0 kita peroleh nilai X1 = 3.000. dari kedua titik itu kita bisa menggambar
maksimum penggunaan bahan baku A. tetapi garis ini menunjukan keadaan andaikata bahan baku
A yang ada dimanfaatkan sepenuhnya, pada hal sebenarnya hanya maksimumnya saja yang
terletak pada garis itu. Penggunaan yang lebih sedikit masih diperbolehkan. Oleh karena itu untuk
menunjukan daerah feasible (yang bisa dicapai) menurut batasan ini, kita beri tanda anak panah
ke kiri nawah dari garis itu seperti terlihat pada gambar 6 berikut ini.
Untuk batasan kedua (bahan baku B) juga kita gambarkan dulu garis maksimumnya dengan
cara seperti pada batasan pertama di atas, sehingga titik potong pada sumbu X1 pada titik X2 = 0
dan X1 = 4.500. titik potong dengan sumbu X2 terletak pada titik dimana nilai X1 = 0 dan nilai pada
garis X2 = 3000. Setelah bisa digambarkan garis maksimumnyamaka kita beri tanda anak panah ke
kiri bawah untuk menunjukan bahwa daerah yang feasible seperti terlihat pada gambar 6 berikut
ini.

3. Menggambarkan batasan non- negatif

Batasan non-negatif adalah batasan yang tidak mengijinkan nilai suatu variabel itu negatif,
berarti nilai X1 dan nilai X2 paling kecil sebesar 0, atau dengan simbol X1 ≥ 0 dan X2 ≥ 0. Untuk
menggambarkan batasan X1 ≥ 0 cukup dengan memberi anak panah ke kanan pada sumbuh X2,
karena pada sumbu itu nilai X1 = 0. Demikian juga untuk menggambarkan batasan X2 ≥ 0 kita
gambarkan anak panah ke atas. Pada sumbu X1, karena pada sumbu itu nilai X2 = 0. Hal ini dapat
dilihat dengan jelas pada gambar 7 berikut ini.

Gambar 3.2 batasan-batasan fungsional dan batasan-batasan non- negatif serta feasible.

X2

6.000 E
2X1 + X2

3.000 C

4.500
A D X1
0 3.000
2X1 + 3X2 = 9.000

Gambar di atas dapat kita ketahui daerah feasible (yang bisa dicapai) yang tidak melanggar batasan-
batasan yang ada, yaitu di sebelah kiri bawa atau pada garis maksimum batasan pertama (bahan
baku A), disebelah kiri bawah atau pada garis maksimum batasan kedua (bahan baku B), di atas atau
pada sumbu X1 di sebelah kanan atau pada sumbu X2 . Pada gambar di atas ditunjukan dengan
daerah yang dibatasi dengan titik-titik sudut OABC

4. Mencari titik optimal

Titik optimal adalah titik yang paling baik bagi kita. Karena fungsi tujuan pada masalah di atas
memaksimumkan suatu nilai Z. maka kita harus memilih salah satu dari titik-titik sudut di atas yang
mempunyai nilai Z tertinggi. Titik sudut O, A, B dan C merupakan titik-titik yang mempunyai
kemungkinan untuk terpilih sebagai titik optimal. Kita hanya memilih diantara titik-titik sudut itu,
karena titik-titik itu mempunyai nilai Z tertinggi atau terendah dari pada semua titik yang berada
pada garis diantara kedua titik sudut itu. Misalnya titik A dan titik B dihubungkan oleh suatu garis,
nilai Z pada titik A lebih rendah dari pada nilai Z pada titik B. Nilai Z pada semua titik yang berada di
sepanjang garis AB pasti lebih rendah dari pada nilai Z pada titik B dan lebih tinggi dari pada nilai Z
pada titik A.
Untuk mencari titik optimal bisa mebggunakan dua cara yaitu cara pertama dengan
menggambar garis fungsi tujuan, dan memilih titik yang dapay dicapai oleh garis Z, pada titik paling
kanan atas kalau yang dapat dicapai oleh garis Z itu kita gesaer sejajar. Cara kedua dengan mencari
nilai Z pada titik-titik sudut yang ada kemudian memilih titk sudut yang nilai Z nya tertinggi.

Cara I mengagambar fungsi tujuan untuk menemukan titik optimal

Untuk mencari titik optimal dengan menggambarkan fungsi tujuan, kita gunakan fungsi-fungsi
batasan seperti gambar 7 di atas; tetapi kita tambahkan didalamnya garis fungsi tujuan dengan
mengandaikan satu nilai Z tertentu untuk memudahkan sehingga hasilnya seperti gambar 8 berikut
ini. Misalnya andaikata nilai Z sebesar 6.000 maka titik potong pada sumbu X 1, pada titik X1 = 2. 000
dan titik potong pada sumbu X 2 = 1.500. Kemudian garis itu kita geser sejajar ke kanan atas sampai
pada salah satu titik sudut yang terjauh.b ternyata titik sudut yang terjauh itu adalah titk B. Titik B
terletak pada perpotongan garis batasan pertama (bahan baku A) dan batasan kedua ( bahan baku
B). Nilai X1 dan nilai X2 dapat dicari berdasarkan kedua persamaan batasan itu dengan cara sebagai
berikut :

2X1 + X2 = 6.000
2X1 + 3X2 = 9.000

2X2 = 3.000
X2 = 3.000/2 = 1.500

Nilai X1 dapat dicari dengan memasukan nilai X2 pada salah satu persamaan, misalnya kita ambil
persamaan batasan pertama.
2X1 + X2 = 6.000
2X1 +1.500 = 6.000
2X1 = 6.000 – 1.500
2X1 = 4.500
X1 = 2.250.

