Anda di halaman 1dari 113

26

BAB II KAJIAN

PUSTAKA

2.1 Teori Permintaan Uang Keynes

Uang menurut Keynes merupakan salah satu bentuk kekayaan yang

dimiliki seseorang misalnya kekayaan dalam bentuk tabungan, saham atau surat

berharga lainnya. Keputusan masyarakat untuk membentuk kekayaan mereka

menjadi uang kas, tabungan atau surat berharga akan menentukan tingginya

tingkat bunga. Untuk menyederhanakan modelnya Keynes hanya membagi

susunan komponen kekayaan dalam dua bentuk, yakni uang kas dan surat

berharga (obligasi). Keuntungan yang didapat apabila kekayaan diwujudkan

dalam bentuk uang kas adalah kemudahan dalam melakukan transaksi, sebab

uang kas merupakan alat pembayaran yang paling likuid. Likuid diukur dengan

kecepatan menukar kekayaan dalam bentuk alat pembayaran (untuk

transaksi) tanpa adanya kerugian nilai. Tetapi kekayaan dalam bentuk uang kas

tidak dapat menghasilkan pendapatan misalnya berupa bunga. Keynes, dalam

teorinya tentang permintaan akan uang kas, membedakan antara motif transaksi,

berjaga-jaga serta spekulasi.

Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi

ini tergantung dari pendapatan. Makin tinggi pendapatan, maka makin

besar keinginan akan uang kas untuk transaksi. Seseorang atau masyarakat yang

tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak

dibanding
dengan yang pendapatannya lebih rendah. Ketergantungan permintaan uang untuk

transaksi terhadap pendapatan dapat dijelaskan pada Gambar 2.1 sebagai berikut,

Gambar 2.1 Permintaan Uang Untuk Motif Transaksi


Sumber : Reksoprayiotno (2008).

Pada saat pendapatan sebesar Y0, permintaan uang untuk transaksi

sebanyak M0. Dan pada saat pendapatan naik menjadi Y1, permintaan uang untuk

transaksi sebanyak M1. Dari sini jelas bahwa Keynes mengikuti jejak kaum

klasik (Marshall) bahwa permintaan uang untuk transaksi tergantung dari

pendapatan. Banyak sedikitnya permintaan uang untuk berjaga-jaga juga

ditentukan oleh pendapatan. Semakin tinggi pendapatan, semakin banyak uang

yang diperlukan untuk berjaga-jaga. Hal ini digambarkan dalam kurva pada

Gambar 2.2 sebagai berikut.


0

Gambar 2.2 Permintaan Uang Untuk Motif Berjaga-Jaga


Sumber : Nopirin (2010).

Dari Gambar 2.2 tampak bahwa saat pendapatan sebesar Y0, permintaan

uang untuk berjaga-jaga sebanyak M0. Ketika pendapatan naik menjadi Y1,

permintaan uang untuk berjaga-jaga juga naik sebanyak M1. Namun Keynes

berbeda dengan kaum klasik dalam hal penekanan pada motif spekulasi dan

peranan tingkat bunga dalam menentukan permintaan uang untuk spekulasi.

Keynes juga menyadari bahwa masyarakat menghendaki jumlah uang kas yang

melebihi untuk keperluan transaksi, karena keinginan untuk menyimpan

kekayaannya dalam bentuk yang paling lancar (uang kas). Uang kas yang

disimpan ini memenuhi fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan (store of

value). Dalam istilah yang lebih modern sering disebut permintaan uang untuk

menimbun kekayaan (asset demand for money).


Permintaan uang untuk tujuan spekulasi ini, menurut Keynes ditentukan

oleh tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga makin rendah

keinginan masyarakat akan uang kas untuk tujuan atau motif spekulasi.

Alasannya, pertama apabila tingkat bunga naik, berarti ongkos memegang uang

kas (opportunity cost of holding money) makin besar atau tinggi, sehingga

keinginan masyarakat akan uang kas akan semakin rendah, begitu juga

sebaliknya. Kedua hipotesa Keynes bahwa masyarakat menganggap akan adanya

tingkat bunga normal berdasarkan pengalaman, terutama pengalaman tingkat

bunga yang baru-baru terjadi. Ketergantungan permintaan uang kas untuk

spekulasi terhadap tingkat bunga

dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.3 Permintaan Uang Untuk Motif Spekulasi


Sumber : Reksoprayiotno (2008).

Pada saat suku bunga sebesar r0, permintaan uang untuk berspekulasi

sebanyak M0. Dan ketika suku bunga bertambah atau meningkat menjadi r1,

permintaan uang untuk spekulasi turun menjadi M1.


r (Suku Bunga)
L2

rL L2

L2
0
Gambar 2.4 Liquidity Trap Keynes
Sumber : Nopirin (2010).

Gambar 2.4 menunjukkan adanya liquidity trap bagian horisontal

dari permintaan uang kas pada tingkat bunga rL. Liquidity trap menggambarkan

bahwa pada tingkat bunga yang begitu rendah, elastisitas permintaan uang kas

menjadi tak terhingga besarnya. Masyarakat tidak akan memegang surat berharga

pada tingkat bunga ini (rL) karena mereka memperkirakan bahwa keuntungan dari

memegang surat berharga pada tingkat rL lebih rendah dari pada kerugian yang

timbul akibat kenaikan tingkat bunga di masa yang akan datang.

Masyarakat memperkirakan bahwa dikemudian hari tingkat bunga akan naik,

sebab tingkat bunga rL sudah begitu rendah, tidak mungkin turun lagi.

Implikasi dari adanya hipotesa liquidity trap ini bahwa tingkat bunga rL

tidak bisa turun lagi, padahal mungkin r L ini dirasa terlalu tinggi untuk

menunjang tingkat kesempatan kerja penuh (full employment). Dalam

keadaan demikian output dan kesempatan kerja akan tetap berada di bawah

kesempatan kerja penuh. Lebih lanjut kebijakan moneter yang berupa

penambahan jumlah uang beredar


tidak dapat menurunkan tingkat bunga rL. Sehingga dengan demikian investasi

tidak bertambah, akibatnya output tetap tidak berubah. Hal tersebut dapat

diartikan bahwa terjadi kondisi dimana tidak bergairahnya iklim usaha

dikarenakan masyarakat enggan berinvestasi yang berimbas pada

menurunnya produktifitas.

2.2 Teori Jumlah Uang Beredar (Penawaran Uang)

Keynes kurang memberikan perhatian mengenai mekanisme (proses)

kenaikan jumlah uang beredar. Dalam teorinya mengenai pasar uang, jumlah

uang beredar atau penawaran uang dianggap langsung terjadi di pasar uang.

Sekali lagi, bahkan sampai zaman keynes pun, teori penawaran uang

masih belum berkembang dan masih dalam bentuk sederhana. Teori penawaran

uang modern dikembangkan oleh para ekonom setelah keynes. Pada

hakikatnya, penawaran uang adalah jumlah uang yang tersedia dalam suatu

perekonomian. Penawaran uang secara umum disebut sebagai jumlah uang

yang beredar yang diartikan sebagai semua uang kartal dan uang giral yang ada

di tangan masyarakat bukan bank, atau jumlah uang kartal dan uang giral di luar

sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik. Menurut Iswardono yang

tercantum dalam Ening (2011), jumlah uang beredar dianggap bisa ditentukan

secara langsung oleh penguasa moneter tanpa mempersoalkan hubungannya

dengan uang inti, yang terdiri dari uang kartal ditambah dengan cadangan

yang dimiliki oleh perbankan secara umum.


Uang kartal adalah uang tunai yang dikeluarkan oleh pemerintah

atau Bank Sentral yang langsung dibawah kekuasaan masyarakat umum untuk

menggunakannya. Uang kertas atau uang logam Bank Sentral yang disimpan di

dalam lemari besi bank tidak termasuk uang kartal. Jadi yang disebut uang kartal

hanya uang yang dikeluarkan Bank Sentral yang berada diluar Bank Umum dan

Bank Sentral. Jumlah uang kartal ini besar kecilnya tidak dipengaruhi oleh

variabel lain kecuali oleh kebijakan pemerintah. Sedangkan uang giral

adalah uang yang diciptakan oleh Bank Umum karena memberi kredit kepada

nasabah. Kredit yang diberikan dalam bentuk giro setiap saat dapat diambil dan

digunakan oleh pemiliknya untuk kebutuhan (transaksi, berjaga-jaga, spekulasi).

Seperti halnya uang kartal, maka giro dapat diartikan sebagai uang yang dalam

hal ini pembayarannya dilakukan dengan cek.

Perubahan jumlah uang beredar secara garis besar dipengaruhi oleh uang

inti dan pelipat uang. Besarnya uang inti sangat tergantung pada tindakan-

tindakan yang ditentukan oleh pemerintah khususnya Bank Sentral. Pelipat

uang di lain pihak disamping dipengaruhi oleh perilaku Bank Sentral, juga

ditentukan oleh perilaku agen-agen ekonomi lainnya seperti Bank Umum dan

masyarakat domestik. Sesuai dengan cakupan uang beredar yang beragam

maka yang dimaksud dengan jumlah uang beredar di Indonesia adalah nilai

keseluruhan uang yang berada ditangan masyarakat. Pengertian jumlah uang

beredar dibagi dua yaitu jumlah uang beredar dalam arti sempit dan dalam arti

luas. Jumlah uang beredar dalam arti sempit (Narrow money atau M1) adalah

jumlah uang beredar yang terdiri dari uang kartal dan uang giral. Pengertian

jumlah uang beredar dalam


arti sempit dinyatakan sebagai M1 yang merupakan jumlah seluruh uang kartal

yang dipegang anggota masyarakat (the nonpublic) dan (demand deposit) yang

dimiliki oleh perseorangan pada lembaga perbankan yang dapat ditulis

dalam bentuk persamaan sebagai berikut,

(M1 = K + D)...............................................(2.1)

Pengertian lain mengenai jumlah uang beredar atau permintaan uang

didasarkan atas anggapan bahwa, sebenarnya bukan hanya uang tunai dan saldo

giro saja yang bisa digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Uang

milik masyarakat yang disimpan di bank dalam bentuk deposito berjangka atau

tabungan juga memiliki ciri yang mendekati uang tunai. Kedua simpanan ini bisa

diubah tanpa banyak kesulitan menjadi uang tunai untuk pembayaran transaksi

sehingga sering disebut dengan istilah quasi money atau near money, yaitu

sesuatu yang mendekati ciri dari uang. Menurut pengertian yang kedua ini uang

yang beredar adalah narrow money + quasi money,

(M2 = K + D + T) ...........................................(2.2)

dimana T adalah saldo deposito berjangka dan tabungan milik masyarakat pada

perbankan. Konsep uang yang beredar ini disebut uang beredar dalam arti luas

(broad money) (Mankiw, 2006)

Keterangan

M1 = Jumlah Uang Beredar dalam Arti Sempit


M2 = Jumlah Uang Beredar dalam Arti Luas
K = Uang Kartal (Uang Kertas dan Uang Logam)
T = Tabungan
D = Demand Deposit (Uang Giral atau Cek)
Kedua konsep tersebut mana yang lebih baik tergantung dari tujuan

analisa aspek keadaan yang ingin digambarkan. Dalam keadaan normal biasanya

narrow money dan broad money berkembang sejalan satu sama lain, sehingga

salah satu bisa dipakai untuk menggambarkan keadaan moneter. Dalam

perkembangan selanjutnya pengertian jumlah uang beredar telah berubah sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi, perkembangan sektor keuangan dan perbankan di

masing- masing negara. Secara garis besar dapat disebutkan beberapa faktor yang

mempengaruhi perubahan uang beredar antara lain, tingkat pendapatan

masyarakat, suku bunga dan kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh otoritas

moneter, serta faktor-faktor lain yang mencerminkan kekuatan struktur dan

perkembangan ekonomi suatu negara.

Banyak sedikitnya penawaran uang atau jumlah uang yang beredar

ditentukan oleh pemerintah (Bank Sentral) melalui kebijakan-kebijakan yang

jumlahnya tetap dalam jangka waktu tertentu. Kebijakan moneter ekspansif

bertujuan menambah penawaran uang yang dilakukan untuk meningkatkan daya

beli masyarakat pada saat perekonomian mengalami resesi. Kebijakan

moneter kontraktif bertujuan untuk mengurangi penawaran uang yang dilakukan

pada saat inflasi. Oleh karena itu, kurva penawaran uang merupakan kurva

inelastis sempurna yang berbentuk garis tegak lurus. Perubahan dalam penawaran

uang ditunjukkan oleh pergerakan-pergerakan kurva. Pergerakan-pergerakan

kurva ke kiri menunjukkan penawaran uang yang berkurang, dan pergerakan

kurva ke kanan menunjukkan penawaran uang yang bertambah untuk lebih

jelasnya kurva penawaran uang dapat dilihat pada Gambar 2.5.


0

Gambar 2.5 Jumlah Uang Beredar (Penawaran Uang)


Sumber : Mankiw (2006).

Pergerakan kurva penawaran uang dari MS0 ke MS2 menunjukkan bertambahnya

penawaran uang. Sebaliknya, pergerakan kurva penawaran uang dari MS0 ke MS1

menunjukkan berkurangnya penawaran uang.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat penawaran uang

dalam suatu perekonomian antara lain adalah,

1). Tingkat Bunga

Merupakan faktor utama yang mempengaruhi jumlah uang beredar

dalam perekonomian. Jika tingkat bunga terlalu tinggi, dunia usaha akan lesu

dan penawaran uang akan menjadi berkurang.

2). Tingkat Inflasi

Inflasi yang tinggi mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi rendah dan

perusahaan tidak dapat menjual barang yang ditawarkannya. Hal

tersebut akan berpengaruh terhadap berkuranganya jumlah uang yang

beredar
dimasyarakat. Namun disamping hal tersebut, inflasi juga

mempunyai dampak positif yaitu perputaran barang lebih cepat, produksi

barang bertambah, kesempatan kerja bertambah, pendapatan nominal

bertambah, tetapi pendapatan riil berkurang, karena kenaikan pendapatan

kecil.

3). Tingkat Produksi dan Pendapatan Nasional

Bila tingkat produksi dan pendapatan nasional rendah, pemerintah mungkin

akan memperbanyak jumlah uang beredar. Hal tersebut bertujuan untuk

menggairahkan dunia perbankan dan dunia usaha (melalui peningkatan suku

bunga dan peningkatan harga), sehingga jumlah uang beredar dimasyarakat

akan menjadi bertambah.

4). Kondisi Kesehatan Dunia Perbankan

Setiap bank diharuskan memiliki cadangan uang yang cukup untuk menjaga

dana nasabah agar tetap aman. Bank Indonesia menetapkan tingkat

cadangan tertentu, yang sekaligus menjadi pengukur kesehatan bank.

Semakin sehat kondisi perbankan akan berpengaruh terhadap

bertambahnya porsi kredit yang akan disalurkan sehingga penawaran kredit

perbankan akan meningkat.

5). Nilai Tukar Rupiah

Jika nilai tukar rupiah menurun, pemerintah akan memberlakukan kebijakan

untuk menurunkan jumlah uang rupiah yang beredar, sehingga sesuai dengan

hukum keseimbangan permintaan dan penawaran. Hal tersebut akan

berimbas pada kenaikan tingkat bunga yang bertujuan untuk mengangkat

nilai uang rupiah (Mankiw, 2006).


2.3 Pendekatan IS-LM dan Kebijaksanaan Moneter

Sekitar abad ke-20 Sir Jhon Richard Hicks memberikan kontribusi yang

besar di bidang ekonomi, terutama terkait dengan model IS-LM yang bertolak

dari pandangan Keynesian. Model IS-LM menggambarkan ekonomi sebagai

keseimbangan antara tiga komuditas yaitu uang, konsumsi dan investasi. Kurva

IS singkatan dari Investasi-Saving yang merupakan representasi keseimbangan

dari pasar barang dan jasa. Sedangkan kurva LM singkatan dari Liquidity

Preference- Money yang merupakan representasi keseimbangan dari pasar uang.

Pasar barang dan jasa serta pasar uang dihubungkan oleh variabel tingkat bunga,

karena tingkat bunga mempengaruhi investasi (representasi pasar barang dan

jasa) dan mempengaruhi permintaan uang (representasi pasar uang). Model IS-

LM menyatakan bahwa titik keseimbangan perekonomian tentang suku bunga

dan pengeluaran oleh equilibrium dalam pasar barangdan pasar uang. Pada

pasar barang diwakili oleh equilibrium antara investasi dan tabungan (IS) dan

pasar uang diwakili oleh penawaran uang dan preferensi likuiditas (LM).

Kurva IS ditunjukan oleh grafik yang mencakup titik-titik dimana

investasi berada pada suku bunga tertentu, setara dengan tabungan,berdasarkan

pengeluaran. Kurva IS melandai kebawah karena pengeluaran dan suku bunga

memiliki hubungan yang berbanding terbalik di pasar barang. Apabila

pengeluaran meningkat makaakan lebih banyak uang yang ditabung, yang artinya

suku bunga harus diturunkan untuk mendorong investasi. Untuk kurva LM

arahnya melandai keatas karena suku bunga dan pengeluaran memiliki

relasi positif di pasar uang. Kurva IS menunjukan kombinasi suku bunga dan

tingkat
pendapatan yang konsisten dengan keseimbangan dalam pasar untuk barang dan

jasa. Dapat dilihat pada Gambar 2.6 perubahan-perubahan dalam kebijakan fiskal

yang meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa menggeser kurva

IS kekanan. Perubahan-perubahan dalam kebijakan fiskal yang mengurangi

permintaan terhadap barang dan jasa menggeser kurva IS kekiri. Kurva IS

memiliki kemiringan yang negatif karena tingkat suku bunga yang tinggi

menurunkan pengeluaran investasi, dan pada akhirnya menurunkan

permintaan

agregat serta tingkat pendapatan


keseimbangan.

(Suku Bunga)

IS₁
IS₀
IS₂
(Investasi)
0
Gambar 2.6 Kurva IS (Pasar Barang)
Sumber : Detri Karya (2016).

Kurva LM ditunjukan oleh grafik yang mencakup titik-titik dimana pasar

uang dalam keadaan seimbang. Hubungan antara tingkat bunga dan pendapatan

yang muncul di pasar uang dinyatakan dengan kurva LM. Teori preferensi

likuiditas menyatakan bahwa tingkat bunga menyesuaikan untuk

menyeimbangkan penawaran dan permintaan untuk asset perekonomian

yang paling likuid yaitu uang. Jika M menyatakan penawaran uang dan P

menyatakan
tingkat harga, maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori

preferensi likuiditas mengasumsikan adanya penawaran uang riil tetap.

Penawaran uang M adalah variabel kebijakan eksogen yang dipilih oleh

Bank Sentral. Tingkat harga P juga merupakan variable eksogen dalam model

ini. Asumsi ini menunjukan bahwa penawaran uang riil adalah tetap dan

biasanya tidak tergantung pada tingkat bunga. Teori preferensi likuiditas

menegaskan bahwa tingkat bunga adalah sebuah determinan dari berapa

banyak uang yang ingin dipegang ileh masyarakat. Alasannya adalah bahwa

tingkat bunga adalah biaya peluang (opportunity cost) dari memegang uang.

Kurva LM memiliki kemiringan yang positif, kenaikan suku bunga akan

menurunkan permintaan saldo riil. Untuk mempertahankan agar tingkat

permintaan saldo riil bisa sama dengan tingkat penawaran tetap, pendapatan harus

ditingkatkan. Kurva LM menggambarkan hubungan antara tingkat

pendapatan dan bunga. Semakin tinggi pendapatan semakin tinggi permintaan

terhadap keseimbangan uang riil dan semakin tinggi bunga keseimbangan, oleh

karena itu kurva LM miring ke atas. Penurunan dalam penawaran dari

keseimbangan riil menaikan tingkat bunga yang menyeimbangkan pasar uang.

Maka penurunan dalaam keseimbangan riil menggeser kurva LM ke atas. Pada

Gambar 2.7 dapat dilihat bahwa kurva LM menunjukan kombinasi tingkat bunga

dan tingkat pendapatan yang konsisten dengan keseimbangan pasar.

Penurunan penawaran dari keseimbangan uang riil mengeser kurva LM ke kiri,

dan sebaliknya kenaikan dalam penawaran dari keseimbangan uang riil akan

menggeser kurva LM kekanan.


(Suku Bunga)

LM₂
LM₀

LM₁

(Jumlah Uang)
0
Gambar 2.7 Kurva LM (Pasar Uang)
Sumber : Detri Karya (2016).

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kurva IS merupakan

kurva imajiner yang menunjukan hubungan dari pendapatan dan suku bunga

yang terjadi pada saat keseimbangan di pasar barang. Hal ini ditandai dengan

suku bunga keseimbangan yang dihasilkan dari permintaan akan dana yang

berupa investasi (I) sama dengan penawaran dana yang berupa saving (S) untuk

kegiatan riil, dari terminologi S dan I inilah maka kurva ini dinamai dengan

kurva IS. Kurva LM adalah kurva imajiner yang menunjukkan hubungan dari

pendapatan (atau lebih tepatnya tingkat output keseimbangan) dan suku bunga,

yang terjadi pada saat keseimbangan di pasar uang. Hal ini ditandai dengan suku

bunga keseimbangan yang dihasilkan interseksi permintaan akan uang (Liquidity

Preference) sama dengan penawaran uang yang dikontrol spenuhnya oleh Bank

Sentral (Money supply). Dari terminologi L dan M inilah maka kurva ini dinamai

dengan kurva LM.


Keseimbangan pasar uang dan pasar barang dapat dijelaskan secara grafis

pada Gambar 2.8 berikut.

(Suku Bunga i)

LM₀

i₀

i₁

IS₀
(Pendapatan Y)
0 Y₁ Y₀ Y₂

Gambar 2.8 Kurva Keseimbangan IS-LM


Sumber : Detri Karya (2016).

LM0 dan IS0 adalah keseimbangan pasar uang dan pasar barang. Pada suku

bunga i1 terjadi keseimbangan antara jumlah uang beredar dan permintaan uang

pada tingkat pendapatan Y1, sedangkan keseimbangan antara permintaan

dan penawaran barang terjadi pada tingkat pendapatan Y2. Pada tingkat suku

bunga i0, pasar uang dan pasar barang berada dalam keseimbangan pada tingkat

pendapatan Y0. Suku bunga ini ditentukan oleh titik perpotongan antara kurva IS

dan LM.

Menurut Bank Indonesia (2013), otoritas moneter adalah kewenangan

dalam menetapkan, melaksanakan, mengatur kebijakan moneter untuk kelancaran

sistem pembayaran dan pengawasan terhadap lembaga keuangan. Dalam rangka

melaksanakan hal tersebut, Bank Indonesia berwenang untuk melakukan

pengendalian moneter dengan cara pelaksanaan operasi pasar terbuka, penetapan

tingkat diskonto, penetapan wajib minimum, pengaturan kredit atau pembiayaan.


Kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan otoritas moneter

(Bank Central), untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan kredit yang

pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Tujuan

kebijakan moneter terutama untuk stabilitas ekonomi yang dapat diukur dengan

kesempatan kerja, kestabilan harga, serta neraca pembayaran internasional yang

seimbang (Nopirin, 2010). Target jumlah uang beredar merupakan kebijakan

moneter murni, karena otoritas moneter dapat mengambil langkah-langkah di

bidang moneter yang mampu mengurangi jumlah uang beredar. Kebijakan yang

dilakukan antara lain menurunkan jumlah uang primer, menaikan cadangan wajib

dan tingkat suku bunga, sehingga pertumbuhan ekonomi dan sasaran ekonomi

makro yang lainnya juga dapat tercapai (Sudirman, 2011). Berikut pada

Gambar

2.8 akan dijelaskan mengenai efek kebijakan moneter terhadap kurva IS-LM.

(Suku Bunga i)

LM₀

LM1

∆M(1/K)
i₀

IS₀
(Pendapatan Y)
0 Y0 Y1 Y₂

Gambar 2.9 Kurva Efek Kebijakan Moneter


Sumber : Reksoprayitno (2008).
Kurva LM bergeser sebagai akibat dari perubahan permintaan uang untuk

motif transaksi, spekulasi, berjaga-jaga dan jumlah uang beredar. Pada gambar

2.8 dapat dilihat bahwa pergeseran kurva LM disebabkan oleh adanya

perubahan jumlah uang beredar melalui kebijakan moneter. Kurva LM

bergeser kekanan sebesar ∆M(1/k) yang disebabkan oleh kenaikan jumlah uang

yang beredar. Kenaikan tingkat pendapatan dari Y0 menjadi Y1 adalah lebih

kecil dari Y2-Y0 (yaitu pergeseran kurva LM). Kontraksi moneter atau pengetatan

kebijakan moneter berkaitan dengan penurunan jumlah uang beredar (penawaran

uang). Ketika terjadi peningkatan jumlah uang beredar (penawaran uang) disebut

sebagai ekspansi moneter. Kebijakan moneter tidak mempengaruhi kurva IS,

tetapi hanya mempengaruhi kurva LM. Misalnya ketika terjadi peningkatan

penawaran uang, kurva LM akan bergeser ke bawah. Ekspansi moneter akan

mendorong terjadinya peningkatan output dan penurunan tingkat suku bunga.

2.4 Sistem Keuangan Moneter

Pelaksanaan kebijakan moneter dapat berhasil dengan baik jika sarananya

berfungsi dengan baik. Sistem keuangan merupakan sarana dari kebijakan

moneter yang terdiri dari sistem keuangan moneter dan non moneter.

Sistem keuangan moneter mencakup sistem otoritas moneter, yaitu Bank

Indonesia sebagai Bank Sentral dan sistem perbankan yang mencakup Bank

Umum dan BPR, serta sistem otoritas non moneter mencakup Asuransi,

Pegadaian, Leasing, Modal Ventura dan Dana Pensiun. Otoritas monater diemban

oleh Bank Indonesia dengan kelembagaan dan kebijakannya. Dalam organisasi

Bank Indonesia dapat


dilihat visi, misi, nilai-nilai dan sasaran strategis, struktur organisasinya,

implikasi tujuan, tugas dan wewenang organisasinya. Kebijakan Bank Indonesia

adalah khusus di bidang moneter dan sistem pembayaran. Saat ini sistem

keuangan moneter dan non moneter diawasi oleh OJK namun tetap berkoordinasi

dengan Bank Indonesia. OJK merupakan lembaga pengawas agar keseluruhan

kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan,

akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen

maupun masyarakat (UU No 21 Tahun 2011)

Sistem perbankan terdiri atas Bank Umum dan BPR yang dibina

oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan OJK. Bank Indonesia

memiliki otoritas dibidang moneter sehingga tidak melakukan kegiatan yang

dilakukan oleh Bank Umum dan BPR. Bank Umum dan BPR melakukan

kegiatan atas dasar pelaksanaan kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank

Indonesial sehingga Bank Umum dan BPR disebut sebagai bank pelaksana.

Dengan UU No 7 Tahun

1992 tentang perbankan dan disempurnakan dengan UU No 10 Tahun 1998 yang

menyebutkan bahwa bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk kesejahteraan

masyarakat. Maka pemberian kredit oleh bank merupakan wujud

pelaksanaan kebijakan moneter untuk mengubah jumlah uang beredar demi

kesejahteraan masyarakat.

Pelaksanaan suatu kebijakan moneter melalui lembaga keuangan

bank akan berhasil jika sistem perbankan berfungsi dengan baik, sehingga dari

kondisi
tersebut dapat dilihat apakah lembaga keuangan bank mendominasi dalam suatu

perekonomian atau tidak. Dalam dominasi itu dapat dipilih struktur kepemilikan

bank (milik pemerintah, swasta atau campuran), bentuk-bentuk penghimpunan

dana bank (giro, tabungan, deposito dan sejenisnya), dan jenis penyaluran kredit

bank (modal kerja, investasi, konsumsi). Dari pilihan dominasi tersebut

dapat diketahui peran lembaga keuangan bank dalam pembangunan ekonomi

suatu Negara. Kemampuan yang tidak terbatas bagi bank dalam

menghimpun dana merupakan kemampuan yang sama dalam menyalurkan

kredit, sehingga hal itu membuktikan peran bank sebagai sarana dalam

pelaksanaan kebijakan moneter. Kebijakan Moneter merupakan upaya dalam

mewujudkan stabilitas moneter dengan cara memantau dampak pelaksanaan

kebijakan oleh bank-bank seperti perkembangan tingkat bunga, tingkat harga,

neraca pembayaran dan yang lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa semua ukuran

kebijakan dan stablitias moneter tidak dapat dipisahkan dari sistem keuangan

dan lembaga perbankan.

2.5 Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

OJK adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan UU No 21 Tahun

2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang

terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di

sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti

Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan

lainnya. Secara lebih lengkap, OJK adalah lembaga independen dan bebas dari

campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan

wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud

dalam UU No 21 tersebut. Tugas pengawasan industri keuangan non-bank dan

pasar modal secara resmi beralih dari Kementerian Keuangan dan Bapepam-

LK ke OJK pada 31 Desember 2012. Sedangkan pengawasan di sektor perbankan

beralih ke OJK pada 31 Desember 2013 dan lembaga keuangan mikro pada 2015.

Pasal 4 UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK menyebutkan bahwa OJK

dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan

terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan

sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu

melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat. Dengan

pembentukan OJK, maka lembaga ini diharapkan dapat mendukung

kepentingan sektor jasa keuangan secara menyeluruh sehingga meningkatkan

daya saing perekonomian. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan

nasional, antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian,

dan kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan

aspek positif globalisasi. OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip

tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas,

pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness).

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan

yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

Sementara berdasarkan pasal 6 dari UU No 21 Tahun 2011, tugas utama dari OJK

adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan

di sektor perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal. kegiatan

jasa
keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan

lembaga jasa keuangan lainnya. Adapun wewenang yang dimiliki OJK

adalah sebagai berikut,

1). Terkait khusus pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan

bank yang meliputi,

(1). Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran

dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya

manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin

usaha bank.

(2). Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk

hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

(3). Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang

meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio

kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio

pinjaman terhadap simpanan dan pencadangan bank, laporan bank yang

terkait dengan kesehatan dan kinerja bank, sistem informasi debitur,

pengujian kredit (credit testing), dan standar akuntansi bank.

(4). Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,

meliputi: manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah

dan anti pencucian uang, dan pencegahan pembiayaan terorisme

dan kejahatan perbankan serta pemeriksaan bank.

2). Terkait pengaturan lembaga jasa keuangan (bank dan non bank)

meliputi: (1). Menetapkan peraturan dan keputusan OJK.

(2). Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan.


(3). Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK.

(4). Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis

terhadap lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu.

(5). Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter

pada lembaga jasa keuangan.

(6). Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta

mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban.

(7). Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan.

3). Terkait pengawasan lembaga jasa keuangan (bank dan non bank) meliputi:

(1). Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan.

(2). Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh

Kepala Eksekutif.

(3). Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

konsumen dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan,

pelaku, dan atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana

dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

(4). Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan atau

pihak tertentu.

(5). Melakukan penunjukan pengelola statute.

(6). Menetapkan penggunaan pengelola statute.


(7). Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan.

(8). Memberikan dan atau mencabut izin usaha, izin orang

perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar,

persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau

penetapan pembubaran dan penetapan lain.

Menurut Pasal 39 UU No 21 tahun 2011, OJK bisa berkoordinasi dengan

Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan perbankan, misalnya,

dalam hal kewajiban pemenuhan modal minimum bank ataupun kebijakan

penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing maupun

pinjaman komersial luar negeri. Berikut ini berbagai bentuk nyata sinergi antara

Bank Indonesia dan OJK:

1). OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan

pengawasan di bidang perbankan. Hal tersebut merupakan salah satu contoh

bahwa kesatuan langkah kedua lembaga harus selalu ada. Kombinasi

kompetensi dari personel masing-masing lembaga dimaksud agar

mampu menciptakan suatu tatanan aturan perbankan yang lebih

sempurna. Penyamaan persepsi antara Bank Indonesia dan OJK dalam

menentukan kebijakan atau pengaturan perbankan akan menghasilkan tatanan

sistem perbankan yang tangguh dalam menghadapi segala kondisi.

2). Tidak hanya dalam pembuatan aturan, Bank Indonesia dan OJK juga harus

terintegrasi dalam tukar menukar informasi perbankan.

Melalui
penggabungan sistem informasi ini, Bank Indonesia dan OJK akan

lebih mudah mengakses informasi perbankan yang disediakan masing-

masing lembaga setiap saat (timely basis). Informasi strategis yang dimiliki

masing- masing lembaga dan aksesibilitas yang mudah sangat menunjang

efektivitas pelaksanaan tugas.

3). Dalam rangka pemeriksaan bank, Bank Indonesia dan OJK juga terus

melakukan hubungan timbal balik. Bank Indonesia dalam kondisi

tertentu akan melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank setelah

berkoordinasi dengan OJK. Begitupun sebaliknya, dalam hal OJK

mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kondisi yang memburuk maka

OJK akan segera menginformasikan kepada Bank Indonesia. Kerja sama

resiprokal yang bermanfaatuntuk mengantisipasi dampak sistemik negatif

dari suatu kondisi

perbankan. Dengan kerja sama itu pula tindakan penanganan yang tepat

dapat diambil dengan cepat.

2.6 Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Sesuai dengan pasal 5 ayat 1 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang

perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan dikatakan bahwa,

menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan BPR. BPR adalah bank yang

menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan atau

dalam bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Menurut Triandaru dan

Budisantoso (2009) usaha yang dapat dilakukan oleh BPR adalah meliputi,
1). Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan deposito

berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang disamakan dengan itu.

2). Memberikan kredit.

3). Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah

(bunga), sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank


Indonesia.

4). Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),

deposito berjangka, sertifikat deposito atau tabungan pada bank lain.

BPR dalam pelaksanaan kegiatan usahanya, dilarang untuk:

1). Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran

2). Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing

3). Melakukan penyertaan modal

4). Melakukan usaha perasuransian

5). Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam

pasal 13. Sedangkan bentuk hukum dari BPR dapat berupa, Perusahaan

Daerah (PD), Koperasi, Perseroan Terbatas (PT).

BPR sebagai suatu lembaga perbankan dan juga sebagai lembaga

mediasi tentu mempunyai tujuan dan fungsi.

1) Tujuan BPR

BPR dalam rangka ikut membantu meningkatkan produktivitas dan

penghasilan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, mempunyai

beberapa tujuan dalam menjalankan usaha diantaranya adalah:


(1). Menunjang kelancaran penyediaan permodalan dalam rangka

pembangunan daerah pada umumnya dan pembangunan desa pada

khususnya.

(2). Menciptakan pemerataan dalam kesempatan berusaha untuk golongan

ekonomi rendah.

2). Fungsi BPR

(1). Menyediakan permodalan dengan sistem perkreditan yang mudah dan

mengarah pada masyarakat pedesaan.

(2). Membantu modal masyarakat yang diarahkan pada peningkatan

produksi.

(3). Melindungi masyarakat pedesaan dari pengaruh pelepas uang.

(4). Membimbing masyarakat pedesaan agar lebih mengenal dan memahami

asas ekonomi dan permodalan.

Haryati (2009) menegaskan fungsi intermediasi BPR merupakan kegiatan

perbankan yaitu menghimpun dana dari masyarakat dimana sumber dana terdiri

dari tabungan, deposito, pinjaman yang diterima dari bank lain atau pinjaman

lainnya, dan modal sendiri. Salah satu ukuran untuk melihat fungsi intermediasi

perbankan dalam menjalankan usahanya adalah LDR yang juga biasa digunakan

sebagai ukuran kinerja keuangan, likuiditas dan kesehatan bank. LDR digunakan

untuk mengukur efektivitas perbankan dalam penyaluran kredit dengan

menggunakan dana yang diterima. LDR juga dapat digunakan untuk melihat

seberapa besar perbandingan total pinjaman kredit yang disalurkan kepada

masyarakat dengan total DPK ditambah dengan dana yang diterima oleh

bank.
Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama bank, oleh karena itu sumber

pendapatan utama bank berasal dari kegiatan tersebut. Semakin besar penyaluran

dana kepada masyarakat dibandingkan dengan dana yang diterima oleh

pihak perbankan, membawa konsekuensi semakin besarnya risiko yang

ditanggung oleh bank (Leon & Ericson, 2007).

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa peran utama bank dalam hal

ini BPR dalam menjalankan usahanya adalah sebagai lembaga intermediasi.

Dalam menjalankan perannya tersebut indikator yang bisa dipakai untuk melihat

fungsi bank sebagai lembaga intermediasi berjalan dengan baik atau tidak adalah

LDR. Selain untuk mengukur intermediasi perbankan LDR juga dapat

digunakan sebagai instrumen penilaian kesehatan bank yang dilihat dari sisi

likuiditas. Oleh karena itu LDR menjadi salah satu rasio yang sangat penting

dalam dunia perbankan, karena dari rasio tersebut masyarakat dapat mengetahui

apakah usaha perbankan sudah berjalan dengan baik atau tidak. Bank Indonesia

sebagai Bank Sentral memberi ukuran agar pada masing-masing bank

mempunyai ukuran LDR antara 78 sampai dengan 92 persen. Jika kurang

dari 78 maka kepada bank tersebut harus lebih gencar dalam menyalurkan

kredit melalui strategi pemberian kredit yang lebih efektif dalam rangka

mendorong peningkatkan produksi dan perekonomian rakyat, tetapi bagi yang

mempunyai ukuran lebih dari ukuran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia agar

lebih waspada terhadap kondisi likuiditas. Berkaitan dengan hal tersebut maka

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral akan memberlakukan disinsentif bagi bank

yang posisi LDR tidak berada pada ranah yang ditetapkan.


2.7 Credit Crunch

Istilah credit crunch muncul pada tahun 1966 sebagai suatu bentuk

fenomena dis- intermediasi yang terjadi di Amerika ketika kebijakan

moneter yang dilakukan oleh Federal Reserve menjadi sangat ketat untuk

mengatasi inflasi. Kebijakan yang sangat ketat itu telah meningkatkan suku

bunga jangka pendek meningkat jauh diatas batas atas suku bunga deposito yang

diatur. Akibatnya deposan menarik dananya dari perbankan untuk mendapatkan

suku bunga yang lebih tinggi pada aset finansial lainnya sehingga deposito

perbankan mengalami penurunan yang besar yang berakibat terhambatnya

suplai kredit. Sejak deregulasi sektor keuangan di tahun 1980an yang

menghapuskan batas suku bunga deposito, fenomena dis-intermediasi perbankan

akibat peraturan seperti ini tidak terjadi lagi (Kliesen dan Tatom, 1992).

Definisi yang lebih luas adalah bahwa pembatasan suplai kredit yang

bersifat non-harga (non-price credit constraint) sebagai akibat peraturan

perbankan yang terlalu mengikat seperti peraturan masalah modal dan legal

lending limit, atau akibat penurunan kualitas aset dan profitabilitas perbankan.

Dalam istilah yang lebih teknis, Bernanke dan Lown (1991) mendefinisikan

credit crunch sebagai pergeseran kurva suplai kredit perbankan dengan kondisi

suku bunga dan kualitas nasabah potensial tidak berubah. Definisi ini sejalan

dengan apa yang dikemukakan oleh Pazarbasioglu (1998), yang mendefinisikan

credit crunch sebagai penurunan suplai kredit akibat menurunnya kemauan bank-

bank untuk memberikan pinjaman, tanpa diikuti oleh kenaikan suku bunga

pinjaman. Definisi yang paling kuat diberikan oleh Gosh (1999) yang

mengartikan credit
crunch sebagai quantity rationing, dimana suku bunga pinjaman tidak lagi

berfungsi dalam menyeimbangkan permintaan dan penawaran kredit. Konsep ini

terkait dengan konsep credit rationing yang dikemukakan oleh Stiglitz dan Weiss

(1981) dan Jafee dan Stiglitz (1990) yang mendefinisikan credit rationing

sebagai suatu kondisi dimana nasabah tertentu tidak mendapatkan kredit

walaupun mereka mau membayar suku bunga pinjaman yang lebih tinggi.

Dari berbagai definisi tersebut, secara umum credit crunch dapat

diartikan sebagai suatu situasi dimana terjadi penurunan suplai kredit

perbankan secara tajam sebagai akibat dari menurunnya kemauan bank dalam

menyalurkan kredit pada dunia usaha. Keengganan bank dalam menyalurkan

kredit tercermin dari meningkatnya spread yaitu selisih antara suku bunga

pinjaman dan suku bunga dana dan semakin ketatnya kriteria untuk memperoleh

kredit. Dalam kondisi yang ekstrim, credit crunch terjadi dalam bentuk credit

rationing, yaitu bank menolak memberikan kredit terhadap nasabah tertentu atau

sebagian besar nasabah pada tingkat suku bunga berapapun.

Di Amerika Serikat credit crunch terjadi pada kurun waktu 1989-1992.

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya penurunan kredit ini.

Pertama, beban pembayaran hutang yang tinggi dan meningkatnya problem

keuangan nasabah dan perbankan merupakan faktor utama penyebab menurunnya

kredit. Kedua, faktor-faktor penawaran kredit seperti keterbatasan modal dalam

rangka memenuhi standar BIS oleh banyak kalangan disinyalir menjadi penyebab

terjadinya credit crunch. Pada masa itu bank-bank tidak dapat menjual

saham baru karena kinerjanya yang kurang baik, sementara itu banyak

juga yang
menurunkan laju pertumbuhan dan memperbaiki kreditnya untuk

meningkatkan rasio permodalannya (Bernanke dan Lown, 1991).

2.7.1 Permasalahan Dari Sisi Permintaan

Terganggunya pertumbuhan kredit perbankan dapat terjadi karena

lemahnya permintaan kredit, lemahnya penawaran, atau keduanya.

Gangguan pada sisi permintaan dapat berupa menurunnya kualitas nasabah

kredit, tingginya suku bunga yang melebihi kemampuan membayar nasabah, dan

masih tingginya risiko berusaha sehingga nasabah belum berani memulai

usahanya. Sementara, gangguan pada sisi penawaran dapat berupa keterbatasan

permodalan bank, ketersediaan loanable fund, permasalahan NPL bank, dan

keengganan bank untuk menyalurkan kredit yang terkait dengan tingginya risiko

dunia usaha.

Pada masa resesi, penurunan kredit merupakan hal normal yang terjadi

sebagai refleksi dari turunnya permintaan untuk konstruksi baru, barang-barang

modal, dan barang-barang konsumsi tahan lama (consumer durables). Namun,

pertumbuhan kredit di Indonesia meski telah menunjukkan perbaikan

menunjukkan pola yang agak berbeda dengan kondisi normal. Dengan demikian,

penjelasan mengenai sisi permintaan kredit dalam hal ini diharapkan dapat

menerangkan perbedaan pola tersebut.

