Oleh:
SETYO BUDI WICAKSONO-11020120085
DAVANO ARTA ALZAMORA – 11030120090
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala rahmt
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah
Sosial Hukum Islam Di Masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah.” Sholawat serta
slam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW. Tidak
Lupa kami ucapkan terimakasih kepada bapak Muhammad Asyari,M.HI. selaku
dosen mata kuliah studi Hukum Islam.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka akami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat emperbaiki makalah ini.
Semoga dengan makalah ini, para pembaca dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna
memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1
Dedy Sumardi and others, ‘Tradisi Pemikiran Hukum Islam’, 1.1.
2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perkembangan hukum Islam pada masa Dinasti Ummayyah?
2. Bagimanakah Perkembanagan hukum Islam pada masa Dinasti
Abbasiyah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembanagan hukum Islam pada masa diasti
Ummayyah.
2. Untuk mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa dinasti
Abbasiyah.
2
Nunzairina Nunzairina, ‘Dinasti Abbasiyah: Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan, Dan Kebangkitan
Kaum Intelektual’, JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3.2 (2020), 93
<https://doi.org/10.30829/juspi.v3i2.4382>.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Dinasti Ummayah
Pada masa atau era dinasti Umayyah, hukum Islam lebih
mengedepankan perbuatan atau pendapat sahabat. Model ini tentu
mengisyaratkan bahwa kalangan tabi’in sangat kental dengan alur pemikiran
ulama Hijaz (Madinah). Kecenderungan dalam model pemikiran seperti ini,
boleh jadi lantaran kebiasaan-kebiasaan mereka (tabi’in) masih terikat erat
secara psikologis maupun geografis dengan pemikiran ulama Hijaz. Oleh
karena itu, wajar saja para tabi’in lebih memilih pendapat sahabat ketika
merekonstruksi persoalan-persoalan hukum, dengan pertimbangan bahwa
sahabat lebih dekat dengan hadis.Bahkan dalam sejumlah literatur disebutkan
para tabi’in akan dengan mudah mengikat pendapat mereka dengan mengikuti
pemikiran para pendahulu dari kalangan sahabat, seperti ibn Abbas, ibn Umar,
Zubair Abdullah ibn Amr ibn Ash3
Berdasarkan kecenderungan ini,pemikiran hukum Islam pada masa
tabi`in mengarah kepada dua bentuk. Pertama, lebih banyak menggunakan
riwayat dibanding dengan penalaran akal. Metode demikian ini berkembang di
kalangan pakar hukum Islam Madinah dengan tokohnya Sa`id ibn al-
Musayyab. Kedua, lebih banyak menggunakan penalaran rasional
dibandingkan dengan menggunakan riwayat.Menurut ibn al-Qayyim, bahwa
hukum Islam pada masa tabi’in disebarkan olehpara pengikut 4 Sahabat
terkemuka, yaitu: ibn Mas’ud, Zaid ibn Tzabit, Abdullah ibn Umar dan
Abdullah ibn Abbas. Orang Madinah mengembangkan kembali hukum Islam
3
Sumardi and others.
4
dari hasil konstruksi Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar; masyarakat
Mekkah diwarisi oleh fikih Abdullah ibn Abbas; sementara komunitas Irak
melalui fikih Abdullah ibn Mas’ud. Pemetaan terhadap literasi fikih melalui
keragaman musnad-nya melahirkan sejumlah isnad baru dari kalangan tabi’in,
dan ini bisa dicatat pada beberapa tokoh utamanya, yaitu: Atha ibn Rubah,
Amr ibn Dinar, Ubaidah ibn Umair dan Ikrimah di Mekkah, Amr ibn
Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani dan Abdullah ibn Auf di Bashrah,
Alqamah ibn Qais an-Nakha’i, Syuraih ibn Haris dan Ubadah ibn Salmani di
Kufah, Yazid ibn Abi Habib dan Bakir ibn Abdullah di Mesir, Hisyam ibn
Yusuf dan Abdurrazaq ibn Hammam di Yaman dan sejumlah ulama hukum
Islam yang berada di Irak.
Berdasarkan silsilah dan mata rantai ini, maka turunan pemikiran hukum
Islam era tabi’in justru terbelah dan mengarah kepada dua bentuk yaitu
1. lebih banyak menggunakan riwayah dibanding dengan penalaran
akal. Metode demikian ini berkembang di kalangan pakar hukum Islam-
Madinah, dengan tokohnya Sa’id ibn al- Musayyab.
2. lebih banyak menggunakan penalaran rasional dibandingkan dengan
pola penggunaan riwayah. Metode pemikiran ini berkembang di
kalangan pakar hukum Islam-Kufah, dengan tokohnya Ibrahim al-Nakha’i.
Cara ini lebih dikenal dengan sebutan “Aliran Kufah”.
Para fuqaha yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk
menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan memandang hukum
syari’at dalam takaran rasionalitas. Mereka gemar menyelami nash-nash yang
ada dalam rangka menemukan ’illah, hikmah dan tujuan-tujuan moral yang
berada dibalik hukum yang tampak. Kecenderungan baru ini mendapatkan
tanggapan kritis dari para fuqaha yang tinggal di Hijaz (Madinah), yang
memandang hukum sebagai ketentuan Allah yang wajib diikuti. Mereka lebih
5
4
Riswadi, ‘Kerangka Epistemologi Pemikiran Hukum Islam Pada Era Dinasti Umayyah-Tabi’in’, Jurnal
Substantia, Vol. 18.No. 1 (2016), 51–66.
6
5
Asmawi, ‘Studi Hukum Islam.Pdf’, 2012.
7
6
Dr. Agus Aditoni, M. Ag, ‘Dinasti Abbasiyah : Perkembangan Hukum Dan Pengadilan’, 1–17.
10
BAB III
PENUTUP
7
Marzuki, Pengantar Studi HUKUM ISLAM (Yogyakarta, 2013).
11
DAFTAR PUSTAKA