Anda di halaman 1dari 38

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI KLASIK

DOSEN PENGAMPU :

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

1. YULIANA (200501135)

2. RIKA EMILIA (200501118)

3. M.WAFIK JAUHAR SAQLI (200501152)

KELAS : II D/ EKONOMI SYARIAH

MATKUL. : EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala nikmat dan karunia-Nya.Shalawat dan salam yang tak
lupa pula kita panjatkan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari zaman kegelapan/jahiliyah kealam terang benderang seperti sekarang ini.

Akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah dengan daya dan upaya yang terbatas maka makalah
ini dapat diselesaikan. Adapun judul makalah ini adalah "SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI KLASIK” Akhir
kata kami berharap apa yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan terkhusus bagi kami
untuk digunakan sebagai pembelajaran.

Semoga Allah Swt senantiasa tetap memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kami
menuju jalan lurus yang penuh dengan Ridha-Nya.

Amin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Mataram, 1 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

1.2 Rumusan masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pemikiran ekonomi Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)

2.2 Pemikiran ekonomi Abu Ubaid (150-224 H)

2.3 Pemikiran ekonomi Imam Al-Ghazali (450-505 H)

2.4 Pemikiran ekonomi Ibnu Taimyah (661-728 H)

2.5 Pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun (732-808 H)

2.6 Pemikiran ekonomi Al Mawardi (364-450 H)

2.7 Pemikiran ekonomi Asy-Syatibi (790 H)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah merupakan potret manusia dimasa lampau, ia merupakan laboratorium kehidupan yang
sesungguhnya. Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya, setiap zaman ada generasinya.
Dimensi masa depan dengan segala persoalannya dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada
manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai
pelajaran untuk tidak dilakukan lagi.

Menampilkan pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi
positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal pertama, membantu menemukan berbagai sumber
pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan kemungkinan kepada kita untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran Islam selama ini.

Konsep ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari alquran dan
hadis Nabi SAW. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan
universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat
serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.

Kajian-kajian terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang
diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Ini memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam
kebijakan ekonomi dan keuangan negara secara umum.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pemikiran ekonomi Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)?

2. Pemikiran ekonomi Abu Ubaid (150-224 H)?

3. Pemikiran ekonomi Imam Al-Ghazali (450-505 H)?

4. Pemikiran ekonomi Ibnu Taimyah (661-728 H)?

5. Pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun (732-808 H)?

6. Pemikiran ekonomi Al Mawardi (364-450 H)?

7. Pemikiran ekonomi Asy-Syatibi (790 H)?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Pemikiran ekonomi Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)

2. Untuk mengetahui Pemikiran ekonomi Abu Ubaid (150-224 H)

3. Untuk mengetahui Pemikiran ekonomi Imam Al-Ghazali (450-505 H)

4. Untuk mengetahui Pemikiran ekonomi Ibnu Taimyah (661-728 H)

5. Untuk mengetahui Pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun (732-808 H)

6. Untuk mengetahui Pemikiran ekonomi Al Mawardi (364-450 H)

7. Untuk mengetahui Pemikiran ekonomi Asy-Syatibi (790 H)

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

1. Biografi Abu Yusuf.

Nama lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein ibn al-Anshori. Beliau lahir di Kufah pada
tahun 113 H dan wafat pada tahun 182 H. Abu Yusuf berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa
Arab. Keluarganya disebut Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum
Anshar.

Sejak kecil ia telah memiliki minat ilmiah yang tinggi. Beliau giat belajar dan meriwayatkan hadis.
Banyak ahli hadis memujinya dalam hal periwayatan. Dalam belajar ia menunjukkan kemampuan yang
tinggi dalam menghafal sejumlah hadis.

Kemudian ia tertarik untuk mendalami ilmu fiqih. Ia mulai belajar fiqih pada Muhamad ibn Abdurahman
ibn Abi Laila (seorang ulama dan pejabat hakim di Kufah). Selanjutnya ia belajar pada Imam Abu
Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat
melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam. Setelah Iman Abu Hanifah
wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah.

Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan kecerdasannya, abu Yusuf tumbuh
sebagai seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan baik ulama, pengusaha maupun
masyarakat umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan
bermasyarakat. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya. Diantara tokoh besar yang
menjadi muridnya adalah Muhamad bin Al-hasan Al-Syaibani, Ahmad bin Hanbal, Yazid bin Harun Al-
Wasithi, Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lui dan Yahya bin Adam Al-Qarasy.

Pada tahun 166 H Abu Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad. Di Baghdad ia menemui
khalifah Abbasiyah, Al-Mahdi yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur. Pada
masa khalifah Harun ar-Rasyid, organisasi kehakiman mengalami perubahan. Pada masa itu jabatan Abu
Yusuf naik menjadi ketua para hakim pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak
Bani Umayyah.

Dengan jabatan dan kewenangan itu, ia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasyarakatkan
hukum-hukum mazhab Hanafi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannya suatu sistem hukum
yang praktis. Karena pengangkatan hakim di seluruh Daulah Abbasiyah menjadi wewenangnya, maka
terbuka kesempatan untuk mengangkat para murid dan pengikut Mazhab Hanafi menjadi hakim di
daerah-daerah. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan Mazhab Hanafi berkembang pesat dan
tersebar luas di berbagai daerah Islam.

Ketika Abu Yusuf memangku jabatan sebagai Qadi al Qudah, beliau diminta oleh ar Rasyid untuk
menulis buku umum yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam administrasi keuangan. Buku itu
kemudian dikenal dengan nama kitab al-Kharaj. Kitab tersebut dijadikan pedoman penegakan hukum
pada masa itu, untuk menghindari kezaliman terhadap rakyat yang disebabkan oleh perbedaan
kedudukan atau agama. Dia telah meletakkan teori ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam. Kitabnya
mempunyai peran penting dalam menjadikan ar Rasyid sebagai sosok yang sangat disiplin dalam
menggunakan harta negara.

Beberapa karya Abu Yusuf diantaranya adalah:

Kitab al-Asar. Didalam kitab ini dimuat hadis yang diriwayatkan dari ayah dan gurunya. Ia
mengemukakan pendapat gurunya, Imam Abu hanifah, kemudian pendapatnya sendiri dan menjelaskan
sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.

Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa ibn Abi Laila. Didalamnya dikemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan
ibn Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka.

Kitab ar-Radd ’ala Siyar al-Auza’i. Kitab ini memuat perbedaan pendapatnya dengan Abdurahman al-
Auzai tentang perang dan jihad.

Kitab al-Kharaj. Kitab ini merupakan kitab terpopuler dari karya-karyanya. Didalam kitab ini , ia
menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai aspek, seperti keuangan negara, pajak tanah,
pemerintahan dan musyawarah.

A. Pemikiran Abu Yusuf

Abu Yusuf merupakan ahli fiqih pertama yang mencurahkan perhatiannya pada permasalahan ekonomi.
Tema yang kerap menjadi sorotan dalam kitabnya terletak pada tanggung jawab ekonomi penguasa
terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak serta
kewajiban penguasa untuk menghargai uang publik sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-
baiknya. Sebuah studi perbandingan menunjukkan bahwa beberapa abad sebelum keuangan publik
dipelajari secara sistematik di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan untuk membayar
pajak dan kenyamanan dalam membayar pajak. Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam
masalah keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan
masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi bagi pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

B. Keuangan publik menurut Abu Yusuf

Abu Yusuf memiliki sumbangan yang cukup besar bagi kemajuan ekonomi pada masa Harun ar-Rasyid,
karena beliau telah meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berbasis kepada keadilan dan
maslahah.

Secara umum penerimaan negara dalam daulah Islamiyah yang ditulis oleh beliau dapat diklasifikasikan
dalam tiga kategori utama, yaitu:

1. Ganimah
Adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta

orang kafir melalui peperangan.

2. Sadaqah

Sebagai salah satu instrumen keuangan negara, zakat tetap menjadi

salah satu sumber penerimaan negara pada saat itu.

3. Fay’

Adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari orang kafir tanpa peperangan, termasuk harta
yang mengikutinya yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan Usyur dari perdagangan.

Semua harta Fay’ dan harta-harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan Usyur merupakan harta
yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslim dan disimpan dalam Bait al-Mal, semuanya termasuk
kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi negara. Harta tersebut dapat
dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan mereka.

Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai aktivitas pemerintahan. Akan


tetapi, Abu Yusuf tetap memperingatkan khalifah untuk menganggap sumber daya sebagai amanah dari
tuhan yang akan diminta pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, efisiensi dalam penggunaan sumber
daya merupakan suatu hal yang penting bagi keberlangsungan pemerintahan diantaranya yaitu:

1. Kharaj (pajak tanah)

Salah satu pemikiran dari Abu Yusuf yang terkenal adalah mengenai pajak tanah (Kharaj). Pengenaan
pajak atas tanah adalah jenis pajak yang paling tua dan paling banyak dilakukan. Dimasa lalu, sumber
pendapatan utama negara Islam sejak pemerintahan Khalifah Umar sampai pada keruntuhan peradaban
umat Islam adalah Kharaj.

- Pemikiran Abu Yusuf tentang Kharaj meliputi :

Klasifikasi status tanah

Setelah Rasulullah SAW wafat, terjadi ekspansi negara Islam dengan tunduknya Byzantium, Mesir,
Palestina, Syria, tanah Sasnid di Iraq dan Persia. Abu Yusuf menekankan bahwa pemerintah mempunyai
otoritas dan hak untuk membagikan tanah tersebut kepara para pejuang sebagai Ganimah. Namun,
lebih baik jika pemerintah memutuskan mengembalikan tanah kepada pemiliknya dan menarik Kharaj
dari mereka sebagai pendapatan tetap bagi negara untuk kesejahteraan umat Islam. Jadi, status tanah
tersebut menjadi tanah kharaj.

Dibawah ini dijelaskan perpajakan tanah menurut Abu Yusuf yang didalamnya meliputi status dan
jenis pajak yang akan dikenakan:

1. Wilayah lain (di luar Arabia) dibawah kekuasaan Islam, dibagi 3 bagian.
2. wilayah yang diperoleh melalui peperangan.

3. Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.

4. Wilayah yang dimiliki oleh muslim di luar Arabia.(Usyr)

5. Wilayah yang berada dibawah perjanjian damai, dibagi 2 bagian.

● Penduduknya yang kemudian masuk Islam (Usyr)


● Mereka yang tidak memeluk Islam (Kharaj)

Tanah taklukkan, dibagi 4.

● Ketika penduduknya masuk Islam sebelum kekalahan. (Usyur)


● Apabila tanah taklukkan tidak dibagikan dan tetap dimiliki (Kharaj)
● Jika khalifah membagikan tanah tsb untuk pejuang (Usyur)
● Jika ditahan oleh negara (Usyur dan Kharaj)

Kepemilikan Negara

Kebijakan fiskal Islam tentang tanah-tanah yang sangat luas yang ada di jazirah arab yang tidak dimiliki
oleh siapapun atau tidak bertuan akan segera diambil oleh negara. Negara sebagai pemilik tanah-tanah
kosong memiliki otoritas untuk memberikannya kepada seseorang dengan tujuan agar tanah tersebut
dapat digarap dan memberikan pendapatan bagi negara melalui pajak tanah. Ada dua metode yang
dilakukan negara dalam pemberian tanah kepada warga negaranya, yaitu melalui pemberian secara
resmi melalui institusi iqta dan melalui perolehan hak karena menghidupkan tanah yang mati.

1. Institusi Iqta

Iqta merupakan prosedur dari pemberian tanah kosong yang dilakukan oleh negara. Dalam sisitem
fiskal Islam, istilah itu mengarah pada penganugerahkan tanah kosong sebagai sebuah hadiah dari
negara untuk seseorang yang dapat mengembangkan dan mengolah tanah. Abu Yusuf
merekomendasikan bahwa para penguasa boleh memberikan tanah-tanah yang tidak dimiliki siapapun
sebagai iqta.

2. Menghidupkan Tanah yang Mati

Pada prinsipnya tanah yang mati itu milik negara. Namun, bagi warga kepemilikannya berhubungan
dengan usahanya mengelola lahan yang mati tersebut. Sudah menjadi aturan umum, bahwa siapapun
yang menghidupkan lahan tersebut akan menjadi pemiliknya. Abu Yusuf mengatakan usaha itu
termasuk membajak, menabur dan mengairi tanah.

3. Metode Penetapan Tarif Kharaj

Ada 2 metode yang dilakukan dalam penilaian Kharaj, yaitu


1. Metode Misahah adalah metode penghitungan kharaj yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa
memperhitungkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.

2. Metode Muqasamah adalah para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu dari
total produksi dari yang mereka hasilkan.

Menurut Abu Yusuf, sistem misahah, sudah tidak efisien lagi. Dia menemukan pada masanya ada area-
area yang tidak diolah selama ratusan tahun. Pada situasi ini pajak yang dihasilkan dengan tarif tetap
atas hasil panen atau sejumlah tetap dari uang tunai akan membebani pembayar pajak secara
berlebihan. Menurut beliau, tarif pajak tetap dengan basis pengukuran tanah dibenarkan hanya apabila
tanah itu subur.

Abu Yusuf memberikan pilihan kebijakan yang lebih sesuai denagn syariah, kemaslahatan umum dan
sisitem perpajakan, yaitu dengan merekomendasikan pemberlakuan sistem penilaian pajak tanah
dengan metode muqasamah.

Dalam metode penilaian pajak tanah muqasamah, para petani dikenakan pajak dengan menggunakan
rasio tertentu dari total produksi dari yang mereka hasilkan. Rasio ini bervariasi sesuai dengan jenis
tanaman, sistem irigasi dan jenis tanah pertanian.

4. Administrasi Kharaj

Terhadap administrasi keuangan Abu Yusuf mempunyai pandangan berdasarkan pengalaman praktis
tentang administrasi pajak dan dampaknya terhadap ekonomi. Penekanannya pada sifat administrasi
pajak berpusat pada penilainnya yang kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sisitem pengumpulan
pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin serta membayar secara lumpsum kepada
negara dan sebagai imbalannya penjamin tersebut memperoleh hak untuk mengumpulkan kharaj dari
para petani yang menyewa tanah tersebut, tentu dengan pembayaran sewa yang lebih tinggi daripada
sewa yang diberikan kepada negara.

Abu Yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan praktik sistem Qabalah tersebut karena
pengumpulan pajak yang dilakukan secara langsung, tanpa keberadaan pihak penjamin akan
mendatangkan pemasukan yang lebih besar. Menurutnya, agar dapat memperoleh keuntungan dari
kontrak Qabalah, biasanya pihak penjamin mengenakan pajak yang melebihi kemampuan para petani.

Penolakan Abu Yusuf tersebut disebabkan sistem Qabalah bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan
dan mengabaikan kemampuan membayar. Dalam mengejar keuntungan, penjamin biasanya
memberikan beban tambahan terhadap para petani dengan menerapkan beban ilegal yang melampaui
kemampuan mereka. Dengan menerapkan pandangan analitis dan logika hukumnya, Abu Yusuf
berpendapat bahwa perlakuan kasar terhadap para petani dan pengenaan pajak ilegal kepada mereka
tidak saja akan merusak produksi pertanian, tetapi juga pendapatan negara yang mayoritas berasal dari
Kharaj.

C. Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf


Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah ketika terjadi kelangkaan barang maka harga
cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah maka harga cenderung untuk
turun atau lebih rendah. Dengan kata lain pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara
harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva demand. Fenomena inilah yang dikritisi oleh Abu
Yusuf. Beliau membantah bahwa bila persediaan barang sedikit maka harga akan mahal dan bila
persediaan barang melimpah maka harga akan murah. Ia menyatakan :

” Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit
tetapi murah.”

Dari pernyataan tersebut tampaknya Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan
terbalik antara persediaan barang (supply) dan harga, karena pada kenyataannya harga tidak
bergantung pada permintaan saja tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran. Oleh karena itu
peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan
permintaan atau penurunan atau peningkatan dalam produksi. Abu Yusuf mengatakan :

” Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang
mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian
juga mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan
Allah.” Kontroversial lain dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga. Ia
menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadis Rasulullah SAW,

”Pada masa Rasulullah Saw, harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah
dan memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah Saw bersabda tinggi-rendahnya harga
barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya”

Dalam melakukan restrukturisasi sistem perekonomian negara, ada beberapa mekanisme yang
dikembangkan oleh Abu Yusuf yaitu:

a) Menggantikan sistem Wazīfah dengan sistem Muqassamah

Istilah wazīfah dan istilah muqassamah adalah istilah untuk menyebut sistem pemungutan pajak.
Sistem wazīfah adalah sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan
ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut
dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedang sistem muqassamah adalah sistem
pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan
mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional.

b) Membangun pemahaman fleksibilitas sosial


Meskipun hukum Islam hanya mengakui muslimin sebagai individu dengan kapasitas hukum penuh,
secara bersamaan kaum nonmuslim sebenarnya juga dapat menuntut adanya kepastian hukum untuk
mendapatkan perlindungan dari penguasa Islam apabila mereka diijinkan untuk memasuki wilayah Dar
alIslam. Seorang muslim adalah seorang yang secara alamiah berada di bawah hukum Islam dan
menikmati hak-hak kewarganegarannya secara penuh. Namun dibalik itu setiap warga negara akan
menikmati haknya secara berbeda-beda, tergantung hubungan dan kepentingan mereka masing-masin.
Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai
kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, kelompok Musta’min dan kelompok Dhimmi.
Abu Yusuf berusaha memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di
tengah masyarakatnya,dengan mengatur beberapa ketetapan khusus berkenaan dengan status
kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan serta ketentuan hukum lainnya.

c) Membangun sistem dan politik ekonomi yang transparan

Transparansi yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika beliau mendeskripsikan income negara yang
meliputi ghanimah dan fai’ sebagai pemasukan yang sifatnya incidental revenue, sedangkan kharaj,
jizyah, ‘ushr dan sadaqah/zakat sebagai pemasukan yang sifatnya permanent revenue.

d) Menciptakan sistem ekonomi yang otonom

Upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom terlihat pada pandangan Abu Yusuf dalam
penolakannya atas intervensi pemerintah dalam pengendalian dan penetapan harga. Dalam hal ini
beliau berpendapat bahwa jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama
bagi naik dan turunnya harga, tetapi ada variabel lain yang lebih menentukan. Pendapat Abu Yusuf ini
berdasarkan hadis Rasulullah SAW: ”Diriwayatkan dari Abdu al-Rahman bin Abi Laila, dari Hikam Bin
’Utaibah yang menceritakan bahwa pada masa Rasulullah harga pernah melambung tinggi, sehingga
sebagian masyarakat mengadu kepada Rasulullah dan meminta agar Rasulullah membuat ketentuan
tentang penetapan harga ini. Maka Rasulullah berkata, ‘Tinggi dan rendahnya harga barang merupakan
bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah dan kita tidak dapat mencampuri terlalu jauh bagian
dari ketetapan tersebut.

