Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH ESAI

INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO)


DIVESTAI DAN KONSEKWENSINYA

Disisun oleh:
Ahmad Firdaus
NIM. 102018012

Untuk memenuhi tugas matakuliah Pasar Uang Dan Modal


PROGRAM STUDI MANAJEMEN

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI KRIDATAMA


BANDUNG
2021
Merupakan suatu keputusan yang lazim dimana perusahaan yang ingin melakukan ekspansi bisnis
merka kemudian melakukan kebijakan IPO (Initial Public Offering) atau penjualan perdana saham
persahaan kepada publik melalui bursa efek dengan tujuan untuk mendapatkan dana bagi perusahaan.
Dengan melakukan IPO perusahaan kemudian mendapat predikat sebagai perusahaan Go Publik

Go publik adalah penawaran umum saham yang dilakukan perusahaan untuk menjual saham/efek
kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan Peraturan
Pelaksanaannya. Dalam istilah pasar modal go public sering disebut sebagai IPO (Initial Public Offering)
yaitu penawaran pasar perdana pada masyarakat. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, “Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk
menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya”.

Umumnya saham yang dilepas ke publik hanyalah sebagian kecil dari seluruh jumlah saham
perusahaan. Misalnya PT A melepas sahamnya ke publik sejumlah 10% dari total saham. Jumlah saham
yang dilepas ke publik aadlah 1 juta lembar. Harga saham perdana Rp 10.000 per lembar. Maka nilai
perusahaan secara keseluruhan adalah: (100 / 10) x harga saham x jumlah saham = (100/10) x Rp 10.000
x 1.000.000 = 100 miliar. Misalnya harga saham setelah IPO meningkat menjadi Rp 20.000. Maka nilai
perusahaan secara keseluruhan sekarang adalah: (100 / 10) x harga saham x jumlah saham = (100/10) x
Rp 20.000 x 1.000.000 = 200 miliar. Jadi meningkatnya harga saham perusahaan setelah IPO, juga akan
meningkatkan nilai perusahaan secara keseluruhan.

Namun apa jadinya apabila saham yang dijual oleh perusahan dalam jumlah banyak dan lebih dari
50% saham perusahaan? Hal ini bisa dinamakan dengan disvestasi saham. Divestasi adalah kebalikan
dari investasi. Investasi diartikan sebagai penambahan aset yang dilakukan seseorang atau perusahaan
dengan harapan memberikan keuntungan lebih besar. Sedangkan divestasi dapat dipahami sebagai
pengurangan jenis aset yang dimiliki seseorang atau perusahaan. Namun, jangan dianggap divestasi
berarti seseorang atau perusahaan mengalami kerugian atau kebangkrutan, Pasalnya, divestasi ini bisa
dibilang bertujuan untuk menambah keuntungan bagi orang atau perusahaan. Misalnya saja ketika
seseorang yang berinvestasi di saham menjual sejumlah lot saham saat harga tinggi. Divestasi yang
dilakukan ini akan menambah pendapatan investor tersebut.

Perusahaan atau seseorang yang melakukan divestasi didukung oleh berbagai motif, salah satunya
mengurangi beban aset dan menambah pendapatan. Beban aset yang dimaksud contohnya adalah
kepemilikan properti yang berarti ada pajak, biaya perawatan, dan lain-lain. Selain keuntungan dan
mengurangi beban, terdapat motif lain yang biasanya menjadi alasan perusahaan atau investor
melakukan divestasi. Berikut beberapa motif tersebut.

1. Perusahaan atau investor ingin fokus pada bisnis terbaik yang memberikan keuntungan
tertinggi. Itu sebabnya kebanyakan divestasi dilakukan bukan pada aset utama.
2. Menghasilkan keuntungan besar di saat yang tepat, seperti menjual bisnis, instrumen investasi
saat harga tinggi, dan lainnya.
3. Mengurangi potensi kerugian atau kegagalan yang lebih besar karena aset yang dijual tidak lagi
menguntungkan.

Selain motif di atas ada juga motif lain yang mendorong perusahaan melakukan divestasi diantaranya:
1. Alasan internal perusahaan yang terdiri atas beberapa motif, yaitu:

 Ingin kembali ke kompetensi inti.


 Menghindari sinergi negatif.
 Melepas bisnis usaha yang tidak menguntungkan lagi.
 Kesulitan keuangan.
 Perubahan strategi atau prioritas.
 Mencari tambahan dana segar untuk bisnis utama atau kebutuhan tertentu.
 Melepas unit bisnis agar bisa berdiri sendiri.

2. Alasan eksternal perusahaan melakukan divestasi adalah adanya paksaan dari pemerintah,
permintaan kreditur, atau investor. Sebagaimana dalam perusahaan PMA sector pertambangan.

Sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah Pasal 97 PP 1/2017 bagi sector pertambangan
dengan penanaman modal asing ditentuka sebagai berikut:

(1) Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak
berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh
sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia.

(2) Kepemilikan peserta Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap tahun setelah
akhir tahun kelima sejak produksi tidak boleh kurang dari presentase sebagai berikut:

a. tahun keenam 20% (dua puluh persen)

b. tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen)

c. tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen)

d. tahun kesembilan 44% (empat puluh empat persen)

e. tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen),dari jumlah seluruh saham.

Mesti diingat, saham yang didivestasikan harus ditawarkan kepada pihak Indonesia, khususnya
pemerintah baik itu pemerintah pusat dan daerah, BUMN/BUMD dan badan usaha swasta nasional.
Dalam setiap penawaran, pemerintah pusat merupakan pihak yang didahulukan. Baru setelah
pemerintah pusat tidak bersedia, maka badan usaha yang melakukan divestasi menawarkan sahamnya
secara berjenjang pertama kepada Pemda, kedua kepada BUMN/BUMD, dan ketiga baru kepada badan
usaha swasta nasional.

Dalam melakukan divestasi ada berbagai metode atau cara. Paling umum dilakukan investor atau
perusahaan adalah melalui penjualan aset. Namun, masih ada cara lain yang harus kita ketahui. Secara
umum, metode divestasi dibagi dalam empat jenis. Berikut penjelasannya.

1. Metode penjualan
Penjualan menjadi tipe paling umum dari kegiatan pengurangan aset. Divestasi yang paling
sering dilakukan sebuah perusahaan adalah penjualan divisi, unit bisnis, atau penjualan segmen
atau sekelompok aset ke perusahaan lain.
Pembeli pada umumnya tidak selalu membayar tunai. Nah, untuk alasan melakukan metode ini
adalah:
 Penjualan aset menjadi pertahanan terhadap pengambilalihan yang tidak bersahabat.
 Penjualan aset memberikan dana tunai untuk perusahaan yang dilikuidasi.

2. Metode spin-off
Dalam metode ini perusahaan induk mengubah sebuah divisi menjadi entitas (unit usaha lain
yang masih satu buku akuntansi dengan perusahaan induk) yang terpisah. Lewat spin-off, saham
entitas akan dibagikan kepada pemegang saham perusahaan induk.
Meski masuk kategori divestasi, spin-off dan metode penjualan berbeda karena:
 Perusahaan induk tidak mendaoatkan dana tunai dari spin-off seperti pada penjualan.
 Pemegang saham awal dari divisi yang dipisahkan tetap sama dengan pemegang saham
perusahaan induk.

3. Metode carve-out
Metode ini berarti perusahaan induk mengubah sebuah divisi menjadi entitas yang terpisah.
Tidak seperti dalam spin-off di mana entitas masih satu buku akuntansi dengan perusahaan
induk, dalam metode ketiga ini saham entitas akan dijual ke masyarakat.
Artinya, pemegang saham bukan hanya pemilik saham pada perusahaan induk di awal, tetapi
menambah jumlah pemilik saham. Umumnya nih, pemegang saham perusahaan induk
mempertahankan kepemilikan mayoritasnya di entitas baru tersebut.

4. Metode tracking stock


Dalam metode terakhir ini diartikan sebagai cara menerbitkan tracking stock yang bertujuan
menelusuri kinerja divisi tertentu dalam perusahaan. Contohnya pembagian dividen yang
jumlahnya tergantung pada kinerja divisi tersebut.
Divisi yang memiliki tracking stock tetap menjadi bagian dari perusahaan induk, meskipun
sahamnya diperdagangkan secara terpisah dengan perusahaan induk

Divestasi yang dilakukan khususnya oleh perusahaan berdampak langsung pada penerimaan kas.
Namun dampak ini masuk kategori dampak jangka pendek. Suatu perusahaan yang melakukan divestasi
biasanya akan membukukan hasil penjualan dalam laporan keuangan. Nantinya, dalam laporan laba/rugi
penjualan tersebut masuk pos penjualan lainnya dan akan meningkatkan laba bersih perusahaan.
Berikut ini dua dampak lain dari divestasi bagi perusahaan.

1. Rebalancing pada neraca keuangan


Ketika perusahaan melakukan divestasi lini bisnis usaha, perusahaan juga menyerahkan
sejumlah nilai aset kepada pembeli lini bisnis usaha tersebut. Sehingga, aset perusahaan akan
berkurang.
Di sisi lain, utang yang dibawa perusahaan juga akan berpindah tangan kepada perusahaan lain
yang membeli lini bisnis tersebut. Namun, kondisi ini dikecualikan jika ada pernyataan dalam
kontrak antara kedua belah pihak terkait utang lini bisnis.

2. Perusahaan kehilangan potensi pendapatan


Kalau yang ini sudah pasti menjadi dampak jangka panjang bagi perusahaan yang melakukan
divestasi. Perusahaan yang melakukan divestasi akan kehilangan potensi pendapatan di masa
depan.
Perusahaan hanya mendapatkan uang dari hasil divestasi berupa penjualan. Selain itu
kemungkinan utang perusahaan juga berkurang. Tetapi, otomatis pendapatan dari lini bisnis
yang dijual tidak akan didapatkan lagi.

Sebagai kesimpulan, IPO merupakan langkah perusahaan menjual sebagian sahamnya guna untuk
mendapatkan modal bagi perusahaan. Namun disaat penjualan saham lebih dari 50% saham perusahaan
maka yang terjadi adalah divestasi atau penjualan asset perusahaan yang merupakan kebalikan dari
investasi. Tidak selamanya divestasi merupakan hal yang negative bagi perusahaan, bisa jadi divestasi
merupakan bagian dari strategi bisnis perusahaan guna melapaskan beban perusahaan atau untuk focus
pada bisnis yang menguntungkan.

Bagi perusahaan sector pertambangan divestasi saham merupakan suatu kewajiban yang diatur
pemerintah utuk kepantingan perlindungan asset sumber daya alam Indonesia. Perusahaan tersebut
wajib melakukan divertasi saham sampai dengan 51% dari total saham yang dimiliki perusahaan. Hal ini
telah terjadi pada raksaasa perusahaab PT Prefort Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai