Anda di halaman 1dari 20

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN INTELEKTUAL, KECERDASAN

EMOSIONAL, DAN KECERDASAN SPIRITUAL

IQ, EQ DAN SQ
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini
mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah
kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah
suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu,
inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai
tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. sedangkan IQ atau
singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan.
Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang
dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari
pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli
psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas
Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan
norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada
masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang
pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu
tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak
sampai usia 13 tahun.
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita.
Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun
demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang
tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel
saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang
itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 %
dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami
penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia
Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut
penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya
tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah
dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.
IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila
ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan
seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan
penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik
(demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak
adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si
anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan
bahasanya akan cepat dan banyak.
Rumus kecerdasan umum, atau IQ yang ditetapkan oleh para ilmuwan adalah :
Usia Mental Anak
x 100 = IQ
Usia Sesungguhnya
Contoh : Misalnya anak pada usia 3 tahun telah punya kecerdasan anak-anak yang rata-rata baru bisa
berbicara seperti itu pada usia 4 tahun. Inilah yang disebut dengan Usia Mental. Berarti IQ si
anak adalah 4/3 x 100 = 133.
Interpretasi atau penafsiran dari IQ adalah sebagai berikut :
TINGKAT KECERDASAN IQ
Genius Di atas 140
Sangat Super 120 - 140
Super 110 - 120
Normal 90 -110
Bodoh 80 - 90
Perbatasan 70 - 80
Moron / Dungu 50 - 70
Imbecile 25-50
Idiot 0 - 25
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
EQ adalah istilah baru yang dipopulerkan oleh Daniel Golleman. Berdasarkan hasil
penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman (1995) berkesimpulan bahwa setiap manusia
memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional
digerakkan oleh kemampuan intelektual atau “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran
emosional digerakkan oleh emosi.
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa
“kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 %
ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis
itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi
perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya;
bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang
buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan
mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu mensinergikan potensi
intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari
berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional.
Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak
emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif
di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
Beberapa pengertian EQ yang lain, yaitu :
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan individu untuk mengenal emosi diri sendiri,
emosi orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola dengan baik emosi pada diri sendiri
dalam berhubungan dengan orang lain (Golleman, 1999). Emosi adalah perasaan yang dialami
individu sebagai reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari orang
lain. Emosi tersebut beragam, namun dapat dikelompokkan kedalam kategori emosi seperti;
marah, takut, sedih, gembira, kasih sayang dan takjub (Santrock, 1994).
Kemampuan mengenal emosi diri adalah kemampuan menyadari perasaan sendiri pada saat
perasaan itu muncul dari saat-kesaat sehingga mampu memahami dirinya, dan mengendalikan
dirinya, dan mampu membuat keputusan yang bijaksana sehingga tidak ‘diperbudak’ oleh
emosinya.
Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan menyelaraskan perasaan (emosi) dengan
lingkungannnya sehingga dapat memelihara harmoni kehidupan individunya dengan
lingkungannya/orang lain.
Kemampuan mengenal emosi orang lain yaitu kemampuan memahami emosi orang lain (empaty)
serta mampu mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain yang dimaksud.
Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan mendorong dan mengarahkan segala daya
upaya dirinya bagi pencapaian tujuan, keinginan dan cita-citanya. Peran memotivasi diri yang
terdiri atas antusiasme dan keyakinan pada diri seseorang akan sangat produktif dan efektif
dalam segala aktifitasnya
Kemampuan mengembangkan hubungan adalah kemampuan mengelola emosi orang lain atau
emosi diri yang timbul akibat rangsang dari luar dirinya. Kemampuan ini akan membantu
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain secara memuaskan dan mampu berfikir
secara rasional (IQ) serta mampu keluar dari tekanan (stress).
Manusia dengan EQ yang baik, mampu menyelesaikan dan bertanggung jawab penuh pada
pekerjaan, mudah bersosialisasi, mampu membuat keputusan yang manusiawi, dan berpegang
pada komitmen. Makanya, orang yang EQ-nya bagus mampu mengerjakan segala sesuatunya
dengan lebih baik.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh
yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai
sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat
panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati.
Malahan sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang
didapat dari panca indra.
Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk
kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang
lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non
verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus
kehidupan sosialnya juga baik. Tidak lain karena orang tersebut dapat merespon tuntutan
lingkungannya dengan tepat .
Di samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen,
visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan diri. Oleh karena itu EQ
mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya (intra personal) seperti self awamess
(percaya diri), self motivation (memotivasi diri), self regulation (mengatur diri), dan terhadap
orang lain (interpersonal) seperti empathy, kemampuan memahami orang lain dan social skill
yang memungkinkan setiap orang dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik .
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat
menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan. Mantan Presiden Soeharto dan
Akbar Tandjung adalah contoh orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu
mengendalikan emosinya dalam berkomunikasi.
Dalam bahasa agama , EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas". Pusat dari EQ
adalah "qalbu" . Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang
dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat
diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat , integritas dan komitmen. Hati
merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar,
menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.
3. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Selain IQ, dan EQ, di beberapa tahun terakhir juga berkembang kecerdasan spiritual (SQ =
Spritual Quotiens). Tepatnya di tahun 2000, dalam bukunya berjudul ”Spiritual Intelligence : the
Ultimate Intellegence, Danah Zohar dan Ian Marshall mengklaim bahwa SQ adalah inti dari
segala intelejensia. Kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-
nilai spiritual. Dengan adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai
kebahagiaan hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga bisa melihat apa
potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan juga ada
kekurangannya. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal itu. Intelejensia spiritual membawa
seseorang untuk dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang
Maha Pencipta.
Denah Zohar dan Ian Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan
untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku
dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi
dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan,
karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya
IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan
kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah
model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul
(Spiritual).
Selain itu menurut Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001, IQ
bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga
perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’
Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat
internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik
kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi
oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling sedemikian rupa.
Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu
memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah,
bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu
membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Mengenalkan SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti
berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat
membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau
nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki
nilai-nilai itu sendiri.
http://putusutrisna.blogspot.co.id/2011/02/hubungan-antara-kecerdasan-intelektual.html

Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan


Spiritual (SQ)
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)

Kecerdasan ini ditemukan pada sekitar tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan sebagai pengukur
kualitas seseorang pada masanya saat itu, dan ternyata masih juga di Indonesia saat ini. Bahkan untuk
masuk ke militer pada saat itu, IQ lah yang menentukan tingkat keberhasilan dalam penerimaan masuk
ke militer.

Kecerdasan ini terletak di otak bagian Cortex (kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah kecerdasan yang
memberikan kita kemampuan untuk berhitung, bernalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta
inovasi. Atau lebih tepatnya diungkapkan oleh para pakar psikologis dengan “What I Think“.
2. Kecerdasan Emosional (EQ)

Mulai menjadi trend pada akhir abda 20. Kecerdasan ini di otak berada pada otak belakang manusia.
Kecerdasan ini memang tidak mempunya ukuran pasti seperti IQ, namun kita bisa merasakan kualitas
keberadaannya dalam diri seseorang. Oleh karena itu EQ lebih tepat diukur dengan feeling.

Kecerdasan emosional digambarkan sebagai kemampuan untuk memahami suatu kondisi perasaan
seseorang, bisa terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Banyak orang yang salah memposisikan
kecerdasan Emosional ini di bawah kecerdasan intelektual. Tetapi, penelitian mengatakan bahwa
kecerdasan ini lebih menentukan kesuksesan seseorang dibandingkan dengan kecerdasan sosial.
Kecerdasan ini lebih tepat diungkapkan dengan “What I feel”

3. Kecerdasan Spiritual (SQ)

Pertama kali digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan
Oxford University. Dikatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah sebagai kecerdasan untuk menghadapi
persoalan makna atau value untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya.

Kecerdasan ini terletak dalam suatu titik yang disebut dengan God Spot. Mulai populer pada awal abad
21. Melalui kepopulerannya yang diangkat oleh Danar Zohar dalam bukunya Spiritual Capital dan
berbagai tulisan seperti The Binding Problem karya Wolf Singer.

Kecerdasan inilah yang menurut para pakar sebagai penentu kesuksesan seseorang. Kecerdasan ini
menjawab berbagai macam pertanyaan dasar dalam diri manusia. Kecerdasan ini menjawab dan
mengungkapkan tentang jati diri seseorang, “Who I am“. Siapa saya? Untuk apa saya diciptakan?

Bagaimana Kecerdasan Intelektual (IQ) Saja Tanpa Kecerdasan Emosional (EQ)?

Sahabatku, banyak di dunia ini hanya diukur dari kecerdasan IQ saja. Padahal menurut penelitian para
pakar, kecerdasan IQ hanya menyumbang 5% (maksimal 10%) dalam kesuksesan seseorang. Mulai dari
kita belajar di Sekolah Dasar dari sistem NEM sampai kuliah dengan sistem IPK. Bahkan tidak jarang
banyak perusahaan yang merekrut seseorang berdasarkan dari test IQ saja.

Seperti apa IQ tanpa EQ? Coba kita pahami melalui kisah berikut

Eki memang tidak terlalu pintar dalam mata kuliah statistik. Entah kenapa pelajaran ini terasa berat dan
susah ‘nyantol’ di otaknya. Di semester kemaren dia mendapatkan nilai D untuk pelajaran ini. Namun Eki
tidak putus asa, semester berikutnya dia mencoba lagi. Berbagai ramuan penahan rasa kantuk dia
minum hampir setiap malamnya hanya untuk menjadi teman penahan agar tetap melek dan konsen
dalam belajar. Akhirnya masa akhir semester pun tiba, dan kini dia mendapatkan nilai B. Betapa
senangnya Eki ketika itu, rasanya ingin dia memberikan bingkai figura daftar nilai B tersebut dan
memasangnya di kamar untuk jadi kenangan sampai akhir hidup.

Di saat kesenangannya itu dia bercerita kepada Iko salah satu seorang temannya. “Ko akhirnya statistik
ku dapet nilai B“, ujar Eki dengan hebohnya bagai mendapatkan durian runtuh.

“Ah baru dapat nilai B saja udah seneng, aku yang dapet A aja biasa-biasa aja“, sahut Iko. Iko memang
terkenal pintar di kelasnya. Tak pernah luput darinya rangking 3 besar semenjak SD.

Eki yang saat itu sedang berbinar-binar tiba-tiba langsung menciut hatinya ketika mendegar komentar
dari Iko. Bagaikan kompor yang sedang menyulut tinggi tiba-tiba padam karena tersiram air.

Coba kita lihat bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Iko. Memang dia pintar, tetapi tidak mampu
memahami perasaan yang dialami oleh Eko. Banyak orang di dunia ini yang pintar namun tidak mampu
berkomunikasi secara perasaan kepada orang lain. Bagaikan paku yang pernah dihujam ke sebatang
kayu, walaupun bisa dicopot kembali namun lubang itu akan masih tetap ada.

Sekarang kita lihat bagaimana EQ bekerja terhadap situasi seperti ini

“Hi, kenapa kamu terlihat sedih hari ini Ki?” sapa Intan begitu masuk ke kelas.

“Yah, aku cuman dapet nilai B dalam statistik” ujar Eki dengan nada lesu karena habis terciutkan oleh
perkataan si Iko.

“Wow hebat donk, kamu ngulang lagi kan kemaren gara-gara dapet D. Bagus donk sekarang dapet B“,
hibur Intan kepada Eki.

“Iya, tapi si Iko dapet A dan begitu aku cerita kepadanya….“

“Yaah… kamu tau sendiri kan si Iko orangnya gimana? Tak perlu risau, udahlah jangan kau masukkan ke
dalam hati omongan dia. Aku tahu koq perjuangan kamu, kamu udah berusaha giat untuk mengejar nilai
ini. Dan ingat tidak bahkan hampir setiap minggu kamu bertanya kepada orang tentang pelajaran ini
yang gak kamu ngerti. Malah aku salut ngelihat mahasiswa kayak kamu Ki” ujar Intan membanggakan
Eki.

Dan senyuman Eki mulai terlihat di bibirnya.

Begitulah EQ itu bekerja dan mampu memberikan kesuksesan dalam diri kita. EQ dan komunikasinya
yang baik mampu memberikan apresiasi ke dalam diri sendiri dan orang lain seperti yang dilakukan
Intan. Walau Intan sebenarnya juga tidak kalah pintarnya dalam pelajaran dibandingkan Iko, namun dia
juga pintar memahami perasaan orang lain. EQ membantu kita menjadi seseorang yang sukses dalam
bersosial dan berkehidupan.
Bagaimana Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan Emosional (EQ) Tanpa Kecerdasan Spiritual
(SQ)?

Kita sudah paham apa itu IQ dan EQ serta bagaimana keduanya apabila bekerja bersinergi. Namun
apabila kedua kecerdasan tersebut tidak disinergikan dengan SQ maka akan berakibat fatal. SQ sendiri
bukanlah untuk menjadi “ahli pertapa”, duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas.

Seperti apa punya IQ dan EQ tanpa SQ?

Banyak orang cakap dan pintar di dunia ini, salah satunya adalah Hittler. Kita semua mengenal Hittler
sebagai pemimpin yang handal. Mampu mempengaruhi sebagian belahan dunia untuk berada di dalam
kekuasaannya. Perlu diketahui pula, hittler termasuk salah seorang pempimpin yang hebat dalam hal IQ
dan EQ. Buktinya dia mampu dielu-elukan oleh para pengikutnya. Bahkan ada sebuah statemen yang
berasal dari dia, “Seribu kebohongan akan menjadi satu kebenaran“.

Namun dibalik kejayaannya, dia mempunyai niatan yang buruk. Tujuan yang tidak mulia. Itulah
gambaran cakap IQ dan EQ namun tanpa SQ, tidak menyadari makna/value dalam diri serta siapa dirinya
dan untuk apa dirinya diciptakan.

Contoh lain adalah, Yakuza. Kita mengenal berbagai bentuk sindikat di dunia. Kalau di Itali ada namanya
mafia, di Jepang dikenal dengan Yakuza. Sebuah sindikasi Yakuza terdiri dari orang-orang yang hebat dan
solid. Mereka memiliki kemampuan berbisnis dan berorganisasi dengan cakap. Kultur mereka
mempunyai semangat juang yang tinggi, loyalitas yang hebat, serta solidaritas yang kuat. Namun
jeleknya tujuan mereka (pemaknaan/value) bukan pada tujuan yang mulia. Bahkan apabila mereka
melakukan kesalahan yang mengakibatkan membahayakan temannya, mereka harus memotong jari
mereka.

Bagaimana di Indonesia? Tentu saja di Indonesia terdapat banyak orang pintar dan cakap (dan saya
sangat yakin itu). Tetapi banyak yang berakhlak dan bermoral buruk. Bagaimana dengan koruptor?
Tentu saja menjadi seorang koruptor harus memiliki EQ dan IQ yang baik. Dia cerdas dan harus jago
berstrategi. Jago bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang untuk mau diajak
berspekulasi dan berkompromi dengannya. Semangat juang tinggi? Tentu, mereka nampak selalu prima
dan percaya diri. Namun akhlak dan moralnya? Masih bobrok. Itulah cakap IQ dan EQ namun tidak
memiliki SQ.

Bahkan menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang dijiwai dengan SQ.
Banyak seseorang yang diPHK dari pekerjaannya bukan karena mereka tidak pintar, bukan karena
mereka tidak pintar mengoperasikan sesuatu, bahkan bukan karena ketidak mampuannya
berkomunikasi. Tetapi karena tidak memiliki integritas. Tidak jujur dan tidak bertanggung jawab.

Inilah gambaran bagaimana SQ masih belum bekerja di banyak sistem di bumi ini.
IQ digambarkan sebagai “What I think?“, EQ “What I Feel”, dan SQ adalah kemampuan menjawab “Who
I am“. Siapa saya? Dan untuk apa saya diciptakan. Tuhan Maha Adil, sebenarnya kita memiliki semua
kecerdasan ini tetapi tidak pernah kita asah bahkan kita munculkan. Untuk menjadi seorang pribadi yang
sukses kita harus mampu menggabungkan dan mensinergikan IQ, EQ, dan SQ. Ilmu tanpa hati adalah
buta, sedangkan ilmu tanpa hati dan jiwa adalah hampa. Ilmu, hati, dan jiwa yang bersinergi itulah yang
memberikan makna.

[ SekolahDasar.Net | Rabu, 25 November 2009 ]

Sumber: http://www.sekolahdasar.net/2009/10/kecerdasan-intelektual-iq-
kecerdasan.html#ixzz3sNo0XiTN

pentingnya 3 kecerdasan dalam pendidikan


Standar

Juni 4, 2013 1 Komentar

BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Pendidikan adalah cermin kepribadian bangsa, fenomena yang terjadi dalam masyarakat dewasa
ini mencerminkan ketidak efektifan sistem pendidikan nasional dalam membina karakter dan
moral spiritual pendidikan kita. Dalam bait-bait lagu nasional kita berbunyi “bangunlah jiwanya,
bangunlah badannya untuk Indonesia raya, seperti itulah gambaran cita-cita luhur para pendahulu
kita yang seharusnya menjadi salah satu dasar dan acuan yang kuat untuk merancang dan
menerapkan sistem pendidikan nasional kita.
Hal ini tentunya esensial dengan amanat UU NO 20/2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab“. Tapi apa yang terjadi pada
penerapannya sistem pendidikan kita saat ini yang lebih berorientasi pada pengembangan
kecerdasan intelektual saja (IQ) saja dan dimensi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan
emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) di marginalkan.
Bahkan, jika kita melihat data hasil survey dari KPAI yang menyatakan bawa 32% pelajar
Indonesia pernah melakukan hubungan suami istri (seks) diluar nikah. Tentunya ini sudah cukup
menjadi bukti ketidakefektifan penerapan sistim pendidikan kita saat ini.
Itulah mengapa, penerapan tiga dimensi kecerdasan sangat penting dalam sistim pendidikan kita,
sebagai solusi dalam membentuk karakter siswa yang ideal dengan amanat Undang-undang kita.
Permasalahan inilah yang menginspirasi penulis untuk menyumbangkan ide-ide dan pemikiran
tentang solusi multi complex problem pendidikan kita. Dan menjadi alas an penulis untuk
mengambil tema ini. “pentingnya penerapan tiga kecerdasan dalam pendidkan”.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah tiga kecerdasan itu?
2. Apa pentingnya tiga kecerdasan bagi pendidikan?
3. Bagaimana Strategi penerapan tiga kecerdasan dalam pendidikan?
C. Tujuan Karya Tulis
1. Untuk mengetahui pengertian tiga kecerdasan
2. Untuk mengetahui pentingnya tiga kecerdasan dalam pendidikan
3. Untuk mengetahui strategi penerapan tiga kecerdasan dalam pendidikan
D. Manfaat Karya Tulis
Adapun manfaat karya tulis dapat di rangkum menjadi 2 bagian yaitu:
1. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat di jadikan salah satu sumber informasi atau input
yang dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan khususnya ilmu
pendidikan.
2. Manfaat Teoritis
Karya tulis ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pelaksanaan pendidikan atau kepala sekolah,
para guru, dosen dan mahasiswa IKIP Mataram.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Hal-hal yang di bahas dalam kajian pustaka ini adalah pengertian kecerdasan dan pengertian tiga
bagian kecerdasan.

A. Kecerdasan
Kecerdasan adalah kapasitas global atau terpadu yang dimiliki seseorang yang memungkinkan ia
bertindak dengan tujuan, berfikir rasional, dan efektifitas dalam menangani lingkungan.
(Wechler, 1993).

Ada tiga kecerdasan yang dibahas disini yaitu:


1. Kecerdasan intelektual (IQ)
Menurut Stephen R. Covey, IQ adalah kecerdasan manusia yang berhubungan dengan
mentalitas, yaitu kecerdasan untuk menganalisis, berfikir, menentukan kausalitas, berfikir
abstrak, bahasa, visualisasi, dan memahami sesuatu.
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
Kecerdasan emosional digambarkan segabai kemampuan untuk memahami suatu kondisi
perasaan seseorang, bisa terhadap diri sendiri ataupun orang lain, kecerdasan ini lebih tepat
diungkapkan dengan What I Feel.
3. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi peroalan makna atau value,
yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalan konteks makna yang lebih
luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindalan atau jalan hidup seseoarang lebih
bermakna di bandingkan dengan yang lain. (Danar Zohar dan Ian Marshal)

B. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik,
yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang
secara optimal. Dengan demikian, seyogyanya menjadi wahana strategis bagi upaya
mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun Indonesia seutuhnya
dapat tercapai (Depdiknas, 2010).

Pendidikan adalah studi filosofis yang pada dasarnya bukan hanya alat untuk mengalihkan cara
hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi, melainkan juga merupakan agent (lembaga)
yang berugas melayani hati nurani masyakat dalam perjuangannya mencapai hari yang lebih
baik. (Van Cleve Morris)

Dr. Mohammad Fadhil al- Djamaly berpendapat bahwa pendidikan adalah proses mengarahkan
derajat kemanusiaan sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh
dari luar).

BAB III
METODE PENELITIAN
Salah satu faktor penting dalam karya tulis ini adalah metode penelitian yang digunakan
sehubungan dengan hal tersebut dalam bab III akan diuraikan tentang metode penelitian dalam
menyusun karya tulis ilmiah ini.

Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode observasi dan
kepustakaan. Dalam hal ini penulis mengamati keadaan dan situasi pendidikan, dan juga
membaca buku-buku yang berkaitan dengan penyusunan makalah ini.

BAB VI
PEMBAHASAN

A. Mengenal Tiga Kecerdasan


Era globalisasi, itulah sebutan era kita sekarang ini dengan perkembagan dan kemajuan dalam
segala bidang pengetahuan dan sains. Salah satunya adalah penelitian tentang fungsi otak
manusia yang telah sangat berkembang dan menghasilkan tiga penemuan besar tentang
kecerdasan manusia yang melipti:

1. Kecerdasan Intelektual (IQ)


Kecerdasan ini di temukan pada sekitar tahun 1912 oleh William Sterm. Terletak di otak bagian
Cortex (kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah kecerdasan yang memberikan kita kemampuan
untuk berlogika, berhitung, beranalogi, berimajinasi dan memiliki daya kreasi dan inovasi. Para
pakar psikologi mengungkapkannya dengan What I Think?

Dan menurut Stephen R. Covey, IQ adalah kecerdasan manusia yang berhubungan dengan
mentalitas, yaitu kecerdasan untuk menganalisis, berfikir, menentukan kausalitas, berfikir
abstrak, bahasa, visualisasi, dan memahami sesuatu. Kamampuan ini pada awalnya dipandang
sebagai penentu keberhasilan seseorang. Namun pada perkembangan terakhir IQ tidak lagi
digunakan sebagai acuan paling mendasar dalam menentukan keberhasilan manusia. Karena
membuat sempit paradigma (dalam sukidi).

Ketidak puasan terhadap konsepsi IQ sebagai konsep pusat dari kecerdasan seseorang telah
melahirkan konsepsi yang memerlukan riset yang panjang serta mendalam. Daniel Golman
melahirkan konsepsi EQ sebagai jawaban atas ketidak puasan manusia jika dirinya hanya
dipandang dalam struktur mentalitas saja. Konsep EQ memberikan ruang terhadap dimensi lain
dalam diri manusia yang unik yaitu emosional.

2. Kecerdasan Emosional (EQ)


Kecerdasan ini mulai dikenal pada akhir abad 20. Kecerdasan ini di otak berada pada otak bagian
belakang manusia. Kecerdasan ini memang tidak mempunyai ukuran pasti seperti IQ, namun kita
bisa merasakan kualitas keberadaannya dalam diri seseorang. Oleh karena itu EQ lebih tepat di
ukr dengan feeling.

Kecerdasan emosional digambarkan segabai kemampuan untuk memahami suatu kondisi


perasaan seseorang, bisa terhadap diri sendiri ataupun orang lain, kecerdasan ini lebih tepat
diungkapkan dengan What I Feel.
Banyak contah disekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki gelar tinggi belum tentu
sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Seringkali mereka yang berpendidikan formal lebih rendah,
ternyata lebi berhasil di dunia pekerjaan.

Saat ini banyak orang perpendidikan yang tampak menjanjikan, mengalami kemandekan dalam
kariernya. Lebih buruk lagi mereka tersingkir akibat rendahnya kcerdasan emosi mereka. Saya
ingin menyampaikan satu hal yang terjadi di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi.
Menurut survey nasional di Negara itu tentang apa yang diingainkan oleh para pemberi kerja:
keterampilan keterampilan teknik tidak seberapa penting dila di bandingkan dengan keterampilan
dasar untuk beradaptasi (belajar) dalam pekerjaan: kemampuan mendengar dan berkomunikasi
secaralisan, beradaptasi, kreativitas, ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan diri,
motivasi kerjasama tim serta keinginan memberi kontribusi terhadap perusahaan.

EQ adalah suara hati itulah yang seharusnya di jadikan pusat prinsip yang mampu mamberi rasa
aman, pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan. Menurut Covey, “disinilah anda berurusan
dengan visi dan nilai anda. Di sinilah anda gunakan anugrah anda, kecerdasan diri (self
awareness) untuk memeriksa peta diri anda, dan jika anda menghargai prinsip yang benar, maka
paradigm anda sesungguhnya berdasarkan pada prinsip dan kenyataan dimana suara hati
berperan sebagai kompasnya.

3. Kecerdasan Spiritual (SQ)


Kecerdasan ini digagas pertama kali oleh Danar Zohar dari Harvard University dan Ian Marshall
dari Oxford University. Dikatakan banwa kecerdasan dpiritual adalah kecerdasan untuk
menghadapi persoalan makna atau Value untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya.

Kecerdasan ini terletak pada satu titik yang disebut dengan God Spot. Mulai popular pada awal
abad 21. Kecerdasan ini menjawab berbagai pertanyaan besar dalam diri manusia, kecerdasan ini
mengngkapkan tentang jati diri seseorang atau di ungkapkan dengan Who I am, siapa saya? Dan
untuk apa saya diciptakan?

Danar Zohar dan Ian Marshal mendifinisikan kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kecerdasan untuk
menghadapi peroalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan
hidup kita dalan konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindalan atau jalan hidup seseoarang lebih bermakna di bandingkan dengan yang lain.

SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. SQ


merupakan kecerdasan tertinggi kita. (Ary Ginanjar Agustian, 2007) .

seperti contoh berikut ini. Erwin bekerja disebuah perusahaan otomotif sebagai seorang buruh.
Tugasnya memasang dan mengencangkan baut pada jok pengemudi. Itulah tugas rutin yang
sudah dikerjakannya selama hampir sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat
SLTP, maka sulit baginya untuk meraih posisi puncak. Saya pernah bertanya kepada Erwin :
“bukankah itu pekerjaan yang sangat membosankan?” ia menjawab dengan tersenyum, “tidakkah
ini pekerjaan mulia, saya menyelamatkan ribuan orang yang mengemudikan mobil-mobil ini?
Saya mengencangkan seluruh kursi pengemudi yang mereka dudukiitu.”

Esok hari saya mendatangi Erwin lagi. Saya bertanya lagi “mengapa anda bekerja begitu giat,
upah anda kan tidak besar? Mengapa anda tidak melakukan mogok kerja saja seperti yang lain
untuk menuntut kenaikan upah?” ia memandangi mata saya, masih dengan senyum dan
menjawab, “saya memang senang dengan kenaikan upah seperti teman-teman yang lain, tapi
sayapun memahami bahwa keadaan ekonomi memang sedang sulit dan perusahaanpun terkena
imbasnya. Saya memahami keadaan pimpinan perusahaan yang juga tentu dalam kesulitan,
bahkan terancam pemotongan gaji seperti saya. Jadi kalu saya mook kerja, itu hanya akan
memperberat masalah mereka, masala saya juga. “lalu ia melanjutkan pembicaraan sambil
tersenyum “saya bekerja, karena prinsip saya adalah member bukan untuk perusahaan, namun
lebih kepada pengabdian saya kepada tuhan.

Erwin mempu memeknai pekerjaannya sebagai pengabdiannya kepada tuhan dan demi
kepentingan umat manusia yang didintainya. Itulah kecerdasan spiritual.

Jika IQ membuat kita mampu berlogika dan memecahkan masalah dan EQ membauat kita
mampu untuk memahami perasaan dan berempati terhadap orang lain maka SQ memberikan kita
kemampuan untuk mencari jawaban tentang siapa aku? Dan untuk apa aku ciptakan?. IQ dan SQ
membuat kita mampu bertindak dengan secara tepat dan cerdas maka SQ-lah yang memberi
jawaban tentang makna dari perbuatan atau tindakan yang lakukan.

B. Pentingnya Penerapan Tiga Kecerdasan Bagi Pendidikan


Dalam rentan waktu dan sejarah yang panjang, manusia pernah sangat mengagungkan
kemampuan otak dan daya nalar (IQ). Kemampuan berfikir dianggap sebagai primadona
sedangkan potensi dari yang lain di marginalkan, pola pikir dan cara pandang yang demikian
telah melahirkan manusia terdidik dengan otak yang cerdas tetapi sikap, prilaku dan pola hidup
sangat kontras dengan kemampuan intelektualnya. Banyak orang yang cerdas akademik tetapi
gagal dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Mereka memiliki kepribadian yang terbelah
(split personality). Dimana tidak terjadi integrasi antara otak dan hati.kondisi terebut pada
gilirannya menimbulkan krisis multi dimensi yang sangat memprihatinkan.

Fenomena tersebut telah menyadarkan para pakar bahwa kesukesan seseorang tidak hanya
ditentukan oleh kemampuan otak dan daya pikir semata, malah lebih banyak ditentukan oleh
kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). tentunya ada yang salah dalam pola
pembangunan SDM atau penerapan sistem pendidikan kita saat ini yakni terlalu mengedepankan
IQ dan mengabaikan EQ dan SQ.

Hasil survey dari KPAI menyatakan 32% pelajar Indonesia pernah berhubungan seks. bahkan di
kota-kota modern seperti jakarta, bogor, depok, tangerang, dan bekasi 51% remajanya sudah
melakukan seks pra nikah. Dan lebih ironisnya lagi menurut survey LaKIP (lembaga kajian islam
dan perdamaian) menunjukkan 49% remaja setuju aksi radikal. Melihat data hasil survey diatas
menggambarkan ketidak efektifan penerapan sistem pendidikan kita saat ini.

Tentunya ini menjadi tugas besar dan auto kritik bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan
sistem pendidikan. Selama ini hanya berorientasi pada pengembangan IQ (daya nalar) dan
cenderung mengabaikan SQ (empati) dan SQ (moral dan spiritualitas).

Untuk menghasilkan pribadi yang utuh secara intelectual, emosional, dan spiritual maka harus
mampu menggabungkan dan mensinergikan IQ, EQ, dan SQ secara maksimal karna ketiga
kecerdasan ini adalah perangkat yang bekerja dalam satu sistem yang saling terkait
(interconnected) dalam diri manusia, sehingga tidak tepat jika dipisahkan fungsinya.

Pentingnya keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ adala sebagai berikut:


1. Bagaimana IQ tanpa EQ
Umumnya banyak hal yang hanya diukur dari kecerdasan intelektual (IQ) saja, Daniel Golemen,
dalam bukunya Emotional Intellegence (1994) meyatakan bahwa ”kontribusi IQ bagi
keberhasilan seeorang hanya sekedar 20% dalam kesuksesan seseorang”. IQ mengangkat fungsi
pikiran dan EQ mengangkat fungsi perasaan.

Seorang yang ber-IQ tinggi namun mempunyai IQ yang lemah maka akan sulit menjalin
komunikasi dan bergegosiasi dengan baik. Sebuah contoh,
Imunk memang tidak terlalu pintar dalam mata pelajaran logika matematika dan beberapa mata
pelajaran lain namun setiap ada pembagian kelompok dikelas oleh guru, teman-temannnya selalu
ingin satu kelompok dengan Imunk, bahkan setiap ada kegiatan seperti pemberian sumbangan
dan menjenguk teman atau wali murid yang sakit Imunk selalu menjadi pilihan utama. Imunk
memang bukan siswa yang cerdas itelektual (IQ) namun dia memiliki kecerdasan emosional
yang tinggi sehingga dia mampu berempati, memahami, mengendalikan emosi, berkomunikasi,
bersosialisasi dan menempatkan dirinya secara tepat sesuai dengan situasi yang ada.

Begitulah EQ itu bekerja dan mampu memberikan kesuksesan dalam diri kita. EQ dan
komunikasinya mampu memberikan apresiasi kedalam diri sendiri dan orang lain. EQ membat
kita mampu memahami emosi dan karakter orang lain.

2. Bagaimana IQ dan EQ tanpa SQ


Tentang IQ dan EQ sudak kita pahami pengertiannya serta bagaiamana keduanya apabila
bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan terebut tidak disinergikan dengan SQ maka bisa
berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah menjadi “ahli petapa”, duduk termenung dan diam
menikmati indahnya spiritualitas.
Seseorang bisa saja sukses dengan empunyai kecerdasan IQ dan SQ, seorang penipu atau yang
lebih popular saat ini adalah para koruptor, tentunya dia harus cerdas dan jago bersrategi, untuk
itu diperlukan IQ. Sementara untuk uji “timing” dalam pelaksanaan strategi, bernegosiasi,
berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang agar mau di ajak berspekulasi dan berkompromi
dengannya di perlukanlah EQ. semangat juang tinggi, mereka selalu tampak prima dan percaya
diri namun niat dan ahklaknya sangat buruk, itulah bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ.

Bahkan menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang dijiwai
dengan SQ. banyak orang yang di PHK bukan karna tidak mampu melakukan pekerjaan dengan
baik, bukan karna tidak mampu mengoprasikan sesuatu dan bukan karna tidak mampu
berkomunikasi dengan baik namun karna mereka tidak memiliki intergritas, tidak jujur, tidak
bertangung jawab dan tidak amanah pada pekerjaanya. Itu karena mereka tidak mempunyai
keseimbangan dalam tiga kecerdasan IQ , EQ, dan SQ.

C. Strategi Penerapan Tiga Kecerasan dalam Pendidikan


Untuk mewujukan pendidikan yang mampu melahirkan manusia yang ideal dan cerdas secara
intelektual, emosi dan spiritual tentu bukanlah perkara yang mudah. Membutuhkan pemikiran
dan proses yang panjang dalam merancang dan menyeimbangkannya. Para pengambil kebijakan
pendidikan kita sudah beberapa kali diganti dan masing-masing mempunyai metode dan
penerapan yang berbeda dalam sistem pendidikan,

Bahkan setiap pergantian mentri pendidikan, berganti juga kebijakan dan sistem pendidikannya.
Namun alhasil seperti yang kita ketahui bersama tidak ada perubahan yang signifikan dalam
proses maupun output yang dihasilkan oleh metode, sistem dan kebijakan tersebut, karena pada
kandungan kurikulum bahkan materinya hampir sama, hanya memfokuskan penekanan pada satu
sisi kecerdasan saja yaitu kecerdasan intelektual atau IQ .

Bahkan pendidikan agama islam (PAI) yang seharusnya menjadi medium utama dalam
penerapan dan pengembangan kecerdasan spiritual, kebanyakan hanya berbasis hapalan yang
lebih mengacu pada kecerdasan intelektual saja. Penerapan dan sistim pendidikan kita sekarang
mungkin sudah sesuai dengan prinsip perkembangan kecerdasan intelektual seperti’ pendidikan
matematika, bahasa, sejarah dan pelajaran lainnya yang bahkan sampai 3 atau 4 kali dalam
seminggu. Proses belajar mengajar yang menggunakan sistem hitungan, hapalan dan problem
solving.
Ada beberapa strategi dasar dala kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan kecerdasan
ganda, yaitu:
a) Awakening intelligence (Activating the senses and turning on the brain).
Mengembangkan/memicu kecerdasan, yaitu upaya untuk mengaktifkan indra dan menghidupkan
kerja otak.
b) Amplifying intelligence (Exercise and strengthening awakened capacities) memperkuat
kecerdasan, yaitu dengan cara member latihan dan memperkuat kemampuan membangunkan
kecerdasan.
c) Teaching for/with intelligence (structuring lesson for multiple intellegence) mengajarkan
dengan/untuk kecerdasan, yaitu upaya-upaya mengembangkan struktur pelajaran yang mengacu
pada penggunaan kecerdasan ganda.
d) Transferring intelligence (multiple ways of knowing beyond the classroom). Mentransfer
kecerdasan, yaitu usaha untuk memanfaatkan berbagai cara yang telah dilatihkan dikelas untuk
memahami realitas di luar kelas atau pada lingkungan nyata.

1. Pengembangan kecerdasan intelektual (IQ)


Dalam pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) ada beberapa pendekatan yang bisa
digunakan, yaitu:

1) Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui
kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui,
mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi,
yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru
dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan
– memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa.
Dengan menggunakan pendekatan ini siswa akan mengalami proses berfikir yang akan
meningkatkan daya ingat dan daya nalarnya. Tentunya menggunakan kecerdasan
intelelektualnya.
2) Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak dengan tiba-tiba(Suwarna,2005).
Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio
(1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999) kelebihan teori konstruktivisme ialah
pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara
pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan
pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.
Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang akan
berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman baru.

3) Pendekatan Deduktif – Induktif


a. Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada bagian
awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa proses
pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila siswa telah mengetahui wilayah persoalannya
dan konsep dasarnya(Suwarna,2005).
b. Pendekatan Induktif
Ciri uatama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah menggunakan data untuk
membangun konsep atau untuk memperoleh pengertian. Data yang digunakan mungkin
merupakan data primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi dilingkungan.

Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan
pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang
sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan
kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan
pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka.
Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau
pengetahuan

4) Pendekatan Konsep dan Proses


a. Pendekatan Konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami
suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses
pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa
metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
b. Pendekatan Proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa
dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan
mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak
kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam
kegiatan belajar.

5) Pendekatan Sains, Tekhnologi dan Masyarakat


National Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1)memandang STM sebagai the teaching
and learning of science in thecontext of human experience. STM dipandang sebagai proses
pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks pengalaman manusia. Dalam pendekatan
ini siswa diajak untuk meningkatakan kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses
sains dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pengembangan kecerdasan emosional (EQ)
Untuk pengembangan kecerdasan emosional (EQ) sendiri akan lebih menekankan pada
pendekatan secara langsung oleh yang akan memfokuskan peran dari seorang guru, seperti:
1) Memberikan tugas kelompok di rumah
Dengan pemberian tugas kelompok di rumah guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk
berinteraksi dan berkomunkasi secara intensif dengan anggota kelompoknya. Dengan
berkomunikasi dan saling mengenal latar belakang, di harapkan siswa akan belajar saling
memahami, mengerti dan berempati dengan keadaan teman-temannya yang berbeda secara
ekonomi maupun kondisi keluarga.
Tentunya pendekatan ini membutuhkan keaktifan guru dalam mengontrol dan mengarahkan para
siswanya. Dengan memberi pengarahan dan pemahaman tentang perbedaan-perbedaan yang
mereka temui di setiap anggota kelompoknya.
2) Melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan sosial
Dengan melibatkan siswa secara langsung dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti,
penggalangan dana bagi korban bencana, menjenguk teman atau guru atau teman yang sakit,
bahkan melayat jika ada salah satu guru, tokoh kasyarakat, murid, dan wali murid yang
mengalami musibah.

Dengan pendekatan secara langsung dan aktif tersebut di harapkan dapat menumbuh dan
mengembangkan rasa empati terhadap lingkungan sekitarnya.
3) Pendekatan tauladan guru
Dalam pendekatan ini di tuntut seorang guru dalam bersikap dan bertingkah laku di dalam
maupun di luar sekolah. Memberikan contoh secara nyata dan lansung kepada siswa tentang
bagaimana mengendalikan dan mentranfer emosi yang positif pada siswa dan lingkungan sekitar.
3. Pengembangan Kecerdasan spiritual (SQ)
Untuk pengembangan kecerdasan spiritual (SQ) sendiri juga butuh aplikasi langsung dan aktif
dari beberapa element pendidikan:
1) Kurikulum
Kurikulum pendidikan nasional harus menambahkan jam mata pelajaran pendidikan agama yang
saat ini hanya diajarkan 2 jam dalam semingu di SLTP dan SMA dan 3 jam di SD.
Sistim pembelajarannya juga perlu di perbaikai dengan memperbanya praktik langsung dan
bukan hanya sekedar berbasis hapalan semata.
2) Kepala sekolah
Peran kepala sekolah sangat sentral dalam menciptakan suasana sekolah yang kondusif dan
religious. Dengan menguluarkan kebijakan-kebijakan yang mengacu pada aspek religious,
seperti:
a. Mengadakan morning briefing setiap paginya selama 10-15 menit untuk mendengarkan
siraman rohani, nasihat-nasihat dan kata-motivasi yang bisa membangkitkan mental spiritual
para guru dan siswa.
b. Mengadakan jadwal piket setiap harinya untuk setiap kelas sebagai marbot, muazzin, dan
imam shalat di mushalla sekolah dengan dibimbing oleh wali kelas.
c. Mewajibkan semua guru dan siswa untuk shalat berjamaah di mushalla sekolah.
3) Guru
Guru sebagi pendidikan, harus membimbing, mengenalkan dan memdekatkan siswa kepada
ritual-ritual keagamaan, dari hal yang paling sederhana. Seperti:
a. Berdoa sebelum dan sesudah PBM
b. Membacakan sebuah hadist atau ayat sebelum memulai PMB
c. Mengingatkan dan memotivasi siswa untuk beribadah dan berbuat kebaikan.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang menjadi faktor utama permasalan dalam sistim pendidikan nasional saat ini adalan, hanya
berorientasi pada satu dimensi kecerdasan saja yaitu kecerdasan intelektual (IQ) sedangkan
dimensi kecerdasan yang lain di marginalkan.

Untuk mengatasi permasalah pendidikan nasional saat ini adalah selain peran pemerintah sebagai
pengambil kebijakan dalam hal kurikulum butuh peran dari kepala sekolah dan guru juga dalam
usaha mensinergikan ketiga dimensi kecerdasan yaitu IQ, EQ, dan SQ.

B. Saran-saran
1. Kepala Sekolah
Kepala sekolah harus mampu mengambil kebijakan-kebijakan secara tepat dan proporsional
untuk menciptakan suasana sekolah yang kondusif dan religious.

2. Guru
Supaya lebih meningkatkan loyalitas serta perannya sebagai tauladan bagi para siswa. Lebih
meningkatkan wawasan dan pengetahuan keilmua yang bersifat religious supaya bisa menjadi
guru yang ideal dalam penerapan pendidikan berbasis kecerdasan ganda.
Lebih kreatif dan aktif dalam menerapkan sistem pembelajaran yang berbasis kecerdasan ganda.
Mampu membuat inovasi-inovasi dalam proses pembelajaran. Guru di tuntut untuk menjadi
pembimbing bukan hanya sekedar instructor dalam mengarahkan siswa untuk melakukan hal-hal
yang positif.
3. Mahasiswa
Mahasiswa sebagai calon guru atau pendidik hendaknya memperkaya wawasan dan pengetahuan
tentang pendidikan modern dan holistik. Mampu membuat karya-karya inovatif dalam
menerapkan pembelajaran yang aktif, kreatif dan edukatif.

https://tekpenikip.wordpress.com/2013/06/04/pentingnya-3-kecerdasan-dalam-pendidikan/

Anda mungkin juga menyukai