Anda di halaman 1dari 7

DAS SOLLEN DAN DAS SEIN

1.1. Pengertian Das Sollen dan Das Sein


Das Sollen adalah segala sesuatu yang mengharuskan kita untuk
berpikir dan bersikap. Contoh : dunia norma, dunia kaidah dsb. Dapat
diartikan bahwa das sollen merupakan kaidah dan norma serta kenyataan
normatif seperti apa yang seharusnya dilakukan.
Das Sein adalah segala sesuatu yang merupakan implementasi dari
segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen. Dapat
dipahami bahwa das sein merupakan peristiwa konkrit yang terjadi.1
Menurut ahli fenomenologi asal Jerman, Martin Heidegger, dalam diri
manusia terdapat unsur konstitutif yaitu Da Sein, karena sejauh manusia ada
di sana ia berhubungan dengan yang lain. Karena itu Heidegger menyatakan
bahwa Esensi & Da Sein terdapat dalam eksistensinya. Dalam
perkembangan lanjutan konsep Das Sein disanding dengan konsep lainnya
yaitu Das Sollen.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar atau bahkan
pernah mengalami apa yang disebut dengan hukum. Pengalaman seseorang
tentang hukum dalam kehidupan sehari-hari berbeda antara orang yang satu
dengan yang lainnya. Respon atau tanggapan yang kemudian ia keluarkan
tenatang hukum juga sangat berbeda. Tergantung bagaimana situasi serta
kondisi pada saat dia berhadapan hukum. Dalam pembahasan ini saya
mencoba mengambil tiga model pendapat yang paling sering kita temui
tentang hukum diantara sekian bayak pendapat dan tanggapan. Pendapat ini
bukanlah merupakan sebuah bentuk baku. Dalam arti tidaklah yang saya
1 http://belajarhukumindonesia.blogspot.co.id/2010/03/das-sollen-dan-das-sein.html

paparkan merupakan bentuk kalimat yang langsung terucap dari mulut


sesorang. Akan tetapi berupa gambaran umum yang kemudian tersirat dalam
setiap pendapat. Gambaran umum ini kemudian termanifestasikan dalam
berbagai model kalimat. Dan gambaran umum ini merupakan maksud yang
menjadi perwakilan paradigma mereka tentang hukum.
Ada kemudian yang menjadikan hukum sebagai salah satu kebutuhan dalam
hidupnya. Ada yang kemudian kehidupannya sangat bergantung dengan hukum.
Bahkan, ada pula sekelompok orang yang trauma terhadap hukum, dan berusaha
semaksimal mungkin untuk tidak berurusan dengan hukum.2
Pandangan yang pertama biasanya kita temui pada golongan masyarakat yang
orientasi hidupnya pada bidang perniagaan. Hukum dalam hal ini dipandang
sebagai salah satu alat yang dapat menjadi pelindung terhadap usahaya. Segala
bentuk usaha yang dia lakukan haruslah memiliki ikatan hukum yang jelas. Hal
ini merupakan sebuah fenomena yang wajar menurut kelompok ini. Interaksi yang
dibangun dengan individu yang lain pun tidak lebih dari negosiasi dan tawarmenawar. Model interaksi dengan paradigma seperti inilah yang kemudian
menempatkan hukum sebagai alat pelegitimasi interaksi. Kepercayaan dengan
individu lain mustahil akan muncul dalam model interaksi seperti ini apabila tidak
ada ikatan hukum yang jelas.
Pada kelompok masyarakat ini kita dapati bahwa hukum tidak dijadikan
sebagai satu-satunya sandaran hidup. Bukan berarti ketika dikatakan bahwa setiap
interaksi dalam setiap usahanya haruslah ada hukum sebagai pelegitimasi maka
dia pun akan menjadikan hukum sebagai sandaran hidupnya. Akan tetapi hukum
dijadikan sebagai alat pelengkap. Tujuan utamanya bukan menyandarkan
hidupnya pada hukum akan tetapi bagaimana hukum itu digunakan untuk
mencapai tujuan- tujuan usahanya. Dalam pandangan kelompok ini, panggunaan
hukum bersifat relatif. Sangat bergantung pada untung tidaknya apabila ia