Teori harga Abu Yusuf tersebut memposisikan terbalik dari teori ekonomi konvensional yang
menyatakan bahwa, naik dan turunnya harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran komoditi
(Teori Supply and Demand). Meskipun Abu Yusuf tidak secara tegas menolak keterkaitan supply dan
demand, namun secara eksplisit memuat pemahaman bahwa tingkat naik dan turunnya produksi tidak
akan berpengaruh terhadap harga. Dari pemikiran Abu Yusuf yang termuat dalam kitab al-Kharaj dapat
disimpulkan meliputi beberapa bidang sebagai berikut:

1. Tentang pemerintahan, Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah seorang raja yang
dapat berbuat secara diktator. Ia adalah seorang khalifah yang mewakili Tuhan di bumi ini untuk
melaksanakan perintah-Nya. Oleh karena itu penguasa harus bertindak atas nama Allah SWT Dalam
hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, ia menyusun sebuah kaidah fikih yang
sangat populer yaitu tasarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manūtun bi-al-maslahah (setiap tindakan
pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan).
2. Keuangan, Ia menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah dan sultan, tetapi amanat Allah
s.w.t. dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Hubungan penguasa dengan kas
negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya.

3. Pertanahan, Ia meminta kepada pemerintah agar hak milik tanah rakyatdihormati, tidak boleh
diambil dari seseorang lalu diberikan kepada orang lain. Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat
ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.

4. Perpajakan, Ia berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan
rakyat yang ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.

5. Peradilan, Ia mengatakan bahwa jiwa dari suatu peradilan adalah keadilan yang murni.
Penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah dan pemberian maaf terhadap orang yang bersalah
adalah suatu penghinaan, terhadap lembaga peradilan. Menetapkan hukum tidak dibenarkan
berdasarkan hal yang syubhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam
menghukum. Orang yang ingin menggunakan kekuasaan untuk mencampuri persoalan keadilan harus
ditolak dan kedudukan seseorang atau jabatannya tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam
persoalan keadilan.

D. Studi Kritis terhadap Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

Abu Yusuf menjadi salah satu dari dua referensi utama fikih dalam mazhab Hanafi, selain Muhammad
Ibn Hasan al-Shaibani. Pengetahuannya tentang hadis juga tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dalam
kitab al-Athar karya putranya Yusuf. Kitab ini sarat dengan wacana fikih Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Keunggulan karya Abu Yusuf dalam bidang fikih karena ditulis dengan metode: Pertama,
menggabungkan metode fukaha (aliran ra'yu) di Kufah dengan metode fukaha (aliran al-hadits) di
Madinah. Kedua, rumusan hukumnya sejalan dengan fenomena aktual di tengah masyarakat sehingga
sangat aplikatif dan realistis. Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus riil, membuatnya banyak
menghindar dari rumusan fikih yang asumtif. Ketiga, bebas dalam berpendapat. Kemampuan Abu Yusuf
menggabungkan metode fukaha aliran ra'yi dan aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen,
tidak berpihak kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan ijtihad secara mandiri dan
tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya. Keempat, komitmen pada sumbersumber tekstual dan
rasional. Metode ini menjadi tradisi para ulama ahl al-ra'y yang menggunakan nalar qiyas dan nalar
istihsan serta mempertimbangkan al-‘urf (tradisi masyarakat yang baik).

Dalam bidang ekonomi, terutama dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf pun menggunakan motode-metode
tersebut. Kitab al-Kharaj merupakan jawaban atas proses dialogis yang dilakukan dengan Khalifah Harun
al-Rasyid dan persoalanpersoalan masyarakat yang dijumpai Abu Yusuf pada masa itu. Jawaban atas
semua persoalan tersebut diperkuat oleh dalil-dalil ‘aqli dan naqli sehingga lebih unggul secara
akademik dari pada kitab al-Kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin Ja‟far yang hanya diperkuat oleh
dalil-dalil naqli tanpa memberi kesempatan kepada nalar.

Abu Yusuf menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan teks hadis. Sehingga kualitas hadis
dalam al-Kharaj karya Abu Yusuf lebih sahih ketimbang dalam kitab al-Kharaj karya Ibn Adam dan
Qudama Bin Ja‟far. Dalam hal ini Abu Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual para sahabat (a'mal
alsahabah) asalkan relevan dengan situasi yang ada mengingat kemaslahatan umum selalu menjadi
pertimbangan utama

2.2 Sejarah Pemikiran Ekonomi Klasik Abu Ubaid

Pemikiran Ekonom Muslim Klasik Abu Ubaid

30 Maret 2019 08:22 Diperbarui: 30 Maret 2019 09:41 2512 1 Berbicara tentang Ilmu Ekonomi
tentu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Dimana ekonomi dinilai sebagai salah satu cabang ilmu
yang paling penting, bahkan berkembang atau tidaknya suatu negara pun dilihat dari ekonominya.

Hal ini pun tidak terlepas dari hasil pemikiran-pemikiran para ekonom yang diterapkan oleh
negara tersebut. Banyak dari kita yang sudah mengenal dan mengetahui pemikiran dari ekonom-
ekonom barat, tetapi ternyata banyak pula pemikiran ekonomi yang lahir dari para ekonom muslim
sejak ratusan tahun yang lalu.

Maka dalam artikel ini penulis akan menceritakan salah satu ekonom muslim yang berperan aktif
dalam perkembangan ilmu pengetahuan bahkan pemikiran ekonominya masih digunakan hingga
sekarang, yakni Abu Ubaid.

Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al Harawi Al Azadi Al Baghdadi atau dikenal
dengan nama Abu Ubaid ini merupakan salah satu ekonom muslim. Ulama yang hidup di zaman Bani
Abbasiyah tepat nya pada masa khalifah al-Mahdi ini lahir pada tahun 154 H dikota
Harrah,Khurasan,sebelah barat laut Afghanistan dan wafat di Makkah tahun 224H. Pada usia 20 tahun,
ia menuntut ilmu ke berbagai kota seperti Kufah, Basrah dan Baghdad.

Ilmu yang ia pelajari, yakni mencakup ilmu tata bahasa Arab, Hadits, tafsir, qira'at dan fiqh. Ia
belajar dengan banyak guru dan ulama, diantaranya adalah Syarik bin Abdillah al-Qadi, Ismail bin Jafar,
Imam Asy-Syaibani, Yahya bin Adam, Sufyan bin Uyaynah, dan masih banyak lagi paling tidak sekitar 52
guru dalam ilmu hadits hingga akhirnya beliau dikenal sebagai ulama yang sangat ahli dalam bidang
hadits, fiqh, tafsir, perekam data sejarah, dan juga bahasa.

Selain sebagai ulama intelektual yang saleh, beliau juga memiliki banyak pengalaman kerja
profesional dibidang hukum. Beliau pernah menjabat sebagai qadi (hakim) di Tarsus tahun 192H hingga
tahun 210H pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid. Karyanya ada sekitar 20, baik dalam
bidang ilmu nahwu, qira'ah, fikih, syair, dan lainnya. Namun yang terbesar dan terkenal adalah kitab Al-
Amwal dalam bidang fiqh.
Kitab Al-Amwal merupakan kumpulan hadits Nabi dan atsar para sahabat dan tabi'in yang
seluruhnya berkaitan dengan sumber-sumber pemasukan, pengeluaran, dan penggunaan keuangan
publik dari berbagai periode.

Dalam kitabnya Abu Ubaid lebih fokus pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika
politik bukan pada permasalahan ekonomi saat itu. Dimana kitab tersebut tidak menyinggung
kelemahan pemerintah tetapi lebih pada efisiensi pengelolaannya dan penditeksian sistem
perekonomian berdasarkan Alquran dan Hadits melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan
institusinya atau yang bersifat profesional dan teknokrat yang bersandar pada kemampuan teknis.

Pengertian Amwal dalam kitab ini tidak mencakup keseluruhan jenis harta, Abu Ubaid membatasi
hanya kepada harta-harta yang dimiliki oleh negara dimana semua warga negara berhak menerima
pembagiannya sesuai dengan ketentuan syariah.

Pemikiran Abu Ubaid

1. Filosofi Hukum dari sisi Ekonomi

Dilihat dari sisi filosofi hukum dalam kitab ini, maka akan terlihat bahwa prinsip utama Abu Ubaid
adalah keadilan. Dalam kitab Al-Amwal ini membahas tentang hak dan kewajiban pemerintah terhadap
rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya. Ada 4 point penting yang dibahas
yakni : Baitul Mal dan Diwan-diwan

Dimana Baitul mal merupakan institusi negara yang bertugas mengelola segala pemasukan dan
pengeluaran negara saat itu.

1. Harta Kekayaan Negara

Dalam pandangan Abu Ubaid terdapat tiga sumber utama penerimaan negara, yakni fai, khums,dan
shadaqah termasuk zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan
mendistribusikannya kepada masyarakat.

Fa'i merupakan sistem pendapatan secara umum, yang meliputi, Jizyah (pajak yang dikeluarkan
terhadap orang-orang non muslim (ahl al-dhimmah) tertentu yang telah mengikat perjanjian dengan
pemerintah), Ghanimah (harta rampasan perang), Fidyah (tebusan untuk tawanan perang), Kharaj (pajak
yang terkumpul dari hasil tanah yang ditaklukan melalui kekuatan perang), Tasq (yang ditentukan oleh
kepala negara), Usyr (pajak yang dikumpulkan dari para pedagang di kalangan ahl al-dhimmah atau
barang impor dari para pedagang negara non-muslim), Wazifah (pajak baku dari negara yang ditaklukan
dengan perjanjian damai).

