Anda di halaman 1dari 101

Nama : Raras Verawati

NIM : 201810110311233

Kelas : 1D- Ilmu Hukum

F. Jaman Berkembangnya Hukum Alam

1. Teori Hukum Alam abad ke XVII


Ajaran hukum alam memberikan suatu dasar baru bagi tinjauan mengenai pemikiran
tentang negara dan hukum, yang di dalam sejarah pemikiran tentang negara dan hukum
mempunyai kedudukan tersendiri dan pentint, serta mempunyai akibat-akibat yang lebih
jauh bagi perkembangan ketatanegaraan,terutama di Eropa Barat, khususnya dalam abad
ke XVII dan abad ke XVIII, teori hukum alam ini sangat berkuasa dan menimbulkan
ajaran-ajaran baru.
Teori hukum alam berkembang dalam bentuk yang baru atau modern dalam abad ke XVII
dan abad ke XVIII. Tetapi dalam kedua abad ini, ajaran hukum alam mempunyai
perbedaan. Perbedaan itu bersifat pokok, prinsipil atau azasi. Namun perbedaan itu tidak
mengenai materi atau isi pokok ajarannya, melainkan hanya mengenai atau terletak pada
sifatnya, atau fungsinya, atau cara penggunaannya.
Perkembangan ajaran hukum alam pada abad ke XVII itu orang mulai sadar akan
kesewenangan-wenangan para raja yang memerintah dengan kekuasaan yang absolut,
serta eksesnya atau bahayanya. Tetapi pemikirannya hanya bersifat konstruksi,
membangun dan menerangkannya. Sedangkan sifat ajaran hukum alam pada abad XVIII
adalah lain sekali. Abad ke XVIII merupakan abad daripada akal pikiran, meskipun abad
ke XVII juga demikian, tetapi tugas yang diberikan kepada ratio pada abad ke XVIII
berubah dari menerima dan menerangkan menjadi memberikan penilaian, jadi menilai.
Hukum alam akan memperoleh tempat yang bebas dan tidak tergantung dari bermacam-
macam agama bahkan akan berdiri di atasnya, oleh karena orang akan memasukannya
didalam pandangan dunia renaissance yang komis-matematis itu. Perbuatan itu akan
merupakan peristiwa atau masalah yang maha besar dan penting dalam sejarah pemikiran
tentang negara dan hukum. Dan dalam hal ini nama Hugo de Groot atau Grotius akan
menjadi orang yang pertama yang meletakkan dasar-dasar daripada hukum alam modern
(hukum alam pada abad ke XVII dan abad k XVIII).
a. Grotius ( Hugo de Groot)
Hidup pada tahun 1583-1645, di negeri Belanda. Pernah ia mengikuti perjalanan
Oldenbarneveld ke Perancis. Pernah ia pada tahun 1619 dijatuhi hukuman seumur
hidup, karena ia menjadi penganut kaum Remostran. Akan tetapi pada tahun 1621 ia
dapat melarikan diri dari karangannya yang terkenal De Jure Belli ac Pacis (hukum
perang dnlan damai), yang kemudian setelah selesai dipersembahkan kepada raja
Perancis Louis XIII.
dengan bukunya itulah Grotius menjadi seorang ahli pemikir besar tentang negara dan
hukum, serta dianggap sebagai peletak dasar pertama, atau pelopor, bahkan pencipta
daripada hukum alam modern. Meskipun Grotius adalah seorang pemeluk agama
yang tekun, dan percaya sekali denfan adanya Tuhan, namun dalam ucapannya,
sebagai berikut :" bahwa Tuhan sendiri tak dapat mengadakan perubahn suatu apapun
pada kebenaran, bahwasannya dua kali dua itu adalah empat. Dengan demikian
dapatlah ditunjukkan suatu lapangan yang berlaku umum, disamping keadaan
terpecah belah dilapangan agama itu. Hukum alam itu adalah suatu peraturan dari
akal murni dan karena itu demikian tetapnya, hingga Tuhan sendiri tak dapat
merubahnya. Sebab bagaimanakah bisa terjadi bahwa Yang Maha Esa dapat bertindak
bertentangan dengan apa yang patut menurut akal. Dalam kekuasaan pikiran itu
manusia mendapati kunci untuk pedoman hidup yang bernilai moril. Bahkan,
seandainya Tuhan itu tidak ada, atu tidak memperdulikan manusia, maka akal itu akan
dapat memimpin manusia. Akal itu berlaku dengan tiada bergantung pada kekuasaan
yang gaib."
Dengan demikian maka filsafat Grotius tentang negara dan hukum adalah suatu usaha
untuk mengatasi segala perpecahn dilapangan agama, dengan berdasarkan pada akal
manusia yang berlaku umum itu. Bahkan tidak hanya terbatas pada kaum Kristen
saja, melainkan juga berlaku untuk dan mengikat semua orang kafir dan atheis.
Meskipun Grotius dianggap sebagai pencipta daripada ajaran hukum alam modern,
namun ajarannya itu banyak diilhami, dan hukum alamnya itu lebih langsung
berhubungan dengan : hukum alam jama kuno (Yunani kuno- Aristoteles), kamu Stoa
(Zeno), dan Cicero daripada dengam Thomas Aquinas dan Francesco Suarez.
Dalam menetapkan dasar-dasar modern untuk pemikiran tentang negara dan hukum,
misalnya Grotius sangat terpengaruh oleh ajaran Aristoteles, bahwa manusia itu
adalah mahluk sosial, sehingga karena itu ia selalu mempunyai hasrat untuk hidup
bermasyarakat. Akan tetapi, demikian Grotius, manusia itu memiliki akal atau rasio,
lain halnya dengan hewan, maka dari itu kepentingan dan keuntungan diri sendiri
yang menyingkirkan kepentingan umum, tidak daoat dijadikan dasar daripad pikiran
tentang keadilan. Dengan ini Grotius menentang ajaran Carneades, seorang sofist
Yunani kuno. Tetapi ajaran dari Carneades ini nanti akan menjadi pendirian dan
pedoman ajaran Thomas Hobbes.
Grotius dalam menguraikan tentang apa yang disebut hukum alam itu sebenarnya ada
hubungannya dengan soal lain, yaitu dengan hukum perang dan hukum damai. Di sini
dia mencari bukti bahwa antara negara-negara yang masing-masing mempunyai
hukum sendiri-sendiri itu, ada unsur-unsur yang mengikat negara-negara tersebut,
baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Maka ia lalu mencari
hakekat dari hukum tersebut. Mula-mula hukum itu berlaku untu negara itu sendiri,
tetapi menurut Grotius hukum tersebut juga harus dihormati oleh negara-negara lain.
Hanya dalam keadaan perang kadang-kadang negara-negara itu dapat bertindak
sendiri-sendiri.
Jadi Grotius itu hendak mencari sifat internasional daripada hukum tersebut. Dengn
demikian Grotius selain sebagai peletak dasar hukum alam modern, juga termasyur
karena ajarannya mengenai hukum antar bangsa-bangsa. Grotius membicarakan
hukum ini dari segi peperangan. Sedangkan dahulu, sepertinya pada Francesco
Suarez, orang membicarakan hukum antar negara itu terutama dipandangnya sebagai
hukum yang berlaku sama untuk setiao negara. Sedangkan menurut Grotius hukum
antar negara itu diartikan sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara-
negar. Pengertian hukum antar negara yang lama dalam pengertian yang pertama tadi
berasal dari kaum Stoa.
Kemudian dalam hukum antar negara ini yang dibicarakan lebih lanjut oleh Grotius
ialah norma-norma apa yang berlaku di antara dua negara atau lebih, dalam soal apa
saja, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Sebab kalau masing-
masing negara itu berdaulat, lalu apa yang membatasi, karena tidak mungkin kalau
masing-masing negara itu bertindak sendiri semau-maunya, tanoa menghiraukan
kepentingan negara lain. Jadi tentu ada yang membatasi agar dalam negara-negara itu
terciota perdamaian.
Grotius menyatakan bahwa yang mengikat antara negara-negara itu, atau hukum yang
berlaku antara negara negara itu, adalah suatu norma tertentu, yang norma itu
meskipun tidak tertulis atau tidak diterapkan dalam hukum negara, toh norma itu
berlaku juga. Jadi sebenarnya norm itu bukan buatan negara atau bukan buatan raha,
tetapi itu adalah buatan dari alam kodrat.
Menurut Grotius hukum alam adalah segala ketentuan yang benar dan baik menurut
rasio, dan tidak mungkin slaah, lagi pula adil. Sebagai contoh misalnya :
1. Orang harus menghormati milik orang lain.
2. Orang harus menghormati orang lain.
3. Orang harus mengganti kerugian yang ditimbulkan karena kesalhannya.
4. Orang harus menepati janji.
5. Orang harus mengembalikan milik orang lain yang ada padanya secara tidak syah.

Ketentuan ini di mana saja ada, baik dalam negar moden, maupun dalam negara yang primitif.
Ketentuan-ketentuan tersebut sedah berlaku dan terdapat didalam sanubari manusia. Di samping
itu ada ketentuan-ketentuan lainnya yang sesuai dengan rasio. Dan inilah yang disebut hukum
alam. Jadi hukum alam adalah hukum yang berdasarkan atas rasio. Dengan demikian inilah
Grotius telah meletakkan dasar baru bagi hukum alam, yaitu rasii. Ini lain atau berbeda dengan
hukum alam dari Johannes Althusius yang menyatakan bahwa hukum alam itu berasal dari
Tuhan.

Semua penganut aliran hukum alam mengatakan bahwa negara itu adanya atau terjadi karena
diselenggarakan suatu perjanjian. Jadi demikian pula pendapat Grotius. Bahkan sebelumnya pun
telah ada pendapat demikian. Misalnya pendapat dari Marsilus.

Menurut Marsilus yang menyebabkan orang-orang itu menyelenggarakn perjanjian adalah


karena orang-orang iti mendapat ilham dari Tuhan. Dan Tuhan itu disebut sebagi causa remota-
nya. Tetapi kalau menurut Grotius yang menyebabkan itu adalah: karena orang itu adalah mahluk
sosial, karena itu padanya selalu ada hasrat untuk hidup bermasyarakat, dan yang penting ialah
karena manusia memiliki rasio. Karena faktor-faktor inilah manusia lalu hidup bermasyarakat,
untuk mencapai tujuannya, ialah: ketertiban dan keamanan umum. Dan tugas ini diserahkan
kepada seorang raja dalam suatu perjanjian. Grotius telah memutuskan hubungan antara
pemikiran tentang negara dan hukum dengan pandangan teologis yang telah berlangsung
berabad-abad lamanya. Alam pikiran Grotius yang demikian ini diikuti dan diteruskan oleh
Thomas Hobbes meskipun dalam keadaan serta dengan cara yang berbeda.

b. Thomas Hobbes

Ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Inggris. Ia hidup pada tahun 1588-1679. Ia
hidup dalam masa sistem pemerintahan absolut di bawah kekuasaan Charles I dan Charles II di
Inggris. Juga demikianlah keadaan sistem pemerintahan di beberapa negara lainnya. Misalnua
Spanyol di bawah kekuasaan raja Philip II. Juga Perancis. Keadaan sistem pemerintahan
absolutisme inilah yang dibela oleh Thomas Hobbes. Dalam arti Thomas Hobbes menerima
keadaan dan kenyataan itu sebagai suatu keadaan dan kenyataan yang sewajarnya, maka
kemudian ini diterangkan dan diberi dasar-dasar hukumnya untuk menguatkan keadaam dan
kenyataan tersebut.

Sumbangan Thomas Hobbes ialah suatu sistem materalistis yang besar, dalam mana termasuk
juga peri kehidupan organis dan rokhaniah. Artinya bahwa tujuan hidup, yaitu kebahagiaan, itu
hanya dapat dicapai dengan cara berlomba, dengan gerak. Adapun alat-alat untuk dapat mencapai
kebahagiaan adalah: kekuasaan, kekayaan, nama baik atau keagungan pribadi dan kawan.
Sedang kekuasaan terbesar untuk kepentingan manusia adalah negara. Ajarannya itu ditulis
dalam dua buah bukunya yang sangat terkenal, ialah : De Cive (tentang warga negara) dan
Leviathan (tentang negara).

Sebagai seorang penganut aliran hukum alam Thomas Hobbes di dalam menerangkan atau
menguraikan ajarannua iti berpokok pangkal atau bertitik tolak pada keadaan manusia sebelum
adanya negara, jadi masih dalam keadaan alamiyah, di mana manusia itu hidup dalam keadaan
alam bebas tanpa ikatan suatu apapun, dalam keadaan demikian ini manusia selalu saling
bermusuhan, saling menganggap lawan, dan saling merasa takuy kalau-kalau manusia yang lain
itu akan mendahului dan akan mendapatkan lebih banyak pujian daripada dirinya sendiri. Maka
terjadilah selalu perlawanan atau peperangan seorang melawan seorang, seorang melawan semua
orang, semua orang melawan semua orang. Keadaan inilah disebut: Bellum omnium contra
omnes, di mana setiap orang selalu memperlihatkan keinginan-keinginannya yang betul-betul
bersifat egoistis, jadi dalam keadaan itu tidak ada pengertian adil dan tidak adil sama sekali,
sedangkan yang berlaku hanyalah nafsu-nafsu manusia saja. Sebab untuk adanya keadilan harus
ada peraturan yang mengatur serta mengukur perbuatan manusia. Ini berarti harus adanya si
pembuat peraturan atau undang-undang, jadi berarti juga harus ada negara.

Keadaan Bellum omnium contra omnes tadi tentunya ada yang menyebabkan. Keadaan ini yang
menyebabkan tidak lain adalah : bahwa manusia dalam keadaan in abstracto itu telah memiliki
sifat-sifat tertentu, yaitu :
1. Competition, Competition, persainga. Ini berarti bahwa manusia itu selalu berlomba
untuk mengatasi manusia yang lain, karena adanya rasa takut bahwa dia tidak akan
mendapatkan pujian. Dalam hal bersaing ini mereka dapat mempergunakan cara apapun.
Ini menimbulkan sifat yang kedua, yaitu,
2. Defentio, defend, mempertahankan atau membela diri. Ini berarti bahwa manusia itu
tidak suka dikuasai atau diatasi oleh orang lain. Karena manusia itu selalu mempunyai
keinginan untuk menguasai yang lain, maka sifat membela diri ini merupakan jaminan
bagi keselamatannya. Ini menuju ke,
3. Gloria. Ini adalah sifat keinginan dihormati, disegani, dan dipuji.
Ketiga sifat ini tetap dimiliki oleh manusia semenjak ia lahir, dan terus-menerus membayangi
manusia untuk mengobarkan hawa nafsunya, dan inilah yang selalu menimbulkan ketegangan-
ketegangan, dan jika ketegangan ini sudah memuncak meletuslah menjadi perlawanan atau
peperangan, jadi timbullah bellum omnium contra omnes tadi.
Tetapi untunglah bahwa manusia itu sebenarnya takut akan adanya bellum omnium contra omnes
tadi, karena di sampinh tiga sifat itu tadi manusia masih memiliki sifat-sifat yang lain, yang
menyebabkan tidak terlaksananya tiga sifat tadi, karena tiga sifat yang disebutkan terakhir itu
hanya daapat terlaksana dalam keadaan damai. Tiga sifat itu ialah :
1. Takut mati.
2. Ingin memiliki sesuatu.
3. Ingin mempunyai kesempatan untuk bekerja agar dapat memiliki sesuatu tadi.
Maka dengan adanya tiga sifat yang terakhir ini, tiga sifat yang tersebut duluan itu tidak dapat
meletus, tidak dapat terlaksana, karena memang mereka menghendaki supaya di antara mereka
itu ada perdamaian, dan tidak hanya ada permusuhan saja. Untuk terselenggaranya perdamaian
ini maka menurut Thomas Hobbes, manusia-manusia itu lalu mengadakan suatu perjanjian, yang
disebut perjanjian masyarakat, untuk membentuk suatu masyarakat dan selanjutnya negara. Di
mana setiap orang di dalam negara itu dapat bekerja untuk memiliki sesuatu dan tidak selalu
terancam jiwanya.
Perjanjian tadi sifatnya mengikat berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum alam, tetapi meskipun
demikian manusia itu kadang-kadang masih ingin juga mengingkarinya, karena sifat-sifat
manusia yang competition, defentio, dan Gloria tadi.
Di dalam perjanjian masyarakat tadi, yang tujuannya untuk membentuk masyarakat dan
selanjutnya negara, tujuan utamanya adalah menyelenggarakan perdamaian. Di sini setiap orang,
dengan tiada pengecualian harus melepaskan kemerdekaan yang berdasarkan alam itu, dan
dianggaplah adil jika semua orang berbuat begitu dan selanjutnya menaati perjanjian.
Dalam perjanjian masyarakat itu juga mereka menunjuk seseorang penguasa yang diserahi untuk
menyelenggarakan perdamaian tersebut. Penguasa itu tadi, raja Namanya, mempunyai kekuasaan
yang absolut, karena raja itu tidak menerima kekuasaan dari masyarakat yang telah didirikan
oleh perjanjian tadi, melainkan raja itu tadi langsung menerima kekuasaan dari orang-orang yang
mengadakan perjanjian tersebut. Jadi raja di dalam perjanjian masyarakat itu tidak merupakan
partai, tidak merupakan pihak, melainkan berada diluar perjanjian.
Perlu terlebih dahulu diingat teori perjanjian Thomas Hobbes, ini berbeda dengan teori-teori
yang lain yang sudah ada sampai saat itu.
Menurut Thomas Hobbes perjanjian itu adalah perjanjian masyarakat, sifatnya langsung, artinya
orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian itu langsung menyerahkan atau melepaskan
haknya atau kemerdekaannya kepada raja, jadi tidak melalui masyarakat, raja berada diluar
perjanjian, jadi tidak merupakan pihak dalam perjanjian itu, dengan demikian raja tidak terikat
oleh perjanjian, dan mempunyai kekuasaan yang absolut. Sedangkan sebab adanya perjanjian itu
sendiri adalah rasa takut yang ada pada tiap-tiap manusia bahwa keselamatannya selalu
terancam. Jadi pengikatnya adalah nasib.
Menurut Marsilius perjanjian itu adalah perjanjian penundukan antara penguasa atau raja dengan
rakyatnya. Ini sifatnya bertingkat. Artinya bahwa orang-orang yang menyelenggarakan
perjanjian itu menyerahkan kekuasaannya kepada masyarakat yang mereka bentuk, kemudian
masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaan itu kepada raja. Jadi dengan demikian
kedaulatan tetap ada pada rakyat, raja hanya melaksanakan kekuasaan itu saja. Sedangkan sebab
adanya perjanjian itu sendiri adalah bahwa Marsilius ingin menunjukkan kekuasaan negara, dan
membuktikan bahwa negara kedudukannya lebih tinggi daripada gereja.
Menurut Johannes Althusius, perjanjian itu adalah perjanjian penundukan. Sifatnya adalah
bertingkat. Artinya, dalam perjanjian itu orang-orang menyerahkan kekuasaanya kepada
kesatuannya, yaitu rakyat. Rakyat ini kemudian mengadakan perjanjian dengan raja untuk
menjalankan undang-undang, sedagkan rakayt berjanji akan taat. Kekuasaan tertinggi tetaap pada
rakyat, demikian juga hak untuk membuat undang-undang. Jadi kalau rj melanggar undang-
undang rakyat dapat menurunkan raja, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan. Sebab adanya
perjanjian itu sendiri adalah bahwa Althusius ingin menegaskan bahwa kedaulatan ataau
kekuasaan tertinggi itu ada pada rakyat.
Menurut Grotius, nama perjanjia itu adaalah perjanjian masyarkat, sifatnya bertingkat. Jadi
menyerahkan kekuasaan dari orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian kepada raja itu
melalui masyarakat. Sebab adanya perjanjian itu sendiri adalah bahwa menurut Grotius manusia
itu adalah makhluk sosial. Jadi selalu ada hasrat untuk bermasyarakat (appetitus societatis).
Selanjutnya menurut penapat sarjana-sarjana hukum alam lainnya nanti dibicarakan setelaah kita
mengetahui ajarannya, sekarang kita lanjutkan membicarakan ajaran Thomas Hobbes.
Di dalam perjanjian masyarakat itu (ini perjanjia masyarakatnya Thomas Hobbes) tersimpul
penyerahan hak-hak dari individu-individu kepada masyarakat, kecuali dari raja, ingat, bahwa
raja di sini tidak ikut dalam perjanjian. Dengan demikian menurut Thomas Hobbes, karena raja
bukan partai di dalam perjanjian itu, maka raja tidak ada janji-janji apalagi terkait oleh
perjanjian, maka kekuasaan raja adalah absolut. Raja dapat melaksanakan apa saja, bahkan
diperbolehkan membunuh sekalipun, asal ini untuk perdamaian yang menjadi tujuan daripada
perjanjian masyarakat, jadi juga menjadi tujuan negara. Kalau raja berbuat melawan hukum,
tidak dapat dikatakan raja bersalah, atau melanggar hak orang lain, atau melanggar perjanjian
masyarakat itu sendiri, sebab raja tidak bertanggung jawab kepada siapa-siapa. Paling-paling
hanya dianggap bahwa raja itu berdosa terhadap Tuhan, tetapi terhaadap negara atau masyarakat
atau rakyat atau individu tidak. Karena raja itu berada di luar partai-partai atau pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian. Inilah yang merupakan alasan yuridis bagi kekuasaan raja yang absolut
itu. Dandingkan dengan ajaran Niccolo Machiavelli dan ajaran Jean Bodin.
Di samping itu masih ada alasan atau dasar lain bagi kekuasaan raja yang absolut tadi, yaitu
tujuan daripada perjanjian atau tujuan negara itu sendiri ialah perdamaian. Berdasarkan ini maka
menurut Thoma Hobbes tidaklah benar kalau kekuasaan penguasa atau raja itu dibatasi. Sebab
kalau kekuasaan penguasa atau raja itu dibatasi, maka akan selalu menimbulkan persoalan, yaitu
persoalan tentang batas itu sendiri. Persoalannya ialah :
1. Dengan apakah kekuasaan penguasa atau raja itu akan dibatasi ?
2. Sampai dimanakah pembatasan kekuasaan penguasa atau raja itu ?
Persoalan-persoalan mana tentu akan selalu menimbulkan perdebatan-perdebatan didalam
masyarakat atau negara, perdebatan itu kalau tidak dapat diselesaikan tentu akan menimbulkan
pertentangan-pertentangan, pertentangan itu kalau sudah memuncak akan Meletus menjadi atau
menimbulkan peperangan, peperangan ini tentu akan mengancam terselenggaranya perdamaian.
Maka dari itu kekuasaan penguasa atau raja itu tidak usah dibatasi saja, biarlah tetap bersifat
mutlak atau absolut.
Kekuasaan raja yang bersifat absolut ini meliputi segala segi kehidupan didalam masyarakat,
baik yang bersifat keduniawian maupun yang bersifat kebathinan atau kepercayaan, misalnya
soal agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia itu tidak mempunyai kepribadian lagi
sebab ternyata bahwa kebebasan individua mat terbatas, yaitu terbatas hanya pada hal-hal yang
belum diatur oleh raja, sedangkan pada azasnya raja dapat mengatur apa saja untuk
menyelenggarakan perdamaian.
Thomas Hobbes adalah seorang penganut agama, ia percaya adanya Tuhan, jadi buka seorang
atheis. Tetapi pendapatnya mengenai hubungan antara negara dan gereja adalah bahwa gereja itu
menjadi satu dengan negara dan raja adalah pemimpin daripada gereja-gereja dengan
kekuasaannya yang absolut. Jadi bedanya Niccolo Machiavelli adalah kalau Niccolo Machiavelli
memisahkan antara agama dengan pemikir tentang negara dan hukum, sedangan Thomas Hobbes
menempatkan pemikiran tentang negara dan hukum itu justru diatas agama.
Perbedaannya dengan pendapat Jean Bodin juga tajam, yaitu meskipun negara itu yang memiliki
kedaulatan atau kekuasaan tertinggi, tetapi kedaulatan itu masih dibatasi dengan hukum Tuhan
dan hukum Alam. Sedangkan kalau menurut Thomas Hobbes kedaulatan raja itu diatas segala-
galanya dan meliputi apa saja, bahkan tadi dikatakan bahwa raja itu juga pemimpin daripada
gereja.
Perbedaannya dengan Grotius terlihat pula dalam, bahwa menurut Grotius negara-negara itu satu
sama lain saling berhubungan dan yang menjadi perekatnya adalah hukum alam, sedangkan
kalau menurut Thomas Gobbes negara-negara itu satu sama lain terpisah sama sekali dan hidup
didalam keaadaan alamiyah di mana masing-masing sebaiknya mempertahankan diri terhadap
yang lain sebaik mungkin.
Pokok pangkal atau dasar daripada ajaran Grotius yaitu manusia dalam keadaan alamiyah atau
manusia dalam keadaan sebelum ada negara atau manusia in abstacto yang pada dasarnya itu
bersifat sosial, dan pokok pangkal atau dasar daripada ajaran Thomas Hobbes yaitu juga manusia
dalam keadaan alamiyah, tetapi yang pada dasarnya itu bersifat anti-sosial, dipersatukan oleh
Samuel von Pufendorf, dan yang kemudian dipergunakan sebagai pokok pangkal daripada
ajarannya. Karena ia dalam menguraikan ajarannya mempergunkan cara berfikir yang demikian
ini tidak dpat mempergunakan pokok pangkal yang berwlawanan.
Samuel Von Pufendorf adalah seorang sarjana Jerman, ia hidup pada tahun 1632-1694. Ia adalah
seorang maha-guru. Ajarannya bersifat kombinasi antara ajaran Grotius dengan ajaran Thomas
Hobbes. Dari Grotius diambilnya pengertian hukum alam, yaitu sebagai suatu peraturan dari akal
pikiran atau rasio murni. Sedang dari Thomas Hobbes diambilnya sifat keserakahan daripada
manusia. Dengan demikian Samuel Von Pufendorf menetapkan sebagai pokok pangkal ajarannya
adalah manusia dalam keadaan alamiah atau manusia inabstrako, tetapi manusia inabstrako ini
hidupnya tidak seperti yang digambarkan oleh Thomas Hobbes, melainkan mereka telah di
persatukan oleh naluri-sosial-alamiahnya, mereka hidup tanpa kekuasaan manusia karena
baginya yang berlaku adalah hukum alam saja, jadi hanya semacam ilham, bukan akal mereka.
Maka mereka ini merasa tidak bahagia, tetapi meskipun demikian mereka tidaklah selalu dalam
keadaan peperangan atau kekacauan karena keserakahan nya seperti yang digambarkan oleh
Thomas Hobbes bellum omnium contra omnes. Untuk menghindari ketidak bahagiaan itu tadi,
mereka lalu menyelenggarakan perjanjian, Namanya perjanjian sukarela.
Perjanjian ini sifatnya bertingkat. Pertama orang-orang itu menyelenggarakan perjanjian
masyarakat, untuk membentuk suatu masyarakat. Kemudian masyarakat itu menyelenggarakan
perjanjian penundukan dengan penguasa atau raja. Jadi di sini raja itu di pilih, kekuasaannya
tidak absolut, kekuasaannya dibatasi oleh hukum Tuhan, hukum alam dan adat kebiasaan, serta
tujuan daripada masyarakat yang telah didirikan, yaitu kebahagiaan, dan kesejahteraan umum.
Samuel Von Pufendorf adalah maha guru pertama di Jerman yang memberikan mata pelajaran
hukum alam. Pokok uraiannya mengenai hukum alam dan hukum antar negara, maka dari itu
bukunya diberi nama Jus naturale et gentium. Ajaran Samuel Von Pufendorf kemudian
dilanjutkan oleh Christian Thomasius.
Christian Thomasius hidup pada tahun 1655-1728. Ia menulis buku tentang dasar-dasar
hukum alam dan hukum antar negara(Fundamenta Juris naturale et gentium). Dalam bukunya itu
ia memberikan pemisahan yang tajam antara hukum dengan kesusilaan. Ajarannya tentang
hukum alam bersifat praktis, karena dia berpendapat bahwa hukum alam itu berasal dari
penguasa yang tidak memerlukan perjanjian penundukkan, dengan demikian perjanjian
masyarakat juga diingkarinya. Sebab di antara penguasa atau raja dengan rakyat terdapat suatu
sistem pemerintahan, yaitu konstitusi. Inilah pemikiran yang asli daripadanya.
Ajaran dari Samuel Von Pufendorf mengatakan bahwa hukum antar negara itu merupakan
bagian daripada hukum alam dan dapat ditemukan dengan akal. Sedang dalam ajaran Christian
Thomasius mengatakan bahwa hukum alam yang lahir dari faktor-faktor yang bersifat takdir dan
berdasarkan sifat naluri manusia akan terdesak ke belakang, sedangkan pikiran tentang
perundang-undangan akan tampil ke muka dan terlihat dengan terang. Dengan demikian ajaran
dari Christian Thomasius akan merupakan langkah penting dalam pertumbuhan hukum alam
pada abad ke XVII.
c. Benedictus de Spinoza
seorang sarjana Belanda, ia hidup pada tahun 1632-1677. Bukunya yang terpenting dalam
pemikiran tentang negara dan hukum adalah : Etika, yang disusun secara geometris. Dan
Traktat Teologis Politik. Meskipun dia adalah seorang sarjana hukum alam, tetapi dalam
banyak hal pendapatnya adalah sangat berbeda. Spinoza mengatakan bahwa hukum alam
itu bukan suatu Sollen, akan tetapi adalah satu Sein.
Jadi dengan demikian Spinoza tidak mengatakan bagaimana orang itu seharusnya, tetapi yang
dinyatakan adalah : bagaimana orang itu dalam keadaan alam yang sewajarnya. Menurut
Spinoza, manusia itu, baik waktu masih dalam keadaan alamiah, maupun sesudah bernegara,
perbuatannya tidak semata-mata berpedoman atau didasarkan pada rasio saja, akan tetapi
sebagian besar dari perbuatan manusia itu dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Malahan ilmiah yang
memberi corak pada perubahan manusia.
Lebih lanjut Spinoza mengatakan bahwa, jika perubahan manusia itu hanya didasarkan atas rasio
saja, ini belum memberikan kepuasan. Oleh karena manusia sebagai mahkluk sosial
membutuhkan perdamaian. Sebaliknya jika perbuatan manusia itu hanya di dasarkan atas
nafsunya seperti dalam keadaan alamiah, juga tidak akan memberikan kepuasan, karena
disamping nafsu manusia memiliki rasio. Sifat-sifat kodrat manusia yang demikian ini tidak akan
dilepaskan meskipun manusia itu telah hidup dalam negara.
Maka salah satu soal yang dikemukakan oleh Spinoza adalah, bagaimanakah mungkinnya orang
yang semula hidup dalam keadaan alam bebas, dalam keadaan alamiah, beralih ke-keadaan
bernegara, dimana ia hidup dibawah kekuasaan negara dan selalu terikat oleh semua peraturan-
peraturan dan atau undang-undang. Hal ini dijelaskan oleh Spinoza, bahwa dalam keadaan
alamih manusia itu memang hidup dengan sefala hawa nafsunya, tetapi hal ini tidak memberikan
kepuasan, karena sebagai mahkluk sosial manusia itu ingin hidup dengan damai, aman, dan tanpa
ketakutan. Untuk mencapai tujuan inilah maka manusia membentuk negara.
Tentang terjadinya negara menurut Spinoza, apakah itu karena perjanjian masyarakat ataukah
tidak, tidak begitu terang. Karena ia hanya menerangkan secara logis peralihan dari keadaan
alamiah ke-keadaan bernegara.
Tugas negara meurut Spinoza adalah menyelenggarakan perdamaian, ketentraman dan
menghilangkan ketakutan. Maka untuk mencapai tujuan ini, warga negara harus menaati segala
peraturan dan undang-undang negara, ia tidak boleh membantah, meskipun peraturan dan
undang-undang negara itu sifatnya tidak adil dan merugikan. Sebab jika tidak demikian, maka
keadaan alamiah akan timbul kembali. Jadi dengan demikian kekuasaan negara adalah mutlak
terhadap warga negaranya.
Hanya dua hal yang tidak dapat dikuasi oleh negara secara mutlak, yaitu berpikir dan
menimbang. Maka akibatnya bila sebahagian besar daripada warga negaranya tidak mau tunduk,
tidak mau taat, negara tidak dapat berbuat apa-apa.
Mengenai bentuk negara yang dipilih Spinoza adalah bentuk Aristrokasi, sebab di sini yang
berkuasa adalah beberapa orang, dan dasar kekuasaannya akan lebih kokoh dan kuat daripada
dalam monarki yang hanya diperintah oleh satu orang saja, yang selalu dipengaruhi oleh
kepentingan pribadi, apalagi kalau sifatnya turun-temurun, jadi pokonya monarki ditolak.
Pemikiran Spinoza belum sampai pada Demokrasi, karena ia telah meninggal.
Dari seluruh ajarannya, Spinoza lebih memperlihatkan cara berpikir, yang berdasarkan atas
kenyataan, dan telah mengganti pandangan yang abstrak tentang susunan pemerintahan dengan
suatu pandangan yang berdasarkan atas kenyataan, dimana keadaan-keadaan yang nyata
menguasai pikiran tentang negara dan hukum seluruhya. Kecenderungan memperlihatkan dari
cara berpikir secara abstrak kea rah praktek kenegaraan tamapk lebih jelas pada alam pikiran
seorang sarjana Inggris, yang merupakan jembatan antara pemikiran tentang negara dan hukum
pada abad ke XVII dengan pemikiran tentang negara dan hukum pada abad ke XVIII, dengan
akibat bahwa pemikiran tentang negara dan hukum pada abad ke XVIII bersifat lain sama sekali
dengan sifat pemikiran tentang negaara dan hukum pada abad ke XVII. Sarjana tersebut yang
dimaksud adalah : John Locke.
d. John Locke
Ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Inggris. Ia hidup pada tahun 1632-
1704, di bawah kekuasaan pemerintah Willem III, yang sifat pemerintahannya adalah Monarki
yang sudah agak terbatas. Dan memang demikianlah, bahwa seluruh ajaran John Locke terutama
ajarannya tentang negara dan hukum, berhubungan langsung dengan, dan mengandung gambaran
yang jelas serta bersifat pembenaran pemerintahan monarchi terbatas diciptakan oleh Willem III
bersama permaisuri-nya Mary.
Ajaran John Locke tentang negara dan hukum nantinya adalah akan merupakan jembatan antara
pemikiran tentang negara dan hukum pada abad ke XVII dengan pemikiran tentang negara dan
hukum pada abad ke XVIII. Dan dengan demikian hukum alam pada abaad ke XVII mengalami
suatu pertumbuhan serta perkembangnya yang semula. Ini di sebabkan karena adanya faktor
faktor yang terletak di luar obyek dari pikiran yang sebenarnya, diluar pikiran abstrak.
Dari ajaran John Locke nanti yang perlu mendapatka perhatian istimewa adalah tentang
pendapatnya mengenai hak-hak alamiyah manusia yang tidak dapat diserahkan kepada
masyarkat dengan melalui atau jalan suatu perjanjian. Sebab ajaran atau pendapat itu membuka
kemungkinan besar timbulnya ajaran tentang hak-hak dasar manusia. Dengan demikian dalam
banyak hal ajaran John Locke adalah merupakan lanjutan daripada ajaran kaum monarkomaken,
oleh karena hal ini berarti diadakannya pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan negara,
demi perlindungan kepentingan individu.
Mengenai pendapatnya tentang hukum alam, pendapat John Locke masih sama dengan
pendapat-pendapat sebelumnya, yaitu bahwa hukum alam tetap mempunyai dasar rasional dari
perjanjian masyarakat yang timbul dari hak-hak manusia dari keadaan alamiah, tetapi cara
berpikir yang bersifat logis-deductief-matematis telah dilepaskan dan diganti dengan suatu cara
berpikir yang realistis, dengan memperlihatkan sungguh-sungguh praktek ketatanegaraan dan
hukum. Dan inilah yang kemudian meniumbulkan teori-teori baru, sepertinya : kesabran,
pembagian kekuasaan, ajaran tentang hak-hak azasi atau hak-hak dasar manusia dan kekuasaan
perundang-undangan yang dilakukan oeh suatu dewan perwakilan rakyat.
Ajaran-ajaran John Locke itu nanti semua akan mempengaruhi pemikiran tentang negara dan
hukum apa abad ke XVII, bahkan malahan akan berkembang lebih lanjut dalam pemikiran
tentangg negara dan hukum pada abad ke XVIII, tidak saja itu, bahkan malahan dipraktekkan.
Ajaran john Locke tentang negara dan hukum ditulis dalam bukunya yang terkenal yaitu : Two
on Civil Government.
Semula tujuan daripada aliran hukum alam itu adalah untuk membatasi kekuasaan absolut
daripada negara (Staats-absolutisme) yang diciptakan antara lain oleh Niccolo Machiavelli dan
Jhon Bodin. Jadi sebenarnya teori hukum alam ini merupakan lanjutan daripada aliran
monarkomaken yang dipelopori oleh Johannes Althusius. Tetapi para penganut hukum alam lalu
melepaskan unsur-unsur teologis atau unsur ke-Tuhanan, yang menyatakan bahwa hukum itu
tidak lagi diturunkan dari Tuhan, akan tetapi dari alam kodrat, dan berdasarkan dari Tuhan yang
mengakibatkan kekuasaan penguasa itu didasarkan atas hukum alam, maka dengan demikian
kekuasaan penguasa itu tidak mungkin bersifat mutlak.
Demikianlah antara lain pokok daripada ajaran John Locke, yang menimbulkan konstruksi
pemerintahan yang bersifat terbatas. Ajaran dari Thomas Hobbes pun sebenarnya tidak
menimbulkan konstruksi pemerintahan mutlak, dalam arti segala sesuatunya itu masih
didasarkan atas norma-norma hukum alam.
John Locke sebagaimana ia ahli pemikir hukum alam, mendasarkan juga teorinya pada keadaan
manusia dalam alam bebas. dan memang menganggap bahwa keadaan alam bebas atau keadaan
alamiah itu mendahului adanya negara, dan dalam keadaan itupun telah ada perdamaian dan akal
piker seperti halnya dalam negara. Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes,
karena Thomas Hobbes mengatakan bahwa dalam keadaan alamiah itu tidakada aturan, tidak ada
perdamaian. Jadi keadaannya lain sekali dengan keadaan negara.
Selanjutnya menurut John Locke, dalam keadaan alam bebas atau alamiah itu manusia telah
mempunyai hak-hak alamiah, yaitu hak-hak manusia yang dimiliknya secara pribadi. Hak-hak
alamiah yang dimaksud itu adalah:
1. Hak akan hidup.
2. Hak akan kebebasan kemerdekaan.
3. Hak akan milik, hak akan memiliki sesuatu.
Jadi menurut kodratnya manusia itu sejak lahir telah mempunyai hak0hak kodrat, hak-hak
alamiah, dan yang oleh John Locke disebut hak-hak dasar, atau hak-hak azasi. Inipun berbeda
dengan pendapat Thomas Hobbes, yang berpendapat bahwa dalam keadaan alam bebas itu
manusia belum mempunyai hak apa-apa. Jadi menurut kodratnya manusia itu lahir tanpa hak
apa-apa, hak itu baru akan diperoleh nanti sesudah manusia itu hidup bernegara. Dalam keadaan
alam bebas itu, atau sejak manusia dilahirkan menurut kodratnya baru memiliki sifat-sifat, dan
bukan hak.
Tetapi, demikian John Locke, dalam keadaan alam bebas itu hak-hak azasi manusia tadi dapat
dilaksanakan dengan baik, karena manusia itu selalu diluputi oleh keinginan untuk membela
kepentingan diri-sendiri, sehingga dalam keadaan alam bebas itu tidak ada kepastian hukum, jadi
ketertiban hukum tidak dapat di laksanakan. Ini memang sudah menjadi sifat dan watak daripada
manusia, dan tidak ada seorang pun dapat melepaskan diri dari hal-hal tersebut. Hanya bedanya
ada orang yag hendak membela kepentingannya itu dengan kasar, sedang orang lain secara halus
atau secara tidak langsung.
Maka untuk menjamin terlaksanaannya hak-hak azasi manusia tadi, manusia lalu
menyelenggarakan perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat dan selanjutnya negara.
Dalam perjanjian itu orang-orang menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada masyarakat, tetapi
tidak semuanya. Masyarakat ini kemudian menunjuk seseorang penguasa, dan kepada penguasa
ini kemudian diberikan wewenang untuk mencaga dan menjamin terlaksanaannya hak-hak azasi
manusia tadi. Tetapi di dalam menjalankan tugasnya ini kekuasaan penguasa adalah terbatas,
yang membatasi ialah hak-hak azasi tersebut, artinya di dalam menjalankan kekuasaannya itu
penguasa tidak boleh melanggar hak-hak azasi.
Tugas negara menurut John Locke adalah menetapkan dan melaksanakan hukum alam. Hukum
alam disini dalam pengertiannya yang luas, artinya negara itu tidak hanya menetapkan dan
melaksanakan hukum alam saja, tetapi dalam membuat peraturan-peraturan atau undang-undang
negara pun harus juga berpedoman pada hukum alam. Ciri atau tanda dari pada hukum alam ini
adalah bahwa berlakunya hukum ini umum dan sesuai dengan rasio. Dengan demikian maka
peraturan-peraturan yang sifatnya tidak umum itu bukan peraturan-peraturan dari hukum alam.
Sedangkan peraturan yang ditetapkan dengan cara sewing-wenang itu tidaklah merupakan
hukum alam, karena umum tidak mau manaati, dan ini hanya akan menimbulkan ketidak-pastian
saja.
Jadi dengan demikian tugas negara adalah :
1. Membuat atau menetapkan peraturan. Jadi dalam hal ini negara melaksanakan kekuasaan
perundang-undangan, legislative.
2. Melaksanakannya peraturan-peraturan yang telah ditetapkan itu. Tugas ini sebetulnya
sama pentingnya dengan tugas yang pertama. Tugas ini berarti pula bahwa jika peraturan-
peraturan hukum itu dilanggar, negara harus menghukum dan akibat dari pelanggaran itu
harus ditiadakan. Jadi di sini tugas negara tidak hanya melaksanakan peraturan saja,
tetapi juga mengawasi pelaksanaan tersebut, eksekutif dan judikatif.
3. kekuasaan mengatur hubungan dengan negara-negara lain, federative.
Ketiga tugas inilah yang kemudian disebut Trias Politika, yang nanti akan diuraikan lebih lanjut
dan disempurnakan oleh Montesquieu, dalam abad ke XVIII.
Selanjutnya sehubungan dengan teorinya pembahagian kekuasaan negara tadi John Locke
membicarakan tentang bentuk-bentuk negara. Dalam hal ini yang dipergunakan sebagai kriteria
adalah siapa kekuasaan perundang-undangan itu diserahkan. Ini dipergunakan sebagai kriteria,
oleh karena kekuasaan perundang-undangan adalah kekuasaan yang tertinggi dalam negara,
sebab yang menyatakan kehedak daripada negara.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas bentuk negara itu dapat dibedakan menjadi :
1. apabila kekuasaan perundang-undangan itu diserahkan kepada satu orang saja, maka
negara ini disebut Monarki.
2. Apabila kekuasaan perundang-undangan itu diserahkan kepada beberapa orang, atau
kepada suatu Dewan, maka negara ini disebut Aristrokasi.
3. Apabila kekuasaan perundang-undangan itu, diserahkan kepada masyarakat seluruhnya
atau rakyat, sedang pemerintah hanya meaksanakan saja, maka negara ini disebut
Domkrasi.
Pendapat John Locke selanjutnya ialah bahwa kekuasaan tertinggi jadi kekuasaan perundang-
undangan, tidak mungkin terletak di tangan rakyat, tak pernah orang melihat suatu
permusyawaratan rakyat umum yang mengangkat seorang raja, paling-paling golongan
terbanyak. Lain daripada itu orang harus membedakan antara pengertian menobatkan dan
memilih. Tuhanlah yang menobatkan sedangkan rakyatlah yang memilih. Tuhanlah yang
memilih, sedangkan rakyat hanya menobatkan. Dan Monarki adalah merupakan bentuk yang
paling baik. Alasannya sejarah, jadi praktek ketatanegaraan, yaitu Romawi adalah terkenal
sebagai negara demokrasi yag terbaik di seluruh dunia, tetapi akhirnya jatuh juga ke tangan
kekuasaan kaisar-kaisar. Sebabnya karena di dalam demokrasi itu tidak ada kepastian dari rakyat.
Ini menghalang-halangi tercapainya tujuan masyarkat yang telah dibentuk, jadi tujuan negara.
Tujuan negara menurut John Locke adalah bahwa perjanjian masyarakat untuk membentuk
masyarkat dan selanjutnya negara itu tujuannya adalah memelihara dan menjamin terlaksananya
hak-hak azasi manusia. Dan dalam perjajian masyarakat ini tiap-tiap manusia menyerahkan hak-
hak alamiahnya kepada masyarkat, tetapi tidak semua. Yang dikecualikan, jadi tidak diserahkan
adalah hak-hak azasi tersebut. Karena ini menurut John Locke tidak dapat dilepaskan. Justeru
jaminan terhadap hak-hak azasi inilah yang menjadi tuan negara. Bahkan kekuasaan penguasa-
pun dibatasi oleh hak-hak azasi ini. Jadi hal inilag yang tidak memungkinkan kekuasaan
penguasa itu bersifat mutlak. Ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes menyatakan bahwa
kekuasaan penguasa itu harus mutlak.
Apakah kiranya yang menyebabkan terdapatnya perbedaan-perbedaan antara oendapat kedua
sarjana ini, sedangkan kedua-duanya itu adalah penganut teori hukum alam abad ke XVII.
Sebabnya ialah :
1. Pandangan dari keuda sarjana itu sebetulnya tidak objektif. Karena pandangan mereka
itu didasarkan atas suatu premise yang dipengaruhi oleh pernilaian masing-masing.
Penilaian mana sebetulnya adalah suatu akibat dari keadaan masyarakat pada waktu
mereka hidup. Juga keadaan sistem pemerintahan yang dialaminya, ini menentukan
sekali, karena justru inilah yang akan diterangkan, dibenarkan dan diberi dasar-dasar
yuridis. Inilah yang menyebabkan premise dari kedua orang sarjana itu berbeda.
Keadaanya ialah : pada waktu hidupnya Thomas Hobbes hidup di Inggris di bawah
kekuasaan absolut Charles I, maupu ketika ia hidup di Perancis di mana ia memberi
pelajaran kepada Charles II. Hal ini, maksudnya kekuasaan absolut itu, memang pada
waktu itu sangat diperlukan, karena keadaan sangat kac au, ini memerlukan pemusatan
kekuasaan untuk dapat mengatasinya. Jadi tegasnya Thomas Hobbes menjadi seorang
pembela hak-hak pemerintahan absolutism, khususnya hak-hak pemerintahan raja
Inggris, karena ia menganggap bahwa hal demikian itu, yaitu kekuasaan absolut, adalah
wajar. Maka dari itu Thomas Hobbes lalu mencari alasan-alasan atau dasar-dasar untuk
membenarkan pendapatnya, yang sebetulnya hanay bersifat menyesuaikan dengan
keadaan waktu itu.
Keadannya adalah berlainan dengan pada waktu hidupnya John Locke. Sifat kekuasaan
penguasa pada waktu itu, di Inggris, tidak lagi absolut karena timbulnya kekuasaan-
kekuasaan baru disamping raja, yaitu parlemen. Jadi pada waktu itu sifat kekuasaan
penguasa adalah terbatas, yaitu dibawah kekuasaan pemerintahan Willem III, memang
beliau inilah yang menciptakan monarki terbatas. Dan John Locke mengatakan bahwa
itulah sifat kekuasaan raja yang benar dan wajar. Jadi tegasnya John Locke adalag
menjadi seorang pembela dari hak-hak pemerintahan monarki terbatas, khusunya hak-hak
pemerintahan raja Inggris Willem III itu tadi. Maka dari John Locke lalu mencari alasan-
alasan atau dasar-dasar untu membenarkan dan mempertahankan pendapatnya.
2. Hipotesa dari kedua sarjana itu berbeda. Hipotesanya adalah manusia dalam keadaan
alamiyah, manusia dalam alam bebas, manusia in-abstracto. Thomas Hobbes berepndapat
bahwa dalam keadaan alam bebas itu, ini meliputi juga pengertian sejak manusia itu
dilahirkan, amnusia menurutnya kodratnya hidup tanpa hak, yang dimiliki pada waktu itu
baru sifat-sifatnya saja. Sedangkan menurut John Locke, manusia keadaan alam bebas
itu, ini juga meliputi pengertian sejak manusia itu dilahirkan, manusia itu menurut
kodratnya telah memiliki hak-hak, yaitu yang disebut hak-hak azasi.
3. Tujuan daripada perjanjian masyarakat, jadi berarti juga tujuan negara, pendapat atau
ajaran dari kedua sarjana itu berbeda. Kalau menurut Thomas Hobbes tujuannya itu ialah
utuk menyelenggarakan perdamaian. Jadi segala sesuatu yang merintangi terciptanya dan
terselenggaranya perdamaian harus diberantas. Sedangkan kalau menurut pendapat atau
ajaran Jhon Locke tujuannya itu ialah untuk menjamin atau memelihara terlaksananya
hak-hak azasi. Maka hal-hal yang melanggar hak-hak azasi inilah yang harus diberantas.
4. Sifat daripada perjanjian masyarakat. Ajaran dari kedua sarjana itu berbeda. Kalau
menurut ajaran Thoas Hobbes perjanjian masyarakat itu bersifat langsung. Artinya orang-
orang yang menyelenggarakan perjanjian itu langsung menyerahkan atau melepaskan
haknya atau kemerdekaannya kepada raja, jadi tidak melalui masyarakat, raja berbeda di
luar pernjanjian, jadi jika tidak merupakan pihak dalam perjanjian itu. Dengan demikian
raja tidak terikat oleh perjanjian.
Sedangkan kalau menurut John Locke sifat daripada perjanjian masyarakat itu adalah
bertingkat. Artinya orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian itu menyerahkan hak-
hak(alamiyahnya) kepada masyarakat. Ingat bahwa penyerahan ini tdiak seluruhnya.
Kemudian masyarakatlah yang akan menyerahkannya kepada raja.
5. Selanjutnya meskipun pendapat dari dua sarjana itu sama, yaitu bahwa keadaan alamiah
mendahului keadaan bernegara, tetapi kalau menurut Thoma Hobbes keadaan alamiah itu
selalu mengalami kekacauan. Sedangkan kalau menurut John Locke dalam keadaan
alamiah itu telah ada perdamaian dan akal-pikiran seperti halnya dalam keadaan
bernegara.
Itulah antara lain hal-hal yang menyebaban kesimpulan tentang konstruksi atau sistem
pemerintahan dari kedua sarjana itu berbeda. Thomas Hobbes samapi pada kesimpulan tentang
sistem pemerintahan absolut, sedangkan John Locke samapai pada kesimpulan tentang sistem
pemerintahan terbatas.
Perbedaan itu timbul sebagai akibat daripada perbedaan tentang pandangannya mengenai pokok
pangkal ajarannya, yaitu manusia dalam keadaan alamiah. Menurut Grotius manusia itu sebagai
mahkluk sosial. Bandingkan pendapat ini dengan pendapat Aristoteles. Sedangkan kalau menurut
Thomas Hobbes manusia itu sebagai mahkluk anti sosial.
Demgan demikian kiranya kita telah sampai pada akhir pembicaraan daripada ajaan-ajaran para
ahli pemikir besar tentang negara dan hukum yang terpenting dari abad ke XVII. Di situ kita
jumpai filsafat hukum dalam arti kodern, yaitu berpikir secara bebas tentang negara dan hukum.
Dengan demikian mereka itu menumpai kesuliatan-kesuliatan yang makin terang. Kesulitan-
kesulitan itu timbul karena mereka mencampur adukkan hal-hal yang seharusnya dipisahkan
secara logis, seperti pemisahan antara: alam dengan rokhaniah, hukum dengan tata-susila.
Karena itu gagallah tujuan yang sebenarnya. Sebab dalam praktek dari pemikiran ini, tidak
ternyata atau terbuktu bahwa akal atau rasio itu dapat berlaku dan mengikat secara absolut.
Tetapi sementara itu teori tentang hukuma lam berkembang terus di kalangan para ahli pemikir
besar tentang negara dan hukum, dan akan mencapai puncaknya pada ajaran Immanuel Kant.
Karena perkembangan itulah maka hukum alam serta pemikiran tentang negara dan hukum pada
abad XVIII akan mendapatkan sifat yang sama sekali berbeda pada abad ke XVII.
G. Teori Hukum Alam abad ke XVIII
Telah diterangkan bahwa dalam abad ke XVIII fungsi hukum alam mendapatkan
perubahan dari menerangkan menjadi menilai. Dengan demikian maka akal pikiran atau rasio
mempunyai peranan yang lebih penting, serta pemikiran tentang negara dan hukum mendapatkan
kesempatan berkembang sedemikian rupa. Hal ini akan mempunyai pengaruh politik yang besar
sekali, sepertinya revolusi di Perancis terhadap sistem absolutisme, dan di Amerika yang
menentang penjajahan Inggris.

Lagi pula dalam abad ke XVIII itu akal pikiran atau rasio dipindahkan dari hal-hal yang
abstrak ke hal-hal yang konkrit, sepertinya hubungan yang nyata antara negara dan hukum.

Cara berpikirnya. Semula digambarkan keadaan yang senyatanya tentang sistem


pemerintahan absolutisme itu bagaimana prakteknya. Kemudian dinilai, terutama sifat tidak
bertanggung-jawabnya raja terhadap rakyatnya, serta tindakannya yang sewenang-wenang
terhadap rakyatnya. Semuanya itu sesuai dengan rasio apakah tidak. Kalau tidak sesuai maka lalu
dirubahnya, kalau perlu dengan tindakan secara revolusioner. Inilah yang menyebabkan
timbulnya secara tiba-tiba ajaran tentang kedaulatan rakyat yang dulunya masih bersifat samar-
samar. Juga teori pembagian kekuasaan negara dari John Locke akan dipertegas dan
disempurnakan menjadi teori pemisahan kekuasaan negara oleh Montesquieu. Teori-teori
tersebut tidak lain ditujukan dan dimaksudkan untuk meniadakan kemungkinan-kemungkinan
akan adanya tindakan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh raja atau penguasa yang
mempunyai kekuasaan absolut. Kalau mungkin malahan akan meniadakan sistem pemerintahan
absolutisme itu sendiri.

Aliran yang sangat berpengaruh pada abad ke XVIII yang ingin menguji segala sesuatu
yang ada ini berdasarkan rasio, dan yang tidak mau menyerah begitu saja terhadap keadaan yang
ada ini, terutama keadaan yang ditimbulkan oleh sejarah, adalah aliran Aufklarung. (oleh von
Schmid Aufklarung disalin dengan pencerahan). Penganutnya antara lain raja Prussia, Frederik
Yang Agung. Beliau ini yang menduduki atau mempunyai peranan yang utama dalam aliran
tersebut. Maka sarjana hukum alam abad ke XVIII yang pertama-tama kita sebut adalah beliau.

a. Frederik Yang Agung


Frederik Yang Agung adalah raja Prussia, sebagai seorang raja ia juga mempunyai
perhatian besar dalam lapangan kesenian dan ilmu pengetahuan, beliau hidup pada tahun 1712 –
1786. Ia adalah orang yang paling merasa tersinggung oleh ajaran Niccolo Machiavelli, maka
ajarannya dalam banyak hal bersifat menentang dan membantah ajaran Niccolo Machiavelli,
ajarannya itu ditulis dalam buku karangannya Antimachiavelli.
Pertentangan jiwa atau pertentangan ajaran atau pertentangan cara berpikir antara Niccolo
Machiavelli dengan Frederik Yang Agung ini terjadi karena perbedaan keadaan yang dialami.
Berlainan dengan keadaan di Italia maupun di Perancis yang pada waktu hidupnya Niccolo
Machiavelli selalu mengalami kekacauan dan perpecahan serta merosotnya akhlak sehingga
kesusilaan tidak ada sama sekali dalam praktek ketatanegaraan dan hukum, maka keadaan
kehidupan di istana Prussia adalah sangat soleh dan teratur dimana disingkirkan jauh-jauh semua
nafsu dan barang-barang mewah sehingga suasana dan keadaan menjadi sedemikian tenang dan
tenteram dan yang demikian ini memberikan banyak kemungkinan kepada orang untuk berpikir
tentang segala sesuatunya daripada dalam suatu suasana dan keadaan di mana orang hanya selalu
mencari hiburan hati serta barang-barang mewah dan mengumbar hawa nafsunya dengan tiada
mengenal batas.
Di Prussia setiap orang diberi hak terhadap rajanya, dan tiap-tiap kesatuan diberi hak
untuk membuat peraturan sendiri. Hal demikian ini tidak akan mungkin terjadi di Perancis tanpa
terlebih dahulu menggerakkan suatu revolusi yang maha hebat.
Satu pertentangan sebagai contoh : kalau Niccolo Machiavelli mengajarkan bahwa orang
dapat tidak usah menepati janji serta perkataannya bila itu demi kepentingan negara, maka
Frederik Yang Agung di dalam bantahannya mengatakan bahwa, orang tidak diukur dari
perkataan-perkataanya, sebab kalau demikian halnya, maka orang akan selalu berbuat kesalahan.
Tetapi pertama-tama harus diperhatikan dan kemudian diperbandingkan sikap, tingkah-laku dan
perbuatannya satu sama lain, untuk kemudian baru mengujinya terhadap perkataannya. Terhadap
perbandingan terus-menerus yang demikian itu, maka sikap berpura-pura, dan menipu akan
lumpuh dan tidak berdaya.
Selain itu kalau Niccolo Machiavelli dalam ajarannya berpokok pangkal pada pendapat
bahwa semua orang itu adalah jahat, di lingkungan orang-orang yang jahat pastilah orang yang
baik akan binasa. Jadinya seorang raja harus belajar supaya tidak menjadi orang baik, karena
seorang raja harus pula sanggup, bahkan harus pandai tidak menepati janjinya. Terhadap ajaran
ini Frederik Yang Agung membantah dengan mengatakan bahwa, yang benar adalah
kebalikannya, karenanya ajaran sarjana Florence itu, yaitu Niccolo Machiavelli, mematikan nilai
kebudayaan. Padahal kebudayaan inilah yang menimbulkan rasio, dan bukan sebaliknya seperti
pendapat Niccolo Machiavelli dari Florence itu.
Pertentangan antara ajaran Niccolo Machiavelli dengan ajaran Frederik Yang Agung
terjadi, kecuali disebabkan karena adanya perbedaan keadaan seperti yang telah dibicarakan di
atas, disebabkan pula karena adanya salah pengertian dari Frederik Yang Agung, yaitu bahwa
ajaran yang diberikan oleh Niccolo Machiavelli itu sebagai suatu ajaran umum. Padahal tidak
demikianlah maksudnya.
Niccolo Machiavelli menulis ajarannya dalam bukunya II Principe (Ajaran dalam buku
ini yang sangat menyinggung perasaan raja muda Frederik Yang Agung dari Prussia, sehingga
beliau menentang dan membantah serta memerintahkan menulisnya dalam bukunya
Antimachiavelli), dimaksudkan hanya untuk waktu dan tempat tertentu dengan keadaan-keadaan
yang istimewa. Yaitu untuk mengatasi keadaan di Italia yang pada waktu itu sedang mengalami
kekacauan dan perpecahan serta kemerosotan akhlak, jadi maksudnya baik yaitu mempersatukan
kembali keadaan itu serta mengembalikan kewibaan pemerintah yaitu raja.
Kalau tokoh itu kemudian menjadi suatu doktrin, jadi suatu ajaran yang bersifat umum,
tidaklah disebabkan karena Niccolo Machiavelli mempunyai maksud dan tujuan demikian,
melainkan disebabkan karena mereka yang mempelajari dan kemudian menafsirkan atau
menganggap sebagai suatu ajaran umum atau doktrin, demi kepentingan serta keuntungan diri
pribadinya. Tetapi bagaimanapun juga yang terang dan pasti bahwa penganut-penganut ajaran
Niccolo Machiavelli dapat menimbulkan kemerosotan bahkan kebobrokan moral terutama dalam
lapangan kesusilaan. Inilah pertama-tama sesungguhnya yang harus dipatahkan.
Demikianlah jadinya, ternyata bahwa seluruh isi buku Antimachiavelli dari Frederik Yang
Agung berupa tantangan serta bantahan terhadap isi buku II Principe dari Niccolo Machiavelli,
serta merupakan cita-cita serta semangat dari seorang raja muda dari Prusia itu, yang menjadi
dasar dari suatu kebangsaan, dan persatuan pikiran dari seluruh rakyat negara. Sedangkan bagi
Niccolo Machiavelli soalnya yang pokok adalah, adanya ketertiban yang mesti harus dicapai
meskipun dengan jalan dan cara yang bagaimanapun juga, dalam suatu masa peralihan dari suatu
masyarakat yang sudah merosot dan bobrok moralnya.
Sebagai seorang raja Frederik Yang Agung berjasa pula dalam lapangan kesenian dan
ilmu pengetahuan. Beliau dapat membawa nama baik negara serta bangsanya. Banyak sarjana-
sarjana yang tertarik, dan pergi ke Prusia, antara lain Christian Wolff, dia adalah seorang sarjana
hukum, ia hidup pada tahun 1679-1754. Jabatannya adalah sebagai guru besar pada Perguruan
Tinggi di Halle.

Christian Wolff telah melanjutkan perkembangan hukum alam sesudah Thomasius, dan
menulis ajarannya dalam bukunya yang diberi nama : Jus Naturale, methode scientifica
pertraetum. Yaitu tentang hukum alam yang diuraikan secara ilmu pengetahuan.
Pandangan yang sudah dipergunakan oleh ilmu pengetahuan dalam abad ke XVIII sejak
John Locke dibela di sini dan dipertahankannya. Yang diajarkan dalam buku itu adalah,
persamaan antara orang-orang satu sama lainnya dan kemerdekaannya yang bersumber
pada alam, dengan memberikan tekanan kepada hak-hak alamiah mereka.
Dari ajaran itu yang penting adalah pikiran serta usahanya Christian Wolff untuk
memberi isi pada hukum alam secara logis-deduktif, yaitu untuk melepaskannya dari ikatan
hukum Romawi. Tetapi pikiran serta usaha ini menurut Von Schmid gagal.

b. Montesquieu

Montesquieu adalah akhli pemikir besar yang pertama di antara akhli-akhli pemikir besar
tentang negara dan hukum dari Perancis. Nama lengkapnya adalah Charles Secondat, baron
de Labrede et de Montesquieu. Ia adalah seorang sarjana hukum, hidup pada tahun 168-1755.
Ia adalah seorang autodidact, yaitu seorang yang dengan pikiran dan tenaganya sendiri telah
memperoleh kemajuan terutama dalam lapangan ilmu pengetahuan. Jabatannya yang pokok
adalah sebagai hakim Mahkamah di Bordeaux. Untuk mencari pengalaman ia telah
mengunjungi Jerman, Hongaria, Austria, Italia, Swiss, Negeri Belanda dan Inggris.
Ajarannya ditulis dalam buku-bukunya : letters Persanes, berisi suatu kecaman yang tajam
terhadap keadaan agama, politik dan sosial di perancis. Bukunya yang lain adalah Grandeur
et decandence des Romains. Dan kemudian bukunya yang sangat terkenal di seluruh dunia,
tentang pemikiran negara dan hukum, Esprit des Lois.
Dalam bukunya yang terakhir ini sifat ajarannya adalah empiris-realistis berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang telah diperolehnya dari perjalanannya tadi dan dari membaca
buku-buku. Seperti sarjana-sarjana lain pada jamannya, ia berpendapat bahwa asas-asas dari
hukum terletak pada alam, akan tetapi hal itu belum berarti bahwa asas-asas itu dapat
diketemukan dengan akal pikiran yang abstrak. Asas-asas itu terletak pada kejadian-kejadian
dalam sejarah, dan selainnya itu dapat diketemukan dengan mempelajari kejadian-kejadian
tersebut.

Setelah ia mendapatkan banyak pengalaman di beberapa negara ia tidak ingin


memberikan ajaran yang bersifat revolusioner, melainkan ingin mengadakan perubahan terhadap
sistem ketatanegaraan yang telah ada, terutama di Perancis, yang pada waktu Perancis
melaksanakan sistem pemerintah absolutisme, di mana semua kekuasaan negara dipusatkan pada
satu tangan, yaitu pada raja. Sebab ia melihat keadaan yang lain, yaitu di Inggris. Di sana
menurut pendapatnya kekuasaan negara dibagi atau tegasnya dipisahkan menjadi tiga, dan yang
masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri. Yaitu :

1) Kekuasaan perundang-undangan, legislatif.


2) Kekuasaan melaksanakan pemerintahan, eksekutif, dan
3) Kekuasaan kehakiman, judikatif.

Pendapat Montesquieu tersebut di atas, kemudian terkenal sebagaii ajaran trias-politika, yang
memberi nama sebagai demikian adalah Imanuel kant. Dengan ajarannya itu Montesquieu
berpendapat bahwa, apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi tiga, yaitu :
kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan
kehakiman, dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh suatu badan yang berdiri sendiri, ini
akan menghilangkann kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang
penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan
absolutisme.

Contohnya di Inggris, katanya, lain haknya di Perancis, menurut pendapatnya, hal mana (sistem
absolutisme) menyebabkan Perancis menderita. Karena di sana, di Perancis, ketiga kekuasaan
tersebut dipusatkan pada tangan raja, sehingga raja dapat berbuat apa saja yang meliputi ketiga
kekuasaan tersebut. Sebagai contoh misalnya, raja dapat dengan tiba-tiba memerintahkan
memasukan orang ke dalam penjara Bastille yang terkenal itu, dalam waktu yang tidak tertentu,
tanpa memberi alasan – alasan, tanpa proses pengadilan, melainkan hanya berdasarkan suatu
surat bermaterai yang dinamakan letter de cachet.

Mengenai ketegasan daripada ajaran Trias-politika, yaitu ajaran tentang pemisahan


kekuasaan menjadi tiga, dan masing-masing kekuatan itu harus dipegang dan dilaksanakan oleh
satu badan yang masing-masing berdiri sendiri, itu baru dikemudian hari mendapatkan ketegasan
dari Blackstone.
Bagaimanakah sekarang pelaksanaan daripada ajaran Trias-politika dari ajaran
Montesquieu itu, terutama di negara-negara modern ? pertanyaan ini nanti akan dijawab pada
waktu kita membicarakan : demokrasi modern.

Yang terang ajaran Trias-politika itu tidak dapat dilaksanakan secara konsekwen seperti
yang dikehendaki oleh penciptanya, Monstesquieu. Meskipun di Amerika sekalipun, karena
alasan-alasan yang telah terlebih dahulu dikemukakan oleh Rousseau terhadap ajaran itu. Yaitu
apabila pemisahan kekuasaan menjadi tiga itu dilaksanakan secara tegas, akan menimbulkan atau
mengakibatkan tidak adanya persatuan.

Kalau tokoh kemudian banyak negara-negara yang melaksanakan ajaran Trias-politika


ini, maksud dan tujuannya adalah untuk melaksanakan dan menjamin kemerdekaan politik,
sepertinya di negeri Belanda. Tetapi di samping ajaran Trias-politika ini kemudian timbul ajaran-
ajaran pemisahan kekuasaan baru, sepertinya yang dikemukakan oleh Prof. Van Vollenhoven,
dan yang kemudian diikuti oleh Prof. Van Apeldoorn, yang membedakan fungsi penguasa
menjadi empat :

1. Fungsi atau kekuasaan perundang-undangan,


2. Fungui atau kekuasaan peradilan dan kehakiman,
3. Fungsi atau kekuasaan kepolisian,
4. Fungsi atau kekuasaan pemerintahan.

Ajaran pembagian kekuasaan Negara = dari John Locke pada abad ke XVII baru merupakan
gambaran dari suatu asas pokok dalam ajaran Montesquieu dalam abad ke XVIII, dalam
bentuknya yang lain, yaitu menjadi ajaran pemisahan kekuasaan Negara, dengan kemerdekaan
politik sebagai tujuannya. Ketika jajahan-jajahan Amerika akan melepaskan diri dari belenggu
penjajahan Inggris, mereka menerima ajaran atau asas ini.

c. Jean Jacques Rousseau


Rousseau adalah seorang akhli pemikir besar tentang Negara dan hokum dari Swiss. Ia hidup
pada tahun 1712-1778, kadang-kadang di Perncis, kadang-kadang di Swiss. Ajarannya tentang
Negara dan hokum ditulis dalam buku-bukunya : Discours sur 1 inegalite parmi les homes
(Tinjauan-tinjauan tentang ketidak samaan antara orang-orang). Letters ecrites de la Montagne
(surat-surat yang ditulis di gunung-gunung). Dan buku-bukunya yang sangat terkenal di seluruh
dunia Contrat Sosial (Perjnjian Masyarakat).
Rousseau di dalam ajaran dilsafatnya telah memasukkan unsur perasaan, sedang pada jaman-
jaman sebelumya ajaran tentang filsafat itu hanya disusun secara abstrak-rasional. Sikap
Rousseau terhadap keadaan-keadaan atau masalah-masalah yang berlaku umum pada waktu
hidupnya adalah sangat bebas. Kebebasan sikap atau pendirian ini tidak hanya terbatas pada
pikiran tentang Negara dan hukum saja. Sikap itu pertama-tama ditujukan kepada sifat-sifat yang
tidak sesuai dengan alam, yang telah ditimbulkan oleh peradaban manusia dan dalam hidup
kebatinannya. Rousseau menganggap manusia yang asalnya baik itu telah dirusak oleh
peradaban, karenanya ia lalu menganjurkan hal-hal yang dianggapnya baik.
Satu pertanyaan pokok yang selalu dutanyakan kepada dirinya sendiri adalah : bagaimanakah
mungkinnya dapat terjadi, bahwa manusia yang pada awalnya, yaitu pada waktu manusia itu
masih hidup dalam keadaan alamiahnya, bebas dan merdeka, sekarang menjadi manusia yang
hidup di bawah suatu kekuasaan Negara ? yang penting dalam pertanyaan ini bukanlah
kejadiannya, melainkan bagaimana orang dapat menetapkan syahnya keadaan ini. Pertanyaan ini
sama dengan pertanyaan : bagaimanakah terjadinya Negara itu ?
Dalam menjawab pertanyaan ini, ajaran Rosseau dalam beberapa hal adalah berbeda dengan
ajaran-ajaran sarjana hokum alam lainnya, kalau dilihat dari segi perjanjian masyarakat. Ini
berarti bahwa mengenai hal-hal yang lain ada persamaannya, yaitu bahwa dalam keadaan alam
bebas ada kekacauan maka orang memerlukan jaminan atas keselamatan jiwa miliknya. Maka
mereka lalu menyelenggarakan perjanjian masyarakat. Ini kejadiannya. Bagaimanakah materi isi
daripada perjanjian masyarakat itu ? ini yang berbeda dengan pendapat-pendapat lainnya.
Dari ajaran Rosseau ini nanti yang terpenting adalah idenya tentang kedaulatan rakyat.
Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah, bagaimanakah cara mendapatkan suatu keterangan yang
masuk akal atau yang rasionil tentang keseimbangan anatara adanya perjanjian masyarakat yang
mengikat dengan kebebasan dari orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian masyarakat
tersebut. Jadi soalnya tetap pada keseimbangan antara kekuasaan dan kebebasan.
Untuk ini Rosseau memberi keterangan sebagai berikut : yang mrupakan hal yang pokok
daripada perjanjian masyarakat ini adalah, menemukan suatu bentuk kesatuan, yang membela
dan melindungi kekuasaan bersama di samping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang,
sehingga karena itu semuanya dapat bersatu, akan tetapi meskipun demikian masing-masing
orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap merdeka dan bebas seperti sedia kala.
Pikiran inilah yang menjadi dasar daripada semua pendapat-pendapat atau ajaran-ajaran
selanjutnya. Dan perlu juga diingat bahwa Rosseau tidak mengenal adanya hak-hak alamiah,
hak-hak dasar atau hak-hak azasi, hali ini lain dengan John Locke, sebab ia mengenal.
Dengan diselenggarakannya perjanjian masyarakat itu, berarti bahwa tiap-tiap orang
melepaskan dan menyerahkan semua haknya kepada kesatuannya yaitu masyarakat. Jadi sebagai
akibat diselenggarakannya perjanjian masyarakat ini ialah :
1. Terciptanya kemauan umum atau volonte generale, yaitu kesatuan daripada kemauan
orang-orang yang telah menyelenggarakan perjanjian masyarakat tadi, inilah yang
merupakan kekuasaan tertinggi, atau kedaulatan.
2. Terbentuknya masyarakat, atau Gemeinschaft, yaitu kesatuan daripada orang-orang yang
menyelenggarakan perjanjian masyarakat tadi. Masyarakat inilah yang memiliki kemauan
umum, yaitu suatu kekuasaan tertinggi atau kedaulatan yang tidak dapat dilepaskan. Oleh
karena itulah kekuasaan yang tertinggi tadi, atau kedaulatan, disebut kedaulatan rakyat.
Jadi dengan perjanjian masyarakat telah diciptakan Negara, ini berarti telah terjadi suatu
peralihan dari keadaan alam bebas ke-keadaan bernegara. Karena peralihan ini naluri
manusia telah diganti dengan keadilan dan tindakan-tindakan yang mengandung kesusilaan,
dan sebagai gantinya kemerdekaan alamiah serta kebebasan tanpa batas atau kebebasan
alamiah, mereka kini telah mendapatkn kemerdekaan yang dibatasi oleh kemauan umum,
yang dimiliki oleh masyarakat sebagai kekuasaan tertinggi.

Kekuasaan ini tidak boleh dipindahkan ke lain tangan, atau tidak dapat diserahkan baik
secara mutlak (seluruhnya), maupun sebagian. Jadi kemuan umum atau kedaulatan itu tetap
ada pada masyarakat atau keseluruhan daripada rakyat. Tetapi bukan rakyat secara
perorangan, melainkan rakyat yang sudah berganti menjadi satu kesatuan, yang disebut
masyarakat. Dalam hal ini Rousseau sebetulnya tidak mempersoalkan bagaimana sifat
daripada kekuasaan itu pada umunya. Hanya saja ia menganggap bahwa kekuasaan yang ada
pada penguasa atau raja itu sebagai suatu kekuasaan yang diwakilkan saja, bukan kekuasaan
asli. Jadi raja bukanlah pemilik kekuasaan.

Kekuasaan raja itu menurut Rousseau adalah bersifat pinjaman, sebab pada waktu
individu-individu itu mengadakan perjanjian masyarakat, mereka itu tidak menyerahkan hak-
hak atau kekuasaanya kepada raja, tetapi mereka itu menyerahkan kehendaknya atau
kemauannya kepada masyarakat, yang merupakan kesatuan tersendiri, yang timbul karena
perjanjian masyarakat tersebut.

Oleh karena itu masyarakat tersebut sebagai suatu kesatuan mempunyai kemauan umum
yang oleh Rousseau disebut Volonte generale. Kemauan umum dari masyarakat inilah yang
merupakan kekuasaan tertinggi, yang menentukan putusan terakhir dan tertinggi, dan
dinamakan kedaulatan. Dengan demikian ternyatalah bahwa yang memiliki kedaulatan itu
rakyat.

Lalu bagaimanakah sifat kekuasaan raja itu ? menurut Rosseau masyarakat itu hanya
dapat menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa, sedangkan kedaulatannya itu tidak dapat
diserahkan kepada siapapun juga. Jadi kedaulatan tetap ada pada masyarakat atau rakyat.
Maka sifat kekuasaan hanya melaksanakan kehendak umum itu, penguasa hanya merupakan
wakil dari rakyat. Oleh karena itu apabila penguasa itu mengadakan tindakan yang
bertentangan atau menyimpang dari kemauan rakyat atau kemauan umum, maka rakyat dapat
mengganti penguasa itu dengan penguasa yang baru.

Pendapat Rousseau ini adalah sebagai akibat dari keadaan di Perancis pada waktu itu, di
mana raja mempunyai kekuasaan mutlak, dan melaksanakan kekuasaannya itu dengan
sewenang-wenang. Hal yang demikian ini menurut Rosseau tidak sesuai dengan rasio, jadi
tidak sesuai pula dengan hukum alam. Maka teori Rosseau ingin mengubah sistem
pemerintahan yang absolut itu, seperti halnya dengan teori Montesquieu.

Ajaran Rousseau tersebut jauh berbeda dengan ajaran Thomas Hobbes, yang menyatakan
bahwa kekuasaan raja itu sifatnya mandiri dan mutlak. Sedangkan Rousseau menganggap
bahwa raja itu berkuasa hanya sebagai wakil daripada rakyat, dan menjalankan kekuasaan itu
atas nama rakyat, maka setiap waktu raja dapat diganti atau digeser apabila raja tidak
melaksanakan kemauan rakyat atau kemauan umum tadi. Dengan demikian fungsi daripada
ajaran kedua sarjana itu sangat berbeda. Ajaran Thomas Hobbes berfungsi untuk membela
teorinya, yang sifatnya hanya membenarkan keadaan pada waktu itu.

Sedangkan ajaran Rousseau mengeritik keadaan pada waktu itu yang tidak dapat diterima
oleh rasio, jadi dapat dikatakan bersifat propagandis, menentang kekuasaan raja, dan ingin
menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang dapat diterima oleh rasio. Ini
menimbulkan akibat yang besar, yaitu pergolakan atau revolusi Perancis. Dan selai daripada
itu, kemudian timbullah teori-teori baru tentang kekuasaan raja.

Konseukensi dari pada ajaran Rousseau ialah :

1) Adanya hak dari rakyat untuk mengganti atau menggeser penguasa. Ini berhubungan
dengan boleh tidaknya rakyat itu berevolusi terhadap penguasa.
2) Adanya faham bahwa yang berkuasa itu rakyat, atau faham kedaulatan rakyat. Rakyat di
sini bukan sebagai penjumlahan dari pada individu-individu, melainkan rakyat sebagai
suatu gemeinschaft, yang sifatnya abstrak.

Jadi yang dimaksud dengan kemauan umum atau volonte generale oleh Rousseau oleh
Rousseau itu bukannya kemauan dari sekian jumlah orang yang ada di dalam negara itu, ini
misalnya 10 juta orang, itu dikumpulkan dan kemudian dijumlah, melainkan yang dimaksud itu
adalah kemauan dari 10 juta orang itu sebagai suatu keadaan, sebagai suatu masyarakat atau
gemeinschaft.

Mengapa demikian ? dan apa sebabnya ? dengan suatu perjanjian masyarakat telah
diciptakan suatu negara, dan orang-orang telah menyerahkan haknya kepada masyarakat. Tetapi
setelah negara itu ada mereka masih harus menyatakan kehendaknya untuk bergerak, ini
dilakukan dengan membuat suatu undang-undang. Jadi dengan demikian si pembuat undang-
undang itu mesti harus ada dan ia harus bertujuan untuk melaksanakan kepentingan umum.

Dengan demikian meskipun Rousseau itu sebetulnya tidak menyetujui adanya pemisahan
yang tajam mengenai kekuasaan negara, tetapi ia mengadakan pembedaan antara pemerintah dan
perundang-undangan. Kekuasaan perundang-undangan yang memiliki kedaulatan. Tetapi rakyat
tidak dapat menjalankan atau melaksanakan pemerintah, yaitu menjalankan atau melaksanakan
undang-undang. Dalam hal ini rakyat menyerahkan tugas atau kekuasaan tersebut kepada raja,
atau penguasa. Sebab apabila rakyat ingin melaksanakan pemerintahan sendiri, maka akibatnya
ialah akan timbul kekacauan atau anarki.

Pemerintah adalah suatu badan di dalam negara. Akan tetapi ia tidak berdiri sendiri seperti
negara, melainkan bersandar kepada sang daulat, yaitu rakyat. Pemerintah ini juga mempunyai
kemauan sendiri, mempunyai jiwa sendiri, yang disebut volonte de corps. Maka pemerintaha
atau penguasa tidak boleh hanya terdiri dari satu orang saja, yaitu raja, melainkan di samping
raja ini harus ada sebuah badan yang tugasnya menyalurkan kehendak rakyat. Dengan demikian
maka volonte de corps akan lebih mendekati, kalau mungkin sama dengan volonte generale.
Sedangkan kalau pemerintahan itu hanya dipegang oleh satu orang tunggal saja, yaitu raja, maka
volonte de corps akan jatuh bersamaan dengan volonte particuliere, atau dengan kata lain,
volonte de corps akan jatuh jauh sekali atau bertentangan dengan volonte generale. Di samping
itu kita harus membedakan dengan pengertian volonte detous, yaitu kepentingan dari semua
orang secara individual.

Apakah bedanya ? perbedaanya terletak pada sifat daripada kepentingan yang dituju.

Volonte generale itu ditujukan kepada kepentingan umum. Volonte de corps itu ditujukan
kepada kepentingan golongan. Volonte particuliere itu ditujukan kepada kepentingan
perseorangan. Volonte de tous itu ditujukan kepada kepentingan semua orang tetapi orang-orang
itu tidaklah merupakan suatu kesatuan. Jadi lain dengan kepentingan umum, jadi dapat dikatakan
bahwa volonte de tous itu ditujukan kepada kepentingan khusus.

Bagaimanakah caranya untuk mengetahui, bahwa sesuatu kemauan itu adalah kemauan umum
atau volonte generale ? menurut Rosseau caranya ialah dengan mengadakan pemungutan suara,
dari orang-orang yang merupakan masyarakat itu. Tetapi dengan demikian lalu timbul
pertanyaan, yang sekaligus pertanyaan ini merupakan keberatan terhadap pendapat Rosseau
tersebut. Yaitu, bahwa di dalam masyarakat itu tidaklah mungkin setiap orang itu mempunyaii
kemauan yang sama, melainkan entah berapa orang tentu ada yang mempunyai kemauan
berbeda. Maka dengan umum atau volonte generale oleh Rosseau itu adalah kemauan majoritas
dari pada masyarakat itu, atau dengan kata-kata lain, kemauan dari semua anggota masyarakat
itu, atau dengan kata-kata lain, kemauan dari semua anggota masyarakat itu dikurangi dengan
kemauan yang berbeda.

Memang demikianlah keadaannya. Tetapi sesungguhnya persoalannya adalah lain, sebab


menurut Rosseau yang penting itu adalah cara mengemukakan persoalannya yang akan
dimintakan persetujuannya dengan cara pemungutan suara tadi, kepada masyarakat itu. Jadi yang
penting itu sekali lagi bukanlah persoalannya itu sendiri, melainkan adalah, cara atau sistem yang
bagaimanakah pemecahan sesuatu persoalan itu menurut cara yang tertentu yang memenuhi
kehendak umum. Jadi kehendak umum itu sebetulnya hanyalah merupakan khayalan saja, jadi
sifatnya abstrak, dan kedaulatan itu adalah kehendak umum tadi.

Dengan demikian dari ajaran Rousseau tersebut timbul konsekuensi baru, yaitu dengan
adanya revolusi-revolusi yang menentang atau terhadap kekuasaan raja-raja yang bersifat
absolut. Dan dengan runtuhnya kekuasaan raja-raja yang bersifat absolut ini, dan yang disertai
timbulnya kekuasaan-kekuasaan baru disamping kekuasaan raja, maka walaupun bentuk
negaranya itu masih tetap kerajaan, tetapi kekuasaan raja itu sudah tidak lagi sama dengan
kekuasaannya yang semula. Karena sekarang di samping kekuasaan raja tadi ada kekuasaan baru,
yaitu kekuasaan badan perwakilan atau parlemen.
Hal yang demikian ini lalu menimbulkan kekacauan dalam peristilahan ketatanegaraan,
artinya sesuatu istilah itu lalu mengalami pergeseran pengertian. Oleh karena di dalam negara itu
semula raja berkuasa seorang diri, jadi sifatnya adalah tunggal, oleh karena di samping raja
tersebut tidak ada badan-badan lain yang berkuasa. Maka lalu timbul sebutan monarki. (mono =
tunggal, atau satu, dan achien = pemerintahan). Jadi dahulu, atau semula yang disebut monarki
itu adalah negara di mana kekuasaannya, atau pemerintahannya itu hanya dipegang oleh satu
orang tunggal. Tetapi kemudian setelah timbulnya kekuasaan-kekuasaan lain di samping
kekuasaan raja, kekuasaan yang baru tadi disebut badan perwakilan atau parlemen, maka raja
tidak lagi merupakan kekuasaan tunggal. Tetapi meskipun demikian negara tadi masih disebut
dengan istilah monarki, yang sesungguhnya isinya sudah lain dengan isinya yang semula,
meskipun sebutannya sama.

Berhubung dengan perubahan pengertian monarki ini, maka pengertian monarki yang
lama, di mana dalam negara itu raja berkuasa secara tunggal, maka monarki ini disebut monarki
absolut, sedangkan sebenernya sedari semula monarki itu sudah mempunyai arti yang absolut.
Tetapi karena adanya perubahan tersebut di atas lalu ditambahkan. Sebagai lawannya adalah
monarki dalam pengertiannya yang modern, yang kekuasaannya sudah tidak mutlak lagi, karena
sekarang di samping kekuasaan raja itu ada badan lain, yaitu badan perwakilan atau parlemen,
yang mendampingi raja tersebut, maka monarki ini lalu disebut monarki terbatas, atau monarki
parlementer.

Perkembangannya tidak hanya sampai di situ aja, sebab di samping raja yang telah
disampingi badan perwakilan ini, kemudian ada konstitusi atau undang-undang dasar yang
mengatur serta mempertegas dan mendasari kekuasaan-kekuasaan tersebut. Maka sekarang di
dalam negara itu di samping raja ada badan perwakilann yang mendampingi raja dan lagi
undang-undang dasarnya, monarki ini kemudian disebut monarki konstitusional.

Dengan demikian lalu timbul kesukaran-kesukaran baru untuk menerangkan kekuasaan


raja. Sebab raja-raja pada jaman dahulu itu menganggap bahwa beliau itu adalah wakil Tuhan,
yang berdaulat itu Tuhan, raja itu ada atas kehendak Tuhan, dan raja itu memerintah atas nama
Tuhan. Tetapi nyatanya lalu ada kekuasaan-kekuasaan baru di samping raja, lalu kekuasaan-
kekuasaan baru ini dasarnya apa.

Dalam beberapa negara masalah atau persoalan ini diatasi dengan mengadakan undang-
undang dasar tadi. Maka lalu kekuasaan-kekuasaan baru itu tadi mempunyai dasar hukum, yaitu
undang-undang dasar atau baru itu tadi mempunyai dasar hukum, yaitu undang-undang dasar
atau konstitusi. Malahan kemudian undang-undang dasar itu juga menentukan kekuasaan-
kekuasaan raja, di samping menentukan kekuasaan-kekuasaan badan-badan baru tersebut.

Persoalannya sekarang beralih pada masalah fungsi undang-undang dasar terhadap


kekuasaan raja. Terhadap hal ini kemudian timbul dua penafsiran, yaitu :
1) Dalam suatu negara, di mana rajanya sudah pernah ditumbangkan, dan kemudian
diadakan pengangkatan kepala negara yang baru, entah apa namanya, apa pangeran, apa
kaisar, apa masih tetap raja, maka kekuasaan yang ada pada kepala negara yang baru itu,
dianggap bersumber pada undang-undang dasar. Jadi di sini fungsi undang-undang dasar
adalah sebagai sumber kekuasaan, baik kekuasaan kepala negaranya maupun kekuasaan
badan-badan baru yang timbul tadi.
2) Dalam negara dimana kekuasaan raja itu belum atau tidak pernah ditumbangkan, hanya
mungkin kepala negaranya itu diganti, maka untuk dasar daripada kekuasaaan kepala
negara (yang baru, ini kalau kepala negaranya itu sudah berganti), yang biasanya masih
disesuaikan dengan ajaran kedaulatan Tuhan, di sini dikatakan bahwa kekuasaan kepala
negara itu, biasanya masih raja, adalah bersumber pada kekuasaan Tuhan, sedangkan
undang-undang dasar hanya berfungsi sebagai suatu pembatasan daripada kekuasaan
kepala negara atau raja.

Dengan demikian fungsi undang-undang dasar lalu berbeda, ini tergantung daripada keadaan
di dalam negara itu, artinya negara itu apakah menganut teori kedaulatan rakyat, ataukah
menganut teori kedaulatan Tuhan. Kalau negara itu menganut teori kedaulatan rakyat, maka
dianggap bahwa undang-undang dasar itu sebagai sumber daripada segala kekuasaan di dalam
negara itu. Jadi juga kekuasaan raja. Maka konsekuensinya, apabila di dalam undang-undang
dasar itu mengenai sesuatu hal tidak ada pengaturannya atau ketentuannya tentang hal tersebut
kekuasaannya diberikan kepada siapa, ini berarti bahwa kekuasaan terhadap hal tersebut tidak
ada pada raja.
Sedangkan kalau negara itu menganut teori kedaulatan Tuhan, maka undang-undang dasar
itu dianggap sebagai suatu pembatasan terhadap kekuasaan raja. Maka konsekuensinya, apabila
di dalam undang-undang dasar itu mengenai sesuatu hal tidak ada pengaturannya atau
ketentuannya tentang bentuk-bentuk negara itu, titik beratnya ada pada, siapakah kekuasaan itu
menurut naluri sejarah tetap ada pada tangan raja.
Kita kembali kepada ajaran Rousseau, di dalam ajarannya itu Rousseau juga membicarakan
tentang bentuk-bentuk negara. Di dalam membicarakan tentang bentuk-bentuk negara itu, titik
beratnya pada apa, siapakah pemegang kekuasaan negara itu, atau kekuasaan pemerintahan itu,
dan terdiri beberapa orang. Jadi inilah kriterianya. Dengan kriteria tersebut maka menurut
pendapat Rousseau bentuk-bentuk negara adalah :
1) Apabila kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintahan itu ada pada seorang raja sebagai
wakil daripada rakyat, maka ini adalah monarki.
2) Apabila kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintahan itu ada pada tangan dua orang
atau mungkin lebih, dan mereka itu baik sifatnya, maka ini adalah aristoktasi.
3) Apabila kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintahan itu ada pada rakyat yang juga
baik sifat-sifatnya, maka ini adalah demokrasi.

Menyusun atau mengangkat pemerintah atau penguasa bukanlah berdasarkan suatu


perjanjian masyarakat, yang berdasarkan itu hanyalah berkumpulnya rakyat menjadi suatu
kesatuan yaitu masyarakat. Sebab penyusunan atau pengangkatan pemerintah atau penguasa
itu ditentukan oleh rakyat dengan suatu undang-undang, demikian pula bentuk daripada
pemerintahan tersebut. Dengan demikian, oleh karena rakyatlah yang berdaulat, maka
tidaklah nmengherankan kalau apa yang telah ditentukan tadi, meskipun dengan undang-
undang, baik mengenai pengangkatan para penguasa maupun bentuk pemerintahannya, dapat
ditarik kembali, sebab kemauan umum dari rakyat tidak dapat dimusnahkan. Juga perjanjian
masyarakat bukanlah merupakan suatu hall yang tidak dapat ditiadakan lagi.

d. Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang guru besar dari Prussia. Ia hidup pada tahun 1724-1804.
Ia adalah seorang nasionalis. Ia termasuk seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum,
ajaran filsafatnya bersifat kritis dimana ia menguraikan ajarannya tentang negara dan hukum.
Pemikirannya tentang negara dan hukum ditulis dalam bukunya Metaphysische Anfangsgrunde
der Rechtslehre (Azas-azas metafysis dari ilmu hukum).
Dalam banyak hal ajarannya itu hanya bersifat mengemukakan ajaran-ajaran lama yang
sudah ada sebelumnya. Tetapi unsur revolusioner yang oleh para pemikir tentang negara dan
hukum pada abad ke XVIII selalu dikemukakan, oleh Immanuel Kant waktu hidupnya dibawah
kekuasaan raja yang absolut. Selain itu ia hidup pada masa peralihan, di mana orang
mebghadapai abad baru yang meruapakan jaman baru sama sekali, jaman di mana orang akan
mengakhiri pengagung-agungannya terhadap rasio.
Dan memang demikianlah pada masa Immanuel kant ini akan berakhir teori hukum alam,
yang berarti akan berakhir pulalah pandangan di mana orang hanya mengagung-agungkan rasio
saja. Di dalam ajaran filsafatnya Immanuel kant menentukan batas-batas daripada kemampuan
berpikirnya manusia dan menyatakan bahwa ada alam yang tidak dapat ditembus oleh rasio
manusia, yaitu alam kepercayaan. Karena itulah Immanuel kant memberikan tempat lagi untuk
agama atau kepercayaan dalam pikiran manusia di samping rasio.
Menurut Immanuel Kant negara itu adalah suatu keharusan adanya, karena negara harus
menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum. Artinya negara harus
menjamin setiap warganegara bebas di dalam lingkungan hukum. Jadi bebas bukanlah berarti
dapat berbuat semau-maunya, atau sewenang-wenang. Tetapi segala perbuatannya itu meskipun
bebas harus sesuai dengan, atau menurut apa yang telah diatur dalam undang-undang, jadi harus
menurut kemauan rakyat, karena undang-undang itu adalah merupakan penjelmaan daripada
kemauan umum.
Sebagaimana Immanuel Kant sebagai seorang sarjana hukum alam, maka ia menerima
pendapat bahwa negara itu terjadi karena perjanjian masyarakat, jadi sama dengan pendapat
Rousseau, dan menyatakan pendapatnya bahwa kedaulatan itu ada pada rakyat, dan kemauan
umum itu menjelma dalam perundang-undangan negara. Tetapi meskipun demikian ada
perbedaannya, dan perbedaan itu bersifat prinsipiil.
Kalau sarjana-sarjana hukum alam sebelumnya, sepertinya Thomas Hobbes, John Locke,
Montesquieu, Rousseau, mereka itu berpendapat bahwa perjanjian masyarakat itu sungguh-
sungguh terjadi, adanya itu merupakan suatu peristiwa di dalam sejarah, jadi apa yang disebut
perjanjian masyarakat itu memang ada.
Sedangkan menurut Immanuel Kant, bahwa apa yang disebut perjanjian masyarakat itu
tidak pernah ada, tidak pernah terjadi, tidak pernah merupakan kenyataan atau peristiwa di dalam
sejarah. Bahwa konstruksi terjadinya negara yang demikian itu, maksudnya negara itu terjadinya
karena perjanjian masyarakat, itu tidak benar, dalam arti tidak pernah terjadi. Kalau orang
mengatakan demikian, maksudnya negara itu terjadi karena perjanjian masyarakat, perjanjian
masyarakat itu sesungguhnya hanyalah merupakan suatu konstruksi yuridis yang dapat menolong
orang dalam menerangkan bagaimana negara itu terjadinya, bagaimana negara itu ada,
bagaimana adanya kekuasaan dalam negara itu, dan ada pada siapa kekuasaan itu, serta
bagaimana sifatnya.
Tadi telah dikatakan bahwa dengan ajaran Immanuel Kant, ajaran hukum alam akan
mengakhiri perkembangannya. Adapun sebab yang pokok yang menjadikan Immanuel Kant
sebagai penutup daripada pemikiran tentang negara dan hukum pada abad ke XVIII dan
merupakan pengantar daripada pemikiran tentang negara dan hukum pada abad ke XIX adalah
terjadinya revolusi-revolusi di Amerika dan di Perancis. Mengapa demikian ? sebab dengan
peristiwa itu orang akhirnya menyertai perkataan-perkataannya dengan perbuatan-perbuatan.
Jadinya orang lalu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan apa yang
selama dua abad terakhir hanya dipikirkan saja dengan bantuan rasio sebagai azas yang baik
untuk dijadikan dasar daripada kehidupan negara. Sedangkan pengalaman-pengalaman daripada
praktek ini akan membelokkannya ke jurusan lain, yang akan mengawali pemikiran tentang
negara dan hukum pada abad ke XIX.
Peristiwa ini dimulai dengan negara-negara yang semula merupakan negara jajahan
memproklamasikan kemerdekaannya dan kedaulatannya serta kemudian membentuk
pemerintahan nasional. Amerika Utara yang semula merupakan jajahan Inggris
memproklamasikan kemerdekaannya dan kedaulatannya pada tahun 1776. Negara-negara
Amerika Utara tersebut kemudian bersepakat untuk mendirikan Negara Serikat dengan maksud
secara bersama-sama mempertahankan diri, menjamin kemerdekaannya dan kedaulatannya, dan
memajukan kesejahteraan rakyatnya, di mana tiap-tiap negara itu akan mengirimkan wakil-
wakilnya dalam suatu konggres. Dan kemudian pada tahun 1787 dibuatlah suatu konstitusi, di
mana orang kemudian menganggap itu sebagai suatu perjanjian masyarakat yang diperbarui. Ini
di Amerika.
Sedangkan di Perancis, orang berusaha merubah Majelis Permusyawaratan dengan suatu
rapat nasional yang tuntutannya adalah harus memberikan konstitusi, yaitu suatu perjanjian
masyarakat yang diperbaharui, yang sifatnya tertulis, yang harus diciptakan oleh seluruh warga
negara, yang di dalamnya ditentukan hak-hak dari pada warga negara, atau hak-hak azasi
manusia. Dengan ini maka hak-hak azasi manusia telah dilaksanakan dalam praktek.
Sementara itu negara-negara lain mengikutinya, memproklamasirkann kemerdekaannya
dan kedaulatannya, membuat undang-undang dasar, dan mencantumkan hak-hak azasi manusia
dalam undang-undang dasarnya, yang semuanya itu tidak boleh diganggu-ganggu atau dibatasi
oleh negara.
Kalau dalam abad ke XVII dan abad ke XVIII negara-negara monarki absolut masih
berkembang, dengan akibat bahwa kritik terhadap pemerintah atau penguasa dilarang, maka ini
menyebabkan sedikitnya jumlah ahlii pemikir tentang negara dan hukum. Sedangkan dalam abad
ke XIX nanti akan lain keadaannya, di mana akan bermunculan ahli-ahli pemikir tentang negara
dan hukum, baik bersifat perseorangan maupun tampil sebagai wakil daripada golongannya,
sebagaimana gereja menampilkan wakilnya dalam jaman abad pertengahan. Hal tersebut diatas
disebabkan karena pada abad ke XIX telah diijinkan terbentuknya partai-partai politik dan
malahan dipandang perlu untuk dapat bekerjanya badan-badan perwakilan. Dengan demikian
badan-badan perwakilan akan mendapatkan sifatnya yang sejati, yaitu sifat mencerminkan
kemauan rakyat yang sesungguhnya, atau sifat representatif. Dengan itu pula berkembanglah
demokrasi modern dengan segala typenya. Perkembangan ini berlangsung terus hingga saat ini.
Sementara itu baiklah kalau kita tidak melupakan adanya seorang ahli pemikir tentang
negara dan hukum yang hidup pada abad ke XIX, akan tetapi pandangannya atau sifat ajarannya
adalah teokratis-sosiologis. Beliau adalah Friedrich Julius Stahl. Bukunya tentang ini diberi
nama Die Philosophie des Rechts. Ajarannya yang bersifat teokratis-sosiologis itu terlihat dalam
uraiannya tentang terjadinya negara. Stahl berpendapat bahwa negara itu terjadi karena
perkembangan dari suatu keluarga yang bersifat patriarkal, yang menempati suatu daerah.
Karena kejadian-kejadian sejarah dan persamaan nasib, kebutuhan dan sebagainya dan yang
telah melewati beberapa phase, maka kemudian lahirlah bangsa, yang kemudian membentuk
negara.
Penggabungan daripada keluarga yang satu kepada keluarga yang lain itu disebabkan
karena beberapa hal, antara lain karena perkawinan, peperangan yang kalah lalu menggabungkan
kepada yang menang, atau karena sebab-sebab lain. Inilah yang memberikan sifat sosiologis
pada ajarannya.
Sedangkan sifat teokratisnya itu nampak karena Stahl mengaakan bahwa terjadinya
negara yang demikian itu tidak karena disengaja dibuat oleh manusia, tetapi karena kodrat
Tuhan, atau karena kehendak Ilahi (Hohere Fugung, atau Gottes Fugung). Jadi adanya negara itu
memang sudah dikehendaki Tuhan. Tuhanlah yang menciptakan negara.
Lalu bagaimanakah perkembangan dari keluarga patriarkal itu hingga menjadi negara?
Dalam hal ini Stahl mengatakan sebagai berikut : semula, dalam perkembangannya, di dalam
keluarga itu sudah terdapat benih-benih tugas yang nantinya akan menjadi tugas dalam negara,
bila keluarga itu sudah berkembang menjadi negara. Benih-benih ini misalnya dalam keluarga itu
telah terdapat adanya pembagian tugas pekerjaan, sehingga ada yang bertugas khusus mencari
makan, mempertahankan keutuhan keluarga bila ada bahaya, ada yang bertugas khusus memuja
leluhur-leluhur mereka, dan sebagainya. Tugas-tugas inilah nantinya dalam negara yang
merupakan departemen-departemen atau kementrian.
Suatu pendapat lagi yang hampir sama dengan pendapat Stahl mengenai terjadinya
negara ialah pendapat dari seorang sarjana Amerika yang bernama Mac Iver. Bukunya yang
mengenai pemikiran tentang negara dan hukum adalah : The web og goverment, dan The modern
state.
Mac Iver mengatakan bahwa terjadinya negara itu karena perkembangan dari suatu
keluarga atau family. Bagaimanakah pertumbuhan keluarga itu hingga menjadi negara ?
Mengenai hal ini Mac Iver mengatakan bahwa, dalam suatu masyarakat yang masih sederhana,
kita melihat adanya bagian atau tugas-tugas negara yang penting, dan hal ini dapat kita lihat di
dalam kehidupan suatu keluarga. Jadi tingkatkan pertama itu adalah keluarga atau family tadi.
Dalam keluarga itu ada kebiasaan-kebiasaan yang selalu dianut, atau ada institution, serta
ada pula suatu kekuasaan atau authority yang tidak dapat terlepas dari kebiasaan-kebiasaan
tersebut. Pun di dalam keluarga itu ada pemimpinnya atau kepalanya yang disebut kepala
keluarga atau paterfamilies.
Tingkatan kedua ialah family itu berkembang, atau saling menggabungkan diri satu sama
lain, sehingga menjadi family yang besar yang disebut clan. Kepalanya disebut primus inter
pares.
Perkembangan selanjutnya ialah kepala atau pemimpin ini tadi menunjuk keturunannya
menjadi penggantinya, maka lalu timbullah sistem jabatan yang sifatnya turun-temurun dari
suatu rulling family (keluarga yang memerintah). Dengan demikian lalu didapatkan jabatan raja.
Jadi menurut Mac Iver negara itu terjadi karena perkembangan dari suatu keluarga, dan
dalam perkembangan ini peranan peperangan tidak dapat dilupakan. Tetapi Mac Iver baru
menyebut hasil perkembangan tadi sebagai suatu negara setelah terjadi atau mencapai territorial
state, jadi setelah keluarga itu menguasai suatu daerah tertentu. Dan ini terjadi setelah melewati
jaman feodalisme. Sedangkan masa antara family hingga sampai feodalisme Mac Iver tidak
menyebutkan satu persatu hasilnya.

Jaman Berkembangnya Teori Kekuatan (Kekuasaan)

Di samping teori-teori yang menganggap bahwa negara, penguasa, dan kekuasaan itu
adanya atas kehendak Tuhan, yaitu teori teokrasi, atau karena perjanjian masyarakat, yaitu teori
hukum alam, maka ada satu teori lagi yang khusus tidak membenarkan premise hukum alam,
yang mengatakan bahwa manusia itu membentuk negara dengan mengadakan perjanjian
masyarakat, dengan tujuan mempertahankan hak-hak mereka. Premise daripada ajaran hukum
alam ialah manusia inabstrakto, yaitu manusia yang masih hidup dalam keadaan alam bebas.
Manusia dalam keadaan ini selalu mengalami kekacauan, karena masing-masing menganggap
yang lain sebagai musuhnya. Lagi pula mereka itu hidupnya terpisah satu sama lain, tanpa ada
hubungan apapun.

Keadaan demikian ini oleh teori kekuatan ditolak. Sebab manusia itu meskipun masih
dalam keadaan alam bebas, keadaannya tidaklah seperti yang digambarkan oleh Thomas Hobbes
atau John Locke yang seolah-olah menurut alam manusia itu hidupnya berdiri sendiri, karena
tokoh manusia itu di mana-mana selamanya hidup dalam suatu kesatuan, walaupun sangat kecil.

Teori kekuatan ini memang juga berpokok pangkal pada manusia dalam keadaan alam
bebas, manusia inabstrakto, seperti halnya teori hukum alam. Tetapi gambarannya tentang
keadaan berbeda. Sebab menurut teori kekuatan manusia dalam keadaan alamiah pun sudah
selalu hidup berkelompok. Jadi satu sama lain sudah saling mengadakan hubungan, walaupun
pada waktu itu masih dalam keadaan promissoiteit. Keadaan di mana belum ada lembaga
perkawinan.

Menurut ajaran teori kekuatan kelompok yang terkecil daripada manusia dalam keadaan
alamiah itu adalah keluarga. Keluarga ini terdiri dari seorang ibu ditambah dengan anak-
anaknya. Sebagaimana manusia itu adalah makhluk hidup. Bagaimanakah mungkinnya seorang
bayi yang baru saja dilahirkan bisa hidup kalau tidak mendapatkan asuhan dari ibunya ?
mungkinkah bayi itu sedemikian dilahirkan lalu hidup mandiri seorang diri? Ini adalah suatu
keadaan yang tidak mungkin dapat terjadi.

Kalau dalam keluarga yang kecil itu si ibu merupakan kepala keluarga, maka dalam
faktanya si ibu itu menguasai kelompok tersebut.

Kemudian sesudah timbulnya lembaga perkwawinan, meskipun lembaga itu sifatnya


masih sangat sederhana, keluarga itu anggotanya bertambah dengan seorang ayah. Kalau
kemudian si ayah ini sekarang yang menjadi kepala keluarga, itu berarti bahwa dalam faktanya si
ayah itulah yang menguasai kelompok tersebut. Jadi entah si ibu, entah si ayah itu yang
berkuasa, itu disebabkan karena adanya kelebihan atau keunggulan daripada yang lain-lain.
Pokoknya dialah yang menang. Terlebih menang dalam lapangan jasmani, maka dialah lalu yang
berkuasa.

Jadi tegasnya menurut teori kekuatan, siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Yang
dimaksud dengan kekuatan disini adalah kekuatan jasmani, kekuatan pisik.

Selanjutnya menurut ajaran kedaulatan tersebut, kalau keluarga tadi telah berkembang
menjadi masyarakat, dan akhirnya negara, maka bekas-bekas daripada kekuasaan yang asli ini
masih terbawa terus juga. Sehingga pada akhirnya itulah yang yang tetap berkuasa di dalam
masyarakat atau negara tadi. Perkembangan keluarga sehingga menjadi negara ini melalui
beberapa phase dengan jalan, mungkin peprangan, yang kalah lalu menggabungkan diri kepada
yang menang, atau dapat juga penggabungan secara suka rela, ini misalnya kalau terjadi suatu
perkawinan antara orang dari anggota kelompok atau keluarga yang satu dengan orang dari
anggota kelompok atau keluarga yang lain.

Dengan demikian maka mereka yang menganut teori kekuatan ini berpendapat bahwa
asal mula jkekuasaan itu adalah karena adanya keunggulan kekuatan daripada orang yang satu
terhadap orang-orang lainnya.

Kalau dalam keadaan alam bebas beberapa individu masing-masing hidup sendiri, dan
kemudian saling bertemu, maka yang merasa paling kuat tentu akan mencoba untuk menguasai
lainnya, yang lemah, untuk kepentingannya. Jadi keunggulan kekuatan pisiknya itu mempunyai
akibat menguasai orang lain guna kepentingan si kuat itu. Demikianlah asal mula negara dan
kekuasaan menurut teori kekuatan.
Dalam masyarakat atau negara modern yang disebut – yang berkuasa itu satu atau dua
orang yang secara kebetulan memegang pemerintahan. Tetapi sebenarnya yang memegang
pemerintahan itu adalah suatu kelompok orang-orang yang mempunyai kedudukan kuat.
Kemudian satu atau dua orang dari kelompok itu hanya merupakan alat saja untuk menguasai
kelompok yang lain, demi kepentingan kelompok yang berkuasa itu. Dan selanjutnya menurut
teori kekuatan negara itu sebenarnya adalah merupakan alat yang berkuasa tadi, untuk
menggunakan mereka yang lemah demi kepentingan yang kuat.

Tadi telah dikatakan bahwa teori kekuatan ini, dalam penyelidikannya tentang asal mula
negara berpokok pangkal pada manusia in-abstrakto, manusia dalam keadaan alam bebas. Di
dalam keadaann ini yang berlaku adalah apa yang dinamakan hukum rimba. Yaitu hukum yang
menentukan bahwa siapa yang kuat, yang dimaksud di sini kuat dalam arti pisik, adalah yang
berkuasa. Jadi ternyatalah bahwa kekuatan itu dapat menimbulkan kekuasaan dalam suatu
kelompok, yang kelak menjadi negara. Dan di sini yang berkuasa itu memerintah hanya
memperhatikan kepentingannya sendiri saja. Dengan demikian ternyatalah bahwa mereka yang
lemah ini benar-benar diperalat oleh yang kuat.

Apa yang diuraikan dalam teori kekuatan ini dalam sejarah ada juga kebenarannya.
Orang-orang seperti Dionysios, Djenggis Khan, Tamarlan, Napoleon, Mussolini, Hitler, adalah
merupakan contohnya. Mereka itu memperolah kekuasaan karena mempunyai keunggulan
kekuatan. Hanya saja di sini kekuatan telah mempunyai pengertian lain. Sebab pengertian
kekuatan di sini tidak saja kuat dalam, arti pisik, karena faktor-faktor lain juga ikut menentukan.
Misalnya sistem persenjataan, bahkan pada jaman modern, politik, kebudayaan, ekonomi dan
sebagainya memegang peranan penting.

Jadi menurut teori kekuatan, seperti telah dikatakan di atas negara itu adalah merupakan
alat dari golongan yang kuat untuk menghisap golongan yang lemah, terutama, sekarang, dalam
lapangan ekonomi. Memang kadang-kadang negara itu atau konkritnya penguasa, mengeluarkan
peraturan-peraturan yang nampaknya menguntungkan golongan yang lemah. Tetapi akhirnya
tokoh yang diperhitungkan hanya kepentingan – kepentingan si penguasa saja.

1) F. Oppenheiner
Sebagai contoh daripada ajaran teori kekuatan ini misalnya : F. Oppenheiner, bukunya
Die Sache, mengatakan bahwa negara itu adalah merupakan suatu alat dari golongan
yang kuat untuk melaksanakan suatu tertib masyarakat, yang oleh golongan yang kuat
tadi dilaksanakan kepada golongan yang lemah, dengan maksud untuk menyusun dan
membela kekuasaan dari golongan yang kuat tadi, terhadap orang-orang baik dari dalam
maupun luar, terutama dalam sistem ekonomi. Sedangkan tujuann terakhir dari semuanya
ini adalah penghisapan ekonomis terhadap golongan yang lemah tadi oleh golongan yang
kuat.
2) Karl Marx
Sedangkan menurut Karl Marx adalah merupakan penjelmaan daripada pertentangan-
pertentangan kekuatan ekonomi. Negara dipergunakan sebagai alat dari mereka yang kuat
untuk menindas ekonomi yang lemah. Yang dimaksud dengan orang yang kuat ataau
golongan yang kuat disini, adalah mereka yang memiliki alat-alat produksi. Negara
menurut Marx akan lenyap dengan sendirinya kalau didalam masyarakat itu sudah tidak
terdapat lagi perbedaan-perbedaan kelas dan pertentangan-pertentangan ekonomi.
3) H.J. Laski
Penganut teori kekuatan lainnya adalah Harold J. Laski, bukunya The State in
Theory and Practice. Juga, Pengantar Ilmu Politika. Dia berpendapat bahwa negara itu
adalah merupakan suatu alat pemaksa, atau Dwang Organizatie, untuk melaksanakan dan
melangsungkan suatu jenis sistem produksi yang stabil, dan pelaksanaan sistem produksi
ini semata-mata akan meguntungkan golongan yang kuat, yang berkuasa.
Artinya, kalau misalnya penguasa itu dari aliran kapitalisme, maka organisasi
negara itu tadi selalu akan dipergunakan oleh penguasa untuk melangsungkan sistem
ekonomi kapitalis. Sedangkan kalau penguasa itu dari aliran sosialisme, maka organisai
negara itu akan dipergunakan oleh penguasa tersebut untuk melangsungkan sistem
produksi menurut ajaran sosialisme. Jadi teranglah bahwa negara itu hanya sebagai alat
dari yang kuat, yang berkuasa, untuk melaksanakan kepentingannya.
H.J. Laski selanjutnya mengatakan bahwa tidak dapat diragu-ragukan lagi, bahwa
alasan-alasan yang menentukan arah orang pemerintahan itu bertindak, terlalu berbelit-
belitg untuk dapat diterangkan dengan satu cara saja, tidak ada satu sebab yang dapat
menyampingkan sebab-sebab yang lainnya dengan bulat-bulat.
4) Leon Duguit
Sementara itu Leon Duguit, dalam bukunya Traite de Troit Constitutionel, memberikan
keterangan tentang pelajaran hukum dan negara yang semata-mata berisfat realistis. Dia
tidak mengakui adanya hak subyektif atas kekuasaan, juga menolak ajaran yang
mengatakan bahwa negara dan kekuasaan itu adanya atas kehendak Tuhan, ditolaknya
juga ajaran perjanjian masyarakat tentang terjadinya negara dan kekuasaan. Menurut
pendapatnya, yang benar, dan kebenaran itu bersifat mutlak, adalah bahwa les pluforts,
orang-orang yang paling kuat, memaksakan kemauannya kepada orang lain dianggap
lemah. Orang-orang yang paling kuat itu dapat mendapatkan kekuasaan dan memerintah
disebabkan karena beberapa faktor. Faktor-faktor itu ialah tidak lain karena mereka itu
memiliki keunggulan dalam lapangan : pisik, ekonomi, kecerdasan, agama dan
sebagainya. Bahkan nanti dalam negara modern politik sangat menentukan.
H. Teori Postivisme
Kegagalan daripada para ahli pemikir tentang negara dan hukum dalam menyelidiki dan
menerangkan asal mula negara, hakekat negara, serta kekuasaan negara, menimbulkan setiap
skeptis terhadap negara. Dan orang lalu lebih suka menentukan sikap positif terhadap negara.
Kebanyakan orang telah kehilangan nafsunya untuk mempelajari atau menyelediki dasar-gdasar
negara yang pokok. Kecenderungan timbul untuk hanya membatasi diri kepada pelajaran hukum
positif, selain hal ini telah terdapat pada kebanyakan negara, juga hukum positif itu akan lebih
mudah dipelajari. Hal ini akan lebih memberikan pegangan yang kuat, karena bukankah dari
undang-undang dasar serta undang-undang organiknya dapat dibaca dan dipelajari, daripada
orang hanya berpikir secara abstrak dan tidak ada ketentuannya sama sekali, yang akibatnya
tidak lain hanyalah kekacauan dan peperangan. Demikianlah ilmu negara lambat laun tetapi pasti
menarik dirinya, dan datang mengunjungi tinjauan-tinjauan ilmu pengetahuan teoritis dan
historis. Ia menjadi relativistis, negative serta skeptic. Malahan Struycken sampai kepada
eklektisisme yang bersifat skeptic (eklektis berarti berpendirian secara luas,atau dalam hal ini
memilih dengan secara leluasa dari berbagai-bagai sistem atau aliran filsafat).

1. Hans Kelsen
Teori postivisme menyatakan bahwa tak usah mempersoalkan asal mula negara,
sifat serta hakekat negara dan sebagainya, karena kita tidak sementara itu baiklah
kalau kita tidak melupakan adanya seorang ahli pemikir tentang negara dan
hukum yang hidup pada abad ke XIX, akan tetapi pandangannya atau sifat
ajarannya adalah teokratis-sosiologis. Beliau adalah Friedrich Julius Stahl.
Bukunya tentang ini diberi nama Die Philosophie des Rechts. Ajarannya yang
bersifat teokratis-sosiologus itu terdapat dalam uraiannya tentang terjadinya
negara. Stahl berpendapat bahwa negara itu terjadi karena perkembangan dari
suatu keluarga yang bersifat patriarkal, yang menempati suatu daerah. Karena
kejadian-kejadian sejarah dan persamaan nasib, kebutuhan dan sebagainya, dan
yang telah melewati beberapa fase, maka kemudian lahirlah bangsa, yang
kemudian membentuk negara.
Penggabungan daripada keluarga yang satu kepada keluarga yang lain itu
disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena perkawinan, peperangan yang
kalah lalu menggabung kepada yang menang, atau karena sebab-sebab lain. Inilah
yang memberikan sifat sosiologis pada ajarannya.
Sedangkan sifat teokratisnya itu nampak karena Stahl mengatkan bahwa
terjadinya negara yang demikian itu tidak karena sengaja dibuat oleh manusia,
tetapi karena kodrat Tuhan atau karena kehendak Ilahi (Hohere Fugung atau
Gottes Fugung). Jadi adanya negara itu memang sudah dikehendaki oleh Tuhan.
Tuhanlah yang menciptakan negara.
Perkembangan keluarga partikal hingga menjadi negara. Dalam hal ini Stahl
mengatakan sebagai berikut : semula, dalam perkembangannya, di dalam keluarga
itu sudah terdapat benih-benih tugas yang nantinya akan menjadi tugas dalam
negara, bila keluarga itu sudah berekmbang menjadi negara. Benih-benih ini
misalnya dalam keluarga itu telah terdapat adanya pembagian tugas pekerjaan,
sehingga ada yang bertugas khusus mencari makan, mempertahankan ketuhanan
keluarga bila ada bahaya, ada yang bertugas khusus memuja leluhur-leluhur
mereka, dan sebagainya. Tugas-tugas inilah nantinya dalam negara yang
merupakan departemen-departemen atau kementrian.
Suatu pendapat lagi yang hampir sama dengan pendapat Stahl mengenai
terjadinya negara ialah pendapat dari seorang sarjana Amerika yang bernama Mac
Iver. Bukunya yang mengenai pemikiran tentang negara dan hukum adalah : The
web of government, dan The modern state.
Mac Iver mengatakan bahwa terjadinya negara itu karena perkembangan dari
suatu keluarga atau family. Mengenai hal ini Mac Iver mengatakan bahwa, dalam
suatu mesyarakat yang masih sederhana, kita melihat bagaian atau tugas-tugas
negara yang penting, dan hal ini dapat kita lihat di dalam kehidupan suatu
keluarga. Jadi tingkatan pertama itu adalah keluarga atau family tadi.
Dalam keluarga itu ada kebiasaan-kebiasaan yang selalu dianut, atau ada
institution, serta ada pula suatu kekuasaan atau authority yang tidak dpat terlepas
dari kebiasaan-kebiasaan tersebut. Pun di dalam keluarga itu ada pemimpinnya
atau kepala yang disebut kepala keluarga atau paterfamilias.
Tingkatan kedua ialah family itu berkembang, atau saling menggabungkan diri
satu sama lain, sehingga menjadi family yang besar yang disebut clan. Kepalanya
disebut primus inter pares.
Perkembangan selanjutnya ialah kepala atau pemimpin ini tadi menunjuk
keturunannya menjadi penggantinya, maka lalu timbullah sistem jabatan yang
sifatnya turun-temurun dari suatu rulling family (keluarga yang memerintah).
Dengan demikian lalu didapatkan jabatan raja.
Jadi menurut Mac Iver negara itu terjadi karena perkembangan dari suatu
keluarga, dan dalam perkembangan ini peranan peperangan tidak dapat dilupakan.
Tetapi Mac Iver baru menyebut hasil perkembangan tadi sebagai suatu negara
setelah terjadi atau mencapai territorial state, jadi setelah keluarga itu menguasai
suatu daerah tertentu. Dan ini terjadi setelah melewati jaman feodalisme.
Sedangkan masa antara family hingga sampai feodalisme Mac Iver tidak
menyebutkan satu persatu hasilnya.
I. Teori Modern
Di dalam peninjauannya tentang negara dan hukum teori atau aliran modern ini
mengatakan bahwa, kalau kita hendak menyelidiki atau mempelajari negara,
maka baiklah negara itu dianggap saja sebagai suatu fakta atau suatu kenyataan,
yang terikat pada keadaan, tempat, dan waktu. Dan harus disadari terlebih dahulu
negara itu ditinjau dari segi apa. Sebab tergantung dari segi penyelidikannya ini
akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda tentang pengertian, bentuk
serta hakekat negara.
Tetapi baiklah kita mengetahui serba sedikit pandangan dari aliran modern ini
tentang negara. Dari aliran modern ini antara lain kita dapatkah ajaran dari :
1. Prof. Mr. R. Kranenburg
Mengenai pendapatnya tentang negara Kranenburg mengatakan bahwa negara itu
pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakaan oleh
sekelompok manusia yang mempenyai kesadaran untuk mendirikan organisasi,
dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari kelompok tersebut. Maka di sini
yang primer, artinya yang terpenting dan yang terlebih dahulu harus ada, itu adalah
kelompok manusianya. Sedangkan negara itu adalah sekunder, artinya adanya itu
menyusul kemudian. Dan adanya itu hanya daoat kalau berdasarkan atas suatu
kelompok manusia yang di sebut bangsa.
Pendapat Kranenburg tersebut di atas kira nya didasarkan atau dikuatkan dengan
alasan-alasan bahwa pada jaman modern ini terdapat formasi-formasi kerjasama
internasional, atau antara bangsa-bangsa. Misalnya perserikatan bangsa-bangsa. Di
sini yang menjadi anggota itu adalah negara-negara. Tetapi mengapa tidak disebut
dengan istilah Perserikatan Negara-negara. Melainkan disebut Perserikatan Bangsa-
bangsa? Bukan United States, melainkan United Nations. Hal yang demikian ini
menurut Kranenbrug menunjukkan bahwa menurut pandangan modern, bangsa itu
menjadi dasar dari pada negara. Jadi bangsalah yang primer, yang harus ada terlebih
dahulu, baru kemudian menyusul adanya negara, jadi negara sifatnya sekunder.
Bagaimanakah keadaan senyatanya, artinya bagaimanakah alasan Kranenburg
tersebut, dapat diterima ataukah tidak. Terhadap hal ini kiranya dapat dikemukakan :
a. istilah-istilah tersebut di atas, yaitu Perserikatan Negara-negara dan
Perserikatan Bangsa-bangsa itu sudah mempunyai pengertian-pengertian
yang pasti. Oleh karena itu istilah-istilah tersebut tidak boleh dipakai untuk
menyebut formasi-formasi baru. Karena jika demikian, ini hanya akan
menimbulkan kesulitan di dalam perselisihan dan pengertian.
b. Apa yang dikemukakan oleh Kranenburg tersebut di atas, yaitu bahwa
bangsalah yang menciptakan negara, adalah pertentangan dengan kenyataan,
karena misalnya saja sesudah Perang Dunia pertama, di benua Eropa timbul
beberapa negara yang tidak hanya meliputi satu jenis bangsa, melainkan
meliputi beberapa jenis bangsa. Adapun penggabungan beberapa jenis
bangsa itu menjadi satu dan kemudain mendirikan negara, terutama
didasarkan atas persamaan kepentingan, nasib, sejarah, kebudayaan serta
demi keselamatan mereka bersama. Ini misalnya negara-negara Australia,
Hongaria, dan Polandia. Ini semua terdiri dari beberapa bangsa yang
ditempatkan di bawah satu organisasi yang disebut negara.
Sedangkan sebaliknya adalah keadaan di Korea. Korea hanya terdiri dari
satu bangsa, tetapi mendirikan dua negara, yaitu Korea Selatan dan Korea
Utara. Ini semua menunjukkan bahwa nama itu belum menunjukkan atau
menggambarkan keadaan yang senyatanya, maka kita tidak dapat menggap
bahwa negara itu berdasarkan atas bangsa. Jadi sebetulnya bukanlah bangsa
yang mendirikan negara, melainkan negaralah yang menciptakan pengertian
bangsa. Ini adalah sesuai dengan pendapat Logemann.
2. Logemann
Berbeda pendapat Kranenburg, Logemann mengatakan bahwa negara itu pada
hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan
kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa. Jadi pertama-tama negara itu
adalah suatu organisasi kekuasaan, maka organisasi ini memiliki suatu kewibawaan,
atau gezag, dalam mana terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya
kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi itu. Di sini kita harus ingat bahwa
tiap-tiap organisasi itu merupakan negara, misalnya organisasi mahasiswa,
organisasi buruh, organisasi politik, sebab organisasi-organisasi ini tadi tidak
memiliki kekuasaan seperti halnya negara.
Jadi Logemaann berpendapat bahwa yang primer itu adalah organisasi kekuasaaanya
yaitu negara. Sedangkan kelompok manusianya adalah sekunder. Maka
perbedaannya dengan pendapat Kranenburg adalah : kalau menurut sistem
Kranenburg bangsa itu menciptakan organisasi, jadi adanya atau terbentuknya
organisasi itu tergantung pada bangsa ; sedangkan kalau menurut sistem Logemann
organisasi itu menciptakan bangsa, maka bangsa inilah yang tergantung pada
organisasi.
Perbedaan pendapat antara kedua orang sarjana ini disebabkan karena perbedaan
pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan istilah bangsa itu. Jadi masing-
masing sarjana itu mempunyai pendapat yang berbeda tentang pengertian bangsa.
Istilah bangsa yang dipergunakan oleh Kranenburg itu adalah bangsa dalam arti
ethnologis, misalnya bangsa Jawa, Sunda, Dayak, dan sebagainya. Sedangkan
pengertian bangsa yang dipergunakan untuk menggambarkan idea dari Logamann
itu adalah bagsa dalam arti rakyat dari suatu negara.
Apakah bangsa itu ? dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya
tentang pengertian bangsa. Menurut beliau bangsa adalah suatu nyawa, suatu azas
akal, yang terjaddi karena dua hal : pertama, rakyat itu dulunya harus bersama-sama
menjadi satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan,
keinginan hidup menjadi satu. Jadi dengan demikian yang menjadikan negara itu
bukanlah jenis atau ras, agama, persamaan kebutuhan, ataupun daerah.
Sementara itu sarjana lainnya seperti Karl Radek, juga Karl Kautshy, terutama Otto
Bauer-lah yang juga mempelajari bangsa itu. Menurut Otto Bauer bangsa itu adalah
suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani
oleh rakyat itu.
Sekarang apakah bedanya antara bangsa dengan rakyat ? Bangsa itu dipakai untuk
melukiskan sesuatu pengertian yang dilawankan dengan bangsa-bangsa lain,
mislanya dalam teks proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, itu
dinyatakan : Kami bangsa Indonesia dengan ini ………….. dan seterusnya.
Istilah bangsa di sini mempunyai suatu pengertian yang dilawankan dengan bangsa-
bangsa lain. Jadi ditunjukan kepada dunia luar, kepada mereka yang tidak sebangsa.
Sedangkan istilah rakyat ini melukiskan sesuatu pengertian yang dilawankan dengan
pengertian pemerintah. Misalnya kalau dikatakan : bahwa pemerintah RI harus
menyelenggarakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya,
Jadi menurut pendapat Logemann organisasi itulah yang menciptakan dan meliputi
kelompok manusia, dengan tujuan untuk mengatur kelompok tersebut dan
menyelenggarakan kepentingan kelompok itu. Bagaimanakah sifat kepentingan
masyarakat yang hendak diselenggarakan itu atau masyarakat yang bagaimanakah
yang hendak diciptakan oleh organisasi itu merupakan tujuan daripada organisasi
tersebut. Dan sudah barang tentu bahwa sifat daripada organisasi itu,
penyusunannya serta pengaturannya disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai
oleh organisasi tersebut, jadi tujuan itu mempengaruhi sifat dan susunan serta
pengaturan daripada organisasi.
Sekarang persoalannya adaalaah kelompok manusia yang manakah yang akan
diliputi oleh organisasi tersebut ? Mengenai hal ini organisasi itu sendirilah yang
akan dimasukkan dalam kelompoknya harus mengingat adanya persamaan-
persaman yang memudahkan mereka itu dipersatukan. Misalnya persamaan-
persamaan : kebudayaan, nasib, sejarah dan sebagainya, dan disamping itu harus ada
kesadaran akan persamaan-persamaan tersebut. Jadi persamaan-persamaan tadi
semakin lama semakin menebal, sehingga menjadi suatu kesadaran, dalam arti
bahwa kelompok tersebut mereka kehendaki dengan sadar.
Jika suatu kelompok itu hanya berdasarkan persamaan-persamaan yang bersifat
lahirlah saja, misalnya persamaan-persamaan: kebudayaan, nasib, sejarah, dan
sebagainya, itu disebut kelompok yang obyektif, karena persamaan-persamaan
bersifat obyektif, lahirlah. Tetapi kita harus mengusahakan bahwa kelompok itu
harus menjadi kelompok yang subyektif. Yaitu suatu kelompok yang menyadari
akan adanya persamaan-persamaan tersebut, dan menyadari pula akan kelompoknya
itu, hal yang demikian ini lalu menimbulkan sikap, bahwa mereka itu tidak
menyukai jika mereka itu dijadikan satu dengan kelompok yang lain.
Di atas telah dikatakan bahwa organisasi itulah yang terutama bersifat menentukan
kelompoknya, dan menentukan pula apa yang menjadi tujuan-tujuannya, serta
dengan jalan bagaimana akan mencapai tujuan tersebut. Jadi organisasi itu
menguasai kelompok, oleh karena yang menjadi satu keutuhan itu, karena penentuan
organisasi tadi, maka lalu disebut kelompok kekuasaan.
Jadi bukanlah kelompok-kelompok yang sifatnya sukarela, seperti perhimpunan
mahasiwa. Sedangkan apa yang menjadi dasar kekuasaan itu tidak bersifat
menentukan adanya organisasi tersebut.
Maka kalau soal asal mula itu diterima sebagai suatu kenyataan saja, yaitu negara
sebagai suatu organisasi kekuasaan yang meliputi kelompok manusia, maka lalu
timbul soal dari mana organisasi tadi mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk
menyatuka manusia menjadi suatu kelompok, atau apakah dasarnya. Persoalan ini
disebut persoalan tentang legitimasi kekuasaan, yaitu persoalan tentang syah atau
tidaknya kekuasaan.
Tetapi oleh karena, seperti tadi dikatakan, bahwa organisasi itu mempunyai
kekuasaan syah, untuk menyatukan dan mnguasai kelompok manusia tersebut,
selama organisasi itu menyelenggarakan kepentingan-kepentingan kelompoknya, itu
berarti bahwa organisasi itu menyelenggarakan tujuan daripada kelompok manusia
tersebut yang telah ditentukan oleh organisasinya, jadi juga berarti organisasi itu
menyelenggarakan tujuan negara. Maka baiklah sebelumnya membicarakan masalah
legitimasi kekuasaan, kita bicarakan dulu masalah tujuan negara. Tetapi karena
tujuan negara itu sesungguhnya terhitung daripada hakekat negara, maka jadinya
hakekat negara inilah yang akan kita bicarakan terlebih dahulu.

Bab VI

Teori Legitimasi Kekuasaan

Ditinjau dari sudut hukum tata negara, negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, dan
organisasi itu merupakan tata kerja dari pada alat-alat perlengkapan negara yang merupakan
suatu keutuhan, tata kerja mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban
antara masing-masing alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan yang tertentu.

Cobalah ingat kembali ajaran dari aliran atau teori modern, yang antara lain dikemukakan
oleh Kranenburg dan Logemann, yang mereka itu pada pokoknya terdapat sama, dalam arti
bahwa mereka itu mengatakan bahwa negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan. Jadi mereka
itu menerima persoalan tentang negara dan hukum sebagai suatu kenyataan, maka persoalan
tentang legitimasi kekuasaan itu juga diterima oleh mereka sebagai persoalan kenyataan pula.

Tapi sebenarnya tidak hanya merekalah yang mempersoalkan legitimasi kekuasaan itu,
karena sejak semula, yaitu sejak orang telah mendapatkan kebebasan berpikir dan mulai
mengadakan pemikiran tentang negara dan hukum, telah membicarakan pula masalah tersebut.
Maka terlepas dari pendapat apakah negara itu merupakan suatu organisasi atau merupakan suatu
organisme, atau merupakan suatu keluarga, ataukah merupakan suatu alat, atau merupakan
apalagi.....................yang terang adalah bahwa negara itu didalamnya ada kekuasaan.

Maka sekarang masalahnya atau pertanyaannya adalah :


1. Tentang sumber kekuasaan.
2. Tentang pemegang kekuasaan (kekuasaan tertinggi atau kedaulatan).
3. Tentang mengesahan kekuasaan.

1) Tentang sumber kekuasaan. Ini maksudnya mempersoalkan tentang dari manakah


asal atau sumber kekasaan yang ada didalam negara itu? Ini adalah salah satu
pertanyaan yang sebenarnya adalah mempersoalkan tentang legitimasi. Dan soal ini
didalam ilmu negara pada prinsipnya mendapatkan dua macam jawaban.

Pertama. Jawaban pertama diberikan oleh teori teokrasi, yang menyatakan bahwa asal
atau sumber daripada kekuasaan itu adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada jaman abad
pertengahan, yaitu dari abad ke V sampai abad ke XV. Penganut daripada teori ini yang antara
lain telah kita bicarakan ajarannya adalah : Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilisius. Maka
dari itu disini kiranya tidak perlu dibicarakan lagi.

Kedua. Jawaban yang kedua diberikan oleh teori hukum alam. Teori ini menyatakan
bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat. Sudah mulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang
dipelopori oleh Johannes Althusius, telah mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat
dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat ini tidak lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam
kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang, yang
disebut raja, untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.

Tentang penyerahan kekuasaan dari rakya kepada raja ini, dalam teori hukum alam
sendiri terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Antara lain pendapat dari Rousseau yang
menyaakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian dengan melalui perjanjian
masyarakat kekuasaan itu diserahkan kepada raja. Ingatlah bahwa disini yang diserahkan itu ada
pada rakyat, kemudian oleh masing-masing orang ini, kekuasaan tersebut diserahkan kepada
masyarakat sebagai suatu kesatuan, dan seterusnya dengan melalui perjanjian masyarakat,
kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Jadi penyerahan kekuasaan atau perjanjian
masyarakat disini sifatnya bertingkat.

Sedangkan kalau menuru Thomas Hobbes kekuasaan itu dari masing-masing orang
langsung diserahkan kepada raja dengan melalui perjanjian masyarakat. jadi sifat penyerahan
kekuasaan dari orang-orang tersebut kepada raja atau perjanjian masyarakatnya, bersifat
langsung. Seterusnya coba ingatlah kembali sifat-sifat dari pada perjanjian masyarakat yang telah
kita bicarakan dimuka.

2) Tentang pemegang kekuasaan (kekuasaan tertinggi atau kedaulatan).


Maksudnya kekuasaan tertinggi atau kedaulaan itu siapakah yang memiliki dan atau
memegang di dalam suatu negara itu. Jadi sebenarnya pertanyaan ini sifatnya ganda.
Mengapa demikian ? sebab disini yang dinyatakan adalah, didalam negara itu
siapakah pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, didalamnya tersimpul pula
pertanyaan siapakah pemilik, jadi berarti pula sumber, daripada kekuasaan tertinggi
atau kedaulan tadi. Inilah konsekuensi kedua daripada maalah atau persoalan
mengenai legitimasi kekuasaan negara.

Atau jelasnya, sekali lahi, siapakah yang menjadi sumber, pemilik dan sekaligus
memegang daripada kekuasaan yang ada didalam negara itu. Untuk menjawab persoalan ini kita
pertama-tama harus memikirkan bahwa apakah yang dimaksud dengan kekuasaan tertinggi itu
sama dengan pengertian sovereignty, souveranitat, souvereiniteit.

Mengenai persoalan yang pertama, kiranya dapat diterima adanya pendapat yang
menyatakan bahwa kedaulatan itu artinya adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara.
Dalam undang-undang dasar 1945, didalam penjelasannya dikatakan bahwa kedaulatan itu
adalah kekuasaan yang tertinggi. Tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut kekuasaan yang tertinggi
untuk apa dan bagaimana sifatnya.

Persoalan selanjutnya, apakah pengertian kedaulatan itu sama dengan pengertian


souvereinetit, itu kiranya belum ada kesatuan pendapat daripada para sarjana.

Salah seorang sarjana yang pernah memberikan perumusan tentang kedaulatan, dan
bagaimana sifat-sifat kedaualan itu, adalah seorang sarjana Perancis yang hidup pada abad ke
XVI yang bernama Jean Bodin. Beliau mengatakan bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan
tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara, yang sifatnya : tunggal, asli, abadi, dan
tidak dapat dibagi-bagi.

Tetapi perumusan atau tegasnya definisi kedaulatan dari Jean Bodin ini untuk masa
sekarang tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen, sebab pada waktu itu ia hanya meninjau
souvereiniteit dalam hubungannya dengan masyarakat didalam negeri itu saja. Jadi
perumusannya bersifat intern. Hal ini dapat dimengerti, oleh karena pada waktu itu hubungan
antar negara belum intensif seperti sekarang ini. Yang sudah barang tentu untuk dewasa ini,
dimana hubungan antar negara yang satu dengan lainnya itu sudah begitu luas, mau tidak mau
suatu negara itu mesti terkena pengaruh dari hubungan antara negara-negara tersebut. Maka
kalau Jean Bodin itu hanya mempergunakan pengertian souvereiniteit itu dalam hubungannya
kedalam saja kiranya dapat dimengerti. Tetapi kemudian disamping itu dapat dipersoalkan
pengertian souvereineteit terhadap negara-negara lain.

Sebagai akibat daripada hal tersebut diatas maka orang lain mengenal :

1. Interne souvereineteit (kedaulatan kedalam).


2. Externe souvereineteit (kedaulatan keluar).

Menurut Jean Bodin interne souvereineteit itu yang memiliki adalah negara. Tetapi perlu
diingat disini bahwa Jean Bodin itu tidak secara tegas membedakan anatara pengertian negara
dengan pengertian pemerintah.

Tadi dikatakan bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Lalu
sekarang apakah pengertian daripada istilah kekuasaan itu sendiri. Mengenai ini kiranya dapat
diterima adanya pendapat yang mengatakan bahwa, kekuasaan itu adalah kemampuan daripada
seseorang atau segolongan orang untuk mengubah berbagai-bagai tabiat atau sikap, dalam suatu
kebiasaan, menurut keinginannya, dan untuk mencegah perubahan-perubahan tabiat atau sikap
yang tidak menjadi keinginannya dalam suatu kebiasaan.

Sekarang persoalannya siapakah yang memiliki kekuasaan itu. Entah kekuasaan itu
bersifat mutlak, entah bersifat terbatas. Artinya kekuasaan tertinggi didalam suatu negara itu,
yaitu kekuasaan yang bersifat dapat menentukan dalam tertinggi dan terakhir. Dan dalam
masalah ini harus diingat kembali apa yang telah ditentukan diatas, yaitu bahwa masalah ini
sifatnya ganda.

Terhadap masalah atau persoalan ini ada beberapa paham atau teori yang memberikan
jawaban, yang masing-masing nanti akan menimbulkan suatu ajaran atau teori, yaitu ajaran atau
teori kedaulatan.
a. Teori Kedaulatan Tuhan

Diantara teori-teori yang memberikan jawaban atas masalah atau pertanyaan tadi, menurut
sejarahnya yang paling tua adalah teori kedaulatan Tuhan, yaitu yang mengatakan bahwa
kekuasaan tertinggi itu yang memiliki atau ada pada Tuhan.

Teori ini berkembang pada jaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke V sampai abad ke
XV. Didalam perkembangannya teori ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama
baru yang timbul pada saat itu, yaitu agama kristen, yang mulai diorganisir dalam suatu
organisasi keagamaan, yaitu gereja yang dikepalai oleh paus.

Jadi pada waktu itu lalu ada dua organisasi kekuasaan, yaitu : organisasi kekuasaan negara
yang diperintah oleh seorang raja, yang organisasi gerja yang dikepalai oleh seorang paus, karena
pada waktu itu organisasi gereja tersebut mempunyai alat-alat perlengkapan yang hampir sama
dengan alat-alat perlengkapan organisasi negara.

Pada permulaan perkembangannya agama baru ini mendapat pertentangan yang sangat hebat.
Oleh karena agama baru ini dianggap bertentangan dengan paham atau kepercayaan yang dianut
pada waktu itu, yaitu penyembahan kepada dewa-dewa atau patheisme. Banyak para
pimpinannya yang dikejar-kejar, ditangkap, dibuang atau dibunuh, karena mereka ini dianggap
mengancam kedudukandan kewibawaan raja. Tetapi oleh karena keuletan dan ketabahan
daripada para penganut-penganutnya, agama baru ini tidak musnah, tetapi malahan akhirnya
dapat berkembang dengan baik dan diakui sebagai satu-satunya agama resmi, agama negara.

Mulai saat itulah organisasi gereja itu mempunyai kekuasaan yang nyata dan dapat mengatur
kehidupan negara, tidak saja yang bersifat keduniawian, maka tidaklah jarang kalau kemudian
timbul dua peraturan untuk satu hal, yaitu peraturan dari negara dan peraturan dari gereja.
Selama antara kedua peraturan itu satu sama yang lain tidak bertentangan, maka selama itu pula
tidak ada tidak ada kesulitan-kesulitan dari para warga negara untuk mentaatinya. Tetapi bila
peraturan-peraturan itu saling bertentangan satu sama yang lain maka timbulah persoalan,
peraturan yang berasal dari manakah yang berlaku, artinya antara kedua peraturan itu mana yang
lebih tinggi tingkatannya, dan peraturan itulah yang akan ditaati.
Tentang hal ini ada beberapa ajaran atau teori, yang kesemuannya berasal dari penganut-
penganut teori teokrasi. Antara lain adalah : Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilisius.
Disamping itu masih banyak lagi yang masing-masing memberikan ajarannya. Persoalan mereka
sebetulnya bukanlah mempersoalkan siapakah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan itu, karena dalam hal ini telah ada persamaan pendapat, bahwa yang memiliki
kekuasaan kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu adalah Tuhan. Tetapi yang dipersoalkan lebih
lanjut adalah, siapakah didunia ini kongkritnya didalam suatu negara itu, yang mewakili Tuhan,
raja ataukah paus.

Mula-mula dikatakan bahwa yang mewakili Tuhan dimuka bumi ini, jadi didalam suatu
negara, adalah paus, ini adalah pendapat dari Augustinus. Kemudian dikatakan bahwa kekuasaan
raja dan paus itu sama, hanya saja tugasnya berlainan, raja dalam lapangan kedunawian,
sedangkan paus dalam lapangan keagamaan. Ini adalah pendapat dari Thomas Aquinas.
Perkembangan selanjutnya menitik beratkan kekuasaan itu ada pada negara atau raja, ini adalah
ajaran dari Marsilisius.

Menurut ajaran Marsilisius raja itu adalah wakil dari pada Tuhan untuk melaksanakan
kedaulatan atau memegang kedaulatan dunia. Akibat dari ajaran Marsilisius ini maka pada akhir-
akhir abad pertengaha dan permulaan jaman berikutnya, yaitu jaman renaissance, adalah terasa
sekali. Karena raja-raja merasa berkuasa untuk berbuat apa saja menurut kehendaknya, dengan
alasan bahwa perbuatannya itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja tidak merasa
bertanggung jawab kepada siapapun kecuali kepada Tuhan. Bahkan raja merasa berkuasa
menetapkan kepercayaan atau agama yang harus dianut oleh rakyatnya atau warga negaranya.

Keadaan ini semakin memuncak pada jaman renaissance, terlebih setelah timbulnya ajaran
dari Niccolo Machiavelli, yang maksudnya semula adalah untuk mengatasi perpecahan dan
kekacauan negara, dengan ajaran staatsraisen-nya. Maka yang semula orang mengatakan, bahwa
hukum yang harus ditaati adalah hukum Tuhan, sekarang mereka berpendapat bahwa hukum
negaralah yang harus ditaati, dan negaralah satu-satunya yang berwenang menentukan hukum.
Dengan demikian timbul ajaran baru tentang kedaulatan, yaitu kedaulatan negara.

b. Teori Kedaulatan Negara


Dari para penganut teori kedaulatan negara ini menyatakan, bahwa kedaulatan itu tidak ada
pada Tuhan, seperti yang dikatakan oleh para penganut teori kedaulatan Tuhan (gods-
souvereiniteit), tetapi ada pada negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu
harus tunduk kepada negara. Negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptan
peraturan-peraturan ukum, jadi adanya hukum karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun
yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.

Penganut teori kedaulatan negara ini antara lain adalah Jean Bodin dan Georg Jellinek.

Ajaran kedaulatan negara dari Jean Bodin kiranya tidak perlu diulangi pembicaraannya,
karena sudah disinggung dimuka, karenya cukuplah diperiksa kembali.

Hanya perlu kiranya disini perhatikan bahwa pada hakekatnya teori kedaulatan negara itu
atau staats-souvereubuteit, hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara,
entah kekuasaan itu bersifat absolu, entah sifatnya terbatas, dan ini harus dibedakan dengan
pengertian ajaran staats-absolutisme. Karena dalam ajaran staaats- souvereubuteit itu pada
prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi
ini mungkin bersifat absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat terbatas, dalam arti bahwa
negara itu kekuasaanya meliputi segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan
para warga negara itu tidak lagi mempunyai kepribadian.

Selain itu bahwa dalam staats-souvereubuteit dapat bersamaan denganliberalisme. Sedangkan


kalau dalam staats-absolutisme tidak dapat. Hal ini logis dan dapat dimengerti bahwa soal itu
berhubungan erat dengan soal kebebasan warga negara, padahala kebebasan negara merupakan
masalah yang prinsipil dalam setiap negara.

Teori kedaulatan negara ini dikemukakan oleh Georg Jellinek. Pada pokoknya jellinek
mengatakan bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan
negara. Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum, maka negaralah yang dianggap satu-
satunya sumber hukum dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Diluar
negara tidak ada satu orangpun yang berwenang menetapkan hukum.

Maka dalam hal ini lalu berarti bahwa kebiasaan, yaitu hukum yang tidak tertulis, yang
bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi yang nyata-nyata berlaku didalam masyarakat,
tidak merupakan hukum. Dan memang demikian juga kalau menurut Jean Bodin sedangkan
kalau menurut Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan
oleh negara sebagai hukum.

Terhadap teori kedaulatan negara ini kiranya ada yang mengajukan keberatan kalau hukum
itu sudah dianggap merupakan perwujudan atau penjelmaan daripada kemauan atau kehendak
negara, dan baru mempunyai kekuatan berlaku apabila telah ditetapkan oleh negara, lalu
bagaimanakah kenyataannya.

Kenyataannya ialah bahwa negara itu sendiri tunduk kepada hukum. Demikian pendapat
Leon Duguit, periksa bukunya : Traite de Droit Constituonel, juga Krabbe dalam bukunya :
Kritische Darstellung der Staatslehre, dan bukunya yang lain Die Lehre der Rechts-
souvereubuteit. Yang pokoknya Krabbe menentang pendapat Jellinek itu, karena bagaimanakah
kenyataan.

Terhadap keberadaan tersebut Jellinek mempertahankan pendapatnya dengan mengemukakan


ajaran Selbstbindung, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa negara dengan suka rela
mengikatkan dirinya atau mengharuskan dirinya tunduk kepada hukum sebagai penjelmaan dari
kehendaknya sendiri.

Tetapi terhadap ajaran selbstbindung inipun masih dapat dikemukakan persoalan atau
keberatan lagi, ialah karena ajaran staats-souvereubuteit itu tidak membedakan antara negara
dengan organ-organnya, tegasnya tidak membedakan antara negara negara dengan pemerintah.
Sebab pada hakekatnya negara itu merupakan suatu hal yang bersifat abstrak, jadi hanya suatu
abstraksi saja, dan negara itu dapatnya berbuat hanya kalau melalui organ-organnya,
pemerintahannya, malahan tegasnya orang-orangnya. Jadi dengan demikian ajaran selbsbindung
dari organ-organnya atau pemerintah, jadi orang-orangnya.

Persoalan selanjutnya ialah, apakah yang merupakan faktor daripada selbstbindung tersebut?
Jawaban terhadap pesoalan ini ialah bahwa pertama-tama dalam lapangan hukum itu sudah
barang tentu disamping faktor-faktor kemanyarakatan juga ada faktor-faktor ideal yaitu rasa
hukum, kesadaran hukum dan rasa keadilan. Ini adalah jawaban dari Jellinek yang merupakan
faktor daripada selbstbindung tersebut.
Bagaimana selanjutnya, menurut Krabbe hal-hal tersenut sesugguhnya terletak diatas negara.
Dengan demikian maka lalu diatas negara ada barang sesuatu yang souvereubuteit, yang
berdaulat yaitu kesadaran hukum tadi. Jadi menurut Krabbe yang berdauat itu bukanlah negara,
tetapi hukumlah yang berdaulat. Maka dengan demikian timbulah ajaran baru lagi tentang
kedaulatan, yaitu teori kedaulatan hukum.

c. Teori Kedaulatan Hukum

Menurut teori kedaulatan hukum atau rechts- souvereubuteit tersebut yang memiliki bahkan
yang merupakan kekuasaan tertinggi didalam suatu negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena
baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan negara itu sendiri semuanya
tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut
hukum. Jadi menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum.

Lalu kalau demikian apakah yang menjadi sumber hukum itu ? menurut Krabbe yang
menjadi sumber hukum adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Rasa
hukum ini dalam bentuknya masih sederhana, jadi yang masih bersifat primitif atau yang
tingkatannya masih rendah disebut instink hukum. Sedang dalam bentuknya yang lebih luas atau
dalam tingkatannya yang lebih tinggi disebut kesadaran hukum.

Dengan ajarannya yang demikian itu tadi, maka dapatlah dikatakan bahwa Krabbe itu dalam
banyak hal terpengaruh oleh aliran Historis, yaitu suatu aliran yang berkembang sesudah revolusi
perancis. Aliran historis ini antara lain dipelopori oleh von savigny, yang mengatakan bahwa
hukum itu harus tumbuh didalam masyarakat itu sendiri, berdasarkan kesadaran hukum yang
terdapat dalam masyarakat tersebut. Maka tidaklah mengherankan bahwa aliran ini menolak
hukum yang dikondifikasikan oleh Napoleon, oleh karena hukum tersebut adalah hukum asing,
yaitu hukum romawi.

Jadi menurut Krabbe hukum itu tidaklah timbul dari kehendak negara, dan dia memberikan
kepada hukum suatu kepribadian tersendiri. Dan hukum itu berlaku terlepas daripada kehendak
negara.
Sekarang persoalannya : bagaimanakah hukum itu dapat berlaku terhadap negara, sedangkan
hukum itu sendiri terlepas dari negara ? dalam hal ini Krabbe mendasarkan teorinya, bahwa tiap-
tiap individu itu mempunyai rasa hukum dan bila rasa hukum itu telah berkembang menjadi
kesadaran hukum. Rasa hukum itu terdapat pada diri tiap-tiap individu di samping rasa-rasa
lainnya. Misalnya rasa susila, rasa keindahan, rasa keagungan dan sebagian. Jadi kesadaran
hukum itu adalah salah satu fungsi dari pada jiwa manusia, yang mengadakan reaksi terhadap
perbuatan-perbuatan manusia dalam perhubungannya dengan manusia-manusia lain dalam
kehidupannya bermasyarakat.

Dengan demikian menurut Krabbe hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada salah
satu bagian dari perasaan manusia. Terhadap banyak hal manusia itu mengeluarkan perasaannya,
sehingga orang dapat membedakan adanya macam-macam norma, dan norma-norma itu
sebetulnya terlepas dari kehendak kita, oleh karena itu kita lalu mau tidak mau tentu
mengeluarkan reaksi, untuk menetapkan mana yang baik, mana yang adil dan sebagainya.

Jadi terhadap banyak hal itu kita tidak dapat bersikap acuh tak acuh begitulah maka sumber
dari hukum tidu terdapat didalam perasaan kita, dan ternyatalah bahwa sumber dan berlakunya
hukum itu berada diluar kehendak kita, atau tegasnya berada diluar kehendak negara.

Bagaimanakah tanggapan sarjana-sarjana lainnya terhadap pendapat Krabbe ini ? kiranya ada
juga yang dapat menerima, oleh karena itu diajukanlah keberatan. Sarjana ini adalah Prof. Mr.
Dr. AAH. Struycken, dengan bukunya yang terkenal : Het Staatsracht van het koninkrijk der
Nederlanden, terbit pada tahun 1928.

Terhadap pendapat krabbe tersebut diatas struycken mengatakan bahwa pendapat Krabbe itu
adalah lemah. Sebab rasa hukum itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum, oleh karena
rasa hukum itu selalu akan berubah-ubah pada setiap masa, dan rasa hukum itu akan berbeda dari
golongan-golongan yang satu dengan rasa hukum dari golongan yang lain, apalagi dari manusia
yang satu dengan manusia yang lain. Rasa hukum dari A misalnya tidak akan sama dengan rasa
hukum dari B. Bahkan rasa-rasa huum dari si A tadi pada waktu sekarang, misalnya, akan
mungkin sekali berbeda dengan rasa hukum si A itu sendiri 5 tahun yang akan datang. Dengan
demikian maka tidak akan ada rasa hukum yang umum, maka rasa hukum itu tidak dapat
dijadikan sebagai sumber hukum, sebab kalau hukum itu didasarkan pada rasa hukum daripada
tiap-tiap individu, tidak akan tercapai hukum yang bersifat umum, akan tetapi akibatnya malahan
akan menimbulkan anarki.

Pendapat Krabbe tersebut diatas, yang dikemukakan didalam bukunya Die Lehre Rechts-
souveranitat, diterbitkan pada tahun 1906, yang kemudian disanggah oleh struycken secara
didalam bukunya : Recht en Gezag, Een critische vam Krabbe’s Moderne staats-idee, diterbitkan
pada tahun 1916, dijawab atau malahan tegasnya dibela oleh Kranenburg, periksa bukunya
Algemene Staatsleer, buku ini diterbitkan pada tahun 1937.

Dalam hubungan ini Keanenburg membela pendapat Krabbe yang disanggah oleh Struycken
tadi, dengan mengemukakan hukum keseimbangan, atau postulat keseimbangan. Menurut
Kranenburg setelah diadakan penyelidikan secara empiris analytis, memang ternyaa bahwa
didalam masyarakat itu terdapat ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukum manusia. Yaitu
bahwa setiap orang itu bersikap atau berkeyakinan, bahwa setiap orang itu adalah berkesamaan
hak terhadap penerimaan keuntungan atau kerugian, atau terhadap keadilan dan ketidak adilan,
kecuali apabila ada syarat-syarat khusus yang menentukan lain.

Jadi menurut Kranenburg sanggahan atau kritikan struycken terhadap krabbe tersebut tidak
benar. Sebab Krabbe tidak mengatakan bahwa rasa hukum atau kesadaran hukum dari setiap
orang itu adalah sama dalam segala hal, akan tetapi disitu ada unsur yang sama, yaitu adanya
ketentuan dalam reaksi kesadaran hukum manusia. Inilah yang menyebabkan adalanya suatu
keseimbangan.

Cobalah pikirkan, dalam hal ini Kranenburg memberi keterangan sebagai berikut : bahwa
hukum positif tidak dapat ditetapkan menurut kehendaknya sendiri oleh karena kekuasaan
pemerintah, akan tetapi terdapatlah kecenderungan untuk memperhatikan rasa hukum atau
kesadaran hukum dari masyarakat. sebab kalau tidak demikian, artinya pemerintah itu
melakukan tindakan atau melakukan kekuasaan dengan tidak pantas, akan selalu timbul atau
terdapat banyak reaksi kesadaran hukum masyarakat. oleh karena didalam masyarakat itu selalu
terdapat ketentuan tetap dalam reaksi kesadaran hukunya, ini memungkinkan timbulnya aksi
yang bertujuan sama. Reaksi itu dapat timbul secara lamban, dalam bentuk kebiasaan, misalnya.
Atau dalam bentuk yurisprudensi. Tetapi dapat pula secara cepat dalam bentuk hukum revolusi.
Inilah yang akan melemahkan kekuasaan penguasa. Dan dengan demikian pula hal tersebut
merupakan jawaban atas sanggahan struycken.

Tetapi kiranya Kranenburg sendiri salah terima dengan apa yang dikatakan oleh Struycken,
karena Struycken hanya mengatakan bahwa kesadaran hukum itu tidak dapat dijadikan sebagai
sumber hukum, karena memang didalam jiwa manusia itu tidak hanya bergerak kesadaran
hukum saja, banyak masih hal-hal yang menggerakkan jiwa manusia.

Hal ini memang dikatakan oleh Kranenburg sendiri, dan sekaligus menolak teori kedaulatan
hukum Krabbe, dengan alasan oleh karena kesadaran hukum itu, yaitu kesadaran hukum rakyat,
dalam arti kata biasa, bukanlah satu-satunya kekuatan yang bergerak dalam psyche, terdapat pula
kekuatan-kekuatan lain yang bergerak. Dan tergantung pula kepada imbangan masing-masing
kekuatan itu, dan hal yang belakangan ini ada hubungannya dengan erat dengan tabiat rakyat.
Periksa seterusnya Algemene Staatsleer.

Demikian oerkembangan daripada teori-teori kedaulatan, yang ada pada pokoknya akan
menjadi dasar hukum yang kuat bagi kekuasaan penguasa. Yang meskipun tujuannya sama,
namun semuanya itu sangat dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh keadaan yang mereka alami.
Pokoknya bagaimana keadaan penguasa pada jaman itu, dan bagaimana orang dapat menerima
kekuasaan yang ada pada penguasa itu. Maka demikan pula usaha orang pada waktu timbulnya
kekuasaan raja yang absolut, sebagai akibat daripada ajaran yang berkembang pada jaman
renaissance.

Pada jaman abad pertengahan kekuasaan raja itu didasarkan atas kekuasaan Tuhan, ingat
misalnya ajaran dari Augustinus dan Thomas Aquinas. Baru kemudian agak mendapatkan
kemajuan pada ajaran dari Marsilisius. Tetapi malahan justru ajaran Marsilisius inilah
menimbulkan kekuasaan raja-raja bersifat absolut.

Keadaan ini nanti diperkuat dengan ajaran-ajaran pada jaman renaissance. Yaitu dengan
ajaran dari Niccolo Machiavelli dan Jean Bodin. Niccolo Machiavelli dengan ajarannya staats-
raison, sedangkan Jean Bodin dengan ajarannya staats-souvereiniteit. Maka dengan ini
kekuasaan raja, agar dengan itu kekuasaan raja dapat dibatasi, setidak-tidaknya raja tidak lagi
dapat bertindak dengan sewenang-wenang, dan dengan demikian hak-hak daripada rakyat
terjamin.
Usaha ini dimulai oleh kaum monarkomaken dengan Johannes Althusius sebagi pelopornya,
Althusius didalam ajarannya tidak lagi mendasarkan kekuasaan raja itu kepada kehendak Tuhan,
tetapi atas kekuasaan rakyat, kekuasaan yang ada pada rakyat itu diperbolehkannya dari suatu
hukum yang tidak tertulis, yang disebut hukum alam kodrat. Dan rakyat menyerahkan
kekuasaannya itu pada raja dalam suatu perjanjian yang disebut penundukan.

d. Teori Kedaulatan Rakyat

Ajaran dari kaummonarkomaken tersebut diatas, khususnya ajaran dari Johannes Althusius,
diteruskan oleh para sarjana dari aliran hukum alam, tetapi yang terakhir ini mencapai
kesimpulan baru, yaitu bahwa semua individu-individu itu dengan melalui perjanjian masyarakat
membentuk masyarakat, dan kepada masyarakat inilah para individu itu menyerahkan
kekuasaannya, yang selanjutnya masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaan tersebutkepada
raja. Jadi sesungguhnya raja itu mendapatkan kekuasaannya dari individu-individu tersebut.

Sedangkan persoalan timbul lagi, yaitu dari manakah individu-individu itu mendapatkan
kekuasaanya? Sebab mereka ini harus mempunyai terlebih dahulu sebelum dapat memberikan
kekuasaan itu kepada raja. Jawaban mereka ialah bahwa individu-individu tersebut mendapatkan
kekuasaan itu dari hukum alam. Ingat disini yang dimaksud adalah hukum alam dari abad ke
XVII dan abad ke XVIII, buka hukum alam yang kaum monarkomaken tadi.

Jadi hukum alam inilah kalau begitu yang menjadi dasar daripada kekuasaan raja, maka
dengan demikian kekuasaan raja laludibatasi oleh hukum alam dan oleh karena raja mendapatkan
kekuasaannya dari rakyat, jadi yang berdaulat itu adalah rakyat, raja itu hanya merupakan
pelaksana dari apa yang telah diputuskan atau dikehendaki oleh rakya, maka kalau demikian
yang mempunyai kekuasaan tertinggi adalah rakyat , jadi yang berdaulat itu adalah rakyat, raja
itu hanya merupakan pelaksana dari apa yang telah diputuskan atau dikehendaki oleh rakyat,
yang antara lain dipelopori, atau malahan orang mengatakan diciptakan oleh J.J. Rousseau. Yang
ajarannya telah diuraikan pada waktu membicarakan ajaran hukum alam.
Tetapi baiklah kiranya perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan rakyat oleh Rousseau itu
bukanlah penjumlahan daripada individu-individu didalam negara, melainkan adalah satu
kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu dan mempunyai kehendak, kehendak mana yang
diperolehnya dari individu-individu tersebut melalui perjanjian masyarakat, yang oleh Rousseau
kehendak tadi disebut kehendak umum atau volonte generale, yang dianggap mencerminkan
kemauan atau kehendak umum. Sebab kalau yang dimaksud dengan rakyat itu adalah
penjumlahan daripada individu-individu didalam negara itu, jadi bukannya kesatuan yang
dibentuk oleh individu-individu didalam negara itu, jadi bukannya kesatuan yang dibentuk oleh
individu-individu itu, maka kehendak yang ada padanya bukanlah kehendak umum atau volonte
generale, melainkan volonte de tous.

Maka apabila dalam suatu negara pemerintahan itu dipegang oleh beberapa atau segolongan
orang, yang sebetulnya ini merupakan kesatuan tersendiri di dalam negara itu, dan yang
mempunyai kehendak tersendiri yang disebut volonte de corps, akibatnya volonte generale ini
akan jatuh bersamaan dengan volonte de corps tadi. Dan apabila pemerintahan itu dipegang oleh
satu orang tunggal saja, yang orang ini juga mempunyai kehendak tersendiri yang disebut
volonte particuilere, maka akibatnya volonte generale akan jatuh bersamaan dengan volonte
particuliere itu. Jadi kalau begitu pemerintahan itu harus dipegang oleh rakyat, setidak-tidaknya
rakyat itu mempunyai perwakilan didalam pemerintahan agar volonte generale tadi dapat
diwujudkan.

Selain itu perlu juga diingat bahwa yang dimaksud oleh Roussenau dengan kedaulatan rakyat
itu pada prinsipnya adalah cara atau sistem yang bagaimanakah pemecahan suatu soal itu
menurut cara atau sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum. Jadi kehendak umum itu
hanyalah khayalan saja yang bersifat abstrak dan kedaulatan itu adalah kehendak umum itu.

Teori kedaulatan rakyat ini antara lain juga diikuti oleh Immanual Kannt, yaitu yang
mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan mejamin kebebasan
disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundangan-undangan, sedangkan undang-undang
disini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka kalau begitu undang-undang itu
adalah merupakan penjelmaan daripada kemanusiaan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang
mewakili kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.
Sebagai kesimpulan dari pada pembicaraan tentang souvereiniteit ini adalah, bahwa kiranya
orang tidak perlu terlalu menteoritiser ada pada siapakah kedaulatan itu. Sebab yang penting itu
adalah, apa pada siapakah kedaulatan itu sehari-hari dilakukan, karena yang kita usahakan adalah
apa-apa yang dilaksanakan. Misalnya saja sesuatu negara itu menganut teori kedaualatan rakyat
dan itu ketentuannya dicantumkan didalam undang-undang dasar daripada negara tersebut. Kalau
pada suatu waktu ketentuan tersebut diubah menjadi kedaulatan hukum, dan rakyat tidak diberi
tahu, maka ya tidak akan mengetahui dan merasa bahwa kedaulatan yang dianut oleh negara itu
telah diubah. Orang atau rakyat baru akan tahu apabila itu telah dilaksanakan.

3) Tentang pengesahan kekuasaan. Ini adalah persoalan bagaimanakah kita dapat


mengakui kekuasaan organisasi negara tersebut terhadap diri kita sendiri. Terhadap
persoalan ini, yaitu persoalan terhadap legitimasi daripada kekuasaan negara, kita
tidak dapat mengakui atau tidak terhadap dasar yang hipotesis, oleh karena kita dapat
mengaki atau tidak terhadap kekuasaan tersebut, itu sangat tergantung pada cara
bagaimanakah organisasi negara itu sendiri dalam melakukan kekuasaan atau
tugasnya.

Dalam hal ini harus membedakan, bahkan lebih tegas memisahkan antara organisasi itu
sendiri yaitu negara dengan organ-organ atau alat-alat perlengkapan, atau badan-badan yang
menjalankan organisasi itu. Jadi bila kita mempersoalkan pengesahan kekuasaan atau legitimasi
dari organisasi negara, jangan dicampur adukkan dengan pengesahan kekuasaan atau persoalan
legitimasi daripada badan-badan yang menjalankan organisasi itu. Misalnya organisasi
kekuasaan dari negara kita sendiri, itu harus kita bedakan atau pisahkan dengan kepala
negaranya, majelis permusyawaratan rakyatnya, dewan perwakilan rakyatnya, dan seterusnya,
yang memegang kekuasaan daripada organisasi negara itu. Selanjutnya juga harus kita bedakan
atau kita pisahkan antara kepala negara itu sendiri misalnya dengan orang yang memegang
jabatan kepala negara itu.

Mengapa demikian ? hal tersebut adalah penting sekali, olehkarena, misalnya jatuhnya
orang yang menjalankan atau memegang jabatan itu atau organisasi itu, tidak pasti atau belum
tentu mengakibatkan jatuhnya organisasi itu sendiri selalu membawa akibat artian jatuhnya
badan-badan yang menjalankan organisasi itu, dengan sendirinya juga menjatuhkan orang-orang
yang memegang jabatan dari badan-badan tersebut.
Maka dari itu pernyataan tentang jatuhnya organisasi sama saja dengan pernyataan
tentang jatuhnya negara itu sendiri. Dan organisasi ini sendiri sih tidak perlu legitimasi, sebab
organisasi tersebut adalah negara itu sendiri. Paling banter hanya dapat mempersoalkan asal
kekuasaan daripada orang-orang yangmemegang badan-badan, atau organisasi tersebut sah atau
tidak.

Jawaban atas pertanyaan tersebut tergantung daripada bentuk negaranya serta sifat
daripada pemerintah dalam negara itu sendiri, karena ini bukan soal hipotesa, akan tetapi adalah
soal kenyataan. Bukanlah yang kita usahakan itu adalah kenyataan? Misalnya dalam negara-
negara autoriter dan diktatorial dasar kekuasaan daripada orang-orang yang memegang
organisasi itu adalah kekuasaan itu sendiri. Pada jaman Nazi Jerman, misalnya, yang menjadi
dasar kekuasaan itu adalah kekuasaan dari seseorang yang bernama Hitler cukup mempunyai
kekuasaan untuk menguasai kelompok manusia yang dipersatukan oleh organisasinya. Juga
misalnya pada jaman Facistme di Italia. Hampir sama keadaannya dengan keadaan di sovyet
rusia.

Lain halnya dengan keadaan didalam negara-negara yang demokratis, disini kekuasaan
daripada orang-orang yang memegang pemerintahan didasarkan atas sikap daripada rakyat yang
diperintah itu sendiri. Oleh karena itu tepatlah bila kita mengatakan bahwa negara demokrasi itu
dasar daripada kekuasaan pemerintah adalah kemauan daripada rakyat yang diperintah itu
sendiri.

Jadi sebenarnya persoalan legitimasi kekuasaan itu sangat erat hubungannya, bahkan
tdiak dapat dipisahkan dengan persoalan tentang tujuan negara, bahkan sebenarnya yang terakhir
inilah yang menentukan yang pertama. Sebab yang sebenarnya kita dapat mengakui atau tidak,
dapat mengakui sah atau tidak kekuasaan daripada perintah itu pertama-tama tergantung daripada
tujuan yang direncanakan dan diusahakan hendak dicapai oleh pemerintah demi rakyat yang
diperintah. Pemerintah disini dalam pengertian yang luas, jadi meliputi semua badan-badan
kenegaraan yang ad adidalam negara itu.

Tentang tujuan negara inipun ahli pemikir tentang negara dan hukum mengemukakan
ajaran-ajaran yang beraneka macam. Sehingga soal ini dapat dipengaruhi para sarjana da;am
mengemukakan pendapat teori atau ajarannya tentang negara dan sifat-sifat daripada kekuasaan
penguasa, serta dasar-dasar daripada kekuasaan penguasa tersebut.

Demikianlah antara lain yang telah diusahakan oleh para sarjana pemikir besar tentang
negara dan hukum. Yang terakhir telah kita bicarakan adalah ajaran dari sarjana penganut teori
modern. Tetapi disamping itu kita tidak boleh melupakan adanyaa kenyataan bahwa ajaran dari
peganut teori hukum alam pada abad ke XVIII, sepertinya ajaran : Montesquieu, dan Immanuel
Kannt, bahkan ajaran dari sarjana yang disebutkan terakhir inilah yang nanti akan membuka
jalan ke pemikiran tentang negara dan hukum pada abad berikutnya, abad ke XIX.

Kalau kita sempat memikirkan kembali, maka akan teringatlah bawa pemikiran tentang
negara dan hukum itu dimulai sejak abad ke 5 S.M. dari bangsa yunani telah menghasilkan ahli-
ahli pikirnya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Epicurus, dan Zeno. Dari mereka ini telah
diketemukan bentuk-bentuknya serta sifat-sifatnya yang terpenting daripada negara, dalam hal
mana mereka mengemukakan pula pendapat-pendapat yang luas negara dan hukum.

Kemudian pemikiran dari bangsan yunani tersebut dilanjutkan oleh bangsa romawi, dari
bangsa ini dihasilkan pula para ahli pemikirnya, sepertinya Polybius, Cicero, dan Seneca. Kalau
dari bangsa yunani tadi dalam banyak hal lebih menitik beratkan pada soal-soal praktis.
Demikianlah maka dari bangsa romawi ini dapat menghasilkan teori yang gemilang tentang
praktik negara dan hukum.

Tetapi pada permulaan abad ke V susudah masehi, dan selanjutnya nanti pada jaman abad
pertengahan, yaitu abad ke V sampai aad ke XV, cara berpikir tentang negara dan hukum yang
telah dirintis oleh bangsa yunani dan oleh bangsa romawi tadi lenyap dalam pandangan dunia
menurut ajaran agama nasrani. Jadi tegasnya diganti dengan pandangan baru yang diciptakan
oleh Augustinus pada permulaan abad ke V tadi. Oleh Augustinus panangan dunia baru itu
dibentangkan dengan seindah-indahnya, sedangkan terhadap peradaban yunani dan romawi yang
telah runtuh itu, digambarkannya sebagai negata syaitan, yang dihadapkan dengan pandangan
barunya, yaitu negara atau kerajaan Tuhan sebagai negara sorga.

Demikianlah pandangan baru ini yang bersifat teokratis berjalan hampir selama 10abad.
Yang nanti akan disusul dan digantikan dengan pandangan atau pemikiran tentang negara dan
hukum yang memberikan pendapat-pendapat abru dan yang siftnya lebih luas, setelah pandangan
tentang negara dan hukum pada jaman abad pertengahan yang bersifat teokratis itu diperlunak
oleh Thomas Aquinas dan Marsilisius.

Sementara itu sebagai akibat daripada ajaran mereka timbulah pertengan hebat antara
pandangan yang bersifat umum dengan pandangan yang bersifat khusus, yang menyebabkan
lenyapnya pandangan umum, dan timbulnya pandangan yang bersifat khusus, dimana nilai-nilai
kepribadian perseoranganlah yang tampil ke muka, setelah hilangnya cara berfikir dalam ajaran
ke-Tuhanan dan filsafat tinggi.

Mulailah jaman baru, kira-kira pada tahun 1500. Pada jaman ini timbulah pula
pertentangan-pertentangan hebat. Pertentangan mana berkisar antara azas kenegaraan dengan
azad kesusilaan, melaikan orang hanya menuruti hawa nafsu keduniawiannya dan mengejar
kesenangan pribadi. Timbul pula pertentangan kekuasaan yang dilakukan oleh raja-raja secara
tajam, sebagai akibat daripada ajaran Niccolo Machiavelli yang dikemukakan dan dilukiskan
dalam buku tuntunannya II Principe dengan ajaran Ataats-raison. Dimana digambarkan
kekuasaan raja yang angat absolut, dengan tiada permbatasan apapun. Negaralah dengan rajanya
sebagai pengarah daripada segala kepentingan.

Dengan demikian cara orang berfikir yenang negara dan hukum mundur kembali
keadannya pada waktu jaman purba dahulu, karena kekuasaan raja yang absolut itu dilaranglah
segala pemikiran tentang negara dan hukum, akibatnya hal itu dilakukan secara sembunyi-
sembunyian dan secara diam-diam; inilah yang dialami oleh mereka jaman renaissance, sekitar
abad ke XVI.

