Anda di halaman 1dari 2

BELAJAR PENGALAMAN METAKOGNISI DARI “GULA SEMUT”

Oleh : Zaenal Arifin, S.TP, M.Pd


(Guru SMKN 1 Karangtengah)

Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976,
yaitu seorang psikolog dari Universitas Stanford. Menurutnya metakognisi merupakan
pemikiran tentang pemikiran (thinking about thinking) atau pengetahuan seseorang tentang
proses kognitifnya (One’s knowledge concerning one’s own cognitive processes). Kata
metakognisi terdiri dari dua kata, yaitu meta dan kognisi. Meta artinya setelah, melebihi,atau
di atas. Sedangkan kognisi adalah mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses
berpikir.
Pendapat lain menyatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang
sistem kognitifnya, berpikir seseorang tentang berpikirnya, dan keterampilan esensial
seseorang dalam belajar untuk belajar (Zakariya, 2015).
Artinya metakognisi tingkatannya lebih tinggi dari sekedar belajar, tapi berfikir
tentang proses belajarnya itu.
Pengalaman metakognisi (metacognitive experimences) adalah pengaturan kognisi dan
pengalaman belajar seseorang yang mencakup serangkaian aktivitas yang dapat membantu
dalam mengontrol kegiatan belajarnya. Ada 3 hal penting dalam membentuk pengalaman
metakognisi yaitu Perencanaan, Pemantauan dan Evaluasi.

1. Proses perencanaan merupakan keputusan tentang berapa banyak waktu yang


digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, strategi apa yang akan dipakai,
sumber apa yang perlu dikumpulkan, bagaimana memulainya, dan mana yang harus
diikuti atau tidak dilaksanakan lebih dulu. 
2. Proses Pemantauan. Proses pemantauan merupakan kesadaran langsung tentang
bagaimana kita melakukan suatu aktivitas kognitif. Proses pemantauan membutuhkan
pertanyaan seperti: adakah ini memberikan arti?, dapatkah saya untuk melakukannya
lebih cepat? dan lain-lain.
3. Proses Evaluasi. Proses evaluasi memuat pengambilan keputusan tentang proses yang
dihasilkan berdasarkan hasil pemikiran dan pembelajaran. Misalnya, dapatkah saya
mengubah strategi yang dipakai?, apakah saya membutuhkan bantuan?

Bagi sebagian kalangan gula semut adalah kata yang belum cukup populer bahkan
terdengar asing. Jika disebutkan kata gula semut yang terbayang adalah gula dan semut
berkumpul menjadi satu, padahal bukan seperti itu. Gula semut (aren) adalah gula merah
berbentuk serbuk/kristal menyerupai sarang semut sehingga disebut gula semut. Gula merah
yang berbentuk kristal ini penggunaannya lebih praktis sehingga dapat diaplikasikan untuk
pemanis pada teh, kopi atau jahe instan.
Proses pembuatan gula semut bukan sesuatu yang sulit tapi juga tidak mudah. Tapi
memang membutuhkan kemampuan dan teknik tersendiri mengingat sebagian besar proses
pembuatan gula semut dilakukan secara konvensional. Titik kritis dalam proses pembuatan
gula semut adalah menentukan titik akhir pemasakan larutan gula dan penggunaan suhu yang
tepat.
Pada proses konvensional, indikator larutan gula siap untuk dikristalisasi adalah
dengan melihat tingkat kekentalan larutan gula. Jika sudah mengental dan menetes
membentuk benang halus artinya titik akhir pemasakan sudah tercapai. Ada kalanya titik akhir
ini sulit untuk dilakukan pengontrolan, apalagi jika penggunaan api pada kompor terlalu besar.
Maka dari itu proses pemasakan gula dilakukan 2 tahap yaitu suhu tinggi dan jika sudah
mengental turunkan ke suhu rendah hingga mencapai titik akhir pemasakan.
Bukan sekali dua kali siswa saat melakukan proses pembuatan gula semut mengalami
kegagalan. Kegagalan yang pertama adalah gula semut tidak membentuk kristal tapi gula
merah tetap basah dan tidak mengering, pada kegagalan ini siswa diminta untuk melakukan
evaluasi perencanaan yaitu menghitung kembali berapa banyak air yang ditambahkan untuk
melarutkan gula, yang kedua adalah mengecek kembali suhu dan titik akhir pemasakan apakah
sudah tepat atau tidak.
Kegagalan kedua adalah gula semut yang dihasilkan memiliki kristal-kristal yang besar
dan tidak menyerupai gula semut. Pada kegagalan ini pun siswa diminta mengevaluasi
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Setelah dianalisis dapat disimpulkan bahwa penyebabnya
adalah penggunaan suhu tinggi terlalu lama dan terlewatnya titik akhir pemasakan. Hal ini
pula yang menyebabkan weight loss menjadi tinggi, sehingga rendemen gula semut yang
dihasilkan sangat rendah.
Seiring berjalannya waktu para siswa terus menerus belajar dari apa yang telah
dipelajarinya dan kemudian melatih intuisi dan analisisnya dalam menghasilkan gula semut
berkualitas. Inilah pentingnya kemampuan pengalaman metakognisi dalam membentuk
karakter siswa. Di mana siswa harus mampu mengevaluasi terhadap proses-proses belajar
yang telah dilakukannya sendiri untuk menjadikan proses belajarnya itu menjadi lebih baik
dan membentuk pengalaman metakognisi. Para siswa juga dituntut untuk mampu mengambil
keputusan secara tepat dan cepat (decision making), mampu menemukan solusi (problem
solving) atas permasalahan dalam proses belajarnya. Pengalaman metakognisi diharapkan
mampu untuk membentuk karakter siswa dan sehingga mampu bersaing secara global. Inilah
sesungguhnya kemampuan yang harus dimiliki dalam pembelajaran abad 21 yaitu tuntutan
kemampuan softskill dan attitude menjadi sangat dominan dari sekedar kemampuan yang
sifatnya teknis.

Anda mungkin juga menyukai