Anda di halaman 1dari 28

1

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN POLA ASUH


DENGAN STUNTING DI DESA LOBU
KECAMATAN MOUTONG

PROPOSAL

NUR HIKMA
201601031

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2020
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting merupakan kondisi ketika anak lebih pendek dibandingkan
anak-anak lain seusianya, atau dengan kata lain, tinggi badana nak berada
dibawah standar. Standar yang dipakai sebagai acuan adalah kurva
pertumbuhan yang dibuat 0leh Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization). 1
Secara global menurut WHO (2015) jumlah anak stunting di bawah
usia 5 tahun sebanyak 165 juta anak atau 26%. Asia merupakan wilayah
kedua setelah Afrika yang memiliki prevalensi anak stunting tertinggi yaitu
26,8% atau 95,8 juta anak. Sedangkan prevalensi anak stunting untuk wilayah
Asia Tenggara adalah 27,8% atau 14,8 juta anak. Retardasi pertumbuhan atau
stunting pada anak-anak di negara berkembang terjadi terutama sebagai
akibat dari kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi yang mempengaruhi
30% dari anak-anak usia di bawah lima tahun. 1 Berdasarkan hasil data Riset
Kesehatan Dasar 2018 proporsi status gizi sangat pendek sebesar 11,5% dan
status gizi pendek sebesar 19,3%.2 Prevalensi stunting di Indonesia lebih
tinggi daripada negara-negara di Asia Tenggara.3
Periode paling penting pertumbuhan dan perkembangan terjadi pada
masa balita1. Sekitar 200 juta anak di bawah umur 5 tahun gagal untuk
mencapai potensi mereka dalam perkembangan kognitif karena berbagai
macam faktor risiko seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pola asuh
dan gizi yang tidak mencukupi. Malnutrisi berat dapat menyebabkan gizi
kurang (berat badan rendah menurut umur, seringkali dikaitkan dengan
kehilangan lemak dan jaringan otot yang disebabkan oleh kelaparan akut) dan
stunting (tinggi badan yang rendah menurut umur, seringkali diikuti dengan
rendahnya perkembangan mental dan fisik secara tetap sebagai akibat dari
masalah gizi kronis).4

1
3

Stunting pada balita berdampak terhadap tingkat kecerdasan,


kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas dan kemudian
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
ketimpangan.5 Stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan
produktivitas pasar kerja. Bukti yang ditunjukkan diantaranya hilangnya 11%
Gross Dosmestic product (GDP) dan mengurangi pendapatan pekerja dewasa
hingga 20%. Stunting juga memperburuk kesenjangan/ inequality yang
menyebabkan pengurangan 10% dari total pendapatan seumur hidup dan
menimbulkan kemiskinan antar generasi.6 Faktor sosial ekonomi dan faktor
pola asuh juga ikut memberikan dampak pada balita stunting seperti jenis
kelamin balita, tempat sosial ekonomi mempunyai kecenderungan untuk
menderita stunting 1,3 kali lebih tinggi.7
Penelitian Nurmayasanti dan Mahmudiono (2019) dengan judul
“Status Sosial Ekonomi dan Keragaman Pangan Pada Balita Stunting dan
Non-Stunting Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Wilangan
Kabupaten Nganjuk” hasil penelitian menunjukkan pendapatan keluarga
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita (p=0,048). Pendapatan
keluarga yang rendah berisiko terkena stunting. Skor keragaman pangan
pangan balita stunting maupun non-stunting sama-sama masih rendah. Hasil
chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keragaman
pangan dengan kejadian stunting (p=1,000) dan bukanlah faktor risiko balita
stunting (OR = 1,000). Pendapatan keluarga memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting. Keragaman pangan tidak berhubungan
dengan stunting.
Penelitian Nur Alam Fajar, Misnaniarti (2019) dengan judul
“Hubungan pola asuh dengan kejadian stunting balita dari keluarga miskin di
Kota Palembang” hasil penelitian Hasil penelitian menunjukkan proporsi
stunting balita pada keluarga miskin di Kota Palembang sebesar 29%.
Terdapat hubungan signifikan antara kebiasaan pemberian makan (p-value =
0,000), kebiasaan pengasuhan (p-value = 0,001), kebiasaan kebersihan (p-
4

value = 0,021) dan kebiasaan mendapatkan pelayanan kesehatan (p-value =


0,000) dengan kejadian stunting balita. Balita dengan tinggi badan normal
(tidak stunting) memiliki pola asuh berupa kebiasaan pemberian makan,
kebiasaan pengasuhan mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik
dibandingkan dengan pola asuh balita stunting dengan latar belakang
perekonomian keluarga yang sama.
Data Stunting di Provinsi Sulawesi Tengah pada angka 41% pada
tahun 2017 dan pada tahun 2018 angka stunting Sulawesi Tengah turun
menjadi 32,5% sedangkan untuk data elektronik pencegahan laporan gizi
berbasis masyarakat Sulawesi tengah dengan sasaran balita. Hasil entry data
sasaran 73,6% dari data jumlah balita real menunjukkan angka stunting balita
ter entry tinggi badan per umur pada angka 22,9%. Data Dinas Bapelitbangda
Kabupaten Parigi Moutong jumlah bayi dan balita yang mengalami stunting
berjumlah 33,7%. 8
Berdasarkan Data stunting di Desa Lobu Kecamatan Moutong
berjumlah 32 orang adanya permasalahan gizi terutama stunting hal ini
dikarenakan masih terdapat pola asuh ibu balita yang kurang serta sosial
ekonomi yang kurang memadai yang berhubungaan dengan pemberian
makanan tambahan serta memberikan nutrisi yang lebih seimbang secara
tepat sasaran dan tepat waktu.
Berdasarkan latar belakang serta kajian jurnal maka peneliti merasa
tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Sosial Ekonomi dan
Pola Asuh dengan Stunting di Desa Lobu Kecamatan Moutong.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut “Hubungan Sosial Ekonomi dan Pola
Asuh dengan Stunting di Desa Lobu Kecamatan Moutong?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
5