Dengan demikian kesimpulan produksi yang optimal adalah dengan menghasilkan :

Produk I ( X1 ) sebanyak : 2.250 unit


Produk II (X2) sebanyak : 1.500 unit

Jumlah sumbangan terhadap laba sebesar :

Z = 3 (2.250) + 4 (1.500) = 12.750

Gambar 3.3 mencari titik optimal dengan menggambarkan fungsi tujuan


X2

9.500 E

2X1 + X2

3.000 C

1.500 B

4.500
A D X1
0 2.000 3.000
2X1 + 3X2 = 9.000

Cara II Mencari titik optimal dengan menghitung nilai Z tiap-tiap titik sebagai berikut :

Titik O : X1 = 0, X2 = 0, maka nilai Z = 0

Titik A : X1 = 3.000, X2 = 0, maka nilai Z = 3(3.000) + 4(0) = 9.000


Titik B : Terletak pada perpotongan antara garis batasan bahan baku A dan batasan
bahan baku B. Oleh karena itu kita cari dulu titik potongnya dengan
menggunakan kedua persamaan batasan itu.

2X1 + X2 = 6.000

2X1 + 3X2 = 9.000

2X2 = 3.000
Jadi : X2 = 3.000/2 = 1.500

Nilai X2 dimasukan pada salah satu persamaan itu : misalnya persamaan I maka hasil
perhitungannya sebagai berikut :

2X1 + X2 = 6.000
2X1 +1.500 = 6.000
2X1 = 6.000 – 1.500
2X1 = 4.500
X1 = 2.250.

Z = 3 (2.250) + 4 (1.500) = 12.750

Titik C : X1 = 0, X2 = 3.000, maka nilai Z = 3(0) + 4(3.000) = 12.000

Ternyata titik-titik sudut itu yang terbesar nilai Z nya adalah titik B.

Jadi kesimpulannya :

Produk I prusahaan memproduksi X1 = 2.250 unit

Produk II prusahaan memproduksi X2 = 1.500 unit

Jumlah sumbangan terhadap laba sebesar :

Z = 3 (2.250) + 4 (1.500) = 12.750

LINEAR PROGRAMMING METODE SIMPLEX

A. Formulasi masalah
Cara dan bentuk formulasi masalah ke dalam persamaan linear, sama seperti cara dan bentuk
formulasi masalah yang dilakukan dalam metode grafik. Perbedaannya hanya pada langkah-langkah
untuk mencari pemecahan optimal.

B. Langkah-langkah pemecahan optimal dengan metode simplex

Formulasi masalahnya sama dengan yang dilakukan pada metode grafik. Misalnya pada contoh kita di
depan yakni PT. Kembangarum yang formulasinya sebagai berikut :

Fungsi Tujuan : Maksimumkan Z = 3X1 + 4X2

Batasan-batasan : (1) 2X1 + X2 ≤ 6.000

(2) 2X1 + 3X2 ≤ 9.000

(3) X1 ≥ 0 ; X2 ≥ 0

Langkah-langkah berikutnya adalah sebagai berikut :

1. Merubah bentuk fungsi tujuan


Fungsi tujuan dirubah sedemikian rupa sehingga, semua variabel yang belum diketahui
nilainya berada di sebelah kiri = misalnya dalam contoh di atas, fungsi tujuan :

Maksimumkan Z = 3X1 + 4X2 diubah menjadi

Maksimumkan Z – 3X1 – 4X2 = 0

2. Merubah bentuk batasan-batasan :


Semua batasan yang mula-mula bertanda lebih kecil atau sama dengan (≤) dirubah menjadi
tanda persamaan (=), dengan menggunakan suatu tambahan variabel yang sering disebut
sebagai “ Slack Variabel ” yang biasanya diberi simbol “S”. sebagai contoh misalnya batasan
pertama dari masalah di atas yang mula-mula berbentuk sebagai berikut :
2X1 + X2 ≤ 6.000 dirubah menjadi :

2X1 + X2 + S1 = 6.000, demikian juga dengan batasan ke dua


2X1 + 3X2 + S2 = 9.000

Dengan demikian maka bentuk persamaan-persamaan tadi menjadi sebagai berikut :

(1) 2X1 + X2 + S1 = 6.000

(2) 2X1 + 3X2 + S2 = 9.000

(3) X1 , X2 , S1, S2 ≥ 0
3. Menyusun persamaan-persamaan ke dalam tabel :
Persamaan-persamaan di atas kemudian kita masukan ke dalam tabel SIMPLEX, kalau
dinyatakan dalam simbol seperti terlihat pada Tabel 1, sedangkan kalau angka-angka pada
contoh yang kita masukan , seperti pada tabel 2 .

Tabel 1

V.D Z X1 X2 . . . Xn S1, S2 . . Sm N. K

Z 1 c c ... c 0 0 . . 0 0

S 0 a a ... a 1 0 . . 0 b

S 0 a a ... a 0 1 . . 0 b

. . .. .. . . . .. .. .. .. ..

S 0 a a ... a 0 0 . . 1 b

N.K. : adalah nilai bagian kanan dari tiap persamaan. Dalam persamaan fungsi tujuan
disebutkan bahwa kita akan memaksimumkan : Z – 3X1 – 4X2 = 0, sehingga kalau
kita lihat pada tabel 2, nilai kanan pada baris Z sebesar 0 . demikian pula pada
persamaan batasan pertama dan kedua, nilai sebelah kanan tanda sama dengan
masing-masing 6.000 dan 9.000.

V.D. : adalah variabel dasar, maksudnya variabel yang nilainya tercantum dalam kolom yang
paling kanan, yaitu pada kolom N.K. pada baris Z, variabel dasarnya Z dan nilai Z pada
tabel itu sebesar isian baris itu pada kolom N.K. yaitu 0. Hal ini disebabkan karena
belum melaksanakan aktivitas apa-apa, sehingga nilai Z masih 0. Pada baris batasan
pertama variabel dasarnya S, karena kita belum melaksanakan apa-apa, nilainya
seperti yang tercantum pada kolom N.K, sebesar 6.000 kg, karena sumber daya yang
pertama masih belum digunakan sama sekali. Demikian pula batasan ke dua, variabel
dasarnya S, yaitu penggunaan sumber daya kedua, nilainya tercantum pada kolom
N.K sebesar 9.000 kg. karena sumber daya ini masih utuh belum digunakan sama
sekali.

Dalam setiap tabel simplex harus kita perhatikan nahwa nilai variabel dasar pada
baris Z harus 0. Dalam tabel dua kita lihat bahwa variabel dasarnya S 1 dan S2, ternyata nilai S1
maupun S2 pada baris Z masing-masing 0. Kalau nilai variabel dasar itu tidak 0 maka tabel itu
tidak bisa diselesaikan dengan linear programming, mungkin terdapat kesalahan dalam
langkah sebelumnya. Di samping itu perlu diperhatikan pula bahwa nilai kanan pada setiap
baris batasan harus selalu positif.
Tabel 2

V.D Z X1 X2 S1 S2 N.K

Z 1 –3 –4 0 0 0

S1 0 2 1 1 0 6.000

S2 0 2 3 0 1 9.000

Tabel inilah nanti kita perbaiki sampai memperoleh hasil optimal. Tabel itu bisa kita baca
sebagai berikut : batasan bahan baku A masih utuh 6.000 kg belum digunakan (S1 = 6.000),
batasan bahan baku B masih utuh 9.000 kg (S2 = 9.000), aktivitas/produk pertama maupun
kedua belum dilaksanakan/dihasilkan, sumbangan terhadap laba belum ada (Z = 0).

4. Memilih kolom kunci :


Kolom kunci adalah kolom yang merupakan dasar untuk mengubah/memperbaiki tabel
di atas. Agar lebih cepat memperoleh pemecahan optimal, pililah kolom yang pada baris Z
mempunyai nilai negatif terkecil (yang paling negatif). Ternyata nilainya pada kolom X1
sebesar – 3 dan pada kolom X2 sebesar – 4. Jadi kolom X2 yang kita pilih sebagai kolom kunci.
Lingkarilah kolom itu untuk memudahkan ingatan sebagaimana terlihat pada tabel 3 .

Tabel 3

V.D Z X1 X2 S1 S2 N.K

Z 1 –3 –4 0 0 0

S1 0 2 1 1 0 6.000

S2 0 2 3 0 1 9.000

Selama dalam baris Z masih terdapat bilangan negatif maka tabel itu masih bisa
dirubah/diperbaiki, tetapi kalau sudah tidak ada yang negatif berarti tabel itu sudah optimal.

5. Memilih baris kunci :


Baris kunci adalah baris yang merupakan dasar untuk mengubah/mengadakan perbaikan.
Untuk menentukannya terlebih dahulu kita harus mencari indeks tiap-tiap baris dengan cara
sebagai berikut :
Nilai pada kolom N . K
Indeks baris=
Nilai pada kolom kunci

Pada baris batasan pertama nilai pada kolom NK sebesar 6.000 kg dan nilai pada kolom kunci
= 1, jadi indeksnya adalah 6.000/1 = 6.000; sedangkan untuk baris batasan kedua nilai pada
kolom NK adalah 9.000, dan nilai pada kolom kunci 3 maka indeksnya = 9.000/3 = 3.000,
(lihat tabel 4 berikut).

Tabel 4

V.D Z X1 X2 S1 S2 N.K

Z 1 –3 –4 0 0 0

S1 0 2 1 1 0 6.000

S2 0 2 3 0 1 9.000

Indeks :
6.000/1 = 6.000
9.000/3 = 3.000

Kemudian pilih baris kunci yaitu : baris yang mempunyai indeks positif terkecil yaitu baris
batasan kedua dengan indeks 3.000. kemudian baris kunci ini kita beri tanda dengan
melingkarinya agar lebih mudah mengingatnya. Kita lihat ada angka yang masuk pada kolom
kunci dan juga masuk pada baris kunci yang disebut angka kunci yaitu angka 3. Dengan kata
lain angka kunci adalah angka yang merupakan irisan antara baris dan kolom.

6. Merubah nilai-nilai baris kunci :


Mula-mula kita ubah dulu nilai-nilai baris kunci dengan membagi semua angkanya dengan
angka kunci. Jadi semua angka yang ada pada baris kunci dibagi dengan angka kunci yaitu 3,
di samping itu variabel dasarnya kita ganti dengan variabel yang kolomnya terpilih sebagai
kolom kunci, dalam contoh kita adalah variabel X 2. Hasilnya seperti terlihat pada tabel 5
berikut ini.

