Anda di halaman 1dari 15

STUDI HUKUM ISLAM

SEJARAH SOSIAL HUKUM ISLAM MASA


DINASTI UMMAYYAH DAN ABBASIYAH

Oleh:
SETYO BUDI WICAKSONO-11020120085
DAVANO ARTA ALZAMORA – 11030120090

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021
ii

KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala rahmt
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah
Sosial Hukum Islam Di Masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah.” Sholawat serta
slam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW. Tidak
Lupa kami ucapkan terimakasih kepada bapak Muhammad Asyari,M.HI. selaku
dosen mata kuliah studi Hukum Islam.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka akami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat emperbaiki makalah ini.
Semoga dengan makalah ini, para pembaca dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna
memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Surabaya, 2 April 2021

Penulis
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i


KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
A. Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Dinasti Ummayah ................................ 3
B. Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah ................................ 6
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 12
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tradisi pemikiran hukum (Islam), secara sederhana telah dipahami bahwa
masyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup yang berbeda. Perbedaan ini
dapat dibuktikan di mana perilaku individu tertentu terkadang tampak tidak
diakomodir sebagai hukum yang legal untuk ukuran yang modern, melainkan dinilai
sebatas pada perilaku adat dan sosial semata.

Dalam perkembangan sejarahnya, dinasti Umayyah berkuasa kurang lebih 90


tahun. Dinasti ini dimulai dari masa pemerintahan Mu’awiyah sejak tahun 41 H/661
M dan berakhir pada masa Marwan II tahun 132 H/750 M. Adapun ibukota
pemerintahan Umayyah berada di Damaskus;1 dan pemindahan ibukota ini tentu
telah merubah semangat kompromi atas penyebaran hukum Islam yang telah
berkembang selama periode Madinah.2 Peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian
menyebabkan perubahan terhadap Islam secara mendalam. Serangkaian penaklukan
militer melahirkan kehati-hatian, yang semakin lama semakin memuncak terhadap
kekuasaan politik. Akibatnya, pertimbangan terhadap pengembangan dan pemikiran
Islam termasuk hukum lambat laun semakin menyusut dan bukan menjadi
pertumbuhan skala prioritas.1
Berdirinya Dinasti Abbasiyah berawal sejak merapuhnya kekuasaan Bani
Umayyah yang berujung pada keruntuhan Dinasti Umayah di Damaskus. Dengan
segala konflik yang ada pada tubuh Bani Umayyah, menjadikankan Bani Abbasiyah
maju sebagai pengganti kepemimpinan umat Islam. Wajah revolusi kepemimpinan

1
Dedy Sumardi and others, ‘Tradisi Pemikiran Hukum Islam’, 1.1.
2

Abbasiyah terhadap Umayyah banyak mendapatkan simpati dari masyarakat,


terutama dari kalangan Syi’ah. Dukungan itu hadir disebabkan janji untuk
menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh Khulafaurrasyidin
bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak dari Bani Umayyah atas Kekhalifahan
Islam,sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara garis keturunan
lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, Bani Umayyah menguasai bangku
kekhalifahan Islam secara paksa, dengan melalui tragedi Perang Siffin. Oleh karena
itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar
biasa melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah Kekuasaan Bani
Abbasiyah berlangsung selama lima abad sejak tahun 750-1258 M, melanjutkan
kekuasaan Bani Umayyah.2 Lalu bagaimanakah perkembangan hukum islam pada
kedua masa atau periode tersebut?

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perkembangan hukum Islam pada masa Dinasti Ummayyah?
2. Bagimanakah Perkembanagan hukum Islam pada masa Dinasti
Abbasiyah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembanagan hukum Islam pada masa diasti
Ummayyah.
2. Untuk mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa dinasti
Abbasiyah.

2
Nunzairina Nunzairina, ‘Dinasti Abbasiyah: Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan, Dan Kebangkitan
Kaum Intelektual’, JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3.2 (2020), 93
<https://doi.org/10.30829/juspi.v3i2.4382>.
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Dinasti Ummayah
Pada masa atau era dinasti Umayyah, hukum Islam lebih
mengedepankan perbuatan atau pendapat sahabat. Model ini tentu
mengisyaratkan bahwa kalangan tabi’in sangat kental dengan alur pemikiran
ulama Hijaz (Madinah). Kecenderungan dalam model pemikiran seperti ini,
boleh jadi lantaran kebiasaan-kebiasaan mereka (tabi’in) masih terikat erat
secara psikologis maupun geografis dengan pemikiran ulama Hijaz. Oleh
karena itu, wajar saja para tabi’in lebih memilih pendapat sahabat ketika
merekonstruksi persoalan-persoalan hukum, dengan pertimbangan bahwa
sahabat lebih dekat dengan hadis.Bahkan dalam sejumlah literatur disebutkan
para tabi’in akan dengan mudah mengikat pendapat mereka dengan mengikuti
pemikiran para pendahulu dari kalangan sahabat, seperti ibn Abbas, ibn Umar,
Zubair Abdullah ibn Amr ibn Ash3
Berdasarkan kecenderungan ini,pemikiran hukum Islam pada masa
tabi`in mengarah kepada dua bentuk. Pertama, lebih banyak menggunakan
riwayat dibanding dengan penalaran akal. Metode demikian ini berkembang di
kalangan pakar hukum Islam Madinah dengan tokohnya Sa`id ibn al-
Musayyab. Kedua, lebih banyak menggunakan penalaran rasional
dibandingkan dengan menggunakan riwayat.Menurut ibn al-Qayyim, bahwa
hukum Islam pada masa tabi’in disebarkan olehpara pengikut 4 Sahabat
terkemuka, yaitu: ibn Mas’ud, Zaid ibn Tzabit, Abdullah ibn Umar dan
Abdullah ibn Abbas. Orang Madinah mengembangkan kembali hukum Islam

3
Sumardi and others.
4

dari hasil konstruksi Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar; masyarakat
Mekkah diwarisi oleh fikih Abdullah ibn Abbas; sementara komunitas Irak
melalui fikih Abdullah ibn Mas’ud. Pemetaan terhadap literasi fikih melalui
keragaman musnad-nya melahirkan sejumlah isnad baru dari kalangan tabi’in,
dan ini bisa dicatat pada beberapa tokoh utamanya, yaitu: Atha ibn Rubah,
Amr ibn Dinar, Ubaidah ibn Umair dan Ikrimah di Mekkah, Amr ibn
Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani dan Abdullah ibn Auf di Bashrah,
Alqamah ibn Qais an-Nakha’i, Syuraih ibn Haris dan Ubadah ibn Salmani di
Kufah, Yazid ibn Abi Habib dan Bakir ibn Abdullah di Mesir, Hisyam ibn
Yusuf dan Abdurrazaq ibn Hammam di Yaman dan sejumlah ulama hukum
Islam yang berada di Irak.
Berdasarkan silsilah dan mata rantai ini, maka turunan pemikiran hukum
Islam era tabi’in justru terbelah dan mengarah kepada dua bentuk yaitu
1. lebih banyak menggunakan riwayah dibanding dengan penalaran
akal. Metode demikian ini berkembang di kalangan pakar hukum Islam-
Madinah, dengan tokohnya Sa’id ibn al- Musayyab.
2. lebih banyak menggunakan penalaran rasional dibandingkan dengan
pola penggunaan riwayah. Metode pemikiran ini berkembang di
kalangan pakar hukum Islam-Kufah, dengan tokohnya Ibrahim al-Nakha’i.
Cara ini lebih dikenal dengan sebutan “Aliran Kufah”.
Para fuqaha yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk
menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan memandang hukum
syari’at dalam takaran rasionalitas. Mereka gemar menyelami nash-nash yang
ada dalam rangka menemukan ’illah, hikmah dan tujuan-tujuan moral yang
berada dibalik hukum yang tampak. Kecenderungan baru ini mendapatkan
tanggapan kritis dari para fuqaha yang tinggal di Hijaz (Madinah), yang
memandang hukum sebagai ketentuan Allah yang wajib diikuti. Mereka lebih
5

memilih memahami nash secara tekstual dan menganggap fatwa Sahabat


sebagai sumber hukum setelah Alquran dan Sunnah/al-Hadist.4
Proses penggunaan penalaranrasional pun kerap diwarnai atas dasar
metode dialektika (jadali) atau yang lebih dikenal dengan deduksi-logis
Model metode ini dapat dilihat berdasarkan cara tabi’in menjelaskan tentang
suatu hukum, dengan cara mengajukan pertanyaan- pertanyaan atau
pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa (tesis-tesis) dan antitesa. Kedua
pernyataan ini kemudian didiskusikan dengan prinsip-prinsip logika untuk
memperoleh kesimpulan (tesa akhir). Ditambahkan bahwa pendekatan pada
model ini terkadang menggunakan pendekatan analogi (qiyas) dan
argumentasi (illat), rumus-rumus/asas, dan termasuk konsideran tujuan
kendati tidak terlalu konsisten. Meski kemudian, penggunaan model ini untuk
menentukan hukum terhadap suatu masalah yang secara fisik tidak disebut
dalam nash, tetapi secara simbolik diisyaratkan oleh nash karena mempunyai
referensi tertentu.
Namun karena cara berpikir analogisini terkesan kaku, maka
ditemukan metode berpikir yang lebih longgar, sebagai pengembangan dari
qiyas, yaitu istihsan. Ini menunjukkankembalinya kebebasanberpendapat
dalam bentuk baru. Sementara bagi kelompok Hijaz, makin diperkokohnya
konsep sunnah yang cenderung mengklaim generasi pendahulu sebagai
sumber dalam rangka mengkokohkan tradisi. Kesamaan keduanya terletak
pada metode dan garis perkembangan yang sama, yakni meninjau praktek
hukum dan politik setempat dari sudut pandang kaidah tingkah laku dalam al-
Qur’an. Namun sistem hukum mereka berbeda jauh yang disebabkan
perbedaan ruang. Kebebasan pendapat yang dinikmati ulama Kufah
membuahkan perbedaan pendapat yang tidak sedikit.

4
Riswadi, ‘Kerangka Epistemologi Pemikiran Hukum Islam Pada Era Dinasti Umayyah-Tabi’in’, Jurnal
Substantia, Vol. 18.No. 1 (2016), 51–66.
6

Pertentangan antara madzhab-madzhab pertama yang mapan, dan


kaum oposisiyang dogmatis mengkristal menjadi konflik antara penganut
kelonggaran pendapat pribadi (ahl al-ra’y) dan penganjur penggunaan hadits
Nabi Saw. semata secara ketat (ahl al-hadist). Lebih jauh lagi, perbedaan
pendapat tidak hanya terjadi antara satu madzhab dengan madzhab yang lain,
tetapi juga di dalam masing-masing madzhab. Hal ini menjadikan tidak
adanya keseragaman hukum (disparitas) merupakan ciri utama hukum di masa
itu.Meskipun ulama tabi’in dalam berijtihad mengikuti petunjuk dari cara
berijtihadulama Sahabat di masing-masing kota, namun dalam beberapa hal
mereka berbeda pendapat dengan ulama Sahabat, bahkan berbeda dengan apa
yang berlaku pada zaman Nabi.5

B. Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah

Perkembangan dan kemajuan hukum Islam pada masa ini di tandai


dengan kemajuan di bidang ilmu fiqih yang menunjukkan dinamika ummat
Islam dalam menjawab tantangan dan masalah yang dihadapinya. Sejak
Rasulullah SAW wafat keputusan hukum-hukum baru berkembang pesat, ini
dikarenakan sejak kekuasaan Islam di tangan Bani Ummaiyyah dan
Abbasiyah terus mengalami perluasan. Pada masa dinasti Bani Ummayyah
mahzab-mahzab fiqih belum terbentuk meskipun sebagian imam pendiri
mahzab yang empat hidup pada masa Dinasti Ummayyah. Ketika Dinasti
Abbasiyah menguasai pusat-pusat peradaban dan mengambil khasanah atau
kekayaan warisan budaya yang dimiliki bangsa-bangsa itu, maka muncullah
cara-cara baru membuat ijtihad hukum. Ijtihad hukum adalah upaya mencari

5
Asmawi, ‘Studi Hukum Islam.Pdf’, 2012.
7

ketetapan hukum suatu masalah dengan mendasarkan pada ayat-ayat Alqur’an


dan Hadits-hadits.