Untuk menganalisis Hubungan Sosial Ekonomi dan Pola Asuh


dengan Stunting di Desa Lobu Kecamatan Moutong.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi Sosial Ekonomi di Desa Lobu Kecamatan
Moutong.
b. Untuk mengidentifikasi Pola Asuh di Desa Lobu Kecamatan
Moutong
c. Untuk mengidentifikasi Stunting di Desa Lobu Kecamatan Moutong
d. Untuk menganalisis Hubungan Sosial Ekonomi dan Pola Asuh
dengan Stunting di Desa Lobu Kecamatan Moutong
D. Manfaat Penelitian
1. Ilmu Pendidikan
Penelitian ini dapat memberikan edukasi mengenai Hubungan
Sosial Ekonomi dan Pola Asuh dengan Stunting di Desa Lobu
Kecamatan Moutong dan dijadikan sebagai bahan kajian untuk kegiatan
penelitian selanjutnya.
2. Bagi masyarakat
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai
Hubungan Sosial Ekonomi dan Pola Asuh dengan Stunting di Desa Lobu
Kecamatan Moutong.
3. Bagi Penelitian lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penelitian
yang sama dengan variabel-variabel yang luas.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum tentang Stunting


1. Pengertian
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang
dialami anak-anak dari gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi
psikososial yang tidak memadai yang ditunjukkan dengan nilai z-score
tinggi badan menurut usia (TB/U) < -2 standar deviasi berdasarkan standar
World health organization.1
Gizi merupakan suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan
untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari
organ-organ serta menghasilkan energi. Apabila gizi seseorang tidak
terpenuhi maka akan mengakibatkan masalah gizi. Secara garis besar masalah
gizi anak merupakan dampak dari ketidak-seimbangan antara asupan dan
keluaran zat gizi (nutritional imbalance), yaitu asupan yang melebihi
keluaran atau sebaliknya, disamping kesalahan dalam memilih bahan
makanan untuk disantap.7
Anak merupakan investasi sumber daya manusia yang memerlukan
perhatian khusus untuk kecukupan gizinya sejak lahir, bahkan sejak dalam
kandungan. Ketika hamil apapun yang dimakan ibu itulah yang dimakan
janin. Setelah lahir, apapun yang dimakan oleh bayi sejak usia dini
merupakan fondasi yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraannya di
masa mendatang. Balita akan sehat jika sejak awal kehidupannya sudah diberi
makanan sehat dan seimbang sehingga kualitas sumber daya manusia yang
dihasilkan optimal, sebaliknya apabila balita sejak awal kehidupannya tidak
diberikan makanan yang sehat dan seimbang akan menimbulkan masalah gizi
bagi balita. Masalah gizi yang ditimbulkan salah satunya adalah stunting. 8
Seorang anak yang mengalami stunting sering terlihat seperti anak
dengan tinggi badan yang normal, namun sebenarnya mereka lebih pendek
dari ukuran tinggi badan normal untuk anak seusianya. Stunting sudah

5
7

dimulai sejak sebelum kelahiran yang disebabkan karena status gizi ibu buruk
selama kehamilan, pola makan yang buruk, kualitas makanan yang buruk dan
intensitas frekuensi untuk terserang penyakit akan lebih sering. 3
Stunting (tubuh yang pendek) didiagnosis melalui pemeriksaan
antropometri. Tinggi badan anak dinyatakan dalam skor standar nilai tengah
(median of references) yang diterima secara internasional sebagai acuan
menurut usia dan jenis kelamin. Stunting yang sedang menunjukkan tinggi
badan menurut umur yang kurang dari -2SD, nilai dibawah -3SD
menunjukkan keadaan yang sangat parah. Di negara-negara berkembag 33%
menunjukkan kejadian tubuh pendek (stunting). Di negara-negara yang paling
miskin 45% mengalami kejadian tubuh pendek (stunting). Balita stunting
selain mengalami gangguan pertumbuhan, umumnya memiliki kecerdasan
yang lebih rendah dari balita normal. Selain itu, balita stunting lebih mudah
menderita penyakit tidak menular ketika dewasa. 8
2. Faktor-faktor yang menyebabkan Stunting
Penyebab stunting dapat juga dikatakan sebagai suatu bentuk adaptasi
fisiologis pertumbuhan atau non patologis karena dua penyebab utamanya
adalah asupan makanan yang tidak adekuat dan respon terhadap tingginya
penyakit infeksi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stunting terbagi
atas dua macam faktor yaitu faktor secara langsung yakni asupan makanan,
penyakit infeksi, berat badan lahir rendah dan genetik. Sedangkan faktor
secara tidak langsung yakni pengetahuan tentang gizi, pendidikan orang tua,
sosial ekonomi, pola asuh orang tua, distribusi makanan dan besarnya
keluarga/jumlah anggota keluarga.7,8
Banyak penelitian mengungkapkan bahwa prevalensi stunting banyak
ditemukan pada balita dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah,
penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, jumlah anggota keluarga, pekerjaan
ibu dan sanitasi lingkungan.7
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting, yakni sebagai
berikut:
1) Zat Gizi
Zat gizi merupakan salah satu komponen penting dalam proses
tumbuh dan berkembang selama masa kehamilan dan pertumbuhan anak,
8

