Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-
peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa atau manusia itu sendiri
seperti hukum adat, hukum pidana dan sebagainya.
Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya merupakan hasil
pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada suatu
massa tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyunya yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasulnya melalui sunnah
beliau yang terhimpun dalam kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hukum
Islam secara fundamental dengan hukum yang lain. 
Adapun konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah.
Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam
bermasyarakat, dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitarnya.
1.2 Rumusan masalah
a) Bagaimana Mahasiswa Memahami Hukum-Hukum Islam.
b) Bagaimana Mahasiswa memahami sumber hukum Islam.
c) Bagaimana Mahasiswa memahami Mazhab islam dan perbedaanya.
d) Bagaimana Mahasiswa Mengakomodasi kearifan lokal dalam Hukum Islam.
1.3 Tujuan
a) Membantu mahasiswa memahami Hukum-hukum Islam.
b) Membantu mahasiswa memahami sumber Hukum-hukum Islam.
c) Membantu mahasiswa memahami mazhab Islam dan perbedaanya.
d) Membantu mahasiswa mengakomodasi kearifan lokal dan Hukum Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah
laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan
cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak
tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan
perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda.
Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh
Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan
benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
2.2 Ragam Pendekatan Hukum Islam
a) Tekstualis atau transkripturalis
Ragam pemahaman ini mencoba memahami teks-teks Al-Quran dan hadist
secara tersurat (apa adanya). Ragam ini juga berusaha menjadikan hasil
penafsiran para ulama’ generasi awal (fikih klasik) menjadi rujukan ideal
untuk dilaksanakan pada jaman sekarang ini . Tidak jarang pra penganut
tekstualis menolak hasil pemikiran ahli fikih kontemporer yang bertentangan
dengan pemikiran ahli fikih klasik.
b) Rasionalis
Ragam pemahaman ini mencoba memahami teks-teks Al-Quran dan Hadist
secara tersurat (makna dibalik teks). Orang-orang Yang menganut tipe ini
memberikan porsi/ rasio/nalar yang sangat besar dalam memahami teks-teks
Al-Quran dan Hadist. Mereka berpendapat bahwa nalar harus ditempatkan
pada posisi tertinggi . Kelompok ini juga berkeyakinan bahwa melalui akal
semua teks dapat dipahami dengan benar.
c) Konstekstual
Pemahaman ragam ini belakangan dikembangkan oleh banyak ulama’. Para
penganut ragam ini berusaha menggali subtansi teks Al-Quran dan hadist
kemudian mengkontekskanya sesuai dengan situasi dan kondisi. Dengan cara
ini pesan luhur dalam suatu teks tidak hilang begitu saja, namun formulasi
penyerapannya dalam kehidupan disesuaikan dengan perkembangan sosio
kemasyarakatan.
2.3 Sumber Hukum Islam
a) Al-Qur’an
Manna’ Al-Qathan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama yang
umumnya menyatakan bahwa Al-Qur’an di turunkan  kepada Nabi
Muhammad Saw.dan nilai ibadah bagi yang membacanya.

2
Pengertian Al-Qur’an lebih lengkapnya  di kemukakan oleh Abd.Al- Wahhab
Al-Khallaf. Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang di turunkan
kepada rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui Jibril dengan
menggunakan lafal bahasa arab dan maknanya yang benar agar dia menjadi
hujjah bagi Rasul, bahwa Ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang
bagi manusia, memberi  petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk
mendekatkan diri  dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia pun
terhimpun dalam mushaf, di mulai dari surat al-fatihah dan di akhiri dengan
surat an-nas, di sampaikan secara mutawatir dari generasi-kegenerasi, baik
tulisan maupun lisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian.
b) As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada
keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis juga didasarkan pada pendapat
kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan
wajib mengikuti sunnah, baik masa Rasulullah masih hidup maupun setelah
beliau wafat.
Sebagai sumber ajaran islam yang kedua, As-Sunnah memiliki fungsi yang
intinya sejalan dengan Al-Qur’an.keberadaan As-Sunnah tidak dapat
dilepaskan dari adanya ayat Al-Qur’an:

1) Bersifat global, yang memerlukan perincian.


