Badan Legislatif Spi
Badan Legislatif Spi
Badan legislatif (parlemen)/assembly, yaitu lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang yang
anggota-anggotanya merupakan representasi dari rakyat Indonesia di mana pun dia berada yang dipilih
melalui pemilihan umum. Badan ini lebih mengutamakan representatif anggota-anggotanya dan ia juga
dinamakan People’s Representative Body, biasanya anggota legislatif terdiri dari 500-1000 orang. Fungsi
Legislatif sendiri membuat undang-undang. Dalam hal membuat UU, badan ini memiliki hak Inisiatif yaitu hak
untuk mengajukan usul Rancangan Undang-Undang atau Peraturan daerah (Raperda), Selain itu hak untuk
mengamandemen terhadap rancangan UU yang disusun oleh pemeriah, terutama di bidang Budget dan
anggaran. Selain itu, badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif agar sesuai
dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkannya.
Landasan teori yang melatar belakangi adanya badan legislatif (parlemen) ini yang dikemukakan oleh
Rousseau, tentang Volonte Generale atau General Will yang menyatakan bahwa “Rakyatlah yang berdaulat,
rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan”. Miriam Budiarjo, Dewan Perwakilan Rakyat dianggap
merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum ini dengan jalan mengikat seluruh masyarakat. Undang-
undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa merupakan
badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Pada tahun 1950-1956 indonesia pernah membentuk badan konstituante, badan Konstituante ini di terapkan
pada masa demokrasi liberal badan konstituante merupakan lembaga negara Indonesia yang ditugaskan
untuk membentuk undang-undang dasar atau konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pembentukan
UUD baru ini diamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950 yang menyatakan, bahwa Badan Konstituante
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia
yang akan menggantikan UUDS 1950. Kelahiran Badan Konstituante juga dilandasi oleh suatu pemikiran
bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1950 tanggal 15 Agustus 1950 itu berpredikat sementara, hal ini tertera dalam konsiderans “Menimbang” dari
undang-undang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tertera pasal- pasal
yang berkaitan dengan badan yang disebut Konstituante itu.
2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada
tanggal 17 Agustus 195
DPRS yang merancang UUDS ini mempunyai kira-kira 235 anggota terdiri atas 148 anggota dari DPR-RIS, 29
anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari Dewan
Pertimbangan Agung Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Badan ini telah membicarakan 237
Rancangan Undang-Undang dan menyetujui 167 yang di antaranya menjadi Undang-Undang, yang terpenting
di antaranya adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang pemilihan Anggota-Anggota Konstituante dan
Anggota-Anggota Badan legislatif. Juga telah menyetujui 21 mosi dari 82 yang diusulkan, 16 interpelasi dari 24
yang diajukan, 1 angket dan melaksanakan 2 kali hak budget.
1. Masjumi 43 orang
2. PNI 42 orang
5. PKI 17 orang
6. PSI 15 orang
7. PRN 13 orang
9. Demokrat 9 orang
11. NU 8 orang
DPR mempunyai hak menanya dan hak memperoleh penerangan dari menteri-menteri, yang
pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum RI.
DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete) menurut aturan-aturan yang ditetapkan UU. Untuk keperluan
ini dapat dibentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota badan
legislatif lainnya, yang selanjutnya merumuskan pendapatnya mengenai soal ini, dengan harapan agar
diperhatikan oleh pemerintah.
Ketua, anggota DPR dan menteri-menteri tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena apa yang
dikemukakan dalam rapat atau surat kepada majelis, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang
dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan.
Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh MA, pun sesudah
mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan UU dan
yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan UU.
Umumnya dianggap bahwa hak mosi merupakan kontrol yang paling ampuh. Jika badan legislatif menerima
mosi tidak percaya, dalam sistem parlementer, kabinet harus mengundurkan diri dan terjadi suatu krisis
kabinet..
Sama halnya dengan UUD RIS, UUDS juga menganut sistem pemerintahan parlementer. DPRS dapat memaksa
kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Namun berbeda dengan ketentuan dalam UUD
RIS, UUDS memasukkan pula ketentuan bahwa presiden dapat membubarkan DPRS, kalau DPRS dianggapnya
tidak mewakili kehendak rakyat lagi.
kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota
Konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956, tetapi pada kenyataannya hingga tahun 1958 belum
juga berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara itu, pendapat demi pendapat yang
menginginkan untuk kembali kepada UUD 1945 muncul dan semakin kuat di kalangan masyarakat.
Menanggapi hal ini, Presiden Ir. Soekarno pun menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22
April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. Pada 30 Mei 1959, Konstituante
melaksanakan pemungutan suara, dengan hasil 269 suara setuju untuk kembali ke UUD 1945, dan 199 suara
tidak setuju.
Namun demikian, banyaknya pihak yang setuju tidak lantas membuat UUD 1945 menggantikan UUDS 1950.
Kuorum, atau jumlah minimum anggota yang harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih
dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan dianggap belum memenuhi kala itu.
Alhasil, pemungutan suara pun harus diulang. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni
1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan,
pada tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (masa perhentian sidang parlemen; masa istirahat
dari kegiatan bersidang) yang kemudian malah berakhir untuk selama-lamanya.
Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal
A.H. Nasution atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu) pun mengeluarkan peraturan
No.Prt/Peperpu/040/1959 yang berisi larangan melakukan kegiatan-kegiatan politik. Pada tanggal 16 Juni
1959, Ketua Umum PNI Suwirjo mengirimkan surat kepada Presiden agar mendekritkan berlakunya kembali
UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.mpada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, demi
keselamatan negara berdasarkan staatsnoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi negara), Presiden Soekarno
akhirnya mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Pembubaran Konstituante