Pong Tiku (atau Pontiku dan Pongtiku; 1846 – 10 Juli 1907), dikenal dengan nama Ne'
Baso, adalah pemimpin dan gerilyawan Toraja yang beroperasi di Sulawesi bagian selatan,
sekarang bagian dari Indonesia.
Pong Tiku
Meninggal Juli 10, 1907 (berusia 60–61) Tondon, Tana Toraja, Hindia Belanda
Kehidupan awal
Tiku lahir di dekat Rantepao di dataran tinggi Sulawesi (sekarang Kabupaten Toraja Utara,
Sulawesi Selatan) pada tahun 1846. Waktu itu, Sulawesi Selatan merupakan pusat
perdagangan kopi dan dikuasai oleh beberapa panglima perang. Tiku adalah anak terakhir
dari enam bersaudara yang lahir dari salah satu keluarga panglima perang tersebut. Ia
merupakan putra dari Siambe' Karaeng, penguasa Pangala' , dan istrinya, Leb'ok. Sebagai
pemuda yang atletis, Tiku sangat ramah terhadap Kehidupan awal pedagang kopi yang
mengunjungi desanya.
Pada tahun 1880, pecah perang antara Pangala' dan Baruppu' , negara tetangga yang
dikuasai Pasusu. Tiku pun memimpin serangan ke negara tetangganya. Setelah Pasusu
dikalahkan, Tiku menggantikannya sebagai penguasa Baruppu'. Kerajaan yang baru
dicaplok ini memiliki sawah yang luas dan aman sehingga Tiku memiliki kekuasaan yang
besar. Meski suku Toraja umumnya lebih menghargai tenaga manusia dan membunuh
orang secukupnya saja, sejarah lisan Baruppu' mendeskripsikan Tiku sebagai sosok
pembunuh yang tidak memandang pria, wanita, atau anakanak.
Tak lama kemudian, ayah Tiku meninggal dunia. Tiku naik sebagai penguasa Pangala'.
Sebagai pemimpin, Tiku berusaha memperkuat ekonomi setempat dengan meningkatkan
perdagangan kopi dan persekutuan strategis dengan sukusuku Bugis di dataran rendah.
Kesuksesan ekonomi ini membuat para penguasa di sekitarnya menghormati dan
mengagumi Tiku.
Pemimpin militer Bone, Petta Panggawae, dan pasukan Songko' Borrong [a] pimpinannya
menyerbu Pangala' dan bersekutu dengan Pong Maramba' , seorang penguasa kecil.
Panggawae menduduki ibu kota Tondon dan menjarahnya. Tiku dan warga sipil terpaksa
meninggalkan wilayah tersebut. Tiku, dibantu pemimpin Sidenreng, Andi Guru, merebut
kembali sisa-sisa Tondon malam itu juga. Perang berakhir tahun 1890 setelah utusan
Belanda – mewakili pemerintah kolonial di Jawa – tiba di Bone. Namun demikian, negara-
negara yang masih berdiri saat itu mulai berebut kekuasaan atas perdagangan senjata dan
budak; setiap negara saling menukarkan senjata dengan budak.
Serbuan Belanda
Pada 1905, tanah-tanah Bugis dan Toraja sebelumnya telah disatukan dalam empat wilayah
utama, yang Serbuan Belanda salah satunya dibawah kepemimpinan Tiku. Pada bulan Juli
tahun tersebut, raja Gowa, sebuah negara tetangga, mulai mengumpulkan prajurit untuk
bertarung melawan para tukang invasi dan mempertahankan sisa-sisa tanah Toraja dari
penaklukan. Ma'dika Bombing, seorang pemimpin dari negara selatan, menunjuk Tiku
sebagai asistennya. Sebulan setelah para pengirim kabar disebar, para pemimpin
berkumpul di Gowa untuk membuka rencana aksi. Hasilnya, para penguasa lokal berhenti
berperang satu sama lain dan berfokus pada Belanda, yang memiliki kekuatan unggul;
namun, konflik-konflik internal tak secara keseluruhan mereda. Pada saat sebuah
pertemuan dilangsungkan, Belanda mulai membuat penyerduan ke Luwu. Tiku,
memerintahkan pengusiran Belanda dari kota pertahanan Rantepo dengan mulai
menghimpun pasukannya dan menempatkan pada pertahananpertahanannya.
Pada Januari 1906, Tiku mengirim para pengintai ke Sidareng dan Sawitto, sementara
Belanda yang melakukan invasi, menyelidiki cara bertempur mereka. Ketika para pengintai
melaporkan bahwa pasukan Belanda memiliki kekuatan yang besar dan tampaknya
menggunakan kekuatan sihir saat melawan pasukan Bugis, ia memerintahkan para pasukan
di benteng-bentengnya untuk bersiap dan mulai mengumpulkan cadangan makanan
berupa beras; sebulan kemudian, Luwu jatuh ke tangan pasukan Belanda, yang membuat
pasukan Tiku berpindah ke tempat yang lebih pelosok. Pada bulan Februari, para pasukan
Tiku, yang dikirim ke kerajaan-kerajaan selatan, mengabarkan bahwa tak lama lagi
kepemimpinan koheren dan dua kerajaan kalah melawan bangsa Eropa. Kabar tersebut
membuat Tiku menghimpun pasukan yang lebih banyak lagi dan membentuk dewan militer
yang beranggotakan sembilan orang, dengan dirinya sendiri sebagai pemimpinnya.
Pada Maret 1906, kerajaan-kerajaan lainnya semuanya runtuh, meninggalkan Tiku sebagai
penguasa Toraja terakhir. Belanda mengambil alih Rantepao tanpa perlawanan, tanpa
menyadari bahwa penyerahan kota tersebut diatur oleh Tiku. Melalui sebuah surat, Kapten
komandan Belanda Kilian meminta Tiku untuk menyerah, sebuah permintaaan yang enggan
ditepati Tiku. Menyadari bahwa Tiku memiliki pasukan dan sejumlah benteng, Kilian tidak
berniat untuk melakukan serangan secara langsung. Sehingga, pada April 1906, ia mengirim
sebuah kelompok ekspedisioner ke Tondon. Namun pendekatan kelompok tersebut ditolak,
setelah pada tengah malam pasukan Tiku menyerang kamp Belanda di Tondon; peristiwa
tersebut memaksa pasukan Belanda untuk mundur ke Rantepao sementara pasukan Tiku
mengejar serta membuat banyak korban menderita di sepanjang jalan.
Aksi militer Tiku berdasarkan pada pengalamannya bertarung dengan penguasa lain.
Sementara itu, Belanda dan pasukan pribumi campuran mereka, tak berhasil mengalahkan
pasukan Tiku dan tak tahan dengan cuaca dingin yang terbilang tinggi
BIOGRAFI
PAHLAWAN: PONG TIKU
D
I
S
U
S
U
N