Anda di halaman 1dari 16

ASPEK HUKUM PENGAWASAN PERBANKAN SYARIAH OLEH

OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

MAKALAH KELOMPOK
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum yang dibina oleh Ibu
Wasilatur Rohmaniyah, M.A.

Disusun Oleh Kelompok XIV:


Linggo Sibromolis/20382041076
Thoyyibah/20382042116
Ewiko Nova Dwi Cahya/20802041015
Maulina Wulan Santika/20382042029

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat taufiq serta Hidayah-Nya
shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Nabi Muhammad SAW serta keluarga dan sahabat sahabatnya dan para penerus Risalahnya.
Sehingga kami bisa menyelesaikan penyusunan Makalah ini guna memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Perbankan Syariah semester dua ini
Kami selaku penyusun ingin menyampaikan terima kasih sebesar besarnya kepada;
1. Ibu Wasilatur Rohmaniyah, M.A. selaku dosen pengampun mata kuliah Hukum
Perbankan Syariah
2. Orang tua kami yang setiap saat mendukung saya menyelesaikan penyusunan
makalah
3. Dan teman-teman yang membantu membuat makalah ini
Dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu mempermudah proses pembelajaran
dan membawa manfaat bagi kami pada khususnya dan pembaca pada umumnya serta
kami menerima kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun agar
tercapainya kesempurnaan makalah ini.

Wassamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pamekasan, 25 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR................................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………4

A. LatarBelakang..........................................................................................................4
B. Rumusan masala......................................................................................................4

C. Tujuan masalahTujuan............................................................................................4

BABII. PEMBAHASAN.............................................................................................................5

A. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan.........................................................................5


B. Dasar Hukum Otoritas Jasa Keuangan.....................................................................8
C. Latar Belakang Pembentukan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan Perspektif
Teori Gelding...........................................................................................................9
D. Pokok-pokok Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan........................................11
E. Pengawasan Perbankan Syariah Oleh Otoritas Jasa Keuangan............................15

DAFTAR PUSTAKA………….....................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pengawasan perbankan syariah dan unit usaha syariah pada awalnya berada
dalam otoritas Bank Indonesia. Regulasi ini melekat pada Bank Indonesia sebagai
mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagai mana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang. Pengawasan terhadap Bank Syariah dan Unit
Usaha Syaria’ah juga dilakukan Bank Indonesia, sebagai mana pada perbankan
konvensional. Untuk melaksanakan kepentingan tersebut Bank Indonesia,
sebagaimana pada perbankan konvensional.1 Untuk melaksanakan kepentingan
tersebut Bank Indonesia telah dibentuk perbankan syariah. Depertement ini terdiri
dari 4 devisi yaitu Divisi PenelitianPengembangan dan Pengaturan Perbankan
Syariah, Divisi Pengawasan Bank Syariah, Divisi Informasi Perbankan Syariah dan
Divisi Perijinan, Administrasi dan Dokumentasi Perbankan Syariah. 2
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Otoritas Jasa Keuangan?
2. Apa saja dasar hukum Otoritas Jasa Keuangan?
3. Apa yang melatar belakangi pembentukan Undang-undang Otoritas Jasa
Keuangan Perspektif Teori Gelding?
4. Apa saja pokok-pokok Undang-UndangOtoritas Jasa Keuangan?
5. Bagaimana Pengawasan perbankan syariah oleh Otoritas Jasa Keuangan?
C. Tujuan

1. Dapat Memahami apa itu Otoritas Jasa Keuangan


2. Bisa mengetahui apa saja hukum OJK
3. Dapat mengetahui apa yang melatarbelakangi undang-undang OJK perspektif
teori gelding
4. Dapat memahami pokok-pokok undang-undang OJK
5. Dan bisa mengetahui bagaimana pengawasan perbankan syariah oleh OJK