apabila zat gizi tidak terpenuhi atau kurang terpenuhi maka akan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan pada anak.
2) ASI Ekslusif dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Bayi atau balita dalam praktek pemberian ASI ekslusif maupun MP-
ASI yang kurang optimal dan terbatasnya makanan dalam hal kualitas,
kuantitas dan jenis akan memberikan kontribusi terhadap stunting.1
3) Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya kejadian
stunting, akan tetapi tergantung pada tingkat keparahan, durasi dan
kekambuhan penyakit infeksi yang diderita oleh bayi maupun balita dan
apabila ketidakcukupan dalam hal pemberian makanan untuk pemulihan.
Penyakit infeksi yang sering diderita oleh balita adalah ISPA dan diare. 8
4) Jumlah balita dalam keluarga
masalah gizi stunting disebabkan oleh banyaknya balita didalam
keluarga. jumlah balita dalam keluarga juga mempengaruhi status gizi
balita. Jumlah balita yang terdapat di dalam keluarga, mempengaruhi
kunjungan ibu ke posyandu sehingga mempengaruhi status gizi balita.
Keluarga yang memiliki jumlah balita sedikit maka ibu akan lebih fokus
memperhatikan anaknya, sedangkan jika terdapat jumlah anak balita yang
banyak didalam keluarga maka perhatian ibu akan terbagi. 8
5) Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya kejadian
stunting, karena keadaan sosial ekonomi atau keadaan rumah tangga yang
tergolong rendah akan mempengaruhi tingkat pendidikan rendah, kualitas
sanitasi dan air minum yang rendah, daya beli yang rendah serta layanan
kesehatan yang terbatas, semuanya dapat berkontribusi terkena penyakit
dan rendahnya asupan zat gizi sehingga berpeluang untuk terjadinya
stunting. 8
6) Status Pendidikan Keluarga
Tingkat pendidikan keluarga yang rendah akan sulit untuk menerima
arahan dalam pemenuhan gizi dan mereka sering tidak mau atau tidak
meyakini pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi serta pentingnya
pelayanan kesehatan lain yang menunjang pertumbuhan pada anak,
sehingga berpeluang terhadap terjadinya stunting. Makin tinggi
9

pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin


baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan
anak dan keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada.
Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan,
harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan
kesehatan. kecenderungan kejadian stunting pada balita lebih banyak
terjadi pada ayah yang berpendidikan rendah. Pendidikan yang tinggi
dapat mencerminkan pendapatan lebih tinggi dan ayah akan lebih
memperhatikan gizi istri saat hamil sehingga tidak akan terjadi
kekurangan gizi saat kehamilan yang menyebabkan anak yang akan
dilahirkan stunting, karena stunting disebabkan oleh masalah gizi pada
masa lampau. 8
Keluarga dengan ayah yang berpendidikan rendah dengan
pendapatan yang rendah biasanya memiliki rumah yang tidak layak,
kurang dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan dan kebersihan
lingkungan kurang terjaga, selain itu konsumsi makanan tidak seimbang,
keadaan ini dapat menghambat perkembangan anak. 8
Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki
pengetahuan yang luas dan mudahnya menangkap informasi baik dari
pendidikan formal yang mereka tempuh maupun dari media massa (cetak
dan elektronik) untuk menjaga kesehatan anak dalam mencapai status gizi
yang baik sehingga perkembangan anaknya menjadi lebih optimal.
Semakin tinggi pendidikan ibu maka pengetahuannya akan gizi akan lebih
baik, sebaliknya semakin rendah pendidikan ibu maka pengetahuan akan
gizi akan kurang baik. 8
Rendahnya pendidikan ibu pada saat kehamilan mempengaruhi
pengetahuan gizi ibu saat mengandung. Ibu hamil yang mengalami
kurang gizi akan mengakibatkan janin yang dikandung juga mengalami
kekurangan gizi. Kekurangan gizi pada kehamilan yang terjadi terus
menerus akan melahirkan anak yang mengalami kurang gizi. Kondisi ini
jika berlangsung dalam kurun waktu yang relative lama akan
menyebabkan anak mengalami kegagalan dalam pertumbuhan
(stunting). 8
10

7) Pola Asuh Orangtua


Balita yang ibunya bekerja akan lebih mungkin mengalami stunting
daripada ibu balita yang tidak bekerja, hal ini berkaitan dengan pola asuh
yang diberikan ibu dikarenakan bertemunya ibu dan anak sangat jarang.
Pada umur balita yang masih harus diberikan ASI ekslusif dan makanan
pendamping terkadang tidak tepat sehingga memiliki efek yang besar
pada pertumbuhan anak.7,8
Pola asuh orangtua merupakan suatu proses mendidik,
membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk
mencapai kedewasaan sesuai dengan norma dalam masyarakat .
Pekerjaan tersebut akan memengaruhi pendapatan keluarga, dan akhirnya
akan berpengaruh pada konsumsi pangan anak. Konsumsi pangan dan gizi
pada anak balita yang rendah akibat tingkat pendapatan keluarga dengan
status ekonomi menengah kebawah dapat mempengaruhi status gizi pada
anak balita.9
8) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berat badan lahir rendah dan prematur sering terjadi bersama-sama,
dan kedua faktor tersebut berhubungan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas bayi baru lahir. Berat bayi yang kurang saat lahir beresiko
besar untuk hidup selama persalinan maupun sesudah persalinan.
Dikatakan berat badan lahir rendah apabila berat bayi kurang dari 2500
gram. Bayi prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum
berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim sehingga semakin
muda umur kehamilan, fungsi organ menjadi semakin kurang berfungsi
dan prognosanya juga semakin kurang baik. Kelompok BBLR sering
mendapatkan komplikasi akibat kurang matangnya organ karena kelahiran
premature. 9
9) Jenis Kelamin balita
Masalah stunting lebih banyak diderita oleh anak laki-laki. Beberapa
yang menjadi penyebabnya adalah perkembangan motorik kasar anak
laki-laki lebih cepat dan beragam sehingga membutuhkan energi lebih
banyak. Peningkatan resiko kejadian stunting pada balita laki-laki
berkaitan dengan pemberian makanan tambahan yang terlalu dini dan
kejadian diare yang lebih sering daripada balita perempuan. Selain itu,
11

diduga adanya diskriminasi gender dimana orang tua cenderung lebih


besar perhatiannya terhadap anak perempuan. 9
10) Usia Balita
Balita yang mengalami stunting lebih banyak terjadi pada balita
dengan usia ≥12 bulan dibandingan dengan balita usia <12 bulan. Hal
tersebut disebabkan karena semakin tinggi usia anak makan akan semakin
meningkat kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk pembakaran energi
dalam tubuh. Menurut Suharni (2017) anak usia ≥ 24 bulan- 60 bulan
paling banyak mengalami stunting karena pada usia 24 bulan, anak
memasuki fase penyapihan dan masa tingginya keaktifan dalam
menjelajahi lingkungan sekitar. Selain itu, motorik kasar balita juga
tumbuh dan berkembang pesat. Ditahap ini, beberapa balita akan
menghadapi beberapa kemungkinan yang menyebabkan kekurangan zat
gizi, yaitu nafsu makan anak yang menurun, asupan gizi rendah, jam tidur
yang menurun, mudah terkena infeksi saat ibu/pengasuh kurang
memperhatikan higiene dan sanitasi. 9
3. Dampak Stunting
Stunting memiliki dampak pada kehidupan balita, WHO (2016)
mengklasifikasikan menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang.
1) Concurrent problems dan short-term consequences atau dampak
jangka pendek
a) Sisi kesehatan : angka kesakitan dan angka kematian meningkat
b) Sisi perkembangan : penurunan fungsi kognital, motorik, dan
perkembangan bahasa.
c) Sisi ekonomi : peningkatan health expenditure, peningkatan
pembiyayaan perawatan anak yang sakit.
2) Long-term consequences atau dampak jangka panjang
a) Sisi kesehatan : perawakan dewasa yang pendek, menurunnya
kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi
munculnya penyakit, diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan
pembuluh darah, kanker, stoke, dan disabilitas pada usia tua,
penurunan kesehatan reproduksi
12

b) Sisi perkembangan : penurunan prestasi belajar, penurunan


learning capacity unachieved potensial
c) Sisiekonomi : penurunan kapasitas kerja
Masalah gizi khususnya anak pendek, menghambat perkembangan
anak muda, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam
kehidupan selanjutnya. Studi menunjukan bahwa anak pendek
sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama
pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai
orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang
sangat besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang
berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap
penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek merupakan
predictor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima
secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif
suatu bangsa dimasa yang akan dating.3,9
Balita yang bertubuh pendek (stunting) memperlihatkan perilaku yang
berubah-ubah, perilaku ini meliputi kerewelan serta frekuensi menangis yang
meningkat, tingkat aktivitas yang lebih rendah, entusiasme untuk bermain dan
mengeksplorasi lingkungan yang lebih kecil, berkomunikasi lebih jarang
ekspresi tidak begitu gembira, apatis, serta cenderung untuk berada didekat
ibu.
Penelitian yang pernah dilakukan di Filipina, anak-anak yang bertubuh
pendek (stunted) pada usia 6 bulan memiliki skor IQ yang lebih rendah pada
usia 11 tahun jika dibandingkan anak-anak yang bertubuh pendek pada usia
24 bulan Sejumlah besar penelitian cross-sectional memperlihatkan
keterkaitan antara stunting dengan perkembangan motorik dan mental yang
buruk dalam usia kanak-kanak dini, serta prestasi kognitif dan prestasi
sekolah yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut. Anak-anak yang bertubuh
pendek (stunted) terus menunjukkan kemampuan yang lebih buruk dalam
fungsi kognitif yang beragam. Mereka juga memiliki permasalahan perilaku
lebih terhambat, dan kurang perhatian serta lebih menunjukkan gangguan
tingkah laku (conduct disorder). 10
13

4. Etiologi
Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses kumulatif yang
terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus
kehidupan. Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunting pada anak
dan peluang peningkatan stunted terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak
langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan janin. 9
Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami
intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan
kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan
kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang
berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolik serta mengurangi nafsu
makan, sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak.
Keadaan ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan
pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunted Gizi buruk
kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja seperti yang
telah dijelaskan diatas, tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dan faktor
faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnya. Terdapat tiga faktor
utama penyebab stunting yaitu sebagai berikut :10
1) Asupan makanan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi
dalam makananya itu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin dan
air)
2) Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR)
3) Riwayat penyakit
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa
awal anak lahir, tetapi stunting baru nampak setelah anak berusia 2
tahun. 10
14

