Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ortia Listina

Konsentrasi : PAR

Mata Kuliah : Sejarah GKII

Dosen : Yunus Laukapitang

GEREJA KEMAH INJIL INDONESIA

PEMBUKAAN PELAYANAN DI KALIMANTAN

SEJARAH : David Clench (Awal Pelayanan Di Kalimantan)

Utusan C&MA yang Pertama di Kalimantan Timur

Pada tanggal 19 Juli 1929, Pdt. C. David Clench, utusan C&MA yang pertama untuk
Kalimantan Timur, tiba di Balikpapan. Clench dan Lenn tinggal serumah dan melakukan
pelayanan bersama-sama. Clench adalah seorang warga negara Kanada. Ketika berusia 14
tahun, ia mendengar panggilan Tuhan untuk melayani di luar negeri. Pada waktu itu Perang
dunia 1 sedang berkobar. Pada suatu hari Clench membaca sebuah pengumuman yang
dikeluarkan oleh pemerintah Kanada yang menghimbau para pemuda agar secara sukarela
mau masuk militer. Saat itu juga Clench juga menyerahkan dirinya untuk melayani Tuhan
Yesus, Raja di atas segala raja, kemanapun ia diutus.

Setelah tamat SMA, Clench mengikuti program pendidikan dan latihan untuk menjadi
utusan Injil di Taylor University dan Nyack, USA. Kemudian diutus ke Indonesia dengan
rombongan perdana pada tahun 1929 itu. Begitu tiba di Balikpapan, Clench sebenarnya ingin
secara terjun ke medan pekabaran Injil. Namun mau tak mau ia lebih dulu bergumul dengan
masalah bahasa. Mula-mula ia merasa bahwa belajar bahasa merupakan tugas yang kurang
mulia, bahkan kadang-kadang membosankan.

Perjalanan Pertama ke Pedalaman, Tahun 1930

Awal Pelayanan di daerah pedalaman Bulungan – Pujungan David Clench berasal


dari Kanada, sedangkan Geogre Fisk berasal dari Amerika Serikat. Perjalanan Pertama
mereka ke pedalaman pada bulan April 1930 Fisk dan Clench meninjau daerah Bulungan.
Pada waktu itu orang Kalimantan belum menggunakan perahu motor untuk menghemat
waktu dan tenaga. Fisk menempelkan motor berkekuatan 10 daya kuda pada sebuah perahu
kecil, sedangkan sebuah perahu yang lebih besar didayung oleh beberapa orang seperti biasa.

Pada hari pertama rombongan yang berjumlah dua perahu itu berhenti dikampung
Long Bia. (Long : berarti muara, tempat sungai jatuh ke sungai lain, dalam hal ini Sungai Bia
ke Sungai Kayan). Mereka menginap dirumah PeBit, pemimpin perahu besar. Keesokan
harinya mereka meneruskan rombongan itu. Lepai menyediakan bilik tersendiri untuk Fisk
dan Clench di serambi rumah panjang. Sesampainya dikampung itu, mereka bukannya
beristirahat . Sambil duduk diserambi, Fisk segera memainkan terompetnya dan Clench
memainkan harmonikanya. Ketika jumlah orang yang berkumpul cukup banyak, mereka
menyanyikan lagu “Yesus, Anak Allah”. Lepai menerjemahkan kedalam bahsa setempat.

Kemudian Fisk mulai berkhotbah, walaupun bahasa Indonesianya kurang lancar, yang
intinya kira-kira demikian : “Allah, Pencipta langit, bumi dan Sungai Kayan ini, mengasihi
Saudara-saudara dan saya. Allah sudah turun dari surga dan menjadi manusia. Nama-Nya
adalah Yesus. Ia mati diatas kayu salib untuk kita supaya dosa-dosa kita diampuni. Tetapi
kemudian Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Sekarang Allah menyuruh
orang-orang berdosa supaya bertobat. Setiap orang yang percaya dan menerima Dia, akan
selamat.” Setelah peristiwa itu, Lepai masih meminat Fisk dan Clench tinggal beberapa hari
lagi untuk mengajar mereka tentang Jalan Allah. Kedua hamba Tuhan ini dengan senang hati
memenuhi permintaan itu. Tetapi Iblis rupanya tidak tinggal diam. Keesokan harinya, ketika
Fisk hendak memberitakan Injil lagi, Lepai tertidur dan para pemuda mengadakan
pertunjukkan tari-tarian sampai larut malam. Pada malam harinya Fisk memutar piringan
hitan dan yang berisi lagu-lagu rohani, dan memulai berkhotbah. PeBit menjadi
penerjemahnya, sedangkan Clench sendiri berdoa. Setelah beberapa menit berlalu, Roh
Kudus menguasai PeBit sehingga ia menerjemahkan firman Tuhan dengan penuh semangat.
Kebaktian malam itu meninggalkan kesan yang mendalam, baik di hati hamba-hamba Tuhan
ini maupun di hati hati penduduk kampung itu, yang kemudian menyatakan keinginan
mereka untuk mendengarkan firman Tuhan lagi. Fisk menulis “Benih yang baik telah jatuh
ditanah yang baik, yakni hati orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mendengar nama
Yesus. Saya yakin Roh Kuduslah yang telah memakai kami untuk membuka rohani mereka.”

Perjalanan ke Pujungan
Tujuan Fisk dan Clench adalah terutama ingin meninjau keadaan di Pujungan, yang
letaknya agak jauh di udik. Seorang yang berasal dari Pujungan, Silwanus Laeng, menulis
kesannya mengenai kunjungan mereka :

“Tiba-tiba muncul dua orang Amerika di Long Metep, kmpung kami. Mereka diantar
oleh enam pendayung dari Tanjung Selor dengan nmelewati riam-riam berbahaya selama dua
belas hari. Karena saya pernah bersekolah, saya ditunjuk menjadi juru bahasa mereka. Kami
mengunjungi beberapa kampung untuk melihat-lihat keadaan masyarakat setempat.”

Laeng menceritakan kepada Fisk dan Clench tentang adat dan kepercayaan di tempat
itu, misalnya kepercayaan bahwa burung-burung dapat membri petunjuk kepada manusia.
Jika seseorang hendak menanam padi, ia harus menunggu saat burung elang berbunyi.
Setelah itu ia baru boleh berangkat ke ladangnya. Tetapi jika di tengah jalan ia melihat jenis
burung tertentu terbang dari kanan ke kiri di hadapannya, itu pertanda tidak baik dan
pekerjaan hari itu harus ditunda. Kepercayaan yang lain adalah adat Kudung. Untuk
memperoleh panen yang baik, salah seseorang anggota keluarga kepada adat harus tinggal
sendirian di pondok di laur kampung. Orang Kudung itu tidak boleh makan sembarangan,
kecuali nasi dan nasi itu pun harus dimasak di dalam bambu. Lauk-pauk dan garam juga
dilarang. Konon apabila orang Kudung itu melanggar adat, ia bisa gila dan panenya pun tidak
akan mendatangkan hasil. Masyarakat yang masih animis ini juga yakin bahwa benda-benda
seperti pohon, mata air, dan sebagainya, dihuni oleh roh-roh yang dapat membawa celaka
bagi orang yang tidak menghormatinya. Fisk dan Clench merasa sedih karena tidak tinggal
lebih lama di kampung itu untuk memberitakan Injil. Namun, pertemuan mereka dengan
Laeng ini sangat berarti bagi pekerjaan Tuhan di kemudian hari.

Hambatan Alami

Para utusan Injil yang merintis pekerjaan Tuhan di Kaltim ini menghadapi banyak
kesulitan, bahkan bahaya dalam perjalanan mereka. Meskipun Fisk dan Clench menggunakan
perahu motor, perjalanan yang mereka tempuh tetap mengalami kesulitan. Jika air sungai
surut, yang muncul batu-batu dan perahu mereka serta isinya harus dipikul ke tempat yang
berair. Sebaliknya, jika hujan turun dengan lebat, sungai itu menjadi banjir, dan perjalanan
terpaksa dihentikan sampai banjir surut. Jika mereka memilih untuk mengambil jalan pintas
dengan berjalan kaki, mereka memang dapat menghemat waktu, tetapi tenaga mereka telah
terkuras habis. Terlebih lagi jika mereka harus mendaki gunung. Dengan napas terengah-
engah mereka terpaksa berhenti bukan hanya untuk melepas lelah, melainkan juga melepas
lintah yang melekat di bagian-bagian tubuh mereka yang terbuka. Belum lagi betis terasa
pegal dan kulit kaki mereka melepuh.

Fisk dan Clench menyadari bahwa masuk ke pedalaman Kaltim berarti bersedia
mempertaruhkan nyawa. Riam-riam yang ganas senantiasa tiap menghadang, lebih-lebih
pada waktu perahu mereka milir dengan kencang. Gelombang-gelombang yang dasyat
menutupi batu-batu besar yang bagaikan mezbah sedang menantikan korbannya. Arus sungai
yang kencang yang hampir-hampir tak terkalahkan itu, dengan mudah dapat membalikkan
dan menghancurkan perahu betapapun besar dan kuatnya.

Pdt. Billa Larung bersaksi : “Dalam perjalanan dengan dua orang teman dari Apau
Kayan menuju ke Long Bia, kmai milir di Sungai Bahau. Lalu perahu kami karam di salah
satu riam besar. Dalam waktu beberapa detik, kami bertiga dan perahu masuk ke putaran air
yang sangat deras. Syukurlah kami selamat, tetapi banyak barang kami yang hanyut.”

Pdt. M. Titaheluw juuga emnulis: “Saya pernah milir dari hulu Sungai Kayan dan
perahu saya menjadi patah tiga. Barang-barang saya habis terbawa air, tetapi saya dapat
berenang ke tepi.”

Perahu Fisk sendiri sudah dua kali karam ; salah satunya ketika ia menginjili dengan
17 orang siswa Sekolah Alkitab. Waktu itu ada lima orang siswa meninggal ditelan air riam.

Kepala Adat di Pujungan Bertobat

Setelah meninjau pedalaman Bulungan, Fisk dan Clench kembali ke Tanjung Selor
dan Samarinda. Sementara itu, Tuhan rupanya sedang mempersiapkan hati seorang tokoh
terkemuka di Pujungan untuk menerima berita kelepasan dalam Kristus. Jalung Ipui, Paman
Silwanus Leaeng, adalah orang yang sangat berpengaruh di antara suku Uma’ Alim di
Pujungan. Ia terkenal karena keterampilannya mengemudi perahu walaupun di tengah riam
yang dasyat.

Anda mungkin juga menyukai