Tabel 5
V.D Z X1 X2 S1 S2 N.K

Z 1 –3 –4 0 0 0

I S1 0 2 1 1 0 6.000

S2 0 2 3 0 1 9.000

Z 1
II
S1 0

X2 0 2/3 1 0 1/3 3.000

7. Mengubah nilai-nilai di luar baris kunci :


Nilai baru dari baris-baris yang bukan merupakan baris kunci dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :

Nilai Nilai Koefisien


= baris – pada kolom X Nilai baru
baris
lama kunci baris kunci
baru

Untuk baris Z pada tabel di atas dapat dihitung sebagai berikut :

[ −3−4 0 0 0 ]
2 1
−(−4) [ 1 0 3.000
3 3 ]
[ −1/3 0 0 4 /312.000 ]

Untuk baris batasan pertama sebagai berikut :

[ 21 1 0 6.000 ]
2 1
−( 1) [ 3
1 0 3.000
3 ]
4 1
[ 3
01− 3.000
3 ]
Tabel 6
V.D Z X1 X2 S1 S2 N.K

Z 1 –3 –4 0 0 0

S1 0 2 1 1 0 6.000
I
S2 0 2 3 0 1 9.000

Z 1 −1/ 3 0 0 4/3 12.000

II S1 0 4/3 0 1 -1/3 3.000

X2 0 2/3 1 0 1/3 3.000

Arti dari tabel itu adalah sebagai berikut : produk pertama tidak dibuat (X 1, tidak muncul
dalam V.D.). produk kedua dihasilkan 3.000 unit ( X2 = 3.000) dan sumbangan terhadap laba
sebanyak Rp 12.000,--

8. Melanjutkan perbaikan
Selama masih ada nilai negatif pada baris Z ulangi langkah perbaikan mulai dari langkah ke 3
sampai langkah ke tujuh sampai diperoleh pemecahan optimal. Kalau sudah tidak ada nilai
pada baris Z yang negatif berarti alokasi sudah optimal.

Kalau tabel 6 di atas kita ubah lagi karena pada kolom X 1, nilai Z masih negatif. Jika kita ubah
mulai dari langkah ke 3 maka hasilnya seperti terlihat pada tabel 7 berikut ini. Pada tabel 6
itu yang terpilih sebagai kolom kunci adalah kolom X 1 dan yang terpilih sebagai baris kunci
adalah baris batasan pertama karena baris yang memiliki indeks terkecil. Yang menjadi angka
kunci adalah 4/3 dan hasilnya sebagai berikut :

1 0 ¾ -1/4 2.250

Nilai baru dari baris Z adalah :

−1 4
3 [
0 0 12.000
3 ]
−1 3 −1
−(
3
) 10
4 4[ 2.250 ]
15
[ 00
44
12.750 ]
Nilai baru baris batasan kedua sebagai berikut :
2
3 [
10 1/3 3.000 ]
2 3 1
[
−( ) 1 0 − 2.250
3 4 4 ]
−1 1
[ 01
2 2
1.500 ]
Tabel 7. Lanjutan perbaikan tabel 6

Tabel 7

V.D Z X1 X2 S1 S2 N.K

Z 1 –3 –4 0 0 0
I S1 0 2 1 1 0 6.000

S2 0 2 3 0 1 9.000

Z 1 −1/ 3 0 0 4/3 12.000

II S1 0 4/3 0 1 -1/3 3.000

X2 0 2/3 1 0 1/3 3.000

Z 1 0 0 ¼ 5/4 12.750

X1 0 1 0 ¾ -1/4 2.250
III

X2 0 0 1 -1/2 ½ 1.500

Keterangan : indeks pada tabel bagian II adalah


Indeks pada baris batasan pertama : 2.250
Indeks pada baris batasan kedua : 4.500 sehingga baris kunci diambil batasan pertama.

Dalam tabel di atas ternyata dalam baris Z sudah tidak memiliki nilai negatif lagi, berarti tabel ini
sudahoptimal. Arti dari hasil pemecahan ini sebagai berikut : produk pertama yang dihasilkan 2.250 unit
(X1 = 2.250). Produk kedua dihasilkan 1.500 unit (X2 = 1.500) dan sumbangan terhadap laba
sebesar Rp 12.750,-- (3 x 2.250 + 4 x 1.500)
C. Ketentuan-ketentuan tambahan

Dalam contoh yang dibahasa di atas masih sederhana, belum terdapat kesulitan dalam
penyelesaiannya. Kadang-kadang dalam menyelesaikan suatu masalah terdapat berbagai
kesulitan, baik dalam menghitungnya maupun dalam penggunaan aturan-aturan yang ada.
Berikut ini akan dibahas beberapa masalah yang akan dihadapi dan cara penyelesaiannya.

a) Terdapat dua atau lebih negatif terkecil (paling negatif) pada baris Z

Kalau dalam baris Z terdapat beberapa nilai negatif terkecil maka bisa kita pilih salah satu
dari kolom yang nilinya paling negatif tersebut. Yang manapun boleh, sebab meskipun
kolom kuncinya dan langkah penyelesaiannya berbeda, tetapi hasilnya akan sama saja.
Biasanya kita pilih kolom yang paling dahulu kita jumpai. Misalnya fungsi tujuan pada
contoh kita di depan dirubah menjadi : Maksimum Z = 3X1 + 3X2 + 2 X3, maka tabel
pertamanya akan terlihat seperti pada tebel 8 berikut ini.