2. Harta-harta Zakat

Zakat tidak boleh disalurkan kepada selain mereka, baik untuk kepentingan negara maupun umat. Jadi,
harta zakat tidak dicampur jadi satu dengan harta-harta lain semisal ghanimah dan kharaj, tapi
ditempatkan dalam kas tersendiri yang terpisah (An-Nabhani, 1990:227-228).

Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus
dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu
batas tertinggi terhadap bagian perorangan.

Karena pada dasarnya setiap kebutuhan orang berbeda-beda, maka hal yang paling penting bagi Abu
Ubaid adalah memenuhi kebutuhan dasar. Ia juga melarang zakat disalurkan kepada selain 8 golongan
yang disebutkan didalam Alqur'an.

Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau
harta lainnya yang setara, di samping baju, pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya sebagai
suatu kebutuhan standar hidup minimum.

Abu Ubaid juga menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang
terkena wajib zakat, sebagai "orang kaya" sehingga mengenakan kewajiban zakat terhadap orang
tersebut.

Abu Ubaid pun menjelaskan : "berkaitan dengan zakat binatang ternak (mawasih), biji-bijian (habb) dan
buah (thimar) tidak ada yang bisa mengelola itu semua kecuali pemerintah. Pemilik kekayaan jenis itu
tidak boleh menyembunyikan dari pemerintah. Jika seseorang mendistribusikan dan menyampaikannya
bahkan kepada penerima yang berhak, dia dianggap tidak melaksanakan kewajibannya. Dia harus
mengembalikannya kepada pemerintah"

Abu Ubaid mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu
Kalangan kaya yang terkena wajib zakat; Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga
tidak berhak menerima zakat; dan Kalangan penerima zakat.

3. Mata Uang

Abu Ubaid meyakini ada 2 fungsi uang, yaitu sebagai :

a. Standar nilai pertukaran (standard of exchange value)

b. Media pertukaran (medium of exchange).

Pernyataan Abu Ubaid tentang uang : "Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak
layak untuk apapun juga kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling
tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk membeli sesuatu (infaq)"
.

Dikotomi Badui-Urban (Alokasi Pendapatan Fa'i)

Pada dasarnya karakteristik kaum badui (pedesaan) tidak sama dengan kaum urban (perkotaan),
diantaranya seperti :

1. Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administratif dari semua kaum
muslimin;

2. Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka;

3. Menggalakkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar Alquran dan Sunnah serta penyebaran
keunggulannya;

4. Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud;

5. Memberikan contoh universalisme Islam dengan sholat berjamaah.

Maka dengan memerhatikan prinsip keadilan, Abu Ubaid berusaha membangun konsep suatu negara
islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dengan memprioritaskan
pendistribusian manfaat dari perolehan fa'i kepada masyarakat perkotaan (urbun).

Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian

Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. kebijakan pemerintahan,
seperti iqta' (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah
tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karenanya,
tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak,
jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan kemudian dialihkan
kepemilikannya oleh penguasa.

Latar Belakang Sosio, Politik, dan Ekonomi

Thaghr dan bentuk jamaknya adalah "thugur" istilah yang digunakan untuk menunjuk wilayah
perbatasan antara kekuasaan muslim dengan non-muslim. Menurut Abu Ubaid, kaum muslimin tidak
boleh membeli tanah dari penduduk asli, karena hal itu akan mengurangi pendapatan pajak negara.
Sehingga Abu Ubaid membuat konsep athar yang menegaskan larangan pembelian tanah kharaj dengan
2 alasan :

- Tanah itu adalah sumber pendapatan publik bagi kaum muslimin (fai' li al-muslimin)

- Membeli kharaj untuk dijadikan harta milik pribadi dianggap sebagai sebuah penghinaan (saghar).
Hukum Pertanahan

Menurut Fuqaha membagi tanah yang berada dalam wilayah negara Islam menjadi tanah Usyr dan
Kharaj (sebagaimana menurut Abu Yusuf). Abu Ubaid menyebutkan hukum tanah usyr yang bukan
kharaj ada 4 macam:

1. Setiap tanah yang diserahkan oleh pemiliknya kepada negara, seperti tanah madinah, thaif, yaman
dan Makkah.

2. Setiap tanah yang diambil, kemudian kepala negara tidak melihat menjadikannya fai, akan tetapi
memandang menjadikannya ghanimah yang dibagi empat dari 1/5 yang diambil diantara mereka yang
turut menaklukan khususnya, seperti yg telah dilakukan Rasulullah SAW terhadap tanah khaibar.

3. Tanah yg tdk biasa diurusi dan digarap, kmd oleh kepala negara dipetakan kpd seseorang di jazirah
arab atau daerah lainnya, seperti yg telah dilakukan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin yang meng'iqtha
tanah Yaman, Yamamah dan Basrah.

4. Setiap tanah mati yg dihidupkan oleh seorang muslim dengan mengairinya dan menanaminya.

Adapun Hukum Pertanahan yang dikemukakan Abu Ubaid adalah sebagai berikut:

● Iqtha, yaitu tanah yang diberikan oleh kepala negara kpd seorang rakyatnya untuk menguasai
sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya.
● Ihya al-Mawat, yaitu tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak
dimanfaatkan. Sehingga membuka kembali lahan yang mati itu dengan membersihkannya,
mengairi, mendirikan bangunan dan menanamkan kembali benih-benih kehidupan pada lahan
tersebut.
● Hima adalah perlindungan, menurut Abu Ubaid adalah tempat dari tanah yang tidak
berpenduduk yang dilindungi kepala negara untuk tempat mengembala hewan-hewan ternak.

Maka dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa pandangan Abu Ubaid lebih mengedepankan
pada intelektualitas islam yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap
kehidupan manusia. Baik bersifat individu maupun sosial, dimana kebijakan tentang keuangan publik
yang dibahas secara mendalam mengenai hak dan kewajiban negara yang bersumber dari Alquran
maupun Hadits, tertuang dalam kitabnya Al-Amwal.

2.3 Pemikiran Ekonomi Klasik Imam Al-Ghazali

Pemikiran Ekonomi pada Masa Al Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M )

Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya’
Ulum al-Din. Bahasan ekonomi Al-Ghazali dapat dikelompokkan menjadi: pertukaran sukarela dan
evolusi pasar, produksi, barter dan evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan publik.
1. Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar

Pasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual dengan pembeli. Proses timbulnya pasar
yang beradasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba. Tidak
disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya membangun dasar-dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai
“Semangat Kapitalisme”. Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari ‘’hukum alam’’ segala
sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan
kebutuhan ekonomi.

Menurut Ghazali setiap perdagangan harus menggunakan cara yang terhormat. Sesungguhnya para
pedagang pada hari kiamat nanti akan dibangkitkan seperti para pelaku dosa besar, kecuali yang
bertaqwa pada Allah,berbuat kebajikan dan jujur. Penimbunan barang merupakan tindakan kriminal
terhadap moral dan sosial. Hal tersebut merupakan jalan pintas untuk memakan harta orang
lain,dengan cara bathil. Kejahatan paling membahayakan yang dilakukan para pelaku bisnis pada zaman
modern ini adalah membakar sebagian hasil pertanian sehingga harganya di pasar tidak menurun, justru
akan melonjak tinggi.[1]

a. Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba

Sepanjang tulisannya, Al- Ghazali berbicara mengenai “harga yang berlaku seperti yang ditentukan oleh
praktek-praktek pasar”, sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al- adil (harga
yang adil) dikalangan ilmuan Muslin atau equilibrium price (harga keseimbangan) dari kalangan ilmuan
Eropa kontemporer.[2]

Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Ia menerangkan bagaimana evolusi
terciptanya pasar. Al-Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan mengenai perdagangan regional.
Waleupun Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern,
beberapa tulisannya jelas menjelaskan bentuk kurva permintaan dan penawaran.

Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan oleh dia sebagai “jika
petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”.
Sementara itu untuk kurva permintaan yang “turun dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan oleh beliau
sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”.[3]

Al-Ghazali juga telah memehami konsep elastisitas permintaan, yang dinyatakan dengan “Mengurangi
margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan
dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan”. Al-Ghazali juga menyadari permintaan “harga
inelastis”.

Al-Ghazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang berlebihan. Ia menyatakan bahwa laba normal
berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang. Lebih jauh ia menekankan bahwa penjual
seharusnya didorong oleh laba yang akan diperoleh dari pasar yang hakiki yakni akhirat.

b. Etika Perilaku Pasar


Dalam pandangan Al- Ghazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya.
Secara khusus, ia memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan
dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya, memberikan informasi yang salah mengenai berat, jumlah
dan harga barangnya, melakukan praktik-praktik pemalsuan, penipuan dalam mutu barang dan
pemasaran, serta melarang pengendalian pasar melalui perjanjian rahasia dan manipulasi harga.

Pasar harus berjalan dengan bebas dan bersih dari segala bentuk penipuan, serta para perilaku pasar
harus mencerminkan kebajikan seperti bersikap lunak ketika berhubungan dengan orang miskin dan
fleksibel dalam transaksi utang, bahkan membebaskan utang orang0orang miskin tertentu.

2. Aktivitas Produksi

Al Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan berbagai macam aktifitas
produksi dalam sebuah masyarakat, termasuk hirarki dan karakteristiknya. Fokus utamanya adalah
tentang jenis aktifitas yang sesuai dengan dasas-dasar ekonomi islam.

a. Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban Sosial

Seperti yang telah dikemukakan, Al Ghazali menganggap kerja adalah sebagai bagian dari ibadah
seseorang. Bahkan secara khusus ia memandang bahwa produksi barang barang kebutuhan dasar
sebagai kewajiban sosial (fard al- kifayah). Hal ini jika telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di
dunia usaha yang memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan
masyarakat, maka kewajiban masyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang
melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan
masyarakat semua akan dimintai pertanggungjawabananya di akhirat.[4] Dalam hal ini, pada prinsipnya
negara harus bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan barang-
barang pokok.

b. Hierarki Produksi

Secara garis besar, Al-Ghazali membagi aktifitas produksi kedalam tiga kelompok:[5]

1) Industri dasar, yakni industri-industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia

2) Aktivitas penyokong, yaitu aktifitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar.