2 Andi Ryza Fardiansyah Ketua Umum HMI Cabang Makassar Timur 2010-2011)

berurusan dengan hukum. Karena hukum bukanlah tujuan utama dan sandaran
kehidupannya.
Pandangan kedua adalah pandangan yang menjadikan hukum sebagai
sandaran kehidupannya. Pandangan ini biasa atau bahakan sangat banyak kita
temukan pada kelompok orang yang berprofesi sebagai penegak hukum. Sangat
banyak yang saya katakan bukanlah sebuah penghukuman terhadap keseluruhan.
Dalam arti bahwa ada juga orang- orang yang berprofesi sebagai penegak hukum
yang tidak berpandangan seperti ini. Akan tetapi kita sangat sulit menemukannya.
Sangat sedikit dan pastilah merupakan kelompok yang teralienasi dalam
profesinya. Saya berani memastikan hal ini karena realitasnya seperti itu. Tapi,
untuk pembahasan ini akan dibahas pada bab yang lain dalam buku ini. Yang kita
fokuskan pada pembahasan kali ini hanyalah sebatas paradigma orang yang
menjadikan hukum sebagai sandaran hidupnya saja.
Dalam pandangan ini, hukum dijadikan sebagai sandaran hidup. Dalam arti
bahwa hukum dilihat sebagai faktor utama penentu kehidupan. Dari hukum-lah
kemudian ia bisa mendapatkan kebutuhannya akan hidup. Baik itu berupa
kebutuhan pokok sampai pada kebutuhan tersiernya. Mereka adalah orang yang
kemudian menafsirkan bahasa hukum sesuai dengan kebutuhannya. Keadilan-pun
yang merupakan asas utama lahirnya hukum dapat ditafsirkan sesuai dengan
kebutuhan mereka. Sangat tergantung apakah ia kemudian mendapatkan
kebutuhannya dari keadilan itu atau tidak. Kalau ia mendapatkannya ia akan
memperjuangkannya, dan kalau tidak maka sebaliknya. Hukum dalam pandangan
ini sangat bergantung dari subjektifitas pelaku. Apakah pelaku melihat hukum itu
dapat memberikannya kehidupan atau tidak. Dalam pandangan ini pula, hukum
menjadi tidak independen. Karena hukum harus ikut pada penafsiran kebutuhan
sang pelaku.
Pandangan ketiga adalah pandangan trauma terhadap hukum. Kita akan
banyak menemui pandangan yang seperti ini pada masyarakat kelas bawah.
Masyarakat grass root, atau masyarakat mayoritas yang kemudian harus berada

pada struktur paling bawah karena adanya dominasi dari kelompok minoritas.
Masyarakat dalam posisi ini berpandangan bahwa hukum itu merupakan sebua
mimpi buruk dikarenakan persengketaan yang meilbatkan dia dengan hukum
harus mempertemukannya dengan orang dari kelompok pertama dan kedua.
Karena dia tidak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan alat tukar dalam proses
tawar menawar yang diciptakan oleh orang dari kedua pandangan tersebut, maka
ia pun harus menerima kenyataan sebagai pihak yang salah. Yang harus diambil
miliknya, yang harus membayar ganti rugi, denda dan bahkan pidana kurungan.
Sangat tragis memang mengingat bahwa kelompok inilah yang harus menanggung
semua itu. Sedangkan mereka adalah pihak yang secara ekonomi termarjinalkan.
Ketiga pandangan di atas bukanlah perwakilan dari keseluruhan pandangan
tentang hukum. Akan tetapi saya mengambil ketiga bentuk pandangan diatas
hanya sebagai pengantar pembahasan ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa
hal yang seperti ini merupakan hal yang paling sering kita dapati ketika kita
mencoba membuka mata terhadap realitas hukum hari ini. Bukan berarti bahwa
saya tidak mengambil pendapat para ahli, akan tetapi pendapat para ahli akan
digunakan dalam bab lain untuk mencoba mencari mengapa hal ini bisa terjadi.
Pandangan kedua dalam penjelasan diatas memang sangat dekat dengan
pandangan yang pertama. Karena sebagian besar orang dari kedua pandangan ini
saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan mereka masing- masing. Jika ada
sebuah persengketaan yang terjadi pada orang dari kelompok yang pertama, ia
cenderung untuk meminta bantuan pada penegak hukum dari kelompok yang
kedua. Prosesnya pun lebih banyak berupa negosiasi dan tawar-menawar. Hal ini
bukanlah sebuah hal yang kita harus perdebatkan apakah hal ini pantas menjadi
salah satu fenomena dunia hukum atau tidak. Sangat bergantung pada bagaimana
kita mempersepsikan hukum. Untuk membahas fenomena ini yang harus kita
lakukan adalah mencari akar masalah mengapa hal ini harus terjadi, bukan
membicarakan apakah itu merupkan sebuah hal yang pantas atau tidak. Karena,
kita pasti mengetahui bahwa dalam sebuah diskursus tentang keadilan kita tidak
mungkin akan mengatakan bahwa keadilan merupakan sebuah hal yang bisa