Hadits Nabi Setelah dilakukan pengumpulan Muhammad SAW pada


masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah, maka pada masa
Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk
menyusun kitab tafsir dan hadits. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam
bidang fiqh pada pertengahan abad ketujuh masehi yaitu Abu Hanifah (w. 767
M) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq dan mazhab ini telah
melahirkan al-Auza’i (w.774 M) dan al-Zahiri (w.883 M). Kemudian Imam
Malik bin Anas (w.795 M) sebagai ulama mazhab Madinah dari kalangan
muhadditsin dan fuqoha’ dengan karya monumentalnya al-Mutawattho’.
Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.820 M) yang muncul
sebagai jalan tengah antara mazhab Irak yang liberal dan Mazhab Madinah
yang konservatif dan mendominasi daerah Mesir. Selanjutnya lahir pula
Ahmad bin Hanbal (w.855 M) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadits. Secara
umum empat mazhab tersebut yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai
Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini.Dan oleh karena itu, masa
Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan
pada masa ini pula disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi
hakim dalam menggali hukum dari al-Quran dan al-Sunnah.
Keberadaan peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah ini sesungguhnya
melanjutkan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti
sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, banyak ekspansi-ekspansi wilayah
yang dilakukan oleh dinasti Abbasiyah sehingga perlu dibentuk dan
diperbanyak penanggung jawab serta pengamanan khususnya dalam segi
hukumnya. Penunjukan yang dimaksud dilakukan langsung oleh khalifah.
Salah satu dari pejabat daerah yang diangkat langsung oleh khalifah adalah
pejabat qadhi/hakim. Para qadli tersebut dipilih diantara para fuqaha’ yang
8

berpengaruh. Seorang hakim dituntut untuk menerapkan hukum islam bagi


permasalahan sipil warga muslim dan diserahi tugas menerima, memeriksa
dan mengadili setiap perkara yang diajukan umat islam kepada badan
peradilan.
Beberapa hal tumbuh dan berkembang terkait konstruksi hukum pada
masa dinasti Abbasiyah, yaitu :
1. Munculnya madzhab-madzhab
Setelah kota baghdad dijadikan sebagai ibu kota kerajaan Abbasiyah,
maka berkembanglah tradisi keilmuan islam. Setelah dilakukan
pengumpulan hadis Nabi Muhammad saw pada masa Umar bin Abdul
Aziz yang berasal dari Dinasti Umayyah, lalu pada dinasti Abbasiyah
dilanjutkan oleh khalifah al-Mansur dengan memerintahkan para ulama
untuk menyusun kitab Tafsir dan hadist.
3. Menjauhnya fuqaha dari jabatan hakim
Hal ini disinyalir karena adanya maksud untuk tidak menjadi hakim itu
hanya obesesi sesaat dan tidak merupakan kelainan dalam pribadi
seseorang. Para fuqaha’ itu khawatir kalau jabatan hakim itu tangan kanan
dari pemerintah. Dan hakim mengadili atas konsepsi dari pemerintah.

4. Beberapa bidang lain yang termasuk dalam bidang pelaksanaan hukum


Pada periode dinasti Abbasiyah juga terdapat lembaga-lembaga hukum
sebagai berikut :

a. Al-Nidham al-Madzalim, artinya lembaga yang diberi tugas


membeikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum, menegakkan ketertiban
hukum yang berada dalam wilayah pemerintah.
b. Al-Qadha, artinya badan yang bertugas membuat fatwa hukum dan
peraturan yang digali langsung dari dalil naqli.
9

c. Wilayatul Hisbat, artinya seseorang yang tugasnya mengatur


ketertiban umum, mengawasi hukum, menyelesaikan masalah-masalah
kriminal yang butuh penanganan segera.
d. Wilayatul Mazhalim, artinya badan yang bertugas menyelesaikan
perkara yang tidak dapat diputuskan oleh al-Qadha dan al-Hisbat.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang


dengansangat pesat sehingga anak-anak bahkan orang dewasa saling berlomba
dalam menuntut ilmu pengetahuan. Tingginya nilai pendidikan dalam
kehidupan, menyebabkan mayoritas masyarakat meninggalkan kampung
halaman mereka, demi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di kota, dan
salah satu indikator berkembang pesatnya pendidikan dan pengajaran ditandai
dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.6
Dalam dunia Islam sebelum munculnya lembaga pendidikan formal,
masjiddijadikan sebagai pusat pendidikan. Fungsi masjid selain untuk tempat
menunaikan ibadah juga dijadikan sarana dan fasilitas untuk pendidikan, di
antaranya tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat pengajian dari ulama-
ulama yang merupakan kelompok-kelompok (halaqah), tempat untuk
berdiskusi dan munazharah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga
dilengkapi dengan ruang perpustakaan yang berisikan buku-buku dari
berbagai macam ilmu pengetahuan yang cukup banyak.Selain masjid
sebenarnya telah berkembang pula lembaga-lembaga pendidikan Islam
lainnya baik yang bersifat formal maupun non-formal, lembaga-lembaga
iniberkembang terus bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bentuk-
bentuk lembaga pendidikan baik non formal maupun formal yang semakin