3) Aktivitas komplementer, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan industri dasar

Kelompok pertama adalah kelompok yang paling penting dan peranan pemerintah sebagai kekuatan
mediasi dalam kelompok ini cukup krusial. Ketiga kelompok ini harus ditingkatkan secara aktif untuk
menjamin keserasian lingkungan sosioekonomi.

c. Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya


Adnya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan
produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan kerja sama. Beliau juga
menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga.

Al-Ghazali mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni persaingan yang wajib yaitu persaingan yang
berhubungan dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh keselamatan. Persaingan yang
disukai yaitu yang berhubungan dengan perolehan barang kebutuhan pokok, pelengkap, dan juga
membantu pemenuhan kebutuhan orang lain. Sedangkan persaingan yang tidak diperbolehkan yaitu
yang berhubungan dengan barang-barang mewah.

3. Barter dan Evolusi Uang

Salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah uang. Al-Ghazali menjelaskan bagaimana
uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter, akibat negatif dari pemalsuan
dan penurunan nilai mata uang, serta observasi yang mendahului observasi serupa beberapa abad
kemudian yang dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas Gresham, dan Richard Cantilon.

a. Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang

Al-Ghazali mempunyai wawasan terhadap mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah
modern disebut sebagai:

1) Kurang memiliki angka penyebut yang sama (Lack of common denominator)

2) Barang tidak dapat dibagi-bagi (Indivisibility of goods)

3) Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)

Pertukaran barter menjadi tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik barang-barang. Al-
Ghazali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi)
yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa
ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama.

b. Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan dengan Hukum Ilahi

Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam
pertukaran. Ghazali menyatakan bahwa salah satu tujuan emas dan perak adalah untuk dipergunakan
sebagai uang. Beliau juga mengutuk mereka yang menimbun keping-kepingan uang.

c. Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang

Uang dapat diproduksi secara pribadi hanya dengan membawa emas dan perak yang sudah
ditambang ke percetakan. Standar uang komoditas, dulunya muatan logam suatu koin sama nilainya
dengan nilai koin tersebut sebagai uang. Jika ditemukan emas dan perak lebih banyak, persediaan uang
akan naik. Harga juga akan naik, dan nilai uang akan turun.
Perhatiannya ditujukan pada problem yang muncul akibat pemalsuan dan penurunan nilai, karena
mencampur logam kelas rendah dengan koin emas atau perak, atau mengikis muatan logamnya.
Pemalsuan uang bukan hanya dosa perorangan tetapi berpotensi merugikan masyarakat secara umum.
Penurunan nilai uang karena kecurangan pelakunya harus dihukum.

Namun, bila pencampuran logam dalam koin merupakn tindakan resmi negara dan diketahui oleh
semua penggunanya, hal ini dapat diterima. Beliau membolehkan kemungkinan uang representatif
(token money) yang disebut sebagai teori uang feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara
publik untuk mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa foedal.

d. Larangan Riba

Riba merupakan praktik penyalahgunaan fungsi uang yang berbahaya, sebagaimana penimbunan
barang untuk kepentingan individual. Seperti halnya para ilmuan Muslim dan Eropa, pada umumnya
mengasumsikan bahwa nilai suatu barang tidak terkait dengan berjalannya waktu. Terdapat dua cara
bunga dapat muncul dalam bentuk yang tersembunyi. Bunga dapat muncul jika ada pertukaran emas
dengan emas, tepung dengan tepung, dan sebagainya, dengan jumlah yang berbeda atau dengan waktu
penyerahan yang berbeda. Jika waktu penyerahan tidak segera dan ada permintaan untuk melebihkan
jumlah komoditi, kelebihan ini disebut riba al-nasiah. Jika jumlah komoditas yang diperlukan tidak sama,
kelebihan yang diberikan dalam pertukaran tersebut disebut riba al-fadl. Menurut Ghazali kedua bentuk
transaksi tersebut hukumnya haram.

Jika pertukaran melibatkan komoditas dengan jenis yang sama, seperti logam (emas dan perak) atau
bahan makanan (gandum atau gerst), hanya riba al-nasiah yang dilarang, sementara riba al-fadl
diperbolehkan. Bila pertukarannya antara komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan)
keduanya diperbolehkan.[6]

4. Peran Negara dan Keuangan Publik

Negara dan agama merupakan tiang yang tidak dapat dipisahkan. Negara sebagai lembaga yang penting
bagi berjalannya aktivitas ekonomi. Sedangkan agama adalah fondasinya dan penguasa yang mewakili
negara adalah pelindungnya. Apabila salah satu dari tiang tersebut lemah, masyarakat akan runtuh.

a. Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan Stabilitas

Untuk meningkatkan kemakmuran perekonomian,negara harus menegakkan keadilan, kedamaian,


keamanan, serta stabilitas. Apabila terjadi ketidakadilan dan penindasan, maka penduduk akan
berpindah ke daerah lain dan mereka tentunya akan meninggalkan sawah dan ladang. Hal itu
mengakibatkan pendapatan publik menurun dan kas negara kosong, sehingga kebahagiaan dan
kemakmuran menghilang.

Al-Ghazali menekankan bahwa negara juga harus mengambil tindakan untuk menegakan kondisi
keamanan secara internal dan eksternal. Diperlukan seorang tentara untuk melindungi rakyat dari
kejahatan. Diperlukan pula peradilan untuk menyelesaikan sengketa, serta hukum dan peraturan untuk
mengawasi perilaku orang-orang agar mereka tidak berbuat seenaknya.
Al-Ghazali juga mendukung al-hisabah – sebuah badan pengawas yang dipakai banyak negara
Islam pada waktu itu, dan berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan. Praktik-praktik yang perlu
diawasi diantaranya seperti timbangan serta ukuran yang tidak benar, iklan palsu, pengakuan laba palsu,
transaksi barang haram, kontrak yang cacat, kesepakatan yang mengandung penipuan, dan lain-lain.

b. Keuangan Publik

Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang
berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai
nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak
mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna.

1) Sumber Pendapatan Negara

Hampir seluruh pendapatan yang ditarik oleh para penguasa dizaman Ghazali melanggar hukum.
Sumber-sumber yang sah seperti zakat, sedekah, fa’i, dan ghanimah tidak ada. Hanya diberlakukan
jizyah tetapi dikumpulkan dengan cara yang tidak legal. Dalam memanfaatkan pendapatan negara,
negara seharusnya bersifat fleksibel serta berlandaskan kesejahteraan.

Al-Ghazali menjelaskan: “kerugian yang diderita orang karena membayar pajak lebih kecil bila
dibandingkan dengan kerugian yang muncul akibat resiko yang mungkin timbul terhadap jiwa dan harta
mereka jika negara tidak dapat menjamin kelayakan penyelenggaranya.”

Yang dikemukakan Ghazali merupakan cikal bakal dari apa yang sekarang disebut sebagai analisis biaya-
manfaat, yakni pajak dapat dipungut untuk menghindari kerugian yang lebih besar di masa yang akan
datang.

2) Utang Publik

Utang publik diizinkan jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan
dimasa yang akan datang. Contoh utang seperti ini adalah Revenue Bonds yang digunakan secara luas
oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.

3) Pengeluaran Publik

Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan Al-Ghazali bersifat


agak luas dan longgar, yakni penegakan sosioekonomi, keamanan dan stabilitas negara, sera
pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Walaupun memilih pembagian sukarela sebagai suatu
cara untuk meningkatkan keadilan sosioekonomi, Al-Ghazali membolehkan intervensi negara sebagai
pilihan bila perlu, untuk mengeliminasi kemiskinan dan kesukaran yang meluas. Mengenai
perkembangan masyarakat secara umum, Al-Ghazali menunjukan perlunya membangun infrastruktur
sosioekonomi. Ia berkata bahwa sumber daya publik “seharusnya dibelanjakan untuk pembuatan
jembatan-jembatan, bangunan keagamaan (masjid), pondok, jalan, dan aktivitas lainnya yang senada
yang manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat secara umum.”

Al-Ghazali menekankan kejujuran dan efisiensi dalam urusan di sektor publik. Ia memandang
perbendaharaan publik sebagai amanat yang dipegang oleh penguasa, yang tidak boleh bersikap boros.

2.4 Pemikiran Ekonomi Klasik Ibnu Taimyah

Pemikiran Ekonomi pada Masa Ibn Taimiyyah

Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’
Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.

a. Harga yang Adil

Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-
Quran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena
itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw. menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal
yang melebihi kepercayaan para konsumen.

Istilah harga adil telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang
pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini, budak
tersebut menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah kompensasi dengan hara yang
adil (qimah al-adl).

Secara umum, para fuqoha ini berfikir bahwa harga yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek
yang serupa. Oleh karena itu, mereka lebih mengenalnya sebagai harga yang setara (tsaman al-mitsl).
Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan
harga yang adil.

Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang
adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensas yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul
ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung
dalam beberapa kasus berikut:

(a) Ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan orang lain atau merusak harta
dan keuntungan.

(b) Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali sejumlah barag atau
keuntunganyang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang lain.

(c) Ketika seseorang diminta untuk menentukan akad yang rusak (al-‘ukud al-fasidah) dan akad yang
shahih (al-uqud al-shahihah) dalam suatu peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak milik.

Prinsip umum yang sama berlaku pada pembayaran iuran kompensasi lainnya. Misalnya :
(a) Hadiah yang diberikan oleh gubernur kepada orang-orang Muslim, anak-anak yatim dan wakaf.

(b) Kompensasi oleh sgen bisnis yang menjadi wakil untuk melakukan pembayaran kompensasi.

(c) Pemberian upah oleh atau kepada rekan bisnis (al-musyarik wa al-mudharib).

b. Konsep Upah yang Adil

Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib
diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat.
Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja
(tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl).

Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat
upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduannya tidak
pasti dan tidak ditntukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang
samar dan penuh dengan spekulasi.

c. Konsep Laba yang Adil

Ibnu taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan motivasi para pedagang.
Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima
secara umum (al-ribh al ma’ruf) tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para
pelanggannya.

Berdasarkan definisi harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang adil sebagai laba
normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain. Ia
menentang keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksploitatif (gaban fahisy) dengan memanfaatka
ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada (mustarsil).

d. Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil Bagi Masyarakat

Tujuan utama dari harga yang adil dan berbagai permasalahan lain yang terkait adalah untuk
menegakan keadilan dalam bertransaksi pertukaran dan berbagai hubungan lainya di antara anggota
masyarakat.kedua konsep ini juga dimaksudkan sebagai panduan bagi para penguasa untuk melindungi
masyarakat dari berbagai tindakan eksploitatif.dengan kata lain,pada hakikatnya konsep ini akan lebih
memudahkan bagi masyarakat dalam mempertemukan kewajiban moral dengan kewajiban finansial.

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,adil bagi para pedagang berarti barang~barang dagangan mereka
tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilang keuntungan normal mereka.

2.5 Pemikiran Ekonomi Klasik Ibnu Khaldun

Pemikiran Ekonomi pada Masa Ibn Khaldun (732 – 808 H/1332 – 1406 M)[8]
1. Teori Produksi

Bagi Ibn Khaldun, produksi adalah aktifitas manusi yang diorganisasikan secara sosial dan internasional.

a. Tabiat Manusiawi dari Produksi

Pada satu sisi, manusia adalah binatang ekonoi. Tjuannya adalah produksi. Manusia dapat didefinisikan
dari segi produksi:

“manusia dibedakan dari makhluk hidup lainnya dari segi upaaya[nya] mencari penghidupan dan
perhatiannya pada berbagai jalan untuk mencapai dan memperoleh sarana-sarana [kehidupan].” (1:67)

Pada sisi lainnya factor produksi yang utama adalah tenaga kerja manusia:

”laba [produksi] adalah nilai utama yang dicapai dari tenaga manusia.” (2:272)

“[manusia] mencapai [produksi] dengan tanpa upayanya sendiri, contohnya lewat prantara hujan yang
menyuburkan lading, dan hal-hal lainnya. Namun demikian, hal-hal ini hanyalah pendukung saja. Upaya
manusia sendiri harus dikombinaskan dengan hal-hal tersebut.” (2:273)

“tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi tenaga dan modal. Jika [sumber produksi]
adalah kerja, sedemikian rupa seperti misalnya pekerjaan] kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber
pendapatan adalah hewan, tanaman atau mineral, seperti kita lihat, tenaga manusia tetaplah penting.
Tanpa [tenaga manusia], tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak aka nada [hasil] yang berguna.”
(2:274)

Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan hidupnya, dan produksi
berasal dari tenaga manusia.

b. Organisasi Sosial dan Produksi

Melakukan produksi juga penting bagi manusia. Jika manusia ingin hidup dan mencari nafkah, manusia
hars makan. Dan ia harus memproduksi makanannya. Hanya tenaganya yang mengizinkannya untuk
tetap dapat makan:

“semua berasal dari Allah. Namun tenaga manusia penting untuk … [penghidupan manusia].” (2:274)

Namun demikian, manusia tida dapat sendirian memproduksi cukup makanan untuk hidupnya. Jika ia
ingin bertahan, ia harus mengorganisasikan tenaganya. Melalui modal atau melalui keterampilan,
operasi produksi yang paling sederhana mensyaratkan kerja sama dari banyak rang dan latar belakang
teknis dari keseluruhan peradaban:

“tenaga manusi secara individu tidak cukup baginya untuk mendapatkan [makanan] yang ia perlukan,
dan tidak memberikan makanan sebanyak yang ia perlukan untuk hidup.” (1:69)
c. Organisasi Internasional dan Produksi

Sebagaimana terdapat pembagian kerja di dalam negeri, terdapat pula pembagian kerja secara
internasial. Pembagian kerja internasional ini tidak didasarkan pada sumber daya alam dari negeri-
negeri tersebut, tetapi didasarkan kepada keterampilan penduduknya, karena bagi Ibn Khaldun, tenaga
kerja adalah factor produksi yang paling penting:

“kota-kota tertentu memiliki keahlian yang tidak dimiliki oleh kota-kota lainnya.” (2:265)

Karena itu, semakin banyak produksi yang aktif, semakin banyak produksinya:

“dalam hal jumlah kemakmuran dan aktivitas bisnisnya, kota-kota besar maupun kecil berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan ukuran peradabannya [populasina].” (2:265)

Sejumlah surplus barang dihasilkan dan dapat diekspor, dengan demikian meningkatkan kemakmuran
kota tersebut.

=“surplus produk dalam jumlah besar masih tersisa setelah kebutuhan pokok penduduk terpenuhi.
[surplus ini] mencukupi kebutuhan suatu popluasi jauh di atas jumlah dan cakupan [sebenarnya], dan
kembali lagi kepada penduduknya dalam bentuk laba yang dapat mereka akumulasikan… kemakmuran,
dengan demikian, meningkat.” (2:244)

2. Teori Nilai, Uang, dan Harga

a. Teori Nilai

Bagi Ibn Khaldun nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya:

“laba yang dihasilkan manusia adalah nilai yang terealisasi dari tenaga kerjanya.” (2:289)

Demikian pula kekayaan bangsa-bngsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki oleh bangsa
tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasanya dan oleh neraca pembayaran yang sehat.
Dan kita lihat bahwa kedua hal ini terkait satu sama lain. Neraca pembayaran yang sehat adalah
konsekuensi alamiah dari tingkat produksi yang tinggi.

“timbl pertanyaan: dimanakah kekayaan suatu bangsa? [jawabannya], harus diketahui bahwa harta
kekayaan seperti emas, perak, batu berhrga dan peralatan tidaklah berbeda dari logam-logam [lainnya]
dan [modal] yang dihasilkan… peradabanlah yang memunculkannya dengan bantuan tenaga manusia,
dan itulah yang membuatnya bertambah dan berkurang.” (2:285)

b. Teori Uang

Namun demikian, ukuran ekonomis terhadap barang dan jasa perlu bagi manusia bila ia ingin
memperdagangkannya. Pengukuran nilai ini harus memiliki sejumlah kualitas tertentu. Ukuran ini hars
diterima oleh semua sebagai tender legal, dan penerbitannya harus bebas dari semua pengaruh
sibjektif.
Bagi Ibn Khaldun, dua logam yaitu emas dan perak, adalah ukuran nilai. Logam-logam ini diterima secara
alamiah sebagai uang dimana nilainya tidak dipengaruhi oleh fluktuasi subjektif.

“Allah menciptakan dua “batuan” logam tersebut, emas dan perak, sebagai [ukuran] nilai semua
akumulasi modal. [emas dan peraklah] yang dipilih untuk dianggap sebagai harta dan kekayaan
olehpenduduk dunia.” (2:274)

Karena itu, Ibn Khaldun mendukung penggunaan emas dan perak sebgai standar moneter. Baginya,
pembuatan uang logam hanyalah merupakan sebuah jaminan yang diberikan oleh penguasa bahwa
sekeping uang logam mengandung sejumlah kandugan emas dan perak tertentu. Percetakannya adalah
sebuah kantor religius, dan karenanya tidak tunduk kepada aturan-aturan temporal. Jumlah emas dan
perak yang dikandung dalam sekeping koin tidak dapat diubah begitu koin tersebut sudah dimulai
(diterbitkan):

“kantor percetakan mengurusi dan memerhatikan koin-koin yang digunakan oleh umat Muslim dalam
transaksi (komersil), dan menjaga agar tidak terjadi kemungkinan pemalsuan atau kualitas yang rendah
(pemotongan) jika jumlah kepingannya [dan bukan berat logamnya] yang digunakan dalam transaksi.”
(1:407)

“[kantornya] adalah kantor religius dan berada di bawah kekhalifahan.” (1:407)

c. Teori Harga

Bagi Ibn Khaldun, harga adalah hasil dari hokum permintaan dan penawaran. Pengecualian satu-satunya
dari hokum ini adalah harga emas dan perak, yang merupakan standar moneter. Semua barang-barang
lainnya terkena fluktuasi harga yang tergantung pasar. Bila suatu barang langka dan banyak diminta,
maka harganya tinggi. Jika suatu barang berlimpah, harganya rendah:

“penduduk suatu kota memiliki makanan lebih banyak daripada yang mereka perlukan, karenanya,
harga makanan rendah, kecuali nasib buruk menimpa dikarenakan kondisi cuaca yang dapat
memengaruhi [persediaan] makanan.” (2:240)

Karena itu, Ibn Khaldun menguraikan suatu teori nilai yang berdasarkan tenaga kerja, sebuah teori
tentang uang yang kuantitatif, dan sebuah teori tentang harga yang ditentukan oleh hukum permintaan
dan penawaran. Teori tentang harga ini mengntarkannya untuk menganalisis fenomena distribusi.

