Anda di halaman 1dari 22

Analisis Resiko Bencana Dusun Babakan, Desa Pinara Kecamatan Ciniru Kabupaten

Kuningan, Jawa Barat

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Manajemen Bencana

Dosen : Seila Azmia, SKM,MK.KM.

Disusun Oleh :

Eka Maolana

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-IHYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat
rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Analisis Resiko
Bencana Dusun Babakan, Desa Pinara Kecamatan Ciniru Kabupaten Kuningan, Jawa Barat”.
Shalawat serta salam saya curahkan kepada baginda rosul, Muhammad SAW yang telah
memberikan suri teladan menujujalan kebenaran kepada kita semua, jalan kasih sayang, jalan
kedamaian, jalan kebahagiaan, dunia dan akhirat. Shalawat serta salam tercurah pula kepada
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang meniti jalannya dengan sungguh-
sungguh hingga akhir zaman.
Penyusunan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah “Manajemen
Bencana” dan juga bisa untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi saya dan bagi
pembaca.
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh
karena itu saya mengharapkan kritikan yang bersifat membangun dan saran dari pembaca
untuk melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Semoga dengan
makalah ini dapat bermanfaat baik untuk pembaca maupun untuk penyusun Aamiin.

Kuningan, 01 April 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
Latar Belakang.....................................................................................................................4
Rumusan Masalah................................................................................................................6
Tujuan...................................................................................................................................6
BAB II PENGENALAN DAN PENGKAJIAN ANCAMAN BENCANA / BAHAYA
DAN KERENTANAN..............................................................................................................8
A. Pengenalan Bahaya (hazard).........................................................................................8
B. Pemahaman Tentang Kerentanan Masyarakat..........................................................9
BAB III ANALISIS KEMUNGKINAN DAMPAK BENCANA.........................................9
BAB IV PILIHAN TINDAKAN PENANGGULANGAN BENCANA.............................11
A. Pencegahan dan Mitigasi..............................................................................................11
B. Kesiapsiagaan.................................................................................................................12
C. Tanggap Darurat...........................................................................................................12
D. Pemulihan.......................................................................................................................13
BAB V MEKANISME KESIAPAN DANPENANGGULANGAN DAMPAK BENCANA
..................................................................................................................................................14
A. Pada Pra Bencana..........................................................................................................14
B. Saat Tanggap Darurat...................................................................................................15
C. Pasca Bencana................................................................................................................15
D. Mekanisme Penanggulangan Bencana........................................................................15
BAB VI ALOKASI DAN PERAN PELAKU KEGIATAN PENANGGULANGAN
BENCANA..............................................................................................................................16
A. Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait.....................................................16
B. Peran dan Potensi Masyarakat.....................................................................................17
C. Pendanaan......................................................................................................................18
BAB VII Laporan Singkat Pemeriksaan Gerakan Tanah Di Kecamatan Ciniru
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.......................................................................................19
BAB VIII PENUTUP.............................................................................................................22
A. Kesimpulan.....................................................................................................................22
B. Saran...............................................................................................................................22

3
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................23

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara gelogis Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar
yaitulempeng Indo Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Lempeng-lempeng
tersebut saling bertumbukan satu sama lainnya yang menyebabkan Indonesia sangat
rawan akan terjadinya bencana (Dumilah, 2017).Secara astronomis, Indonesia terletak pada
koordinat 94oBT-141oBT dan 6oLS-11oLS yang menyebabkan Indonesia terletak pada
garis khatulistiwa sehingga merupakan negara yang disinari oleh matahari sepanjang
tahun (Kartono, 2017). Letaknya yang berada pada lintang 0oatau tropis sehingga memiliki
dua musim yaitu musim hujan dan musim panas dalam satu tahun (Saptono,2007).Intensitas
kedua musim tersebut pada tiap daerah dan tiapkepulauan berbeda-beda, tergantung dari
letak daerah tersebut terhadap posisi bujurnya semakin kearah barat terhadap garis bujur
semakin besar intensitas curah hujannya. Tingginya curah hujan tersebut menimbulkan
berbagai bencana alam. (Saptono, 2007)Kabupaten Kuningan merupakan salah satu
kabupaten yang terletak di bagian Selatan Pulau Jawa serta berada di kaki Gunung
Ciremai. Kondisi topografi Kabupaten Kuningan sangat bervariatif mulai dari dataran
hingga perbukitan namun sebagaian besar wilayahnya merupakan perbukitan dan
pegunungan dengan puncak tertingginya yaitu Gunung Ciremai.Secara morfologi,
Kabupaten Kuningan dibagi menjadi dua bagian yaitu Satuan Morfologi Dataran yang
terlatak di Kecamatan Kuningan, Kecamatan Ciawigebang, dan Kecamatan Garawangi. Pada
morfologi dataran ini mempunyai kemiringan lereng antara 0%-5% dengan bentuk bentang
alam yang datar atau sedikit bergelombang. Satuan Morfologi Perbukitan dibagi menjadi
tiga yaitu Subsatuan Morfologi Perbukitan Landai, Subsatuan Morfologi Perbukitan
Sedang dan Subsatuan Morfologi Pebukitan Terjal. Pada Subsatuan Morfologi Landai
menempati wilayah utara Kabupaten Kuningan. Bentuk bentang alamnya memperlihatkan
relief halus membentuk bukit-bukit dengan kemiringan lereng 5%-15%. Pada Subsatuan
Morfologi Perbukitan Sedang menempati wilayah bagian timur Kabupaten Kuningan.
Bentuk bentang alamnya memperlihatkan relief baik halus maupun kasar,
membentuk bukit-bukit dengan kemiringan lereng 15%-40%. Pada Subsatuan
Morfologi Perbukitan Terjal menempati bagian selatan Kabupaten Kuningan meliputi
Kecamatan Subang, Kecamatan Cilebak, Kecamatan Ciniru dan Kecamatan Salajambe.
Bentuk bentang alamnya memperlihatkan relief kasar membentuk bukit-bukit terjal
dengan kemiringan lereng yang bervariasi namun lebih didominasi oleh lereng yang
curam.Kabupaten Kuningan memiliki iklim tropis dengan temperatur berkisar 19-32oC
dengan kelembaban udara 80%-90%. Semakin ke arah barat suhu udara di Kabupaten
Kuningan semakin rendah karena ketinggian permukaan tanahnya semakin tinggi. Curah
hujan di Kabupaten Kuningan berkisar 1000-1500 mm/tahun. Curah hujan di
Kabupaten Kuningan tidak merata sepanjang tahun. Pada musim penghujan di beberapa
wilayah Kabupaten Kuningan mengalami kekeringan sedangkan di bagian wilayah
Kabupaten Kuningan sekitar Gunung Ciremai dapat mencapai 5000 mm/ tahun.Kondisi
geografis dan kondisi iklim Kabupaten Kuningan yang seperti itu menyebabkan sering

4
terjadinya berbagai bencana. Berikut ini merupakan tabel kejadian bencana yang
terjadi di Kabupaten Kuningan pada rentan tahun 2015-2017.

Tabel 1. Jumlah Kejadian Bencana di Kabupaten Kuningan

Jumlah Kejadian
Jenis Bencana
2015 2016 2017
Longsor 90 131 137
Banjir 6 6 15
Puting Beliung 21 41 25
Kebakaran 60 28 40
Sumber : BPBD Kabupaten Kuningan 2018

Berdasarkan data diatas bencana tanah longsor merupakan bencana yang sering
terjadi di wilayah Kabupaten Kuningan dibandingkan bencana lainnya. Setiap
tahunnya, jumlah kejadian tanah longsor terus bertambah. Pada tahun 2015 terdapat 90
kali kejadian, pada tahun 2016 mengalami kenaikan yang signifikan jumlah kejadian
tanah longsor bertambah menjadi 131 kali kejadian, sedangkan pada tahun 2017 jumlah
kejadian bertambah sedikit yaitu sebanyak 137 kali kejadian. Dari data ini
membuktikan bahwa tanah longsor perlu untuk diperhatikan karena terus adanya
peningkatan pada setiap tahunnya.Salah satu kecamatan yang sering mengalami kejadian
tanah longsor adalah Kecamatan Ciniru. Wilayah yang sering mengalami kejadian
tanah longsor di Kecamatan Ciniru adalah Desa Pinara dan Desa Gunungmanik, pada
setiap tahunnya kedua desa tersebut sering mengalami kejadian tanah longsor.

Sering terjadinya kejadian tanah longsor di Kecamatan Ciniru dikarenakan


kondisi geografi di wilayah Kecamatan Ciniru berada pada kawasan Subsatuan
Morfologi Perbukitan Terjal sehingga memiliki kemiringan lereng yang bervariatif
dengan kisaran antara 5%-60%. Bentuk bentang alamnya membentuk perbukitan yang
berelif kasar sehingga Kecamatan Ciniru memiliki bentuk lahan yang
bergelombang. Kecamatan Ciniru secara geomorfologi terbagi menjadi dua bagian yaitu
Satuan Geomorfologi Sinklinaldan Satuan Geomorfologi Alluvial. Sebagian besar
wilayahnya berada pada kawasan Satuan Geomorfologi Sinklinal yang merupakan
kawasan perbukitan dengan lereng yang cukup terjal hingga sangat terjal. Curah hujan di
Kecamatan Ciniru berada pada kisaran 2000-2500 mm/tahun.Penggunaan lahan di
Kecamatan Ciniru lebih banyak di dominasi oleh lahan produktif berupa sawah dan
ladang serta lahan non produktif berupa hutan alam dan hutan lindung. Beberapa desa
yang berada pada kawasan geomorfologi sinklinal seperti Desa Gunungmanik dan Desa
Pinara rumah warga biasanya dibangun pada area lereng sehingga menambah beban
tanah yang dapat memicu terjadinya tanah longsor.

Kecamatan Ciniru merupakan kecamatan yang memiliki potensi bencana tanah


longsor dalam kategori sedang dan tinggi. Hampir seluruh wilayah di Kecamatan
Ciniru berada pada kategori potensi bencana tanah longsor tinggi sedangkan pada
kategori sedang hanya mencakup sebagian wilayah di tiga desa yaitu Desa Rambatan, Desa
Ciniru, dan Desa Cipedes serta sebagian kecil di Desa Pamupukan.Menurut Badan Pusat

5
Statistik (BPS) Kabupaten Kuningan pada tahun 2018, Kecamatan Ciniru memiliki
jumlahpenduduk sebanyak 18.245 jiwa yang tersebar di sembilan desa, yaitu :

Tabel 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Ciniru

Desa JumlahPenduduk (jiwa)


Gunungmanik 1147
Pinara 1216
Cipedes 5005
Pamupukan 1809
Cijemit 2224
Ciniru 1333
Rambatan 3460
Longkewang 1019
Mungkaldatar 1032
Sumber : BPS Kabupaten Kuningan, 2019

Desa yang memiliki jumlah penduduk tinggi adalah di Desa Cipedes, Desa
Rambatan, dan Desa Cijemit sedangkan desa yang memiliki jumlah penduduk paling rendah
yaitu Desa Longkewang. Penduduk di Kecamatan Ciniru sebagian besar bertemat
tinggal di kawasan potensi longsor tinggi.Melihat peta potensi longsor dan jumlah penduduk
tiap desa di Kecamatan Ciniru dapat diasumsikan bahwa rata-rata penduduk bertempat
tinggal pada potensi longsor tinggi.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana tingkat kerentanan tanah
longsor di Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan ?”

C. Tujuan
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui fenomena terjadinya tanah longsor,
dampak yang terjadi, faktor-faktor yang berpengaruh, dan analisis mekanisme kejadiannya.
Dengan diketahuinya permasalahan bencana tanah longsor tersebut, maka dapat dilakukan
penanganannya yang efektif dan efisien serta menjadikan acuan dalam pengurangan
risiko bencana pada lokasi daerah lain yang mempunyai potensi bencana tanah longsor
serupa.

BAB II
PENGENALAN DAN PENGKAJIAN ANCAMAN BENCANA / BAHAYA DAN
KERENTANAN
A. Pengenalan Bahaya (hazard)
Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi
bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam, bencana
ulah manusia ataupun kedaruratan komplek. Beberapa potensi tersebut antara lain adalah
gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran lahan
dan hutan, kebakaran perkotaan dan permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan

6
teknologi dan konflik sosial. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya
ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat
antara lain pada peta rawan bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia
adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta kerentanan bencana tanah longsor,
peta daerah bahaya bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi
bencana banjir, dan lain-lain.

Ancaman bahaya yang terdapat di wilayah / daerah yang diperoleh dari data kejadian
bencana di desa ciniru kecamatan kuningan.

Desa JumlahPenduduk (jiwa)


Gunungmanik 1147
Pinara 1216
Cipedes 5005
Pamupukan 1809
Cijemit 2224
Ciniru 1333
Rambatan 3460
Longkewang 1019
Mungkaldatar 1032
Sumber : BPS Kabupaten Kuningan, 2019

Tanah Longsor

Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun
percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan
tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Pemicu dari terjadinya gerakan tanah ini adalah
curah hujan yang tinggi serta kelerengan tebing.

Bencana tanah longsor sering terjadi di Indonesia yang mengakibatkan kerugian jiwa
dan harta benda. Untuk itu perlu ditingkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi jenis bencana
ini.

B. Pemahaman Tentang Kerentanan Masyarakat


Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman.
Kerentanan ini dapat berupa:

1. Kerentanan Fisik

Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan
menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang
berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang
tinggal di bantaran sungai dan sebagainya.

2. Kerentanan Ekonomi

7
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan tingkat
kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin
atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan
finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.

3. Kerentanan Sosial

Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap ancaman


bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana
akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang
rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.

4. Kerentanan Lingkungan

Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan. Masyarakat


yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu terancam bahaya kekeringan.
Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana
tanah longsor dan sebagainya.

BAB III
ANALISIS KEMUNGKINAN DAMPAK BENCANA

Pertemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan kerentanan masyarakat,


akan dapat memposisikan masyarakat dan daerah yang bersangkutan pada tingkatan risiko
yang berbeda. Hubungan antara ancaman bahaya, kerentanan dan kemampuan dapat
dituliskan dengan persamaan berikut:

Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)

Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko daerah
tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat kerentanan masayarakat atau
penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi
tingkat kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya.

Dengan menggunakan perhitungan analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran


risiko yang dihadapi oleh daerah yang bersangkutan. Sebagai langkah sederhana untuk
pengkajian risiko adalah pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua
bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di perkirakan kemungkinan terjadinya
(probabilitasnya) dengan rincian :

• 5 Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%).

• 4 Kemungkinan besar (60 – 80% terjadi tahun depan, atau sekali dalam 10 tahun
mendatang)

• 3 Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau sekali dalam 100 tahun)

8
• 2 Kemungkinan Kecil (20 – 40% dalam 100 tahun)

• 1 Kemungkian sangat kecil (hingga 20%)

Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya apabila bencana itu memang
terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara lain:

• jumlah korban;

• kerugian harta benda;

• kerusakan prasarana dan sarana;

• cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan

• dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan,

maka, jika dampak inipun diberi bobot sebagai berikut:

 5 Sangat Parah (80% - 99% wilayah hancur dan lumpuh total) 4 Parah (60 –
80% wilayah hancur)
 3 Sedang (40 - 60 % wilayah terkena berusak)
 2 Ringan (20 – 40% wilayah yang rusak) 1 Sangat Ringan (kurang dari 20% wilayah
rusak)

Maka akan di dapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :


NO JENIS ANCAMAN PROBABIL DAMP
BAHAYA ITAS AK
1. Gempa Bumi Diikuti 1 4
Tsunami
2. Tanah Longsor 4 2
3. Banjir 4 3
4. Kekeringan 3 1
5. Angin Puting Beliung 2 2

Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1)

- Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah)

- Bahaya/ancaman sedang nilai 2

- Bahaya/ancaman rendah nilai 1

BAB IV
PILIHAN TINDAKAN PENANGGULANGAN BENCANA
Pilihan tindakan adalah berbagai upaya penanggulangan yang akan dilakukan
berdasarkan perkiraan ancaman bahaya yang akan terjadi dan kemungkinan dampak yang
ditimbulkan. Secara lebih rinci pilihan tindakan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

9
A. Pencegahan dan Mitigasi
Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan, bertujuan
untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh
bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian,
yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.

Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:

1. Penyusunan peraturan perundang-undangan

2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.

3. Pembuatan pedoman/standar/prosedur

4. Pembuatan brosur/leaflet/poster

5. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana

6. Pengkajian / analisis risiko bencana

7. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan

8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana

9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum

10. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan

Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:

1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah


rawan bencana dsb.

2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin


mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.

3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.

4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman.

5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.

1. Evakuasi jika terjadi bencana.

2. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan


mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi
pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.

Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat non-struktural
(berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan
dan prasarana).

10
B. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna
menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan
masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan
terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain:

1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.

2. Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor Penanggulangan bencana (SAR,
sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).

3. Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan

4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.

5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung
tugas kebencanaan.

6. Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning)

7. Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)

8. Mobilisasi sumberdaya (personil dan prasarana/sarana peralatan)

C. Tanggap Darurat
Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan pertolongan untuk
membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:

1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya;

2. Penentuan status keadaan darurat bencana;

3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;

4. Pemenuhan kebutuhan dasar;

5. Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan

6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

D. Pemulihan
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang dilakukan
pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana
yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan
penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi:

1. Perbaikan lingkungan daerah bencana;

11
2. Perbaikan prasarana dan sarana umum;

3. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;

4. Pemulihan sosial psikologis;

5. Pelayanan kesehatan;

6. Rekonsiliasi dan resolusi konflik;

7. Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;

8. Pemulihan keamanan dan ketertiban;

9. Pemulihan fungsi pemerintahan; dan

10. Pemulihan fungsi pelayanan publik

Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana


dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna. Oleh sebab itu
pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh pengkajian
dari berbagai ahli dan sektor terkait.

1. Pembangunan kembali prasarana dan sarana;

2. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;

3. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat

4. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan
bencana;

5. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan
masyarakat;

6. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;

7. Peningkatan fungsi pelayanan publik; atau

8. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

BAB V
MEKANISME KESIAPAN DANPENANGGULANGAN DAMPAK BENCANA
Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi :

• Tahap prabencana,
• Saat tanggap darurat, dan
• Pascabencana.

12
A. Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :

• Dalam situasi tidak terjadi bencana


• Dalam situasi terdapat potensi bencana

1. Situasi Tidak Terjadi Bencana

Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan
analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana
yang nyata.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :

a. perencanaan penanggulangan bencana;

b. pengurangan risiko bencana;

c. pencegahan;

d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;

e. persyaratan analisis risiko bencana;

f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;

g. pendidikan dan pelatihan; dan

h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

2. Situasi Terdapat Potensi Bencana

Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan kesiap siagaan, peringatan dini dan
mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana.

a. kesiapsiagaan

b. peringatan dini

c. mitigasi bencana

Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi stakeholder,oleh
karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.

B. Saat Tanggap Darurat


Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:

1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;

2. Penentuan status keadaan darurat bencana;

3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;

13
4. Pemenuhan kebutuhan dasar;

5. Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan

6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

C. Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:

1. Rehabilitasi; dan

2. Rekonstruksi.

D. Mekanisme Penanggulangan Bencana


Mekanisme penanggulangan bencana yang akan dianut dalam hal ini adalah mengacu
pada UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan

Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Dari peraturan perundang- undangan tersebut di atas, dinyatakan bahwa mekanismetersebut


dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu :

1. Pada pra bencana maka fungsi BPBD bersifat koordinasi dan pelaksana,

2. Pada saat Darurat bersifat koordinasi, komando dan pelaksana

3. Pada pasca bencana bersifat koordinasi dan pelaksana.

BAB VI
ALOKASI DAN PERAN PELAKU KEGIATAN PENANGGULANGAN BENCANA
A. Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait
Dalam melaksanakan penanggulangan becana di daerah akan memerlukan koordinasi dengan
sektor. Secara garis besar dapat diuraikan peran lintas sektor sebagai berikut :

1. Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan pembangunan daerah

2. Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik termasuk obat-obatan


dan para medis

14
3. Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan dasar lainnya
untuk para pengungsi

4. Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah, penyiapan lokasi dan jalur
evakuasi, dan kebutuhan pemulihan sarana dan prasarana.

5. Sektor Perhubungan, melakukan deteksi dini dan informasi cuaca/meteorologi dan


merencanakan kebutuhan transportasi dan komunikasi

6. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan mengendalikan upaya
mitigatif di bidang bencana geologi dan bencana akibat ulah manusia yang terkait dengan
bencana geologi sebelumnya

7. Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan pengerahan dan pemindahan korban
bencana ke daerah yang aman bencana.

8. Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraan penanggulangan


bencana pada masa pra bencana

9. Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif khususnya


kebakaran hutan/lahan

10. Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan mengendalikan upaya yang bersifat
preventif, advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan bencana.

11. Sektor Kelautan merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana
tsunami dan abrasi pantai.

12. Sektor Lembaga Penelitian dan Peendidikan Tinggi, melakukan kajian dan penelitian
sebagai bahan untuk merencanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada masa pra
bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

13. TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan pengamanan saat darurat termasuk
mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena penghuninya mengungsi.

B. Peran dan Potensi Masyarakat


1. Masyarakat

Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana harus
mampu dalam batasan tertentu menangani bencana sehingga diharapkan bencana tidak
berkembang ke skala yang lebih besar.

2. Swasta

Peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta cukup menonjol pada saat
kejadian bencana yaitu saat pemberian bantuan darurat. Partisipasi yang lebih luas dari sektor
swasta ini akan sangat berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi
bencana.

15
3. Lembaga Non-Pemerintah

Lembaga-lembaga Non Pemerintah pada dasarnya memiliki fleksibilitas dan kemampuan


yang memadai dalam upaya penanggulangan bencana. Dengan koordinasi yang baik lembaga
Non Pemerintah ini akan dapat memberikan kontribusi dalam upaya penanggulangan bencana
mulai dari tahap sebelum, pada saat dan pasca bencana.

4. Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian

Penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika dilakukan berdasarkan penerapan
ilmupengetahuan dan teknologi yang tepat. Untuk itu diperlukan kontribusi pemikiran dari
para ahli dari lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian.

5. Media

Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik. Untuk itu peran media
sangat penting dalam hal membangun ketahanan masyarakat menghadapi bencana melalui
kecepatan dan ketepatan dalam memberikan informasi kebencanaan berupa peringatan dini,
kejadian bencana serta upaya penanggulangannya, serta pendidikan kebencanaan kepada
masyarakat.

6. Lembaga Internasional

Pada dasarnya Pemerintah dapat menerima bantuan dari lembaga internasional, baik pada
saat pra bencana, saat tanggap darurta maupun pasca bencana. Namun demikian harus
mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai gambaran lebih rinci, dapat diperiksa pada tabel contoh berikut :
Dep PU

LSM
Depdagri
TNI/POLRI
Depkes
Depsos

Dep.ESDM
BMG
BNPB

dll

Pilihan Instansi
Tindaka
n Kegiatan
Pra bencana 1. Pembuatan Peta
Rawan
saat tidak 2.Penyuluhan
terja- di 3.Pelatihan
bencana
4.Pengembangan SDM
5.Analisis risiko &
bahaya
6 Litbang
7.Dan lain-lain
Pra bencana 1 Pembentukan POSKO
saat terdapat 2.Peringatan
Potensi 3..Rencana Kontinjensi
bencana 4.Dan lain-lain
Pada 1.Pernyataan Bencana
Saat 2. Bantuan Darurat
Tangga 3.Dan lain-lain

16
p
Pasca Bencana 1. Kaji Bencana
2. Rehabilitasi
3. Rekonstruksi
O = Penanggung Jawab

∆ = Terlibat Langsung

+ = Terlibat Tidak Langsung

C. Pendanaan
Sebagian besar pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan Penanggulangan bencana terintegrasikan
dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang dibiayai dari anggaran
pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Kegiatan sektoral dibiayai
dari anggaran masing-masing sektor yang bersangkutan.

Kegiatan-kegiatan khusus seperti pelatihan, kesiapan, penyediaan peralatan khusus dibiayai


dari pos-pos khusus dari anggaran pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau
kabupaten/kota.

Pemerintah dapat menganggarkan dana kontinjensi untuk mengantisipasi diperlukannya dana


tambahan untuk menanggulangi kedaruratan. Besarnya dan tatacara akses serta
penggunaannya diatur bersama dengan DPR yang bersangkutan.

Bantuan dari masyarakat dan sektor non-pemerintah, termasuk badan-badan PBB dan
masyarakat internasional, dikelola secara transparan oleh unit-unit koordinasi.