Dengan keadaannya yang tertekan itu orang mulai memberanikan diri memikirkan
kembali dasar-dasar daripada kekuasaan raja, demikianlah usaha ini dimulai oleh kaum rermator
dalam lapangan keagamaan, dan oleh kamum monarkomaken dalam lapangan kenegaraan, engan
johanes Althusius sebagai tokohnya. Keadaan mulai agak kritis.

Tetapi keadaan ini kemudian diredakan kembali oleh para ahli pemikir besar tentang
negara dan hukum pada abad ke XVII, dimana terdapat adanya suatu keseimbangan antara cara
berfikir dengan praktek kenegaraan dan hukum. Hal ini disebabkan karena, sudah sejak jaman
renissance orang dengan bantuan hukum dan logikanya menyusun pandangan dunia baru yang
terlepas dari pandangan keagamaan, maka dari itu dapatlah dimengerti kalau descartes dan huhp
de groot memberikan dasar yang demikian pula pada ilmu filsafat dan pemikiran tetang negara
dan hukum. Sedangkan pemikiran tentang negara dan hukum selanjutnya pada abad ke XVII itu
orang hanya mencoba menerangkan keadaan yang benar dan wajar menurut pemikiran umum,
dan mereka memberikan dasar-dasar hukum terhadap keadaan itu. Dengan demikian ternyata
bahwa sebenarnya mereka itu menyaksikan kemerdekaan berpikir kemerdekaan berpikir
pribadinya dan tidak berani melawan keadaan yang sebenarnya ditolak oleh jiwa mereka.

Keadaan demikian itu, serta cara berpikir yang hanya bersifat menerangkan, ditolak dan
diubah dalam abad ke XVIII. Dalam abad ini cara berpikirnya adalah bersifat menilai. Baik
dalam ilmu filsafat umum, maupun dalam filsafat negara dan hukum orang mulai menggunakan
pendapatnya sendiri untuk menentang segala keadaan yang dianggapnya tidak dapat diterima
oleh rasio manusia, dan menuntut adanya perubahan-perubahan serta pembaharuan, baik dalam
cara berpikir maupun dalam perubahan-perubahan serta pembaharuan, baik dalam cara berfikir
maupun dalam prakek. Pertama-tama yang mereka tentang adalah kekuasaan raja yang bersifat
absolut, karena hal ini ternyata semakin membahayakan tidak saja kemakmuran rakyatnya, tapi
juga peradapannya. Bagaimana tidak kalau hukum karena merasa kekuasaannya itu diturunkan
dari Tuhan dan bersifat turun temurun secara perseorangan, dan kekuasaannya itu tidak hanya
meliputi hak-hak kenegaraan, tetapi juga hak-hak atas kekayaan, juga kemauan daripada
rakyatnya, bahkan orang-orang itu sendiri.

Dalam abad ke XVIII inilah orang yang mulai mengemukakan azas-azas kenegaraan
yang sevata prinsip menentang sistem pemerintahan yang ada. Dimulai dari sikap serta ajaran-
ajaran dari seorang raja mudah prusia, frederik yang agung namanya , yang menolak secara total
ajaran dari Niccolo Machiavelli yang ditulis dalam buku tuntunannya II principe. Kemudian
Jonh Locke, sebagai pelopor daripada hak-hak azasi manusia, yang tidak boleh diganggu gugat
oleh siapapun pelaksanaannya, meskipun oleh raja sekalipun, bahkan kekuasaan raja dibatasi
oleh hak-hak azasi manusia ini, dalam arti bahwa raja dalam melaksanakakan kekuasaanya yang
diperolehnya dari raja dalam melaksanakan kekuasaannya yang diperolehnya dari rakyat itu
tidak boleh melanggar hak-hak azasi manusia. Untuk ini John Locke menciptakan ajaran tentang
pembagian kekuasaan negara, yang nantinya akan disempurnakan oleh rekannya, yaitu
Montesque dan kemudian oleh Immanuel Kant disebutnya ajaran atau teori Trias Politica.
Rousseau ajaranya lebih tegas lagi dengan ciptaannya teori kedaulatan rakyat. Dengan
perjanjian masyarakat demikianlah meskipun ajarannya masih juga bersifat hypotesis dan
menurut perkiraan akal, diselenggarakanlah suatu perjanjian masyarakat antara orang-orang
untuk membentuk kesatuannya yang disebut masyarakat. raja mendapatkan kekuasaan dalam
perjanjian ini pula dari masyarakat; tetapi jangan lupa bahwa perjanjian ini sifatnya dapat
diputuskan atas persetujuan rakyat itu sendiri, sebab rakyatlah yang pada hakekatnya memiliki
kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, dan raja hanya bersifat sebagai hamba rakyat yang diberi
tugas melaksanakan kekuasaan rakyat tersebut, jadi raja bukanlah seseorang yang berkuasa ayas
rakhmat Tuhan.

Itulah tuntutan perubahan terhadap sistem pemerintahan yang dikemukakan oleh para ahli
pemikir tentang negara dan dan hukum dari aliran hukum alam, pertama tentang pengakuan
terhadap hak-hak azasi manusia, terutama didalam pelaksanaannya. Kedua, azas pembatasan
kekuasaan penguasa dengan ajaran trias politica, supaya kekuasaan raja tidak bersifat absolut
lagi. Ketiga, azas bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah rakyat, dengan terciptanya
teori kedaulatan rakyat. Sedangkan yang keempat adalah tuntutan supaya semua peraturan
hukum dibukukan dalam sebuah kita undang-undang sesuai dengan azas dan pendapat-pendapat
yang dianggap sesuai dengan akal, tanpa membedakan golongan, agama, jadi untuk semua orang
sama. Undang-undang ini akan mengikat raja dalam melaksanakan pemerintahan negara, karena
undang-undang itu adalah merupakan perwujudan daripada kehendak umum. Juga hakim dalam
putusannya harus berpedoman pada undang-undang ini.

Tapi bagaimanapun kerasnya tuntutan mereka, dalam banyak hal masih bersifat teoritis,
dan baru dalam taraf pemikiran, jadi dalam pelaksanaanya belum begitu terasa. Masih terasa
adanya pengaruh dari keadaan lama sebagai peninggalan dari jaman abad pertengahan dan dari
jaman renaissance.

Baru kemudian dengan ajaran Immanuel Kant, yang dalam banyak hal beliau ini
meneruskan ajaran rousseau, pemikiran tersebut mendapatkan pelaksanaan dalam praktek tata
negara dan hukum. Hal ini dapat menimbulkan akibat besar sekali, antara lain meletusnya
revolusi di amerika yang menentang dan melepaskan diri dari jajahan inggris, dan revolusi
perancis yang menentang kekuasaan absolut daripada raja, dengan keadaan keuanggannya yang
terlalu tidak beres.
Dengan terjadinya revolusi perancis inilah pemikiran tentang negara dan hukum yang
dilakukan selama dua abad, abad ke XVII dan abad ke XVIII, akan mengalami masa percobaan
pelaksanaan dalam praktek yang sangat berat, dan dengan demikian akan teruji kebenarannya isi
dari pada ajaran-ajaran para sarjana hukum alam.

Keadaan atau pengalaman inilah nanti yang justru memberikan sifa yang berlainan sama
sekali dengan pemikiran tentang negara dan hukum pada abad ke XIX, jika dibandingkan dengan
pemikiran yentang negara dan hukum pada masa-masa yang lalu. Sebab pada abad XIX ini orang
lebih mempunyai kemerdekaan, kebebasan serta kekuasaan, dan mereka ini sering bersifat
segolongan dari pada bersifat perseorangan. Malahan kadang-kadang para ahli pemikir itu
bertindak sebagai wakil dari pada suatu aliran politik yang ada. Ingat bahwa pada saat itu sudah
mulai berkembang sistem demokrasi modern, atau demokrasi perwakilan, dimana dibutuhkan
adanya partai-partai politik, terutama dalam pemilihan para wakil rakyat yang akan dudukdalam
pemerintahan.

Sementara itu kalau kita lihat perkembangannya, aliran yang pertama, yang ajarannya
bertentangan dengan ajaran hukum alam adalah aliran historis, yang mengatakan bahwa nilai, itu
tidak timbul dari akal pikiran yang abstrak dan hipotesis, melainkan terdapat dalam pertumbuhan
sejarah, masyarakat dan negara.

Diantara aliran-aliran yang timbul dalam abad ke XIX yang akan mempunyai pengaruh
dalam peikiran tentang negara dan hukum pada masa itu adalah aliran yang mendasarkan
pemikirannya pada keadaan ekonomi. Aliran ini disebut mercantilisme. Mula-mula segala
sesuatu diukur dengan emas, kemudian dalam perkembangannya yang dijadikan ukuran berganti
tanah, akhirnya berubah lagi yang dijadikan ukuran tidak lagi tanah, melainkan tenaga kerja.

Perkembangan berjalan terus dan kita mendapatkan seseorang sarjana inggris, blackstone,
yang hidup pada yajun1723-1780, ia menulis komentar perundang-undangan inggris pada tahun
1765. Dalam buku ini dia menolak ajaran hukum alam yang mengatakan bahwa negra itu
terjadinya karena diselenggarakannya perjanjian masyarakat, ini menurut blackstone, katanya
bertentangan dengan kejadian-kejadian dalam sejarah.

Tetapi kiranya blackstone tidak dapat mengetahui dan memperkirakannya, bahwa hal itu
akan benar benar terjadi di kemudia hari di amerika utara. Yaitu ketika negara itu melepaskan
diri dari jajahan inggris, dan berserikatlah untuk membentuk negara berserikat dengan membuat
suatu konstitusi, yang kemudian konstitusi ini dianggap oleh Immanuel Kant sebagai suatu
perjanjian masyarakat yang diperbarui.

Sementara itu revolusi prancis berjalan terus, dan nanti akan berakhir dengan jatuhnya
napoleon untuk selamanya. Dan setelah revolusi berkakhir orang merasakan sekali akibatnya,
dan semenara orang ingin mengembalikan sistem pemerintahan ke sistem kerjaan lagi dengan
syarat, bahwa raja harus mendasarkan tindakannya pada undang-undang dasar yang disetujui
oleh raja, yang merupakan jaminan bahwa raja tidak akan bertindak secara sewenang-wenang.

Dan kemudian timbullah aliran reaksioner, yang antara lain di prancis dipelopori oleh:

1. Chateubriand, ia menulis buku, de la monarchi selo la charte (tentang kerajaan


yang sesuai dengan piagam). Dari ajarannya yang pokok disini ialah, adanya hak
istimewa dari pada raja, dan pertanggung jawab menteri. Disamping itu para
mentri harus mendapaykan sekongan dari sebagian besar anggota dewan
perwakilan rakyat, agar supaya dapat menjalankan pemerintahan dengan baik.
2. De Bonald, ia menulis ajarannya dalam bukunya. Theorie de piuvoir polituque et
religieu dans la societe cevile (teori kekuasaan negara dan gereja dalam
penghidupan penduduk). Dalam buku ini pendapatnya yang penting disini ialah,
terdapatnya perbedaan filsafat yang pokok antara orang dan masyarakat dalam
waktu sebelumd an sesudah revolusi. Yaitu negara bukanlah buatan secara bebas
dari orang-orang, yang digambarkan sebagai individu-individu yang beratu karena
pengertian yang masuk akal, bukan orang yang enentukan bagaimana
masyarakatlah yang membentuk orang-orangnya. Jadi bukanlah negara untuk
rakyat, melainkan rakyat untuk negara. Coba bandingkan pendapay ini dengan
pendapat aristoteles.
3. Joseph de Maistre, ia menulis buku considerations sur la france (pandangan
tentang negara prancis). Dalam banyak hal pendapatnya adalah sama dengan
pendapat de bonald.

Diatas adalah orang-orang dari aliran reaksioner dari perancis. Sementara itu aliran
tersebut juga mendapatkan penganutnya di jerman. Yaitu :
1. Ludwig von Haller. Ia hidup pada tahun 1768-1854. Ajaran von heller ditulis
dalam bukunya, restauration der staatswissenschaften. Dalam buku ini, von heller
dengan secara langsung menentang azas dari apa yang disebut pemikiran
revolusioner, yaitu : perjanjian masyarakat, keadaan alam yang semula dalam
kemerdekaan dan persamaan yang sepenuhnya, ketidaktentuan yang tidak tumbuh
daripadanya, penyerahan kekuasaan dengan perjanjian masyarakat, dan susunan
negara yang layak pembentukannya. Semua ini ditentang, dan dikatakan bahwa
ini bertentangan dengan akal dan sejarah.
Sifat negara yang sesungguhnya adalah sebaliknya, yaitu susunan dari
berhubungan atau tidak dengan masyarakat, dari yang sama dan yang tidak sama,
dari yang kuat dan yang lemah, dari kaum majikan dan budaknya. Dari semuanya
itu siapa yang terkuat, ialah yang berkuasa, hal yang demikian itu adalah sifat
negara. Kekuasaan alamiah adalah kekuasaan Tuhan.
2. Adam Muller. Ia hidup pada tahun 1799-1829. Ajarannya ditulis dalam bukunya,
die elementar der staatskunst. Pandangannya dalam banyak hal yang sama dengan
ajaran von haller. Yaitu bahwa adam muller, tidak mengakui adanya keadaan
alamiah yang mendahului adanya negara.
3. Joseph von Gorres. Ajarannya pada prinsipnya hendak mengembalikan sistem
kerajaan yang telah dihapuskan oleh napoleon selamarevolusi berjalan. Dan yang
dikehendaki bukanlah asas demokrasi, melainkan asas kerajaa, supaya dengan itu
dapat mempersatukan kembali rakyat perancis yang telah terpecah belah sebagai
akibat dari pada revolusi. Ia juga menentang adaanya asas perwakilan rakyat
dalam pemrintahan.

Inilah anatara lain dari kaum reaksioner pada permulaan abad ke XIX yang semuanya
dikehendaki adanya keutuhan kembali setelah terpecah belahnya oleh jalannya revolusi. Di
samping itu perlulah kiranya diperhatikan bahwa mereka dalam banyak hal terpengaruh oleh
ajaran agama katolik, dengan peri kehidupan yang berperasaan ke-Tuhanan, dan dengan
demikian menentang ajaran hukum alam serta revolusi.

Akhirnya dari semua apa yang ditimbulkan oleh aliran reaksioner pada masa kontra-
revolusi ini akan mencapai puncak keselarasannya yang seindah-indahnya dalam ajaran dari
friedrich julius stahl. Ia menulis ajarannya dalam bukunya yang diberi nama, die philosophie des
rechts. Ia adalah sorang sarjana ahli pemikir tentang negara dan hukum. Ajaranya bersifat
teokratis-sosiologis, karena ia mengatakan bahwa negara itu terjadinya karena perkembangan
dari suatu keluarga. Keluarga mana yang pertama kali adalah yang bersifat, atau kelaurga yng
diatur secara patriarchal. Keluarga itu karena faktor-faktor tertentu makin lama, makin
bertambah besar, dan akhirnya mencapai bentuknya sebagai negara.

Tetapi perkembangan yang demikian itu tidak karena dikehendaki atau dibuat secara
sengaja oleh manusia, melainkan karena atas kehendak tuhan, atau karena memang sudah
menjadi kodrat ilahi. Jadi segala sesuatunya didasarkan atas kehendak tuhan atau gottes fugung,
atau hohere fugung. Periksalah apa yang telah diuraikan dimuka.

Demikianlah pemikiran tentang negara dan hukum pada permulaan abad ke XIX, dimana
para ahli pikir sangat dipengaruhi oleh revolusi prancis, terutama akibatnya dimana banyak
negara-negara yang mengalaminya secara pahit sekali. Maka dari itu mereka menolak keadaan
ini, dan sebaliknya mengagumi serta mengharapkan pemulihan keadaan seperti masa lampau
sebelum revolusi prancis.

Tetapi sementara itu timbul dasar-dasar baru bagi pemikiran tentang negara dan hukum,
yang dilakukan sejak tahun 1814 oleh aliran hukum menurut sejarah atau aliran historis yang
dipelopori oleh freidrich karl von savigny. Ia menulis ajarannya dalam bukunya yang diberinama
von beruf unserer zeit fur gesetzgebung und rechtswissenschaft (tentang panggilan jaman kita
bagi perundang-undangan dan ilmu pengetahuan hukum).

Freidrich karl von savigny menulis buku tersebut sebagai suatu tantangan terhadap ajaran
dari Thibaut, seorang maha guru dari heidelberg, yang pada pokoknya menganjurkan supaya
jerman menyusun sebuah kitab undang-undang hukum perdata sebagai penerus hukum prancis.
Ajarannya itu dalam banyak hal mempunyai pengaruh, sehingga pada masa itu orang
beranggapan bahwa hukum itu dapat ditetapkan sekali, untuk selama-lamanya.

Tetapi kemudian timbulah keinginan untuk mengetahui apa yang timbul dalam sejarah,
keinginan itu timbul karena keadaan jiwa dalam perjalanan masa telah berubah sama sekali,
demikian kata con savigny, yang selanjutnya mengatakan bahwa untuk dapat menetapkan hukum
yang baik dalam suatu kitab undang-undang, terlebih dahulu harus diselidiki bagaimanakah
hukum itu sebenarnya tumbuh dalam peradaban manusia. Jika penyelidikan itu dilakukan dalam
sejarah, maka akan kita ketahui bahwa hukum selalu timbul dari keyakinan umum rakyat, seperti
halnya bahasa dan susunan pada masyarakat itu sendiri.

Untuk pemikiran selanjutnya, von savigny lebih menitik beratkan pemikirannya pada
hukum dari pada pemikiran tentang negara. Demikian pula sarjana-sarjana sepertinya Immanuel
Kant, Fichte, Von Humboldt, Schelling, Hegel. Semuanya dari ajaran idealisme. Maka dalam
banyak hal pembicaraannya masuk lapangan filsafat hukum, dan pengantar ilmu hukum.
BAB VII

KLASIFIKASI NEGARA

Seperti telah dikatakan diatas, dalam bab I, pokok pembicaraan dalam klasifikasi negara
ini adalah masalah-masalah mengenai kemungkinan-kemungkinan daripada bentuk negara;
artinya sesuatu yang dinamakan negara itu mempunyai kemungkinan bentuk apasaja. Jadi
tegasnya tidak dibicarakan bentuk-bentuk negara yang telah ada, dalam beberapa hal hanya
diambil sebagai contih untuk menjelaskan, tetapi yang pokok yang akan dibicarakan adalah
kemungkinan-kemungkinan bentuk daripada suatu yang dinamakan negara itu. Jadi lebih tegas
lagi bahwa yang aka dibicakan adalah ajaran-ajarannya, yaitu ajaran-ajaran mengenai klasifikasi
bentuk-bentuk negara.

Disamping hal-hal yang telah dibicarakan dimuka, antara lain: asal mula negara, hakekat
negara, tujuan negara, legitimasi kekuasaan, maka terori tentang bentuk negara dan bentuk
pemerintahan wajib mendapatkan perhatian seperlunya, akrena hal ini adalah penting sekali.
Pentingnya itu karena hal ini adalah penting sekali. Pentingnya itu karena hal tersebut dapat
menolong dalam mengartikan dan menempatkan tiap-tiap gejala baru yang disebu negara yang
ditemui didalam penyeledikikan selanjutnya.

Maka dari itu, hal ini adalah merupakan salah satu tugas pokok daripada ilmu negara.
Sejak timbulnya pemikiran tentang negara dan hukum orang telah membicarakan kemungkinan-
kemungkinan daripada bentuk negara, akan tetapi perlu diketahui bahwa hal ini sampai sekarang
belum mendapatkan kesatuan dari para ahli pemikir tersebut. Hal ini antara lain :

a. Negara itu sebenarnya adalah merupakan suatu proses yang setiap waktu dapat
mengalami perubahan, perubahan nama adalah sesuai dengan keadaan. Kita ingat
misalnya kepada teori-teori yang telah kita bicarakan, antara lain teori tentang bentuk
negara dari plato, aristoteles, dan polybius. Yang pada pokoknya menyatakan bahwa tidak
ada satu bentuk negarapun yang mempunyai sifat kekal. Malahan dalam teori polybius
tadi dikatakan bahwa perubahan terdiri dari bentuk negara itu berjalan sedemikian rupa,
sehingga nanti pada akhirnya akan kembali kebentuknya yang semula. Ingat cyclus
theori. Maka akibatnya hingga sekarang inipun urnuk mengadakan klasifikasi yang tetap
dan bersifat umum serta berlaku untuk selama-lamanya adalah tidak mungkin, lagi pula
karena perubahan jaman itu telah menimbulkan tipe baru dalam pemikiran tentang negara
dan hukum, maupun dalam praktek kenegaraan. Misalnya saja dengan adanya formasi
baru ang disebut perserikatan bangsa-bangsa, ini menimbulkan bentuk baru dalam ilmu
negara.
b. Didalam perkembangan pemikiran tentang negara dan hukum, peristilahan didalam ilmu
kenegaraan sering mengalami perubahan perngertian. Hal ini disebabkan karena kurang
cepatnya perubahan istilah-istilah itu kalau dibandingkan dengan perubahan-perubahan
pengertian. Ingat saja dalam hal ini adalah konsekuensi daripada ajaran rousseau, yang
telah dibicarakan. Pula misalnya istilah monarki , mono artinya satu dan archien artinya
pemerintahan, maka monarki mendapatkan pengertian negara dimana pemerintahannya
itu hanya dipegang oleh satu orang tunggal, sepertinya dikemukakan oleh : plato,
aristoteles, polybius.
Tetapi kemudian pada jaman modern ini, pengertian monarki itu telah mengalami
perubahan. Yaitu menjadi negara dimana kepala negaranya itu ditunjuk atau diangkat
berdasarkan sistem stelsel pewarisan, artinya jabatan atau kedudukan kepala negara itu
hanya diwariskan. Ini dikemukakan oleh leon duguit, yang anntinya ajarannya aka kita
bicarakan dibawah. Juga misalnya ajaran ari georg jellinek, istilah monarki mendapatkan
pengertian yang lain lagi.
c. Didalam mengadakan klasifikasi bentuk-bentuk negara, para sarjana itu mengemukakan
atau mempergunakan kriteria atau dasar atau ukuran yang berbeda-beda. Ingat bahwa kita
bicarakan disini adalah suatu klasifikasi, bukan pembagian. Didalam mengklasifikasikan
sesuatu itu harus mempergunakan suatu kriteria, tanpa kriteria hal itu tidaklah mungkin,
lain halnya dengan suatu pembagian.
d. Bahkan mengenai apa yang disebut negara itu saja para sarjana. Khususnya para ahli
pikir tetang negara dan hukum telah memberikan pengertian yang berbeda-beda, menurut
sudut pandangannya atau filsafatnya masing-masing, serta selalu menyesuaikan dengan
keadaan dan kebutuhan jamannya.
e. Sedangkan sesuat istilah saja kadang-kadang mempunyai pengertian yang bermacam-
macam. Misalnya istilah monarki itu kadang-kadang mempunyai pengertian monarki
absolut. Monarki terbatas, monarki konstitusionil.

1. Klasifikasi Negara Klasik-Tradisional :


Monarki, Aristokrasi, Demokrasi
Telah dikatakan diatas bahwa sejak timbulnya pemikiran tentang negara dan hukum, para
ahli pemikir itu telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan daripada bentuk negara. Pada
umumnya mereka itu mengklasifikasikan bentuk-bentuk negara menjadi tiga golongan, dan
hanya dipergunakan sebagai kriteria pada umumnya dapat dikatakan sama. Hanya saja mereka
itu kadang-kadang mempergunakan cara atau sistem serta istilah-istilah yang berbeda. Periksa
kembali misalnya ajaran dari plato, aristoteles, polybius dan thomas van aquinas yang telah
dibicarakan diatas. Mereka ini mengklasifikasikan negara dalam tiga bentuk yaitu monarki,
aristokrasi, dan demokrasi. Sedangkan yang dipergunakan sebagai kriteria adalah :

a. Susunan daripada pemerintahnya. Artinya, atau yang dimaksud adalah jumlah orang yang
memegang pemerintahan, pemerintahan itu dipegang atau dilaksanakan oleh satu orang
tunggal, beberapa atau segolongan orang, ataukah pada prinsipnya pemerintahan itu ada
pada rakyat.
b. Sifat dari pemerintahannya. Artinya pemerintahan itu ditunjukan untuk kepentingan
umum, ini yang baik; ataukah hanya untuk kepentingan mereka yang memegang
pemerintahan itu saja, ini yang buruk. Jadi tegasnya disini mereka yang memegang
kekuasaan pemerintahan itu pada azasnya mengakui bahwa mereka tidak melaksanakan
kekuasaannya, atau tidak menjalankan pemerintahnya untu kepentingan rakyatnya,
melainkan hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Keadaan demikian inilah yang
kemudian menimbulkan ekses dari pemerintahan yang baik, yaitu secara berturut-turut :
ekses daripada monarki adalah tyrani, ekses daripada aristrokasi adalah oligarki, sedang
ekses daripada demokrasi adalah anarki.

Jadi dengan demikian seolah-olah ada enam bentuk negara, tetapi sebenarnya hanya ada tiga
karena negara-negara yang buruk itu sebenarnya haya merupakan ekses daripada negara-negara
yang baik, dan hanya bersifat sementara. Karena telah terbuki berkali-kali bahwa dalam
pemerintahan yang tidak memperhatikan kepentingan umum selalu mendapat perlawanan dari
rakyat yang mengakibatkan berubahnya sifat pemerintaha seperti yang dikehendaki oleh
rakyatnya, entah bagaimana sifatnya pokoknya hak-hak rakyat itu terjamin.

2. Klasifikasi Negara Dalam Bentuk Monarki dan Republik

Klasifikasi negara dengan sistem seperti tersebut diatas, untuk jaman modern kiranya sudah
tidak mungkin dapat dipertahankan lagi, misalnya untuk negara inggris, ini kalau menurut istilah
aristoteles bukanlah monarki, sedangkan kalau menurut pengertian sekarang negara inggris itu
disebut dengan istilah monarki, dan memang demikianlah keadaan yang sebenarnya. Demikian
menurut leon deuguit, karena kepala negaranya diangkat berdasarkan stelsesl pewarisan.

Juga mengenai pengertian demokrasi yang dikemukakan oleh aristoteles, tidak dapat
dipertahankan pada jaman modern ini. Bukannkah menurut pengertian sekrang negara demokrasi
itu bukanlah negara yang jelek sepertinya digambarkan oleh aristoteles. Melainkan demokrasi itu
menunjukan adanya sistem pemerintahan rakyat representatif.

Demikian pula mengenai pengertian-pengertian daripada istilah-istilah aristrokrasi dan


oligarki, kiranya juga sudah tidak dapat dipertahankan lagi untuk masa sekarang, karena memang
sudah tidak ada lagi pemerintahan yang demikian itu. Tetapi meskipun demikian kesemuanya itu
masih penting didalam dunia imu pengetahuan.

Maka kemudian pada jaman renaissance, seorang sarjana ahli pemikir besar tentang negara
dan hukum, niccolo machiavelli, dalm bukunya yang termashur II principe, telah mengemukakan
penjenisan negara menjadi dua bentuk, yaitu republik dan monarki. Menurut sarjana tersebut
negara itu adalah republik atau monarki.

Perlu kiranya diperhatikan bahwa baru mulai saat itu perkataan “negara” secara lambat laun
dipergunakan secara tegas. Dan dalam ajaran niccolo machiavelli tersebut, negara dipergunakan
dalam pengertian genus, sedangkan istilah republik dan monariki dipergunakan dalam pengertian
species.

Kemudian pada jaman modern georg jellinek dalam bukunya yang terkenal, allegemene
staatslehre, diterbitkan pada tahun 1914, juga mengemukakan penjelasan bentuk negara menjadi
dua, yaitu republik dan monarki. Jellinek mempergunakan istilah monarki sebagai lawan
daripada organisasi negara yang disebut republik. Dan sebetulnya menurut jellinek perbedaan
antara monarki dan republik itu benar-benar mengenai perbedaan daripada sistem
pemerintahannya, tetapi sekalipun demikian jellinek sendiri mengartikannya sebagai perbedaan
daripada bentuk negaranya.

Didalam mengemukakan perbedaan antara monarki dengan republik tadi jellinek


mempergunakan kriteria suatu pertanyaan tentang bagaimana cara terbentuknya kemauan negara.
Mengapa hal tersebut, yaitu cara terbentuknya kemauan negara, dipergunakan oleh jellinek
sebagai kriteria didalam ajarannya tentang klasifikasi negara ? karena menurut jellinek, negara
itu dianggap sebagai sesuatu kesatuan yangmempunyai dasar-dasar hidup, dan dengan demikian
negara itu mempunyai kehendak atau kemauan. Kemauan negara ini sifatnya adalah abstrak,
sedangkan dalam bentuknya yang konkrit kemauan negara itu menjelma sebagai hukum atau
perundang-undangan. Jadi undang-undang atau peratran-peraturan itu adalah merupakan
perwujudan ayau penjelmaan daripada kemauan negara. Negaralah yang memiliki kekuasaan
tertinggi, dan negaralah yang mempunyai wewenang membuat dan menetapkan undang-undang.
Ingat dalam huungan ini akan terori kedaulatan negara dari jallinek.

Diatas dikatakan bahwa jallinek didalam ajarnnya tentang klasifikasi negara mempergunakan
kriteria, bagaimanakah cara terbentuknya kemauan negara tersebut, kita dapat melihat atau
mempelajari cara terbentuknya serta undang-undang itu, adalah demikian juga cara terbentuknya
kemauan negara.

Menurut jallinek ada dua macam cara mengenai terbentuknya emauan negara itu.

a. Kemauan negara itu terbentuk atau tersusun didalam jiwa seseorang yang mempunyai
ujud atau bentuk fisik. Artinya kemauan negara itu hanya ditentukan oleh satu orang
tunggal, tiada orang atau badan lain yang dapat ikut campur dalam pembentukan
kehendak negara itu, kemauan negara yang mempunyai kemauan fisik itu disebut
monarki. Jadi tegasnya, didalam monarki ini undang-undang negara itu hanya
ditentukan atau dibuat oleh satu orang tunggal.
b. Kemauan negara terbentuk atau tersusun didalam suatu dewan. Dewan itu adalah
suatu pengertian yang adanya hanya didalam hukum, dan sifatnya abstrak, serta
terbentuk yuridis. Memang sebenarnya anggota-anggota daripada dewan itu, yaitu
orang, masing-masing adalah merupakan kenyataan dan menpunyai bentuk fisik,
tetapi dewannya itu sendiri adalah adalah merupakan kenyataan yuridis, karena
dewan itu merupakan konstruksi hukum, jadi yang adanya justru sebagai akibat
ditetapkan oleh peraturan hukum, dimana beberapa orang merupakan suatu kesatuan,
dan dianggap sebagai suatu persoon. Kehendak negara yang terbentuk atau tersusun
secara demikian ini disebut kehendak atau kemauan yuridis, dan negara yang
memiliki kemauan yuridis ini disebut republik.
Kemauan negara itu sendiri tidak dapat kita lihat, karena sifatnya adalah abstrak. Maka
kalau kita igin mengetahui dengan cara bagaimanakah kemauan negata itu terbentuk, kita harus
melihat atau mempelajari undang-undang negara itu sendiri, sebab, seperti tadi telah
dikatakan,undang-undang itu adalah merupakan penjelmaan atau bentuk konkrit daripada
kemauan negara. Oleh karena itu dapatlah dikatakan apabila dalam suatu negara itu undang-
undangnya merupakan hasil karya dari satu orang tunggal saja, maka negata itu disebut monarki.
Sedangkan sebaliknya apabila undang-undangnya merupakan hasil karya daripada suatu dewan,
negara itu disebut republik.

Bagaimana konsekuensi daripada pendapay jellinek ini terhadap hukum kebiasaan ?


menurut jellinek kebiasan itu hanyalah merupakan hukum, apabila negara menghendaki dan
menetapkannya sebagai hukum.

Sesuai dengan ajarannya, jellinek menggolongkan negara yang disebut wahl-monarchie


kedalam bentuk negara monarki. Yang demikian ini disetujui pula oleh Kranenburg tetapi
sementara itu nanti dilain hal, yaitu terhadap pendapat jellinek mengenai perbedaan antara
monarki dengan repulik, kranenburg tidak dapat menerimanya, terutama terhadap kriteria yang
dipergunakan oleh jellinek. Tetapi baiklah sebelumnya kita dibicarain apakah yang dimaksud
dahulu apakah yang dimaksud dengan wahl monarchie itu.

Wal- monarchi itu adalah suatu negara dimana kepala negaranya itu dilipih atau diangkat
oleh suatu organ atau badan khsusu. Keshususannya itu dalam, bahkwa tugas organ terebut
terbatas pada pemilihan atau pengangkatan itu saja; jadi sesuadah mengadakan pemilihan atau
pengangkatan kepala negara, tugas organ tersebut adalah sudah selesai. Hanya istimewanya, dan
ini yang merupakan kekhusususan pula, organ tersebut tidak terlalu dibubarkan, karena organ
tersebut lalu menjdi bawahan daripada kepala negara yang abru saja mereka pilih atau mereka
angkat itu tadi.

Tegasnya, kepala negata tadi, yaitu monark, menjadi kepala atau pemimpin daripada
organ tersbut. Jadi raja atau monark tidaklah merupakan wakil daripada para pemilih tadi.
Dengan demikian kekuasaannya lalu menjadi besar atau luas sekali, karena yidak saja berkuasa
dalam lapangan pemerintahan, tetapi juga dalam lapangan perundang-undangan. Sebagai contoh
daripada apa yang disebut wahl-monarchie ini adalah: kerajaan jerman, dimana raja romawi
dipilih oleh raja-raja pemilih. Juga misalnya negeri polandia, yang sebenarnya bukan monarki,
melainkan adalah republik aristokrat yang kepala negaranya dipilih oleh raja-raja pemilih dan
bergelar raja.

Diatas telah dikatakan bahwa kranenburg tidak dapat menerima ajaran atau pendapat
jellinek mengenai perbedaan antara monarki dengan rapublik, dan ini terutama ditunjukan
terhadap kriteria yang dipergunakan oleh jellinek dalam pembedaan tersebut. Karena didalam
ajarannya itu ada kelemahan atau keberatannya.

Kelemahan atau keberatan daripada pendapay jellinek ini antara lain ternyata, bahwa
setelah jellinek menetapkan kriterianya seperti tersebut diatas, yaitu cara terbentuknya kemauan
negara, maka adalah aneh sekali apabila dia, jellinek, menggolongkan negara inggris kedalam
monarki, sebab kalau jellinek konsekuen dengan teorinya, seharusnya ia menyebut negara
inggris dengan negara republik, dan dengan sendirinya juag memasukkan negara inggris kedalam
golongan republik. Karena diinggris pembentukan kemauan negara yang berwujud undang-
undang itu tidak terjadi secara fisik, artinya tidak hanya dibuat, atau ditentukan oleh satu orang
tunggal, tetapi terjadi secara yuridis, yaitu bahwa pembentukan undang-undang di inggris
dilakukan oleh king in parlement, oleh mahkota bersama-sama dengan parlemen, sedang
dimaksud dengan mahkota raja dan para mentrinya.

Keadaannya sama dengandi inggris antara lain adalah dinegara-negara: swedia, norwegia,
denmark, nederland dan belgia. Terhdap negara-negara ini jellinek seharusnya juga menyebutnya
dengan istilah republik. Jadi dengan demikian teranglah bahwa kalau menurut teori dari jellinek,
negara-negara monarki konstitusionil itu termasuk dalam spesis republik.

Maka kalau begitu, diinggris artinya bahwa undang-undang itu merupakan hasil karya
daripada mahkoa bersama-sama dengan perlemen, ini berarti bahwa pembentukan kemauan
negara inggris itu tidak dilakukan oleh satu orang, tetapi dilakukan oleh suatu dewan yang terdiri
dari : raja, mentri-mentri, dan parlemen. Jadi tidak secara fisik melainkan secara yuridis. Maka
kalau kriteria jellinek itu ditetapkan secaar konsekuen, ia harus mengatakan bahwa inggris
adalah republik.

Tetapi jellinek tetap berpendapat bahwa inggris adalah monarki, jadi tetap
mempertahankan pendapatnya bahwa pembentukan kemauan negara inggris terjadi secara fisik,
sebab di inggris itu menutu jellinek yang penting atau yang pokok didalamnya membuat dan
menetapkan suatu undang itu raja. Mengapa demikian?

Betul, demikian jellinek, bahwa pembuatan undang-undang di inggris dilakukan oleh


raja, para mentri dan parlemen. Tetapi bagaimanapun titik berat dan yang memegang peranan
pokok adalah raja. Sebab parlemen ini baru dapat berkumpul dan bersidang untuk membuat
rancangan, undang-undang, kalau dikehendaki oleh raja, dan raja menyatakan kehendaknya itu
dengan memanggil parlemen untuk bersidang dan membuat rancangan undang-undang yang
dikehendaki oleh raja. Jadi baru akan bersidang saja parlemen itu supaya bersidang, ini disebut
versam-mlungsrecht. Inilah yang merupakan titik awal atau permulaan daripada pembuatan suatu
undang-undang di inggris.

Sedangkan raja itu nanti juga akan merupakan titik akhir, oleh karena setelah rancangan
undang-undang itu dibuat oleh parlemen, undang-undang itu belum mempunyai kekuatan
berlaku, kalau raja belum memberikan loyal assent, atau royal-proclamation, artinya undang-
undang itu belum disahkan oleh raja. Inilah titik akhirnya. Jadi titik berat daripada pembuatan
sesuatu undang-undang itu ada pada raja. Dengan demikian sebenarnya kekuasaan tertinggii
dalam pembuatan suatu undang-undang itu ada pada raja, dengan demikian sebenarnya keuasaan
tertinggi dalam pembuatan suatu undang-undang ada pada raja. Ini berarti rajalah yang
menentukan proses pembuatan suatu undang-undang, jadi ini juga menentukan pembentukan
kehendak negara. Maka inggris adalah monarki.

Dengan demikian jellinek lalu berarti membedakan antara isi aatau materi undang-
undang dengan pemerintah untuk memperlakukan undang-undang; karena meskipun betul isi
atau materi undang-undang itu menetapkan adalah mahkota bersama-sama dengan parlemen,
tetapi pemerintah untuk memperlakukan undang-undang tetap ada pada tangan raja. Jadi proses
pembentukan undang-undang di inggris dimulai dari raja dan diakhir juga oleh raja.

Kalau seandanya raja tidak mau berbuat demikian, artinya raja tidak mau
memperjuangkan versammlungsrecht-nya, yaiti mengundang parlemen untuk bersifang dan
terlebih raja tidak au memberikan royal assent atau royal prolamation, maka tidak ada suatu
kekuasaanpu didunia ini yang dapat memaksanya. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa
ingrris adalah tetap monarki, sebab undang-undanya jadi berarti juga kehendak negaranya,
terjadi atau tersusun didalam fisik taja dengan pisiknya. Demikianlah pendapay jellinek.

Tetapi terhadap pendapat jellinek ini kranenburg tetap tidak dapat menerima dan
mempertahankan keberatan yang telah di ajukan dengan mengatakan:

Bahwa kalau raja itu menjadi pusat pembentukan undang-undang, menjadi titik awal dan
titik akhir pembentukan undang-undang, jadi merupakan faktor yang menentukan. Kalau begitu
keadaannya mestinya raja sendiri dapat membuat undang-undang tanpa parlemen. Tetapi
kenyataannya tidaklah demikian, raja tidak dapat membuat undang-undang sendirian saja, tanpa
surut sertanya parlemen, akrena dengan satu royal proclamation saja, raja tidak dapat membuat
danmemperlakukan undang-undang. Karena yang menentukan itu adalah raja bersama-sama
mentri dan parlemen. Jadi menentukan itu bukanlah rajasendiri. Maka hendaknya yaitu yang
berupa undang-undang, bukanlah kehendak negara yang bersifat pisik, melainkan kehendak
negara yang berisfat yuridis, karena dalam pembentukan undang-undang ini raja, menteri dan
parlemen bertindak bersama, dalam arti ada penyesuaian kehendak dan merupakan suatu dewan.

Selain daripada itu apa yang dikemukakan oleh jellinek bahwa raja itu wenang menolak
undang-undang yang telah ditetapkan oleh aprlemen dalam arti raja tidak mau memberikan royal
proclamation dan tidak ada satu kekuasaan pun didunia ini yang dapat memaksa raja, ini adalah
tidak betul. Sebab hingga sekarang didalam sejarah ketatanegaraan inggris, menurut
conservation, raja itu tidak pernah menolak suatuusul undang-undang yang telah ditetapkan oleh
parlemen. Dengan demikian ajaran jellinek terebut bertentangan dengan kenyataan sejarah.

Memang demikianlah keadannya, bahwa pendapat jellinek itu sangat bertentangan


dengan keadaan yang senyatanya. Karena kenyataannya jauh berbeda sekali dengan apa yang di
kemukakan oleh jellinek, apabila kriterianya itu ditetapkan secara konsekuen. Misalnya saja
mengenai gambaran pembentukan undang-undang seperti yang dilukiskan jellinek di inggris, itu
dapat terjadi pula di negara indonesia, yaitu pemerintah c.q. presiden menyampaikan rancangan
untdang-undang kepada dewan perwakilan rakyat, setelah rancangan undang-undang tersebut
disetujui oleh dewan dewan perwakilan rakyat kemudian diisyaraktkan oleh presiden-serta
diundangkan, baru engan demikian undang-undang tersebut mempunyai kekuatan berlaku. Jadi
kalau di inggris itu diperlukan adanya royal assent atau royal proclamation raja, sedangkan kalau
dinegara kita itu diperlukan adanya pengesahan dari kepala negara. Dengandemikian apakah
negara kita ini belum berbentuk monarki ?

Jadi teranglah untuk keadaan sekarang kriteria diajukan jellinek itu sudah tidak dapat
dipertahankan lagi. Hal yang demikian ini antara lain juga disebabkan karena adanya pergeseran
atau perubahan daripada pengertian monarki dari pengertiannya yang semula. Semula pngertian
monarki itu menunjuk kepada suatu negara dimana kekuasaan pemerintahan didalam negara itu
hanya dipegang oleh satu raja, entah apa sebutannya, entah kepala negara ini menggunakan
sebutan raja atau raja atau pangeran ini tidak menentukan.

Tetapi pengertian monarki itu untuk jaman modern menunjuk adanya lembaga
kenegaraan yang disebut kepala negara, yang mempunyai kedudukan khusus berbeda deengan
kedudukan yang kepala negara yang lain. Khususnya itu adalah bahwa lembaga ini sebagai
kedudukan dapat diwariskan. Maka yang lebih sesuai dengan keadaaa sekarang adalah kriteria
yang dikemukakan oleh leon duguit.

Leon duguit, dalam mengadakan pembedaan atau penjenisan antara bentuk negara
monarki dengan republik kriteria yang digunakan adalah cara atau sistem penunjukan atau
pengangkatan kepala negara.

Pengertian daripada penunjukan atau penangkatan ini adalah luas sekali, karena hal ini
dapat berarti pemilihan, pewarisan, perampasan, dan sebagainya.

Berdasarkan kriteria tersebut diatas, maka menurut leon duguit negara itu disebut monari
apabila kepala negarany ditunjuk atau diangkat berdasarkan sistem pewarisan. Tegasnya kepala
negata itu mendapatkan kedudukannya karena warisan dari negara yang langsyng
menhaduluinya. Jadi disini ada suatu lembaga negara, yaitu kedudukan kepala negara, yan dapat
diwariskan.

Tentang siapa-siapa yang berwenang mendapatkan warisan itu sudah barang tentu negara
itusendirilah yang mengaturnya, karena tentunya dalam banyak hal ada attribute yang harus
dipenuhi.
Sedangkan suatu negara itu disebut republuk, apabila kepala negaranya itu ditunjuk atau
diangkat tidak berdasarkan sistem pewarisan, jadi misalnya dapat dengan cara pemilihan,
perampasan, penunjukan dan sebagainya.

Kalau kita bandingngkan antara teori dari jellinek dengan teori dari leon duguit, maka
untuk keadaan sekarang, teori dari leon duguit yang lebih sesuai dengan keadaan sebenarnya,
walaupun harus diakui pula bahwa dalam kenyataannya yang terjadi itu tidaklah semudah
bagaimana digambarkan oleh leon duguit seperti tersebut diatas. Karena kenyataanya kepala
negara dari negara yang disebut monarki itu.

Tegasnya seseorang itu dapat menjadi kepala negara tidak saja karena dia itu
mendapaykan kedudukannya karena pewarisan, tetapi disamping itu masih ada beberapa syarat-
syarat, yang itu sudah menjadi suatu konvention, yang semuanya itu harus dipenuhi dalam suatu
negara monarki. Tetapi bagaimanapun juga kiranya ajaran-ajaran leon duguit khususnya
mengenai kriteriannya, dapatlah dipergunakan sebagai dasar perbedaan antara monarki dan
republik.

Perlu diperhatikan disini bahwa leon duguit dalam uraiannya mempergunakan istilah
bentuk pemerintahan, forme de gouvernement, jadi bukannya mempergunakan istilah bentuk
negara, forme de staat. Dengan demikian beliau mempergunakan istilah monarki dan republik itu
dalam artian pemerintahan monarki dan pemerintahan republik. Jadi menurut leon duguit
monarki dan republik itu bukannya bentuk negara, melainkanitu adalah bentuk pemerintahan.
Sedangkan pada umumnya, demikian pula menurut ajaran jallinek, yang dimaksud dengan
bentuk negara adalah monarki dan republik. Kalau yang dimaksud degan bentuk pemerintahan
itu adalah mengenai sistem hukumnya yang lebih lanjut, yang didapatkan baik dalam negara
monarki maupun didalam negara republik.

Misalnya bentuk pemerintahan dari negara republik itu adalah:

1. Republik dengan sistem pemerintahan rakyat secara langsung, ataudengan sistem


referendum.
2. Republik dengan sistem pemerintahan perwakilan rakyat, atau dengan sistem
parlementer.
3. Republik dengan sistem pemisahan kekuasaan, atau dengan sistem presidensil.

Sedangkan bentuk-bentuk atau sistem pemerintahan dari pada negara yang berbentuk
monarki, adalah :

1. Monarki dengan sistem pemerintahan absoluttisme.


2. Monarki terbatas.
3. Monarki konstitusionil.

Lalu apakah sekarang yang dimaksud oleh leon duguit dengan bentuk negara itu? Yang
dimaksud dengan itu adalah :

1. Negara kesatuan.
2. Negara serikat.
3. Perserikatan negara-negara,

Diatas telah diuraikan ajaran dua orang sarjana, georg jellinek dan leon deguit yang masing-
masing elah mengemukakan perbedaan antara republik dan monarki, menurut sistemnya masing-
masing yang berbeda itu. Pada ajaran jellinek terang memasukkan dengan tegas kedalam
golongan monarki negara dimana rajanya atau kepala negaranya dipilih, yang kemudian disebut
wahl-monarchi.

Tetapi ajaran leon deguit, negara dimana raja atau kepala negaranya diangkat dengan sistem
pemilihan bukanlah monarki, padahal kenyataanya negara tersebut adalah teran suatu kerajaan,
sepertinya karajaan german, terhadap negara terebut kiranya leon deguit ragu-ragu menyebutnya
dengan pasti suatu negara republik, maka disebutlah republikaristokrat yang kepala negaranya
bergelar raja.

Tetapi bagaimanapun juga kiranya untuk keadaan pada jaman modern ajaran leon deguitlah
yang agak sesuai dan mendekati keadaannya yang senyatanya. Namun demikian kita janganlah
terlalu berpedoman pada sistem klasifikasi tersebut, secara fundamental untuk setiap jaman dan
dalam setiap perkembangannya, sebab kita harus selalu memperhatikan adanya perubahan-
perubahan yang selalu terjadi, sepertinya dalam sistem alat yang sellau mengalamai perubahan
fungsi. Maksudnya kepala negara misalnya, itu tugasnya atau fungsinya dari jaman ke jaman
telah mengalami perubahan-perubahan besar.

3. Autoritaren Fuhrerstaat

Disamping penjenisan negara dalam dua bentuk, yatu republik dan monarki, seeprti yang
diajukan oleh georg jellinek dan oleh leon duguit tersebut diatas, prof otto koellreutter yang sifat
ajarannya dalah berdasarkan nasional-nasionalisme, menyebutkan adanya spesis atau jenis ketika
yaitu yang disebut negara autokrasi terpimpin, atau autoritaren fuhrerstaat, atau autorithire
leidestaat.

Dalam uraiannya ia menyebutakan adanya bentuk republik dan monarki, dan untuk ini
dia agak condong ke ajaran dari leon duguit, dan pada itu ia mengatakan bahwa sebagai
kesimpulannya bahwa baik dalam bentuk republik maupun monarki dikuasai oleh suatu perintah
oleh suatu dinasti, jadi dengan sendirinya penunjukan atau pengangkatan kepala negaranya
memakai stelsel atau sistem pewarisan, turun temurun, maka dari itu monarki dikauasai oleh azas
ketidak samaan, dalam arti bahwa yang dapat dan berhak menduduki jabatan kepala negara itu
hanya dari suatu keturunan saja.

Sedangkanpada negara republik dikuasai oleh azas kesamaan, sebab penunjukan atau
pengangkatan kepala negaranya disini mempergunakan sistem atau stelsel pewarisan. Ini berarti
bahwa azasnya setiap orang berhak menduduki jabatan kepala negara.

Kemudian sekarang apakah yang disebut negara autoritaren-fuhrerstaat itu ? ini adalah
suatu negara yang dipimpin oleh kekuasaan negara, yang erdasrkan atas pemandangan autoritet
negara. Jadi dalam negara ini juga sedikit banyak dikuasai oleh azas ketidak samaan, tetapi
disamping itu juga dikuasai azas kesamaan, oleh karena yang dapat memegang kekuasaan
pemerintah gara itu bukan hanya orang-orang dari satu dinasti saja.

Jadi kiranya dapatlah dikatakan bahwa negara ini merupakan bentuk campuran antara
monarki dan republi, dan mempunyai sifat-sifat monarki dan republik. Dikatakan mempunyai
sifat monarki dalam arti bahwa negara utoritaren-fuhrerstaatini juga dikuasai oelh azas ketidak
samaan, hanya saja bedanya bahwa azas ketidaksamaan dalam negara autoritaren-fuhrerstaat ini
maksudnya ialah bahwa penunjukan atau pengangkatan kepala negaranya tidka memkai azas
seperti yang biasanya dipakai dalam pengangkatan atau penunjukan kepala negara pada negara
republik.

Sedang disampig itu dikatakan juga mempunyai sifat republik dalam arti bahwa negara
autoritaren fuhrerstaat ini juga dikuasai oleh azas kesamaan, hanya bedanya bahwa azas
kesamaan dalam negara autoritaren fuhrerstaat ini maksudnya ialah bahwa penunjukan atau
pengangkatan kepala negaranya itu tidak memakai azas seperti yang biasanya dipakai dalam
penunjukan atau pengangkatan kepala negara pada negara monarki.

Jadi sekali lagi penunjukan atau pengangkatan kepala negara autoritaren fuhrerstaat ini
tidak sama dengan penunjukan atau penangkatan kepala negara pada negara-negara monarki
maupu negara republik, melainkan berdasarkan pada pandangan autoritet negara, berdasarkan
pada kemampuan memerintah serta kemampuan menguasai rakyatnya.

Dengan demikian maka dalam negara autoritaren fuhrerstaat ini perbedaan antara bentuk
monarki dan bentuk republik tidak mempunyai arti yang pokok atau penting, dalam arti bahwa
baik azas ketidak samaan maupun azas kesamaan dikesampingkan jauh-jauh. Lalu kalau
demikian memakai azas apakah, atau memakai sistem apakah dalam penunjukan atau
pengangkatan kepala negaranya itu ? kiranya otto koerlllreutter dalam masalah ini tidak
memberikan penjelasan secara tegas, juga dasar kekuasaan daripada negara ini.

Dalam hal ini ooto koellreutter hanya menunjukan adolph hilter dalam bukunya mein
kamft, yaitu yang antara lain adolph hilter mengatakan bahwa, tujuan gerakan nasional-sosialis
tidak terletak dalam mendirikan monarki atau menegakkan republik, melainkan dalam
menciptakan negara jerman.

Tapi meskipun demikian, dengan ketrangan itu tadi belum membuat terang msalahnya,
karena tidak dikatakan pembentukan negara jerman yang mana yang dimaksudkan itu.
Sedangkan dulu ada beberapa negara jerman. Kalau toh yang dimaksud itu adalah negara jerman
pada jamannya hitler, hitler sendiri pada waktu itu akhirnya memilih semacam plebisit sebagai
cara atau sistem penunjukan atau pengangkatan negara, sesudah menjatuhkan kepala negara yang
lama, yaitu hinderburg, dalam suatu coup d’etat.

4. Klasifikasi Negara Menurut Prof. Mr. R. Kranenburg


Teori kekelompokan

Prof. Mr. R. Kranenburg dengan bukunya yang termashur, yaitu algemeine staatsleer,
yang diterbitkan pada tahun 1937, dapatlah dikatakan bahwa ia menganut aliran historis-
sociologist, dalam arti bahwa beliau mendasarkan teorinya atas dasar : bagaimanakah sejarah
pertumbuhan masyarakat itu, yaitu yang semula hidup dengan bebas, tanpa terikat oleh sesuatu
apapun, menjadi suatu negara dimana berlaku beraneka peraturan-peraturan hukum yang
mempunyai sifat mengikat, serta ada sanksinya apabila peraturan-peraturan huum itu tidak
ditaati. Yang kesemuannya ini akibatnya adalah membatasi kebebasan para warga negaranya.
Sedangkan kebebasan adalah merupakan sesuatu hal yang mempunyai nilai pokok dalam suatu
negara.

Seperti telah kita katakan bahwa menurut Kranenburg negara itu pada kakekatnya adalah
suatu organisasi kekuasaan yang menciptakan yang diciptakan sekelompok manusi yang disebut
bangsa, dengan tujuan untuk menggerakkan kepentingan mereka bersama. Maka disini yang
primer kelompok manusiannya, sedangkan organisasinya bersifat sekunder.

Dengan demikian kranenburg menolak hipotesa yang dikemukakak oleh teori hukum
alam. Dan dengan pendapatnya itu kranenburg yang mulai penyelidiknya atas kenyataan-
kenyataan bahwa itu hidup dalam pelbagai jenis kelompok atau golongan atau koliktiviet. Dalam
hal ini pertanyaannya adalah bagaiamanakah kelompok-kelompok atau golongan ini dapat
dimasukan kedalam suatu sistem. Kemudian menyusul pertanyaan, kelompok yang menakah
yang menciptakan organisasi atau negara itu ?

Maka baiklah teori kekelompokan kita dibicarakan terlebih dahulu dlam membicarakan
kelompok manusia ini, atau tegasnya dalam membicarakan atau klasifikasi kelompok manusia
ini kranenbrg mempergunakan dua macam kriteria.

a. Sifat kesempatan, artinya kelompok manusia itu mempunyai sifat setenpat


ataukah tidak setempat.
b. Sifat keteraturan, arinya kelompok manusia itu sifatnya teratur ataukah tidak
teratur.

Dengan mempergunakan dua macam kriteria diatas, mengkalsifkasikan kelompok


manusia menjadi empat jenis :
1. Kelompok manusia yang sifatnya setempat tapi tidak teratur. Ekompok ini misalnya
kelompok orang-orang yang bekerumum atau berkumpul pada suatu tempat untuk
melihat menyaksikan seseuatu kejadian, kecelakaan misalnya, yang terjadi itu dengan
secara tiba-tiba. Orang tersebut berkumpulnya tidak dengan kepentingan yang sama. Ada
yang hanya mau melihat-lihat saja tetapi adapula yang akan memberikan pertolongan.
Ada pula yang datang dengan tujuan mendapatkan keterangan-keterangan, ada juga orang
yang datang ketempat itu untuk kepentingan pribadi. Orang berkumpul dalam kelompok
itu adalah sidentil, serta orang pad kelompok itu saling tidak mengenal, dalam arti tidak
ada hubungan dan sifatnya tidak teratur.
Ciri yang istimewa adalah sifatnya sangat suggestif, mudah dipengaruhi, dan mudah
menimbilkan akses karena kesadaran telah menjadi sempit, sehingga berubah menjadi
suatu emosi akibat banyaknya kesan pendengaran serta penglihatan mereka. Contoh
untuk ini oleh kranenburg dikemukakan mas, crowd, la foule.
2. Kelompok manusia yang sifatnya setempat dan teratur. Adalah kelompok orang yang
berkumpul pada suatu tempat, dan yang mempunyai tujuan sama, tujuan ii hanya dapat
dicapai kalau mereka, kelompok itu sifatnya teratur. Contoh daripada kelompok ini
misalnya para mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah, penonton pertunjkan dalam
sebuah gedung, sesuatu rapat dan sebagainya.
Jadi pada kelompok ini ada unsur baru, yaitu keadaan yang teratur yang timbulnya karena
adanya tujuan yang sama yang mereka terima dengan sadar karena tanpa adanya sifat
setempat dan teratur tujuan mereka tidak akan pernah tercapai.
3. Kelompok manusia yang sifatnya tidak setempat dan tidak teratur. Timbulnya keompok
ini karena adanya perasamaan yang bersifat objektif. Contoh: para mahasiswa, para
petani, para pedagang, yang kesemuanya itu apabila tidak oleh sesuatu perkumpulan atau
organisasi.
Mereka ini kelompok karena mempunya persamaan yang bersifat objektif atau lahiriah.
Tetapi tentang keifisienya akan persaman tersebut, misal persamaan kepentingan, nasib,
tujuan dan sebagainya. Yang semuanya bersifat objektif belum tentu sama. Kelompok ini
disebut juga kepompok objektif.
Persamaan yang objektif mudah meimbulkan adanya suasana golongan, kerjasama
golongan, kepentingan golongan.
4. Kelompok manusia yang sifatnya setempat tapi eratur. Kelompok ini merupakan
kelompok yang tertinggi dan disebut kelompok subjektif, karena sudah emmiliki ke
insyafan dan kesadaran akan kelompoknya. Faktor kelompok ini adalah kelompoknya itu
sendiri yang karena ada kepentingan bersama timbul suatu kehendak untuk mengadakan
tata tertib yang mengaturkelompok itu sendiri.

Kelompok yang ketiga erat hubungannya dengan kelompok yang keempat dalam arti bahwa
kelompok objektif pada suatu saat dapat menjadi subjektif. Kelompok objektif bila akan berubah
jadi subjektif dibutuhkan suatu unsur yaitu kesadaran akan kelompoknya, tugasnya adalah :

Pertama. Tugasnya ialah mengatur kelompoknya dengan mengadakan peraturan. Disebabkan


karena orang ingin mendapat kepastian tentang sikap, tingkah laku, dan perbuatannya yang harus
diambil dan dilakukannya dalam pergaulannya dengan orang lain. Demi untuk ditentukan dalam
peraturan yang akan harus dibuat.

Pokok pertama dalam kelompok keempat, adanya tugas ayau fungsi membuat peraturan dan
kalau ada tugas maka harus tau tugas dan fungsionarisnya.

Lalu siapakah pen yang dibuat tugas yang diserahi tugas ini ? diserahkan kepada petugas
yang disebut badan pembuat peraturan umum, atau badan perundang-undangan, atau badan
legislatif. Apa artinya peraturan umum ? adalah peraturan badan atau penjabat yang berwenang
dan sifat kekuasaannya adalah umum. Meliputi seluruh wilayah dunia.

Kalau sudah ada pearturannya, tentu ada maksud supaya peraturan tersebut dilakanakan dan
untuk ini harus ada petugasnya. Pokok kedua, dalam kelompok keempay ini adalah yihas untuk
melaksanakan peraturan dan tugas ini diserahkan pada suatu badan yangdisebut pemerintah atau
eksekutif.

Kemudian meskipun segala sesuatu didalam kelompok itu sudah diatur, mungkin masih ada
perubahan yang menyimpang atau melanggar peraturan tersebut dan ini harus dibetulkan. Jadi
harus ada sifat pengawasan pelaksanaan daripada peraturan tersebut. Pokok ketiga dalam
kelompok keempat ini adalah adanya tugas mengawasi pelasanaan dari peraturan-peraturan
tersebut, ini adalah tugas pengawasan, atau pengadilan atau yudikatif. Dan untuk tugas ini ahrus
ada petugasnya, petugasnya adalah badan pengadilan atau yudikatif.

Petugas tersebut merupakan alat perlengkapan negara yang namanya fungsi negara. Menurut
kranenburg, menurut sejarah baik tidaknya suatu negara itu sebetulnya tergantung pada
hubungan antara fungsi atau kekuastan negara itu dengan organnya dan hubungan antara organ-
organ itu satu dengan yang lainnya.

Dalam hubungan ini dapat dibenarkan bahwa apabila ketiga fungsi dipusatkan pada satu
tangan atau satu organ maka menyebabkan organ ini maha kausa dan dapat menyalah gunakan
kekuasaannya. Olehkarena itu organ itu membuat pearturannya sendiri.

Menurut kranenburg kesimpulannya adalah bahwa sifat kakekat negara itu terganung pada
problem atau masalah bagaimanakah sifat hubungan antara fungsi negara itu dengan fungsi
organnya. Dengan demikian kranenburg mengadakan klasifikasi negara berdasarkan kriteria :

1. Sifat hubungan antara fungsi-fungsi dengan organ-organ yang ada dalam negara itu. Yang
dimaksudkan adalah apakah fungsi-fungsi negara itu hanya dipusatkan pada satu organ
ataulah dipisahkan dari kemudian distribusikan pada beberapa organ.
2. Sifat organ negara itu sendiri, maksudnya kalau fungsi-fungsi negara itu dipusatkan pda
satu organ. Serta bagaimanakah sifat hubunga organ itu sau dengan yanglain.

Dengan mempergunakan kriterian ini, negara dapat di klasifikasikan sebagai ebrikut :

1. Negara diamana semua fungsi atau kekuasaan dipusatkan pada satu organ. Negara yang
demikian ini adalah negara yang melaksanakan sistem absolut.
Kemudian orangnya sendiri bagaimana sifatnya, maksudnya organ negara itu yang
etrtinggi dipegang atau dilaksanakan oleh beberapa orang. Ini yang tertinggi dipegang
oleh beberapa orang. Dan ada tiga kemungkinan:
a. Organ itu dapat bersifat tunggal. Artinya organ yang tertinggi serta keuasaan negara
tertinggi dalam negara itu dipegang oleh satu orang. Disebut monarki.
b. Organ itu dapat bersifat beberapa orang. Artinya yang tertinggi serta kekuasaan
negara tertinggi dipegang oleh beberapa orang. Disebut aristokrasi atau oligarki.
c. Organ itu dapat bersifat jamak, artinya organ itu dipegang dan dilaksanakan seluruh
rakyat. Disebut demokrasi.

Dengan demikian, maka sistemnya adalah absolutisme digabungkan atau dikombinasikan


dengan sifat dari pada organnya akan kita dapatkan :

a. Monarki absolut. Yaitu negara dimaan fungsi atau kekuasaannya dipusatkan pada satu
organ, sedangkan organ itu hanya dipegang oleh satu orang tunggal saja.
b. Aristokrasi atau oligarki. Yaitu negara dimana fungsi atau kekuasaannya dipusatkan
pada satu organ, sedangkan organ itu dipegang beberapa orang.
c. Demokrasi absolut. Yaitu negara dimana dungsi atau kekuasaannya dipusatkan pada
satu organ dan dipegang oleh seluruh rakyat. Negara ini juga disebut negara absolut
murni.
2. Negara yang dimana fungsi atau kekuasaan negara itu dipisah-pisah, pemisahan
kekuasaan ini biasanya dianut ajaran pada monyesquieu kemudian masing-masing
kekuasaan itu diserahkan kepada beberapa organ. Penting atau yang menentukan adalah
bagaimanakah sifat hubungan organ-organ itu satu sama yang lain. Terutama hubungan
antara badan legislatif dengan badan eksekutif. Berdsarkan hal terebut diatas negara
melaksanakan sitem pemisahan kekuasaan dapat dikasifikasikan menjadi:
a. Negara yang melaksanakan sistem pemerintahan kekuasaan secara tegas atau
sempurna. Artinya masing-masing organ tersebut tidak dapat saling mempengaruhi,
khsususnya antara badan legislaif dan eksekutif. Sebagai contoh amerika serikat,
disini kekuasaan perundang-undangan ada pada kongkres, sedangkan pelaksanaan
kekuasaan atau pemerintahan ada pada presiden.
b. Negara yang melaksanakan sistem pemisahan kekuasaan dan masing masing organ
pemegang kekuasaan tersebut. Khususnya antara badan legislatif dan eksekutif dapat
saling mempengaruhi dan saling berhubungan. Sistem negara ini adalah parlementer.
c. Negara yang melaksanakan sistem pemisah kekuasaan, tetapi pada prinsipnya badan
eksekutif hanya bersifat sebagai badan pelaksanaan atau badan pekerja saja daripada
apa yang telah diputuskan oleh legislatif.

Uraikan lebih lanjut dari sistem pemerintahan tersebut akan dibicarakan nanti pada
pembicaraan demokrasi modern.

II. Kriteria kedua yang dipergunakan atau dikekukan ole kranenburg didalam
mengklasifikasikan bentuk negara, ialah beradasarkan perkembangan sejarah dan penjenisan
negara ialah.berdasarkan sebagai hasil atau akibat dari pada perkembangan sejarah, dan
penjenisan negara modern yang timbul sebagai hasil dari perkembangan politik jaman modern.

Berdasarkan ini negara diklasifikasikan misalnya :

a. Negara dalam bentuk historis :


1. Federasi negara dari jaman kuno.
2. Sistem provincia romawi.
3. Negara dengan sistem feodal.
b. Negara dalam bentuk modern :
1. Perserikatan negara atau staatenbund.
2. Negara serikat atau bundesstaat.
3. Negara kesatuan atau negara unitaris.
4. Negara kemakmuran bersama inggris aau british common wealth of nations.

Terhadap klasifikasi negara dari kranenburg tersebut dapat dikatakan bahwa ajran
aristoeles tentang bentuk-bentuk negara sangat besar pengaruhnya. Demikian pula ajaran tentang
memisahan kekuasaan dari montesquieu. Terhadap penjenisan negara yang berdasarkan
perkembangan sejarah.

Dalam uraian diatas telah tersinggung ajaran pemisahan dari montesquieu. Ajaran ini
banyak dipengaruhi oleh pembagian kekuasaan oleh john locke. Hanya saja susunan negara john
locke sangat berbeda, namun ajaran montesquieu menyempurnakannya.

John locke sebenarnya bukanlah sarjana pertama yang mengemukakan ajaran tentang
pemisahan kekuasaan. Oleh karena itu pemisahan kekuasaan telah lama dikemukakan oleh
sarjanan yunani, aristoteles. Yang akhirnya mendapat nama trias politica dari immanuel kant.

5. Klasifikasi Negara Menurut Hans Kelsen

Hans kelsen adalah penganut ajaran positivisme, ia menulis ajarannya dalam buku der
sozologische der juristische staatsbegriff.

Dalam ajarannya negara hans kelsen antara lain mengatakan bahwa kalau akan
mengklasifikasikan negara terlebih dahulu, harus menetapkan apakah yang dipergunakan sebagai
kriteria. Kriteria ini menurut pendapat hans kelsen haruslah sesuai dengan hakekat negara, sebab
inilah yang menjadi pokok. Hakekat negara ini menimbulkan akibat-akibat khusus dan akibat-
akibat tertentu terhadap warga negara, inilah yang digunakan sebagai kriteria dalam
mengklasifikasikan negara.

Menurut ajaran hans kelsen negara pada hakekatnya adalah zwangsordnung, sutau tertib
hukum atau tertib masyarakat yang memunyai sifat memaksa, yang menimbulkan hak
memerintah dan kewajiban tunduk. Tetrtib hukum mana menjelma dalam bentuk peraturan
hukum. Artinya kalau peraturan-peraturan hukum tidak ditaati dapat menimbulkan akibat hukum
tertentu. Bahkan peraturanya ikut dipaksakan.

Karena peraturan hukum itu sifatnya memaksa, maka dengan sendirinya lalu mengurangi
atau membatasi kekebasan para warga negaranya. Jadi dlam hal ini lalu adaa mematasan
warganegara.

Sekarang masalahnya, bagaimanakah sifat derajat pembatasan kekebasan warga negara


itu. Maksudnya apakah derajat pembatasan kebebasan warganegara itu luas sekali, ataukah
sempit sekali. Dengan kata lain, derajad pembataan kebebasan warga negara itu bersifat
maksimum atau minimum. Artinya kalau derajat pembatasan warga negara bersifat maksimum
maka akibatnya kebebasannya minimum. Dan sebaliknya jika kebebasannya minimum maka
akibatnya maksimum.

Menurut hans kelsen sifat kekebasan warga negara ada dua,yaitu :

1. Sifat mengikatnya peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh


penguasa yang berwenang.
2. Sifat keluluasaan penguasa atau pemeritah dalam mencampuri atau mengatur peri
kehidupan daripada warga negaranya.

Inilah yang kemudian dipakai sebagai kriterian hans kelsen didalam mengklasifikasikan
negara dan berdasarkan kriteria tersebut. Negara diklasifikasikan menjadi:

1. Dengan kriteria yang pertama, yaitu sifat mengikatnya peraturan hukum yang dibuat
atau dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang.
a. Pada azasnya peraturan hukum dileuarkan oleh penguasa yang berwenang itu
hanya mengikat warga negaranya saja. Maka jika suatu negara membuat
aturannya sendiri maka peraturan huku tidak dikenai atau tidak terikat oleh
peraturan hukum yang dibuatnya itu. Jadi hanya mengikat atau hanya ditujukan
terhadap warga negaranya saja.
b. Pada azasnya peraturan hukum yang dikeluarkan oleh penguasa kecuali warga
negaranya atau rakyatnya juga mengikat si pembuat peraturan hukum itu sendir.
Terdapat adanya suatu kesamaan penguasa dengan warga negaranya, jadi seakan-
akan peraturan hukum yang berlaku itu berasal dari kemaunannya sendiri dan
sifatnya autonom. Maka akibatnya adalah penguasa itu mempunyai
kecenderungan untuk membuat dan mengeluarkan peraturan hukum yang sedikit
mungkin.
2. Dengan kriteria yang edua yaitu sifat keleluasaan penguasa atau pemerintah dalam
mencampuri atau mengatur peri kehidupan daripada warga negaranya:
a. Pada azasnya penguasa atau negara mempunyai keleluasaan untuk mencampuri
atau mengatur segala segi kehidupan daripada warga negaranya. Jaditerhadap
penguasa lalu mempunyai kecenderungan mengeluarkann peraturan hukum untuk
mengatur segala segi kehidupan warga negaranya.
b. Pada asaznya penguasa atau negara hanya dapa mencampuri atau mengatur
perihal kehidupan daripada warga negaranya yang pokok saja. Menyangkut
kehidupan secara keseluruhan. Sedangkan hal lainnya diserahkan pada warga
negaranya sendiri. Akibatnya adalah warganegaranya bersifat minimum
sedangkan kebebasan pribadinya bersifat maksimum.

Setelah kita mempelajari klasifikasi negara yang dikemukakan oleh hans kelsen, maka
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya negara memakai sitem autonomi, yaitu
negara yang dimana penguasa yang membuat atau mengeluarkan oeraturan hukum itu ikut serta
terkena juga oleh peraturan hukum yang dibuatnya. Mengapa kecenderungan untuk mengubah
sistem tersebut? Karena dalam kedua negara tersebut daapat dikatakan bahwa azas yang dipakai
adalah sama, segalanyapun adalah sama.

Sebaliknya, negara yang memakai sitem atau azas heteronomi ada kencenderungan untuk
mengubah ke arah negara totaliter. Mengapa demikian? Tidak lain azas yang dipakai daoat
dikataan ada persamaannya, segalanypun demikian pula ada persamaannya. Dan pada negara ini
ada kemungkinan kekuasaan pengeuasa bersifat absolut.

Kalau kita bandingkan ajaran klasifikasi negara dari hanskelsen tersebut dengan ajaran
dari aristoteles dan epicurus mengenai sifat susunan negara masyarakat, maka dapatlah katakan
bahwa disitu pihak klasifikasi negar hans kelsen yaitu negara heteronom dan negara totaliter.
Mempunyai kesamaan dengan ajaran aristoteles.
Klasifikasi negara hans kelsen yaitu negara autonom dan liberal, mempunyai persamaan
dengan ajaran epicurus mengani sifat susunan daripada negara atau masyarakat, yaitu yang
menyatakan bahwa sususan masyarakat atau negara bersifat otonomis.

Tetapi meskipun demikian jannganlah sekali-sekali dicampur adukkan ajaran tersebut,


karena ajaran tersebut masing-masing mengenai segi yang berlainan, walaupun ada hubungannya
satu dengan yang lain. Misalnya susunan masyarakat menurut aristoteles lambat laun berubah
menjadi negara totaliter. Ataupun masyarakat bersifat otomistis dari faham epicurus yang
berubah menjadi negara liberal.

Tegasnya adalah sebagai berikut, bahwa organisme sebagai lawannya adalah atomisme
adalah suatu paham atau anuran mengenai masalah atau susunan masyarakat yaitu pandangan
bagaimanakah masyarakat atau negara tersusun.

Sedangkan totaliterisme dan liberalisme adalah faham atau ajaran mengenai masalah
masalah bagaimanakah sifat kekebasan penguasa dalam mencampuri segit peri kehidupan warga
negara atau masyarakat.

Ada faham lain lagi yang hampir sama, terutama dengan isyilah yang dipergunakan
dalam klasifikasi negara hans kelsen. Yaitu faham individualisme dan faham kolektivisme.
Adalah faham mengenai pengutamaan kepentingan, jelasnya individualisme itu faham yang
sifatnya mengutamakan kepentingan individu, sedangkan kolektivisme adalah faham yang
mengutamakan masyarakat keseluruhannya.

Tapi jangan dilupakan, bahwa masing masng mempunyai hubungan yang erat, karena
memang prinsipnya adalah dapat dikatakan sama.

Kembali keajaran klasifikasi ajaran menurut hans kelsen. Ini secara teoritis dapatlah
disusun sistem kombinasi :

1. Negara yang memakai sistem kombinasi autonomi-liberal atau negara yang memakai
sistem kombinasi autonomi-totaliter.
2. Negara yang memakai sistem kombinasi heteronomi-liberal atau negara yang
memakai sistem kombinasi heteronomi-totaliter.
Tetapi sistem kombinasi ini dalam hal tertentu kurang tepat karena kadang mengalmami
kesukaran adalah apabila negara tersebut azas yang dianutnya adalah berlawanan. Contohnya
negara yang memakai sistem kombinasi autonom-totaliter, ini praktis tidak mungkin karena
terdapat gejalan yang berlawanan. Sedangkan gejala pada sistem azas totaliter adalah
pembatasan kebebasan sekeras-kerasnya.

Pula pada negara memakai sistem kombinasi heteronomi-liberal ini tidak mungkin karena
gejalanya juga berlawanan. Sedangkan sistem kombinasi lainnya secara teoritis dapat kita
pikirkan yaitu bahwa negara autonom mempunyai kecenderungan untuk berubah kearah negara
liberal. Atau mungkin juga dapat terjadi kombinasi antara sistem heteronomi dengan sistem
totaliter karena pada kedua sistem ini gejalanya adalah sama.
6. Klasifikasi Negara menurut R.M. Mac Iver
R.M. Mac Iver adalah seorang sarjana Amerika, dalam ilmu kenegaraan ia
menulis ajarannya dalam bukunya The Web of Government dan dalam bukunya yang
lain, The Modern State.
Dalam bukunya yang disebutkan pertama, Mac Iver antara lain tentang terjadinya
Negara ia mengatakan bahwa, Negara itu terjadi dari pertumbuhan suatu keluarga atau
family. Pertumbuhan atau perkembangan ini secara bertingkat, melalui beberapa phase.
Tingkatan atau phase pertama adalah keluarga atau family tersebut. Dalam
keluarga tersebut, meskipun sifatnya masih sangat sederhana, namun telah ada kebiasaan-
kebiasaan, mores, atau custom serta ada pula kekuasaan authority, yang tidak dapat
terlepas dari kebiasaan-kebiasaan tersebut. dalam keluarga tersebut ada pula kepala
keluarganya yang biasanya disebut Paterfamilias atau Patriarch.
Phase atau tingkatan selanjutnya adalah bahwa family atau keluarga itu
berkembang menjadi besar dan disebut klan yang dikepalai oleh seorang primus inter
pares. Primus inter pares lama kelamaan menjadi pemimpin sungguh-sungguh dari pada
klan tersebut, serta mempunyai kekuasaan yang nyata. Dan tidaklah mengherankan kalau
beliau ini kemudian menunjuk keturunannya untuk menggantikan memegang kekuasaan.
Maka dengan ini lalu timbulah system jabatan yang sifatnya turun-temurun (hereditary
office). Dan akibatnya keluarga pemimpin ini lalu menjadi keluarga yang memimpin atau
memerintah, yaitu tegasnya menjadi ruling family. Jadi akhirnya didapatkanlah suatu
jabatan yang sifatnya turun-temurun yang disebut raja.
Dalam pertumbuhan serta perkembangan dari family sampai memnjadi Negara,
peranan perang tidak boleh dilupakan, karena memang dengan jalan peperanganlah
keluarga itu menjadi bertambah besar, tetapi tentunya disamping itu juga ad acara-cara
lain, misalnya karena ekspansi, karena adanya perkawinan dari seorang angggota
keluarga yang satu dengan seorang angggota keluarga yang lain, dan kemudian kedua
keluarga itu bergabung.
Dalam uraiannya itu Mac Iver baru menyebut hasil perkembangan keluarga
tersebut sebagai suatu Negara setelah tercapai territorial state. Dan ini baru terjadi setelah
melewati jaman feodalisme. Sedangkan perkembangan antara family sampai pada
feodalisme ini, Mac Iver tidak menyebutkan nama-namanya.
Sebelum menguraikan tentang teori terjadinya Negara, Mac Iver telah terlebih
dahulu mengemukakan pendapatnya tentang perbedaan antara pemerintah, government,
dengan Negara state. Menurut beliau perbedaannya adalah bahwa Negara itu
organisasinya, sedangkan pemerintahan adalah organ yang menjalankan administrasi dari
pada organisasi tersebut.
Memang para sarjana jaman kuno, agak kurang memperhatikan perbedaan antara
Negara dengan pemerintahan, bahkan terkadang kedua pengertian tersebut dikacaukan
dengan pengertian masyarakat, Mac Iver sendiri juga demikian, ini terbukti dalam
uraiannya mengenai klasifikasi Negara, dalam hal ini ia menyebutnya dengan istilah
“bentuk-bentuk pemerintahan”, the forms of government. Lihat dibukunya, the web of
government, halaman 145-266.
Tetapi hal ini kiranya juga telah disadari oleh Mac Iver, karena beliau juga
menyinggung-nyinggung pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya yang
membedakan bentuk Negara yang satu dengan bentuk Negara yang lain adalah bentuk
atau system pemerintahannya. Maka sebenarnya uraian tentang bentuk-bentuk
pemerintahan adalah sama saja dengan uraian tentang bentuk-bentuk Negara, hanya saja
titik beratnya yang berlainan. Kalau kita membicarakan tentang bentuk-bentuk
pemerintahan titik beratnya pada administrasinya, sedangkan kalau membiacarakan
tentang bentuk-bentuk Negara kita menitik beratkan pada organisasinya.
Selanjutnya dalam uraiannya tentang bentuk-bentuk pemerintahan, sesungguhnya
yang dimaksudkan adalah uraisan tentang bentuk-bentuk Negara, Mac Iver mengatakan
bahwa sebenarnya bentuk-bentuk pemerintahan itu sangatlah sukar untuk
diklasifikasikan, hal ini disebabkan bahwa system pemerintahan yang pernah ada dalam
sejarah ketatanegaraan tidaklah banyak yang dapat mempertahankan dirinya agak lama,
karena system itu mesti memdapatkan pengaruh dari ketakutan-ketakutan baru, oleh
karenya secara cepat ataupun secara perlahan-lahan tentu mengalami perubahan.
Akibatnya meskipun namanya itu masih tetap, tetapi pengertiannya telah mengalami
perubahan-perubahan. Tidaklah ada satu bentuk pemerintahan pun yang dapat bertahan
secara kekal, meskipun ada beberapa tipe bentuk pemerintahan yang utaa, yang kadang-
kadang secara relative dapat bertahan agak lama.
Mac Iver mengemukakan adanya dua macam system mengklasifikasikan Negara,
yaitu :
1. A tri partite classification of state
Sejak jaman dahulu, sarjana telah mengemukakan klasifikasi Negara menjadi 3
macam bentuk sesuai dengan system atau bentuk pemerintahannya. Jadi dasar dari
klasifikasi Negara adalah bentuk atau system pemerintahannya, maka berdasarkan
perbedaan bentuk pemerintahan ini kemudian dikenal adanya penggolongan atau
penjenisan (klasifikasi) dari bentuk-bentuk Negara.
Ternyata pengertian bentuk Negara dengan bentuk pemerintahan, staats vorm
dengan regeringsvorm, the form of state dengan the form of government, terkadang
telah dianggap sama. Padahal kedua pengertian tersebut sebenarnya sangat berlainan,
tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga mudah menimbulkan
kecenderungan untuk menyamakannya. Dan Mac Iver sering menyamakan pengertian
tersebut, karena dalam uraiannya tentang bentuk-bentuk pemerintahan, sebenarnya
yang dimaksudkan adalah tentang bentuk-bentuk Negara.
System klasifikasi Negara ini disebut pula system tradisional classification,
mempergunakan dasar atau kriteria suatu pertanyaan : Siapakah yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara itu ?. jika jawabannya adalah kekeuasaan pemerintah
Negara mungkin dipegang oleh satu, beberapa, atau pada azasnya seluruh rakyat, dan
pemerintahan itu ditujukan untuk pemenuhan kepentingan umum (yang baik), atau
hanya untuk kepentingan orang yang memegang pemerintahan Negara saja (yang
jelek), maka system klasifikasi ini akan menghasilkan bentuk0bentuk yang
dikemukakan oleh para sarjana Yunani dan Romawi.
Tetapi Mac Iver mengemukakan keberatan dan kritik yang dianggap kelemahan
system tersebut :
1. Jika ada pertanyaan siapakah yang memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi
dalam Negara, ini sebenarnya tidak berguna. Sebab Mac Iver, banyak orang atau
seluruh rakyat tidak pernah dapat memerintah, satu orang saja pun tidak pernah
dapat memerintah. Karena sungguh-sungguh memegang kekuasaan pemerintah
tertinggi dalam Negara itu hanya beberapa orang. Uraiannya itu ada dibukunya, ia
mengatakan bahwa pemerintah pada ngara-negara bukan primitive pasti selalu
berada pada tangan ruling-class, kelas atau golongan yang memerintah. Jadi
government atau pemerintah itu sungguhnya adalah class government.
2. Bahwa kekuasaan tertinggi pemerintahan Negara hanya dipegang oleh satu orang
saja, sesungguhnya telah memuat atau terkandung didalam bentuk-bentuk
pemerintahan satu orang dapat meliputi : monarki, ini pun banyak macamnya
karena dapat absolut, terbatas atau kontitusionil. Terkadang dapat juga sebagai
dictator atau tyranny. Sedangkan bentuk-bentuk ini sebenarnya tidak mungkin
dapat digolongkan menjadi satu golongan.
3. Di dalam klasifikasikan Negara tidaklah cukup hanya mempergunakan satu
kriteria saja, tetapi harus mempergunakan kriteria lebih dari itu, karena seperti
Negara feudal adalah lain dari Negara-negara kapitalis atau sosialis, meskipun
kadang nama atau istilahnya itu sama, missal republic.

2. A bi partite classification of state


Dasar atau kriteria ini adalah dasar atau alasan yng bersifat praktis, yaitu
mempergunakan dasar konstitusionil, yang meliputi pertanyaan-pertanyaan. Sehingga
system ini menghasilkan dua golongan besar Negara, yaitu demokrasi dan oligarki.

7. Klasifikasi Negara menurut Maurice Duverger


Maurice Duverger mengatakan bahwa dalam semua kelompok manusia, dari yang
paling kecil sampai yang paling besar, dari yang paling primitive sampai yang paling
modern, dari yang terlemah sampai terkuat, terdapat perbedaan yang bersifat prinsipil
antara orang-orang yang berkuasa, atau yang memerintah dengan orang-orang atau rakyat
yang dikuasai atau diperintah. Dan besar kecilnya perbedaan ini tergantung dari system
pemerintahannya. Demikian pula semua ikatan atau perkumpulan, perbedaan yang
demikian itu selalu ada.
Tetapi sosiolog, yaitu aliran Durkheim yang membenarkan adanya pendapat
bahwa semasa permulaan kebangunan peradaban manusia perbedaan antara penguasa
atau pemerintah dengan orang-orang yang diperintah itu tidak ada. Mereka mengatakan
bahwa dalam suatu kelompok manusia kekuasaan itu tidaklah hanya dijalankan oleh
beberapa orang tertentu saja, tetapi merata dalam kelompok itu karena setiap orang, jadi
semua anggota kelompok tersebut, itu tunduk pada norma-norma umum yang ditetapkan
oleh kelompok tersebut. jadi pada waktu itu sesungguhnya semua orang diperintah dan
tidak ada yang memerintah. Tetapi kemudian ada beberapa orang sebagai penjelmaan dari
norma-norma umum, dengan demikian timbulah pemribadian kekuasaan dan terjadilah
perbedaan-perbedaan antara yang memerintah dengan yang diperintah.
Menurut Maurice Deverger, teori ini sesuai dengan kenyataan, tetapi akan sulit
mengetahuinya, karena dalam kelompok yang paling primitive sampai yang termodern,
akan mendapatkan tanda-tanda pemribadian kekuasaan yang disebut pendeta, wali, ketua,
kepala keluarga, kepala suku, dll. Baik buruknya pemerintahan sangat tergantung pada
kebijaksanaan orang-orang yang duduk dalam pemerintahan, dan dalam hal ini cara atau
system pengangkatan orang-orang yang akan duduk dalam pemerintahan dan memegang
kekuasaan, itu merupakan sendi pokok dalam system pemerintahan dalam suatu Negara.
Maurice Deverger mengatakan bahwa dari luar nampaknya seakan-akan doktrin atau
ajaran demokrasi menentang dan menolak keadaan umum ini.
Menurut Aristoteles dan Maurice Deverger, pembesaran Athena yang paling
penting tidak ada disebut dalam UUD, jabatan itu diduduki oleh ketua fraksi yang
sesungguhnya memimpin dewan, lagi pula selalu mendekatkan putusan-putusannya.
Aristoteles menamakannya menteri perdana, atau Prostates dari rakyat.
Maurice Deverger dalam usahanya untuk mempertahankan pendapatnya, bahwa
dalam setiap kelompok, dari yang paling primitive sampai yang paling modern, kemudian
disebut Negara, selalu terdapat segolongan orang-orang yang memerintah, dan selalu
terdapat pula perbedaan antara yang memerintah dengan yang diperintah. Dan memang
demikianlah kenyataannya. Sesuai dengan pendapatnya
Maurice Deverger berpendapat bahwa yang disebut tata Negara adalah rupa dari
perbedaan umum antara orang-orang yang memerintah dengan orang-orang yang
diperintah, sebagaimana terjadi dalam suatu kelompok sosial. Sedangkan dalam arti yang
terbatas, tata Negara hanya dapat dipakai buat menunjukkan bangun pemerintahan dalam
masyarakat manusia yang tertentu macamnya, yaitu Negara.
Maurice Deverger membagi pembicaraan dalam bukunya dalam dua bagian, yaitu
bagian petama pembicaraannya bersifat analistis, dala bagian ini dibicarakan suatu
penentuan sendi klasifikasi atau pembagian, dengan mempelajari satu persatu masalah
perihal struktur yang sama-sama dimiliki oleh semua tatanegara, seperti pemilihan para
penguasa, bentuk badan-badan pemerintah, pembagian dan pembatasan kekuasaan
pemerintah.
Dalam bagian kedua pembicaraannya bersifat sintetis, jenis-jenis terpenting dari
pemerintah-pemerintah yang betul-betul ada di dunia, serta variasi-variasi dari setiap
jenis. Melalui metode pembagian tersebut, Maurice Deverger mengatakan bahwa sering
dijumpai kecondongan untuk menggambarkan ketatanegaraan menurut bentuk
yuridisnya, dengan mengesampingkan kenyataan dari caranya ia bertindak. Dari bagian
pertama tadi, terdapat penyelesaian dari masalah-masalah tersebut, yaitu :
1. Bertalian dengan adanya kecenderungan kea rah doktrin liberalism, yaitu
kecenderungan untuk mengurangi kekuasaan para penguasa, sehingga
menguntungkan orang-orang yang diperintah.
2. Bertalian dengan adanya kecenderungan ke arah doktrin autoritarisme, yaitu
kecenderungan untuk mempertahankan serta memperkuat kekuasaan orang-orang
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara, sehingga memperlemah orang-
orang yang diperintah.

Adapun cara atau system banyak sekali ragamnya, yang dapat digolongkan dalam
2 cara, kemudia nanti 2 cara tersebut masih bisa dikombinasikan dalam sisten campuran,
yaitu :

I. Cara pertama dalam pengankatan para penguasa ialah cara atau system
dimana rakyat tidak ikut serta dalam pengangkatan atau pemilihan orang-
orang yang akan memegang kekuasaan pemerintahan Negara. Oleh
Maurice Deverger system ini dinamakan system autokratis, sesuai dengan
doktrin autoriter, Negaranya disebut Negara autokrasi.

System ini sekarang praktis sudah tidak ada lagi Negara yang menggunakan,
kecuali Negara-negara yang sosiologis terbelakang dan negera-negara dictator modern.
Selama berabad-abad lampau banyan Negara-negara yang menganutnya, dan dikamuflase
menjadi :

1. Perebutan kekuasaan adalah cara pertama untuk pengangkatan para penguasa,


yaitu pihak yang satu merebut kekuasaan dari pihak yang lain. Perebutan
kekuasaan ini dapat terbentuk atau dijalankan dengan berbagai macam, yaitu :
a. Revolusi yaitu suatu cara perebutan kekuasaan dengan mempergunakan
kekuatan seluruh rakyat.
b. Coup d’etat yaitu suatu cara perebutan kekuasaan dengan menggunakan
kekuatan pemerintah lama untuk menggulingkan dan kemudian
menggantikannya.
c. Pronunciamiento yaitu cara semacam Coup d’etat, tetapi dengan
mempergunakan kekuatan militer.
2. System keturunan merupakan bentuk pemerintahan autokratis yang paling
banyak kita dapatkan. Dan umumnya system ini hanya berlaku pada satu
orang raja digantikannta oleh keturunannya yang berhak. Tetapi ada pula
badan atau organ yang haknya turun-temurun. System ini timbul sebagai
deformasi, perubahan bentuk kea rah keburukan, dari pada kooptasi atau
system pemilihan.
3. Kooptasi adalah penunjukan calon-calon penguasa oleh penguasa lama yang
kemudian akan menggantikannya. Seperti halnya system keturunan, system
ini berlaku untuk satu orang tunggal, atau untuk satu dewan.
4. System pengundian, system ini dilakukan di beberapa kota Yunani kuno untuk
mengangkat magistrate-magistrat. Untuk masa sekarang system ini hanya
sebagai hipotesa saja di lapangan administrative atau pengadilan, teristimewa
untuk mengangkat anggota-anggota yuri.
5. Ada suatu system bahwa pengangkatan penguasa yang akan menggantikan
dilakukan oleh penguasa lain. Maka cara ini tidaklah murni autokratis karena
segala sesuatunya akan tergantung kepada penguasa yang melakukan
pengangkatan tersebut.
II. Cara atau system kedua dalam pengangkatan para penguasa adalah di
mana dalam pengangkatan para penguasa tersebut rakyat diikut sertakan
jadi ada keinginan untuk mendekatkan hubungan antara penguasa dengan
rakyat yang diperintah. Cara demikian disebutnya cara yang demokratis,
maka negaranya juga disebut Negara demokrasi. System ini sesuai dengan
doktrin liberalisme, karena kekuasaan penguasa dapat dibatasi. Dalam
sisotem ini orang hendak membangun pemerintahan dengan dasar-dasar
yang rasional. Dalam system demokrasi perwakilan ini, individu
mendapatkan kebebasan seluas-luasnya dalam lapangan pemerintahan.
Dalam arti jalannya pemerintahan secara bebas. Maka system demikrasi
ini disebut demokrasi liberal.
III. Cara atau system ketiga adalah suatu system campuran atau kombinasi
antara system demokrasi dengan system autokrasi. System campuran ini
akan menimbulkan Negara oligarki. Menurut Maurice Deverger system ini
adalah suatu system pemerintahan dimana orang-orang yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara dipiih atau diangkat dengan cara-cara
yang merupakan bentuk peralihan dari cara autrokrasi ke cara demokrasi.
Prinsip-prinsip autokrasi dan prinsip-prinsip demokrasi itu bercampur,
yaitu :
1. System pemerintahan campuran menurut juxtaposition
Dalam system ini ditemukan ada 2 orga pemerintahan yang satu
sifatnya autokratis, sedangkan yang lain sifatnya demokratis, dan yang
lain kedudukannya berdampingan, dibedakan menjadi :
a. Juxtaposition antara seorang raja atau monarki yang sifatnya
autokratis, dengan badan perwakilan atau parlemen yang sifatnya
demokratis.
b. Juxtaposition antara unsur-unsur, autokratis dengan unsur-unsur
demokratis dalam suatu badan perwakilan rakyat atau parlemen.
c. Juxtaposition antara unsur-unsur autokratis dengan unsur-unsur
demokratis dalam satu badan perwakilan rakyat atau parlemen.
2. System pemerintahan campuran secara kombinasi
Ini adalah suatu Negara di mana kekuasaan pemerintahannya hanya
dipegang atau dilaksanakan oleh satu organ saja. Organ tersebut
pengangkatannya dilakukan dengan cara baik secara demokratis
maupun secara autokratis. System ini pernah terjadi di Perancis.
3. System pemerintahan campuran secara berfusi atau terpadu
Ini adalah suatu system pengangkatan para penguasa tidak dapat
dikatakan secara autokratis ataupun secara demokratis yang murni,
ataupun secara bertingkat seperti dalam system pemerintahan
campuran secara kombinasi atau system campuran menurut
juxtaposition yang satu atau tingkat pertama bersifat autokratis, sedang
selanjutnya bersifat demokratis.

Dalam system pemerintahan campuran secara kombinasi, agak jarang terjadi


peralihan dari autokrasi ke demokrasi, melainkan lebih sering timbul reaksi terhadap
system pemerintahan demokrasi yang hanya mengambil beberapa tanda lahir saja, tetapi
menolak dengan keras hakekat demokrasi. Cara inilah yang kebanyakkan dilaksanakan
dibeberapa Negara modern untuk melumpuhkan system demokrasi secara berpura-pura
menyanjung-nyanjungnya.

8. Klasifikasi Negara menurut Harold J. Laski


H.J. Laski mengatakan bahwa yang menjadi inti soal dalam organisasi Negara
adalah hubungan atau relasi antara rakyat dengan undang-undang. Yang dimaksud adalah
dalam Negara rakyat dapat ikut campur dalam pembuatan undang-undang ataukah tidak.
Berdasarkan kriteria maka Negara diklasifikasikan menjadi :
1. Bila rakyat mempunyai wewenang ikut campur dalam pembuatan undang-undang,
maka dalam hal ini bentuk Negara tersebut adalah demokrasi.
2. Bila rakyat tidak mempunyai wewenang untuk ikut campur dalam pembuatan
undang-undang, maka dalam hal ini bentuk Negara tersebut adalah autokrasi.

Dalam menjelaskan bentuk-bentuk Negara campuran H.J. Laski berpendapat


bahwa dalam tiap-tiap penyelidikan tentang system peraturan-peraturan hukum
nampaknya menunjukkan akan kebutuhan kepada 3 jenis kekuasaan, yaitu :

1. Adanya badan yang menetapkan aturan-aturan umum, baik yang mengenai seluruh
warga Negara maupun sebagian yang mempunyai kepentingan yang nyata-nyata
berbeda dari kepentingan masyarakat seluruhnya. Badan ini disebut badan
perundang-undangan.
2. Adanya badan yang bertugas melaksanakan peraturan-peraturan hukum yang telah
ditetapkan oleh badan perundang-undangan tadi. Ia adalah pemerintah.
3. Adanya badan yang berwenang memberikan keputusan bila dalam hal pelaksanaan
terjadi pelanggaran-pelanggaran. Wewenang ini meliputi dua hal, pertama bila
terjadi perselisihan atau pekanggaran antara warga Negara dengan pemerintah,
kedua bila terjadi pelanggaran atau perselisihan antara sesama warga Negara itu
sendiri. badan ini disebut pengadilan.

Dikatakan oleh H.J. Laski bahwa bentuk-bentuk dari tiap-tiap Negara yang ada
ditentukan oleh adat kebiasaan hasil sejarahnya. Menurut Dr. E. Utrecht S.H. ajaran
tentang pemisahan kekuasaan, yaitu trias politika terutama yang dikemukakan oleh
Mentesquieu tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen, terutama pada Negara-negara
modern. Tetapi dengan alasan yang berbeda dengan alasan yang dikemukakan oleh H.J.
Laski tersebut. adapun alasannya :

1. Pemisahan kekuasaan secara mutlak seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu,


mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak dapat ditempatkan bahwa
pengawasan dari suatu badan kenegaraan yang lain. Tujuan utamanya adalah untuk
memberantas kekuasaan mutlak serta tindakan yang sewenang-wenang dari raja,
tetapi malahan hanya akan mengakibatkan pemindahan sifat mutlak dari raja kepada
tiap-tiap badan yang memegang kekuasaan tersebut, sebab badan-badan tersebut satu
sama lain tidak dapat saling mengawasi. Jadi akibatnya, sekarang yang dapat
bertindak sewenang-wenang bukanlah raja melainkan badan-badan kenegaraan
tersebut.
2. Ajaran Trias Politika Montesquieu yang mengemukakan ajaran tentang pemisahan
kekuasaan secara mutlak, tidak dapat disesuaikan atau berdampingan dengan ajaran
kedaulatan rakyat yang dikemukakan oleh Rousseau yang beberapa dalilnya menjadi
dasar dari pada system pemerintahan langsung atau direct government, dan system
Echo.
3. Pada Negara-negara hukum modern, modern rechsstaat ajaran trias politika
Montesquieu tidak mungkin dapat dilaksanakan secara konsekuen, dalam arti bahwa
satu badan kenegaraan atau satu organ hanya diserahi satu fungsi atau kekuasaan
saja seperti diajarkan oleh Montesquieu.

Ajaran Trias Politika Montesquieu kiranya hanya dapat dilaksanakan secara


konsekuen pada Negara hukum dalam pengertian sempit, seperti yang pernah
dikemukakan oleh Immanuel Kant dan Fichte, yaitu Negara dimana tugasnya hanya
membuat serta mempertahankan hukum.

9. Klasifikasi Negara menurut Sir John A.R. Marriott


Sir John A.R. Marriott adalah seorang sarjana Inggris, ajaran-ajaran beliau dapat
diketahui dalam bukunya yang berjudul “The Mechanism of the Modern State”. Dalam
bukunya beliau mengkritik klasifikasi Aristoteles, karena menurut beliau klasifikasi
Aristoteles tersebut meskipun merupakan klasifikasi yang fundamental, namun tidak
dapat memenuhi tuntutan bentuk-bentuk Negara modern, dalam arti bahwa ada beberapa
bentuk Negara modern yang tidak dapat dimasukkan ke dalam klasifikasinya tersebut.
Maka Marriott mengajukan klasifikasi baru dengan maksud agar dapat mencakup
semua bentuk-bentuk Negara-negara modern. Dalam klasifikasinya tersebut beliau
mempergunakan dasar atau kriteria system kenegaraannya. Dan yang dimaksud dengan
system kenegaraan ada 3 hal pokok, yaitu :
1. Mengenai susunan pemerintahannya
2. Mengenai sifat konstitusinya, atau undang-undang dasarnya.
3. Mengenai system pemerintahannya.
Ada 1 Mengenai susunan pemerintahannya. Dengan mempergunakan kriteria ini
beliau menggolong-golongkan Negara menjadi dua golongan besar, yaitu :

1. Negara kesatuan
2. Negara federasi

Ada 2 Mengenai sifat konstitusinya atau undang-undang dasarnya. Berdasarkan


kriteria ini Negara dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu :

a. Negara yang konstitusinya atau memakai istilah undang-undang dasar bersifat rigid
atau kaku, artinya UUD tersebut mempunyai sifat-sifat istimewa, keistimewaannya
ialah terletak dalam hal perubahannya atau apabila akan mengamandir UUD
tersebut.
b. Negara yang UUD bersifat flexible atau lunak, sebagai lawan dari sifat regid atau
keras, kaku. Badan legislative fungsi dan tugasnya tidak hanya dalam bidang
legislative saja, tetapi juga conctituent, artinya bahwa badan legislative tidak hanya
bertugas mengundangkan, mangamandir, dan mencabut undang-undang , melainkan
juga bertugas membentuk dan merubah undang-undang dasar.

Ad. 3. Mengenai system pemerintahannya. Disini yang dimaksud adalah


bagaimana perimbangan kedudukan antara badan eksekutif dengan badan legislative. Hal
ini dapat menimbulkan 3 macam kemungkinan, yaitu :

a. Badan eksekutif berkedudukan sederajad dengan badan legislative


b. Badan eksekutif berkedudukan lebih tinggi dari badan legislative
c. Badan eksekutif berkedudukan lebih rendah dari badan legislative

Berdasarkan kriteria ini Negara dapat digolongkan menjadi :

a. Negara yang memakai system pemerintahan presidensil


b. Negara yang memakai system pemerintahan parlementer

Mengenai perimbangan kedudukan antara badan eksekutif dengan badan


legislative dapat diterangkan sebagai berikut : dalam Negara-negara autrokrasi
kedudukan badan eksekutif lebih tinggi dari kedudukan badan legislative, bentuk
pemerintahannya disebut despots. Pernah terjadi di Russia pada jaman pemerintahan Tsar.
Sebaliknya dalam Negara-negara demokrasi perimbangan kedudukan anatara
badan eksekutif dengan kedudukan badan legislative ada dua kemungkinan, yaitu
mungkin kedudukan badan eksekutif lebih rendah dari kedudukan badan legislative.
Pernah terjadi di Amarika Serikat, Perancis, Inggris, dan Negara persemakmuran bersama
Inggris. Yang kedua adalah bahwa kedudukan badan eksekutif sederajat dengan
kedudukan badan legislative.
10. Klasifikasi Negara menurut S.D. Leacock
Dalam bukunya yang berjudul Elements of Political Science, beliau berpendapat
bahwa mengklasifikasikan Negara ke dalam Negara-negara despotis dan Negara-negara
demokratis adalah sebagai tanda penjenisan bentuk-bentuk Negara yang bersifat
fundamental dari segenap Negara-negara modern. Jadi pertama leacock
mengklasifikasikan Negara ke dalam 2 jenis, yaitu Negara-negara despotis, dan Negara-
negara demokratis. Kemudian Negara demokratis dijeniskan lagi menjadi kerajaan
terbatas dan republic. Masing-masing dijelaskan lagi menjadi Negara kesatuan dan
Negara federasi.

11. Klasifikasi Negara menurut H.N. Sinha


H.N. Sinha adalah seorang sarjana berkebangsaan India, dalam bukunya yang
bernama Outlines of Political Science mengatakan bahwa klasifikasi dari Leacock
sebenarnya kurang sempurna, meskipun pada prinsipnya H.N. Sinha dapat menerimanya.
Dikatakan kurang sempurna karena tidak dimasukkan bentuk-bentuk Negara totaliter atau
autoriter yang timbul sesudang perang dunia pertama, seperti Negara-negara fascist Italia,
Nazi-Jerman, dan Negara Uni Sovyet, bentuk-bentuk pemerintahan dari 3 negara tersebut
bersifat totaliter atau autoriter atau proletar dan anti demokratis.

Anda mungkin juga menyukai