diperoleh melalui sebuah proses negosiasi dan tawar menawar. Setiap orang
bahkan mengatakan akan menjadi orang yang membela keadilan yang
menmpatkan hak orang pada tempatnya masing- masing. Karena keadilan
merupakan ranah das sollen. Ranah yang ideal, dan idealnya keadilan adalah
menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.
Akan tetapi kita belum tentu menemukan hal itu pada ranah das sein. Karena
pada ranah praktis hukum bukanlah sesuatu yang independen lagi. Ketika hukum
mulai memasuki ranah praktis ia harus berbenturan dengan ranah lain dalam
kehidupan social. Entah itu ekonomi atau politik, sangat bergantung pada
bagaimana hukum itu kemudian diterapkan, pada kondisi yang seperti apa, dan
siapa yang menerapkannya. Oleh karena itu pandangan ahli sosiologi hukum
menyatakan bahwa dalam penerapannya hukum tidak independen. Dia haruslah
berinteraksi dengan diskursus lain yang juga hidup dan tumbuh dalam kehidupan
sosial.

1.2. Hubungan Das Sollen dan Das Sain


Berdasarkan pemaparan tadi maka, mestilah timbul pertanyaan apakah
memang antara das sein dan das sollen dalam hukum merupakan dua hal
yang terpisah? Ataukah ia sebagai satu kesatuan? Apa faktor utama
penyebab munculnya masalah ini? Apakah hukum bersifat independen
hanya dalam das sollen saja? Ataukah tidak? Kalau ada yang berpandangan
ya, apakah kemudian konsekuensi yang ditimbulaknnya ? dan apakah
konsekuensi dari yang tidak? Apakah makna keadilan? Apakah keadilan
merupakan sebuah hal yang riil ataukah tidak lebih dari sebuah persepsi
yang utopis? Bedakah anatara keadilan dalam persepsi das sollen dan das
sein?
Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan dasar dia antara berbagai
macam pertanyaan dasar yang lain yang seharusnya dibahas dalam

diskursus awal tentang hukum. Kita akan terjebak dalam persepktif yang
menggiring kita dalam sekularisme yang kemudian memisahkan antara
kajian das sollen dan das sein dalam hukum apabila kita tidak pernah
mengkaji hukum secara filosofis. Dan kalau ini tidak terjadi yang kita
temukan adalah bahwa kita harus mengikuti pertarungan abadi antara dua
kelompok yang mengkaji hukum secara normatif dan sosiologis. Ataukah
menurut pandangan terbaru bahwa ternyata filsafat hukum pun merupakan
sebuah diskursus yang terpisah dengan diskursus normatif dan sosiologis
Das Sollen: apa yang seharusnya dilakukan, sebagai contoh: dalam
Pasal 338 KUHP seseorang dilarang untuk melakukan pembunuhan, maka
yang menjadi patokan adalah larangan untuk membunuh. Pasal ini hanya
menuliskan seyogyanya atau seharusnya apa yang dilakukan oleh seseorang
dalam bertindak.
Das Sein: apa yang kenyataannya terjadi, sebagai contoh apabila
seseorang melanggar Pasal 338 KUHP, maka layaknya orang tersebut telah
terbukti maka dapat diberikan hukuman maksimal 15 tahun penjara, jadi
dalam asas ini hanya dipentingkan yaitu kejadian apabila terlanggarnya
aturan yang telah dibuat.
Dibedakan antara kaedah hukum das atau Sollen dan kenyataan atau
das Sein.
Hukum merupakan kaedah mati/pasif, hanya merupakan pedoman.
Untuk menjadi aktrif membutuhkan rangsangan.
Dunia Kaedah Hukum berisi kenyataan normatif (das Sollen):

barang siaopa mencuri harus dihukum (pencurian)

barang siapa membeli harus membayar (jual beli)


Dunia kenyataan/kenyataab ssosial/kenyataan alamiah (das sein):

mengambil barang milik orang lain

menyerahkan barang milik seseorang dan orang lain menyerahkan uang


Peristiwa hukumnya baru tampil, jika terhadap peristiwa konkrit

diberi kualifikasi hukum (oleh hukum) sebagai pencurian dan jual beli.
Fungsi peristiwa konkrit: menggerakkan hukum atau mewujudkan
peristiwa peristiwa hukum menjadi kenyataan sesuai bunyinya (dpa memiliki
akibat: Suta mencuri, karena itu harus dihukum )
Sollen, membutuhkan Sein agar supaya hukum menjadi hidup sesuai
bunyinya. Sebaliknya Sein membutuhkan Sollen, untuk merubah peristiwa konkrit
menjadi peristiwa hukum, sehingga hukum dapat diterapkan (memiliki akibat
hukum).3

3 https://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/13/sollen-vs-sein-adalah/

Anda mungkin juga menyukai