1
Utary Maharany Barus, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Yudhika Dwi Erwanda
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2
Bank Indonesia, Organisasi Perbankan, Diakses di
http://www.bi.go.id/web/id/TentangBI/Organisasi/perbankan.htm, Diakses Pada 25 Februari 2013.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan.3
fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut tidaklah sepenuhnya diberikan
kepada OJK. Akan tetapi OJK tetap bekerjasama dengan BI dan memiliki
kewenangannya masing-masing dalam menjalankan fungsi pengaturan dan
pengawasan. Pengaturan dan Pengawasan kelembagaan, kesehatan, aspek
kehatihatian, dan pemeriksa bank merupakan lingkup microprudential yang menjadi
tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan
macroprudential merupakan tugas dan wewenang BI. Dalam rangka pengaturan dan
pengawasanmacroprudentia4, OJK berkordinasi dengan BI untuk melakukan
himbauan moral (moral suasion) kepada perbankan.5
Otoritas Jasa keuangan (OJK) sebagai lembaga keuangan yang memiliki fungsi
mengatur dan mengawasi, memiliki kewenangan memberikan sanksi kepada
perbankan syariah sebagai pelaku usaha yang melakukan pelanggaran sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 9 huruf g Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa, “OJK berwenang menetapkan
sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan”.
Apabila terjadi sengketa yang merugikan nasabah disebabkan pelanggaran
yang dilakukan oleh perbankan syariah selaku pelaku usaha maka sengketa harus
diselesaikan di dalam Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang berkaitan terlebih dahulu. 6
Kemudian jika tidak terjadi kesepakatan diantara para pihak, maka para pihak
diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan maupun
melalui pengadilan.7
Kewenangan untuk mengenakan sanksi (righttoimposesanction) oleh OJK,
yaitu untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan

3
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
4
Menurut Bismar Nasution, macroprudential adalah mengarahkan dan mendorong bank serta sekaligus
mengawasinya agar dapat ikut berperan dalam program pencapaian sasaran ekonomi makro, baik yang terkait
dengan kebijaksanaan umum untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemantapan neraca pembayaran,
perluasan lapangan kerja, kestabilan moneter, maupun upaya pemerataan pendapatan dan kesempatan
berusaha. Kewenangan macroprudential ini memiliki ruang lingkup di luar daripada kewenangan yang telah
diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Sedangkan
microprudential adalah upaya agar setiap bank secara individual sehat dan aman, serta keseluruhan industri
perbankan menjadi sehat dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat. Kewenangan microprudential
terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan.
5
Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia, Edisi 1 (Maret 2014), hlm. 19.
6
Lihat Pasal 2 Ayat (1) POJK Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa.
7
Lihat Pasal 2 Ayat (2) POJK Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas
perbankan yang sehat.8
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan
asas-asas sebagai berikut:
1. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan
umum;
4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta
rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan;
5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap
berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam
setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas
Jasa Keuangan; dan
7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Adapun tujuan OJK dibentuk adalah sebagai berikut:


a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel
b. Mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, serta
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Maka dengan tujuan tersebut diharapkan OJK dapat menjalankan fungsinya


dengan baik menjadi lembaga keuangan yang memiliki peran pentingmeningkatkan
perekonomian di Indonesia, menjaga kepentingan nasional dan menjaga segala
kegiatan sektor jasa keuangan berjalan dengan baik dan sesuai aturan termasuk
hubungan lembaga keuangan termasuk perbankan syariah dengan nasabah. OJK
diharapkan dapat menghindarkan perbankan syariah dari perbuatan sewenang-
8
Otoritas Jasa Keuangan, Op Cit , hlm. 26
wenang yang dapat merugikan nasabah dalam hal ini penerapan kelausulaeksonerasi
atau pengalihan tanggung jawab pada klausula baku yang dibuat oleh pihak
perbankan syariah sebagai pelaku usaha yang mana perbuatan tersebut jelas
melanggar ketentuan yang berlaku.
Terkait dengan pengembangan sistem pengawasan perbankan syariah, telah
dilakukan pengembangan Sistem Informasi Perbankan (SIP) Modul Syariah untuk
Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), laporan bulanan BUS,
Sistem Pengawasan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Rencana Bisnis Bank
(RBB) untuk BPRS serta sosialisasi dan pelatihan kepada pengawas bank syariah.
Guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas OJK terkait
pengawasan lembaga keuangan syariah, termasuk perbankan syariah, Dewan
Komisioner OJK telah menetapkan pembentukan Komite Pengembangan Jasa
Keuangan Syariah (KPJKS) dan Tim Kerja Pengembangan Jasa Keuangan Syariah. 9
Akan tetapi OJK masih dirasa kurang berkompeten dalam mengawasi
kegiatan operasional perbankan syariah ditandai dengan masih banyaknya
kasuskasus yang melibatkan perbankan syariah ditandai dengan masih banyaknya
kasuskasus yang melibatkan perbankan syariah sebagai pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran dalam akadnya. OJK diharapkan menjadi lembaga yang
mampu melindungi segala kepentingan para pihak dalam sektor jasa keuangan dan
mampu menjalankan perannya dalam mengawasi terlaksananya kegiatan
operasional perbankan syariah dengan baik dan sesuai aturan yang berlaku termasuk
atas penyalahgunaan wewenang perbankan syariah sebagai pihak yang memiliki
kedudukan lebih tinggi dalam membuat perjanjian baku yang menerapkan
klausulaeksonerasi atau pengalihan tanggung jawab yang merugikan nasabah.
Jika berbicara mengenai pengawasan, ada beberapa prinsip dan metode yang
digunakan dalam pengawasan bank, termasuk perbankan syariah, meliputi:
pengaturan, pengawasan tidak langsung (off-sitesupervision) pengawasan
langsung/pemeriksaan (on-sitesupervision), kontak dan komunikasi teratur
denganbank, tidak remedial dan.atau penerapan sanksi, kerja sama dengan otoritas
pengawasan bank lain.10
Pengawasan perbankan syariah pada dasarnya memiliki dua sistem. Pertama,
pengawasan dari aspek keuangan, kepatuhan pada perbankan secara umum dan
prinsip kehati-hatian bank. Kedua, pengawasan syariah pada kegiatan operasional
bank.11

9
Setiawan Budi Utomo, Peran OJK dalam Pengawasan dan Pengembangan Lembaga Jasa K e u a n g a n S y a
ria h , Makalah disampaikan dalam Bimbingan Teknis Ekonomi Syariah pada PTA Pekanbaru, 18 Mei 2015, hlm.
43.

10
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bnak, Gramedia Pustaka Utama,2004, hlm. 8
11
Maslihati Nur Hidayati, Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi Tentang
Pengawasan Bank Berlandaskan Prinsip - Prinsip Islam, Lex Jurnalica, Vo. 6, No. 1 (Desember 2008), hlm. 68.
B. Dasar Hukum Otoritas Jasa Keuangan

Dasar hukum UU 21 tahun 2011 tentang OJK adalah:


1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
Adapun bentuk sanksi administratif telah diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan Pasal 53 yang menyatakan sanksi administrasi yang diberikan
berupa:
(a). Peringatan tertulis;
(b).Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
(c). Pembatasan kegiatan usaha;
(d). Pembekuan kegiatan usaha; dan
(e). Pencabutan izin kegiatan usaha.
Adapun bentuk lain dari sanksi administratif diatur dalam Pasal 52 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
UndangNomot 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa sanksi
administratif berupa :
1.1. denda uang;
1.2. teguran tertulis;
1.3. penurunan tingkat kesehatan bank;
1.4. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
1.5. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun
untuk bank secara keseluruhan;
1.6. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;
1.7. pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar
orang tercela di bidang Perbankan.
C. Latar Belakang Otoritas Jasa Keuangan Perspektif Teori Gelding
Otoritas Jasa Keuangan atau yang lebih dikenal dengan sebutan OJK
berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang – Undang Otoritas JasaKeuangan merupakan
lembaga yang independen dan bebas dari campurtangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenangpengaturan, pengawasan, pemeriksaan,
dan penyidikan dalam undang – undang Otoritas Jasa Keuangan tersebut.Pendorong
dibentuknya lembaga pengawas sektor jasa keuangan satunya Otoritas Jasa
Keuangan yakni untuk sektor jasa keuanganyang bekerja secara efisien sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan masasekarang.1

Oleh sebab itu berdasarkan Pasal 4 Undang – Undang OtoritasJasa Keuangan


tujuan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini dipertegasyakni agar keseluruhan
kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasakeuangan terselenggara secara teratur,
adil, transparan, dan akuntabel,serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secaraberkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan
Konsumendan masyarakat.