Tabel 8

V.D Z X1 X2 X3 S1 S2 S3 N.K

Z 1 –3 –3 –2 0 0 0 0

S1 0 2 1 3 1 0 0 6.000

S2 0 2 3 1 0 1 0 9.000

S3 0 3 2 3 0 0 1 9.300

Dalam tabel di atas nilai X1 dan X2 pada baris Z sama, masing-masing sebesar – 3,
sehingga bisa dipilih salah satu kolom X1 atau X2 sama saja, meskipun langkah
penyelesaiannya berbeda tetapi hasil akhirnya akan sama saja. Biasanya dipilih kolom X 1
, karena yang lebih dahulu dijumpai sebelum X2.

b) Terdapat dua baris atau lebih memiliki index negatif terkecil

Kalau terdapat dua baris yang memiliki indeks negatif terkecil maka boleh dipilih salah satu dari
baris itu sebagai baris kunci, nanti hasil optimalnya akan sama saja, mesikpun langkahnya
berbeda. Biasanya dipilih baris yang lebih dahulu kita jumpai. Misalnya pada tabel 9. Baris kedua
(batasan pertama) dan baris ketiga (batasan ketiga) keduanyan memiliki indeks terkecil yang
sama nilainya (3.000), sehingga bisa dipilih salah satu diantara baris itu sebagai baris kunci, hasil
optimalnya sama saja.
Tabel 9

V.D Z X1 X2 X3 S1 S2 S3 N.K

Z 1 –3 –4 –2 0 0 0 0

S1 0 2 2 3 1 0 0 6.000

S2 0 2 3 1 0 1 0 9.000

S3 0 3 2 3 0 0 1 9.300

Indeks : Baris batasan pertama : 3.000


Baris batasan kedua : 3.000
Baris batasan ketiga : 4.650.
BAB IV
METODE TRANSPORTASI

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menghadapi masalah pembagian barang ke beberapa
tempat yang membutuhkan. Kalau tempat asala dari barang itu hanya satu membaginya mudah saja,
tetapi kalau tempat alokasi dilakukan dari beberapa tempat asal barang ke beberapa tujuan akan
menimbulkan masalah. Biasanya masalah pembagian ini tidak kita sadari, karena dalam membagi
biasanya dipentingkan pada pemenuhan kebutuhan meskipun kadang-kadang waktunya lama atau biaya
alokasinya mahal. Pada hal kalau diperhatikan benar, meskipun semua fasilitas yang ada sama kita bisa
melakukan alokasi dengan biaya (pengorbanan) yang lebih kecil. Berikut ini akan dibicarakan cara-cara
alokasi suatu macam barang dari beberapa tempat asal ke beberapa tujuan, yang bisa meminimumkan
pengorbanan (biaya).
Meskipun kebutuhan setiap tempat yang dituju sama, kapasitas tempat yang menyediakan sama
dan biaya pengangkutan setiap barang dari suatu tempat ke suatu tujuan tidak berubah, tetapi kalau
cara alokasinya dirubah, maka jumlah biaya pengangkutannya akan berbeda, karena biaya
pengangkutannya akan berbeda. Hal ini disebabkan karena biaya pengangkutan tiap barang dari tempat
yang berbeda ke suatu tempat tujuan atau dari suatu tempat asal ke tempat tujuan yang berbeda,
besarnya tidak sama. Misalnya kita memiliki dua sumber barang yaitu di lokasi A dan lokasi B yang akan
didistribusikan ke dua tujuan ke X dan ke Y. tersedianya barang di A sebanyak 200 buah barang dan di B
sebanyak 300 barang. Kebutuhan di X sebanyak 250 barang dan di Y juga sebanyak 250 barang. Biaya
pengangkutan setiap barang dari lokasi A ke X sebesar Rp 25,- dan ke Y Rp 10,-; sedangkan dari lokasi B
ke X Rp 11,- dan ke Y sebesar Rp 20. Untuk jelasnya dapat digambarkan seperti berikut ini.

Gambar 4.1

A 25 X

200 barang 250 barang


10

11
B 20 Y
300 barang 250 barang

Alokasi dapat dilakukan sebagai berikut :

Alokasi cara pertama : Biaya :


Dari A ke X 200 barang 200 x Rp 25,- = Rp 5000,-
Dari B ke X 50 barang 50 x Rp 11,- = Rp 550,-
Dari B ke Y 250 barang 250 x Rp 20,- = Rp 5000,-
Jumlah biaya = Rp10550,-

Alokasi cara kedua : Biaya :


Dari A ke Y 200 barang 200 x Rp 10,- = Rp 2000,-
Dari B ke Y 200 barang 50 x Rp 25,- = Rp 1250,-
Dari B ke X 250 barang 250 x Rp 11,- = Rp 2750,-
Jumlah biaya = Rp 6000,-

Dari kedua cara alokasi tersebut jelas terlihat bahwa biaya yang diakibatkannya berbeda meskipun
semua barang telah dialokasikan dn semua tempat yang membutuhkan telah terisi sepenuhnya. Cara
kedua ternyata lebih murah daripada cara pertama. Perbedaan biaya ini hanya disebabkan karena
perbedaan cara alokasi. Kalau kita mencoba mengalokasikan lagi, mungkin saja masih ada alternatif-
alternatif alokasi lain yang tentu saja biayanya berbeda, tetapi kita masih belum tahu alokasi seperti
apakah yang bisa meminimumkan biaya alokasi.
Metode transportasi ini mula-mula ditemukan oleh F.L.Hitchcock pada tahun 1941. Kemudian
dikembangkan oleh T.C. Koopmans. Pada tahun 1953 ditemukan cara pemecahan transportasi ini
dengan linear programming oleh G.B. Fantzig. Disamping itu W.W. Cooper dan A. Charnes menemukan
metode “ stepping stone “ yang dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1955 bisa ditemukan
“modified distribution method” (MODI). Dalam mempelajari metode transportasi akan dimulai dari
metode yang paling sederhana yaitu stepping stone, kemudian metode vogel, terakhir metode Modi.

