Anda di halaman 1dari 26

Referat

HIPOPARATIROID

Disusun oleh:
Yuffa Ainayya, S.Ked 04054822022103

Pembimbing:
dr. Alwi Shahab, Sp.PD-KEMD

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat
HIPOPARATIROID

Disusun oleh:
Yuffa Ainayya, S.Ked 04054822022103

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan
Klinik di Departemen Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 15 Maret 2021 – 17 April
2021.

Palembang, Maret 2021


Pembimbing

dr. Alwi Shahab, Sp.PD-KEMD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan karena atas berkat dan rahmat-Nya
referat yang berjudul “Hipoparatiroid” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Depatemen Penyakit Dalam RSMH Palembang. Penulis ucapkan terima kasih kepada
dr. Alwi Shahab, Sp.PD-KEMD karena atas bimbingannya sehingga penulisan referat
ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis sadar bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan referat ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iv
DAFTAR TABEL................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................2
2.1 Hipoparatiroid........................................................................................2
2.1.1Definisi...........................................................................................2
2.1.2Epidemiologi..................................................................................2
2.1.3Etiologi dan Faktor Risiko.............................................................3
2.1.4Patogenesis.....................................................................................5
2.1.5Manifestasi Klinis..........................................................................6
2.1.6Klasifikasi......................................................................................7
2.1.7Hipoparatiroid Sekunder................................................................7
2.1.8Diagnosis Hipoparatiroid Sekunder...............................................7
2.1.8.1Pemeriksaan Fisik...............................................................8
2.1.8.2 Pemeriksaan Laboratorium................................................9
2.1.8.3 Pemeriksaan Radiologi.....................................................10
2.1.9Diagnosis Banding.......................................................................10
2.1.10Tatalaksana Hipoparatiroid dan Hipoparatiroid Sekunder…….11
2.1.11Komplikasi dan Prognosis……………………………………..16
BAB III KESIMPULAN...................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................18

iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Epidemiologi Hipoparatiroid............................................................9
Tabel 2. Penyebab Hipoparatiroid Non Bedah.............................................11
Tabel 3. Penyebab Hipoparatiroid Sindromik dan Non Sindromik..............12
Tabel 4. Gejala dan Tanda Hipoparatiroid Kronik.......................................12
Tabel 5. Kalsium dan Metabolisme Vitamin D sebagai Terapi Hipoparatiroid
Kronik.............................................................................................13

v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Regulasi Homeostasis Kalsium.................................................15
Gambar 2. Trousseau dan Chvostek Sign....................................................16
Gambar 3. Gambaran Histomorfometri pada Hipoparatiroid.........................16

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

Kelenjar paratiroid adalah kelenjar sangat kecil sebagai bagian dari sistem
endokrin dengan beratnya kurang lebih 25 gram dan terletak di samping dan belakang
kelenjar tiroid. Kelenjar paratiroid berperan dalam mengatur kadar kalsium dalam
darah dengan melepaskan hormon paratiroid (PTH) saat berespon pada kadar kalsium
serum rendah melalui calcium-sensing receptors (CaSR) yang terletak di sel
paratiroid.1 Hipoparatiroidisme adalah kelainan yang tidak umum yang ditandai
dengan hipokalsemia dan hiperfosfatemia karena kadar hormon paratiroid serum
rendah atau tidak normal.2
Hipoparatiroid secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu hipoparatiroid
primer dan sekunder. Hipoparatiroid primer akibat defek intrinsik dalam kelenjar
paratiroid terutama karena penyebab genetik dan bentuk sekunder atau didapat akibat
ablasi atau kerusakan fungsi kelenjar paratiroid. Operasi leher anterior adalah
penyebab paling umum dari hipoparatiroid didapat sekitar 75% kasus, penyakit
autoimun kelenjar paratiroid saja atau beberapa kelenjar endokrin lainnya, dan
gangguan infiltratif akibat metastasis atau kelebihan besi atau tembaga atau paparan
radiasi pengion.2
Terapi konvensional hipoparatiroidisme terdiri dari suplemen kalsium dan
vitamin D aktif.3 Sampai saat ini satu-satunya pilihan pengobatan yang tersedia untuk
hipoparatiroid kronis termasuk suplemen kalsium, vitamin D aktif, dan diuretik tiazid.
Dalam beberapa tahun terakhir rekombinan manusia (rh) PTH dijeelaskan sebagai
pengobatan hipoparatiroid dan pilihan terapeutik pada pasien dengan kadar kalsium
suboptimal, meskipun kalsium dosis tinggi. Penulisan ilmiah ini akan membahas
mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, diagnosis, gambaran klinis, patofisiologi,