5. Pencegahan
a. Cukupi kebutuhan zat besi, yodium dan asam folat
Zat besi, asam folat dan yodium merupakan nutrisi penting yang wajib
dipenuhi ibu haamil untuk mencegah stunting, kekurangan zat besi dan
asam folat dapat meningkatkan risiko anemia pada ibu hamil. Anak
yang lahir dari ibu hamil dengan anemia lebih berisiko mengalami
stunting. 10
b. Hindari paparan asap rokok
Agar janin yang di kandung dapat tumbuh dengan sehat, ibu hamil
harus berhenti merokok dan menghindari paparan asap rokok. Paparan
asap rokok dapat meningkatkan risiko bayi lahir premature atau
memiliki berat badan kurang. 10
c. Rutin melakukan pemeriksaan kandungan
Rutin melakukaan pemeriksaan kandungan adalah hal yag tidak kalah
penting dalam mencegah stunting. Pemeriksaan rutin selama hamil
bermanfaat untuk memastikan nutrisi yang dikonsumsi ibu hamil
cukup dan mendeteksi jika ada komplikasi pada kehamilan. Semakin
cepat diketahui komplikasi kehamilan dapat semakin cepat diatasi. 10
6. Penilaian Status Gizi (Stunting)
Penilaian Status Gizi (PSG) adalah pengukuran terhadap aspek yang
dapat menjadi indikator penilaian status gizi, kemudian dibandingkan
dengan standar baku yang ada. Ruang lingkup PSG terdiri atas pengukuran
langsung kepada individu dan pengukuran secara tidak langsung Untuk
mengetahui keadaan tubuh sesorang (stunting) dapat dilakukan penilaian
status gizi secara langsung. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan
antropometri gizi berdasarkan TB/U (Tinggi Badan menurut Umur).
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TB/U diantaranya adalah
baik untuk menilai status gizi masa lampau. 11
15

Proses pertumbuhan tubuh seseorang berkaitan dengan antropometri,


yaitu ukuran tubuh manusia hasil dari asupan gizi atau akibat dari asupan
gizi seseorang. Bertambahnya ukuran tubuh seseorang merupakan efek
dari asupan zat gizi. Ukuran tubuh seseorang akan berubah seiring dengan
berjalannya waktu. Pertumbuhan yang baik akan menghasilkan ukuran
berat badan dan tinggi badan yang optimal. Jenis-jenis ukuran
antropometri yang digunakan untuk menentukan status gizi stunting adalah
tinggi badan. 11
Tabel 1. Status Gizi dengan Indikator TB/U
Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Sangat Pendek <-3 SD
Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD

B. Tinjauan umum Sosial Ekonomi


Status gizi dipengaruhi oleh dua hal utama, yakni makanan yang
dikonsumsi dan derajat kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi pola
konsumsi keluarga dan pola distribusi makanan antar anggota keluarga. Pola
distribusi makanan antar anggota keluarga dipengaruhi banyak faktor, antara
lain yang penting adalah tingkat upah kerja, alokasi waktu untuk keluarga, dan
siapa pengambil keputusan belanja makanan di rumahtangga. Selanjutnya
derajat kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya pelayanan kesehatan,
ketersediaan air bersih, sanitasi lingkungan dengan hygiene individu, dan
pelayanan sosial lainnya. Memadai tidaknya pelayanan kesehatan, khususnya
bagi masyarakat miskin tergantung anggaran pemerintah yang disediakan
untuk pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya. 10
Faktor yang mempengaruhi status gizi ditinjau dari sosial budaya dan
ekonomi adalah ketersediaan pangan, tingkat pendapatan, pendidikan, dan
penggunaan pangan. Selain sosial dan ekonomi, budaya juga mempengaruhi
status gizi balita. Sebagian masyarakat tradisional masih melakukan kebiasaan
yang tidak baik untuk kondisi kesehatan balita, seperti memberikan air kelapa
dan air tajin kepada bayi baru lahir dan kemudian memperikan makanan. Hal
16

tersebut menunjukkan masih kuatnya kepercayaan masyarakat terkait MP-ASI


yang keliru seperti pemberian makanan prelaktal pada bayi baru lahir, adanya
anggapan anak akan rewel jika tidak diberi makanan padat seperti pisang, atau
anak tidak akan kenyang kalau hanya diberi ASI.12
Pendapatan Sosial ekonomi yang baik dengan kategori, rendah, apa-bila
pendapatan perbulan kurang dari Rp 2.112.250 dan tinggi apabila pendapatan
perbulan lebih atau sama dengan Rp 2.112.250.
C. Tinjauan umum Pola Asuh Orangtua
1. Pengertian
Pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan
orang tua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan,
minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih
sayang, dan lainlain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku
di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. 10
Pola asuh orangtua dalam perkembangan anak merupakan cara yang
digunakan dalam proses interaksi berkelanjutan antara orangtua dan anak
untukmembentuk hubungan hangat, dan memfasilitasi anak untuk
mengembangkan kemampuan anak yang meliputi perkembangan motorik
halus, motorik kasar, bahasa, dan kemampuan sosial sesuai dengan tahap
perkembangannya.11
2. Tipe Pola Asuh Orangtua
Terdapat beberapa pendapat mengenai tipe pola asuh orangtua
diantaranya adalah tipe pola asuh menurut, tiga tipe pola asuh orangtua,
yaitu :
a. Pola asuh otoriter (Diktator)
Pola asuh otoriter (Diktator) adalah pola asuh orangtua yang
mencoba untuk mengontrol perilaku dictator dan sikap anak melalui
perintah perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak
boleh dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas
kepatuhan absolut, sikap mematuhi kata-kata mereka dan
menghormati prinsip serta kepercayaan keluarga tanpa kegagalan.
Orangtua menghukum secara paksa setiap perilaku yang berlawanan
17