1). Menurunnya Kualitas Nasabah

Salah satu penjelasan utama terhadap lemahnya permintaan adalah

melemahnya kondisi neraca (balance sheet) perusahaan yang

menjadi nasabah kredit. Sebelum krisis, banyak perusahaan yang secara

signifikan
meningkatkan leverage-nya, baik yang berasal dari pinjaman bank

dalam negeri maupun dari luar negeri. Krisis keuangan yang terjadi

pada tahun

1997-1998 mengakibatkan depresiasi nilai tukar dan kenaikan suku bunga

yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya kewajiban

pembayaran hutang (debt services) perusahaan sehingga semakin

meningkatkan leverage mereka. Kecenderungan semakin meningkatnya

leverage perusahaan-perusahaan juga tercermin dari masih tingginya debt to

equity ratio perusahaan-perusahaan publik. Bahkan, tingkat leverage

perusahaan-perusahaan yang bergerak pada sektor-sektor industri

manufaktur, pertanian dan properti tercatat sangat tinggi.

2). Tingginya SBK dan Risiko Berusaha

Disamping itu, kenaikan suku bunga yang begitu tinggi ketika krisis telah

menyebabkan penurunan nilai aset dan cash flow perusahaan. Sehingga,

secara umum meskipun terdapat peluang untuk investasi maka nasabah yang

dalam kondisi keuangan perusahaannya sangat lemah (perusahaan yang

leverage-nya lebih tinggi atau cash flow-nya lebih rendah) cenderung

melakukan pembenahan keuangannya terlebih dahulu daripada

melakukan ekspansi usaha. Hal ini menyebabkan rendahnya permintaan

kredit yang terjadi. Dalam hal menjelaskan masih rendahnya aplikasi

terhadap kredit perbankan, tingginya risiko berusaha merupakan salah satu

faktor utama yang mengurangi permintaan kredit. Ketidakpastian yang

masih tinggi mengakibatkan pengusaha belum berani untuk melakukan

ekspansi usaha (investasi) sehingga permintaan akan dana untuk investasi

secara otomatis
juga akan berkurang. Selain itu, dalam kondisi resesi perusahaan biasanya

mengurangi investasi dalam persediaan barang (inventory). Berkurangnya

jumlah inventory tersebut tentunya berakibat pada menurunnya

kebutuhan modal kerja yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya

permintaan kredit modal kerja.

2.7.2 Permasalahan dari Sisi Penawaran

Sejumlah permasalahan internal perbankan (seperti kecukupan modal,

memburuknya kualitas aset, dan ketersediaan loanable fund) diduga telah

menyebabkan turunnya kemampuan bank dalam memberikan kredit. Disamping

itu, terdapat beberapa persoalan eksternal yang menimbulkan keengganan bank

untuk menyediakan pembiayaan bagi dunia usaha.

1). Kecukupan Modal

Salah satu dampak krisis adalah terjadinya penurunan modal perbankan yang

cukup tajam akibat besarnya kerugian dan turunnya kualitas aset. Sebagai

akibatnya, mayoritas bank sempat memiliki modal yang negatif. Dalam

kondisi capital constrained seperti itu, adalah sangat wajar jika bank-bank

kemudian bertahan untuk tidak menyalurkan kredit, karena kenaikan kredit

yang disalurkan akan menambah aset berisiko sehingga mengharuskan bank

menambah modal. Fenomena ini sering disebut sebagai capital crunch

(Bernanke dan Lown, 1991) untuk menggambarkan fenomena turunnya

kemampuan bank menyalurkan kredit sebagai akibat kurangnya permodalan.

Meski tingkat permodalan bank secara agregat telah positif sejalan

dengan
telah selesainya program rekapitalisasi, kewajiban pemenuhan CAR

merupakan salah satu faktor internal yang membatasi ruang gerak perbankan

dalam memberikan kredit. Bank-bank merasa bahwa rasio kecukupan modal

sulit dicapai, sehingga bank-bank menjadi lebih berhati-hati untuk

menyalurkan kredit.

2). Kredit Bermasalah (NPL)

Selain kecukupan modal, tingginya NPL, merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan enggannya perbankan memberikan kredit. Dalam kondisi NPL

yang tinggi, perbankan lebih cenderung melakukan konsolidasi internal guna

memperbaiki kualitas aset ketimbang menyalurkan kredit. Tingginya

NPL juga berpengaruh terhadap memburuknya kondisi permodalan. Hal ini

disebabkan oleh meningkatnya PPAP yang harus dibentuk serta menurunnya

pendapatan bunga. Meskipun NPL tahun terakhir berangsur-angsur telah

menurun, tingginya kerugian akibat NPL pada periode-periode sebelumnya

menyebabkan perbankan menjadi risk-averse sehingga pertumbuhan kredit

tidak cukup signifikan.

3). Tingginya Risiko Kredit

Salah satu indikator yang mencerminkan masih tingginya risiko dunia usaha

menurut perspektif perbankan adalah dengan melihat lebarnya spread antara

suku bunga kredit dengan suku bunga dana. Menurut Bernanke dan Lown

(1991) salah satu penyebab lebarnya spread suku bunga pasca krisis adalah

besarnya komponen marjin risiko yang ditetapkan bank dalam suku bunga

kreditnya. Disamping itu, terdapat sejumlah temuan lain yang

mendukung
bahwa masih tingginya risiko dunia usaha telah menimbulkan keengganan

bank memberikan kredit yaitu, bank cenderung untuk meminta

collateral yang likuid, bank cenderung untuk hanya berhubungan dengan

debitur lama yang telah dikenal dan terjadi perubahan organisasi kredit pada

bank yang cenderung lebih sentralistik dalam pemutusan kredit. Tingginya

risiko kredit juga tercermin dari masih tingginya leverage perusahaan seperti

yang dikemukakan sebelumnya

2.8 Konsep Loan To Deposit Ratio (LDR)

Kegiatan usaha yang paling utama dari suatu bank tidak terkecuali BPR

adalah melakukan penghimpunan dan penyaluran dana. Kegiatan penghimpunan

dana berasal dari berbagai sumber antara lain dari bank itu sendiri, dari deposan

atau nasabah, pinjaman dari bank lain maupun dari Bank Indonesia. Sedangkan

kegiatan penyaluran dana dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya

penyaluran kredit, kegiatan investasi dan dalam bentuk aktiva tetap serta

inventasris. Kegiatan penghimpunan dana bank sebagian besar bersumber dari

simpanan nasabah dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka. Simpanan

nasabah ini sering disebut dengan DPK. DPK yang berhasil dihimpun sebagian

besar disalurkan dalam bentuk pinjaman atau kredit.

Hubungan antara DPK dan kredit ditunjukan oleh LDR. LDR merupakan

rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang disalurkan dibandingkan

dengan jumlah dana masyarakat, modal sendiri serta dana yang diteriama oleh

pihak perbankan dari berbagai sumber yang digunakan. LDR dapat

menjadi
indikator untuk menilai peran intermediasi, tingkat kesehatan, likuiditas dan

kelancaran usaha suatu bank (Kasmir, 2007). Semakin tinggi (sesuai dengan

batas aman) kredit yang disalurkan dengan menggunakan dana yang

diterima serta modal yang dimiliki sebagai sumber pendanaannya, maka peran

intermediasi perbankan berjalan dengan baik dan usaha perbankan dapat

dikatakan lancar. Sebaliknya rendahnya penyaluran kredit menggunakan dana

yang diterima serta modal yang dimiliki oleh suatu bank, menunjukan peran

intermediasi tidak berjalan dengan baik karena dana yang diterima oleh pihak

perbankan tidak disalurkan kembali kepada masyarakat, melainkan kemungkinan

digunakan untuk kepentingan lain, misalnya untuk membeli SBI, inventaris dan

sebagainya.

Tingkat LDR suatu bank haruslah tetap dijaga agar tidak terlalu rendah.

Untuk itu Bank Indonesia selaku otoritas moneter menetapkan syarat LDR berada

diantara 78 sampai dengan 92 persen yang tercantum pada Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No. 17/11/PBI/2015 tanggal 25 Juni 2015. Sanksi dari Bank

Indonesia yang LDRnya diluar kisaran tersebut adalah dikenakan denda

sebesar

0,1 persen dari jumlah simpanan nasabah di bank bersangkutan untuk setiap 1

persen kekurangan LDR yang dialami bank. Sementara untuk Bank Umum yang

memiliki tingkat LDR diatas 100 persen akan diminta untuk menambah giro

wajib minimum primer sebesar 0,2 persen dari jumlah simpanan nasabah di bank

bersangkutan untuk setiap 1 persen nilai kelebihan LDR yang dialami, dimana

penambahan tersebut tidak diberikan bunga kecuali bank yang memiliki

CAR diatas 14 persen tidak terkena penalty walaupun LDRnya diatas 100 persen.
Menurut Dendawijaya (2003), LDR adalah rasio antara seluruh jumlah

kredit yang disalurkan oleh bank dengan dana yang diterima oleh bank. Kasmir

(2014) juga mendefinisikan LDR adalah rasio untuk mengukur komposisi jumlah

kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana dari masyarakat

dan modal sendiri yang digunakan. Berdasarkan PBI No. 17/11/PBI/2015

tanggal 25

Juni 2015 tentang perubahan atas PBI Nomor 15/15/PBI/2013 memasukkan

komponen surat berharga yang diterbitkan bank dalam perhitungan LDR.

Menurut Zinsari (2011) LDR dihitung dengan membagi total jumlah kredit yang

diberikan dengan dana yang berhasil dihimpun dikalikan 100 persen. Dana yang

berhasil dihimpun yang dimaksud terdiri dari tabungan deposito dari masyarakat,

pinjaman dari Bank Indonesia, pinjaman atau deposito dari bank lain lebih dari 3

bulan, pinjaman dari non bank lebih dari 3 bulan, modal inti dan modal

pinjaman. Menurut Sudirman (2013) LDR dihitung dengan cara membagi

total kredit dengan dana yang diterima oleh bank. Berdasarkan pengertian

tersebut LDR

dirumuskan sebagai berikut,


Kredit yang Diberikan Kepada Pihak Ketiga
LDR = × 100%.............(2.3)
Dana yang Diterima Bank + Modal

Menurut Susilo (2000), jika bank mempunyai LDR yang sangat tinggi,

maka bank akan mempunyai risiko tidak tertagihnya pinjaman yang tinggi pada

titik tertentu bank akan mengalami kerugian. Menurut Sartono (2001), LDR yang

tinggi menunjukkan bahwa suatu bank meminjamkan seluruh dananya (loan-up)

atau menjadi tidak likuid (illiquid). Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan

bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan.

Untuk Bank Umum di Indonesia periode 2008-2016 menunjukkan LDR

yang
masih berkisar antara 72,88 persen sampai dengan 83,58 persen (Statistik

Perbankan Indonesia, 2017). Angka LDR tersebut masih berada dibawah harapan

Bank Indonesia. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, angka LDR seharusnya

berada disekitar 78 persen sampai dengan 92 persen (Manurung, 2004).

LDR dibentuk oleh variabel penyaluran kredit dan penghimpunan

dana oleh pihak perbankan. Dana yang diterima oleh pihak perbankan tersebut

bersumber dari modal sendiri, pinjaman dari bank lain, serta DPK yang berhasil

dihimpun oleh pihak bank. Sumber dana terbesar yang digunakan oleh

pihak perbankan untuk pembiayaan kredit adalah DPK yang berhasil

dihimpun dari masyarakat yang berupa tabungan dan deposito (untuk BPR).

Dalam penelitian ini yang diteliti dari LDR bukan nilai secara kuantitatif yang

perhitungannya seperti pada Persamaan 2.7, melainkan prilaku dan persepsi

manajemen bank yang membentuk rasio tersebut. Adapun variabel

pembentuknya adalah penyaluran kredit dan penghimpunan DPK. Digunakannya

variabel tersebut sebagai indikator karena, tinggi rendahnya penyaluran kredit

dan penghimpunan dana merupakan faktor penentu pembentuk nilai LDR pada

lemabaga perbankan (Kasmir, 2014). Adapaun penejelasan masing-masing

variabel indikator dari LDR akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

2.8.1 Konsep Penyaluran Kredit

Kredit berasal dari kata Yunani yaitu credere yang berarti kepercayaan,

sedangkan dalam bahasa Latin yaitu creditum yang berarti kepercayaan

akan kebenaran. Menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan pasal 12

ayat 1
bahwa, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,

imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Pengertian kredit menurut UU

perbankan nomor 10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

melunasi utangnnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian harga.

Penawaran kredit perbankan sama dengan teori penawaran uang dimana besar

kecilnya sangat tergantung pada suku bunga.

1). Unsur Kredit

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pemberian kredit, meliputi

kepercayaan, waktu, degree of risk, prestasi dan kontraprestasi untuk lebih

jelasnya akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut,

(1). Kepercayaan

Kepercayaan adalah suatu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi

yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa, akan

benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa

yang akan datang.

(2). Waktu

Waktu ialah suatu masa yang memisahkan antara waktu pemberian

prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang

akan
datang. Jangka waktu kredit dapat kita bagi atas tiga kategori yaitu

jangka pendek < 1 tahun, jangka menengah 1-3 tahun, jangka

panjang

> 3 tahun

(3). Degree Of Risk

Degree of risk yakni suatu tingkat risiko yang akan dihadapi

sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara

pemberian kredit (pihak perbankan) dengan kontra prestasi yang akan

diterima di kemudian hari. Risiko timbul bagi pemberi kredit (pihak

perbankan) karena uang atau barang atau jasa telah lepas kepada orang

lain. Semakin lama kredit diberikan, maka semakin tinggi pula

tingkat risikonya, dengan adanya risiko ini maka timbulah jaminan

dalam pemberian kredit.

(4). Prestasi dan Kontraprestasi

Prestasi merupakan objek kredit yang diberikan kreditur (pihak

bank) kepada debitur (nasabah), tidak hanya dalam bentuk uang

tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa. Sedangkan kontraprestasi

merupakan imbalan berupa bunga yang dibayarkan oleh debitur

(nasabah) kepada kreditur (pihak bank) sebagai akibat dari

penggunaan fasilitas kredit, dimana bunga kredit ini merupakan

pendapatan utama bagi kreditur (pihak bank). Bunga kredit menjadi

pertimbangan utama nasabah untuk melakukan pinjaman. Bunga kredit

merupakan produk masing masing perbankan sehingga bunga kredit

menjadi salah satu dari strategi bank dalam menyalurkan kredit.


2). Prinsip Perkreditan

Menurut Darsana (2009), sebelum suatu fasilitas kredit diberikan maka

bank harus merasa yakin kredit yang diberikan benar-benar akan kembali.

Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit

tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan sebagai cara

untuk mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya. Kriteria penilaian kredit

yang dilakukan oleh bank antara lain adalah

(1). Analisis 5C menurut Kasmir (2004) meliputi,

a). Character

Adalah karakter, integritas dan kejujuran dari peminjam yang

merupakan faktor paling menentukan, oleh karena itu harus diberi

bobot yang paling tinggi.

b). Capacity

Adalah kemampuan pimpinan perusahaan yang mengajukan

permohonan kredit dalam mengelola perusahaannya. Jika

kemampuan dalam mengelolanya baik, maka laba yang

diperoleh perusahaan akan besar, hal tersebut memungkinkan

perusahaan memenuhi kewajiban membayar bunga dan pokok

pinjamannya.

c). Capital

Perusahaan dengan modal yang besar menunjukkan besarnya

kemampuan perusahaan untuk dalam keadaan terpaksa melikuidasi

kekayaannya guna melunasi kewajiban-kewajiban perusahaan.


d) Collateral

Adalah jaminan dalam bentuk aktiva dalam artian bahwa apabila

pihak peminjam tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka

aktiva yang digunakan sebagai jaminan dijual dan hasil

penjualannya dipergunakan untuk memenuhi kewajiban tersebut.

e). Conditions

Adalah apa yang biasa disebut suasana dunia usaha atau ‘business

conditions’, yaitu istilah lain untuk keadaan perekonomian,

khususnya dilihat dengan menggunakan kacamata perusahaan.

Dalam mengambil keputusan apakah permohonan kredit investasi

dikabulkan atau tidak, bank perlu memperhatikan apakah

perekonomian menghadapi keadaan resesi, depresi ataukah ekspansi.

(2). Analisis 7P menurut Hasibuan (2002) meliputi,

a). Personality yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau

tingkah lakunya sehari-hari maupun masa lalunya

b). Party yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi

tertentu atau golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas

serta karakternya.

c). Purpose yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam

mengambil kredit termasuk kredit yang diinginkan nasabah.

d). Payment yaitu merupakan ukuran bagaimana cara nasabah

mengembalikan kredit yang telah diambil atau darimana saja

sumber dana untuk pengembalian kredit.


e). Prospect yaitu untuk menilai usaha nasabah dimasa yang

akan datang menguntungkan atau tidak.

f). Profitability yaitu untuk menganalisis bagaimana

kemampuan nasabah dalam mencari laba.

g). Protection, yaitu bagaimana menjaga agar usaha dan

jaminan mendapatkan perlindungan.

(3). Analisis 3R menurut Hasibuan (2002)

meliputi, a). Return yaitu Pengembalian.

b). Repayment yaitu Kemampuan.

c). Risk yaitu Risiko.

3). Jenis Kredit

Dalam praktiknya kredit yang diberikan Bank Umum dan BPR untuk

masyarakat terdiri dari berbagai jenis. Menurut Kasmir (2004) secara umum

jenis-jenis kredit dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut,

(1). Aspek Kegunaan

a). Kredit Investasi

Kredit investasi merupaka kredit jangka panjang yang biasanya

digunakan untuk keperluan perluasan usaha, membangun proyek,

pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi.

b). Kredit Modal Kerja

Kredit modal kerja merupakan kredit yang digunakan untuk

keperluan peningkatan produksi dalam operasionalnya. Sebagai

contoh kredit modal kerja diberikan untuk membeli bahan

baku,
membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan

dengan proses produksi perusahaan.

(2). Aspek Tujuan Penggunaan

a). Kredit Produktif

Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau

investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang dan jasa.

b). Kredit Konsumtif

Kredit yang digunakan untuk konsumsi secara pribadi. Dalam kredit

ini tidak ada pertambahan barang atau jasa yang dihasilkan, karena

memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan

usaha.

c). Kredit Perdagangan

Merupakan kredit yang diberikan kepada pedagang dan digunakan

untuk membiayai aktivitas perdagangannya seperti membeli barang

dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan

barang dagangan tersebut.

(3). Aspek Jangka Waktu

a). Kredit Jangka Pendek

Merupakan kredit yang memberikan jangka waktu kurang dari satu

tahun atau paling lama satu tahun dan biasanya digunakan

untuk keperluan modal kerja. Contohnya untuk peternakan bebek,

atau jika untuk pertanian misalnya kredit tanaman palawija

atau kredit tanaman padi.


b). Kredit Jangka Menengah

Jangka waktu kreditnya berkisar antara satu tahun sampai tiga tahun

dan biasanya kredit ini digunakan untuk melakukan

investasi. Sebagai contoh kredit untuk pertanian seperti strawbery

antar peternakan sapi.

c). Kredit Jangka Panjang

Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang.

Kredit jangka panjang waktu pengembaliannya diatas tiga tahun

atau lima tahun. Biasanya kredit ini untuk investasi jangka

panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit atau manufaktur dan

untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.

(4). Aspek Sektor Usaha

a). Kredit Pertanian

Merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan atau

pertanian. Kredit sektor usaha pertanian dapat berupa kredit jangka

pendek atau kredit jangka panjang.

b). Kredit Peternakan

Merupakan kredit yang diberikan untuk sektor peternakan baik

jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek

misalnya peternakan sapi atau ternak kambing.

c). Kredit Industri

Merupakan kredit yang diberikan untuk membiayai industri,

baik industri kecil, industri menengah atau industri besar.


d). Kredit Pertambangan

Merupakan kredit yang diberikan kepada usaha tambang. Jenis

usaha tambang yang dibiayainya biasanya dalam jangka panjang,

seperti tambang emas, minyak atau timah.

e). Kredit Pendidikan

Merupakan kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan

prasarana pendidikan atau dapat pula berupa kredit untuk para

mahasiswa.

f). Kredit Profesi

Merupakan kredit yang diberikan kepada para kalangan profesional

seperti, dosen, dokter atau pengacara.

g). Kredit Perumahan

Merupakan kredit yang diberikan untuk membiayai

pembangunan atau pembelian perumahan dan biasanya berjangka

waktu panjang.

4). Jenis Kredit Berdasarkan Pemakaian atau Tujuan

Yang dimaksud dengan pemakai kredit ialah pihak yang menerima

kredit. Mengingat bahwa permintaan akan kredit timbul dari

adanya kebutuhan dari pihak peminta kredit untuk membiayai pegeluaran-

pengeluaran yang direncanakan, maka penggolongan kredit berdasarkan

tujuan erat sekali dengan penggolongan kredit berdasarkan pemakai.

Berdasarkan perbedaan pemakainya, maka kredit perbankan dapat dibedakan

antara kredit konsumen, kredit produsen, kredit antar bank, dan terutama di

negara-negara maju juga kredit kepada pemerintah. Kredit produksi

dalam
artian yang luas mencakup juga kredit perdagangan, kredit ekspor,

kredit impor, kredit persediaan, equepment leasing, kredit pertanian,

kredit real estate dan sebagainya lagi.

5). Fungsi dan Tujuan Kredit

Menurut Djumhana (2000), kredit pada awal perkembangannya

mengarahkan fungsinya untuk merangsang bagi kedua belah pihak

untuk saling menolong untuk tujuan pencapaian kebutuhan baik dalam

bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapat kredit

harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi berupa kemajuan-

kemajuan pada usahanya, atau mendapatkan pemenuhan atas

kebutuhannya. Adapun bagi pihak yang memberi kredit, secara

material dia harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan

yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit, dan secara spiritual

mendapatkan kepuasan dengan dapat membantu pihak lain untuk mencapai

kemajuan.

Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis baik

bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh kepada

tahapan yang lebih baik, maksudnya baik bagi pihak debitur maupun

kreditur mendapatkan kemajuan. Kemajuan tersebut dapat

menggambarkan apabila mereka memperoleh keuntungan juga mengalami

peningkatan kesejahteraan dan masyarakatpun atau negara mengalami

suatu penambahan dari penerimaan pajak, juga kemajuan ekonomi yang

bersifat mikro maupun makro. Firdaus dan Ariyanti (2009), menyatakan

bahwa fungsi kredit secara umum pada dasarnnya ialah memenuhi jasa

untuk melayani kebutuhan


masyarakat dalam menaikkan taraf hidupnya”. Kredit merupakan salah

bentuk jasa yang diberikan oleh bank kepada masyarakat dalam menaikkan

taraf dari kebutuhan hidup masyarakat.

Rivai dan Veitzhal (2006), mengatakan bahwa pada dasarnya terdapat

dua fungsi kredit yaitu profitability dan sefty. profitability yaitu tujuan untuk

memperoleh keuntungan berupa bunga maupun bagi hasil. Sedangkan sefty

merupakan keaman yang terjamin dari fasilatas yang diberikan untuk

menjaga profitability agar tercapai tanpa ada hambatan. Tjoekam (1999),

mengatakan bahwa” perkreditan melibatkan beberapa pihak antara lain

kreditur (bank), debitur (nasabah), dan otorita moneter (Pemerintah) dan

masyarakat pada umumnya”. Sehingga tujuan bagi setiap pihak berbeda.

Bagi kreditur pemberian kredit bertujuan untuk mendapatkan

keutungan dari bunga maupun bagi hasil yang diperoleh sedangkan bagi

debitur tujuan penerimaan kredit untuk membuat dan meningkatkan usaha

yang akan dilakukan maupun yang sedang dilakukan dan bagi pemerintah

kredit bank digunakan sebagai alat untuk mendorong pertumbuhan

perekonomian yang baik. serta juga manfaat kredit bagi masyarakat luas

merupakan pendorong pertumbuhan dan perluasan ekonomi.

6). Aspek Penilaian Kredit

Menurut Kasmir (2002), aspek-aspek dalam penilaian kredit meliputi

tujuh aspek yaitu,

(1). Aspek yuridis yaitu mengenai masalah legalitas badan usaha serta

izin- izin yang dimiliki perusahaan yang mengajukan kredit.


(2). Aspek pasar dan pemasaran mengenai besar kecilnya

permintaan terhadap produk yang dihasilkan.

(3). Aspek keungan mengenai sumber-sumber dana yang dimiliki untuk

membiayai usaha dan bagaimana penggunaannya.

(4). Aspek teknis atau oprasional membahas masalah produksi, lokasi dan

lay out.

(5). Aspek manajemen untuk menilai struktur organisasi perusahaan,

sumberdaya manusia yang dimiliki serta latar belakang pendidikan dan

pengalaman sumberdaya manusinya.

(6). Aspek sosial ekonomi untuk menganalisis dampak yang timbul akibat

adanya proyek terhadap perekonomian masyarakat dan sosial masyarakat

secara umum.

(7). Aspek amdal merupakan analisis terhadap lingkungan baik darat, air, dan

udara, termasuk kesehatan manusia.

7). Risiko Kredit

Kredit yang disalurkan akan menimbulkan risiko yang disebut dengan

NPL, risiko tersebut akan mempengaruhi tinggi rendahnya kredit yang akan

disalurkan pada periode berikutnya. Perhitungan NPL menurut Bank

Indonesia dibedakan menjadi NPL gross dan net. Berdasarkan jenis

penggunaan kredit, NPL dapat dibedakan menjadi NPL kredit investasi, NPL

kredit modal kerja dan NPL kredit konsumsi. Berdasarkan surat edaran Bank

Indonesia Nomor 3/30/DNDP tanggal 14 Desember 2001, ketentuan

perhitungan NPL adalah sebagai berikut,


Total NPL
Rasio NPL = × 100%...............................(2.4)
Total Kredit

Rasio ini disajikan dalam bentuk persentase, dengan penjelasan

sebagai berikut.

(1). Kredit merupakan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga, tidak

termasuk kredit pada bank lain.

(2). Kredit yang bermasalah adalah kredit yang termasuk dalam

kualitas kurang lancar, diragukan dan macet

(3). Kredit bermasalah dihitungn secara gross, tidak dikurangi

Penyisihan Penghapusan Aktifa Produktif (PPAP), yaitu penyisihan

yang dibentuk untuk mengantisipasi risiko dari aktiva produktif yang

diberikan

Misalnya suatu bank mengalami kredit bermasalah sebesar 50 dengan

total kredit sebesar 1000, sehingga rasio NPL bank tersebut adalah 5 persen

(50 /

1000 = 0.05).

Menurut Riyadi (2003), perhitungan NPL dapat dihitung dengan

rumus berikut,

(1). NPL Gross, yaitu perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan

dengan kolektabilitas kurang lancar, diragukan dan macet terhadap

total

kredit yang diberikan oleh bank.


Kurang Lancar + Diragukan + Macet
NPL Gross = × 100%..............(2.5)
Total Kredit yang Diberikan

(2). NPL Net, yaitu perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan

dengan kolektabilitas kurang lancar, diragukan dan macet dikurangi

PPAP terhadap total kredit yang diberikan oleh bank.


Kurang Lancar + Diragukan + Macet - PPAP
NPL Net = × 100%......(2.6)
Total Kredit yang Diberikan

Beberapa hal yang mempengaruhi atau dapat menyebabkan

naik turunnya NPL suatu bank (Ening, 2011), diantaranya adalah sebagai

berikut: (1). Kemauan atau Itikad Baik Debitur

Kemampuan debitur dari sisi financial untuk melunasi pokok dan bunga

pinjaman tidak akan ada artinya tanpa kemauan dan itikad baik

dari debitur itu sendiri.

(2). Kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia

Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi tinggi rendahnya NPL suatu

perbankan, misalnya kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga

Bahan Bakar Minyak (BBM) menyebabkan perusahaan yang banyak

menggunakan BBM dalam kegiatan produksinya akan membutuhkan

dana tambahan yang diambil dari laba yang dianggarkan untuk

pembayaran cicilan utang untuk memenuhi biaya produksi yang tinggi,

sehingga perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan dalam

membayar utang-utangnya kepada bank. Demikian juga halnya dengan

PBI mempunyai pengaruh langsung maupun tidak lansung terhadap

NPL suatu bank. Misalnya Bank Indonesia menaikan Rate yang akan

menyebabkan SBK ikut naik, dengan sendirinya kemampuan debitur

dalam melunasi pokok dan bunga pinjaman akan berkurang.

(3). Kondisi Perekonomian

Kondisi perekonomian mempunyai pengaruh yang besar terhadap

kemampuan debitur dalam melunasi utang-utangnya. Indikator-

indikator
ekonomi makro yang mempunyai pengaruh terhadap NPL

diantaranya adalah inflasi.

2.8.2 Konsep Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK)

DPK (simpanan) yang dijelaskan dalam UU perbankan No. 10 tahun 1998

tentang perbankan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank

berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat

deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Untuk BPR hanya diperkenankan menerima dana berupa tabungan dan

deposito. Menurut Kasmir (2014), DPK adalah dana yang berasal dari masyarakat

luas yang merupakan sumber dana terpenting bagi kegiatan operasional suatu

bank dan merupakan ukuran keberhasilan bank jika mampu membiayai

operasionalnya dari sumber dana ini. Menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998

sumber dana yang dimaksud adalah sebagai berikut,

1). Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan

menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau

dengan cara pemindahbukuan.

2). Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dilakukan pada waktu

tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.

3). Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan

menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik

dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Kepercayaan nasabah terhadap lembaga perbankan merupakan unsur yang

paling terpenting dalam usaha penghimpuanan DPK. Citra suatu bank di

masyarakat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi minat masyarakat

untuk menjadi nasabah dan menyimpan dananya pada bank tersebut. Selain

faktor itu pelayanan manajemen bank menjadi salah satu pertimbangan

masyarakat untuk menjadi nasabah simpanan. Pelayanan yang profesional

dan mengedepankan pendekatan personal kepada nasabah akan memberikan

kenyamanan sehingga minat untuk melakukan transaksi pada lembaga perbankan

akan semakin meningkat. Faktor suku bunga simpanan juga merupakan

faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya dana yang mampu dihimpun oleh

lembaga perbankan. Suku bunga simpanan yang baik dan mampu bersaing

dengan lembaga keuangan lainnya akan meningkatkan jumlah DPK pada suatu

bank.

2.9 Strategi Pemberian Kredit

Strategi pemberian kredit adalah usaha manajemen bank dalam

menumbuh kembangkan potensinya untuk mengeksploitasi peluang bisnis

melalui pemberian kredit kepada masyarakat guna mencapai tujuan baik tujuan

material (pendapatan yang diperoleh dari bunga kredit) maupun inmaterial

(pembangunan ekonomi dalam bentuk pembiayaan keuangan melalui peran

intermediasi yang dilakukan) (Pearce dan Robinson, 2011). Efektivitas strategi

pemberian kredit erat kaitannya dengan tujuan kredit yaitu profitability dan

safety. Profitability menyangkut keuntungan dari bunga kredit, sedangkan safety

menyangkut kelancaran dari pengembalian kredit (Suwarsono, 2008). Di

samping itu apabila kita perhatikan


unsur-unsur yang menyebabkan kegagalan kredit pada dasarnya merupakan

kegagalan dari strategi yang digunakan. Kegagalan kredit juga merupakan

kegagalan penerapan strategi pemberian kredit, ini akan tercermin dalam tingkat

kolektibilitas yang dicapai. Dengan demikian strategi pemberian kredit suatu

perbankan harus dapat beradaptasi dengan cepat untuk melakukan penyesuaian

dengan kondisi perekonomian.

Strategi pemberian kredit merupakan salah satu langkah operasional bank

dalam memasarkan produknya. Menurut Suhardjono (2003), agar strategi

pemasaran kredit dapat mencapai tujuan yang diharapkan, hal-hal yang

harus diperhatikan adalah sebagai berikut,

1). Riset Pasar

Riset pemasaran didefinisikan sebagai suatu kegiatan perancangan,

pengumpulan, analisis, dan pelaporan data serta temuan-temuannya secara

sistematik yang relevan dengan situasi atau masalah pemasaran kredit yang

dihadapi bank.

2). Menetapkan Tujuan

Apabila dari riset pemasaran telah diperoleh kesimpulan bahwa pasar yang

dihadapi oleh bank masih memberikan prospek yang menggembirakan,

maka langkah selanjutnya adalah menetapkan tujuan dari pemasaran bank.

Hal ini diperlukan agar dapat ditentukan apa yang segera dapat dilakukan,

pengembangan rencana-rencana yang efektif, menentukan sasaran untuk

prestasi dan menilai hasilnya.


3). Mengembangkan Strategi

Setelah sasaran ditetapkan, langkah selanjutnya adalah merumuskan strategi,

dengan mengarahkan strategi bisnisnya kepada usaha memanfaatkan setiap

peluang bisnis dan mengantisipasi setiap ancaman seoptimal mungkin.

4). Penyusunan Rencana Pasar

Dalam penyusunan rencana pemasaran kredit dibuat rencana antara lain

pasar yang akan dilayani sesuai dengan sumber daya yang dimiliki bank.

Rencana pemasaran kredit yang telah dibuat menjadi pedoman dalam

pemberian kredit, sehingga pemberian kredit menjadi lebih terarah dan

proses pelayanan kredit dapat dilaksanakan secara optimal.

Secara lebih spesifik strategi pemberian kredit menjadi poin yang

dikembangkan dalam penelitian ini karena merupakan dasar tindakan teknis yang

mengarah pada kegiatan atau usaha dalam hal perkreditan, yang dilakukan oleh

perbankan dalam kondisi persaingan yang semakin ketat. Tindakan teknis

tersebut meliputi tahapan-tahapan yang dilalui oleh pihak BPR sebelum dan

sesudah kredit tersebut disalurkan kepada masyarakat. Dalam menetapkan

strategi pemberian kredit perbankan haruslah terlebih dahulu memperhatikan

kondisi internal dan eksternal bank sebagai dasar pijakan dan refrensi agar

strategi yang diterapkan dapat berjalan dengan efektif. Strategi pemberian

kredit dapat dikatakan efektif dan efisien apabila kredit tersebut dapat

kembali sesuai waktu yang telah ditetapkan dengan sejumlah bunga yang

telah ditentukan. Prioritas pemberian kredit pun menentukan keefektifan dan

keefisienan pemberian kredit, jika kredit yang diberikan betul-betul tepat

sasaran tepat guna dan tepat waktu, maka


efektivitas dan efisiensi strategi pemberian kredit akan tercapai, dengan kata lain

NPL yang dicapai akan rendah yaitu dibawah standar maksimal, yaitu 5 persen

(Kasmir,2003).

Menurut Fedorenko et al., (2007) menunjukkan bahwa penilaian internal

perbankan melalui tingkat kesehatannya sangat mempengaruhi strategi teknis

pemberian kredit. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Dewi (2009) dan Anggraini

(2013), bahwa strategi pemberian kredit secara teknis meliputi tingkat suku

bunga, prosedur, cara pemasaran kredit dan pengawasan kredit yang dipengaruhi

oleh kondisi internal bank seperti proses pencairan kredit, proses penagihan

kredit, penguasaan teknologi. Penelitian yang dilakukan oleh Murray dan

Richardson (2004) mengungkapkan bahwa perusahaan yang menggunakan proses

perencanaan strategi dalam membangun pemahaman yang sama untuk

sebuah organisasi adalah kunci keberhasilan dari pelaksanaan strategi yang

direncanakan. Pada penelitan ini strategi pemberian kredit dibentuk oleh

indikator antara lain adalah tingkat SBK, prosedur kredit, pemasaran kredit dan

pengawasan kredit. Semua indikator tersebut dapat merefleksikan strategi dalam

hal pemberian kredit secara teknis sebelum dan sesudah kredit tersebut

disalurkan, untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu persatu pada sub bab

berikutnya.

2.9.1 Konsep Suku Bunga Kredit (SBK)

Suku bunga merupakan harga dari penggunaan uang atau bisa juga

dipandang sebagai sewa atas penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu dan

merupakan cermin dari mekanisme kekuatan dari permintaan uang di

masyarakat
atau pasar uang. Bunga kredit merupakan sejumlah ganti rugi atau balas jasa atas

penggunaan uang oleh nasabah. Bagi peminjam, bunga kredit dipandang sebagai

suatu biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh peminjam. Sedangkan bagi bank,

bunga kredit dipandang sebagai suatu pendapatan bank yang menguntungkan

(Gilarso, 2003).

1). Kredit bunga kerja, yaitu kredit jangka pendek yang diberikan bank untuk

keperluan modal kerja debitur yang bersangkutan.

2). Kredit investasi, yaitu jangka menengah atau jangka panjang untuk

pembelian barang-barang modal dan jasa yang diperlukan oleh peminjam

untuk diinvestasikan berupa rehabilitasi, modernisasi, ekspansi, relokasi

usaha atau pendirian usaha baru. Jika kredit ini dipergunakan untuk

keperluan penambahan modal, sehingga kredit ini bersifat produktif, dimana

usaha yang diberikan kredit memiliki perencanaan yang terarah.

Pinjaman kredit bagi kegiatan produksi dapat menjadi modal kerja yang

dapat mendorong kelancaran produksi suatu komoditi, tidak terkecuali pada

komoditas produksi yang berorientasikan pada ekspor. Adanya kredit tidak

terlepas dari adanya tingkat bunga kredit yang merupakan aspek biaya yang

perlu dipertimbangkan dalam kegiatan berusaha. Terjadinya peningkatan bunga

kredit menyebabkan modal kerja menjadi lebih sedikit karena adanya tambahan

biaya pengembalian utang. Hal ini menyebabkan sedikitnya minat pelaku usaha

untuk meminjam atau menambah modal usahanya akan berkurang yang

selanjutnya berdampak pada pendapatan bank yang akan menurun sehingga

tingkat suku bunga sangat mempengaruhi pelaku usaha juga penyalur kredit.
Tingkat SBK merupakan salah satu nilai jual bagi lembaga perbankan,

selain dari produk-produk lainnya yang ditawarkan. SBK digunakan sebagai

indikator dalam strategi kredit karena bagi masyarakat berguna untuk bahan

pertimbangan sebelum melakukan pengajuan permohonan kredit. Apabila tingkat

SBK tinggi dan tidak mampu dijangkau oleh masyarakat maka strategi

pemberian kredit akan tidak efektif dan berimbas pada permintaan kredit bank

yang menurun dan sebaliknya, ketika SBK rendah maka strategi pemberian

kredit akan efektif untuk dilaksanakan sehingga permintaan terhadap kredit

akan meningkat. SBK tiap bank berbeda-beda namun tetap dalam batas suku

bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Walaupun perbedaannya

tidak signifikan namun SBK selalu menjadi pertimbangan nasabah dalam

melakukan transaksi kredit (Budiawan, 2008). Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Irma Anindita (2011), faktor internal bank salah satunya adalah

SBK berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit UMKM pada Bank

Umum Swasta Nasional (BUSN) periode

2003-2010 melalui strategi pemberian kredit.

2.9.2 Konsep Prosedur Kredit

Secara umum prosedur pemberian dan penilaian kredit perbankan antara

bank satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Perbedaan yang terjadi dan

menjadi nilai jual masing-masing BPR dalam hal ini yaitu pada pendekatan

prosedur dan persyaratan yang ditetapkan. Menurut Kasmir (2002), prosedur

pemberian kredit merupakan tahap-tahap yang harus dilalui sebelum sesuatu

kredit diputuskan untuk dikucurkan. Tujuannya adalah untuk mempermudah

bank
dalam menilai kelayakan suatu usaha. Prosedur pemberian kredit secara umum

dibedakan antara pinjaman perseorangan dengan pinjaman oleh suatu badan

hukum, kemudian dapat juga ditinjau dari segi tujuannya apakah untuk

konsumtif atau produktif. Menurut Salim (2004), secara umum prosedur

pemberian kredit oleh bank sebagai berikut,

1). Pengajuan Berkas

Pada pengajuan berkas, pemohon mengajukan permohonan kredit dalam

suatu proposal, kemudian dilampiri dengan berkas-berkas lainnya yang

dibutuhkan. Pengajuan proposal kredit hendaknya berisi antara lain:

(1). Latar belakang perusahaan atau riwayat hidup singkat seseorang, jenis

bidang usaha, nama pengurus berikut pengetahuan dan pendidikannya,

perkembangan perusahaan.

(2). Maksud dan tujuan, apakah untuk memperbesar omset penjualan atau

meningkatkan kapasitas produksi, serta tujuan lainnya.

(3). Besarnya kredit dan jangka waktu, dalam hal ini pemohon menentukan

besarnya jumlah kredit yang ingin diperoleh dan jangka waktu kreditnya.

(4). Cara mengembalikan kredit, dijelaskan sacara rinci tentang cara-

cara nasabah mengembalikan kreditnya.

(5). Jaminan kredit, hal ini merupakan jaminan untuk menutupi segala risiko

kemungkinan macetnya suatu kredit baik disengaja atau tidak.

2). Penyelidikan Berkas Pinjaman

Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah berkas yang diajukan sudah

sesuai persyaratan dan sudah benar. Jika menurut pihak perbankan

belum
lengkap atau cukup, maka nasabah diminta untuk segera melengkapinya

dalam batas waktu tertentu. Apabila dalam batas waktu tersebut nasabah

tidak sanggup melengkapi persyaratan, maka permohonan kredit dibatalkan.

3). Wawancara I

Merupakan penyelidikan kepada calon peminjam dengan berhadapan

langsung, untuk menyakinkan apakah berkas-berkas yang diajukan sesuai

dan lengkap. Wawancara ini juga untuk melakukan pendekatan personal.

4). On the spot

Merupakan kegiatan pemeriksaan lapangan dengan meninjau beberapa objek

yang dijadikan usaha atau jaminan, kemudian hasil on the spot disesuaikan

dengan hasil wawancara I.

5). Wawancara II

Merupakan kegiatan perbaikan berkas, jika ada kekurangan setelah dilakukan

on the spot. Catatan kesesuaian pada saat wawancara I dan saat on the spot

dikonfirmasi kembali apakah sudah sesuai dan mengandung kebenaran.

6). Keputusan Kredit

Keputusan kredit menentukan apakah kredit diberikan atau ditolak, jika

diterima maka dipersiapkan administrasinya, keputusan kredit mencakup

jumlah uang yang diterima, jangka waktu kredit, biaya-biaya yang harus

dibayar.