Contoh rekapitulasi (matriks) Rencana Penanggulangan Bencana :

No Kagiatan Pelaku Sumber dana Keterangan


1 Pambuatan Dinas PU DIPA
Tanggul
2 Penyuluhan BNPB, Pemerintah :
Pengurangan Depkes, DIPA LSM :
Risiko LSM Mandiri
.. dan
seterusnya

BAB VII
Laporan Singkat Pemeriksaan Gerakan Tanah Di Kecamatan Ciniru Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat
Dusun Babakan, Desa Pinara

1. Lokasi Gerakan Tanah

Gerakan tanah terjadi di wilayah Dusun Babakan, Desa Pinara, Kec. Ciniru, Kab. Kuningan,
Prov. Jawa Barat pada hari Senin 19 Februari 2018 malam hari setelah turun hujan deras

17
sebelumnya. Lokasi gerakan tanah terletak pada koordinat 070 05” 17,06” LS dan 1080 30”
42,08” BT, dengan ketinggian sekitar 626 meter diatas muka laut.

2. Jenis dan Dampak Gerakan Tanah

Jenis gerakan tanah adalah Longsoran bahan rombakan, dengan kemiringan lereng 360 dan
bagian bawah 200 panjang 305 meter, lebar 52 meter, dengan arah umum gerakan tanah N
100 E. Gerakan tanah mengakibatkan tertutupnya akses jalan desa serta mengancam
perkampungan Dusun Babakan dan Pinara.

4. Kondisi Umum Daerah Bencana

• Morfologi, Morfologi daerah bencana merupakan bagian morfologi perbukitan


bergelombang dengan relief rendah hingga kasar dengan kemiringan lereng antara 8 – 550,
setempat-setempat pada gawir lereng dan tebing sungai kemiringan hampir tegak yang
berujung di S. Cipicung. Sungai ini mempunyai lebar sekitar 2 meter, berair cukup baik di
musim hujan maupun kemarau. Adapun lereng yang mengalami longsor berasal dari
perbukitan dengan kemiringan 550.

• Geologi, Geologi daerah Babakan Pinara disusun oleh Formasi Halang (Tmhg) Anggota
Gunung Hurip, terdiri dari breksi sedimen gunungapi & konglomerat bersusunan andesit dan
basal bersisipan batupasir, serpih dan batulempung pasiran (Kastowo 1975).

• Tataguna Lahan, Tataguna lahan daerah bencana berupa pesawahan dan hutan, kebun
campuran yang menempati lerengnya baik di atas maupun lereng bawah.

• Keairan, Air cukup melimpah di daerah bencana, baik dari dari mata air yang dimanfaatkan
untuk kebutuhan air minum dan MCK.

• Kerentanan Gerakan Tanah, Berdasarkan Peta Prakiraan Wilayah Potensi Terjadi Gerakan
Tanah pada Bulan Februari 2018 (Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi), lokasi gerakan tanah terletak pada daerah yang berpotensi gerakan tanah tinggi,
artinya daerah ini mempunyai potensi tinggi untuk terjadi gerakan tanah apabila dipicu oleh
curah hujan yang tinggi/diatas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah
sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan, sedangkan gerakan tanah
lama dapat aktif kembali.

5. Faktor Penyebab Gerakan Tanah

Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah di lokasi ini antara lain:

• Kemiringan lereng yang terjal

• Tanah lapukan yang tebal, gembur, sarang, mudah menyerap air

• Faktor keairan, baik karena curah hujan tinggi berlangsung lama dan munculnya mata air
pada lereng, sehingga air meresap kedalam tanah yang gembur tersebut dan melicinkan
batuan lunak yang kedap air

18
• Adanya lahan menjadi pesawahan

• Penataan air yang belum maksimal

6. Mekanisme Gerakan Tanah

Longsoran bahan rombakan bergerak dengan cepat, berawal air drainase dan mata air yang
menjenuhi lereng, ditambah hujan deras sebelumnya yang mengakibatkan lereng tambah
jenuh air. Air meresap masuk ke dalam tanah lapukan yang tebal, sarang, mudah menyerap
air, sehingga bobot masa tanah bertambah dan kestabilan terganggu dan tanah bergerak
dengan bidang gelincir antara tanah pelapukan dan batuan penyusunnya, yang bertindak
sebagai bidang gelincir gerakan tanah.

7. Saran/Rekomendasi

Beberapa hal yang perlu direkomendasikan dari hasil pemeriksaan adalah :

• Segera dilakukan pembersihan material longsoran yang menutupi badan pada jalan;

• Merubah lahan pesawahan pada lereng bawah dan tengah diselang seling dengan tanaman
palawija untuk mengurangi tingkat kejenuhan tanah atau ditanami pohon yang kuat berakar
dalam untuk menahan lereng;

• Penataan dan pengendalian air permukaan dan mata air dengan membuat permanen drainase
diatas lereng atas dan bawah;

• Mengontrol lereng bagian atas maupun bawah, pada saat musim hujan jika ada tanda tanda
retakan tanah, segera diisi dengan tanah liat dan dipadatkan, jika masih terjadi retakan
semakin lebar segera laporkan ke pihak berwenang;

• Lokasi ini masih berpotensi untuk terjadi gerakan tanah susulan, sehingga perlu sosialisasi
dan kewaspadaan bagi masyarakat di sekitar lokasi bencana dan bila perlu dipasang alat
pantau longsor;

• Perlu dipasang rambu-rambu bencana tanah longsor.

19
BAB VIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkanbeberapa
hal sebagai berikut ini:

1. Identifikasi penyebab rawan tanah longsor di Kabupaten


Kuninganberdasarkan analisis kestabilan dan kelembapan tanah adalah penggunaan
lahan yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi di wilayah dengan
kelerengan curamsehingga menyebabkan aliran permukaan (surface run off) meningkat
danmenggerus solum tanah. Longsor yang terjadidi Kabupaten Kuningan
adalahdikategorikan sebagai luncuran(slides);

2. Pola persebaran rawan tanah longsor ini yang hampir sering terjadi di wilayah tersebut
karena merupakan perbukitan dan pegunungan dengan lereng yang curam.

3. Mitigasi bencana tanah longsor di Kabupaten Kuningan adalah:

a.Sebelum terjadi bencana masyarakat/pemerintah daerah memberi tanda khusus pada


daerah rawan longsor, agar masyarakat sebaiknya menjauh dan tidak membangun
tempat tinggal di daerah yang sudah diberi tanda tersebut, selain itu masyarakat
dan pemerintah ikut serta dalam melakukan reboisasi pada lahan yang gundul
terutama pada daerah rawan longsor, apabila melihat retakan/penurunan tanah segera
hubungi pihak yang bertanggung jawab menangani bencana.

b.Ketika terjadi bencana tanah longsor Antara lain bagaimana


menyelamatkan diri dan pergi ke tempat yang lebih aman yang sudah diberi tanda
titik kumpul ketika terjadi bencana tersebut.

c. Sesudah bencana tanah longsor terjadi agar melakukan tindakan


penyelamatan terhadap korban secepatnya ke daerah yang lebih aman, melakukan
penyelamatan harta benda yang masih digunakan dan membuat tempat penampungan
sementara untuk korban yang terkena dampak tanah longsor tersebut.

B. Saran
Penelitian ini bersifat komputerisasi teknologi yang mengacu kepada
integerasi Sistem Informasi Geografis dan belum menggunakan teknis manual konvensional
dengan tumpang susun peta. Selain itu belum memperhatikan faktor-faktor penyebab
longsor yang lain yaitu faktor arah lereng, pola drainase,jarak dari saluran drainase,
dan jarak dari jalan raya, dalam mengidentifikasikan wilayah Dusun Babakan, Desa
Pinara Kecamatan Ciniru yang rawan longsor di Kabupaten Kuningan, untuk itu terdapat
peluangadanya penyempurnaan penelitian ini dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut.
Dalam rangka melakukan pencegahan dari bencana ini. Dapat dilakukan dengan cara
dibawah ini:

20
1.Sebaiknya buatlah terasering (sengkedan), ada lereng yang terjal bila membangun
permukiman
2.Segera menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam tanah
melalui retakan
3.Sebaiknya jangan menebang pohon di lereng dan jangan membangun rumah di bawah
tebing.
4.Sebaiknya mendirikan permukiman dan bangunan melihat kondisi lereng apabila lereng
tertalalu terjal sebaiknya jangan dilakukan pembangunan di daerah tersebut.

21
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penanggulangan Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara, 2014. Data Bencana Tanah
Longsor di kabupaten kuningan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Badan Geologi , di akses 01 April 2021
https://bit.ly/3ug5VU2

Ardiyansyah. 2007 . Identifikasi wilayah rawan longsor dengan menggunakan ekstensi


SINMAP dalam Arc View 3.3. Depok : Fakultas Geografi Universitas Indonesia.

Ariani , Aliefia Putri. 2014. Mitigasi Bencana Tanah Longsor. Bandung : IlmuTanah
Universitas Padjajaran

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penaggulangan


Bencana, Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai