Anda di halaman 1dari 4

KEGIATAN BELAJAR 2

Hukum dalam Masyarakat dan Negara


A. PENGERTIAN HUKUM DALAM MASYARAKAT

Hukum adalah unsur yang mutlak bagi semua masyarakat manusia. Kemudian, hukum dianggap
merupakan gagasan yang pokok dalam masyarakat manusia, dan tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa
hukum maka tidak akan ada masyarakat manusia. Hukum sebagai salah satuh system normatif
merupakan aspek dari kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari pengertian kebudayaan sebagaimana yang
dirumuskan oleh E.B Tayler (1871) berikut ini.

“Culture or civilization is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom
and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”

Dari pengertian diatas maka studi-studi hukum dapat dilakukan dalam rangka pengertian bahwa hukum
merupakan salahsatu aspek kebudayaan, atau dapat dilakukan sebagai objek yang otonom, yang
terpisah dari kebudayaan.

Menurut Lwellyn dan Hoebel (1961) merupakan unsur-unsur pokok bagi timbulnya hukum dan
memang menyebabkan adanya hukum sebagai gejala yang bersifar universal. Ada empat unsur hakiki
dari hukum menurut buku mereka Cheyenne Way, yaitu

1. Unsur dapat dilaksanakannya suatu “imperatif” (yang memerintahkan bahwa warga dari suatu
masyarkat tertentu harus berperangai tertentu)
2. Unsur “supremasi” (yang mengidentifikasi suatu gejala sebagai hukum berdasarkan fakta)
3. Unsur sistem (hukum merupakan bagian dari tatanan yang berlangsung)
4. Unsur pengetahuan resmi (bahwa hukum memiliki kualitas public dan diakui resmi)

Keempat unsur ini, biasanya mengelompok dan menjadi suatu gejala yang biasa disebut sebagai
otoritas didalam kelompok atau suatu kebudayaan.

Selanjutnya, L. Pospisil (1971), mendefinikan hukum, berdasarkan empat sifat dasarnya, sebagai
berikut.

1. Keputusan hukum didukung oleh suatu kekuasaan, harus ada orang atau kelompok yang
mempunyai pengaruh besar yang dapat menjamin bahwa pihak-pihak yang berselisih akan
tunduk pada keputusannya.
2. Keputusan hukum dimaksudkan berlaku umum, artinya dapat diharapkan bahwa keputusan
hukum yang dijatuhkan pada hari ini, juga akan berlaku dalam situasi yang semacam pada waktu
yang akan dating.
3. Keputusan hukum menetapkan hak, pihak yang satu dan kewajiban pihak yang lain. Hukum
mengakui bahwa setiap perselisihan mengandung dua segi.
4. Keputusan hukum menentukan hukum menentukan sifat dan beratnya sanksi, sanksi hukum
dapat bersifat fisik, seperti kurungan penjara, penyitaan terhadap harta milik, atau bersifat
psikologis, seperti ditertawakan dan dikucilkan oleh umum.
Dengan demikian, para ahli antropologi mengemukakan bahwa definisi hukum yang tepat, tidak dapat
dibuat dan mungkin tidak perlu.

B. MANUSIA DAN HUKM

Manusia sebagai makhluk sosial merupakan makhluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkan
bantuan dari sesamanya. Suatu keteraturan dapat tercipta karena adanya aturan, yang ditahap tertentu
kita sebut sebagai hukum, hukum didalam masyarakat adalah suatu tuntutan sehingga ada pameo “ubi
societas ibi us” , artinya di mana ada masyarakat maka disana ada hukum. Tujuan terciptanya hukum
yang utama adalah untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan didalam masyarakat. Menurut
Mochtar Kusumaatmaja (2002).

“…Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketetiban ini
merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat yang teratur…, ketertiban sebagai tujuan
utama hukum dan merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarkat manusia dalam segala
bentuknya”

Di dalam kehidupan bermasyarakat, sebenarnya banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi
masyarakat , seperti kaidah agama, kaidah susila, kaidah kesopanan, kaidah ada kebiasaan, dan kaidah
moral, yang serimg kali warga masyarakat tidak mengetahui dan memahami hal tersebut.

C. HUKUM DAN ADAT KEBIASAAN DALAM MASYARAKAT

Berbicara mengenai hukum maka kita tidak akan dapat melepaskan pembicaraan dengan apa yang
disebut dengan adat kebiasaan. Hal ini tercermin dari kutipan penjelasan Hartland dan Rivers (1924)
yang sebagai berikut.

“…orang primitif dibatasi geraknya di segala penjuru oleh kebiasaan-kebiasaan dari sukunya…terikat
dengan rantai-rantai tradisi yang ikatanya diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak terelakkan …
Mereka tidak pernah mencoba untuk melepaskan diri … Hukum baginya adalah sama dengan
keseluruhan kebiasaan-kebiasaan yang ada disukunya…”

Dengan demikian, yang dimaksud dengan adat kebiasaan adalah aturan-aturan, yang sedikit banyak
bersifat ketat dan yang sedikit banyak ditunjang oleh paksaan moral, etika, atau malahan paksaan secara
fisik.

Sementara itu, menurut Bohannan hukum adalah perangkat kewajiban yang mengikat, yang dianggap
sebagai hak oleh suatu pihak dan diakui sebagai kewajiban oleh pihak lainnya, yang telah dilembagakan
lagi dalam lembaga-lembaga hukum, supaya masyarakat dapat berfungsi dengan cara yang teratur
berdasarkan aturan-aturan yang di pertahankan melalui cara tersebut.

D. PROSES TERBENTUKNYA HUKUM DALAM MASYARAKAT

Antara laim adalah mengenai otoritas dan kekuasaan, sistem kontrol, dan sistem hukum, khususnya
dalam kegiatan perekonomian mereka. Ada masyarakat yang sangat sederhana, atau dalam sebutan
masyarakat awam sering disebut sebagai masyarakat primitif (uncivilized) yang masih hidup secara
nomaden dari kegiatan berburu dan meramu. Tetapi, dalam rentangan berkembangan masyarakat maka
ada masyarakat dititik lainnya yang bertipe masyarakat modern, sangat maju, dan biasa hidup di daerah
perkotaan. Selain itu, ada masyarakat-masyarakat di dunia yang biasa hidup dari kegiatan mata
pencaharian, seperti berladang, bertani, dan hidup diwilayah pedesaan.

Dalam masyarakat di dunia, terdapat berbagai bentuk organisai politik yang tujuannya adalah
sebagai suatu sarana untuk memlihara tertib sosial, dan mengurangi kesimpangsiuran sosial. Organisasi
politik tersebut adalah kelompok band yang hidup secara nomaden, suku (tribe), kerajaan (chiefdom),
dan negara.

Berbagai bentuk organisasi politik diatas, dapat di bagi atas dua bagian, yaitu pertama, sistem politik
yang tidak terpusat, seperti kelompok band dan suku, kedua sistem politik yang terpusat, seperti
chiefdom dan negara. Kedua bentuk organisasi politik ini, memiliki karakteristik yang berbeda sehingga
pada akhirnya manghasilkan mengendalian sosial dan hukum yang berbeda.

E. PERWUJUDAN HUKUM DAN SANKSI HUKUM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Bila berbicara tentang hukum maka biasanya pembicaraan banyak berkaitan dengan masalah
perselisihan atau penyelesaian perselisihan, menurut Katherine S Newman (1983) dalam bukunya Law
& economic organization: A comparative study preindustrial society, ia menggolongkan minimal 8
kategori yang mencerminkan sistem hukum dalam masyarakat tradisional yang dapat dilihat sebagai
berikut.

1. Self redress system sebagai wujud yang paling sederhana dari lembaga peradilan, didalamnya
ketidakhadiran pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa.
2. Advison system, lemabaga peradilan yang melibatkan pihak ketiga, tetapi ia tidak selalu harus
hadir menurut ketentuan lazimnya dalam setiap usaha penyelesaian sengketa.
3. Mediator system, mencerminkan sesuatu bilamana self redress telah menjadi hal yangtidak bias
diterima lagi secara sosial sebagai hal yang patut.
4. Elders councils, dewan sosial yang terdiri dari petua-petua yang dihormati masyarakat sebagai
lembaga yang selalu siap dalam setiap penyelesaian sengketa.
5. Restritricted councils, tertdiri dari tetua-tetua yang dihormati masyarakat, tetapi dengan
keanggotaan yang tertentu saja dan relatif tetap.
6. Chieftainship, masyarakat menampilkan pemimpin, yang dalam mengatasi sengketa dapat
langsung dari dirinya yang membuat keputusan dan akan mengikat (verdicts) semua pihak.
7. Paramount chieftainship, lembaga peradilan dalam masyarakat yang agak kompleks, manakala
organisasi kepemimpinannya tersusun secara bertingkat.
8. State Legal system, merupakan lembaga dan sistem hukum yang paling kompleks.

F. SANKSI HUKUM DALAM MASYARAKAT

Sanksi pada umumnya diartikan sebagai apa yang oleh hukum itu sendiri dikatakan akan atau
mungkin terjadi terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena melanggar suatu aturan hukum.
Redcliffe Brown (1952) menguraikan bahwa sanksi adalah:

“…reaksi dari pihak masyarakat atau dari sebagian besar anggota masyarakat terhadap bentuk prilaku,
yang dengan demikian mendapat pengesahan sanksi positif atau negatif”

Selain itu, hukum dapat dibedakan atas sanksi formal dan informal, seperti mengikuti upacara ibadah
Misa umat Katolik, bila menggunakan celana pendek maka ia akan mendapatkan sanksi informal seperti
gunjingan atau lirikan. Tetapi, sanksi formal seperti hukum, cenderung selalu beraturan karena berusaha
menggariskan dengan tegas dan tepat tentang prilaku seseorang.

Dengan demikian , sanksi adalah kriteria yang hakiki dari keputusan hukum. Hal lain adalah bahwa
sanksi sebagai kriteria hukum termaktub sebagai suatu pernyataan dalam keputusan otoritas hukum.
Jadi, yang dimaksud bukanlah pelaksanaannya, yang biasa di serahkan pada cabang eksekutif dari
pemerintah atau mungkin pelaksanaannya diserahkan pada non-pemerintah.

G. KEADILAN, KETERTIBAN, DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Pengertian kesejahteraan sosial dapat bersifat sangat pluralistik karena pada dasarnya, konsepsi
tentang kesejahteraan sosial ada di dalam setiap masyarakat di dunia dengan perumusan berbeda-beda.
Menurut F Benda Beckmann, di tingkat awal istilah tersebut menunjukan keragaman nilai dan ideology,
dan dalam bentuk yang lebih konkret, seperti tujuan-tujuan dari kebijakan.

Menurut TO Ihromi, istilah dan konsep kesejahteraan sosial yang selama ini ada, sebenarnya
mengacu pada kosep-konsep kesejahteraan sosial yang dating dari Amerika dan Eropa. Denga demikian,
mekanisme kesejahteraan sosial yang konvesnional adalah perlindungan terhadap mereka yang
terjamin.

Berdasarkan keragaman pengertian dan konsepsi normatif yang terkandung dalam istilah
kesejahteraan sosial, luasnya cakupan kegiatan, dan luasnya kondisi-kondisi sosial yang hendak
diupayakan untuk diatasi oleh individu, masyarakat, dan negara maka menurut Ihromi (1993) dianggap
kurang perlu untuk memikirkan variasi gejala yang relevan untuk dibuatkan definisi nya mengenai
kesejahteraan sosial tersebut.

H. PROBLEMATIKA NILAI, NORMA, DAN HUKUM DALAM MASYARAKAT DAN NEGARA

Dalam perkembangan antropologi sudah disadari bahwa hukum merupakan salah satu aspek
kebudayaan. Dalam masyarakat dan negara-negara berkembang, seperti negara Indonesia, secara
historis hukum terbentuk atas empat lapisan, pertama lapisan yang terdalam adalah aturan kebiasaan
yang di akui, lalu aturan-aturan keagamaan yang diakui, kemudian aturan dari hukum yang diperoleh
penjajah colonial yang masuk di negeri tersebut. Dan lapisan teratas adalah hukum nasional modern
yang terus berkembang hingga saat ini, serta lapisan tambahannya adalah hukum internasional.

Tidak berfungsi nya hukum sebagaimana mestinya didalam praktik, merupakan masalah serius, baik
bagi masyarakat kebanyakan maupun para penguasa. Dengan demikian, bagi penguasa ketiadaan
hukum yang efektif merupakan kendala utama bagi pengembangan dan pelaksanaan kebijakan
pembangunan yang dicanangkan.

Dalam masyarakat berkembang, seperti negara kita tercinta ini, maka sistem hukum nasional yang
bekerja menurut Mattei terdapat dua macam, yaitu a. sistem hukum yang didominasi oleh tradisi yang
bersifat religious atau yang lainnya; b. sistem hukum yang didominasi oleh intervensi politik.

Anda mungkin juga menyukai