7). Penandatanganan Akad Kredit

Merupakan kelanjutan diputuskannya kredit, maka sebelum kredit dicairkan

terlebih dahulu calon nasabah menandatangani akad kredit, mengikat

jaminan
atau pernyataan yang dianggap perlu. Penandatangan dilaksanakan

antara bank dengan debitur secara langsung, atau melalui notaris.

8). Realisasi Kredit

Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang

diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan pada bank.

9). Penyaluran atau Penarikan Dana

Penyaluran atau penarikan dana adalah pencairan atau pengambilan uang

dari rekening sebagai realisasi dari pemberian kredit dan dapat diambil

sesuai ketentuan dan tujuan kredit secara sekaligus atau bertahap.

Dalam pelaksanaanya pendekatan prosedur dalam pengajuan kredit pada

BPR pada umumnya lebih mudah, fleksibel tidak berbelit-belit dan lebih

mengedepankan hubungan personal kepada nasabah, sehingga kepercayaan

menjadi dasar utama dalam menyalurkan kredit. Atas dasar pertimbangan

itu maka pendekatan yang digunakan BPR dalam hal prosedur kredit

menjadi indikator variabel strategi pemberian kredit pada penelitian ini. Karena

mengedepankan nilai humanis dan personal dapat membangun loyalitas dan akan

menjadi nilai tambah tersendiri bagi BPR dalam hal memasarkan produk-

produknya, mengingat latar belakang nasabah BPR merupakan kalangan ekonomi

menengah kebawah. Sehingga BPR akan mampu bersaing dengan lembaga

keuangan lainnya dalam merebut pasar. Hal tersebut didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2014) yang menyatakan bahwa prosedur

kredit BPR yang merupakan bagian dari strategi pemberian kredit

berpengaruh positif terhadap kinerja bank yang salah satu ukurannya adalah

LDR.
2.9.3 Konsep Pemasaran Kredit

Menurut Kotler (2005), pemasaran adalah proses sosial yang terjadi

dimana induvidu atau kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan apa

yang mereka inginkan dengan menciptakan, menawarakan, dan secara bebas

mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain. Menurut

Armstrong (2008), pemasaran secara sederhana adalah kegiatan mengatur relasi

untuk menciptakan keuntungan bagi produsen. Tujuan dari pemasaran

adalah menciptakan nilai untuk konsumen dan untuk menangkap nilai dari

konsumen atau mendapat timbal balik dari konsumen. Sedangkan menurut

Stanton (2000), pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang

ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan

mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada

pembeli yang ada maupun pembeli potensial

Menurut Rangkuti (2007), pemasaran adalah suatu proses kegiatan yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, politik, ekonomi dan

manajerial. Akibat dari pengaruh beberapa faktor tersebut masing-masing

individu maupun kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan dengan

menciptakan, menawarkan, dan menukarkan produk yang memiliki nilai

komoditi. Dalam dunia perbankan produk yang dipasarkan tidak berupa benda

melainkan berupa jasa salah satunya jasa pinjaman yang diberikan kepada

nasabah berupa kredit. Menurut Kotler (2005), jasa adalah setiap

tindakan kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak

lain dalam hal ini pihak kreditur


menawarkan jasa pinjaman berupa kredit kepada debitur yang mana

pinjaman tersebut tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.

Menurut Lupiyodi dan Hamdani (2006), pemasaran produk pinjaman

kredit merupakan kegiatan operasional perbankan dalam rangka menyalurkan

dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana kepada masyarakat

yang memerlukan dana baik untuk modal usaha, investasi ataupun konsumsi.

Semakin gencar pemasaran kredit oleh pihak perbankan akan berpengaruh

terhadap profitabilitas dari bank tersebut. Pemasaran kredit merupakan salah

satu bagian dari strategi pemberian kredit, target jumlah kredit yang harus

dipasarkan bank yang dilakukan oleh petugas kredit merupakan ukuran

tercapainya strategi dalam hal pemberian kredit kepada nasabh.

Semakin efektif pemasaran kredit yang dilakukan oleh manajemen bank

akan berpengaruh terhadap peran intermediasi perbankan dalam hal penyaluran

dana kepada masyarakat. Menurut Assauri (2010), pemasaran kredit adalah

bagian dari strategi pembereian kredit yang merupakan serangkaian tujuan dan

sasaran dalam menentukan kebijakan dan aturan. Kebijakan itu mengarahkan

tenaga pemasaran untuk berusaha pada masing-masing tingkat, acuan serta

alokasinya sebagai tanggapan perusahaan dalam menghadapi lingkungan. Strategi

pemasaran kredit merupakan cara yang dilakukan untuk memasuki persaingan

dalam dunia perbankan. Menurut Tjiptono (2005), terdapat tiga elemen pokok

dalam hal pemasaran kredit,


1). Konsumen atau Nasabah

Pemasaran berawal dari kebutuhan dan keinginan nasabah terhadap produk-

produk perbankan yang dibutuhkan. Semakin baik pelayanan terhadap

nasabah akan memberikan kepuasan sehingga dari kepuasan tersebut nasabah

akan loyal untuk bekerjasama dengan lembaga perbankan. Dalam hal

pemasaran kredit manajemen bank wajib memahami siapa saja

konsumennya, prefrensi, karateristik, kebutuhan, keinginan, dan gaya

hidup serta faktor- faktor yang berpengaruh dalam pola konsumsinya.

2). Persaingan Antar Lembaga Keuangan

Saat ini persaingan antar lembaga pembiayaan keuangan semakin ketat,

apabila pihak manajemen bank tidak mampu memberiakn pelayanan

uang baik kepada nasabahnya akan mengakibatkan beralihnya nasabah untuk

bekerjasama dengan lembaga keuangan lain. Oleh sebab itu, manajemen

bank harus memperhatikan faktor pesaingan. Faktor tersebut meliputi

lembaga apa saja yang menjadi pessaing, strategi, kelemahan, dan

kompetensi diri serta relasi pesaing.

3). Sumber Daya Manusia (SDM)

Tujuan perusahaan perbankan dapat dicapai melalui upaya memuaskan

nasabahnya. Caranya tidak semata-mata dengan menekan pada

aspek transaksi, namun justru lebih fokus pada aspek relasi. Untuk itu

dibutuhkan strategi, kinerja, kompetensi diri, dan sumber daya, agar

nasabah menjadi loyal memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan

dan eksistensi perusahaan dalam hal ini perbankan.


2.9.4 Konsep Pengawasan Kredit

Pengawasan merupakan salah satu fungsi yang penting dalam kegiatan

usaha perbankan, mengingat bahwa kredit merupakan aset yang berisiko risk

asset bagi bank karena asset tersebut dikuasai oleh pihak luar yaitu nasabah

(debitur). Menurut T. Handoko, (2000) pengawasan adalah suatu usaha sistematik

untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan dengan

merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata

dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur

penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil kegiatan koreksi yang

diperlihatkan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan digunakan

dengan efektif dan efesien dalam mencapai tujuan-tujuan perbankan. Dengan

demikian pengawasan kredit merupakan langkah pengawasan terhadap fasilitas

kredit yang diberikan secara keseluruhan maupun secara individual kepada

debitur apakah dalam pelaksanaan pemberian kredit sesuai dengan rencana yang

disusun atau tidak.

Secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dari pengawasan

kredit adalah sejalan dengan batasan pengertian pengawasan tersebut diatas atau

secara jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut,

1). Untuk menentukan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan.

2). Membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah

ditetapkan sebelumnya.

3). Mengadakan pengkoreksian bila terjadi penyimpangan-penyimpangan

dengan efektif dan efesien.


Jika dilihat satu persatu, masing-masing tujuan itu sebetulnya mempunyai kaitan

yang sangat erat misalnya administrasi kredit yang dilaksanakan secara teliti dan

benar akan membantu dan mempermudah dalam menemukan

penyelewengan- penyelewengan yang terjadi. Pengawasan juga bertujuan untuk

memberikan bimbingan approach kepada debitur dalam rangka membina

nasabah. Nasabah perlu dibina agar usahanya maju dan berkembang sehingga

akan memenuhi kewajibannya. Hal ini berarti memperlancar jalan pencapaian

reabilitas bank dan amannya fasilitas bank.

Adapun bentuk-bentuk Pengawasan yang dapat dilakukan dapat

bersifat aktif maupun pasif.

1). Pengawasan Aktif

Adalah pengawasan secara langsung dari pegawai baik pengurus kredit

maupun pejabat yang terjun secara langsung kepada nasabah untuk melihat

perkembangan usaha nasabah dengan memberikan bantuan manajemen,

memberikan dorongan serta memantau alur yang diberikan. Teknik

pelaksanaan pengawasan aktif dilakukan dengan membuat strategi yang tepat

dan turun langsung ke lapangan.

2). Pengawasan Pasif

Adalah pengawasan yang dilakukan melalui lapran-laporan tertulis yang

dilakukan seperti laporan keadaan keuangan (dari neraca dan laporan laba

rugi), laporan penyaluran keuangan (dari mutasi pinjaman), dan sebagainya.

Pengawasan ini merupakan pengawasan yang dilakukan secara tidak


langsung sehingga pegawai tidak perlu terjun langsung kelapangan,

hanya berupa aktifitas-aktifitas diantaranya,

(1). Dengan meningkatkan analisa kredit selain itu juga pengawasan

pasif juga dapat dilakukan dikantor operasional yaitu melalui

pemeliharaan rekening dan pemeliharaan administrasi kredit,

sehingga dengan demikian dapat dilihat perkembangan kredit yang

dinikmati oleh konsumen secara administrasi pengawasan dilakukan

dengan cara surat- menyurat, sedangkan pemeliharaan rekening

dilakukan dengan melihat perkembangan kredit nasabah, yang meliputi

pokok pinjaman maupun bunga.

(2). Secara administrasi pengawasan dilakukan dengan selalu mengontrol

dokumen nasabah kredit yang didalamnya tercantum informasi seperti

kewajiban yang setiap bulannya harus dibayarkan anggsuran pokok,

bunga, tanggal jatuh tempo, dan lain-lain. Dengan demikian manajemen

dapat mengetahui informasi tentang debitur sudah memenuhi

kewajibannya atau tidak apabila terjadi permasalahan pihak manajemen

bank akan langsung turun mengunjungi debitur untuk menyelesaikan

permasalahan tersebut.

Aspek-aspek dalam pengawasan kredit merupakan suatu hal yang sangat

penting dalam pemberian kredit untuk mengurangi risiko. Adapun aspek-aspek

tersebut meliputi,

1). Adanya administrasi kredit yang memadai dan mengadakan cara-

cara mutakhir, seperti penggunaan computer on line system.


2). Keharusan bagi nasabah kredit untuk menyampaikan laporan secara berkala

atas jenis-jenis laporan yang telah disepakati dan dituangkan dalam

perjanjian kredit seperti, laporan produksi dan laporan penjualan, laporan

utang dan piutang perusahaan, laporan keuangan (neraca, perhitungan

laba rugi, dan lain-lain), laporan tenaga kerja, laporan asuransi aktiva tetap,

laporan perubahan izin yang diterima dari instansi terkait.

3). Keharusan bagi petugas kredit (account officer) untuk melakukan kunjungan

(visit) keperusahaan atau proyek yang dibiayai bank, baik selama

berlangsungnya pembangunan proyek maupun stelah proyek tersebut

berjalan sebagai suatu usaha bisnis.

4). Adanya konsultasi yang terstruktur antara pihak bank dengan debitur,

terutama jika debitur memulai mengalami kesulitan dalam bisnisnya

atau telah menunjukan tanda-tanda terjadinya kemacetan. Kesulitan tersebut

mungkin terjadi pada berbagai masalah, seperti masalah produksi,

pemasaran, tenaga kerja, keuangan, perpajakan, dan sebaginya.

Konsultasi yang dilakukan secara dini pada umumnya dapat mengurangi

atau menekan kemungkinan terjadinya kegagalan proyek bagi usaha

debitur dan kredit macet bagi bank.

5). Adanya suatu sistem peringatan (warning system) pada admistrasi bank atau

umumnya dikelola oleh bagian kredit mengenai nasabah yang bersangkutan

apabila mengalami permasalahan. Peringatan dini tersebut dapat

memperlihatkan kepada bagian kredit berbagai informasi tentang

nasabah
kredit yang berkaitan dengan kepatuhan kepada ketentuan yang telah

dibuat dalam perjanjian kredit misalnya,

(1). Pengasuransian berbagai aktiva tetap yang dimiliki nasabah,

terutama aktiva tetap yang dijadikan agunan (jaminan kredit) yang

diserahkan kepada bank,

(2). Besarnya nilai agunan yang masih ada dibandingkan dengan nilai sisa

pinjaman (outstanding) atau dari debit kredit.

(3). Posisi nasabah berdasarkan kolektibilitas kreditnya pada setiap waktu,

apakah nasabah masih tergolong kredit lancer ataukah sudah menjadi

kredit kurang lancer, kredit diraguakan, ataukah bahkan kredit macet.

Posisi nasabah ini erat kaitannya dengan sistem pelaporan ke Bank

Indonesia dan sangat menentukan dalam penilaian terhadap tingkat

kesehatan bank yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa strategi

pemberian kredit adalah usaha pihak perbankan dalam rangka menyalurkan

kreditnya melalui upaya-upaya yang meliputi penetapan SBK yang mampu

bersaing dan tidak memberatkan nasabah, menawarkan prosedur kredit yang

mudah dan fleksibel namun tidak melanggar aturan-aturan, pemasaran kredit

yang gencar dan mampu menjawab kebutuhan nasabah serta pengawasan

yang bisa memberikan bimbingan terhadap nasabah agar kredit yang diterima

dapat dikembalikan dengan lancar tepat waktu dan sesuai perjanjian. Apabila hal

tersebut dapat dipenuhi oleh lembaga perbankan, maka strategi pemberian

kredit akan dapat berjalan efektif dan berpengaruh pada peningkatan jumlah

kredit yang disalurkan yang akhirnya


akan memberikan dampak positif terhadap kondisi LDR yang merupakan

indikator berjalan dengan baik atau tidaknya usaha yang dilakukan oleh

pihak bank. Bank bersedia memberikan prestasi berupa kredit apabila pihak

manajemen bank tersebut benar-benar yakin bahwa penerima kredit akan mampu

mengembalikannya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah

disetujui bersama. Tanpa keyakinan itu maka lembaga kredit tidak akan

meneruskan simpanan masyarakat yang diterimanya oleh karena itu kepercayaan

merupakan dasar utama bank dalam memberikan kredit.

Strategi pemberian kredit dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu

suku bunga acuan, persepsi bank terhadap kondisi pasar, persepsi bank

terhadap prospek usaha debitur, persepsi bank terhadap persaingan usaha antar

lembaga keuangan dan faktor internal seperti karakteristik bank itu sendiri yang

meliputi ukuran-ukuran dalam kesehatan bank. Permodalan bank yang cukup

atau banyak sangat penting karena modal bank dimaksudkan untuk memperlancar

operasional sebuah bank (Siamat, 2005). Berdasarkan PBI No 15/ 12 /PBI/2013,

setiap bank wajib memenuhi kecukupan modal atau CAR 12 persen. CAR

memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung

risiko, dibiayai dari modal sendiri. Kecukupan modal yang tinggi dan memadai

akan meningkatkan sumber pembiayaan kredit sehingga target kredit yang

disalurkan juga akan meningkat. Terpenuhinya target kredit yang harus

disalurkan oleh pihak bank merupakan cerminan bahwa strategi pemberian

kredit sudah berjalan efektif dan maksimal.


Menurut Muliaman Hadad (2004), Profitabilitas merupakan tingkat

kemampuan bank dalam meningkatkan laba. Tingkat profitabilitas dapat diukur

dengan menggunakan ROA, yang merupakan rasio untuk mengukur kemampuan

manajemen dalam mengelola aktiva untuk menghasilkan laba. Rasio

ini merupakan salah satu unsur faktor internal bank yang juga dapat digunakan

untuk mengukur tingkat kesehatan bank (Bank Indonesia, 2016). Kesehatan bank

merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, bank dan pengelola bank,

masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia dan OJK selaku

pembina dan pengawas bank. Semua dengan tanggung jawab masing-masing

pihak tersebut perlu untuk menyatukan diri bersama-sama berupaya untuk

mewujudkan perbankan yang sehat. Perbankan yang sehat akan mampu

menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi dengan baik salah satunya

melalui penawaran pinjaman berupa kredit kepada pelaku usaha serta masyarakat

umum sehingga tujuan pembangunan ekonomi pada sektor pembiayaan keuangan

dapat tercapai.

2.10 Hubungan Strategi Pemberian Kredit terhadap Loan To Deposit Ratio


(LDR)

Sumber dana yang digunakan untuk pemberian kredit berasal dari modal

bank, pinjaman dari lembaga keuangan lainnya serta DPK yang berhasil

dihimpun dari masyarakat. Jumlah kredit yang diberikan dan jumlah dana yang

digunakan bank untuk memberikan kredit merupakan indikator yang

digunakan untuk menilai kesehatan bank dalam menjalankan usahanya.

Penilaian kesehatan bank ini dapat dilihat dari salah satu rasio likuiditas yaitu

rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan

dengan jumlah dana


masyarakat dan modal sendiri yang digunakan rasio ini dikenal dengan sebutan

LDR. Selain itu LDR juga dapat digunakan sebagai ukuran dalam menilai peran

perbankan dalam melakuakan usahanya apakah sudah berjalan baik atau tidak.

LDR yang baik berada pada kisaran antara 78 sampai dengan 92 persen (Bank

Indonesia, 2016). Rendahnya LDR menunjukan bahwa melambatnya

pertumbuhan kredit yang disebabkan oleh faktor strategi pemberian kredit yang

kurang efektif, sehingga berpengaruh terhadap kondisi LDR yang menurun.

Dengan memperhatikan strategi pemberian kredit sebagai faktor

yang dapat mempengaruhi LDR, maka semakin baik dan efektif strategi

pemberian kredit akan berdampak pada semakin baiknya kondisi LDR sebagai

indikator perbankan dalam melakukan usaha, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini

dapat pula menunjukan bahwa strategi pemberian kredit yang efektif akan

berimbas pada peningkatan jumlah kredit yang disalurkan sehingga LDR juga

akan meningkat dan diikuti oleh peningkatan laba yang diperoleh bank melalui

pendapatan bunga yang tinggi (Kasmir, 2008). Menurut Hujaemah (2011) dalam

penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kredit Terhadap LDR dan

Dampaknya Pada Pendapatan Bunga Bank” menyatakan bahwa pemberian kredit

berpengaruh terhadap LDR. Semakin baik strategi pemberian kredit semakin

baik pula rasio LDRnya. Hasil penelitian tersebut dikembangkan oleh

Anggraini yang menyatakan bahwa strategi pemberian kredit berpengaruh

juga terhadap NPL. Kondisi LDR yang baik dapat mencerminkan peran

usaha perbankan berjalan dengan efektif dan selain itu juga dapat mencerminkan

bahwa bank tersebut dalam keadaan sehat.


2.11 Faktor Internal

Faktor internal bank merupakan faktor yang terjadi di dalam suatu bank

dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Kegiatan utama bank dalam

menjalankan usahanya adalah menghimpun dan menyalurkan kembali dana dari

masyarakat (sebagai lembaga intermediasi). Penilaian terhadap kesehatan

bank mencerminkan kondisi internal perbankan dalam hal ini BPR. Pada Tahun

2004

Bank Indonesia mengeluarkan PBI (BI) No.6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004

mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 No. 38, tambahan Lembaran Negara No. 4382). Perubahan

ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa semakin pesatnya perkembangan

yang terjadi di bidang perbankan yang berpengaruh pada meningkatnya

kompleksitas usaha bank dan profil risiko yang dimilki bank. Semakin

meningkatnya kompleksitas usaha bank dan profil risiko yang dimiliki serta

perubahan metodologi penilaian kondisi bank yang diterapkan secara

internasional akan mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan bank.

Kesehatan bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek

yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui

penilaian faktor permodalan, kualitas asset, manajemen, rentabilitas, likuiditas,

dan sensitivitas terhadap risiko pasar. Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut

dilakukan melalui penilaian kuantitaif dan kualitatif setelah mengembangkan

unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-

faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri

perbankan dan perekonomian nasional (Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI)

No.
6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004). Menurut PBI No. 6/10/PBI/2004 tanggal 12

April 2004 mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank (Lembaran Negara

No. 4382), pada dasarnya penilaian tingkat kesehatan bank merupakan penilaian

terhadap hasil usaha bank dalam waktu tertentu dan tingkat kesehatan bank akan

digolongkan dalam lima peringkat komposit masing-masing faktor. Menurut

SEBI No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 tujuan penilaian dari masing-masing

komponen CAMELS adalah sebagai berikut,

1). Capital (Permodalan)

Penilaian tehadap faktor permodalan ini dilakukan mengingat kecukupan

modal sangat diperlukan guna kelangsungan operasional bank sehari-hari

dimana modal digunakan sebagai penyangga apabila sedang mengalami

kerugian.

2). Asset (Aktiva)

Penilaian tehadap faktor ini dilakukan karena kualitas asset merupakan salah

satu aspek terpenting yang mempengaruhi pasar pendapatan bunga.

Pengelolaan asset yang baik meliputi tata cara pemberian kredit yang dapat

dipercaya dan penerapan pengendalian kredit.

3). Management (Manajemen)

Penilaian terhadap faktor manajemen ini dilakukan untuk melihat bagaimana

peran direksi dan komisaris dalam menetapkan kebijakan manajemen risiko,

mengawasi pelaksanaannya, kualitas sistem informasi manajemen, sistem

pengawasan internal, strategi jangka pendek, menengah dan panjang,

masalah kepemimpinan termasuk upaya penyediaan kader pemimpin.

Penilaian
manajemen cenderung bersifat subjektif dan kualitatif serta perlu dicarikan

kesepakatan untuk mengurangi terjadinya beda pandang antara pemeriksa

dan objek yang diperiksa.

4). Earnings (Rentabilitas)

Penilaian terhadap faktor rentabilitas ini dilakukan untuk mengukur

kemampuan bank dalam menetapkan harga untuk mengcover seluruh biaya.

Laba memungkinkan bank tumbuh degan signifikan, selain besaran laba

yang dihasilkan, kualitas dan sumber laba juga menjadi objek penilaian.

Laba yang dihasilkan secara stabil dan tumbuh secara konsisten memberi

nilai tambah.

5). Liquidity (Likuiditas)

Penilaian terhadap faktor likuiditas ini dilakukan mengingat aktiva bank

kebanyakan bersifat secara tidak liquid dengan sumber dana dan jangka

waktu yang lebih pendek. Oleh sebab itu likuiditas digunakan untuk

mengukur kapabilitas bank dalam memenuhi kewajibannya terutama dalam

jangka pendek dan jangka panjang.

6). Sensitivity to Market Risk (Sensitivitas terhadap Risiko Pasar)

Penilaian terhadap faktor sensitivitas terhadap risiko pasar ini dilakukan

untuk melihat bagaimana pergerakan faktor pasar dalam hal ini suku

bunga dan nilai tukar yang akan memperngaruhi perolehan nilai modal

ekonomis, dimana penilaian ini bukan hanya sekedar berdasarkan data

yang lalu tapi juga memperhatikan kondisi yang akan datang.

Masing-masing ukuran kesehatan bank tersebut diukur dengan rasio-

rasio perbankan yang dapat mencerminkan faktor internal suatu bank yang

selanjutnya
dalam penelitian ini rasio-rasio tersebut digunakan sebagai indikator dari variabel

laten faktor internal BPR di Kabupaten Badung. Adapun rasio-rasio tersebut

antara lain adalah permodalan diukur dengan rasio CAR, aktiva yang diukur

melalui KAP, rentabilitas yang diukur dengan ROA, likuiditas yang diukur

dengan CR. untuk lebih jelasnya masing-masing indikator tersebut akan

diuraikan satu persatu pada sub bab berikutnya.

2.11.1 Konsep Capital Adequacy Ratio (CAR)

CAR atau sering disebut rasio permodalan merupakan modal dasar yang

harus dipenuhi oleh bank. Permodalan (Capital Adequacy) menunjukkan

kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan

kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengawasi dan

mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya

modal bank (Sufa, 2008). Rasio CAR digunakan untuk mengukur kemampuan

permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan kerugian didalam kegiatan

perkreditan dan perdagangan surat-surat berharga. CAR menurut Kusuno, (2003)

merupakan rasio permodalan yang menunjukkan kemampuan bank dalam

menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha serta menampung

kemungkinan risiko kerugian yang diakibatkan dalam kegiatan operasional bank.

Semakin besar rasio tersebut akan semakin baik posisi modal.

Pendapat lain diutarakan oleh Siamat (2003), yaitu perhitungan

penyediaan modal minimum (capital adequacy) didasarkan pada ATMR.

Berdasarkan Paket Kebijakan 28 Februari (PAKFEB) (1991),

perbankan
diwajibkan memenuhi kewajiban penyertaan modal minimum atau dikenal

dengan CAR yang diukur dari persentase tertentu terhadap ATMR. Sejalan

dengan standar yang ditetapkan Bank of International Settlements (BIS), seluruh

bank di Indonesia wajib menyediakan modal minimum sebesar 12 persen dari

ATMR (SEBI No. 6/23/DPNP 2004). Menurut Siamat (2003) fungsi modal bank

yaitu, memberikan perlindungan kepada nasabah, mencegah terjadinya kejatuhan

bank, memenuhi ketentuan modal minimum, meningkatkan kepercayaan

masyarakat, menutupi kerugian aktiva produktif bank, sebagai indikator kekayaan

bank.

CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva

bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada

bank lain) ikut dibiayai dari modal bank, disamping memperoleh dana dari

sumber- sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang), dan

lain-lain (Dendawijaya,2009). Dengan kata lain, CAR adalah rasio kinerja

bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang

aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko. Rasio ini dirumuskan

sebagai berikut (Surat Edaran No. 6/23/DPNP 2004),

Modal Bank
CAR = × 100%.........(2.7)
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)

Tabel 2.1
Kesehatan Bank dari Sisi Capital Adequacy Ratio (CAR)

Rasio CAR (Persen %) Predikat


CAR ≥ 12% Sangat Sehat
9% ≤ CAR < 12% Sehat
8% ≤ CAR < 9% Cukup Sehat
6% ≤ CAR < 8% Kurang Sehat
CAR ≤ 6,0% Tidak Sehat
Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 6/23/DPNP (2004).
2.11.2 Konsep Kualitas Aktiva Produktif (KAP)

Sebagai lembaga pemberi jasa-jasa keuangan dalam lalu lintas

pembayaran, maka bank memberikan berbagai fasilitas kepada nasabah, loanable

funds dari bank terbesar diberikan dalam bentuk fasilitas kredit. Akan

tetapi, sebagian dana itu disisihkan dalam bentuk penanaman lain, yaitu surat-

surat berharga, penempatan dana pada bank lain dan penyertaan modal bank pada

lembaga keuangan yang bukan bank atau perusahaan lain. Aktiva yang produktif

atau productive assets sering juga disebut dengan earning assets atau aktiva yang

menghasilkan, karena penempatan dana bank tersebut diatas adalah untuk

mencapai tingkat penghasilan yang diharapkan. Aktiva produktif adalah

penanaman dana bank dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan dan

penanaman lainnya yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan.

Pengelolaan aktiva produktif adalah bagian dari assets management yang

juga mengatur tentang cash reserve (aset likuiditas) dan fixed assets (aktiva tetap

dan inventaris). Ada empat macam aktiva produktif atau aktiva yang

menghasilkan (earning assets), yaitu, kredit yang diberikan, surat-surat berharga,

penempatan dana pada bank lain dan penyertaan. Keempat jenis aktiva tersebut

kesemuanya menggunakan loanable funds atau excess reserve, sehingga dengan

memperhatikan bahwa sumber dana terbesar untuk penempatan aktiva itu adalah

berasal dari DPK dan pinjaman, maka risiko yang mungkin timbul atas

penempatan alokasi dan hal tersebut harus diikuti dan diamati terus melalui

analisis-analisis risiko. Untuk BPR penanaman aktiva produktif hanya

sebatas pada penyaluran kredit dan penempatan di bank lain, BPR tidak

diperbolehkan
menanamkan dana yang dimiliki untuk surat berharga dan penyertaan

dikarenakan skalanya yang dianggap kecil. Usaha penanaman dana dalam bentuk

penyaluran kredit kepada masyarakat merupakan usaha yang paling berisiko,

dimana tidak terbayarnya kredit yang telah diberikan. Sementara itu penanaman

dalam bentuk kredit merupakan bagian terbesar dari aktiva operasional dan

aktiva secara keseluruhan. Karena itu pengamatan dan analisis tentang bagaimana

KAP, harus dilakukan terus menerus.

Rasio yang digunakan untuk mengukur KAP adalah rasio aktiva yang

diklasifikasikan terhadap aktiva produktif dengan


rumus,
Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan
KAP = × 100%.............(2.8)
Aktiva Produktif

Predikat nilai dari KAP akan disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2
Kesehatan Bank dari Sisi Kualitas Aktiva Produktif (KAP)

Rasio KAP (Persen %) Predikat


KAP ≤ 2% Sangat Sehat
2% < KAP ≤ 3% Sehat
3% < KAP ≤ 6% Cukup Sehat
6% < KAP ≤ 9% Kurang Sehat
KAP > 9% Tidak Sehat
Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 6/23/DPNP (2004).

Menurut Sutojo (2000), dalam kaitannya dengan LDR yang merupakan

indikator dari intermediasi bank, faktor-faktor yang mempengaruhi strategi

pemberian kredit adalah faktor internal bank yang dilihat dari sisi kesehatannya

yang salah satu indikatornya adalah KAP. Kosmidou (2008) berpendapat bahwa

keadaan internal lembaga perbankan dapat dinilai dari tingkat kesehatannya yang

salah satu indikatornya adalah KAP. Semakin baik tingkat kesehatan suatu

bank
maka akan menopang kemampuan bank tersebut dalam memberikan kredit.

Tingkat kesehatan bank menggambarkan kondisi keuangan dan seberapa

baik bank tersebut melakukan kegiatan operasionalnya.

2.11.3 Konsep Return On Asset (ROA)

ROA merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan

manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Semakin

tinggi ROA, semakin besar pula tingkat laba atau keuntungan yang dicapai dan

semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset. Keuntungan

tersebut dapat disalurkan kembali dalam bentuk kredit sehingga strategi

pemberian kredit akan dapat berjalan optimal dan efektif. Laba merupakan

tujuan utama yang ingin dicapai dalam sebuah usaha, termasuk juga bagi

usaha perbankan. Alasan dari pencapaian laba perbankan tersebut dapat berupa

kecukupan dalam pemenuhan kewajiban terhadap pemegang saham, penilaian

atas kinerja pimpinan, dan meningkatkan daya tarik investor untuk menanamkan

modalnya. Laba yang tinggi membuat bank mendapat kepercayaan dari

masyarakat yang memungkinkan bank untuk menghimpun modal yang lebih

banyak, sehingga bank memperoleh kesempatan meminjamkan dananya lebih

luas (Simorangkir, 2004).

Berdasarkan laporan-laporan keuangan dari bank dan juga literature yang

terkait, bunga merupakan unsur atau komponen pendapatan yang paling besar.

Hasil yang diperoleh yaitu 75 persen dari bunga, sedangkan yang 25

persen berasal dari pendapatan jasa lainnya (Simorangkir, 2004). Besar

kecilnya laba
yang dihasilkan bank sangat dipengaruhi oleh kinerja bank dalam mengelola

dana yang dihimpun dari masyarakat. Bank yang mampu menghasilkan

pendapatan tinggi, berarti bank tersebut dapat menjalankan usahanya

secara efisien.

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, ROA dapat dirumuskan sebagai


berikut,
Laba Sebelum Pajak
ROA = × 100%............................(2.9)
Total Aset

Tabel 2.3
Kesehatan Bank dari Sisi Return On Asset (ROA)

Rasio ROA (Persen %) Predikat


ROA > 1,50% Sangat Sehat
1,25% < ROA ≤ 1,50% Sehat
0,50% < ROA ≤ 1,25% Cukup Sehat
0% < ROA ≤ 0,50% Kurang Sehat
ROA ≤ 0% Tidak Sehat
Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 6/23/DPNP (2004).

Menurut Dendawijaya (2003), alasan penggunaan ROA ini dikarenakan

Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan

nilai profitabilitas dengan ukuran aset, yang mana sebagian besar dananya

berasal dari masyarakat dan nantinya oleh bank juga harus disalurkan kembali

kepada masyarakat. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, maka standar ROA

yang baik adalah sebesar 1,5 persen, meskipun ini bukan suatu keharusan.

2.11.4 Konsep Cash Ratio (CR)

CR adalah alat pengukuran likuiditas minimum yang wajib dipelihara

oleh setiap bank. CR merupakan perbandingan antara alat-alat likuid yang

dikuasai bank, dengan kewajiban yang segera dibayar (hutang lancar). Alat-

alat likuid yang dikuasai bank adalah bagian dari kekayaan bank (aktiva)

yang berbentuk
uang tunai (cash). Komponen alat likuid untuk semua jenis bank adalah

sama, yaitu saldo kas dan saldo rekening pada Bank Indonesia. Untuk

memperhitungkan CR, hanya dua pos saja yang dianggap sebagai alat likuid

(Ridwan, 2004). Alat likuid yang dimaksud diantaranya adalah kas (segala

uang tunai baik kertas maupun logam yang ada bank yang bersangkutan),

penempatan dana pada bank lain, selisih tabungan antar bank (selisih

penempatan bank bersangkutan pada bank lain setelah dikurangi dengan

penempatan bank lain pada bank bersangkutan). Hutang lancar yang

dimaksud diantaranya adalah kewajiban segera (kewajiban bank kepada pihak

ketiga yang sifatnya harus segera dibayar, misalnya utang bunga, utang pajak,

kewajiban kepada pemerintah dan lain sebagainya), tabungan (penempatan dana

kepada bank bersangkutan yang penarikannya dapat dilakukan sewaktu-waktu,

tidak terikat jangka waktu dan dapat dilakukan setiap saat), deposito (penempatan

dana pada bank bersangkutan oleh masyarakat atau pihak lain yang hanya dapat

ditarik setelah melewati waktu jatuh temponya yang penarikannya tidak bisa

dilakukan setiap saat tetapi berdasar pada jangka waktu).

CR adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan

dalam membayar kewajiban jangka pendek dengan kas yang tersedia dan yang

disimpan di bank. CR adalah rasio yang membandingkan antara kas dan aktiva

lancar yang bisa segera menjadi uang kas dengan hutang lancar. Menurut Sudana

(2011) CR adalah kemampuan kas dan surat berharga yang dimiliki perusahaan

untuk menutup utang lancar. Rasio ini paling akurat dalam mengukur

kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek karena hanya

memperhitungkan komponen aktiva lancar yang paling likuid. Adapun

pengertian
rasio kas atau CR menurut Syamsuddin (2007) yaitu perbandingan antara

kas dengan total utang lancar atau dapat juga dihitung dengan mengikut

sertakan surat-surat berharga. Aktiva lancar yang bisa segera menjadi uang kas

adalah efek atau surat berharga, dengan demikian rumus untuk menghitung

CR menurut

Riyanto (2010) adalah sebagai


berikut.

Alat Likuid
CR = × 100%...............................(2.10)
Pasiva Lancar

Tabel 2.4
Kesehatan Bank dari Sisi Cash Ratio (CR)

Rasio CR (Persen %) Predikat


CR ≤ 90% Sangat Sehat
90% < CR ≤ 94% Sehat
94% < CR ≤ 98% Cukup Sehat
98% < CR ≤ 102% Kurang Sehat
CR > 102% Tidak Sehat
Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 6/23/DPNP (2004).

2.12 Hubungan Faktor Internal tehadap Loan To Deposit Ratio (LDR)


Melalui Strategi Pemberian Kredit Secara Langsung Maupun Tidak
Langsung

Indikator pertama dari variabel kondisi faktor internal bank dalam

penelitian ini adalah kondisi permodalan yang dicerminkan dari CAR. CAR

menunjukkan seberapa besar modal bank telah memadai untuk menunjang

kebutuhannya, dan merupakan dasar untuk menilai prospek kelanjutan usaha

bank yang bersangkutan. Semakin tinggi CAR, menunjukkan kinerja bank dalam

memberikan kredit semakin baik, sehingga meningkatkan kesehatan bank

dan mendorong proses penyaluran serta pengimpunan dana masyarakat. Menurut

Siamat (2003) fungsi utama modal bank adalah untuk memenuhi

kebutuhan
minimum dan menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan

risiko, misalnya kredit yang diberikan. Dengan kata lain, CAR merupakan

tingkat kecukupan modal yang dimiliki bank dalam menyediakan dana untuk

keperluan pengembangan usaha dan menampung risiko kerugian dana yang

diakibatkan oleh kegiatan operasional bank. Tingkat kecukupan modal suatu

bank sangat penting dalam menyalurkan kredit pada masyarakat. Bila tingkat

kecukupan modal bank baik, maka jumlah kredit yang akan mampu disalurkan

akan tinggi, dan pihak bank memiliki dana cadangan jika sewaktu-waktu terjadi

masalah kredit macet.

Bank yang memiliki kecukupan modal yang tinggi akan

meningkatkan kepercayaan diri dalam menyalurkan kredit, sehingga apabila CAR

meningkat maka jumlah kredit yang disalurkan juga akan meningkat melalui

strategi pemberian kredit yang efektif. Penelitian yang dilakukan oleh

Haryati (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan modal yang merupakan faktor

internal bank memiliki pengaruh yang positif terhadap peran intermediasi yang

diukur dengan LDR melalui pemberian kredit yang dibentuk oleh

variabel unsur-unsur pemberian kredit. Pada penelitian Pauzi (2011), CAR yang

merupakan bagian dari faktor internal bank yang berpengaruh positif dan

signifikan terhadap strategi pemberian kredit. Semakin tinggi rasio CAR yang

merupakan faktor internal bank maka semakin besar daya tahan bank dalam

menghadapi penyusutan nilai harta bank yang timbul karena adanya harta

bermasalah (Riyadi, 2006). Dengan demikian dapat diduga bahwa CAR yang

merupakan indikator dari variabel faktor internal berpengaruh positif signifikan

terhadap LDR melalui strategi pemberian


kredit sebagai pemediasi secara langsung maupun tidak langsung pada BPR di

Kabupaten Badung.

Indikator kedua yang digunakan dalam penelitaian ini untuk membentuk

variabel faktor internal adalah KAP. KAP merupakan rasio antara aktiva

produktif yang diklasifikasikan terhadap total aktiva produktif. KAP merupakan

salah satu ukuran besarnya cadangan kemungkinan tidak tertagihnya (tidak

terealisasikannya penempatan dana). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan

bahwa KAP merupakan rasio untuk mengetahui risiko gagal bayar dari aktiva

produktif yang diklasifikasikan. Rasio KAP yang terlampau tinggi, menunjukan

bahwa aktiva produktif yang dimiliki bank banyak mengandung risiko sehingga

dana cadangan yang harus dipersiapkan juga meningkat. Hal tersebut disebabkan

karena bank kurang berhati-hati dalam menyalurkan dananya. Porsi dana

cadangan yang tinggi mengakibatkan bank kekurangan likuiditas dan kehilangan

kesempatan berinvestasi. Hilangnya kesempatan berinvestasi dalam bentuk

pembiayaan kredit mengakibatkan pendapatan potensial bank pun berkurang

(Akbar, 2013).

Kondisi KAP yang sehat, menunjukan bahwa bank mampu meminimalisir

kerugian yang lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan aktiva produktif yang

tidak tertagih. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kebijakan bank

dalam pemberian kredit, dikarenakan strategi pemberian kredit akan lebih efektif

apabila KAP dalam kondisi sehat (Usman, 2011). Jadi mengacu dari hasil

penelitian yang terdahulu diduga terjadi hubungan antara KAP yang merupakan

bagian dari faktor internal dengan LDR yang salah satu indikatornya adalah

penyaluran kredit,
melalui strategi pemberian kredit sebagai pemediasi secara langsung

maupun tidak langsung pada BPR di Kabupaten Badung.

Variabel indikator ketiga dari kondisi faktor internal bank dalam

penelitian ini adalah ROA. ROA adalah indikator yang akan menunjukkan bahwa

apabila rasio ini meningkat maka aktiva bank telah digunakan dengan

optimal untuk memperoleh pendapatan sehingga diperkirakan ROA dan jumlah

kredit memiliki hubungan yang positif melalui strategi pemberian kredit yang

baik. ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam

memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan (Dendawijaya, 2003).

Semakin tinggi ROA suatu bank semakin besar pula tingkat keuntungan yang

dicapai bank tersebut. Dengan laba yang besar maka bank dapat

menyalurkan kredit lebih banyak, melalui strategi-strategi pemberian kredit

yang efektif. Hal tersebut akan meningkatkan jumlah kredit yang disalurkan,

sejalan dengan kredit yang meningkat maka akan meningkatkan LDR yang

merupakan ukuran usaha perbankan berjalan dengan efektif atau tidak.

Laba merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dalam sebuah usaha,

termasuk juga bagi usaha perbankan. Alasan dari pencapaian laba

perbankan tersebut dapat berupa kecukupan dalam memenuhi kewajiban terhadap

pemegang saham, penilaian atas kinerja pimpinan, dan meningkatkan daya

tarik investor untuk menanamkan modalnya. Laba yang tinggi membuat bank

mendapat kepercayaan dari masyarakat yang memungkinkan bank untuk

menghimpun modal yang lebih banyak sehingga bank memperoleh kesempatan

meminjamkan dana dengan lebih luas (Simorangkir, 2004). Semakin tinggi

ROA suatu bank


semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut, dengan laba

yang besar maka suatu bank akan mudah dalam hal pemberian kredit

dikarenakan memiliki sumber pendanaan yang cukup. Pernyataan tersebut

didukung oleh penelitian yang dilakukan Arisandi (2008) dan Prayudi (2011),

yang menyatakan bahwa faktor internal bank yang salah satu pembentuknya

adalah ROA berpengaruh positif terhadap strategi pemberian kredit bank. Pada

penelitian Fransisca dan Siregar (2008) menyatakan bahwa ROA yang

merupakan bagian dari kondisi kesehatan bank memiliki pengaruh positif dan

signifikan terhadap jumlah kredit yang disalurkan yang dapat diukur dari LDR.

