Anda di halaman 1dari 3

Jagat Ketertiban

 Ketertiban mencakup hukum, tetapi hukum bukan sati-satunya cara atau jalan untuk
menciptakan ketertiban.
 Karakteristik hukum dan ketertiban memiliki karakteristik yang berbeda.
 Hukum memiliki karakteristik untuk menciptakan orde hukum. Menetukan kapan
seorang itu ada; kapan seseorang memiliki sesuatu; bagaimana cara untuk memiliki itu,
dan seterusnya. Tanpa hukum segala sesuatu menjadi tidak ada.
 Ketertiban memiliki sifat soiologis, yaitu melihat realitas dalam masyarakat. Tidak
diperlukan pemuktian yuridis.
 Jagat ketertiban dihuni oleh tatanan yang bersifat alami daripada hukum atau legal.
Disebabkan oleh karena hukum modern itu sarat dengan konstrusi artifisial, sehingga
menjauhkan diri dari keadaan alami.
 Saat kita melihat, memahami dan menerima hukum dan perundang-undangan sebagai
satu-satunya institut pengatur dan penanggung jawab ketertiban, maka pada saat itu pula
kita sudah mereduksi jagat ketertiban yang begitu luas, berubah menjadi sangat kecil dan
sempit, yaitu dunia atau jagat hukum. Perundang-undangan mewakili dan menjadi simbol
hukum dan hukum menjadi representasi tunggal dari ketertiban. Hukum adalah pars pro
toto dari yang bernama ketertiban.
 Jagat ketertiban yang luas dihuni oleh berbagai macam tatanan atau komunitas tatanan,
hukum negara merupakan satu diantaranya yang memiliki kekuatan lebih besar
dikarenakan memiliki mesin yang berkekuatan besar di belakangnya yaitu negara.
 Jagat ketertiban menampilkan kehadiran suatu jaringan yang kompleks sebagai wujud
dari usaha menciptakan ketertiban dalam masyarakat yang bertolak dari kenyataan dalam
masyarakat; meliputi dan menerima kehadiran komuniyas yang ratusan dan ribuan
banyaknya. Tidak membuat perbedaan tentang komunitas-komunitas tersebut.
 Hukum tidak diistimewakan melaikan merupakan salah satu dari penataan ketertiban
masyarakat.
 Joe S. Midgal mengemukakan bahwa negara akan menjadi kuat apabila masyarakatnya
lemah, yang mutatis mutandis berarti, hukum negara akan berjalan manakala kemampuan
masyarakat untuk menciptakan ketertibannya sendiri adalah lemah.
 Robert C. Ellickson mengatakan bahwa yang lebih menentukan bagaimana ketentuan
dalam hukum itu diwujudkan, bukanlah peraturan hukum itu sendiri, melainkan rakyat
sendirilah yang dalam hal ini adalah adresat hukum itu sendiri. Peraturan tersebut hanya
sebagai titik tolak.
 Ketertiban lebih sering muncul serta-merta (spontaneous). Peraturan yang telah dibuat
oleh negara itu akan dilengkapi (supplemented), bahkan isinya dapat diganti dengan
aturan mereka sendiri (rules of their own).
 Ketertiban sebagai entitas dan ruang besar yang utuh alami akan terus bertahan,
kendatipun hukum membuat konsep dan batasannya sendiri tentang ketertiban itu.
Ketertiban menjadi tidak utuh lagi karena yang muncul adalah “ketertiban versi hukum”.
 Diperlukan usaha untuk menjaga harmoni dalam jagat ketertiban semenjak hukum
ditempatkan dan dilihat dari perspektif jagat ketertiban karena jagat ketertiban menerima
dan mengakui keaneka-ragaman bentuk tatanan dalam masyarakat.

Tempat Rasa Malu dalam Hukum

 Hukum bukanlah urusan Undang-Undang saja tetapi juga perilaku.


 Hukum berhubungan dengan macam-macam nilai, sikap, perasaan manusia sebagai
pelaku hukum yang ditegakkan menurut perilaku orang yang menjalankannya.
 Perundang-undangan tidak sepenuhnya mencerminkan apa yang senyatanya dilakukan
bangsa. Oleh karena undang-undang itu diterjemahkan dan diwujudkan melalui perilaku.
 Rasa malu serta keinginan untuk minta maaf, merupakan unsur-unsur penting dari suatu
budaya dalam masyarakat. Masyarakat yang “berbudaya malu” atau “berbudaya maaf”
akan menghasilkan suatu kualitas kehidupan yang berbeda dari yang tidak memakai
budaya itu.
 “Budaya maaf” Jepang dalam hukum memiliki kekhususan sehingga dapat
meminggirkan keunggulan atau kedaulatan undang-undang, karena di atas moral masih
ada ukuran moral tertentu yang lebih diutamakan.
 Pola perilaku hukum Indonesia lebih cenderung ke Jepang meskipun sekarang sudah
banyak surut, melemah atau rusak.

Negara Hukum Tanpa Moral dan Tanpa Disiplin


 Kehadiran moral dalam hukum dilambangkan oleh keadilan yang dikenal sehari-hari
melalui “pengadilan”, court of justice, chief justice dan sebagainya.
 Hukum sebagai teknologi adalah sarana untuk menyelesaikan masalah tanah, perburuhan
yang sangat erta kaitannya dengan pembangunan.
 Semakin tinggi kepercayaan orang kepada hukum (modern) semakin canggih pula
permainan teknik dalam pengadilan.
 Indonesia memerlukan hakim-hakim yang bernurani kuat dibandingkan mesin peradilan
yang diciptakan oleh hukum modern.
 Hukum modern yang sudah menjadi teknologis menjauhkan dirinya dari wacana moral
yang uraikan sebagai hal logis.
 Aliran minimalis mengatakan bahwa hukum sudah dijalanlam apabila peraturan-
peraturan sudah diterapkan sesuai dengan apa yang tercantum disitu. Ini adalah tampang
hukum sebagai teknologis.
 Aliran idealis berpendapat bahwa menerapkan peraturan begitu saja tidak cukup,
melainkan juga perlu dipikirkan nilai-nilai dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh
hukum dan yang tidak dengan mudak dibaca dalam peraturan. Hukum merupakan sarana
untuk mengekspresikan nilai dan moral.

Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri

 Hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of
behavior).
 Hakim Agung O.W Holmes mengatakan, menjalankan hukum bukan hanya soal logika,
tetapi juga pengalaman.
 Van Doorn mengatakan bahwa hukum adalah skema yang dibuat untuk menata perilaku
manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung jatuh diluar skema yang diperuntukkan
baginya. Ini disebabkan oleh faktor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lain-lain yang
mempengaruhi dan membentuk perilakunya.
 Hukum membutuhkan social capitalnya sendiri yang mempengaruhi kehidupan bernegara
hukum.

Anda mungkin juga menyukai