1.
a.
b.
c.
d.
e.
a.
b.
c.
d.
2.
a.
b.
c.
3.
a.
b.
Dalam kajian Antropologi Hukum, khususnya mengenai penelitian tentang konsep hukum
yang ada pada masyarakat sederhana, terdapat beberpa ahli yang telah melakukan penelitian
mengenai konsep-konsep hukum masyarakat sederhana. Di sini, kami akan memaparkan tiga
saja pendapat para ahli, yaitu:
Bronislaw Malinowski (1884-1942) [6]
Melakukan
penyelidikan
di
masyarakat Trobrian
(Melanesia),
kepulauan
Solomon, Papua Nugini. Bahwa aturan hukum dengan aturan kemasyarakatan dibedakan atas
dasar kekuatan mengikat. Ciri aturan hukumnya:
Aturan dirasakan menimbulkan kewajiban di satu pihak dan hak di pihak lain.
Aturan memiliki sanksi negatif / sanksi positif, dengan adanya kekuatan mengikat.
Kekuatan mengikat terwujud dari adanya tukar menukar jasa.
Kekuatan mengikat didasarkan pada hak untuk saling menuntut.
Kekuatan mengikat karena adanya upacara dalam proses transaksi.
Pandangan ini dikuatkan dengan pandangan Hortland, bahwa inti pembentukan hukum
terletak pada larangan atau pada rasa ingin tahu. Maka hukum seolah-olah seperangkat
larangan. Selanjutnya Malinowski menyimpulkan konsep hukum pada masyarakat sederhana
seperti masyarakat di Melanesia ialah:
Tidak berperoses pada lembaga mandiri.
Sebagai bagian dari susunan masyarakat dan tidak terpisahkan sebagai lembaga tersendiri.
Tidak dalam bentuk keputusan atas sesuatu yang akan terjadi.
Berasal dari susunan hak dan kewajiban yang mencegah seseorang menghindari kewajibannya.
E. Adamson Hoebel (1933)[7]
Hoebel merupakan antropolog pertama yang mengadakan kerjasama antar displin ilmu
hukum dengan sarjana hukum Karl Liewellyn sehingga melahirkan antropologi hukum. Ia
mengatakan bahwa sangat sukar mendefinisikan hukum pada tataran masyarakat sederhan,
namun tidak berarti bahwa hukum itu tidakdapat didefinisikan. Hal itu sukar menurut Hoebel
karena :
Cara berpikir yang sempit (excessive parochialism) satu pihak, sedangkan di pihak lain
hukum merupakan bagian dari suatu jaringan sosial (social web).
Seolah-olah hukum itu mengalir ke semua sudut budaya (total fabric culture) tanpa batas yang
nyata.
Hukum tidak dapat dibedakan dengan jelas dari bentuk prilaku (human action) yang lain.
Robert Redfield (1941)[8]
Menurut Robert, untuk membahas hukum sederhana dapat memilih diantara 3 jalur, yakni :
Jalur kanan : yang mengakui adanya hukum apabila ada pengadilan dan kitab undang-undang
dalam suatu negara.
Jalur kiri : yang tidak mengidentifikasi hukum dengan pengadilan dan Kitab Undang-undang.
c.
1.
2.
3.
4.
5.
Jalur tengah : bertitik tolak dari konsep hukum sebagai gejala yang dikenal dalam masyarakat
yang sudah beradap dan sudah menerapkan kekuatan secara sistematis dan formal oleh negara di
dalam melaksanakan aturan-aturan yang eksplisit.
Bila digunakan jalur kanan, maka akan menemukan jalan buntu apabila tidak mendapatkan
hukum dalam bentuk undang-undang dan pengadilan. Karena ciri masyarakat sederhana yang
besar kemungkinan terlepas dari adanya lembaga hukum mandiri semisal pengadilan. Selain itu,
kebutuhan akan undang-undang yang tertulis khususnya, belumlah dirasa perlu selain sangat
terbatasnya kemampuan tulis menulis di kalangan masyarakat sederhana.
Bila melalui jalur kiri, maka hal ini lebih cocok dengan masyarakat sederhana. Namun akan
sulit untuk menentukan batasan dari hukum itu sendiri. Karena mau tidak mau, dalam suatu
analisis haruslah ada patokan awal yang dijadikan rujukan sehingga menghasilkan hasil yang
dapt dipertanggungjawabkan. Bila hal ini dipaksakan, maka ruang lingkup pembahasannya
sangat mungkin akan melebar ke arah hal-hal yang tidak diinginkan atau tidak perlu.
Sedangkan bila menempuh jalur tengah, maka ini merupakan jalan yang paling sesuai
dengan konsep dari pengertian masyarakat sederhana tersebut. Masyarakat sederhana yang sudah
memiliki kebudayaan walaupun bersifat sederhana. Karena sesederhana apapun suatu tatanan
masyarakat pasti di dalmnya terdapat gejala yang menunjukan suatu hukum walaupun tidak
tertulis seperti aspek kesopanan, sikap yang tabu serta hal-hal liannya yang kebanyakan
dipandang dari adat kebiasaaan masyarakat yang bersangkkutan.
Maka dari itu, bila kita sulit untuk menemukan hukum dalam tatana masyarakat sederhana,
maka kita hendaknya mencarai ciri-ciri hukum tersebut atau konsep-konsepnya pada setiap
bentuk intraksi masyarakat sederhana.
Maka kita harus mengetahui ciri dari hukum. Berikut paparan ringkas tentang ciri dari
hukum.
Terdapat berbagai pandangan tentang ciri hukum terutama ciri hukum pada masyarakat
sederhan diantaranya:[9]
Sounck Huhronje : hukum (adat) adalah adat yang mempunyai akibat hukum
Van Vollenhoven : Hukum ialah peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan
mengikat para warga masyarakat seta ada perasaan umum bahwa peraturan harus dipertahankan
oleh para pejabat hukum. Mkaa aturan adat bersifat hukum.
Ter Haar : tidak menugkin menyatakan sesuatu tentang hukum tanpa adanya keputusan dari para
petugas hukum.
Koentjaraninggat : Konsepsi Ter Haar hanya memberikan satu ciri saja, ialah ciri otoritas kepada
hukum adat dan itu tidak cukup.
Pospisil : ciri atribut hukum meliputi : kekuasaan (authority),menyeluruh (universal application),
kebajiban (obligation), penguat (sanction).
Dengan benyaknya doktrin tentang ciri hukum, Prof Hilman Hariwijaya merumuskan ciri
tersebut dalam dua kategori, yakni :
a.
b.
a.
b.
c.
d.