Variabel indikator keempat dari kondisi faktor internal bank dalam

penelitian ini adalah CR. Sinungan (2000) menyatakan bahwa CR akan

berpengaruh terhadap laba melalui loanable fund, jika CR ditentukan pada posisi

terlalu tinggi agar likuiditas aman, maka loanable fund kecil sehingga berakibat

keuntungan bank dari pendapatan bunga juga menurun. Sebaliknya jika posisi CR

turun namun tidak dalam posisi terlalu rendah, maka loanable fund

meningkat yang jika direalisasikan akan menambah jumlah kredit. Kondisi CR

yang sehat akan berdampak pada strategi pemberian kredit yang lebih efektif dan

akan merangsang pertumbuhan jumlah kredit yang disalurkan. Penelitian

ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Pranoto (2008). Hasil

penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara CR

bank dengan pemberian kredit. Jadi CR dapat dijadikan sebagai pertimbangan

untuk menentukan strategi dalam hal pemberian kredit yang berdampak pada

kondisi LDR.
Dari uraian masing-masing indikator yang membentuk variabel faktor

internal bank yaitu CAR, KAP, ROA dan CR diduga berpengaruh positif secara

langsung maupun tidak langsung terhadap LDR melalui strategi pemberian

kredit. Semakin baik kondisi internal BPR di Kabupaten Badung akan

berpengaruh terhadap kondisi LDR yang lebih baik, melalui strategi pemberian

kredit yang efektif sebagai pemediasi. Pernyataan tersebut didukung dengan

penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2014) yang berjudul “Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Strategi Pemberian Kredit dan Dampaknya Terhadap Kinerja

Danamon Simpan Pinjam”. Dalam penelitannya dinyatakan bahwa faktor internal

perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap starategi pemberian kredit

dan berdampak positif terhadap kinerja perusahaan. Pernyataan yang sama juga

dikemukakan oleh Arisandi (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis

Faktor Penawaran Kredit pada Bank Umum di Indonesia”, yang menjelaskan

bahwa penawaran kredit yang merupakan implementasi dari strategi dalam hal

penyaluran kredit, dipengaruhi oleh faktor internal perusahaan yang dapat di

ukur melalui rasio-rasio keuangan bank diantaranya DPK, CAR, NPL dan ROA.

2.13 Faktor Eksternal

Dalam usahanya menyalurkan kredit kepada masyarakat, pihak

manajeman bank harus memperhatikan kondisi eksternal dan lingkungan.

Persepsi manajemen bank terhadap kondisi perekonomian masyarakat, akan

membantu pihak manajemen bank dalam hal menyusun strategi perkreditan.

Kondisi perekonomian masyarakat dapat dicerminkan dari pendapatan nasabah.

Semakin
tinggi pendapatan nasabah akan meningkatkan permintaan kredit, hal

tersebut akan meningkatkan efektivitas strategi bank dalam menyalurkan

kreditnya. Namun pendapatan nasabah yang meningkat tidak akan berdampak

pada permintaan kredit apabila terjadi kenaikan harga barang (inflasi). Ketika

terjadi inflasi, nasabah akan lebih memilih membelanjakan dana yang

dimiliki untuk membeli kebutuhan konsumsi dari pada harus melakukan

pinjaman kredit. Pihak manajemen bank harus mampu menganalisa seberapa

besar pengaruh inflasi terhadap usaha yang dilakukan baik dalam hal

penghimpunan maupun penyaluran dana kepada masyarakat. Oleh karena itu

variabel perekonomian masyarakat yang tercermin dari pendapatan nasabah dan

inflasi, merupakan variabel indikator yang membentuk faktor eksternal bank

dalam penelitian ini.

Persaingan usaha antar lembaga keuangan juga merupakan faktor

eksternal yang berdampak pada kurang maksimalnya strategi pemberian kredit

yang diikuti oleh menurunnya jumlah kredit yang disalurkan oleh pihak

perbankan. Persaingan tersebut tidak hanya dari lembaga perbankan melainkan

dari lembaga pembiayaan keuangan lainnya seperti LPD, Koperasi, Pegadaian,

Finance dan lain-lain. Lokasi operasional bank juga menjadi pertimbangan

nasabah untuk melakukan pinjaman kredit. Lokasi yang strategis serta

kebijakannya mampu menyesuaikan dengan kondisi geografis daerah

operasional, akan menjadi nilai tambah. Pihak manajemen bank akan lebih

mudah untuk menarik hati dan kepercayaan nasabah, sehingga strategi pemberian

kredit menjadi efektif yang akan diikuti oleh peningkatan jumlah penyaluran

kredit. Dari uraian tersebut variabel faktor eksternal bank dapat diukur melalui

indikator yaitu inflasi, pendapatan nasabah,


persaingan usaha dan lokasi. Kondisi faktor eksternal bank yang baik berdampak

pada strategi pemberian kredit yang efektif dan diikuti oleh peningkatan

pertumbuhan jumlah kredit yang dapat dilihat dari LDR, secara langsung maupun

tidak langsung. Untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikutnya.

2.13.1 Konsep Inflasi

Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan

terus-menerus, berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh

berbagai faktor antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya

likuiditas yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga

akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Inflasi adalah indikator untuk

melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga

berlangsung secara terus-menerus dan saling mempengaruhi. Dalam memahami

konsep inflasi, kenaikan harga yang terjadi adalah kenaikan harga umum barang

secara terus-menerus selama suatu periode waktu tertentu. Kenaikan yang

terjadi hanya sekali saja, meskipun dengan persentase yang cukup besar,

bukan merupakan inflasi. Sebagai contoh misalnya harga barang ekspor seperti

beras, kopi, teh naik maka indeks biaya hidup juga akan mengalami kenaikan

sebab barang-barang ini langsung masuk dalam daftar barang yang tercakup

dalam indeks harga (Waluyo, 2003).

Seorang investor akan merasa lebih terjamin untuk berinvestasi, pada saat

inflasi di suatu negara cenderung stabil dan terkendali (Nopirin, 2010).

Jenis- jenis inflasi berdasarkan penyebabnya antara lain,


1). Demand Pull Inflation

Inflasi timbul karena permintaan masyarakat atas beberapa barang

terlalu kuat, yang menyebabkan kenaikan harga pada tingkat produksi yang

telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh. Gambar 2.3

menggambarkan harga keseimbangan awal adalah P1 dan kuantitas

barang yang diminta adalah sebesar Q1. Karena permintaan masyarakat

akan barang-barang (aggregate demand) bertambah, maka kurva aggregate

demand bergeser dari AD1 ke AD2 Akibat dari pergeseran kurva AD

tersebut, tingkat harga naik dari P1 menjadi P2

Harga

AS

P¹ AD²

AD¹

0 Q¹ Q² Output

Gambar 2.10 Demand Pull Inflation


Sumber : Nopirin (2010).

2). Cost Push Inflation

Merupakan inflasi yang timbul karena kenaikan ongkos produksi, yang

mendorong terjadinya kenaikan harga. Pada Gambar 2.4 menunjukkan

bahwa apabila terjadi kenaikan biaya produksi, misalnya karena adanya

kenaikan harga bahan baku untuk produksi, maka kurva penawaran

akan
bergeser dari AS1 ke AS2. Akibatnya tingkat produksi menurun

dan mendorong terjadinya kenaikan harga, yaitu dari P1 menjadi P2.

Harga

AS²

P² AS¹

AD

0 Q² Q¹ Output

Gambar 2.11 Cost Push Inflation


Sumber : Nopirin (2010).

Jenis Inflasi menurut sifatnya digolongkan dalam tiga kategori menurut

Nopirin (2010) yaitu,

1). Inflasi Merayap

Kenaikan harga terjadi secara lambat, dengan persentase yang kecil

dan dalam jangka waktu yang relatif lama (di bawah 10 persen per tahun).

2). Inflasi Menengah

Kenaikan harga yang cukup besar dan kadang - kadang berjalan dalam

waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi

3). Inflasi Tinggi

Kenaikan harga yang besar bisa sampai 5 atau 6 kali, dimana dalam

kondisi tersebut masyarakat tidak lagi berkeinginan menyimpan uang.

Nilai uang
merosot dengan tajam sehingga ingin ditukar dengan barang. Perputaran

uang semakin cepat, sehingga harga naik secara cepat dan berakselerasi.

Jenis inflasi berdasarkan parah tidaknya, dapat dibedakan berdasarkan

rentangan persentase. Inflasi ringan (dibawah 10 persen setahun), inflasi sedang

(antara 10 persen-30 persen setahun), inflasi berat (antara 30 persen-100 persen

setahun), hiperinflasi (diatas 100 persen setahun).

Jenis inflasi berdasarkan pada asal terjadinya menurut Boediono (2009)

adalah sebagai berikut,

1). Domestic Inflation

Inflasi yang berasal dari dalam negeri yang timbul antara lain karena defisit

anggaran belanja yang dibiayai dengan percetakan uang baru, atau bisa juga

disebabkan oleh gagal panen.

2). Imported Inflation

Inflasi yang berasal dari luar negeri yang timbul karena kenaikan harga-

harga di luar negeri atau negara-negara langganan berdagang. Penularan

inflasi dari luar negeri ke dalam negeri ini jelas lebih mudah terjadi pada

negara-negara yang menganut perekonomian terbuka, yaitu sektor

perdagangan luar.

Secara garis besar ada 3 kelompok teori mengenai inflasi masing-masing

akan dijelaskan sebagai berikut

1). Teori Kuantitas

Teori kuantitas ini menyatakan bahwa proses inflasi itu terjadi karena

2 hal, yaitu jumlah uang beredar dan psikologi (harapan) masyarakat

mengenai kenaikan harga-harga (expectations). Ada 2 hal penting dari

teori kuantitas
pertama, laju inflasi terjadi jika ada penambahan volume uang beredar.

Kedua, laju inflasi oleh harapan masyarakat mengenai kenaikan harga

di masa yang akan datang (Boediono, 2005).

2). Teori Keynes

Teori ini menerangkan bahwa proses inflasi terjadi karena permintaan

masyarakat akan barang-barang yang selalu melebihi jumlah yang tersedia.

Hal ini yang disebut juga dengan inflationary gap. Inflationary gap terjadi

apabila jumlah permintaan efektif dari semua golongan pada tingkat harga

yang berlaku, melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang

dihasilkan oleh masyarakat. Hal tersebut akan menyebabkan kenaikan

harga- harga karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia.

Adanya kenaikan harga berarti kegiatan pembelian barang dari golongan

tertentu tidak terpenuhi. Selanjutnya mereka akan berusaha untuk

memperoleh dana yang lebih besar, baik dari golongan pemerintah melalui

pencetakan uang baru, para pengusaha swasta melalui kredit dari bank, atau

pekerja melalui kenaikan tingkat upah yang lebih besar. Proses inflasi akan

terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan

masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan pada tingkat harga

yang berlaku.

3). Teori Strukturalis.

Teori strukturalis lebih menekankan pada faktor-faktor struktural dari

perekonomian yang menyebabkan terjadinya inflasi. Teori ini disebut juga

teori inflasi jangka panjang, karena yang dimaksud dengan faktor-faktor

struktural di sini adalah faktor-faktor yang hanya bisa berubah secara

gradual
dalam jangka waktu yang panjang. Teori ini memberi tekanan pada

ketegaran dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang.

Ada dua ketegaran yang menyebabkan inflasi, yaitu ketegaran berupa

ketidakelastisan dari penerimaan ekspor dan ketegaran berupa

ketidakelastisan dari penawaran bahan makanan dalam negeri. Kedua

proses tertsebut pada umumnya berkaitan dan memperkuat satu sama lain

dalam menyebabkan inflasi.

Ketegaran yang merupakan ketidakelastisan dari penerimaan ekspor ini

adalah ketegaran di mana nilai dari ekspor tumbuh secara lamban dibanding

dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Dasar penukaran yang makin

memburuk dan supply barang-barang ekspor yang tidak elastis ini akan

menyebabkan terjadinya kelambanan tersebut. Kelambanan pertumbuhan

penerimaan ekspor ini berarti kelambanan pertumbuhan kemampuan untuk

mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. Sedangkan bagi suatu

negara untuk mencapai target pertumbuhannya akan memberlakukan

kebijakan pengganti impor (import substitution strategy). Inflasi terjadi jika

proses substitusi impor ini makin meluas, sehingga menaikkan biaya

produksi ke berbagai barang. Konsekuensinya akan menyebabkan makin

banyaknya harga-harga yang mengalami kenaikan.

2.13.2 Konsep Pendapatan

Pendapatan dalam ilmu ekonomi teoritis adalah hasil yang diterima, baik

berupa uang maupun lainnya atas penggunaan kekayaan (jasa manusia).

Dijelaskan pula bahwa pendapatan adalah hasil dari penjualan faktor-

faktor
produksi yang dimiliki kepada sektor produksi. Selain itu pendapatan adalah

pendapatan uang yang diterima dan diberikan kepada subjek ekonomi

berdasarkan prestasi-prestasi yang diserahkan baik dari profesi yang dilakukan

sendiri atau usaha perorangan. Besarnya pendapatan seseorang bergantung pada

jenis pekerjaan dan profesinya masing-masing (Ridwan, 2004).

Dijelaskan pula oleh Sukirno (2004), bahwa pendapatan menurut

ilmu ekonomi merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh

seseorang dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada

akhir periode seperti keadaan semula. Pendapatan masyarakat dapat digolongkan

menjadi dua bagian yaitu,

1). Pendapatan permanen (permanent income) adalah pendapatan yang selalu

diterima pada setiap periode tertentu dan dapat diperkirakan

sebelumnya, misalnya pendapatan dari gaji atau upah. Pendapatan ini

juga merupakan pendapatan yang diperoleh dari semua faktor yang

menentukan kekayaan seseorang (yang menciptakan kekayaan).

2). Pendapatan sementara (transitory income) adalah pendapatan yang tidak bisa

diperkirakan (Mangkoesoebroto dan Algifari, 2000).

Winardi (2001) menyatakan bahwa pendapatan merupakan tingkat hidup

yang dinikmati individu dimasyarakat, dan nantinya akan digunakan untuk

mengembalikan pinjaman bagi yang melakukan pinjaman. Pendapatan tersebut

sebagai sumber penghasilan dari berbagai macam jenis profesi. Pada umumnya

pengaruh pendapatan terhadap permintaan adalah positif dalam arti bahwa

kenaikan pendapatan akan menaikkan permintaan. Hal ini terjadi apabila

barang
tersebut merupakan barang superior atau normal, ini seperti efek selera dan efek

banyaknya pembeli yang mempunyai efek positif. Begitu sebaliknya pada kasus

barang interior, maka kenaikan pendapatan justru menurunkan pendapatan.

Konsumen selalu berusaha untuk dapat memenuhi sagala kebutuhannya, dengan

cara melakukan usaha tambahan agar dapat membantu meningkatkan

pendapatannya. Berbagai cara dilakukan masyarakat mulai dari investasi

sederhana sampai dengan investasi bermodal besar. Sehingga dampaknya pada

sektor moneter adalah permohonan modal usaha dan investasi akhirnya semakin

tinggi, maka permohonan modal tersebut akan mengarah kepada

permohonan pembiayaan ke lembaga keuangan yang semakin meningkat

(Winardi, 2001).

Penjelasan yang lebih rinci dari pendapatan adalah penerimaan

tingkat hidup dalam satuan rupiah, yang dapat dinikmati seorang individu atau

keluarga yang didasarkan atas penghasilannya atau sumber-sumber pendapatan

lain. Pendapatan nasabah yang digunakan untuk mengembalikan pembiayaan,

harus jelas dan riil. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

pendapatan menurut Sukmayanti (2008) adalah sebagai berikut,

1). Kesempatan Kerja Yang Tersedia

Semakin banyak kesempatan kerja yang tersedia berarti semakin

banyak penghasilan yang bisa diperoleh dari hasil kerja tersebut.

2). Jenis Pekerjaan

Terdapat banyak jenis pekerjaan yang dapat dipilih seseorang

dalam melakukan pekerjaannya untuk mendapatkan penghasilan yang

bervariasi.
3). Kecakapan dan Keahlian

Dengan bekal kecakapan dan keahlian yang tinggi akan dapat meningkatkan

efisiensi dan efektivitas yang pada akhirnya berpengaruh pula terhadap

penghasilan.

4). Motivasi

Semakin besar dorongan seseorang untuk melakukan pekerjaan, semakin

besar pula penghasilan yang diperoleh. Selain itu juga lokasi bekerja yang

dekat dengan tempat tinggal dan kota, akan membuat seseorang lebih

semangat untuk bekerja.

5). Keuletan dan Ketekunan Kerja

Pengertian keuletan dapat disamakan dengan ketekunan atau keberanian

untuk menghadapi segala macam tantangan. Bila saat menghadapi kegagalan

maka kegagalan tersebut dijadikan sebagai bekal untuk meneliti ke arah

kesuksesan dan keberhasilan.

6). Banyak Sedikitnya Modal yang Digunakan

Besar kecilnya usaha yang dilakukan seseorang sangat dipengaruhi oleh

besar kecilnya modal yang dipergunakan. Suatu usaha yang besar akan dapat

memberikan peluang yang besar pula terhadap pendapatan yang akan

diperoleh.

Pendapatan merupakan sumber pribadi yang utama. Pendapatan yang

diperoleh oleh masyarakat merupakan media untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari. Pendapatan juga dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan

infestasi. Semakin tinggi pendapatan masyarakat akan berpengaruh

terhadap
minat masyarakat untuk menjadi nasabah perbankan dan berinvestasi salah

satunya investasi dalam bentuk pinjaman kredit perbankan. Pinjaman berupa

kredit biasanya digunakan oleh nasabah untuk membiayai usaha ataupun untuk

membeli barang-barang investasi dan konsumsi. Tingginya pendapatan yang

dimiliki oleh nasabah lembaga perbankan akan memudahkan pihak bank untuk

menjalankan usahanya. Dalam hal kegiatan perbankan yaitu penghimpunan dana

maupun penyaluran kredit semua sangat tergantung pada pendapatan yang

dimiliki oleh nasabahnya.

Tinggi rendahnya kemampuan nasabah untuk menabung ataupun

membayar pinjaman bank, mencerminkan kondisi pendapatan dari nasabah

tersebut. Semakin tinggi pendapatan yang dimiliki oleh nasabah suatu bank

maka, kecenderungan untuk menambah porsi kredit serta dana yang disimpan

akan semakin meningkat. Menurut Novianti (2010), pendapatan nasabah

berpengaruh positif terhadap pengambilan kredit di Perum Pegadaian cabang

Matesih hal tersebut berdampak pada strategi pemberian kredit yang dilakukan

dapat berjalan dengan optimal. Semakin tinggi pendapatan yang dimiliki oleh

nasabah Perum Pegadaian cabang Matesih, maka minat untuk melakukan

pinjaman dan menambah porsi kredit juga semakin meningkat sehingga

strategi pemberian kredit menjadi efektif.

2.13.3 Konsep Persaingan Usaha

Persaiangan usaha perbankan merupakan salah satu faktor eksternal yang

dapat mempengaruhi jumlah penyaluran kredit perbankan. Semakin

ketatnya
persaiangan usaha di dunia perbankan mengharuskan masing-masing bank

berlomba-lomba dalam menarik hati nasabah agar mau bekerjasama dan

menggunakan produk-produknya. Persaiangan usaha dibidang pembiayaan

keuangan tidak hanya terjadi antar bank namun datang dari lembaga keuangan

lainnya seperti Koprasi, Finance, Pegadaian dan khususnya di Provinsi Bali ada

yang disebut LPD yaitu lembaga perkreditan yang dimiliki oleh masing-masing

desa pakraman. Semakin menjamurnya lembaga keuangan yang hadir ditengah-

tengah masyarakat, mengharuskan lembaga keuangan perbankan dalam hal ini

BPR harus lebih gencar menarik hati nasabah, dengan memberikan

pelayanan serta menawarkan produk-produk bank yang lebih variatif dan

inovatif.

Menurut Djiwandono (2006) salah satu faktor eksternal yang dapat

mempengaruhi strategi pemberian kredit oleh pihak perbankan adalah

persaiangan usaha antar bank tersebut atau antar lembaga keuangan lainnya.

Semakin baik pelayanan dan produk-produk yang ditawarkan oleh suatu bank,

mencerminkan bahwa bank tersebut mampu bersaing dengan lembaga-lembaga

keuangan lain. Hal tersebut merupakan gambaran bahwa strategi dalam

pemberian kredit efektif untuk menarik minat nasabah, sehingga nasabah untuk

bekerjasama dengan bank tersebut akan semakin meningkat. Hal ini akan diikuti

oleh jumlah volume kredit yang disalurkan juga akan semakin meningkat.

Sebaliknya jika produk-produk dan pelayanan yang ditawarkan oleh suatu bank

tidak mampu bersaing dengan lembaga keuangan lainnya, mencerminkan bahwa

strategi dalam hal pemberian kredit kurang efektif. Konsekuensinya kredit

yang disalurkan juga akan rendah


karena masayarakat akan lebih memilih lembaga keuangan lain yang lebih

mampu memberikan keuntungan baik itu keuntungan material maupun non

material.

2.13.4 Konsep Lokasi

Pengertian lokasi adalah tempat bank tersebut melakukan kegiatan

operasional sehari-hari. Bahwasanya lokasi yang paling ideal bagi bank adalah

lokasi yang biaya operasinya paling rendah atau serendah mungkin (Murti

Sumarni, 2002). Lokasi yang salah akan menyebabkan biaya operasional bank

tinggi, sebagai akibatnya bank tersebut tidak akan mampu bersaing dan

mengakibatkan kerugian. Oleh karena itu lokasi yang tepat merupakan tuntutan

yang multak harus di penuhi setiap bank (Basu Swastha, 2007). Menurut Sriyadi

(2005), lokasi lebih tegas berarti tempat secara fisik, sedangkan menurut

Lupiyoadi (2001) mendefinisikan lokasi adalah tempat di mana perusahaan harus

bermarkas melakukan operasi untuk dapat melakukan kinerja yang masksimal.

1). Pentingnya Lokasi

Lokasi sangat penting dalam dunia usaha karena lokasi menentukan tempat

dimana bank itu melakukan tugas-tugas dan usaha operasionalnya. Lokasi

yang strategis akan memberikan kesempatan kepada nasabah untuk

mengeluarkan biaya yang sedikit. Sementara lokasi yang kurang

memadai akan memaksa nasabah untuk mengeluarkan lebih banyak

biaya (Bangs, David H, Jr, 2000).


2). Indikator Dalam Menentukan Lokasi

Adapun faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan

pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam menentukan lokasi menurut

Tjiptono (2005) meliputi faktor,

(1). Akses, misalnya lokasi yang mudah dilalui atau mudah dijangkau

sarana transportasi umum.

(2). Visibilitas, misalnya lokasi dapat dilihat dengan jelas dari tepi

jalan. (3). Tempat parkir yang luas dan aman.

(4). Lingkungan, yaitu daerah sekitar yang mendukung jasa yang


ditawarkan.

Secara relevan bank perlu menentukan lokasi dimana bank itu akan

di dirikan dan beroperasi. Kesalahan dalam hal menentukan lokasi operasional

bank mengakibatkan strategi dalam hal pemberian kredit menjadi terhambat.

Lokasi dalam hal ini juga menyangkut kemampuan pihak bank dalam

menyesuaikan diri dengan keadaan geografis dan lingkungan sekitar daerah

operasionalnya. Pihak perbankan harus dapat mengidentifikasi perbedaan

karakterisitik daerah operasionalnya masing-masing. Hal tersebut bertujuan

agar dalam menentukan kebijakan baik dalam hal penentuan produk

maupun suku bunga dapat disesuaikan dengan kondisi keadaan masyarakat

didaerahnya agar strategi dalam pemberian kredit dapat berjalan dengan efektif.

Lokasi yang strategis akan berdampak positif pada pertumbuhan kredit serta

peran perbankan dalam mendorong perekonomian masyarakat akan dirasakan

langsung oleh masyarakat yang berada di daerah sekitar tempat bank tersebut

beroperasi.
Lokasi dalam hal ini tidak hanya mengenai lokasi bank secara

fisik, melainkan lokasi dalam hal bagaimana pihak manajemen bank

dapat menyesuaikan diri dengan kondisi keadaan alam dan geografis daerah

sekitar operasionalnya. Mengingat kondisi dan karakteristik setiap daerah

berbeda-beda yang menyebabkan terjadinya perbedaan sektor usaha

masyarakatnya. Dalam menawarkan produk-produk perbankan salah satunya

kredit, pihak manajemen perbankan juga seharusnya dapat menyesuaikan

produk kredit tersebut terhadap kebutuhan masyarakat sekitar sesuai dengan

sektor usaha yang paling dominan. Misalnya masyarakat di daerah pedesaan

yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, pihak manajemen

bank hendaknya lebih memprioritaskan kredit pertanian yang jangka waktu

pengembaliannya disesuaikan dengan musim panen (Kosmidou, 2008).

Pertimbangan penyesuaian terhadap lokasi lingkungan sekitar semacam itu akan

membantu pihak manajemen bank dalam menerapkan strategi pemberian kredit

yang lebih efektif dan tepat sasaran dan akhirnya akan berpengaruh terhadap

kondisi LDR yang lebih baik.

2.14 Hubungan Faktor Eksternal terhadap Loan To Deposit Ratio (LDR)


melalui Strategi Pemberian Kredit Secara Langsung Maupun Tidak
Langsung

Indikator pertama yang membentuk variabel faktor eksternal adalah

inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Menurut Haryati

(2009) tekanan inflasi yang cukup kuat mendorong Bank Indonesia melakukan

kebijakan moneter melalui peningkatan SBI. Hal tersebut memicu perbankan

untuk mengalokasikan dana yang dimiliki pada SBI dan menyebabkan

perbankan akan
mengalami perlambatan dalam hal penyaluran kredit. Peristiwa tersebut juga

menyebabkan penggunaan dana yang dimiliki oleh masyarakat untuk

sesuatu yang non produktif dari pada harus berinvestasi di bank. Konsekuensinya

adalah turunnya nilai simpanan masyarakat dikarenakan masyarakat akan

menarik dananya dan dibelanjakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan yang

harus mereka penuhi, dengan harga yang semakin meningkat. Rendahnya

dana dari masyarakat yang dapat dihimpun oleh pihak perbankan akan

mengurangi porsi kredit yang mampu disalurkan serta strategi dalam hal

pemberian kredit menjadi terhambat (Citra, 2013).

Pernyataan tersebut juga didukung oleh Susanty (2014) yang menyatakan

bahwa Inflasi yang merupakan bagian dari faktor eksternal bank, akan

memberikan dampak terhadap seluruh sendi-sendi perekonomian termasuk sektor

perbankan. Pengaruh inflasi terhadap sektor perbankan terjadi karena masyarakat

cenderung mengurangi simpanan (saving) dan akhirnya aset perbankan secara riil

menjadi menurun yang dapat diukur dari LDR. Dampaknya adalah menurunnya

kemampuan pihak perbankan dalam melakukan strategi pemberian kredit kepada

masyarakat, sehingga kinerja intermediasi juga akan mengalami penurunan. Dari

uraian yang telah dikemukakan dan didukung oleh penelitian-penelitian

sebelumnya diduga bahwa, inflasi sebagai pembentuk variabel eksternal dan

LDR pada BPR di Kabupaten Badung memiliki pengaruh yang signifikan

melalui strategi pemberian kredit sebagai pemediasi baik secara langsung

maupun tidak langsung.


Indikator kedua yang membentuk variabel faktor eksternal adalah

pendapatan nasabah. Semakin tinggi pendapatan masyarakat yang menjadi

nasabah pada lembaga keuangan perbankan, maka jumlah permintaan terhadap

kredit porsinya juga akan meningkat. Pernyataan tersebut didukung oleh Novianti

(2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Tingkat

Bunga Pendapatan Pendidikan dan Sikap Nasabah Akan Citra Terhadap

Pengambilan Kredit di Perum Pegadaian Cabang Matesih” yang

menyatakan bahwa, pendapatan nasabah berpengaruh positif terhadap

pemberian kredit. Aryaningsih (2008) melakukan penelitian dengan judul

“Pengaruh Suku Bunga, Inflasi dan Jumlah Pendapatan Terhadap Permintaan

Kredit di PT BPD Cabang Pembantu Kediri”. Teknik analisis yang digunakan

adalah regresi linier berganda. Hasil penelitiaannya menyatakan bahwa ketiga

faktor (suku bunga, inflasi dan jumlah pendapatan nasabah mempunyai pengaruh

signifikan terhadap permintaan kredit secara simultan. Secara parsial SBK dan

jumlah pendapatan nasabah berpengaruh signifikan terhadap permintaan

kredit. Berarti bahwa semakin tingginya permintaan nasabah terhadap kredit

akan memudahkan strategi bank dalam hal pemberian kredit, sehingga strategi

yang diterapkan dapat berjalan optimal. Selanjutnya kondisi tersebut juga akan

berpengaruh terhadap baik tidaknya LDR dari suatu bank. Dengan dukungan

penelitian sebelumnya maka dapat diduga bahwa, pendapatan nasabah yang

merupakan variabel indikator dari faktor eksternal berpengaruh positif dan

signifikan terhadap LDR melalui strategi pemberian kredit sebagai pemediasi

baik secara langsung maupun tidak langsung pada BPR di Kabupaten Badung.
Indikator ketiga yang membentuk variabel faktor eksternal adalah

persaingan usaha antar lembaga keuangan. Dalam usahanya pihak

perbankan harus betul-betul memperhatikan kondisi lingkungan sekitar agar

kegiatan usaha yang dilakukan dapat berjalan optimal. Faktor persaingan usaha

merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kegiatan usaha

perbankan. Persaingan usaha dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif

terhadap keberlangsungan usaha perbankan. Semakin banyaknya lembaga

keuangan yang hadir ditengah masyarakat, menyebabkan semakin ketatnya

persaingan antar lembaga keuangan lainnya yang dapat mempengaruhi kinerja

masing-masing lembaga keuangan tersebut. Persaingan usaha antar bank dan

antar lembaga keuangan lainnya sangat berpengaruh terhadap strategi

pemberian kredit oleh perbankan, karena semakin tingginya persaingan akan

menyulitkan kegiatan usaha perbankan salah satunya dalam hal memberikan

kredit kepada nasabah (Klapper,2002).

Menurut Djiwandono (2006) salah satu faktor eksternal yang dapat

mempengaruhi kinerja usaha perbankan dalam menjalankan fungsinya

sebagai lembaga intermediasi adalah faktor persaingan usaha. Persaingan

usaha yang sehat dan kompetitif akan menciptakan suasana yang nyaman dan

merangsang lahirnya produk-produk perbankan yang lebih inovatif dan variatif,

sehingga masyarakat akan lebih berminat menjadi nasabah. Semakin banyaknya

lembaga keuangan yang hadir di masyarakat, akan menyebabkan lembaga

keuangan berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi

masyarakat dalam rangka menarik hati nasabahnya. Sehingga faktor persaingan

usaha dapat
memberikan pengaruh positif bagi perbankan dalam menjalankan peran

intermediasi. Dari uraian tersebut maka diduga persaingan usaha yang

merupakan indikator dari variabel faktor eksternal BPR di Kabupaten Badung

berpengaruh signifikan terhadap LDR melalui strategi pemberian kredit sebagai

pemediasi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Indikator keempat yang membentuk variabel faktor eksternal adalah

lokasi. Menurut Kasmir (2004) lokasi bank tidak bisa ditentukan sembarangan

melainkan harus mempertimbangkan beberpa faktor. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam menentukan lokasi operasional suatu bank adalah dengan

pertimbangan dekat dengan kawasan industri, perkantoran, pasar, perumahan

masyarakat. Lokasi dalam hal ini tidak hanya lokasi fisik melainkan sejauh mana

pihak bank mampu menyesuaikan diri dengan kondisi geografis dan keadaan

alam sekitar. Semakin strategis lokasi suatu bank akan mempermudah dalam

menjalankan usahanya. Menurut Agilwaseso (2014) lokasi bank yang

strategis akan mempermudah strategi dalam hal pemberian kredit kepada nasabah

yang diikuti dengan meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan. Berarti bahwa

lokasi memiliki hubungan yang positif terhadap strategi pemberian

kredit yang dilakukan oleh pihak perbankan. Menurut Adlani (2010) penentuan

lokasi suatu bank merupakan kebijakan yang sangat penting, bank yang berada di

lokasi yang strategis sangat memudahkan nasabah untuk bertransaksi. Hal

tersebut akan meningkatkan minat masayarakat untuk menggunakan produk-

produk yang ditawarkan oleh pihak perbankan dan strategi yang dilakukan

oleh pihak bank juga akan dapat berjalan optimal.


Halim (2010) menyatakan bahwa faktor lokasi merupakan faktor yang

paling dominan berpengaruh terhadap fungsi intermediasi perbankan yang dilihat

dari LDR melalui keputusan nasabah dalam menggunakan jasa layanan

perbankan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Fajryah (2013) yang

menyatakan bahwa lokasi memiliki pengaruh yang positif terhadap LDR melalui

strategi pemberian kredit perbankan. Dari uraian tersebut dan dengan dukungan

penelitian seblumnya diduga bahwa lokasi yang merupakan variabel indikator

dari faktor eksternal BPR di Kabupaten Badung memiliki hubungan dan

pengaruh yang positif terhadap strategi pemberian kredit dan berdampak pada

kondisi LDR. Dari uraian masing-masing indikator yang membentuk variabel

faktor eksternal BPR yang terdiri dari inflasi, pendapatan nasabah, persaingan

usaha dan lokasi diduga faktor eksternal bank berpengaruh positif terhadap

strategi pemberian kredit yang berarti bahwa semakin baik kondisi eksternal

BPR di Kabupaten Badung strategi pemberian kredit juga akan dapat berjalan

dengan efektif yang berdampak pada membaiknya kondisi LDR.

Dari penjelasan yang telah dikemukakan, dapat diduga bahwa faktor

eksternal berpengaruh terhadap LDR secara langsung maupun tidak langsung

melalui strategi perbankan dalam rangka menyalurkan kreditnya kepada nasabah.

Secara tidak langsung faktor eksternal seperti kondisi perekonomian, persaingan

usaha, serta lokasi tempat operasional suatu bank dalam melakukan usaha, dapat

menjadi faktor penentu keberhasilan strategi dalam hal pemasaran kredit.

Pernyataan tersebut didasarkan atas penelitian terdahulu yang salah satunya

adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2009) dalam penelitiannya

yang
berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Kredit dan Dampaknya

Terhadap NPL”. Dijelaskan dalam penelitiannya bahwa faktor eksternal

lingkungan bank yang dibentuk oleh indikator keadaan alam, kondisi

perekonomian dan persaingan usaha berpengaruh positif signifikan terhadap

strategi pemberian kredit. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Artini (2015)

dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Faktor Internal dan

Eksternal Terhadap Pemberian Kredit dan Dampaknya Terhadap NPL pada

LPD di Kabupaten Gianyar. Dalam penelitannya dijelaskan bahwa faktor

eksternal yang dibentuk oleh indikator kondisi perekonomian dan persaingan

usaha berpengaruh positif signifikan terhadap strategi pemberian kredit.

2.15 Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan atas dasar permasalahan yang terjadi secara

empiris di Provinsi Bali dan terkonsentrasi di Kabupaten Badung, dikarenakan

jumlah BPR terbanyak berada di kabupaten serta mengacu pada penelitian-

penelitian sebelumnya. Penelitian ini mempunyai dasar yang kuat

dalam penyajian materi, pemantapan variabel maupun konsep-konsep yang

dipakai. Penelitian ini didukung dengan teori, konsep dan penelitian

terdahulu yang relevan dan dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi,

sehingga menghasilkan penelitian yang berbeda dan baru dengan penelitian-

penelitian sebelumnya. Yang menjadi nilai tambah dalam penelitian ini adalah

variabel yang digunakan merupakan kombinasi antara varaiabel dalam bentuk

rasio dan likert. Masing- masing indikatornya juga merupakan representasi dari

variabel laten yang sesuai


dengan kondisi objek penelitian dalam hal ini BPR di Kabupaten Badung.

Penelitian ini menggunakan seluruh populasi sebagai sampel yang berjumlah

52

BPR, sehingga nantinya hasil yang didapat akan lebih akurat dan mampu

menggambarkan kondisi BPR yang ada di Kabupaten Badung secara lebih nyata.

Pola hubungan yang digunakan juga menguji pengaruh secara langsung maupun

tidak langsung, yang mana pada penelitian-penelitian seblumnya pola hubungan

yang diuji sebagian besar hanya sebatas hubungan langsungnya saja.

Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai acuan

dalam penelitian ini diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Chandra

Dewi (2009) dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi

Pemberian Kredit dan Dampaknya Terhadap NPL”. Lokasi penelitian

dilakukan di seluruh BPR yang berada di Jawa Tengah dengan menggunakan

sampling. Dalam penelitiannya variabel yang digunakan adalah kondisi

internal BPR, kondisi calon debitur, kondisi lingkungan yang berpengaruh

langsung terhadap variabel strategi pemberian kredit. Selanjutnya strategi

pemberian kredit berpengaruh terhadap NPL. Hasil dari penelitiannya

menyatakan bahwa seluruh variabel berpengaruh positif dan siginifikan.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah dari sisi lokasi

penelitian, teknik sampling, variabel serta pola hubungan masing-masing

variabel. Dalam hubungan pengaruh yang diuji pada penelitian tersebut sebatas

hubungan secara langsung, namun pada penelitian ini pola hubunganya

merupakan hubungan langsung maupun tidak langsung sesuai dengan teori

yang relevan. Pada penelitian tersebut variabel yang menjadi tujuan akhir adalah

NPL namun pada penelitian ini yang menjadi tujuan akhir


adalah variabel LDR yang dibentuk oleh variabel indikator penyaluran kredit dan

penghimpunan DPK yang merupakan ukuran usaha perbankan berjalan dengan

baik atau tidak.

Penelitian selanjutnya yang digunakan sebagai acuan adalah

penelitian oleh Artini (2015) dengan judul “Analisis Pengaruh Faktor Internal

dan Eksternal Terhadap Jumlah Kredit dan Dampaknya Terhadap NPL pada LPD

di Kabupaten Gianyar”. Dalam penelitiannya variabel yang digunakan meliputi

kondisi internal LPD, kondisi calon debitur, kondisi eksternal yang berpengaruh

secara langsung terhadap variabel pemberian kredit. Selanjutnya variabel

pemberian kredit berpengaruh terhadap NPL. Pola hubungan yang digunakan

pada penelitian tersebut juga hanya sebatas hubungan secara langsung saja,

berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan pola hubungan secara langsung

maupun tidak langsung. Variabel yang digunakan pada penelitian tersebut tidak

semunya menggunakan variabel laten, namun pada penelitian ini variabel yang

digunakan secara keseluruhan merupakan variabel laten. Perbedaan selanjutnya

juga terletak pada objek penelitiannya, pada penelitian tersebut yang digunakan

sebagai objek adalah LPD di Kabupaten Gianyar, sedangkan pada penelitian ini

adalah BPR di Kabupaten Badung. Indikator masing-masing variabel latennya

juga berbeda disesuaikan dengan objek penelitiannya yaitu dalam penelitian ini

adalah BPR. Teknik anaslisis data yang digunakan pada penelitian tersebut

menggunakan teknik analisis data dengan Structural Equation Modeling (SEM)

sedangkan pada penelitian ini menggunakan Partial Least Squares (PLS)

yang tidak membutuhkan banyak asumsi dan jumlah sampel yang besar.

Dari hasil
pengujiannya seluruh variabel pada penelitian tersebut berpengaruh

signifikan secara langsung.

Penelitaian selanjutnya yang menjadi acuan adalah penelitian

yang dilaukan oleh Anggraini (2014) yang berjudul “Pengaruh Faktor

Internal dan Eksternal Perbankan Terhadap Strategi Pemberian Kredit Sebagai

Upaya Dalam Meminimalkan Nilai NPL Studi Kasus pada Bank-Bank yang

Beroperasi di Kota Bengkulu”. Dalam penelitiannya variabel yang digunakan

terdiri dari faktor internal, faktor eksternal, strategi pemberian kredit dan NPL.

Pola hubungannya juga hanya menguji pengaruh secara langsung saja. Faktor

internal dan eksternal dalam penelitian tersebut berpengaruh langsung

terhadap strategi pemberian kredit dan selanjutnya strategi pemberian kredit

berpengaruh terhadap NPL. Teknik pengambilan sampel menggunakan

purposive sampling dan teknik analisis data yang digunakan adalah SEM.

Adapun hasilnya menyatakan bahwa seluruh variabel berpengaruh secara

signifikan. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada

lokasi, variabel serta model pola hubungannya. Variabel yang digunakan

dalam penelitian tersebut tidak semua menggunakan variabel laten, sedangkan

pada penelitian ini variabel yang digunukan merupakan variabel laten secara

keseluruhan. Pola hubungan pada penelitian ini yang menguji pengaruh

langsung maupun tidak langsung, mampu merepresentasikan keadaan BPR di

Kabupaten Badung secara nyata.

Penelitian selanjutanya yang menjadi acuan adalah penelitian yang

dilakukan oleh Puspita (2014) dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Strategi Pemberian Kredit dan Dampaknya terhadap Kinerja Danamon

Simpan
Pinjam Studi pada PT. Bank Danamon Terbuka Wilayah Jawa Tengah dan

Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam penelitiannya variabel yang digunakan

terdiri dari kompetensi manajer, lingkungan bisnis, strategi pemberian kredit

dan kinerja. Pola hubungan yang digunakan juga menguji pengaruh secara

langsung maupun tidak langsung. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak

pada objek penelitian, variabel yang digunakan serta teknik sampling.

Penelitian tersebut hanya dilakukan di satu objek bank sehingga hasil yang

diperoleh bersifat lebih sempit dibandingkan dengan penelitian ini yang

menggunakan seluruh BPR di Kabupaten Badung sebagai objek penelitian.

Beberapa penelitian terdahulu yang disebutkan dalam sub bab

keaslian penelitian, hanya merupakan bagian dari penelitian-penelitian

sebelumnya yang digunakan sebagai refrensi. Tujuannya adalah sebagai

gambaran untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian

terdahulu. Penelitian penelitian lain yang mendukung dan tidak tercantum pada

sub bab keaslian penelitian, dielaborasikan langsung dan tersebar disetiap

pembahasan pada bab bab dalam penelitian ini. Hal tersebut dilakukan agar

tidak terkonsentrasi pada satu sub bab saja sehingga terlihat menjadi kaku.

Terelaborasinya penelitian- penelitian terdahulu dan tersebar disemua bab dan

sub bab dalam penelitian ini menjadikan pernyataan dan argumentasi yang

dipaparkan sifatnya lebih berdasar, kuat dan tidak mengada-ada.

Anda mungkin juga menyukai