Tugas Otoritas Jasa Keuangan dilihat berdasarkan Pasal 6 Undang–Undang


Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa :

“Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian,DanaPensiun,Lembaga


Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.”

Pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas


Jasa Keuangan dilaksanakan berdasarkan beberapa kewenangan yang diatur pada
Pasal 8 dan Pasal 9 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Berdasarkan pasal 9 huruf c dalam pelaksanaan tugas pengawasan
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untukmelakukan perlindungan Konsumen
terhadap Lembaga Jasa Keuangan,pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa
keuangan di sektor jasa keuangan.

Melihat dari ketentuan pasal 9 huruf c tersebut, maka kewenangan Otoritas


Jasa Keuangan perlindungan Konsumen diatur lebih lanjut di dalam beberapa pasal
yakni:

1. Berdasarkan Pasal 28 Undang – Undang Otoritas Jasa Keuangan :

“Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan


berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat
yang meliputi :
a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor
jasa keuangan, layanan, dan produknya;

b. Meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila


kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan

c. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
– undangan di sektor jasa keuangan.”

2. Berdasarkan Pasal 29 Undang – Undang Otoritas Jasa Keuangan :

“Otoritas Jasa Keuangan melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yang meliputi :

a. Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan Konsumen


yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan;

b. Membuat mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di


Lembaga Jasa Keuangan;

c. Memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di


Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang – undangan di sektor
jasa keuangan.”

3. Berdasarkan Pasal 30 Ayat (1) Undang – Undang Otoritas Jasa Keuangan yaitu :

“untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan berwenang


melakukan pembelaan hukum, yang meliputi :

a. Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa


Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa
Keuangan dimaksud;

b. Mengajukan gugatan :

1. Untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak
yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang
menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan
itikad baik; dan/atau

2. Untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada
Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas
peraturan perundang – undangan di sektor jasa keuangan.”

D. Pokok-pokok undang-undang otoritas jasa keuangan

Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat


ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang
memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.
Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan
batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa
keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang
jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi
jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-
Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan
peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan
lainnya.

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan


disahkan Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada tanggal 22
November 2011. UU 21 tahun 2011 tentang OJK diundangkan Menkumham Amir
Syamsudin pada tanggal 22 November 2011 di Jakarta.

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ditempatkan


pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111. Penjelasan Atas
UU 21 tahun 2011 tentang OJK ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253. Agar setiap orang mengetahuinya.

Dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh


dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan
seimbang di semua sektorperekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara
adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka program pembangunan ekonomi nasional
harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan
perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh ke
seluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Program pembangunan
ekonomi nasional juga harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel yang
berpedoman pada prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mencapai
tujuan tersebut, program pembangunan ekonomi nasional perlu didukung oleh tata
kelola pemerintahan yang baik yang secara terus menerus melakukan reformasi
terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu
komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah sistem
keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi
bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional.

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan


jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung
kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya
saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara
lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di
sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.

kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang


dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan
Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan
Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di
sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas
lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini
melibatkan keterwakilan unsur- unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio.
Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan
harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan.
Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan
nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan
koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara
stabilitas sistem keuangan.

Undang-Undang otoritas keuangan :

1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

2. Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan
kolegial.

3. Kepala Eksekutif adalah anggota Dewan Komisioner yang bertugas memimpin


pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan
tugasnya kepada Dewan Komisioner.

4. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor


Perbankan, PasarModal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

5. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup


kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.

6. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan
perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal.

7. Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi,


yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui
pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat
pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang
tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang, usaha reasuransi, dan
usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan,
penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria, sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai usaha perasuransian.

8. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program
yang menjanjikan manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai dana pensiun.

9. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan


dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan.

10. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan,


lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder
perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat
yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan
kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat
yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh
OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.

11. Peraturan OJK adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner,
mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

12. Peraturan Dewan Komisioner adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh
Dewan Komisioner dan mengikat di lingkungan internal OJK.

13. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

14. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana


dimaksud dalam undang-undang mengenai lembaga penjamin simpanan.

15. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau


memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain
nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada
Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.

16. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.

17. Gubernur Bank Indonesia adalah pemimpin merangkap anggota Dewan


Gubernur Bank Indonesia.
18. Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang keuangan.

19. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan adalah pemimpin


merangkap anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.

20. Ex-officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan
kewenangannya pada lembaga lain.

21. Komite Etik adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas
mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode
etik.

22. Dewan Audit adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas
melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas OJK serta menyusun standar audit dan
manajemen risiko OJK.

23. Panitia Seleksi adalah panitia yang dibentuk oleh Presiden yang bertugas untuk
memilih dan menetapkan calon anggota Dewan Komisioner untuk disampaikan
kepada Presiden.

24. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

25. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan adalah forum koordinasi yang
dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang anggotanya terdiri atas
Menteri Keuangan selaku koordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia
selaku anggota, Ketua Dewan KomisionerLembaga Penjamin Simpanan selaku
anggota, dan Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota.

E. Pengawasan perbankan Syariah oleh otoritas jasa keuangan

undng-undang nomer 21 tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan, segala


aktifitas perbankan diawasi oleh satu Lembaga yang bernama otoritas jasa keuangan
atau yang disebut OJK, otoritas jasa keuangan itu sendiri adalah Lembaga negara
yang dibentuk berdasarkan undang-undang nomor 21 tahun 2011 yang berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

selanjutnya disingkat OJK adalah Lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi ,tugas,dan wewenang pengaturan
,pemeriksaan, dan penyelidikan. Jasa keuangan didirikan untuk menggunakan peran
Bapepan-LK .

a.pengawas Syariah

1. dewan pengawas Syariah


Merujuk pada surat keputusan dewan Syariah nasional nomor 3 tahun
200, bahwa dewan pengawas Syariah ( DPS ) adalah bagian dari Lembaga
keuangan Syariah yang bersangkutan, yangpenempatannya atas persetujuan
dewan pengawas Syariah ( DPS ) .

Dewan pengawas Syariah adalah suatu badan yang bertugas


mengawasi pelaksanaan keputusan DSN dilembaga keuangan Syariah. DPS
diangkat dan diberhentikan dilembaga keuangan Syariah melalui RUPS
setelah mendapatrekomendasi dari DSN .

2. fungsi DPS

Fungsi dewan pengawas Syariah adalah sebagai berikut :

- DPS melakukan pengawasan secara periodic pada Lembaga


keuangan Syariah yang berada dibawah pengawasannya.

- DPS berkewajiban mengadakan usul-usul pengembangan


Lembagakeuangan Syariah kepada pimpinan Lembaga yang bersangkutan
dan pada DSN .

- DPS melaporkan perkembangan produk dan operasional Lembaga


keuangan Syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali
dalam tahun anggaran .

- DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan


pembahasan DSN .
DAFTAR PUSTAKA :

Utary Maharany Barus, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
Yudhika Dwi Erwanda Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bank Indonesia, Organisasi Perbankan, Diakses di


http://www.bi.go.id/web/id/TentangBI/Organisasi/perbankan.htm, 25 Februari 2013.

Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia, Edisi 1 (Maret 2014), hlm. 19.

Pasal 2 Ayat (1) POJK Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif


Penyelesaian Sengketa.

Pasal 2 Ayat (2) POJK Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif


Penyelesaian Sengketa

Otoritas Jasa Keuangan, Op Cit , hlm. 26

Setiawan Budi Utomo, Peran OJK dalam Pengawasan dan Pengembangan Lembaga
Jasa Keuangan syariah dalam Bimbingan Teknis Ekonomi Syariah pada PTA Pekanbaru, 18
Mei 2015, hlm. 43.

Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bnak, Gramedia Pustaka


Utama,2004, hlm. 8

Maslihati Nur Hidayati, Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan:
Studi Tentang Pengawasan Bank Berlandaskan Prinsip - Prinsip Islam, LexJurnalica, Vo. 6, No.
1 (Desember 2008), hlm. 68.

Zaky nouval, 2015 :http: //digilib. Uin suka. ac. id//URL.

2011. UU 21 tahun 2011 tentang OJK. http:// www.jogloabang.com.

Anda mungkin juga menyukai