dengan standar orangtua. Otoritas orangtua dilakukan dengan


penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam
mengambil keputusan.
Pola asuh otoriter hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik
tetapi mungkin berupa penarikan diri dan rasa cinta dan pengakuan.
Latihan yang hatihati sering kali mengakibatkan perilaku menurut
secara kaku pada anak, yang cenderung untuk menjadi sensitif,
pemalu, menyadari diri sendiri, cepat lelah, dantunduk. Mereka
cenderung lebih sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi mudah
dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih khas terlihat ketika penggunaan
kekuasaan diktator orangtua disertai dengan supervisi ketat dan
tingkat kasih sayang yang masuk akal. Jika tidak, penggunaan
kekuasaan diktator lebihcenderung untuk dihubungkan dengan
perilaku menentang dan antisosial.12
b. Pola asuh permisif (Laissez-Faire)
Pola asuh ini, orangtua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama
sekali atas tindakan anak-anak mereka. Orangtua yang bermaksud
baik ini bingung antara sikap permisif dan pemberian izin. Mereka
menghindari untuk memaksa standar perilaku mereka dengan
mengizinkan anak mereka untuk mengatur aktifitas sendiri sebanyak
mungkin. Orangtua menganggap diri mereka sendiri sebagai sumber
untuk anak bukan merupakan model peran. Tetapi jika peraturan
memang ada, orangtua menjelaskan alasan yang mendasarinya,
mendukung pendapat anak dan berkonsultasi dengan mereka dalam
pembuatan keputusan. Mereka memberlakukan kebebasan dalam
bertindak, disiplin yang inkonsisten, tidak menetapkan batasan-
batasan yang masuk akal, dan tidak mencegah anak merusak rutinitas
di rumah. Orangtua jarang menghukum anak karena sebagian besar
perilaku dianggap dapat diterima. Mereka sangat memanjakan dan
menuruti segala keinginan anak. Anak-anak dari orang tua yang
permisif sering kali tidak mematuhi, tidak menghormati, kurang
18

percaya diri, tidak bertanggungjawab, dan secara umum tidak


mematuhi kekuasaan.12
c. Pola asuh demokratis (Otoritatif)
Pola asuh demokratis adalah pola asuh orangtua yang
mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan menekankan alasan
peraturan secara negatif anak dan mengizinkan mereka untuk
menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga.
Kontrol orangtua kuat dan konsisten tetapi disertai dengan dukungan,
pengertian, dan keamanan. Kontrol difokuskan pada masalah, tidak
ada penarikan rasa cinta atau takut pada hukuman. Orangtua
membantu pengarahan diri pribadi, yaitu suatu kesadaran mengatur
perilaku berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk melakukan
hal yang salah, bukan karena takut tertangkap atau takut dihukum.
Standar realistis orang tua dan harapan masuk akal menghasilkan anak
dengan harga diri tinggi, sangat interaktif dengan anak lain.
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang mendorong anak-
anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan
pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang
ekstensif dimungkinkan dan orangtua memperlihatkan kehangatan
serta kasih sayang kepada anak. Bila perilaku anak memenuhi standar
yang diharapkan, orangtua yang demokratis akan menghargainya
dengan pujian atau persetujuan orang lain.12,10
Tipe mengasuh anak yang paling berhasil tampaknya adalah
metode otoritatif. Orangtua tidak membuat batasan yang kaku dan
memaksa, tetapi tetap mempertahankan kontrol yang kuat, terutama
pada area ketidaksepakatan orangtua dan anak. Sikap permisif
disesuaikan dengan penetapan batas-batas yang masuk akal dan
konsisten. Orangtua saling membagi kekuasaan, dan kedua orangtua
menjadi pemimpin tetapi mendengarkan apa yang dipikirkan oleh
anak.12

3. Alat ukur Pola Asuh


a. Demokratis diberi nilai skor 24-39
19

b. Permisif diberi nilai skor 40-55


c. Otoriter diberi nilai skor 56-72 12

D. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat di gambarkan seperti
tampak pada gambar berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Sosial ekonomi dan Stunting


pola asuh

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

E. Hipotesis
Ada Hubungan Sosial Ekonomi dan Pola Asuh dengan Stunting di Desa
Lobu Kecamatan Moutong.
20

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif desain penelitian analitik
dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari
hubungan antara variabel bebas dan terikat dengan cara pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat.15 Metode penelitian ini adalah kuantitatif dengan
desain penelitian analitik dengan desain penelitian yang digunakan adalah
mencari, menjelaskan suatu hubungan antar variabel dengan pendekatan
Cross Sectional yaitu dimana dalam pengukuran dan pengamatan dilakukan
pada saat yang bersamaan.
Rancangan Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional design yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada Hubungan
Sosial Ekonomi dan Pola Asuh dengan Stunting di Desa Lobu Kecamatan
Moutong.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat
Penelitian akan dilaksanakan di Desa Lobu Kecamatan Moutong
2. Waktu
Penelitian akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni tahun
2020.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu diterapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. 14 Populasi
dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak stunting di Desa
Lobu Kecamatan Moutong berjumlah 32 orang.

2. Sampel
20
21

Sampel adalah sebagian dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi


tertentu. 15 Sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling, yaitu
semua ibu yang mempunyai anak stunting di Desa Lobu Kecamatan
Moutong.
Tekhnik pengambilan sampel menggunakan metode Total Sampling,
yaitu teknik penentuan sampel secara keseluruhan populasi di Desa Lobu
Kecamatan Moutong.
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Independen
Variabel independen atau disebut juga variabel bebas, yaitu
keberadaan dari karakteristik tertentu dari subjek penelitian yang
membawa perubahan terhadap variabel lainnya.15 Variabel independen
dalam penelitian ini adalah Sosial Ekonomi dan Pola Asuh.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dapat
berubah akibat pengaruh variabel independen.15 Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah Stunting.
E. Definisi Operasional
1. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi dalam penelitian ini adalah yang rata-rata keluarga
dengan ekonomi yang cukup atau baik akan menyesuaikan dengan
perkembangan anak. Sosial budaya dan ekonomi adalah ketersediaan
pangan, tingkat pendapatan, pendidikan, dan penggunaan pangan. Selain
sosial dan ekonomi, budaya juga mempengaruhi status gizi balita.
Cara ukur : Pengisian Kuesioner
Alat Ukur : Kuesioner
Skala ukur : Ordinal
Hasil Ukur : Rendah < 2.000.000
Tinggi > 2.000.000
22

2. Pola Asuh
Pola asuh orang tua merupakan suatu proses mendidik serta
membimbing anak dalam keseharian seperti memberikan anak nutrisi yang
seimbang dan kualitas tidur yang baik.
Alat Ukur : Kuesioner
Cara ukur : Pengisian kuesioner
Skala ukur : Ordinal
Hasil Ukur : 1. Demokratis (24-39)
2. Permisif (40-55)
3. Otoriter (56-72)
3. Stunting
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang
dialami anak-anak dari gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi
psikososial yang dilakukan pemeriksaan oleh perawat pada fungsinya.
Alat Ukur : Lembar Observasi
Cara ukur : Pengisian Lembar observasi
Skala ukur : Ordinal
Hasil Ukur : 1. Normal : -2 SD sampai dengan 2 SD
2. Stunting : < -2 SD
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data.15 Instrument yang digunakan yaitu instrument yang sudah
baku diadopsi dari penelitian Khoirun Nisa (2019) dan akan dilakukan uji
validitas dan realibilitas yang telah dimodifikasi. Instrument penelitian dapat
berupa : kuesioner (daftar pertanyaan), yang berkaitan dengan pencatatan data
dan sebagainya. Kuesioner Pola Asuh berisi pertanyaan dengan alternatif
jawaban dalam bentuk alternatif “Ya” atau “Tidak” Pertanyaan ini terdiri dari
15 item dengan pertanyaan positif berjumlah 11 item
(1,2,3,4,5,6,7,9,12,13,15) dan pertanyaan negatif berjumlah 4 item
(8,10,11,14). Dengan cara penentuan skor yaitu untuk pertanyaan positif jika
23

responden menjawab "tidak" mendapat nilai 1 sebaliknya jika responden


menjawab "ya" mendapat nilai 0. Nilai skor terendah adalah 0 dan nilai skor
tertinggi berjumlah 15.
Kuesioner Pendapatan Sosial ekonomi yang baik diperoleh menggunakan
kuesioner yang ditanyakan oleh peneliti kepada responden dengan kategori,
rendah, apa-bila pendapatan perbulan kurang dari Rp 2.000.000 dan tinggi
apabila pendapatan perbulan lebih atau sama dengan Rp 2.000.000. Kuesioner
Sosial ekonomi terdiri dari 10 pertanyaan yang berbentuk multiplechoise,
diberi nilai 1 jika responden menjawab benar dan diberi nilai 0 jika responden
menjawab salah.
Lembar observasi stunting berupa penilaian akhir balita Setelah
informasi umur dan tinggi badan diketahui, maka hal pertama yang dilakukan
ialah meng-input data tanggal wawancara yang dilaksanakan oleh peneliti dan
reponden, tanggal lahir anak, dan tinggi badan balita, sehingga didapatkan
nilai z-skor (TB/U) anak. Sehingga peneliti mengetahui anak yang menjadi
sampel penelitian termasuk dalam kategori status gizi (TB/U) yang sangat
pendek, pendek, normal, atau tinggi dengan melihat tabel kategori dan ambang
batas stunting Stunting : < -2 SD dan Normal : -2 SD sampai dengan 2 SD.
G. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh
peneliti.15 Cara pengumpulan data primer yaitu wawancara langsung dan
observasi dengan menggunakan kuesioner kepada responden dalam hal ini
adalah ibu yang mempunyai anak stunting di Desa Lobu Kecamatan
Moutong.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data atau informasi yang telah tersedia dari
hasil pengumpulan data untuk keperluan tertentu, yang dapat digunakan
sebagian atau seluruhnya sebagai sumber penelitian. 15 Data sekunder
adalah data yang diperoleh dari bagian data Kantor Desa dan Puskesmas
24

di Desa Lobu Kecamatan Moutong, WHO (dunia) dan Riset Kesehatan


Dasar Indonesia.
H. Analisis Data
Analisis data yaitu dengan menggunakan analisa univariat terhadap tiap
variabel. Dari analisa tiap variabel ini diperoleh hasil dalam bentuk
presentase.15
1. Distribusi Frekuensi
Analisis univariate dilakukan dengan cara melihat persentase
data yang terkumpul dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi, kemudian dicari jumlah persentase yang terbesar dari jumlah
masing-masing responden, selanjutnya dihubungkan dengan
menggunakan teori kepustakaan yang ada.15 Rumus yang gunakan untuk
menghitung frekuens tiap-tiap variabel adalah :
f
p= x 100%
n
Keterangan :
p : Persentase jawaban responden
f : Frekuensi
n : Jumlah sampel15
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat, yaitu analisis yang digunakan untuk menjawab
hipotesis. Analisis ini dilakukan untuk melihat kemaknaan hubungan
variabel independen dan dependen dengan menggunakan uji statistik
non-parametrik, yaitu chi-square. Alasan peneliti menggunakan uji chi-
square untuk melihat adanya hubungan antara variabel yang akan diteliti
dengan menggunakan taraf signifikan (α = 0,05). α 0,05 merupakan
batas maksimal tertinggi kesalahan yang dijadikan patokan oleh peneliti.
Kaidah keputusan analisis datanya, yaitu apa bila p-value ≥ 0,05, maka
H0 diterima artinya tidak ada hubungan sebaliknya apabila p-value ≤
0,05 maka H0 ditolak artinya ada hubungan.15
Adapun rumus chi-square, yaitu:
25

( f 0−fe)
x ²= Ʃ
fe
Keterangan:
x²= Nilai Chi-square
f0= Frekuensi Observasi atau Pengamatan
fe= Frekuensi Ekspetasi atau Harapan

Syarat uji chi-square adalah sel yang mempunyai nilai expected


lebih kecil dari lima maksimal 20% dari jumlah sel. Jika syarat uji chi
square tidak terpenuhi, digunakan uji alternative, alternatif uji chi-square
bergantung pada jenis tabel.
a. Untuk tabel 2x2, alternatif uji chi-square adalah uji fisher’s
b. Untuk tabel 2xk atau Bx2 dimana B dan K adalah data kategori
nominal lebih dari dua kategori, alternatif chi-squareadalah
penyerderhanaan sel. Jika penyederhanaan sel tidak logis, terpaksa kita
menggunajakan uji chi-square.
Untuk tabel 2xk atau Bx2, dimana B dan K adalah data kategorik
dengan kategorik lebih dari 2, alternatif chi-square adalah uji mann-
whitney atau penyederhanaan sel.
26

I. Bagan Alur Penelitian

Pengajuan judul proposal

Mengurus Surat Izin Penelitian


Prodi Ners
Tata Usaha Stikes WN Palu
Kepala Sekolah SMAN 9 Palu

Populasi : Balita Desa Lobu Kecamatan


Moutong 32 orang

Teknik Sampling
Total Sampling dengan sampel 32 orang

Informed Consen
Menjelaskan dan meminta persetujuan responden

Pengumpulan Data
Menggunakan data primer dan sekunder

Variabel independen Variabel dependen

Sosial Ekonomi & Pola asuh Stunting

Analisis Data

Univariat Bivariat

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran


27

DAFTAR PUSTAKA

1. UNSCN. Fifth Report on The World Nutrition Situation. SCN, 2016.


2. Riskesdas. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes, 2018.
3. WHO.Annual Report. Diakses pada: Maret 2020 <https://corporate.target
.com/_media/ Target Corp/annualreports /content/ download/ pdf/Annual-
Report.pdf?ext=.pdf>.2016.
4. Naylor, R. L. The Many Faces of Food Security. in The Evolving Sphere of
Food Security (ed. Naylor, R. L.) Oxford University Press, 2015.
5. TNP2K. Gerakan Nasional Pencegahan Stunting dan Kerjasama Kemitraan
Multi Sektor . Jakarta: Sekretariat Wapres RI. 2018.
6. World Bank Group. World Bank investing in Early Years Brief. Washington
DC: World Bank. 2016.
7. Nurmayasanti. M, Status Sosial Ekonomi dan Keragaman Pangan Pada Balita
Stunting dan Non-Stunting Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Wilangan Kabupaten Nganjuk. Open access under CC BY – SA license.
Received: 06-02-2019, Accepted: 11-04-2019, Published online: 01-6-2019.
doi: 10.20473/amnt.v3.i2.2019.114-121, Joinly Published by IAGIKMI &
Universitas Airlangga
8. Provinsi Sulawesi Tengah Data Stunting tahun 2017 dan 2018.
9. Hurlock. Coparenting and Early Coscience Development in the family. The
Journal of Genetic Psychology. Vol. 168 no.2 : h.201-224. 2015
10. Santrock, J. W. Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2015.
11. UNICEF Malnutrition in Number. Unicef Annual Report, 2015.
12. Wong et,all, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Cetakan Pertama Jakarta :
EGC. Ekasari, 2015
13. Lubis, Khoirun Nisa. Hubungan Pola Pengasuhan dan Status Sosial Ekonomi
Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Desa
Panyabungan Jae [skripsi] Universitas Sumatera Utara. 2019.
14. Nur A.F. Misnaniarti . Hubungan pola asuh dengan kejadian stunting balita
dari keluarga miskin di Kota Palembang Jurnal Gizi Indonesia (The
28

Indonesian Journal of Nutrition) Vol. 8, No. 1, Desember 2019 (31-39)


Submitted: 10 Juli 2019, Accepted: 11 Desember 2019 Tersedia Online di
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jgi/.
15. Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Edisi Revisi.
Jakarta : Rineka Cipta, 2012.
16. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta, 2015.

Anda mungkin juga menyukai