vii
pilihan pengobatan konvensional, serta kemajuan terbaru dalam pilihan pengobatan
hipoparatiroid yang tersedia hingga saat ini.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Definisi
Hipoparatiroidisme adalah kelainan yang tidak umum yang ditandai dengan
hipokalsemia dan hiperfosfatemia karena kadar hormon paratiroid serum rendah atau
tidak normal. Kebanyakan ahli endokrin mendefinisikan hipoparatiroid pascabedah
sebagai kombinasi hipokalsemia (kalsium serum 2.0mM atau 8,0 mg/dL) dan
konsentrasi PTH inadekuat (<15 ng/L). Hipoparatiroid permanen didiagnosis ketika
kondisi hipoparatiroid berlanjut hingga 6 atau 12 bulan setelah prosedur pembedahan,
berhubungan dengan kerusakan fungsional permanen pada kelenjar yang tertinggal di
situ (devaskularisasi).2

2.1.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi memperkirakan kejadian hipoparatiroid di Amerika Serikat
berkisar 24-37/100.000 orang-tahun. Secara keseluruhan, 75% kasus adalah
perempuan dan 25% laki-laki. Sekitar 75% dari pasien ini berusia 45 tahun atau
lebih.1 Berbeda dengan prevalensi di Amerika Serikat, penderita hipoparatiorid di
Denmark lebih sedikit dengan kisaran 22 per 100.000 orang tiap tahunnya. Secara
keseluruhan, diperkirakan 60 hingga 115.000 orang didiagnosis dengan
hipoparatiroid kronis di Amerika Serikat. Sebanyak 117.342 operasi leher yang
relevan menghasilkan 8901 kasus hipoparatiroid selama 12 bulan. Sekitar 7,6%
operasi mengakibatkan hipoparatiroid dengan 75% kasus bersifat sementara dan 25%
kronis.2,4

viii
Tabel 1. Epidemiologi Hipoparatiroid.2

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Sebagian besar kasus terjadi akibat tindakan bedah di regio leher anterior (75% dari
semua kasus hipoparatiroidisme), sedangkan 25% kasus sisanya sisanya adalah kasus
non-bedah terkait dengan kelainan genetik (Tabel 2). Hipoparatiroid pascabedah,
sekunder akibat pembedahan leher anterior, adalah penyebab paling umum dari
hipoparatiroidisme dan permanen jika muncul setelah 6 bulan pascabedah.
Hipoparatiroid transien sering terjadi pasca operasi karena kelenjar paratiroid dengan
hanya 2-3% pasien yang mengalami hipoparatiroid permanen pasca operasi leher
anterior. Etiologi hipoparatiroid sekunder lainnya adalah hipoparatiroidisme
autoimun, terkait dengan sindrom poliglandular autoimun tipe 1 atau hipoparatiroid
terisolasi karena antibodi yang diaktifkan terhadap CaSR. Hipomagnesemia berat
adalah penyebab hipoparatiroidisme yang jarang namun reversibel. Bentuk genetik

ix
hipoparatiroid dapat dibagi menjadi sindrom dan non-sindrom (Tabel 3). Bentuk-
bentuk hipoparatiroid ini berhubungan dengan fungsi atau aksi paratiroid abnormal
yang menyebabkan hipoparatiroidisme dengan kelainan kongenital atau metabolik.
Penyebab lain jarang dari hipoparatiroidisme termasuk gangguan infiltratif seperti
hemokromatosis, metastasis atau penyakit granulomatosa, kerusakan kelenjar
paratiroid akibat radiasi, hungry bone syndrome pasca paratiroidektomi dan infeksi
HIV.4
Tabel 2. Penyebab Hipoparatiroid Non-bedah.3

Tabel 3. Penyebab Hipoparatiroid Sindromik dan Non-sindromik.4

x
2.1.4 Patogenesis
Vitamin D adalah regulator hormonal utama homeostasis kalsium dalam tubuh
manusia (Gambar 1). Pengaruh hormon PTH langsung pada ginjal dan tulang, namun
tidak langsung pada saluran pencernaan melalui produksi vitamin D1,25OH yang
diaktifkan di ginjal. Sekresi PTH diatur oleh calcium sensing receptor (CaSR) di sel
paratiroid dan di tubulus ginjal. PTH memainkan peran penting dalam memobilisasi
kalsium dari kerangka di mana kalsium terutama disimpan dan meningkatkan
penyerapan kalsium dari usus dengan meningkatkan sintesis kalsitriol (1,25-
dihidroksivitamin D) dari ginjal. Peningkatan konversi 25-hidroksivitamin D menjadi
1,25-dihidroksivitamin D terjadi di tubulus ginjal proksimal. PTH juga meningkatkan
reabsorpsi kalsium dari nefron menaik yang tebal dan memfasilitasi ekskresi fosfor
melalui ginjal.1,4