I. Metode stepping stone


Metode stepping stone merupakan metode yang paling sederhana, namun untuk mencapai
pemecahan optimal sangat lama. Caranya adalah dengan menyusun data ke dalam tabel alokasi,
kemudian secara mencoba-coba kita ubah alokasi itu agar biaya alokasinya bisa lebih murah.
Demikian seterusnya sampai mendapatkan pemecahan yang optimal. Berikut ini akan diberikan
contoh agar lebih mudah memahami perhitungan alokasinya.
Contoh 1 :
Suatu perusahaan menjual barang hasil produksinya di 3 daerah penjualan, yaitu Yogyakarta,
Semarang dan Bandung. Perusahaan itu memiliki tiga buah pabrik, yang menghasilkan barang
tersebut, yaitu Magelang, Pati dan Kediri. Kebutuhan barang di tiap-tiap gudang penjualan sebagai
berikut :
Yogyakarta (Y) = 60 ton
Semarang (S) = 40 ton
Bandung (B) = 20 ton

Kapasitas produksi di tiap-tiap pabrik sebagai berikut :


Magelang (M) = 60 ton
Pati (P) = 40 ton
Kediri (K) = 20 ton
Biaya pengangkutan dari tiap-tiap gudang penjualan setiap ton (dalam ribuan rupiah) sebagai berikut:

Tabel : 4.1
Biaya pengangkutan barang setiap ton.

Ke Yogyakarta Semarang Bandung


Dari (Y) (S) (B)
Magelang (M) 15 3 18
Pati (P) 17 8 30
Kediri (K) 18 10 24
Perusahaan akan menentukan cara alokasi barang hasil produksinya tersebut ke gudang-gudang
penjualan secara optimal. Untuk memecahkan masalah tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai
berikut :

a. Menyusun data ke dalam tabel :


Data yang kita miliki terlebih dahulu harus disusun ke dalam tabel seperti di bawah ini.

Tabel 4.2
Tabel awal metode stepping stone

Ke Y S B Kapasitas
Dari
M 15 3 18 30

P 17 8 30 40

K 18 10 24 50

Kebutuhan 60 40 20 120

Dalam tabel 4.2 itu, biaya pengangkutan tiap barang diletakan pada segi empat kecil di sudut segi
empat besar. Kapasitas tiap-tiap pabrik (M,P dan K) kita letakan di kolom paling kanan dan
kebutuhan tiap-tiap gudang penjualan (Y, S dan B) kita letakan di baris paling bawah. Jumlah
kapasitas seluruh pabrik dan jumlah permintaan semua gudang penjualan sama yaitu 120 ton.

b. Mengisi tabel dari sudut kiri atas


Tabel di atas kemudian diisi. Untuk mengisinya pertama kali kita mengisinya dari sudut kiri atas,
kemudian sisanya diisikan ke kanan atau bawahnya, sampai akhirnya bisa mengisi sudut kanan
bawah. Cara pengisian ini sering disebut dari sudut barat laut (nort west corner), karena atas
dianggap utara dan kiri daianggap barat. Hasilnya seperti terlihat pada tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3
Pengisisan dari sudut kiri atas

Ke Y S B Kapasitas
Dari
M 15 3 18 30
30
P 17 8 30 40
30 10
K 18 10 24 50
30 20
Kebutuhan 60 40 20 120

Biaya pengangkutan = 30(15) + 30(17) + 10(8) + 30(10) + 20(24) = 450 + 510 + 80 +300 + 480 = 1820
Mula-mula kita isi segi empat MY sebesar 30, karena meskipun kebutuhan di Y 60 ton tetapi
kapasitas di M hanya 30 ton. Tentu saja barang dari M sudah terpakai semua, tetapi kebutuhan di Y
masih belum terpenuhi semua. Untuk itu kita kekurangan barng di Y dan pabrik P sebesar 30 ton,
berarti mengisi segi empat PY dengan 30 ton. Dengan demikian kebutuhan di Y 60 ton sudah
terpenuhi semua. Tetapi kapasitas pabrik P yang besarnya 40 ton baru dipakai 30 ton. Maka kita
kirimkan sisanya (10 ton) ke gudang S, berarti mengisi segi empat PS dengan 10 ton. Dengan
demikian seterusnya sampai terisi segi empat KB.

c. Memperbiki alokasi
Alokasi mula-mula dengan biaya pengangkutan sebesar 1820 (Rp 1.820.000,-). Biaya alokasi itu
masih bisa dikurangi dengan jalan merubah alokasinya. Dalam metode stepping stone, cara
merubahnya dengan coba-coba sebagai berikut :