6
Dr. Agus Aditoni, M. Ag, ‘Dinasti Abbasiyah : Perkembangan Hukum Dan Pengadilan’, 1–17.
10

luas. Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa


Dinasti Abbasiyah.7

BAB III
PENUTUP

Tradisi pemikiran hokum Islam, secara sederhana telah dipahami


bahwa masyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup yang berbeda.
Perbedaan ini dapat dibuktikan di mana perilaku individu tertentu terkadang
tampak tidak diakomodir sebagai hukum yang legal untuk ukuran yang
modern, melainkan dinilai sebatas pada perilaku adat dan sosial semata. Tentu
pertimbangan yang mendasari pemikiran hukum ini akan menjadi sorotan
serius menakala dinasti Umayyah dan Abasiyyah memegang kekuasaan
pemerintahan. Kegiatan ijtihad dalam konteks hukum relatif sedikit
dipengaruhi oleh sifat kedaerahan dan tetap mengkompromikan perbuatan
atau pendapat sahabat.
Dalam konteks kebijakanhukum Islam, pemerintahan Umayyah
mengambil langkah yang siginifikan, yakni menjadikan hakim sebagai
pembentuk hukum yang hanya berlaku terhadap orang Islam. Para hakim
diperkenankan untuk menggunakan kreasinya dalam mengkombinasikan
hukum lokal dengan semangat Alquran dan norma-norma hukum temporer
yang berlaku di dalam masyarakat muslim pada waktu itu. Alasannya,

7
Marzuki, Pengantar Studi HUKUM ISLAM (Yogyakarta, 2013).
11

khalifah Umayyah tidak dapat untuk mengontrol perkembangan


kepemimpinan spiritual akar rumput. Para ulama membentuk kepemimpinan
semacam ini dan bertindak secara sangat spontan dan independen terhadap
rezim penguasa dan aspirasi-aspirasinya. Dalam kenyataannya, mereka lebih
dari para ahli hukum dalam arti biasa istilah tersebut digunakan, sebab mereka
tidak hanya menangani hukum, tetapi juga banyak sisi lainnya.
Faktor-faktor yang dinilai mempengaruhi perkembangan pembentukan
hukum pada masa Bani Abbasiyah adalah banyaknya mawali yang masuk
Islam, berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan, adanya
upaya melestarikan Al-Qur’an.
Produk pembentukan hukum Islam pada masa Bani Abbasiyah
ditandai dengan munculnya setidaknya 13 Mazhab. Seiring perjalanan waktu,
di kalangan kaum sunni hanya 4 mazhab yang masih tetap menyebar dan
berkembang serta masih dapat kita rasakan hingga saat ini. Adapun secara
literatur adanya pembukuan kitab-kitab fiqih(ushul fiqih), dan kitab-kitab
hadis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, para pemutus hukum atau
(hakim ulama) memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri dalam
hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Lembaga peradilan pada masa itu
belum dipengaruhi oleh penguasa. Putusan-putusan mereka berlaku untuk
rakyat biasa dan penguasa. Khalifahselalu mengawasi gerak-gerik hakim dan
memecat hakim-hakim yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah
ditentukan.
12

DAFTAR PUSTAKA

Aditoni, M. Ag, Dr. Agus, ‘Dinasti Abbasiyah : Perkembangan Hukum Dan


Pengadilan’, 1–17
Asmawi, ‘Studi Hukum Islam.Pdf’, 2012
Marzuki, Pengantar Studi HUKUM ISLAM (Yogyakarta, 2013)
Nunzairina, Nunzairina, ‘Dinasti Abbasiyah: Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan,
Dan Kebangkitan Kaum Intelektual’, JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam),
3.2 (2020), 93 <https://doi.org/10.30829/juspi.v3i2.4382>
Riswadi, ‘Kerangka Epistemologi Pemikiran Hukum Islam Pada Era Dinasti
Umayyah-Tabi’in’, Jurnal Substantia, Vol. 18.No. 1 (2016), 51–66
Sumardi, Dedy, Dinasti Umayyah, Mazhab Hukum, and Peradilan Islam, ‘Tradisi
Pemikiran Hukum Islam’, 1.1

Anda mungkin juga menyukai