Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Kajian Keterkaitan Hubungan Antara Hukum, Moral, Etika, Akhlak, Dan Agama

Tugas diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Etika dan Profesi
Hukum”

Dosen : Drs. H. E. Mudjaidi Amin, S.H.,M.H.

DisusunOleh :

PuspaDwiLabarina

1111141053

VI F

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karena kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari hukum, ia
merupakan kebutuhan dalam kehidupannya. Hukum berfungsi sebagai
sandaran atau ukuran tingkah laku atau kesamaan sikap (standard of product)
yang harus ditaati setiap anggota masyarakat. Dan lebih jauh hukum berfungsi
sebagai suatu sarana perekayasaan untuk mengubah masyarakat ke arah yang
lebih sempurna (as a tool of social engineering) ia sebagai alat untuk
mengecek ketidak benarannya suatu tingkah laku (as a tool of justification),
dan ia pun sebagai alat untuk mengontrol pemikiran dan langkah-langkah
manusia agar mereka selalu terpelihara,tidak melakukan perbuatan yang
melanggar hukum (as a tool of social control).
Hukum merupakan kesimpulan pertimbangan tentang apa yang patut
dan baik dilakukan, tentang ada apa yang tidak dan tidak baik dilakukan. Apa
yang dipandang baik, itulah yang harus dilakukan, dan apa yang tidak baik
harus ditinggalkan. Mereka yang tidak melakukan sesuatu yang dipandang
baik, atau melakukan sesuatu yang tidak dipandang baik, berarti mengingkari
kebaikan dan membenarkan ketidak baikan (keburukan). Oleh karena itu
timbullah norma kewajiban dan larangan, di samping ada norma yang tidak
diwajibkan dan dilarang.1
Norma moral tidak sama dengan norma hukum. Dalam keadaan
tertentu norma moral memerlukan norma hukum untuk diformalkan dalam
lembaga tertentu, sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat.
Moral sangat erat hubungannya dengan hukum.Pelaksanaan dan
penegakkan hukum memerlukan ketaatan kepada moral. Ada pepatah romawi

1
Suparman Usman, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008,
hlm.53

2
yang berbunyi : “Quid Leges sine moribus?” artinya “apa artinya undang-
undang kalau tidak disertai moralitas?” karena moral sangat erat hubungannya
dengan hukum, maka kualitas hukum ditentukan oleh kualitas moral. Hukum
yang tidak mencerminkan moral pada dasarnya bukan hukum, ia harus diganti
dengan hukum yang bermoral.2Tidak terlepas dari itu selain hukum yang
berkaitan dengan moral, hukum pun mempunyai keterkaitam yang sangat erat
dengan etika, akhlak, dan agama.
Membincangkan hukum, moral, etika, akhlak dan agama sebagai salah
satu kesatuan akan berimplikasi pada kedudukannya masing-masing. Dan hal
ini yang melatar belakangi penulis untuk menulis dan mengkaji
keterkaitannya suatu hubungan antara hukum, moral, etika, akhlak, dan
agama. Maka penulis membuat makalah yang berjudul “ KajianKeterkaitan
Hubungan Antara Hukum, Moral, Etika, Akhlak, dan Agama”.

2
Ibid,hlm.54

3
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas penulis dapat
menyimpulkan 2 (dua) bahasan yang akan dibahas dalam makalah ini,
diantaranya yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan hukum, moral, etika, akhlak, dan agama?
2. Bagaimana keterkaitan hubungan antara hukum, moral, etika, akhlak,
dan agama?

C. Tujuan Penulis
Adapun maksud dan tujuan penulis dalam membuat makalah ini
bertujuan untuk menambah wawasan pengetahuan para pembaca tentang :
1. Mengetahui definisi dan makna dan penjelasan dari hukum, moral,
etika, akhlak, dan agama;
2. Mengetahui keterkaitan hubungan antara hukum, moral, etika, akhlak,
dan agama.

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Penjelasan Mengenai Hukum, Moral, Etika, Akhlak, dan Agama

1.1. Hukum
Kata hukum mempunyai makna yang luas, sehingga tidak mungkin
untuk diberikan suatu pengertian atau definisi yang tepat. Namun
demikian, pengertian hukum itu, mempunyai pengertian yang luas, akan
tetapi ditengah-tengah masyarakat saat ini sudah tertanam suatu stigma
bahwa hukum itu adalah sesuatu yang ada dan harus dijadikan pedoman
hidup.
Menurut penulis berpendapat, hukum pada hakikatnya adalah
sesuatu yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya dapat berwujud
konkrit.
Penggunaan kata hukum sering ditemukan pemaknaannya dari
berbagai bahasa, yakni bahasa Arab, bahasa Latin, bahasa Belanda, bahasa
Inggris, dan lain-lain. Dalam bahasa latin terdapat tiga kata, yakni “Recht”
dan “Ius” dan “Lex” yang memiliki makna sama dengan pengertian
Hukum, sedangkan perkataan hukum dalam bahasa Inggris lazim disebut
“Law”, dalam bahasa Jerman kata hukum sama dengan “Droit”.
Berdasarkan pengertian hukum dalam berbagai bahasa tersebut, maka
pada hakikatnnya hukum itu memiliki pengertian sebagai berikut:3

3
Zaenudin Ali dan Supriadi, Pengantar Ilmu Hukum, Tanggerang: Anggota Ikatan Penerbit Indonesia
(IKAPI), 2013, hlm.7

5
1. Pengertian hukum itu bertalian erat dengan keadilan;
2. Pengertian hukum itu bertalian dengan kewibawaan;
3. Pengertian hukum itu dengan ketaatan/orde yang selanjutnya
menimbulkan kedamaian;
4. Pengertian hukum itu bertalian erat dengan peraturan yang berisi
norma.

Pada bagian terdahulu dikemukakan bahwa sangat sulit untuk


memberikan sebuah definisi mengenai hukum, karena abstrak sifatnya.
Namun demikian, pada kesempatan ini, akan dikemukakan definisi hukum
yang diberikan oleh ahli hukum sebagai berikut:

1. Borst mengemukaan bahwa Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi


kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang
pelaksaannya dapat dipaksakan atau bertujuan mendapatkan keadilan.
Berkaitan dengan definisi ini hukum yang diberikan oleh Brost
tersebut, menurut R. Soeroso definisi hukum yang diberikan oleh
Brost dapat diuraikan sebagai berikut:4
1) Hukum ialah peraturan atau norma, petunjuk atau pedoman
hidup yang wajib ditaati oleh manusia. Dengan demikian
hukum bukan kewajiban;
2) Norma hukum diadakan guna diajukan pada kelakuan atau
perbuatan manusia dalam masyarakat, dengan demikian
pengertian hukum adalah pengertian sosial. Di mana terdapat
masyarkat, di situ terdapat hukum, sebaliknya bilamana tidak
ada masyarakat, hukumpun tidak ada;
3) Pelaksanaan peraturan hukum itu dapat dipaksakan. Artinya
hukuman terdapat sanksi, berupa ancaman dengan hukuman

4
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm.30

6
terhadap si pelanggar atau merupakan ganti-rugi yang
menderita.
2. L.J. Van Apeldoorn mengemukakan dalam bukunya yang bejudul
“Inleiding too de studie van het Nederlandse recht” Apeldoorn,
memberikan pengertian hukum sebagai berikut “memberikan definisi
atau batasan hukum, sebenarnya hanya bersifat menyamaratakan saja,
dan itupun tergantung siapa yang memberikan”. Oleh karena itu,
tinjauan hukum Aperdoorn diliat dari kedua sudut, yaitu:
1) De ontwikkelde leek (ontwikkelde : orang terpelajar, leek :
awam). Orang terpelajar tetapi awam hukum, memandang
hukum sama dengan rentetan pasal-pasal yang tidak ada
habisnya, seperti yang dimuat dalam undang-undang.
2) The man in the street. Termasuk dalam kelompok the man in
the street, adalah orang-orang di jalanan atau kebanyakan
orang yang tidak terpelajar, misalnya tukang becak, pedagang
dll. Bagi “the man in the street” apabila mendengar kata/istilah
hukum, maka ia akan teringat akan polisi, jaksa gedung
pengadilan dll. Tidak pernah melihat undang-undang, tetapi ia
pernah ke pengadilan dan teringat pada suatu perkara. Hukum
itu konkrit dan menyangkut kehidupan manusia sehari-hari,
karena bagi mereka hukum dapat dilihat dan diraba.

Sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh para pakar


diatas, maka menurut Munir Fuady,5 bahwa dalam pandangan masyarakat
di sepanjang sejarah, ada dua pengertian yang sering kali diberikan kepada
hukum, yaitu sebagai berikut:

1) Hukum diartikan sebagai “hak” yang dalam hal ini merupakan


pengertian yang lebih mengarah kepada pengaturan moral yang
5
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007, hlm.37

7
dalam bahasa sering disebut dengan istilah right, recht, ius, droit,
diritto, derecho.
2) Hukum diartikan sebagai undang-undang, yang dalam hal ini
hanya merupakan pengertian yang mengarah kepada aturan yang
dibuat oleh pembentuk undang-undang (legislasi), yang berbagai
bahasa disebut dengan istilah Law, lex gesets, legge, ley.

Karena pengertian hukum dapat dilihat dari berbagai segi lalu


Sumaryono memberi definisi sebagai berikut:6

1) Hukum ialah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis,


yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam
masyarakat Negara serta antar Negara, yang berorientasi pada dua
asas, yaitu keadilan dan daya guna demi tata dan damai dalam
masyarakat.
2) Hukum sebagai kaidah, adalah pedoman atau patokan sikap
tindakan atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
3) Hukum sebagai tata hukum, adalah stuktur dan proses perangkat
kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu serta kehendak tertentu.
4) Hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial yang
mencangkup segala proses, baik yang direncanakan maupun yang
tidak, yang bertujuan untuk mendidik, mengajar atau bahkan
memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah
dan nilai-nilai.
5) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-
konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang apa yang dianggap

6
Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Serang: SUHUD Setra Utama, 2010, hlm.72

8
baik (sehingga harus dianut dan diataati) dan apa yang dianggap
buruk (sehingga harus di hindari).7

1.2. Moral
Moral berasal dari bahasa Latin (Yunani), yaitu moralismos, moris
yang diartikan sebagai adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, dan
kelakuan. Atau dapat pula diartikan mores yang merupakan gambaran atau
adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Istilah ini
dikenal moral dalam bahasa inggris.8
Moral pada umumnya dapat diartikan sebagai berikut:9
 Menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai
baik/buruk, benar/salah, tapat/tidak tepat.
 Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima yang menyangkut apa
yang dianggap benar, bijak, adill, dan pantas.
 Memiliki kemampuan untuk diserahkan oleh atau salah, dan
kemampuan untuk mengarahkan atau mempengaruhi orang lain
sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku yang dinilai benar atau salah.
 Menyangkut cara seseorang bertungkah laku dalam hubungan
dengan orang lain.

Menurut Franz Magnis-Suseno, kata moral selalu mengacu kepada


baik-buruknya manusia sebagai manusia.Bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma
norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap
dan tindakan manusia dilihat dari segi-buruknya sehingga manusia dan
bukan sebagai pelaku peran tertentu atau terbatas.10

7
Ibid, hlm.73
8
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm.674
9
Ibid, hlm.675
10
Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum Teori Dan Praktik, Jakarta: Kencana, 2013, hlm.162

9
Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat
untuk mengukur kebaikan seseorang.Penilaian moral selalu berbobot
dilihat dari salah satu segi, melaikan sabagai manusia, warga Negara yang
selalu taat dan selalu bicara sopan belum mencukupi untuk menetukan dia
betul-betul seorang manusia yang baik. Barangkali ia seorang munafik,
atau ia mencari keuntungan baik atau buruk itulah yang menjadi
permasalahan moral.

Moralitas, disatu sisi berbeda dengan moral.11Dalam hal ini moralitas


disebutkan sebagai sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang
didasarkan atas keputusan bebasnya.Moralitasa dalam hal ini biasa juga
disebut dengan ethos.etos kadang kala diartikan untuk menunjukan
karakter tertentu, misalnya sikap moral dari satu nilai khusus. Suatu
tindakan yang baik secara moral digambarkan sebagai tindakan bebas
manusia yang mengafirmasikan nilai etis objektif dan yang
mengafirmasikan hukum moral.Sementara, suatu tindakan yang buruk
secara moral digambarkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai etis dan
hukum moral.

Moralitas menurut E. Sumaryono yaitu kualitas yang terkandung


didalam perbuatan manusia, yang dengan kita dapat menilai perbuatan
benar atau salah, baik atau jahat.Moralitas dapat bersifat objektif ataupun
subjektif.Moralitas objektif adalah moralitas yang diterapkan pada
perbuatan sebagai perbuatan, terlepas dari modifikasi kehendak
pelakunya.Sedangkan moralitas subjektif adalah moralitas yang
memandang perbuatan yang ditinjau dari kondisi pengetahuan dan pusat
perhatian pelakunya, latar belakangnya, stabilitas emosional, serta prilaku
personal lainnya. Moralitas subjektif merupakan fakta pengalaman bahwa
kesadaran manusia (suara hatinya) menyetujui atau melarang apa yang
11
Ibid, hlm.163

10
diperbuat manusia. Disamping itu, moralitas dapat bersifat intrinsik dan
dapat juga bersifat ekstrinsik .moralitas intrinsik menetapkan sebuah
perbuatan baik atau jahat/buruk secara terpisah atau terlepas dari
ketentuan12 hukum positif yang ada, moralitas ini menilai perbuatan
sebagai benar atau salah didasarkan atas esensi perbuatan itu sendiri,
bukan karena diperintahkan atau dilarang oleh hukum. Sedangkan
moralitas ekstrinsik menetapkan sebuah perbuatan itu benar atau salah,
disesuaikan dengan trem “diperintahkan” atau “dilarang” yang dinyatakan
oleh penguasa atau pemerintah, yaitu melalui pemberlakuan hukum
positif.13

Moralitas juga bukanlah sesuatu yang bersifat artifisial atau terlepas


dari persoalan-persoalan hidup manusia, melainkan tampak sebagai
sesuatu yang tumbuh seiring dengan kondisi hidup manusia. Oleh karena
itu, ukuran-ukuran moral tidaklah sama dengan kebiasaan-kebiasaan
(tradisional) yang diikuti oleh sebagian bangsa.

Kelengkapan pengetahuan moralitas yang ditempuh melalui evolusi


moralitas telah memberi ruang kepada manusia untuk lebih memahami
tentang kodratnya sebagai manusia. Pengetahuan mengenai evolusi
moralitas juga akan menggambarkan bagaimana persoalan-persolan pokok
moralitas dewasa ini. Moralitas yang menjelaskan kualitas yang
terkandung didalam perbuatan manusia, yang karnanya kemudian dapat
dinilai apakah perbuatan tersebut baik/buruk atau benar/salah.14

Adapun perbandingan antara hukum dengan moral menurut para ahli


hukum, antara lain:

12
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: PT Kanisius,
2014, hlm.51
13
Ibid, hlm.52
14
Sukarno Aburaera, op.cit. hlm.164

11
a. Hukum objeknya perbuatan lahir (utwending handelen), sedang
moral objeknya adalah perbuatan batin (gezind-heid).
b. Hukum berasal dan menjunjung tinggi norma dari masyarakat
sedangkan moral berasal dari hati nurani individu.
c. Tujuan hukum untuk menciptakan rasa aman, damai, dan
ketenangan dalam mayarakat, sedang kesusialaan (moral)
bertujuan untuk kesempurnaan dan keutamaa manusia.
d. Hukum bekerja dengan paksa, sedangkan moral bekerja dengan
kesadaran atau kekuatan batin.
e. Hukum mengehendaki legalitas, dan moral menghendaki
moralita sejauh perbuatan lahir disebut yuridis, dan perbuatan
batin disebut etis.
f. Hukum kadang-kadang membolehkan apa yang dilarang oleh
moral. Umpamanya pelacuran bertentangan dengan moral,
namun kadang-kadang ada yang memperbolehkan tempat
pelacuran, seperti di daerah tertentu ada alokasi pelacuran.

Menurut K.Bertens, Etika (moral) lebih luas dari hukum. Perbuatan


yang tidak melanggar hukum belum tentu secara etis baik juga.Hukum
adalah minimum dari etika.Etika harus dimulai dari hukum, tapi hubungan
etika dan hukum lebih kompleks lagi.15

1.3. Etika
Etika sendiri dalam beberapa literatur dan pendapat para filsuf
disinonimkan dengan moralitas, bukan moral.Menurut Santayana bahwa
pada dasarnya etika berbeda dengan moralitas.Etika dianggapnya sebagai
suatu disiplin rasioanal, sedangkan moralitas berkaitan lebih erat dengan

15
Suparman Usman, Etika Dan Tangggung Jawab Profesi Hukum, op.cit, hlm.54

12
adat istiadat atau kebiasaaan.Dalam hal ini, moralitas disinonimkan
dengan moral.
Dalam kedudukannya sebagai lantasan moralitas, maka etika dapat
dilihat dari sudut pandang, sebagai berikut:
 Sebagai sistem-sitem nilai kebiasaan yang penting dalam
kehidupan kelompok khusus manusia.
 Sistem-sistem tersebut diwujudkan sebagai kaidah-kaidah
moralitas yang memberi makna tentang kebenaran dan kesalahan.
 Etika dalam sistem moralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-
prinsip moral aktual.

Etika sebagai ilmu memiliki metode, yaitu metode atau pendekatan


kritis.Franz Magniz Suseno16 mengatakan bahwa para ahli etika selalu
berselisih paham tentang metode yang tepat. Meskipun demikian, ada
suatu cara pendekatan yang dituntut dalam semua aliran yang pantas
disebut etika, ialah pendekatan kritis. Etika pada hakikatnya mengamati
realitas moral secara kritis.Etika tidak memberikan ajaran, melainkan
memeriksa kebiasan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-
pandangan moral secara kritis.Etika berusaha untuk menjernihkan
permasalahan moral.

Etika menentukan ukuran atas perbuatan manusia. Oleh karena itu,


dalam mengusahakan tujuan etika, manusia pada umumnya menjadikan
norma yang ideal untuk mecapai tujuan tersebut.17

1.4. Akhlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang
didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu
perbuatan yang baik.Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk,
16
Sukarno Aburaera, op.cit hlm.165
17
Ibid, hlm.166

13
berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu dalam etika, untuk
menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok
ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila
menggunakan tolok ukur norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan
berlangsung dalam masyarakat (adat istiadat), dan dalam akhlaq
menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-
buruknya. Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali,
dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak ilmu akhlak atau etika
adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, merangkan apa yang
harus dilaksanakan oleh sebagian manusia terhadap sebagiannya,
menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dalam perbuatan
manusia yang menunjukan jalan yang lurus yang harus diperbuat.
Definisi kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi
tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup
hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja.18
Menurut Quraish Shihab akhlak dalam ajaran agama tidak dapat
disamakan dengan etika.Etika dibatasi pada sopan santun anatar sesame
manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.Akhlak lebih
luas maknanya dan mencangkup pula beberapa hal yang tidak merupakan
sifat lahiriah. Menurut Quraish Shihab, akhlak agama (islam) dapat
dibedakan:
a. Akhlak terhadap Allah SWT
Titik tolak akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-
sifat terpuji demikian agung sifat itu yang jangankan manusia,
malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.
Termasuk akhlak terhadap Allah SWT manusia wajib beribadah
18
Muhammad Daud, Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, hlm.32

14
(menghambakan diri) dan bersyukur kepada-Nya, kita hanya
bergantung dan minta tolong kepada-Nya.
b. Akhlak terhadap sesama manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan
dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai
hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal
negatif membuhuh, menyakiti badan atau mengambil harta tanpa
alasan yang benar, melaikan juga sampai kepada menyakiti hati
dengan menceritakan aib (keburukan) seseorang dibelakangnya,
tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan
materi kepada yang disakiti hatinya.19
c. Akhlak terhadap lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala sesuatu
yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan
maupun benda-benda tak bernyawa.Pada dasarnya akhlak yang
diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi
manusia sebagai khalifah (pemegang amanat).
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya dan manusia terhadap alam.Kekhalifahan mengandung
arti pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan, agar setiap
makhluk mencapai tujuan peniptaannya.
Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-
proses yang sedang berjalan terhadap semua proses yang sedang
terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab,
sehingga tidak melakukan perusakan bahkan dengan kata lainter,
“Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai
perusakan pada diri manusia sendiri”.20

19
Suparman Usman, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, op.cit. 47
20
Ibid, hlm.48

15
1.5. Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
Menurut Michel Meyer berpendapat bahwa agama adalah sekumpulan
kepercayaan dan pengajaran-pengajaran yang mengarahkan kita dalam
tingkah laku kita terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia dan
terhadap diri kita sendiri.21
Din al Islam mengandung aspek pengaturan hidup manusia, baik
aspek pengaturan hidup manusia, baik aspek vertikal dengan tuhannya, 22
maupun aspek horizontal antar hubungan manusia. Karena Islam
mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tuhannya
(vertikal) dan hubungan antar manusia (horizontal), maka islam secara
hakiki tidak memisahkan hukum dan moral (akhlaq). Justru moral
(akhlaq) adalah inti hukum.Pada dasarnya sasaran Din al Islam adalah
untuk memperbaiki atau menyempurnakan moral (akhlaq) manusia.
Moral (akhlaq) sangat erat hubungannya dengan agama.Motivasi yang
kuat untuk melaksanakan moral adalah agama.Pada dasarnya ajaran
masiang-masing agama adalah mentaati ketentuan moral atau sebaliknya.23
Dalam pandangan agama melanggar moral adalah dosa, karena
norma moral merupakan bagian dari norma agama. Demikian juga
memiliki moral yang baik pada dasarnya merupakan bagian dari
melaksanakan norma agama. Jadi mestinya orang yang menganut suatu

21
Muhammad Daud, op.cit, hlm.20
22
Suparman Usman, op.cit. hlm.57
23
Ibid, hlm.58

16
agama, dia harus memiliki moral yang baik, dibanding orang yang tidak
menganut agama.24

2. Kajian Keterkaitan Hubungan Antara Hukum, Moral, Etika, Akhlak, Dan


Agama
Menurut penulis kelimanya dapat disimpulkan bahwa hukum dan etika
membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut
sikap batin seseorang.Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum, sebaliknya
dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Sedangkan di dalam
agama (Islam) aturan antara lahiriah dan bathiniah keduanya dianggap sangat
penting sehingga kedua hal tersebut wajib diwadahi, dalam islam istilah ini
disebut dengan Akhlak.
Hubungan hukum, moral, etika, akhlak dan agama sangat kuat dan
saling membutuhkan, maka Sir Alfred Denning menggambarkan dalam
bukunya “The Changing Law” yang menyatakan “without religion there can
be no morality, and without morality there can be no law “. Tidak akan ada
moral tanpa agama, dan tidak aka nada hukum tanpa moral.25
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang
berkaitan dengan moral maupun agama. Hukum untuk sebagian besar dapat
dipaksakan, orang yang melanggar hukum akan mendapat sanksi/hukuman.
Suatu contoh ketika ada orang yang melakukan pencurian maka di dalam
Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dikatakan orang yang mencuri
tersebut mendapatkan pidana penjara atau denda.Jadi sanksi yang diberikan
oleh hukum ini bersifat tegas dan nyata.Tetapi norma-norma etis tidak dapat
dipaksakan.Menjalankan paksaan dalam bidang etis tidak efektif juga.Sebab
paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar saja, sedangkan perbuatan-
perbuatan etis justru berasal dari dalam.

24
Ibid, hlm.59
25
Ibid, hlm.64

17
Satu satunya sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang
tidak tenang karena telah melakukan perbuatannya yang kurang baik terhadap
orang lain. Sedangkan sanksi yang diberikan agama nyata dan juga abstrak
karena bukan hanya sekarang (di dunia), akan tetapi setelah manusia itu
mengalami kematian (alam barzah dan alam akhirat) juga akan mendapatkan
sanksi manakala tidak segera bertobat.
Misal di dalam QS. Al Ma’idah Ayat 38 yang artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah.dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Secara tegas di katakan dalam ayat tersebut di atas tidak membedakan
laki-laki maupun perempuan ketika mereka melakukan pencurian maka harus
dipotong tangannya. Bukan hanya itu, ketika mereka tidak mau bertobat atas
perbuatannya maka di hari pembalasan (alam akhirat) akan mendapatkan
sanksi lagi yang lebih kejam dari pada potong tangan. Ini secara lahiriah orang
yang mencuri tersebut akan jerah dan secara bathiniah hatinya akan tersiksa
karena hukumannya bukan hanya di dunia tapi berlanjut di akhirat.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas
kehendak negara.Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara
seperti hukum adat maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku
sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma
moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Dengan cara
demokratis ataupun cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tetapi tidak
pernah masyarakat mengubah atau membatalkan suatu norma moral.
Masalah etika tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak.Tetapi
kalau hubungan dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum, maka
agama, moral, dan hukum itu saling bertemu.Disini agama, moral, dan hukum
mempunyai bidang bersama.

18
Perbedaan antara hukum dan moral disini ialah bahwa jalan menuju ke
bidang bersama itu bertentangan arah, yaitu bagi hukum dari luar (dari
perbuatan lahir) ke dalam(ke batiniah).Seringkali hukum harus menghukum
perbuatan yang timbul dari motif yang dibenarkan oleh moral.Ini merupakan
akibat perbedaan dalam tujuan antara hukum dan moral.Sebab syarat untuk
adanya kehidupan bersama yang lebih baik dengan yang baik dengan yang
ditentukan oleh moral bagi manusia sebagai individu seperti pembunuhan atas
perintah komandan, sumpah diganti janji.Didalam hukum ada kekuasaan luar
(kekuasaan diluar “aku”) yaitu masyarakat yang memaksakan kehendak.Kita
tunduk pada hukum diluar kehendak kita.Hukum mengikat kita tanpa
syarat.Sebaliknya perintah batiniah (moral) itu merupakan syarat yang
ditentukan oleh manusia sendiri.Moral mengikat kita karena kehendak
kita.Hukum bertujuan tatanan kehidupan bersama yang tertib. Tujuan ini
hanya dapat dicapai apabila diatas dan diluar manusia individual ada
kekuasaan yang tidak memihak yang mengatur bagaimana mereka harus
bertindak satu sama lain.
Moral berakar dalam hati nurani manusia, berasal dari kekuasaan dari
dalam diri manusia.Disini tidak ada kekuasaan luar yang memaksa manusia
mentaati perintah moral.Paksaan lahir dan moral tidak mungkin
disatukan.Hakikat perintah moral adalah bahwa harus dijalankan dengan
sukarela.Satu-satunya perintah kekuasaan yang ada dibelakang moral adalah
kekuasaan hati nurani manusia.Kekuasaan ini tidak asing juga pada hukum,
bahkan mempunyai peranan penting.Agama yang bersumber dari kitab suci
menjadi pelengkap antara hukum dan moral.
Kaidah Hukum Moral Agama Berdasarkan untuk mengatur tingkah
laku individu dalam bertindak dilingkungan masyarakat.Kaidah moral melalui
hati nurani membimbing manusia menuju kejalan yang benar ketika individu
tersebut menjalani kehidupan di dalam bermasyarakat.

19
Sedangkan agama lebih dari pada hukum dan moral, karena bukan hanya
dipertanggung jawabkan di dunia melainkan ketika melakukan kegiatan di
masyarakat segala amal perbuatan yang baik maupun buruk akan dicatatdan di
pertanggung jawabkan kelak di alam akhirat.
Adanya sanksi baik dari kaidah hukum, moral, dan agama tidak lain
adalah untuk mengatur tata kehidupan individu di dalam masyarakat. Sanksi
adalah sebuah cara untuk memaksa individu untuk berbuat baik, sanksi adalah
sebuah keharusan yang harus diterima oleh individu ketika mereka melanggar
kaidah. Dengan adanya perintah, larangan, dan sanksi menyebabkan antara
hukum, moral, dan agama sama-sama memiliki sifat “memaksa”.
Ketiga kaidah tersebut memiliki sifat yang sama karena memiliki tujuan yang
sama pula. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut tidak ada jalan yang lain
selain harus memaksa individu untuk melakukan tindakan yang baik dari kaca
mata objektif.
Penulispun mengkaji lagi keterkaitan hubungan keterikatan antara
hukum moral, dan agama yaitu terdapat pada, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 29 (2) menyatakan “ Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu. Bukti bahwa
antara hukum, moral, dan agama tidak bisa dilepaskan dalam tatanan
kehidupan masyarakat Indonesia.
Hukum, moral, dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Antara hukum,
moral, dan agama mempunyai hubungan yang erat sehingga diantara
ketiganya dapat memperkuat satu
sama lain untuk menjalankan kaidah-kaidahnya. Orang yang menganut suatu
ajaran agama maka sudah pasti dia bermoral dan taat akan hukum. Hal
tersebut didasarkan pada suatu realita bahwa di dalam ajaran agama apapun

20
tidak ada yang mengajarkan tentang bagaimana berbuat buruk atau jahat
kepada orang lain.
Tidak dapat dipungkiri jika agama mempunyai hubungan erat dengan
moral.Setiap agama mengandung suatu ajaran yang menjadi pegangan bagi
perilaku para penganutnya.Diantara hukum, moral, dan agama ketigaanya
saling mengandaikan dan sama-sama mengatur perilaku manusia.Hukum
membutuhkan moral.Hukum tidak berarti banyak kalau tidak dijiwai oleh
moralitas.Tanpa moralitas, hukum adalah kosong.
Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya.
Karena itu, hukum harus selalu diukur dengan norma moral. Produk hukum
yang bersifat imoral tidak boleh tidak harus diganti bila dalam masyarakat
kesadaran moral mencapai tahap cukup matang. Di sisi lain, moral juga
membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang kalau tidak
diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat, dalam bentuk salah
satunya adalah hukum. Dengan demikian, hukum bisa meningkatkan dampak
sosial dari moralitas. “Menghormati milik orang lain” misalnya merupakan
prinsip moral yang penting. Ini berarti bukan saja tidak boleh mengambil
dompet orang lain tanpa izin.
Kaidah Hukum Moral,Etika, Akhlak, dan Agama Berdasarkan
Bentuknya Berupa kewajiban Berupa larangan, Sifatnya memaksa, memiliki
tujuan untuk Ketertiban da melindungi kepentingan sendiri ataupun
masyarakat dalam tatanan kehidupan, baik di dunia dan di akhirat.
Bentuk lain termasuk milik intelektual, hal-hal yang ditemukan atau
dibuat oleh orang lain (buku, lagu, komposisi musik, merk dagang dsb). Hal
ini berlaku karena alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga bila tidak ada
dasar hukum.Hukum tanpa moral adalah kezaliman.Moral tanpa hukum
adalah anarki dan utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Sedangkan
hukum dan moral tanpa di landasi agama maka akan sesat. Hanya hukum
yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat

21
mendirikan kesusilaan.Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa hukum tanpa
keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem
hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada
akhirnya akan terpental. sehingga hukum dan moral harus berdampingan,
karena moral adalah pokok dari hukum, maka tidak ada dan tidak pernah ada
pemisahan total hukum dari moralitas.
Oleh karenanya hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas
bukanlah hukum. Moral dengan hukum memiliki hubungan yang erat pula,
hukum membutuhkan moral, disisi lain moral juga membutuhkan hukum.
Tanpa moralitas hukum akan kososng, sedangkan moral akan mengawang-
awang jika tidak diungkapkan dan dikembangkan dalam masyarakat. Artinya
adalah moral dan hukum senantiasa saling mendukung satu sama lain, tanpa
moral lantas apa dasar yang akan diatur dalam hukum. Sedangkan jika tidak
ada hukum lantas bagaimana merealisasikan harapan-harapan “baik” yang
menjadi dasar dari kaidah moral.
Kubu positivisme hukum inklusif mengatakan bahwa kaidah hukum
positif yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan faktor moral, bisa
jadi kaidah hukum positif tersebut menjadi tidak valid.Meskipun demikian
pendapat ini juga bersebrangan dengan teori postivisme hukum eksklusif yang
menganggap bahwa hukum adalah undang-undang.26
Namun pendapat dari teori postivisme, hukum postivisme ekslusif
yang klasik nampaknya mendapatkan pertentangan dari teori positivisme
ekslusif yang lebih moderat yang menganggap bahwa faktor moral juga
memberi sumbangan kepada apa yang seharusnya dilakukan ketika hukum itu
dilaksanakan.
Pada umumnya peraturan-peraturan hukum dilaksanakan secara
sukarela oleh karena kita dalam hati nurani kita merasa wajib.Hukum dalam
pelaksaannya terdapat dukungan moral.Dasar kekuasaan batiniah dari hukum
26
Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum, Jakarta: Kencana, 2013, hlm.73

22
ini dapat berbeda.Dapat terjadi karena isi peraturan hukum memenuhi
keyakinan batin kita.Akan tetapi dapat juga isi peraturan hukum kita
mematuhinya.Dibelakang hukum masih ada kekuasaan disamping hati nurani
kita.Masyarakat yang menerapkan peraturan-peraturan hukum itu mempunyai
alat kekuasaan untuk melaksanakan pelaksanaanya kalau tidak
dilaksanakan.Pelaksanaan hukum tidak seperti moral yang hanya tergantung
pada kekuasaan batiniah, tetapi masih dipaksakan juga oleh alat-alat
kekuasaan lahir/luar.27
Agama dan hukum juga saling berkaitan dan mewarnai, untuk
mendapatkan legalitas dari suatu negara maka harus melaksanakan ritual
sesuai dengan ajaran agama, Suatu contoh sepasang mempelai yang
melakukan pernikahan maka terlebih dahulu harus disahkan menurut ajaran
agamanya, sebelum mereka mendapat pengakuan dari negara melalui catatan
pernikahan dari Kantor urusan Agama (KUA) maupun catatan sipil.
Fenomena ini terjadi karena untuk melaksanakan hukum yang dibuat
oleh pemerintah.Pasal 2(1)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 TentangPerkawinan, menyatakan bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.Meskipun demikian tidak semuanya yang ada di kitab suci
bisa diadopsi ke dalam hukum positif. Contohnya adalah sanksi pemotongan
tangan kepada pencuri yang dibenarkan oleh agama Islam, akan tetapi itu
bertentangan dengan hukum positif di Indonesia karena alasan pertimbangan
nilai moral.
Hal ini yang memberikan salah satu bukti bahwa antara hukum, moral
dan agama memiliki hubungan yang sangat erat.Dari kajian ini agama
merupakan suatu kaedah yang di dalamnya sudah mencakupi ciri dari kaedah
hukum maupun moral.Di dalam agama sudah terdapat ciri yang ada dalam
kaedah hukum yaitu adanya sebuah perintah dan larangan, dan ada sanksi
27
Ibid, hlm.74

23
yang jelas. Dalam ajaran agama pun juga sudah terdapat ciri dari kaedah
moral yaitu mengatur bagaimana seseorang bisa berbuat sesuatu yang baik
dan meninggalkan sesuatu yang buruk demi ketentraman sebuah bathin.
Sehingga dapat dikatakan jika seseorang benar-benar menganut ajaran salah
satu agama secara benar maka sudah pasti juga melaksanakan kaedahkaedah
yang lain.
Berikut gambaran yang sekiranya dapat menjelaskan hubungan
hukum, moral dan agama secara sederhana, kaidah agama nampak bidang
kajiannya cukup luas dibandingkan dengan kedua kaidah lainnya yakni
hukum dan moral.Moral hanya sebatas mengajarkan mana yang baik dan
mana yang buruk menurut kebenaran umum tanpa adanya sebuah aturan yang
jelas mengenai sanksi. Hukum mengatur larangan dan keharusan dengan
aturan sanksi yang jelas akan
tetapi hukum hanya berhubungan dengan yang lahiriah saja. Sedangkan
agama cakupannya sangatlah luas, bukan hanya sebatas ukuran baik dan
buruk menurut kebenaran hati dan pikiran bersih, bukan juga hanya perintah,
larangan, dan sanksi yang bersifat lahiriah saja, akan tetapi lebih luas dari apa
yang menjadi dasar dari kedua kaidah tersebut.

BAB III

PENUTUP

24
A. KESIMPULAN
1. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak dalam diri manusia tentang apa yang dianggap baik (sehingga
harus dianut dan diataati) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
harus di hindari).
Moral berasal dari bahasa Latin (Yunani), yaitu moralismos, moris
yang diartikan sebagai adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, dan
kelakuan. Atau dapat pula diartikan mores yang merupakan gambaran
atau adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup.
Etika yaitu untuk menentukan ukuran atas perbuatan manusia yang
dipandang baik oleh masyarakat atau berhubungan dengan apa dan
bagaimana seseorang sebaiknya berucap atau bertindak pada saat dia
berhungan dengan manusia lain.
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang
didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu
perbuatan yang baik.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
2. Menurut penulis kelimanya dapat disimpulkan bahwa hukum dan etika
membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral
menyangkut sikap batin seseorang. Niat batin tidak termasuk
jangkauan hukum, sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin
sangat penting. Sedangkan di dalam agama (Islam) aturan antara
lahiriah dan bathiniah keduanya dianggap sangat penting sehingga
kedua hal tersebut wajib diwadahi, dalam islam istilah ini disebut
dengan Akhlak.

25
Moral mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk menurut
kebenaran umum tanpa adanya sebuah aturan yang jelas mengenai
sanksi.Agama cakupannya sangat luas, bukan hanya sebatas ukuran
baik dan buruk menurut kebenaran hati dan pikiran bersih, bukan juga
hanya perintah, larangan, dan sanksi yang bersifat lahiriah saja, akan
tetapi lebih luas dari apa yang menjadi dasar dari kedua kaidah
tersebut yakni ada sanksi pada kehidupan setelah manusia meninggal.
Hukum mengatur larangan dan keharusan dengan aturan sanksi yang
jelas yang dibuat oleh negara, keberadaan hukum sangat dipengaruhi
oleh rasionalitas manusia.
Hubungan hukum, moral, etika, akhlak dan agama sangat kuat dan
saling membutuhkan, maka Sir Alfred Denning menggambarkan
dalam bukunya “The Changing Law” yang menyatakan “without
religion there can be no morality, and without morality there can be
no law “. Tidak akan ada moral tanpa agama, dan tidak aka nada
hukum tanpa moral.
B. SARAN
Penulis berharap makalah yang buat bisa bermanfaat bagi para
pembaca. Dan pembaca bisa memahami setiap hakikat dari Hukum,
Moral, Etika, dan Agama, karena penulis mempunyai tujuan untuk
pembaca agar menerapkan setiap poin yang telah disebutkan dalam
kehidupan sehari-hariuntuk mematuhi semua peraturan yang ada karna
dengan dengan mematuhi peraturan akan membawa kefaedah dalam
kehidupan kita.

26
DAFTAR PUSTAKA

E. Sumaryono. 2014. Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak


Hukum. Yogyakarta: PT Kanisius
Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Muhammad Daud. 2012. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Munir Fuady. 2007. Dinamika Teori Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia
----------------- 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum. Jakarta: Kencana
R. Soeroso. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Sukarno Aburaera. 2013. Filsafat Hukum Teori Dan Praktik. Jakarta:
Kencana
Suparman Usman. 2008. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum.
Jakarta: Gaya Media Pratama
------------------------ 2010. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Serang: SUHUD
Setra Utama
Zaenudin Ali dan Supriadi. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Tanggerang:
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

27
28

Anda mungkin juga menyukai