Kita coba mengisi segi empat PB, tentu saja isian ini mengambil dari segi empat yang lain, denagn
sendirinya melibatkan 3 segi empat yang lain. Andaikata untuk mengisi PB diambilkan dari segi
empat KB maka segi empat PS harus dikurangi dan segi empat KS harus ditambah sebesar
pengambilan itu agar jumlah baris P tetap 40 dan jumlah kolom B tetap 20. Untuk mengetes
apakah pemindahan itu bisa menurunkan biaya, mula-mula dicoba 1 ton dulu, biar mudah
menghitungnya. Kalau dari percobaan itu bisa menurunkan biaya maka baru kita rubah dalam
jumlah yang lebih banyak. Penghematan biaya kalau pemindahan sebesar 1 ton sebagai berikut :

Dari KB ke PB = -24 + 30 = 6
Dari PS ke KS = -8 + 10 = 2
Jumlah =8

Kalau isian segi empat KB dikurangi 1 ton dan isian segi empat PB ditambah 1 ton maka biaya
angkut dari K ke B berkurang dengan 24 dan biaya angkut dar P ke B bertambah dengan 30,
sehingga ada kenaikan biaya sebesar 6.

Di samping itu bila isian segi empat PS dikurangi dengan 1 ton dan isian segi empat KS ditambah
dengan 1 ton maka biaya angkut dari P ke S berkurang dengan 8 dan dari K ke S bertambah
dengan 10, sehingga ada kenaikan 2. Jumlah kenaikan biaya dari segi empat itu = 8, jadi
perubahan itu malah akan menaikan biaya alokasi, maka jangan dilakukan.

Kemudian kita coba mengisi segi empat MS dari segi empat PS dan sebagai konsekwensinya kita
pindahkan juga isian dari segi empat MY ke segi empat PY. Kalau kita coba satu ton penghematan
biaynnya sebagai berikut :

Dari PS ke MS = -8 + 3 =- 5
Dari MY ke PY = -15 + 17 = 2
Jumlah = -3

Berdasarkan hasil percobaan di atas ternyata pemindahan itu bisa menghemat biaya. Sekarang
bisa dilakukan pemindahan yang lebih banyak, yaitu sebesar isian terkecil dari dua segi empat
yang dikurangi. Dalam hal ini segi empat MY berisi 30 dan segi empat PS berisi 10. Maka jumlah
yang bisa dipindahkan = 10 hasil perubahannya seperti pada tabel 4.4 berikut ini.

Tabel 4.4
Perubahan alokasi pada segi empat MS

Ke Y S B Kapasitas
Dari
M – 15 + 3 18 30
20 10
P + 17 – 8 30 40
40
K 18 10 24 50
30 20

Kebutuhan 60 40 20 120

Kita pindahkan 10 ton dari segi empat PS ke segi empat MS, sehingga segi empat PS menjadi kosong
dan segi empat MS menjadi berisi 10. Di samping itu kita pindahkan pula 10 ton dari segi empat MY
ke segi empat PY, sehingga isian segi empat MY tinggal 20 dan isian segi empat PY menjadi 40.
Ternyata jumlah alokasi biayanya sekarang lebih murah yaitu :
Jumlah biaya alokasi = 20(15) + 10 (3) + 40(17) + 30 (10) + 20(24) = 1790.

Perubahan itu kita lanjutkan lagi sampai mendapat pemecahan optimal. Misalnya tabel 4.4 akan
kita rubah lagi, yaitu dengan mengisi segi empat CW, kalau coba dipindahkan 1 ton dulu maka
perubahan biayanya sebagai berikut :

Dari BW ke CW = – 17 + 18 = + 1
Dari CX ke BX = –10 + 8 = – 2
Jumlah =–1
Karena terjadi penghematan maka kita pindahkan 30 ton yaitu isian terkecil diantara segi empat
BW (=40) dan segi empat CX (= 30). Hasilnya seperti terlihat pada tabel 4.5

Tabel 4.5
Perubahan alokasi pada segi empat MS
Ke Y S B Kapasitas
Dari
M 15 3 18 30
20 10
P – 17 + 8 30 40
10 30
K 18 10 24 50
+ 30 – 20

Kebutuhan 60 40 20 120
Biaya alokasinya menjadi lebih murah lagi, yaitu sebesar 20 (15) + 10 (3) + 10 (17) + 30 (8) + 30
(18) + 20 (24) = 1760

Demikian seterusnya, perubahan itu bisa dilanjutkan sampai memperoleh alokasi dengan biaya
terkecil. Selama masih bisa menurunkan biaya, masih bisa dilanjutkan terus. Tetapi untuk mencari
pemecahan optimal dengan metode ini agak lama karena tidak ada petunjuk segi empat yang mana
yang sebaiknya diisi biar cepat selesai, disamping itu tanda optimalnya tidak jelas bisa diketahui.

2. Metode Vogel

Metode Vogel adalah metode alokasi yang paling mudah, tetapi kadang-kadang hasilnya kurang
optimal. Prosedur untuk mengerjakannya sebagai berikut :

a. susunlah data yang ada ke dalam tabel alokasi, seperti dalam metode Stepping Stone.

b. Carilah indeks tiap-tiap baris dan tiap-tiap kolom. Indeks sebesar selisih antara biaya terndah
dengan nomor dua terndah dalam kolom/baris itu. Kalau kita cari indeks menggunakan contoh
di depan, maka dapat terlihat seperti tabel 4.6 berikut. Biaya transportasi terendah dari baris M
adalah sebesar 3 (pada segi empat MS) dan nomor dua dari yang terendah adalah sebesar 15
(pada segi empat MY). Jadi nilai indeks baris M = 15-3. Indeks baris yang lain serta kolom yang
ada sebagai berikut :

Baris M = 15-3 = 12
Baris P = 17-8 = 9
Baris K = 18-10 = 8
Kolom Y = 17-15 = 2
Kolom S = 8-3 = 5
Kolom B = 24-18 = 6

Tabel 4.6
Nilai indeks Baris Dan Kolom
Ke Y S B Kapasitas indeks
Dari
M 15 3 18 30 12
X 30 X
P 17 8 30 40 9

K 18 10 24 50 8

Kebutuhan 60 40 20 120

indeks 2 5 6

c. Mengisi satu segi empat


Pertama-tama kita pilih baris atau kolom yang indeksnya terbesar, pada tabel/kolom itu dipilih
segi empat itu diisi sebesar isian maksimum yang bisa dilakukan pada tabel 4.6 ternyata indeks
baris M yang terbesar, pada baris itu dipilih segi empat MS untuk diisi, karena biaya
transportasi pada segi empat itu terendah pada baris itu. Isian sebesar 30, karena meskipun
permintaan di S 40, namun kapasitas di M hanya 30. Karena kapasitas baris M sudah terpakai
seluruhnya maka baris itu tidak bisadiisi lagi, semua segi empat yang belum diisi kita beri tanda
silang.

d. Memperbaiki indeks
Setelah diadakan pengisian berarti salah satu dari baris atau kolom sudah tidak bisa diisi lagi.
Dalam contoh kita, baris M sudah terpenuhi seluruhnya, maka baris itu kita lupakan. Akibatnya
indeks kolom Y, S dan B berubah. Kolom Y,S dan B berubah sebagai berikut :

Indeks kolom Y = 18-17 = 1


Indeks kolom S = 10-8 = 2
Indeks kolom B = 30-24 = 6
Indeks kolom B tetap 6 akan tetapi dihitung berdasarkan angka yang berbeda.

Tabel 4.7
Perbaikan indeks dan kelanjutan alokasi
Ke Y S B Kapasitas indeks
Dari
M 15 3 18 30 12
X 30 X
P 17 8 30 40 9
10
K 18 10 24 50 8
X

Kebutuhan 60 40 20 120

indeks 2 5 6
1 2 6

e. Mengisi satu segi empat lagi


Dengan prosedur yang sama seperti langkah c kita isi salah satu segi empat. Pada baris P
(indeks terbesar) kita isi segi empat PS sebanyak 10, karena permintaan di S yang belum
terpenuhi tinggal 10 meskipun kapasitas di P ada 40. Setelah pengisian itu maka permintaan di
S sudah terpenuhi semua maka kolom S tidak bisa diisi lagi, segi empat yang osong diberi tanda
sialng.
f. Melanjutkan alokasi.
Dengan prosedur yang sama dilakukan perbaikan indeks, hasilnya seperti pada tabel 4.8

Tabel 4.8
Perbaikan indeks dan kelanjutan alokasi

Ke Y S B Kapasitas indeks
Dari
M 15 3 18 30 12
X 30 X
P 17 8 30 40 9 13
30 10 X
K 18 10 24 50 8 6
X

Kebutuhan 60 40 20 120

indeks 2 5 6
1 2 6

Dalam isian ( tabel 4.9) terakhir tinggal dua segi empat yang belum terisi. Untuk mengisinya tidak usah
menghitung indeks yang baru tetapi dilaokasikan secara langsung, dimulai dari segi empat termurah.

Tabel 4.9
Perbaikan indeks dan kelanjutan alokasi

Ke Y S B Kapasitas indeks
Dari
M 15 3 18 30
X 30 X
P 17 8 30 40 9 13
30 10 X
K 18 10 24 50 8 6
30 X 20

Kebutuhan 60 40 20 120

indeks 2 5 6
1 2 6

Dengan selesainya pengisian tabel di atas maka dapat diperhitungkan alokasi biaya sebagai
berikut :
Alokasi Biaya = 30 (3) + 30(17) + 10 (8) + 30 (18) + 20(24)
= 90 + 510 + 80 + 540 + 480 = 1700

D. Metode Modi
Istilah Modi di sini singkatan dari “ Modified Distribution”. Dalam metode ini kita juga melakukan
perubahan alokasi secara bertahap, tetapi dasar untuk melakukan perubahan itu cukup jelas. Adapun
tahap untuk mencari alokasi yang optimal adalah sebagai berikut :

a. Mengisi alokasi dari sudut kiri atas

Mula-mula data disusun ke dalam tabel, kemudian diisi dari sudut kiri atas. Andaikata dari contoh
1 di depan kita susun dalam tabel dan diisi dari sudut kiri atas ke kanan bawah maka hasilnya
seperti terlihat pada tabel 4.10, dengan jumlah biaya alokasi 1820 (Rp 1.820.000,-).

Tabel 4.10
Tabel Pertama Dari Metode Modi
Ke Y S B Kapasitas
Dari
M 15 3 18 30
30 X
P 17 8 30 40
30 10
K 18 10 24 50
30 20

Kebutuhan 60 40 20 120

indeks 2 5 6

b. Mencari nilai baris dan kolom


Nilai baris dan kolom harus dicri lebih dahulu. Untuk baris pertama selalu diberi nilai 0 sedangkan
baris yang lain serta kolom kita cari dengan persamaan :

Ri + Kj = Cij

Ri adalah nilai baris i


Kj adalah nilai kolom j
Cij adalah biaya angkut dari i ke j

Anda mungkin juga menyukai