Gambar 1. Regulasi Homeostasis Kalsium.4

xi
Ketika CaSR dirangsang oleh tingkat kalsium yang rendah, PTH disekresikan
dan meningkatkan ketersediaan kalsium dalam tubuh.4 CaSR juga diekspresikan di
beberapa jaringan lain termasuk sel tubulus ginjal, mengatur reabsorpsi kalsium, serta
sel tulang dan usus. Pada hiperkalsemia terjadi penurunan transportasi kalsium dan
natrium dalam lengkung Henle dengan penurunan terkait kemampuan konsentrasi
urin untuk mengurangi penyerapan kalsium melalui ginjal.1
Penyebab paling umum dari hipoparatiroid sekunder adalah kerusakan yang
tidak disengaja pada kelenjar paratiroid selama operasi tiroid. Penyebab lain dari
hipokalsemia yang perlu disingkirkan termasuk kekurangan magnesium dan
kekurangan vitamin D. Magnesium dibutuhkan untuk sekresi PTH oleh kelenjar
paratiroid dan penipisan atau kelebihannya dapat menyebabkan hipoparatiroidisme
dan selanjutnya hipokalsemia. Hal ini diduga karena kekurangan atau kelebihan
magnesium yang berperan dalam pembentukan AMP siklik yang rusak di kelenjar
paratiroid yang mengganggu sintesis dan sekresi PTH.1

2.1.5 Manifestasi Klinis


Hipoparatiroid adalah gangguan metabolisme akibat sintesis atau sekresi PTH
inadekuat atau insuseptibilitas jaringan dan sel target terhadap PTH. Hipoparatiroid
ditandai dengan banyak gejala dan tanda yang sangat bervariasi. Manifestasi
klinisnya adalah spasme otot, kejang seperti epilepsi, hipokalsemia, dan
hiperfosfatemia. Manifestasi awal biasanya tidak spesifik, sehingga kesalahan
diagnosis dapat terjadi jika gagal mengenali kondisi tersebut.5
Manifestasi hipoparatiroid berhubungan dengan efek kalsium serum yang
rendah. Misalnya, pasien yang mengalami hipoparatiroid kronis sejak masa kanak-
kanak dapat beradaptasi dengan kadar kalsium yang rendah bahkan serendah 7,0
mg/dl dan tetap asimtomatik. Gejala ringan termasuk mati rasa dan kesemutan pada
ekstremitas dan daerah perioral, kram otot, dan kelelahan, dan pada kasus berat dapat
ditemukan tetanus, kejang, perubahan status mental, gangguan irama jantung, gagal

xii
jantung kongestif, bronkospasme, dan spasme laring. Pada kebanyakan pasien, gejala
muncul ketika kalsium serum yang dikoreksi albumin kurang dari 7,5-8,0 mg/dl.1
Pasien dengan penurunan kalsium serum akut setelah operasi leher memiliki
gejala yang lebih berat dibandingkan dengan hipokalsemia kronis. Spasme
mioklonik, kedutan, serangan baru akibat hipokalsemia serebral, atau kejang yang
memburuk adalah manifestasi neurologis hipokalsemia. Manifestasi jantung berupa
pemanjangan interval QT dan perubahan gelombang-T, kardiomiopati akut, dan gagal
jantung kongestif karena penurunan kontraktilitas jantung terkait dengan kalsium
serum rendah dan kemungkinan defisiensi PTH, karena terdapat reseptor PTH di
miosit jantung.1

2.1.6 Klasifikasi
Hipoparatiroid secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu hipoparatiroid primer dan
sekunder. Hipoparatiroid primer akibat defek intrinsik dalam kelenjar paratiroid
terutama karena penyebab genetik dan bentuk sekunder atau didapat akibat ablasi
atau kerusakan fungsi kelenjar paratiroid. Operasi leher anterior adalah penyebab
paling umum dari hipoparatiroid didapat sekitar 75% kasus, penyakit autoimun
kelenjar paratiroid saja atau beberapa kelenjar endokrin lainnya, dan gangguan
infiltratif akibat metastasis atau kelebihan besi atau tembaga atau paparan radiasi
pengion.2

2.1.7 Hipoparatiroid sekunder


Hipoparatiroid sekunder atau didapat adalah kondisi hipoparatiroid yang disebabkan
akibat kerusakan kelejar paratiroid akibat etiologi yang mendasari, terbanyak akibat
pembedahan leher anterior. Hipoparatiroidisme sekunder selain pasca tindakan bedah,
dapat akibat autoimun, idiopatik, dan kongenital (sindroma, non-sindroma, dan
idiopatik.2

xiii
2.1.8 Diagnosis Hipoparatiroid Sekunder
Hipoparatiroid sekunder sebagian besar disebakan prosedur tindakan bedah daerah
leher depan. Hipoparatiroidisme pascabedah menyebabkan sekitar tiga perempat dari
semua kasus hipoparatiroidisme yang diketahui. Pada pasien yang menjalani operasi
leher anterior, kurang dari 1-5% mengalami hipoparatiroid permanen, meskipun
sebanyak 50% dapat mengalami hipoparatiroid sementara. Kasus hipoparatiroid yang
tersisa disebabkan oleh penyakit autoimun, penyakit metastasis, kelebihan zat besi
atau tembaga, terapi radiasi, pengobatan yodium radioaktif, atau berbagai kelainan
genetik langka.2

2.1.8.1 Pemeriksaan Fisik


Temuan pemeriksaan fisik dari hipokalsemia akut termasuk tanda-tanda Trousseau
dan Chvostek. Pemeriksaan leher wajib dilakukan untuk mengevaluasi bekas luka
operasi leher anterior sebelumnya. Selain itu kondisi autoimun seperti vitiligo,
sindrom poliglandular autoimun tipe 1, kandidiasis mukosa atau infeksi jamur dapat
ditemukan pada kasus hipoparatiroid. Selain itu, retardasi pertumbuhan, kelainan
kongenital, gangguan pendengaran, atau keterbelakangan mental menunjukkan
kemungkinan penyebab sindromik genetik dari penyakit ini.1 Tanda-tanda
hipokalsemia kronis termasuk katarak, nyeri sudut kostovertebral yang berhubungan
dengan batu ginjal atau gangguan gerakan yang berhubungan dengan kalsifikasi
ganglia basalis. Anomali kongenital, gangguan pendengaran, gagal pertumbuhan,
atau kesulitan belajar menunjukkan kemungkinan sindrom genetik.

xiv
Gambar 2. Trousseau dan Chvostek Sign11,12

Tabel 4. Gejala dan Tanda Hipoparatiroid Kronik.2

2.1.8.2 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium dari hipoparatiroidisme termasuk hipokalsemia,
hiperfosfatemia, hiperkalsiuria, hipomagnesemia, dan kadar PTH rendah. Pedoman
terbaru merekomendasikan pemeriksaan kadar kalsium, PTH, dan albumin minimal 2
kali dengan rentang 2 minggu. Kadar kalsium urin dapat bervariasi dan bergantung
pada asupan suplemen kalsium. Ekskresi kalsium urin biasanya meningkat pada
keadaan hipoparatiroidisme, terkait dengan hilangnya efek stimulasi PTH pada
reabsorpsi kalsium tubulus ginjal. Hilangnya efek penghambatan PTH pada
reabsorpsi fosfat tubulus ginjal menyebabkan penurunan ekskresi fosfat ginjal dan
hiperfosfatemia. Vit D1,25OH yang diaktifkan berada dalam kisaran normal rendah.

xv
Setelah diagnosis hipoparatiroidisme ditegakkan, direkomendasikan agar dilakukan
pemeriksaan fosfat, magnesium, Vit D 25OH, Vit D1,25OH, BUN/kreatinin, kalsium,
dan kreatinin urin 24 jam.4

2.1.8.3 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi merekomendasikan pemeriksaan kepadatan tulang dengan
dual energy x-ray absorptiometry, x-ray tengkorak untuk kalsifikasi ganglia basal dan
radiologi abdomen untuk nefrokalsinosis atau nefrolitiasis. Radiologi ginjal
direkomendasikan setiap 5 tahun jika asimtomatik dan lebih sering dengan
nefrokalsinosis dan nefrolitiasis atau peningkatan kreatinin yang tidak dapat
dijelaskan.4 Hipoparatiroid dikaitkan dengan remodeling tulang yang sangat
berkurang, seperti yang ditunjukkan oleh penilaian histomorfometri.2

Gambar 3. Gambaran Histomorfometri pada Hipoparatiroid.2

2.1.9 Diagnosis Banding


Setelah etiologi pasca-bedah dan genetik dari hipoparatiroidisme (baik sindromik
maupun non-sindromik) serta deplesi dan kelebihan magnesium disingkirkan, hanya

xvi
ada beberapa kondisi yang menyebabkan gangguan tersebut. Penyakit infiltratif
seperti penyakit Wilson dan hemochromatosis dapat menyebabkan
hipoparatiroidisme. Kelebihan zat besi dapat disebabkan oleh hemokromatosis primer
atau sekunder akibat transfusi kronis seperti pada pasien dengan talasemia. Deposisi
jaringan besi dalam pengaturan ini dapat menyebabkan hipoparatiroidisme. Ketika
hipoparatiroidisme terjadi, seringkali disertai dengan endokrinopati lain seperti
diabetes, hipotiroidisme, osteoporosis, dan hipogonadisme. Prevalensi
hipoparatiroidisme pada kelompok pasien dengan talasemia yang menjalani transfusi
kronis dan terapi kelasi besi bervariasi dari sekitar 10-24%. Tingkat komplikasi ini,
seperti yang lainnya dalam keadaan kelebihan zat besi, menurun dengan kelasi agresif
dan meningkat ketika kadar feritin serum 2500 g/L. Hipoparatiroidisme jarang terjadi
karena kerusakan kelenjar dengan menginfiltrasi tumor sekunder (99, 100) atau
dengan radiasi pengion. Sindroma penyebab hipoparatiroidisme, seperti sindrom
polendokrinopati autoimun tipe 1, sindrom Di-George 1 dan 2, sindrom displasia
hipoparatiroidisme-deafnessrenal, dan sindrom Kenny-Caffey tipe 1 dan 2, sindrom
Barakat dan Dubowitz, dan sindroma peyebab lainnya.2

2.1.10 Tatalaksana hipoparatiroid dan hipoparatiroid sekunder


Penatalaksanaan tergantung onset akut atau kronis dan derajat keparahan
hipokalsemia.

2.1.10.1Terapi konvensional
Terapi standar hipoparatiroidisme adalah kalsium oral dan suplementasi vitamin D
(baik aktif maupun dalam bentuk induk) dengan dosis yang bervariasi, berdasarkan
penilaian klinis. Tujuan terapi adalah untuk memperbaiki gejala hipokalsemia,
mempertahankan serum kalsium puasa dalam atau sedikit di bawah kisaran normal
rendah, mempertahankan serum fosfor puasa dalam kisaran normal yang tinggi atau
hanya sedikit meningkat, menghindari atau meminimalkan hiperkalsiuria,

xvii
mempertahankan produk kalsium-fosfat pada tingkat yang jauh di bawah batas atas
normal (55 mg2 / dL2 atau 4,4 mmol2 / L2), menghindari kalsifikasi ektopik pada
ginjal (batu dan nefrokalsinosis) dan jaringan lunak lainnya. Kalsium serum, fosfor,
dan konsentrasi kreatinin harus diukur setiap minggu hingga bulan selama
penyesuaian dosis, dan dua kali setahun setelah rejimen yang stabil tercapai. Kalsium
dan kreatinin urin harus dipertimbangkan selama penyesuaian dosis dan harus diukur
dua kali setahun dengan rejimen yang stabil untuk mengevaluasi toksisitas ginjal.6

Kalsium
Kalsium karbonat dan kalsium sitrat adalah bentuk suplementasi kalsium oral yang
paling umum. Kalsium karbonat mengandung 40% unsur kalsium, dan kalsium sitrat
mengandung 21% unsur kalsium. Kalsium karbonat biasanya membutuhkan lebih
sedikit pil per hari dan lebih murah sehingga lebih hemat biaya. Penyerapan kalsium
karbonat paling baik jika dikonsumsi dengan makanan dan dengan asam yang ada di
perut, sedangkan kalsium sitrat diserap dengan baik tanpa memperhatikan makanan
dan tidak memerlukan asam lambung. Kalsium sitrat, oleh karena itu, mungkin lebih
efektif pada pasien dengan achlorhydria atau dengan adanya inhibitor pompa proton.6
Jika pasien dengan hipoparatiroidisme yang gagal merespons terapi kalsium
tambahan terus mengalami tetani refrakter, sebaiknya identifikasi penyebab sekunder
seperti ketidakpatuhan pengobatan, sindrom malabsorpsi, kondisi autoimun, alkalosis
metabolik berat, hipomagnesemia berat, penggunaan diuretik, dan adrenal.
ketidakcukupan. Jika pasien tidak merespon, hormon paratiroid rekombinan manusia,
atau analisis genetik harus dipertimbangkan.7

Metabolit Vitamin D
VitaminD aktif (1,25-dihidroksivitamin D; kalsitriol) menstimulasi transportasi dan
absorbsi kalsium usus dan pemadatan tulang. Kondisi hipoparatiroid dimana PTH
gagal menstimulasi ginjal 1-hidroksilasi 25-hidroksivitamin D berhubungan dengan

xviii
gangguan aktivasi vitamin D. Sebuah peneliti merekomendasikan untuk
mempertahankan kadar serum 25-hidroksivitaminDto dalam kisaran normal. Pada
kelainan ini, seperti pada penyakit tulang metabolik lainnya, diperlukan kadar 30
ng/mL (80 nmol / L).6

Tatalaksana tambahan
Terapi diuretik tiazid dapat digunakan untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium
tubulus distal ginjal, biasanya dalam hubungannya dengan diet rendah garam untuk
meningkatkan retensi kalsium. Efek pada ekskresi kalsium dapat diketahui dalam 3
sampai 4 hari setelah pengobatan dimulai. Dosis hidroklorotiazid adalah 25 sampai
100 mg setiap hari. Karena pendeknya separuh plasma hidroklorotiazid, dosis dua
kali sehari paling sering dibutuhkan (yaitu, 25-50 mg dua kali sehari).6

Hipokalsemia akut
Hipokalsemia dapat muncul secara akut pada keadaan pasca pembedahan anterior,
stres, pada fase luteal dari siklus menstruasi atau dalam ketidakpatuhan konsumsi
pengobatan. Pada keadaan akut, yaitu pasien dengan gejala hipokalsemia, penurunan
akut kalsium serum <7,5 mg / dL atau pasien dengan interval QT berkepanjangan
pada EKG, hipokalsemia biasanya diterapi bolus 1-2 ampul (kalsium unsur 90-180
mg) kalsium glukonat 10% diikuti dengan infus kalsium glukonat infus 0,5-1,5
mg/kg/jam selama 8-10 jam. Kalsium oral dan vitamin D yang diaktifkan harus
dimulai segera setelah pasien dapat mentolerir.4

Hipokalsemia kronis
Tujuan pengobatan optimal hipoparatiroidisme termasuk mempertahankan kalsium
serum dalam kisaran normal rendah, kadar fosfat serum dan magnesium dalam
kisaran normal, produk kalsium-fosfat di bawah 55 mg2 / dL2, serta menghindari
hiperkalsiuria. Tatalaksana standar termasuk suplemen kalsium dan vitamin D yang

xix
diaktifkan, yaitu kalsitriol atau alfacalcidol. Suplemen vitamin D2 (ergocalciferol)
atau vitamin D3 (cholecalciferol), magnesium dan diuretik tiazid digunakan sesuai
kebutuhan. PTH rekombinan tidak direkomendasikan sebagai pengobatan lini
pertama untuk hipoparatiroidisme.4
Suplemen kalsium paling banyak tersedia dalam bentuk kalsium karbonat,
yang mengandung 40% unsur kalsium. Dalam beberapa keadaan, lebih disukai
kalsium sitrat yang mengandung 20% unsur kalsium. Berbeda dengan kalsium
karbonat, kalsium sitrat tidak memerlukan kondisi asam untuk absorbsi dan pengganti
kalsium yang optimal dalam pengaturan penggunaan achlorhydria atau proton pump
inhibitor. Kapasitas absorpsi usus halus dipenuhi dengan asupan dosis sekitar 500 mg
unsur kalsium dalam satu kali konsumsi, oleh karena itu suplemen kalsium perlu
dibagi menjadi beberapa dosis harian, biasanya 2-4 kali sehari. Sebagian besar pasien
membutuhkan 1-2 gram kalsium unsur setiap hari. Kadar kalsium target adalah
kisaran normal rendah dan tidak lebih dari 0,5 mg/dL di bawah kisaran normal.
Penting untuk mempertimbangkan suplementasi kalsium tambahan, dan bahkan
kalsitriol, sebagai profilaksis dengan penyakit, stres, olahraga atau menstruasi. Dosis
kalsitriol yang dibutuhkan sangat bervariasi dan berkisar antara 0,25 dan 2 mcg setiap
hari, yang sama dengan dosis harian alfacalcidol 0,5-4mcg. Vitamin D2
(ergocalciferol) dalam dosis tinggi adalah pilihan pengobatan lain untuk
hipoparatiroidisme kronis dan mungkin sangat berguna pada pasien dengan
hipokalsemia berulang pada kalsium dan kalsitriol saja tetapi dapat dikaitkan dengan
toksisitas vitamin D. Umumnya, vitamin D2 atau vitamin D3 diberikan untuk
menjaga kadar Vit D25OH dalam kisaran normal untuk banyak jaringan. Institute of
Medicine merekomendasikan dosis harian Vitamin D2/D3 400-800 IU. Konsentrasi
serum Vit D25OH di atas 80nmol / L (30 ng / ml) umumnya dianggap cukup. Setelah
pasien mendapatkan rejimen dosis yang stabil, pengukuran kalsium setiap 3-6 bulan .
Selain itu, faktor risiko hipomagnesemia termasuk penggunaan diuretik dan
penghambat pompa proton. Penggantian magnesium dengan sediaan pelepasan