3. Teori Distribusi

Harga suatu produk terdiri dari tiga unsur. Gaji, laba, dan pajak. Setiap unsur ini merupakan imbal jasa
bagi setiap kelompok dalam masyarakat: gaji adalah imbal jasa bagi produser, laba adalah imbal jasa
bagi pedagang, dan pajak adalah imbal jasa bagi pegawai negeri atau dan penguasa. Karenanya, Ibn
Khaldun membagi perekonomian ke dalam tiga sector: produksi, pertukaran, dan layanan masyarakat.

a. Pendapat tentang pengajian elemen-elemen tersebut


Harga imbal jasa dari setiap unsur ini dengan sendirinya ditentukan oleh hokum permintaan dan
penawaran.

1) Gaji

Karena nilai suatu produk adalah sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya, gaji merupakan
unsur utama dari harga barang-barang. Harga tenaga kerja adalah basis harga suatu barang.

2) Laba

Laba adalah selisih antara harga jual dengan harga beli yang diperoleh oleh pedagang. Namun, selisih ini
tergantung pada hokum permintaan dan penawaran, yang menentukan harga beli melalui gaji dan
menentukan harga jual melalui pasar.

3) Pajak

Pajak bervariasi menurut kekayaan penguasa dan penduduknya. Karenanya, jumlah pajak ditentukan
oleh permintaan dan penawaran terhadap produk, yang pada gilirannya menentukan pendapatan
penduduk dan kesiapannya untuk membayar.

b. Eksistensi Distribusi optimum

Dengan demikian, besarnya ketiga pendapatan ini ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran.
Menurut Ibn Khaldun, pendapatan ini memiliki nilai optimum.

1) Gaji

Bila gaji terlalu rendah, pasar akan lesu dan produksi tidak mengalami peningkatan. Jika gaji terlalu
tinggi, akan terjadi tekanan inflasi dan produsen kehilangan minat untuk bekerja.

2) Laba

Jika laba sangat rendah, pedagang terpaksa melikuidasi saham-sahamnya dan tidak memperbaruinya
karena tidak ada modal. Jika laba terlalu tinggi, para pedagang akan melikuidasi saham-sahamnya pula
dan tidak dapat memperbaruinya lagi karena tekanan inflasi.

3) Pajak

Jika pajak terlalu redah, pemerintah tidak dapat menjalasni fungsinya. Jika pajak terlalu tinggi, tekanan
fiskan menjadi terlalu kuat, sehingga para pedagang dan produsen menurun dan hilanglah insentif
mereka untk bekerja.

4. Teori Siklus
Variabel penentu bagi produksi adalah populasi serta pendapatan dan belanja negara, keuangan public.
Namun menurut Ibn Khaldun populasi dan keuangan public harus menaati hukum yang tidak dapat
ditawar-tawar dan selalu berfluktuasi.

a. Siklus populasi

Produksi ditentukan oleh populasi. Semakin banyak populasi, semakin banyak produksnya. Demikian
pula, semakin besar populasi semakin besar permintaannya terhadap pasar dan semakin besar
produksinya.

b. Siklus keuangan publik

Negara juga merupakan factor produksi yang penting. Dengan pengeluarannya, negara meningkatkan
produksi, dan dengan pajaknya, negara membuat produksi menjadi lesu.

2.6 Pemikiran Ekonomi Klasik Al Mawardi

PROFIL AL-MAWARDI

Abu Al- Hasan bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’I lahir

dikota Basrah pada tahun 364 H (974 M). setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan Baghdad
selama dua tahun, ia berkelana diberbagai negeri islam untuk menuntut ilmu. Diantara guru-guru Al-
Mawardi adalah Al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali, Muhammad bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri,
Ja’far bin Muhammad bin Al-Fadhl Al-Baghdadi, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi, Muhammad bin Al-Ma’ali Al-
Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.

Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab syafi’i ini dipercaya memangku jabatan Qadhi
(hakim) diberbagai negri secara bergantian. Setelah itu al-Mawardi kembali kekota Baghdad untuk
beberapa waktu kemudian diangkat sebagai hakim agung pada masa pemerintahan Al-Qaim bin
Amrillah Al-Abbasi.

Sekalipun hidup dimasa dunia islam terbagi kedalam tiga dinasti yang saling bermusuhan, yaitu dinasti
Abbasiyah di Mesir, dinasti Umayah II di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Al-Mawardi
memperoleh kedudukan yang tinggi dimata para penguasa dimasanya bahkan, para penguasa Bani
Buwaihi, selaku pemegang kekuasaan pemerintah Baghdad, menjadikannya sebagai mediator mereka
dengan musuh-musuhnya. Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar dan
menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib al-Baghdadi dan Abu A-Izza Ahmad bin Kadasy
merupakan dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputii
berbagai bidang kaijian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, sepeti : Tafsir Al-Quran al-
Karim, al-Amtsal wa al-Hikam, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab ad-Dunya wa ad-Din, Siyasah al-maliki,
Nasihat al-Muluk, al-ahkam ash-shulthaniyyah, an-Nukat wa al-Uyun, dan Siyasah al-Wizarat wa as-
Siyasah al-Maliki. Dengan mewariskanberbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut. Al-mawardi
meninggal pada awal tahun 450 H (1058 M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun.
A. Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi

Pada dasarnya, pemikiran ekonomi al-Mawardi tersebut paling tidak pada tiga buah karya tulisannya,
yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam kitab Adab ad-
Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata
pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industry. Dalam kitab al-hawi, salah
satu bagiannya, al-Mawardi secara khusus membahas tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai
mazhab. Dalam kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan
dan administrasi agama islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbaga
lembaga Negara, penerimaan dan pengeluarn Negara, serta Institusi Hibah.

Dari ketiga karya tulis tersebut, para peneliti ekonomi islam tampaknya sepakat menyatakan bahwa al-
Ahkam As-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komperhensif dalam mempersentasikan pokok-
pokok pemikiran ekonomi al-Mawardi. Dalam kitabnya tersebut, al-Mawardi menempatkan
pembahasan ekonomi dan keuangan Negara secara khusus pada bab 11,12, dan 13 yang masing-masing
membahas tentang harta, sedekah, ghanimah, serta harta jizyah dan Kharaj.

Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukan bahwa al-
Mawardi membahas masalah-masalah keuanagan dengan cara yang lebih sistematis dan rumit.
Sumbanga utama al-Mawardi terletak pada pendapat mereka tentang pembenaan pajak tanbahan dan
dibolehkannya peminjaman public.

B. Negara Dan Aktifitas Ekonomi

Teori keuangan public selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara
dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya.
Permasalahan inipun tidak luput dari perhatian Negara islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa
pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan
pembentukanya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.

Dalam perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara memiliki peran aktif demi
trealisasinya tujuan material dan sepiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu
merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian seperti para pemikir muslim sebelumnya, al-
Mawardi memandang bahwa dalam islam pemenuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja
merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan moral dan agama.

Selanjutnya al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan
bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya,

“ jika hidup dikota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minum, atau
rusaknya tembok kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan, jika tidak
memiliki dana, Negara harus memnemukan jalan untuk memperolehnya”.
Al-Mawardi menegaskan bahwa Negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan
oleh layanan public karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan
demikian, layanan public merupakan kewajiban social (fardh kifayah) dan harus bersandar kepada
kepentingan umum. Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim
sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk mengadakan proyek dalam kerangka pemenuhan
kepentingan umum, Negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau membebankan kepada individu-
individu yang memiliki sumber keuangan yang memadai. Lebih jauh ia menyebutkan tugas-tugas Negara
dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga Negara sebagai berikut :

a. Melindungi agama

b. Menegakkan hukum dan stabilitas

c. Memelihara batas Negara islam

d. Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif

e. Menyediakan administrasi public, peradilan, dan pelaksanaan hukum islam

f. Mengumpulkn pendapat dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikannya dengan
menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya

g. Membelanjakan dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibanya.

Seperti yang telah disebutkan, Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap
warga Negara serta merealisasikan kesejahteraan dan perkembangan ekonomi secara umum. Sebagai
konsekuensinya, Negara harus memiliki sumber-sumber keuangan yang dapat membiayai pelaksanaan
tanggung jawabnya tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Al-Mawardi menyatakan bahwa kebutuhan
Negara terhadap pendirian kantor lembaga keuangan negara secara permanen muncul pada saat terjadi
transfer sejumlah dana Negara dari berbagai daerah lalu dikirimkan kepusat.

Seperti pada halnya para pemikir Muslim diabad klasik, al-Mawardi menyebutkan bahwa sumber-
sumber pendapatan Negara islam terdiri dari Zakat, Ghanimah, Kharaj, Jizyah, dan Ushr. Terkait dengan
pengumpulan harta zakat, al-Mawardi membedakan antara kekayaan yang tampak dengan kekayaan
yang tidak tampak. Pengumpulan zakat atas kekayaan yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian,
harus dilakukan langsung oleh Negara, sedangkan pengumpulan zakat atas kekayaan yang tidak tampak,
seperti perhiasan dan barang dagangan, diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.

Lebih jauh al-Mawardi berpendapat bahwa dalam hal sumber-sumber pendapatan Negara tersebut
apabila tidak mampu memenuhi kebutuhann anggaran Negara atau terjadi defisit anggaran, Negara
memperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada public. Secara
historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Untuk membiayai kepentingan perang dan
kebutuhan social lainnya dimasa awal pemerintahan Madinah.
Menurut al-Mawardi, pinjaman public harus dikaitkan dengan kepentingan public. Nemun demikian,
tidak semua kepentingan public dapat dibiayai dari dana pembiayaan public. Ia berpendapat bahwa ada
dua jenis biaya untuk kepentingan public, yaitu biaya untuk pelaksnaan fungsi-fungsi mandatory Negara
dan biaya untuk kepentingan umum dana kesejahteraan masyarakat. Dana pinjaman public hanya dapat
dilakukan untuk pembiayaan berbagai barang atau jasa yang disewa oleh Negara dalam kerangka
mandatory functions. Sebagai gambaran, al-Mawadi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban
Negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentara dan biaya pengadaan
senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan Negara mencukupi
atau tidak. Apabila dana yang ada tidak mencukupi, Negara dapat melakukan pinjaman kepada public
untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.