2) Bersifat umum, yang memerlukan pengecualian.
3) Bersifat mutlak, yang memerlukan pembatasan.
4) Isyarat Al-Qur’an mengandung makna lebih dari satu sehingga
memerlukan penetapan makna yang akan dipakai diantara dua makna
tersebut.
Dalam kaitan ini, hadis berfungsi unruk merinci petunjuk dan isyarat Al-
Qur’an yang bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat Al-Qur’an
yang bersifat umum,sebagai pembatas terhadap ayat Al-qur’an yang bersifat
mutlak dan sebagai pemberi informasi terhadap suatu kasus yang tidak
dijumpai dalam Al-Qur’an.
c) Ijtihad
Ijtihad memiliki legitimasi yang valid sebagai  sumber hukum islam yang
ketiga setelah al-qur’an dan hadist. Jikalau ijtihad adalah menekankan
penggunaan akal atau nalar dalam memutuskan hukum mengenai suatu
perkara sebenarnya banyak sekali ayat-ayat al-qur’an yang mendorong
manusia untuk menggunakan akalnya dalam memahami dalil-dalil hukum.
2.4 Perbedaan Mazhab dan penyikapanya
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim
makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il
madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”. Sementara menurut Huzaemah Tahido
Yanggo bisa juga berarti al-ra’yuyang artinya “pendapat”.

3
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido
Yanggo,  adalah  pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab
dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang
mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam
Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian

1) Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-
Qur’an dan hadis.
2) Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum
suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih.
Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar
bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai
berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada,  maka hanya beberapa mazhab
saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-
mazhab yang masih bertahan sampai sekarang  hanya tujuh mazhab saja yaitu :
mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun
mazhab-mazhab lainnya telah tiada

Cara menyikapi perbedaan mazhab yang sangat banyak yakni menumbuhkan sikap
toleransi yang besar agar kita tidak berfikir bahwa mazhab kita yang paling benar
sehingga tidak akan muncul pertikaian akibat perbedaan mazhab yang dapat memecah
belah umat Islam.
2.5 Ragam mazhab Fikih

1) Mazhab Hanafi
Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal
sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh
berbagai ulama di zamannya.
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan.
Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang
ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah
istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam
menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu
hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan
Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas,
istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan
sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode
dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.

4
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu
Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa
dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan
prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah
telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-
Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-
Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
 Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
 Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir;
 Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir;
 Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
 Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
 Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun
oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344
H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah
al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut.  Al-Mabsut inilah yang dianggap
sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu
Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak
dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam
kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab
lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais
al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula
termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari
Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang
tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan
Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung
belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
2) Mazhab Maliki.
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh
ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta
tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-
Muwaththa’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan
baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan
kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di
dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-
nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan

5
sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan
murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan
berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab
Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk
Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa
Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ’Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah,
dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-
Furuq  yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam
asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat
hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah
karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di
zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah
al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ’Urf; dan Istishab.
Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki.
Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada
qiyas.
Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab
Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Kasim (w. 191 H.)
yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam
Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w.
197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-
Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri
(w. 214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya
antara lain Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan
Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer dengan
nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).

Disamping itu, ada pula murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari
Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra. Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak
dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab
ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.

3) Mazhab Syafi’i
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam
asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui
sendiri oleh ulama sezamannya.

Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara


aliran Ahlulhadits dan Ahlurra ’yi, Imam asy-Syafi ’i berupaya untuk
mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam
Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-
Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.

6
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah.
Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya
serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah(yang bersifat cabang).
Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari
alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada
sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak
ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’
yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para
sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu
kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum,
karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam
ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang
dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas
bagi Imam asy-Syafi ’i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah,
sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum
syara’
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi
dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab
fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ’i ini
kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang
murid Imam asy-Syafi ’i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan
pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231
H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w.
264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ’i sebagai pendukung kuat
mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar
jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ’i tersebut.
4) Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal
sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar
fiqh Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah
sebagai berikut:

 An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan
Ijma’;
 Fatwa Sahabat;
 Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan
hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat
dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW;
 Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak
bertentangan dengan ijma’; dan

7
 Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan
qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam
keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat
dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian
dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya,
mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ’urf; istishab, dan
al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.

Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin
Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin
Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-
Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan
Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.).
Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam
Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan
prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.

Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan


Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah.
Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam
Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru
Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam
pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada
zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.

2.6 Mengarifi Perbedaan Mazhab

a. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal,
dan akhlaq secara proporsional.
b. Lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah
besar umat daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil.
c. Memahami perbedaan dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai
rahmat dari Allah SWT sebagai umat.
d. Menghindari sikap yang berlebih-lebihan.
e. Bersikap toleran sesama mazhab.

2.7 Akomodasi Kearifan Lokal Dalam Hukum Islam

1. Urf dalam bingkai Hukum Islam.


Kata ‫العرف‬ (al-‘Urf) secara bahasa berasal dari bahasa Arab, kata ini dibentuk
dari huruf ain, ro danfa, bentuk kata kerja (fi’il)-nya adalah  - ‫عرف‬
‫يعرف‬ (‘arafa-ya’rifu) yang berarti mengenal atau mengetahui. Bentuk derivatif
ٌ ‫ال َم ْعر‬  yang berarti segala sesuatu yang sesuai
dari kata ini adalah al-ma’ruf  ‫ُوف‬
dengan adat (kepantasan).

8
Islam adalah agama terakhir yang diturunkan allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. Islam sengaja diperuntukkan bagi semua umat manusia dan
menjadi agama penyempurna bagi agama-agama sebelumnya. Meskipun Nabi
Muhammad SAW sebagai pembawa misi keislaman adalah keturunan bangsa
Arab, akan tetapi Islam tidak hanya diperuntukkan kepada bangsa arab. Hal ini
berbeda dengan agama Yahudi yang hanya diperuntukkan ke3pada umat nabi
Musa AS, demikian juga pada agama Nasrani yang hanya diperuntukkan
kepada umat Nabi Isa AS.
Kedatangan islam di Jazirah Arab sesungguhnya bukan datang dalam ruang
hampa. Artinya, ketika islam diturunkan, masyarakat Arab sebagai masyarakat
awal penerima ajaran agama kala itu telah memiliki bidaya dan adat
istiadatnya (urf) sendiri.
2. Menyandingkan Hukum Islam dengan tradisi lokal
Islam hadir ditengah-tengah masyarakat Arab dengan semua kebiasaan dan
tradisi yang telah berlaku sebelum datangnya Islam. Nabi Muhammad SAW
sebagai pembawa misi Islam pun diutus untuk memperbaiki apa yang sudah
ada menjadi lebih baik dan bukan menghapus yang sudah ada kemudia
menciptakan yang baru.
Fakta sejarah inilah yang menhilhami para pejuang islam di Nusantara para
walisongo misalnya, mereka menyebarkan islam ditanah jawa dengan cara-
cara mereka yang begitu akomodatif dengan budaya jawa. Mereka mampu
memadukan budaya islam dengan jawa yang dulunya identik dengan pengaruh
Hidu dan Budha.
Prinsip yang selalu dipegang wali songo adalah bahwa islam tidak anti
terhadap budaya lokal apabila budaya tersebut tidak bertentangan dengan Al-
Quran dan hadist. Dengan demikian, satu hal penting yang patut dicatat adalah
Islam tidak selalu identi dengan bangsa dan kebudayaan Arab.

9
BAB 111
PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Secara umum hukum Islam berorientasi pada perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, keturunan. Artinya hukum Islam bertujuan pada pemeliharaan agama,
menjamin, menjaga dan memelihara kehidupan dan jiwa, memelihara kemurnian akal
sehat dan menjaga ketertiban

3.2 Saran

1. Sebagai umat Islam hendaknya memahami hukum Islam dengan baik, karena hukum
ini mengatur berbagai kehidupan umat manusia untuk mencapai kemaslahatan.
2. Setiap manusia hendaknya menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia, karena hak ini
sebagai dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
3. Dalam mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, baik dibidang hukum, hak dan
kewajiban asasi manusia, serta kehidupan berdemokrasi hendaknya berdasarkan
prinsip-prinsip yang diajarkan Islam.

10
DAFTAR RUJUKAN

DKK, H. (2014, Juni 18). MAKALAH PENDIDIKAN ISLAM. Retrieved from


blog.blogspot.co.id: http://handiswanblog.blogspot.co.id/2014/06/hukum-islam-
makalah-pendidikan-agama.html
DKK, Y. H. (2015). Pendidikan Islam Transformatif. Malang: Dream Litera.

ttim Penulis Buku Ajar. (2015). PEBDIDIKAN ISLAM Transformatif. In Y. h. DKK, PEBDIDIKAN ISLAM
Transformatif. Malang: dream Litera.

11

Anda mungkin juga menyukai