xx
berkelanjutan meminimalkan ekskresi magnesium ginjal dan dikaitkan dengan lebih
sedikit efek samping gastrointestinal. Hiperfosfatemia adalah ciri dari
hipoparatiroidisme dan penting untuk menjaga produk kalsium fosfat di bawah 55
mg2/dL2. Baru-baru ini, terapi rhPTH disetujui untuk pengobatan
hipoparatiroidisme.4

Tabel 5. Kalsium dan Metabolisme Vitamin D sebagai Terapi Hipoparatiroid


Kronik.1

Recombinant Human Parathyroid Hormone (rhPTH) 1-84


Bentuk penuh rhPTH (1-84; Natpara) adalah bentuk PTH pertama yang disetujui
yang disetujui oleh FDA pada Januari 2015 untuk terapi tambahan dalam manajemen
hipoparatiroidisme pada individu yang tidak terkontrol secara memadai dengan
kalsium, vitamin D aktif, tipe tiazid diuretik, dan / atau terapi magnesium sesuai
kebutuhan. Natpara diberikan sebagai injeksi subkutan sekali sehari berdasarkan data
uji klinis fase 1 pada orang dewasa dengan hipoparatiroidisme yang menunjukkan
bahwa suntikan harian tunggal menyebabkan peningkatan kalsium serum selama 24
jam.1
Transplantasi Kelenjar Paratiroid

xxi
Alotransplantasi paratiroid telah berhasil dilakukan pada terapi pasien hipoparatiroid
pascaoperasi refrakter. Alotransplantasi paratiroid yang berhasil untuk
hipoparatiroidisme merupakan strategi baru yang dapat memberikan pengobatan
definitif untuk pasien dengan hipoparatiroidisme yang sulit dikendalikan.4
2.1.11 Komplikasi dan Prognosis
Tinjauan retrospektif terhadap 120 pasien hipoparatiroid dan melaporkan prevalensi
tinggi hiperkalsiuria (38%), nefrokalsinosis (31%), penurunan GFR
<60ml/menit/1,73 m2 (41%) dan kalsifikasi ganglia basal (52%). Komplikasi lain
yang dilaporkan termasuk gangguan kejiwaan, kejang, penyakit kardiovaskular,
katarak dan infeksi.4
Gangguan fungsi ginjal adalah komplikasi paling umum yang terlihat pada
pasien yang dirawat karena hipoparatiroid. Kondisi ini terkait dengan usia pasien,
durasi penyakit, dan tingkat hiperkalsemia selama pengobatan. Tidak adanya PTH
menyebabkan ketidakmampuan tubulus ginjal untuk menyerap kembali kalsium, yang
menyebabkan hiperkalsiuria dan nefrokalsinosis. Selain itu, pasien dengan penyakit
ginjal yang mendasari seperti disgenesis ginjal pada sindrom DiGeorge secara khusus
berisiko lebih tinggi mengalami nefrolitiasis.1
Dalam hal komplikasi ginjal, dua pasien telah menjalani transplantasi ginjal
untuk nefrokalsinosis dan CKD. Dari pasien yang tersisa, 31% dari kelompok yang
memiliki pencitraan ginjal (17 dari 54 pasien) menunjukkan kalsifikasi intrarenal.
Perkiraan laju filtrasi glomerulus dihitung dan ditemukan menjadi 60 mL / menit /
1,73 m2 (tahap 3 CKD atau lebih tinggi) pada 41% pasien dengan hipoparatiroidisme
kronis. Tidak ada peningkatan risiko aritmia atau komplikasi kardiovaskular. Dalam
studi lebih lanjut pada kohort yang sama telah meneliti risiko penyakit kejiwaan,
infeksi, patah tulang, stenosis tulang belakang, dan katarak. Untuk tiga hasil terakhir
ini, tidak ada peningkatan risiko pada pasien dengan hipoparatiroidisme pascaoperasi
kronis. Namun, kelompok pasien ini menunjukkan peningkatan risiko rawat inap

xxii
untuk infeksi (HR, 1,42; 95% CI, 1,20-1,67) serta depresi/penyakit bipolar (HR, 1,99;
95%, CI, 1,14–3,46).2,8,9

BAB III
KESIMPULAN

Hipoparatiroidisme adalah penyakit endokrin yang jarang terjadi, paling sering


karena kerusakan pembedahan pada kelenjar paratiroid. Pasien yang menjalani
operasi tiroid berisiko mengalami hipoparatiroidisme pascabedah dan harus diperiksa
kadar kalsium serum dan PTH utuh secara rutin, baik 4 hingga 6 jam setelah operasi
atau dalam 24 jam setelah operasi. Jika konsentrasi kalsium total serum adalah 2,0
mM dan jika PTH adalah 10–15 pg / mL, maka pasien, terlepas dari luasnya reseksi
dan jenis penyakit, memiliki risiko lebih besar untuk mengalami hipoparatiroidisme
permanen. Hipoparatiroidisme juga bisa disebabkan oleh kerusakan oleh mekanisme
autoimun atau toksisitas dari jaringan yang berlebihan oleh zat-zat seperti besi atau
tembaga. Kekurangan magnesium yang parah mungkin bertanggung jawab atas
hipoparatiroidisme fungsional yang reversibel dan merespons pengisian magnesium.
Sejumlah besar penyakit genetik dapat menyebabkan hipoparatiroidisme terisolasi
atau bentuk sindromik. Risiko batu ginjal, nefrokalsinosis, dan bahkan gagal ginjal
meningkat tajam. Pasien harus dipantau untuk mengetahui adanya disfungsi ginjal
dengan ultrasonografi ginjal dan penilaian biokimia fungsi ginjal secara teratur.
Pasien hipoparatiroid yang diobati secara kronis dengan kalsium dan vitamin D
memiliki BMD yang lebih tinggi dan perombakan tulang yang lebih rendah, tetapi
saat ini tidak jelas apakah hal ini berdampak pada risiko patah tulang.
Hipoparatiroidisme bukan lagi penyakit langka tanpa pilihan pengobatan. Pengobatan
rhPTH 1-84 (Natpara) menjadi pilihan pengobatan yang menjanjikan bagi individu
yang tidak terkontrol dengan baik pada terapi standar saat ini dengan kalsium,
vitamin D aktif, diuretik tipe tiazida, dan/atau magnesium sesuai kebutuhan.

xxiii
xxiv
DAFTAR PUSTAKA

1. Abate EG, Clarke BL. Review of hypoparathyroidism. Front Endocrinol


(Lausanne). 2017;7(JAN):1–7.

2. Clarke BL, Brown EM, Collins MT, Jüppner H, Lakatos P, Levine MA, et al.
Epidemiology and diagnosis of hypoparathyroidism. J Clin Endocrinol Metab.
2016;101(6):2284–99.

3. Khan AA, Koch CA, Van Uum S, Baillargeon JP, Bollerslev J, Brandi ML, et
al. Standards of care for hypoparathyroidism in adults: A Canadian and
international consensus. Eur J Endocrinol. 2019;180(3):P1–22.

4. Sinnott BP. Hypoparathyroidism – Review of the Literature 2018. J Rare


Disord Diagnosis Ther. 2018;04(03):1–7.

5. Li L, Yang H, Li J, Yu Y, Wang F, Zhu X, et al. Misdiagnosis of idiopathic


hypoparathyroidism. Med (United States). 2018;97(9).

6. Bilezikian JP, Brandi ML, Cusano NE, Mannstadt M, Rejnmark L, Rizzoli R,


et al. Management of hypoparathyroidism: Present and future. J Clin
Endocrinol Metab. 2016;101(6):2313–24.

7. Patel SR, Shashaty RJ, Denoux P. Nutritional Nightmare: Hypoparathyroidism


Secondary to Celiac Disease. Am J Med [Internet]. 2017;130(12):e525–6.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2017.07.032

8. Ji YB, Song CM, Sung ES, Jeong JH, Lee CB, Tae K. Postoperative
hypoparathyroidism and the viability of the parathyroid glands during
thyroidectomy. Clin Exp Otorhinolaryngol. 2017;10(3):265–71.

9. Kannan T, Foster Y, Ho DJ, Gelzinnis SJ, Merakis M, Wynne K, et al. Post-


Operative Permanent Hypoparathyroidism and Preoperative Vitamin D

xxv
Prophylaxis. J Clin Med. 2021;10(3):442.

10. Patel M, Hu E. Trousseau Sign [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2021 [cited 26


March 2021]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557832/

11. Hujoel, I. .The Association between serum calcium levels and Chvostek sign: A
population-based study. 2016 .

xxvi

Anda mungkin juga menyukai