2 Andi Ryza Fardiansyah Ketua Umum HMI Cabang Makassar Timur 2010-2011)
berurusan dengan hukum. Karena hukum bukanlah tujuan utama dan sandaran
kehidupannya.
Pandangan kedua adalah pandangan yang menjadikan hukum sebagai
sandaran kehidupannya. Pandangan ini biasa atau bahakan sangat banyak kita
temukan pada kelompok orang yang berprofesi sebagai penegak hukum. Sangat
banyak yang saya katakan bukanlah sebuah penghukuman terhadap keseluruhan.
Dalam arti bahwa ada juga orang- orang yang berprofesi sebagai penegak hukum
yang tidak berpandangan seperti ini. Akan tetapi kita sangat sulit menemukannya.
Sangat sedikit dan pastilah merupakan kelompok yang teralienasi dalam
profesinya. Saya berani memastikan hal ini karena realitasnya seperti itu. Tapi,
untuk pembahasan ini akan dibahas pada bab yang lain dalam buku ini. Yang kita
fokuskan pada pembahasan kali ini hanyalah sebatas paradigma orang yang
menjadikan hukum sebagai sandaran hidupnya saja.
Dalam pandangan ini, hukum dijadikan sebagai sandaran hidup. Dalam arti
bahwa hukum dilihat sebagai faktor utama penentu kehidupan. Dari hukum-lah
kemudian ia bisa mendapatkan kebutuhannya akan hidup. Baik itu berupa
kebutuhan pokok sampai pada kebutuhan tersiernya. Mereka adalah orang yang
kemudian menafsirkan bahasa hukum sesuai dengan kebutuhannya. Keadilan-pun
yang merupakan asas utama lahirnya hukum dapat ditafsirkan sesuai dengan
kebutuhan mereka. Sangat tergantung apakah ia kemudian mendapatkan
kebutuhannya dari keadilan itu atau tidak. Kalau ia mendapatkannya ia akan
memperjuangkannya, dan kalau tidak maka sebaliknya. Hukum dalam pandangan
ini sangat bergantung dari subjektifitas pelaku. Apakah pelaku melihat hukum itu
dapat memberikannya kehidupan atau tidak. Dalam pandangan ini pula, hukum
menjadi tidak independen. Karena hukum harus ikut pada penafsiran kebutuhan
sang pelaku.
Pandangan ketiga adalah pandangan trauma terhadap hukum. Kita akan
banyak menemui pandangan yang seperti ini pada masyarakat kelas bawah.
Masyarakat grass root, atau masyarakat mayoritas yang kemudian harus berada
pada struktur paling bawah karena adanya dominasi dari kelompok minoritas.
Masyarakat dalam posisi ini berpandangan bahwa hukum itu merupakan sebua
mimpi buruk dikarenakan persengketaan yang meilbatkan dia dengan hukum
harus mempertemukannya dengan orang dari kelompok pertama dan kedua.
Karena dia tidak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan alat tukar dalam proses
tawar menawar yang diciptakan oleh orang dari kedua pandangan tersebut, maka
ia pun harus menerima kenyataan sebagai pihak yang salah. Yang harus diambil
miliknya, yang harus membayar ganti rugi, denda dan bahkan pidana kurungan.
Sangat tragis memang mengingat bahwa kelompok inilah yang harus menanggung
semua itu. Sedangkan mereka adalah pihak yang secara ekonomi termarjinalkan.
Ketiga pandangan di atas bukanlah perwakilan dari keseluruhan pandangan
tentang hukum. Akan tetapi saya mengambil ketiga bentuk pandangan diatas
hanya sebagai pengantar pembahasan ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa
hal yang seperti ini merupakan hal yang paling sering kita dapati ketika kita
mencoba membuka mata terhadap realitas hukum hari ini. Bukan berarti bahwa
saya tidak mengambil pendapat para ahli, akan tetapi pendapat para ahli akan
digunakan dalam bab lain untuk mencoba mencari mengapa hal ini bisa terjadi.
Pandangan kedua dalam penjelasan diatas memang sangat dekat dengan
pandangan yang pertama. Karena sebagian besar orang dari kedua pandangan ini
saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan mereka masing- masing. Jika ada
sebuah persengketaan yang terjadi pada orang dari kelompok yang pertama, ia
cenderung untuk meminta bantuan pada penegak hukum dari kelompok yang
kedua. Prosesnya pun lebih banyak berupa negosiasi dan tawar-menawar. Hal ini
bukanlah sebuah hal yang kita harus perdebatkan apakah hal ini pantas menjadi
salah satu fenomena dunia hukum atau tidak. Sangat bergantung pada bagaimana
kita mempersepsikan hukum. Untuk membahas fenomena ini yang harus kita
lakukan adalah mencari akar masalah mengapa hal ini harus terjadi, bukan
membicarakan apakah itu merupkan sebuah hal yang pantas atau tidak. Karena,
kita pasti mengetahui bahwa dalam sebuah diskursus tentang keadilan kita tidak
mungkin akan mengatakan bahwa keadilan merupakan sebuah hal yang bisa
diperoleh melalui sebuah proses negosiasi dan tawar menawar. Setiap orang
bahkan mengatakan akan menjadi orang yang membela keadilan yang
menmpatkan hak orang pada tempatnya masing- masing. Karena keadilan
merupakan ranah das sollen. Ranah yang ideal, dan idealnya keadilan adalah
menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.
Akan tetapi kita belum tentu menemukan hal itu pada ranah das sein. Karena
pada ranah praktis hukum bukanlah sesuatu yang independen lagi. Ketika hukum
mulai memasuki ranah praktis ia harus berbenturan dengan ranah lain dalam
kehidupan social. Entah itu ekonomi atau politik, sangat bergantung pada
bagaimana hukum itu kemudian diterapkan, pada kondisi yang seperti apa, dan
siapa yang menerapkannya. Oleh karena itu pandangan ahli sosiologi hukum
menyatakan bahwa dalam penerapannya hukum tidak independen. Dia haruslah
berinteraksi dengan diskursus lain yang juga hidup dan tumbuh dalam kehidupan
sosial.
diskursus awal tentang hukum. Kita akan terjebak dalam persepktif yang
menggiring kita dalam sekularisme yang kemudian memisahkan antara
kajian das sollen dan das sein dalam hukum apabila kita tidak pernah
mengkaji hukum secara filosofis. Dan kalau ini tidak terjadi yang kita
temukan adalah bahwa kita harus mengikuti pertarungan abadi antara dua
kelompok yang mengkaji hukum secara normatif dan sosiologis. Ataukah
menurut pandangan terbaru bahwa ternyata filsafat hukum pun merupakan
sebuah diskursus yang terpisah dengan diskursus normatif dan sosiologis
Das Sollen: apa yang seharusnya dilakukan, sebagai contoh: dalam
Pasal 338 KUHP seseorang dilarang untuk melakukan pembunuhan, maka
yang menjadi patokan adalah larangan untuk membunuh. Pasal ini hanya
menuliskan seyogyanya atau seharusnya apa yang dilakukan oleh seseorang
dalam bertindak.
Das Sein: apa yang kenyataannya terjadi, sebagai contoh apabila
seseorang melanggar Pasal 338 KUHP, maka layaknya orang tersebut telah
terbukti maka dapat diberikan hukuman maksimal 15 tahun penjara, jadi
dalam asas ini hanya dipentingkan yaitu kejadian apabila terlanggarnya
aturan yang telah dibuat.
Dibedakan antara kaedah hukum das atau Sollen dan kenyataan atau
das Sein.
Hukum merupakan kaedah mati/pasif, hanya merupakan pedoman.
Untuk menjadi aktrif membutuhkan rangsangan.
Dunia Kaedah Hukum berisi kenyataan normatif (das Sollen):
diberi kualifikasi hukum (oleh hukum) sebagai pencurian dan jual beli.
Fungsi peristiwa konkrit: menggerakkan hukum atau mewujudkan
peristiwa peristiwa hukum menjadi kenyataan sesuai bunyinya (dpa memiliki
akibat: Suta mencuri, karena itu harus dihukum )
Sollen, membutuhkan Sein agar supaya hukum menjadi hidup sesuai
bunyinya. Sebaliknya Sein membutuhkan Sollen, untuk merubah peristiwa konkrit
menjadi peristiwa hukum, sehingga hukum dapat diterapkan (memiliki akibat
hukum).3
3 https://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/13/sollen-vs-sein-adalah/