Dengan demikian, menurut al-Mawardi pinjaman public hanya memperbolehkan untuk membiayai
kewajiban Negara yang bersifat mandatory functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat
lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, Negara dapat memberikan pembiayaan yang
berasal dari dana-dana lain, seperti pajak.

Pernyataan al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman public dilakukan jika didukung
oleh kondisi ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak bertujuan konsumtif. Disamping itu,
kebijakan pinjaman public merupakan solusi terahir yang dilakukan oleh Negara dalam menghadapi
defisit anggaran.

C. Perpajakan

Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian al-Mawardi.
Menurutnya, penilaian atas Kharaj harus berfariasi sesuai dengan factor-faktor yang menentukan
kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sisitem irigasi.

Lebih jauh, ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai factor-faktor penilaian Kharaj.
Kesuburan tanah merupakan factor yang sangat penting dalam melakukan penilaian Kharaj karena
sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga berpengaruh terhadap
penilaian kharaj karena berbagai jenis tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda.
Begitupula halnya dengan sistem irigasi.

Disamping ketiga factor tersebut, al-Mawardi juga mengungkapkan factor yang lain, yitu jarak antara
tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Factor terahir ini juga sangat relevan karena tinggi-
rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam
pandangan al-Mawardi keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas
pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor dalam melakukan penilaian suatu objek
Kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, system irigaasi dan jarak tanah ke pasar”.

Tentang metode penetapan Kharaj, al-Mawardi menyarankan untuk mengguanakan salah satu dari tiga
metode yang pernah diterapkan dalam sejarah islam, yaitu:
a. Metode Misahah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode ini
merupakan Fixed-Tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut
bisa ditanami.

b. Metode penetapan Kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah
subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek Kharaj.

c. Metode Musaqah yaitu metode penetapan Kharaj berdasarkan presentase dari hasil produksi
(proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.

Secara kronologis, metode pertama yang digunakan umat islam dalam penerapan kharaj adalah metode
Misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa khalifah Umar ibn Khatab berdasarkan
masukan dari para sahabat yang melakukan survey. Pada masa ini, pajak ditetapkan tahunan pada
tingkat yang berbeda secara Fixed atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses keair,
sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh Negara dari jenis pajak ini pun bersifat
fixed. Melalui penggunaan metode ini, Khalfah Umar ingin menjamin pendapatan Negara pada setiap
tahunnya demi kepentingan ekspansi, sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar
pajak dengan dalih hasil produksi rendah.

Metode yang kedua juga pernah diterapkan pada masa Umar. Pengenaan pajak dengan menggunakan
metode ini dilakukan pada bebarapa wilayah tertentu saja, terutama di Syiria. Metode yang terahir,
Muqasamah, pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, Khususnya pada masa dinasti Al-
Mahdi dan Harun ar-Rasyid.

D. Baitul Mal

Seperti yang telah dikemukakan, al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja Negara
dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, Negara membutuhkan lembaga keuangan
Negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan Negara dari
berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya
masing-masing.

Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal, al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pada pos
tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah dapat
meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain. Ia juga menyatakan bahwa pendapatan dari setiap
Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika
terdapat surplus, guberbur mengirimkan sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya,
pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan sebaggian
harta Baiitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami deficit. Kemudian dilihat dari tanggung jawab
Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan public. Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal
kedalam dua hal, yaitu :

a. Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai
amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
b. Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan baitul
Mal itu sendiri.

Berdasarkan ketegori yang dibuat al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari tanggung jawab Baitul
Mal yang terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari sedekah. Kerena pendapatan sedekah yang
diperuntukan bagi klompok masyarakat telah ditertentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-
tujuan umum, Negara hannya diberi kewenangan untuk mengatur pendaptan itu sesuai apa yang telah
digariskan oleh ajaran islam. Dengan demikian kategori tanggung jawab yang pertama merupakan
pembelanjaan yang bersifat tetap dan minimum.

Kemudian kategori tanggung jawab yang kedua yakni terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari
Fai. Menurut al-Mawardi, seluruh jenis kekayaan yang menjadi milik kaum muslimin secara umum dan
bukan milik perseorangan secara khusus merupakan bagian dari harta Baitul Mal. Oleh karena itu,
pendapatan fai yang diperuntukan bagi seluruh kaum muslimin tersebut merupakan bagian dari harta
Baitul Mal.

al-Mawardi mengklasifikasikan kategori yang kedua ini kedalam dua hal.

Pertama, tanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal), seperti untuk
pembayaran gaji para tentara dan pembiayaan pengadaan senjata. Pelaksanaan tanggung jawab ini
menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, berapapun besarnya.

Kedua, tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan umum. Al-Mawardi menyatakan
bahwa pelaksanaan jenis tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul Mal. Jika
terdapat dana yang cukup dari Baitul Mal, maka pelaksanaan tanggung jawab tersebut menjadi
tanggung jawab social (fardh kifayah) seluruh kaum muslimin.

Disamping menetapkan tanggung jawab Negara, uraian al-Mawardi tersebut juga menunjukan bahwa
dasar pembelanjaan public dalam Negara islam adalam Maslahah (kepentingan umum). Hal ini berarti
bahwa Negara hanya mempunyai wewenang untuk membelanjakan harta Baitul Mal selama
berorientasi pada pemeliharaan maslahah dan kemajuannya.

Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban Negara untuk
mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk
membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan jumlah tertentu untuk membantu mereka
karena ‘pemenuhan kebutuhan’ merupakan istilah yang relative. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sebingga terbebas dari 1 Dinar, sementara yang lain mungkin membutuhkan 100 dinar.

Disamping itu al-Mawardi berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan diwilayah tempat zakat itu
diambil. Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan mustahik zakat
diwilayah tersebut telah diterimanya secara memadai. Kalau terdapat surplus, maka mereka yang paling
berhak menerimannya adalah yang terdekat wilayah tempat zakat tersebut diambil.

Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul Mal agar berjalan lancar
dan tepat sasaran, Negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal ini
salah satu fungsi Muhtasib adalah memperhaikan kebutuhan public serta merekomendasikan
pengadaan proyek kesejahteran bagi masyarakat umum. Al-mawardi menegaskan, jika mekanisme
pengadaan air minum kekota mengalami kerusakan, atau dinding sekitarnya bocor, atau kota tersebut
banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan air, maka Muhtasib (petugas hisab) harus
memperbaiki system air minum, merekonstruksi dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada
orang-orang miskin, karena hal ini adalahh kewajiban baitul Mal bukann kewajiban Masyarakat.

Disamping menguraikan teori tentang pembelanjaan public,, al-Mawardi ternyata memahami dampak
ekonomi pengalihan pendapatan melalui kebijakan public. Ia menyatakan: “ Setiap penurunan dalam
kekayaan public adalah peningkatan kekayaan Negara dan setiap penurunan dalam kekayaan Negara
adalah peningkatan dalam kekayaan public.”

Dengan demikian, menurut al-Mawardi pembelanjaan public, seperti halnya perpajakan, merupakan alat
efektif untuk mengalihkan sumber-sumber ekonomi. Pernyataan al-Mawradi tersebut juga
mengisyaratkan bahwa pembelanjaan public akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara
keseluruhan.

2.7 Pemikiran Ekonomi Klasik Asy-Syatibi

1. Objek Kepemilikan

Pada dasarnya, AS Syatibi mengakui halk milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu
terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa
air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bias dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini,
ia membedakan dua macam seperti air sungai dan oase; dan air yang dijadikan sebagai objek
kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh,
oa mendyatakan bahwa ktidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terdhadap sungai di karenakan
adanya pembangunan dam.

2. Pajak

Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak dharus dilihat dari sudut pandang maslahah
(kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-
Fara’ ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab
kmasyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bias
mengalihkannya kepada Baitul Mal serdta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka s endiri untuk
tujduan ktersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap
rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.[9]
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah dipaparkan dengan panjang lebar pada bagian terdahulu, maka dalam kesimpulan ini menarik
untuk melihat apa yang dinyatakan oleh Syed Nawab Haidar Naqvi yang menyimpulkan dua point
penting yang berkenaan dengan keadilan ekonomi, yaitu Pertama, pandangan Islam terhadap keadilan
sosial ekonomi dilandaskan pada prinsip bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah
(QS, 3 : 180). Sebagai khalifatullah fi al-ardh manusia diberi wewenang untuk mengelolanya dan
memanfaatkannya untuk kesejahteraan seluruh makhluk. Pemilikan manusia hanyalah bersifat relatif.

Kedua, ajaran Islam seperti yang termuat dalam al-Qur’an tak henti-hentinya menggalakkan mekanisme
pendistribusian kembali pendapatan yang sifatnya built in, yang lebih diefektifkan lagi oleh
pengaitannya dengan ridha Allah.

Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak mengambil sumber dari buku “Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam” karya Ir. H. Adi Warman Ashar Karim,SE. M.BA.

3.2 Saran

Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami, penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat berterima kasih apabila ada saran/kritik yang bersifat
membangun sebagai penyempurna makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai