Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

*Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Persyaratan Dokter Internship

DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh:
dr. Adinda Amalia

Pembimbing:
dr. Hj. Reviyani

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


PUSKESMAS SUKAJADI KABUPATEN BANYUASIN
PERIODE NOVEMBER 2022 – NOVEMBER 2023
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report

Judul
DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh
Adinda Amalia

Pembimbing
dr. Hj. Reviyani

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di Puskesmas Sukajadi Kabupaten Banyuasin
periode November 2022 – November 2023

Palembang, Februari
2023
Pembimbing

Dr. Hj. Reviyani


NIP. 197706052010012007

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di Puskesmas Sukajadi Kabupaten
Banyuasin, Sumatera Selatan periode November 2022 – November 2023.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dokter Hj. Reviyani sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk, serta bantuan dalam
penyusunan laporan kasus ini
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual
kepada Kami dalam menyusun laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,
maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis
sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Palembang, Februari
2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II. STATUS PASIEN......................................................................................3
2.1. Identitas..........................................................................................................3
2.2. Anamnesis......................................................................................................3
2.2.1. Keluhan Utama:....................................................................................3
2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang:.................................................................3
2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu .....................................................................4
2.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga...................................................................4
2.2.5. Riwayat Pengobatan..............................................................................4
2.2.6. Riwayat Sosial.......................................................................................4
2.3. Pemeriksaan Fisik...........................................................................................4
2.4. Pemeriksaan Penunjang..................................................................................7
2.5. Diagnosis Kerja..............................................................................................7
2.6. Diagnosis Banding..........................................................................................7
2.7. Tatalaksana.....................................................................................................7
2.8. Edukasi...........................................................................................................7
2.9. Prognosis........................................................................................................7
2.10. Follow Up.......................................................................................................8
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................9
3.1. Definisi Tinea.................................................................................................9
3.2. Etiologi dan Faktor Risiko..............................................................................9
3.3. Epidemiologi................................................................................................10
3.4. Patofisiologi..................................................................................................10
3.5. Diagnosis......................................................................................................12
3.7.1. Manifestasi Klinis...............................................................................12
3.7.2. Pemeriksaan Penunjang......................................................................15

iv
v

3.6. Diagnosis Banding........................................................................................15


3.7. Tatalaksana...................................................................................................16
3.8. Edukasi.........................................................................................................17
3.9. Komplikasi....................................................................................................18
3.10. Prognosis......................................................................................................18
BAB IV. ANALISIS KASUS................................................................................19
BAB V. KESIMPULAN........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah penyakit menular tertinggi


di Dunia. Jamur adalah salah satu dari beberapa penyebab penyakit menular
tersebut.1 Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki
suhu dan kelembaban tinggi hingga menjadi keadaan yang baik bagi pertumbuhan
jamur, oleh sebab itu jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat.2
Infeksi jamur atau mikosis adalah infeksi yang disebabkan oleh spesies
jamur patogen tertentu yang dapat menyerang seluruh bagian tubuh. Mikosis
diklasifikasikan menjadi tiga bagian berdasarkan lokasinya, yaitu mikosis
superfisial, mikosis subkutan, dan mikosis dalam atau mikosis sistemik.
Prevalensi infeksi jamur terbanyak adalah mikosis superfisial yang menyerang
permukaan kulit, kuku, dan rambut.3
Jenis infeksi jamur superfisial yang memiliki prevalensi tertinggi di
Indonesia adalah dermatofitosis yaitu sekitar 52%.4 Dermatofitosis merupakan
infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh sekelompok dermatofit yang
terbagi dalam tiga genus, antara lain Epidermophyton sp., Trichophyton sp., dan
Microsporum sp.3
Pembagian dermatofitosis yang banyak dianut adalah berdasarkan lokasi,
yaitu tinea kapitis (dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala), tinea barbe
(dermatofitosis pada dagu dan jenggot), tinea kruris (dermatofitosis pada daerah
genitokrural, sekitar anus, bokong, kadang sampai perut bagian bawah), tenia
pedis et manum (dermatofitosis pada kaki dan tangan), tinea unguium
(dermatofitosis pada kuku jari dan kaki), dan tinea korporis (dermatofitosis pada
bagian lain yang tidak termasuk bentuk dari 5 tinea yang telah disebutkan).2,3
Tinea korporis merupakan dermatofitosis yang memiliki prevalensi tertinggi
di Asia dengan mendekati sekitar 35,40%.5 Anehnya, area yang sering diserang
infeksi ini adalah kulit tidak berambut (glabrous skin). Kulit tidak berambut
adalah kulit seluruh tubuh kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipatan paha.3

1
2

Manifestasi klinis tinea korporis berupa lesi berbentuk cincin dan struktur
kasar dengan tepi aktif berwarna merah sehingga tampak elevasi. Di tengah lesi
terdapat central healing (penyembuhan dalam), yang merupakan bagian dari lesi.
Bagian ini tidak aktif dan terlihat seperti kulit normal.3
Diagnosis tinea korporis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan dapat dipastikan dengan pemeriksaan penunjang. Meskipun demikian,
masih banyak tenaga kesehatan yang belum bisa membedakan berbagai macam
penyakit kulit, sehingga masih banyak kesalahan dalam mendiagnosis dan
mentatalaksana tinea korporis ini. Kesalahan diagnosis dan terapi dapat
memperberat keadaan klinis pasien.2
Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk lebih memahami tentang
tinea korporis yang sering ditemukan dalam praktik klinik sehari-hari, sehingga
tenaga medis dapat melakukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat.
BAB II. STATUS PASIEN

2.1. Identitas
Nama : An. A
Usia : 9 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sukajadi, Kabupaten Banyuasin
Agama : Islam
Status : Belum Kawin
Tanggal Berobat : 2 Februari 2023
Nomor RM :

2.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan langsung dengan ibu pasien (Alloanamnesis) di ruang
poli IGD Puskesmas Sukajadi pada Hari Kamis, 2 Februari 2023

2.2.1. Keluhan Utama


Ruam kemerahan di perut bagian tengah

2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ibunya ke Puskesmas Sukajadi dengan keluhan ruam
kemerahan di perut bagian tengah. Awalnya ruam berukuran kecil, kurang lebih
sebesar uang logam di perut bagian tengah sejak 1 bulan yang lalu. Ruam
kemerahan tersebut lama kelamaan semakin luas. Menurut ibu pasien, pasien
sering kali menggaruk bagian ruam tersebut, terutama saat cuaca panas dan saat
pasien berkeringat. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien sering berkeringat,
namun jarang mengganti baju. Seringkali baju dan kaos dalam pasien basah
karena keringat dan kering dengan sendirinya.
Ibu pasien menyangkal adanya riwayat keluhan serupa sebelumnya.
Keluhan lain, seperti demam disangkal. Pasien tidak pernah berobat ke dokter
sebelumnya, ruam hanya ditaburi bedak bayi. Keluhan tidak membaik setelah

3
4

diberikan bedak. Ibu pasien memutuskan untuk membawa pasien ke poli umum
Puskesmas Sukajadi karena keluhan tidak membaik dan ruam kemerhan
bertambah luas.

2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
penyakit kulit lain, asma, rhinitis alergi, serta alergi terhadap makanan dan obat-
obatan disangkal. Pasien juga belum pernah dirawat inap maupun menjalani
tindakan operasi sebelumnya.

2.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Terdapat anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama
seperti pasien, yaitu ibu pasien. Riwayat penyakit asma, rhinitis alergi, serta alergi
makanan dan obat-obatan dalam keluarga disangkal.

2.2.5. Riwayat Pengobatan


Saat ini pasien sedang tidak mengonsumsi obat-obatan apapun.

2.2.6. Riwayat Sosial


- Keluhan serupa pada orang-orang di sekitar rumah dan sekolah tidak
diketahui.
- Pasien mandi dan ganti pakaian dua kali sehari, handuk dipakai
sendirian.
- Pasien menggunakan air sumur, warna air sumur sedikit kecoklatan.

2.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan di ruang poli umum Puskesmas Sukajadi pada Hari
Jumat, 17 Juni 2022. Hasil pemeriksaan yang didapatkan sebagai berikut.

Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
5

Kesadaran : Compos mentis


Tekanan Darah : tidak diperiksa
Nadi : 90 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 24 x/menit
Suhu : 36,6 ͦ C
Berat Badan : 27 kg
Tinggi Badan :115 cm
BMI : 20,41 kg/m2 (Normal)

Keadaan Spesifik
Kepala
- Bentuk : Simetris, normocephalic
- Rambut : Hitam, lurus, dan tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (3mm/3mm)
- Hidung : Perdarahan (-), sekret (-), napas cuping hidung (-)
- Telinga : Perdarahan (-), sekret (-)
- Mulut : Sianosis (-), edema (-), cheilitis (-)
- Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tidak hiperemis, uvula
di tengah
- Leher : Tidak ditemukan pembesarakan KGB dan kelenjar tiroid,
JVP 5–2 cmH2O
Thorax
- Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi dinding dada
(-/-)
Palpasi : Stem fremitus normal dan simetris kanan dan kiri, nyeri
tekan (-/-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
- Jantung
6

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, trill (-)
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II normal dan regular, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
- Inspeksi : Datar, ruam (+) plak eritematosa, massa (-), venektasi (-),
skar (-)
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan abdomen (-)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : BU (+) N
Ekstremitas : Ruam (-), akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema
(-/-), tonus otot baik di keempat ekstremitas
Genitalia : Ruam (-), vulva tenang.

Pemeriksaan Dermatologis
Regio : Abdomen
Efloresensi : Tampak plak eritematosa berbatas tegas, bentuk lingkaran
dengan tepi meninggi dan bagian tengah lebih
tenang/menyembuh (central healing), ukuran diameter kurang
lebih 6 cm, jumlah soliter (satu), distribusi lokalis, yaitu pada
abdomen regio umbilikalis. Tampak multiple vesikel di
bagian tepi lesi. Lesi juga disertai dengan erosi dan skuama.
7

Gambar 2.1. Gambar Klinis Pasien


2.4. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada kasus ini.

2.5. Diagnosis Kerja


Tinea Korporis

2.6. Diagnosis Banding


- Dermatitis seboroik
- Psoriasis
- Pitiriasis rosea

2.7. Tatalaksana
- Ketokonazole cream 2% 2 x 1 (u.e.e)
- CTM syr 2mg/5ml 3 x 1 Cth (po)

2.8. Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit dan cara
penularannya
- Menganjurkan untuk mandi dua kali sehari.
- Menganjurkan untuk menjaga daerah lesi tetap kering
- Menghindari pakaian yang panas dan tidak menyerap keringat,
menggunakan pakaian yang menyerap keringat seperti katun, tidak ketat
dan diganti setiap hari.
- Menghindari pemakaian handuk dan baju secara bersama-sama.
- Menghindari garukan apabila gatal, karena garukan dapat beresiko
menimbulkan luka dan menyebabkan infeksi
8

2.9. Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi (seperti hygiene) maka
penyakit ini dapat diberantas dan memberikan prognosis yang baik.
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad functionam : bonam
- Quo ad sanationam : bonam

2.10. Follow Up
Keluhan, Hasil Pemeriksaan, dan
Tanggal/Jam Instruksi (P)
Analisa (S, O, dan A)
Selasa, S/ (Alloanamnesis) P/
21/07/2022 Ruam (+) kecoklatan, gatal - Ketokonazole cream
10.00 WIB berkurang, ibu pasien 2% 2 x 1 (u.e.e)
mengatakan frekuensi pasien - CTM syr 2mg/5ml 3 x
menggaruk bagian lesi 1 Cth (po)
berkurang.

O/
KU: Baik
Kesadaran: CM
TD: tidak diperiksa
Nadi: 88 x/menit
RR: 24 x/menit
T: 36,5oC

Status Dermatotogis (Regio


Abdomen):
Tampak makula
hiperpigmentosa (kecoklatan)
berbatas tegas, bentuk lingkaran,
tepi tidak meninggi dan bagian
tengah lebih tenang/menyembuh
(central healing), ukuran
diameter kurang lebih 6 cm,
jumlah soliter (satu), distribusi
lokalis, yaitu pada abdomen
regio umbilikalis. Vesikel (-),
erosi (-), skuama (-)

A/
Tinea Korporis
9
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Tinea Korporis


Tinea disebut juga dermatofitosis, yaitu penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan
kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Tinea diklasifikasikan
menjadi beberapa bagian untuk kemudahan diagnosis dan tatalaksana. Klasifikasi
tinea berdasarkan lokasi terjadinya infeksi, yaitu tinea kapitis (kulit dan rambut
kepala), tinea barbe (dagu dan jenggot), tinea kruris (genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah), tinea pedis et manum
(kaki dan tangan), tinea unguium (kuku jari tangan dan kaki), tinea korporis (kulit
glabrosa pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea sebelumnya). Tinea
korporis disebut juga sebagai tinea sirsinata, tinea glabrosa, kurap, Scherende
Flechte, herpes sircine trichophytique.2

3.2. Etiologi dan Faktor Risiko


Terdapat tiga etiologi tinea korporis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton. Ketiga jamur ini disebut dengan dermatofit. Trichophyton
rubrum dan Trichophyton interdigitale merupakan etiologi tersering pada tinea
korporis. Microsporum canis merupakan penyebab tinea yang dapat menyebar ke
anak-anak dari hewan domestik. Spesies microsporum lainnya yang dapat
ditemukan dari tanah maupun hewan adalah Microsporum gypseum.2,3
Faktor risiko berperan penting dalam kejadian tinea korporis. Infeksi jamur,
tidak seperti infeksi bakteri dan virus yang mudah menyebar dan menyebabkan
penyakit, tidak dapat berkembang tanpa lingkungan yang memadai serta kontak
langsung terhadap etiologi. Faktor risiko pada tinea korporis adalah sebagai
berikut.6,7
- Lingkungan yang hangat dan lembab
- Kontak dengan manusia dan hewan yang terjangkit dermatofit
- Paparan tanah yang terkontaminasi dan fomit (benda yang dapat membawa
infeksi seperti baju, sprei, tikar atletik, dan furniture)

10
11

- Paparan rekreasional dan okupasional, misal pada gulat


- Gangguan sistem imun, misal pada diabetes melitus, limfoma, dan pasien usia
tua.

3.3. Epidemiologi
Tinea korporis adalah dermatofitosis yang paling umum. Tinea korporis
terjadi di seluruh dunia, paling sering diamati di daerah tropis. Risiko tertular
tinea korporis selama hidup diperkirakan 10-20%. Tinea korporis paling sering
terjadi pada usia pubertas dan dewasa muda. Kasus langka telah dilaporkan pada
periode bayi baru lahir. Tidak ada dominasi jenis kelamin.8
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak erat dengan individu yang terinfeksi,
hewan yang terinfeksi (khususnya, anjing atau kucing domestik), benda yang
terkontaminasi, atau tanah yang terkontaminasi. Infeksi dapat diperoleh sebagai
akibat penyebaran dari tempat lain infeksi dermatofita (misalnya tinea kapitis,
tinea pedis, onikomikosis). Penularan di antara anggota keluarga sejauh ini
merupakan rute yang paling umum; anak-anak sering terinfeksi oleh spora yang
dikeluarkan oleh anggota keluarga yang terinfeksi. Autoinfeksi oleh dermatofita
di tempat lain di tubuh juga dapat terjadi.8

3.4. Patofisiologi
Penempelan dermatofit pada kulit mengawali patofisiologi tinea korporis.
Setelah manusia terkena paparan dari dermatofit, dermatofit harus melewati
berbagai pertahan kulit terlebih dahulu, seperti sebum dan koloni bakteri sebelum
hifanya berkembang di jaringan keratin. Proses masuknya jamur ke dalam kulit
dibagi menjadi 3 fase, yaitu penempelan, invasi, dan respon tubuh.9
- Fase Penempelan
Diawali dengan spora aseksual jatuh ke kulit dan menghasilkan enzim, seperti
protease dan lipase, fase penempelan dimulai. Enzim yang dihasilkan dapat
mempererat penempelan dan invasi ke dalam kulit. Setelah berhasil menempel,
spora mulai berkembang untuk invasi. 9
12

- Fase Invasi
Pada fase invasi, adanya trauma dan pengikisan kulit dapat mempermudah
masuknya dermatofit ke dalam kulit. Invasi dilakukan dengan sekreasi protease
dan lipase oleh jamur. Selain menghancurkan keratin, keratin juga digunakan
oleh dermatofit sebagai sumber nutrisi.9
- Fase Respon
Setelah terjadinya invasi, tubuh manusia sebagai host berespon dengan
menghasilkan asam lemak fungistatik, meningkatnya proliferasi epidermis, dan
menghasilkan mediator inflamasi. Keratinosit merupakan barrier pertama tubuh
pada infeksi dermatofit, dimana keratinosit meningkatkan proliferasi agar
mempercepat pengikisan kulit, serta menghasilkan peptida mikrobial dan
sitokin. Respon inflamasi yang terjadi menghasilkan lesi yang gatal, merah,
dan bengkak.3,9

enzim keratolitik kolonisasi hifa

dermatofita

sel
inflamasi

Gambar 3.1. Patofisiologi epidermomikosis (epidermal dermatofitosis)9

Untuk bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut,


jamur patogen menggunakan beberapa cara:3,6,7
- penyamaran dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu
pertumbuhan filamen hifa, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
- Pengendalian dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun
pejamu, yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.
13

- penyerangan dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau


memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease,
yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi
oleh jamur. Pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam stratum korneum
menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan tepi yang
meninggi.

3.5. Diagnosis
Diagnosis tinea korporis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, serta dapat didukung dengan pemeriksaan penunjang. Gold standard
penegakkan diagnosis tinea korporis adalah kultur jamur.8

3.7.1. Manifestasi Klinis


Keluhan yang didapatkan pada saat anamnesis pada pasien tinea korporis
dapat berupa timbulnya ruam yang gatal pada kulit tubuh yang tidak berambut
(glabrous skin), seperti badan, ekstremitas, atau wajah. Keluhan gatal terutama
bila berkeringat.10 Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan fisik, yaitu
berupa lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-
kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang
(central healing). Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-
lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain.
Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik,
karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang
lebih nyata lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena
umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali.2 Manifestasi klinis tinea
korporis dapat dilihat pada gambar 3.2.
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat
lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan
kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis et cruris atau
sebaliknya tinea cruris et korporis. Bentuk menahun yang disebabkan oleh
Trichophyton rubrum biasanya terlihat bersama-sama dengan tinea unguium.2
14

Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton


concentricum disebut tinea imbrikata (Gambar 3.3). Penyakit ini terdapat di
berbagai daerah tertentu di Indonesia, misalnya Kalimantan, Sulawesi, Papua,
Kepulauan Aru dan Kei, serta Sulawesi Tengah. Tinea imbrikata mulai dengan
bentuk papul berwama coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum
komeum bagian tengah ini terlepas dari dasamya dan melebar. Proses ini setelah
beberapa waktu mulai kembali dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-
lingkaran skuama yang konsentris. Bila dengan jari tangan kita meraba dari
bagian tengah ke arah luar, akan terasa jelas skuama yang menghadap ke dalam.
Lingkaran-lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan
lingkaran-lingkaran di sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik.
Pada permulaan infeksi penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan
yang menahun tidak menimbulkan keluhan pada penderita. Pada kasus menahun,
lesi kulit kadang-kadang dapat menyerupai iktiosis. Kulit kepala penderita dapat
terserang, akan tetapi rambut biasanya tidak.2
Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea
favosa atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil di
bawah kulit yang berwama merah kuning dan berkembang menjadi krusta
berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya
ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang
cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak berkilat lagi dan akhirnya
terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke seluruh kepala dan
meninggalkan jaringan parut dan botak. Berlainan dengan tinea korporis, yang
disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil balik. Biasanya
dapat tercium bau tikus (mousy odor) pada para penderita favus. Kadang-kadang
penyakit ini dapat menyerupai dermatitis seboroika. Tinea favosa pada kulit dapat
dilihat sebagai kelainan kulit papulovesikel dan papuloskuamosa, disertai kelainan
kulit berbentuk cawan yang khas, yang kemudian menjadi jaringan parut. Favus
pada kuku tidak dapat dibedakan dengan tinea unguium pada umumnya, yang
disebabkan oleh spesies dermatofita yang lain. Tiga spesies dermatofita dapat
menyebabkan favus, yaitu Trichophyton schoenleini, Trichophyton violaceum,
15

dan Microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang tampak, tidak
bergantung pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi
oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita sendiri.2

Gambar 3.2. Manifestasi Klinis Tinea Korporis8

Gambar 3.3. Manifestasi Klinis Tinea Imbrikata8


16

3.7.2. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
tinea adalah sebagai berikut.10
1. Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku menggunakan
mikroskop dan KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora.
Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi.
2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic): pada
suhu 280C selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur
tidak harus selalu dikerjakan kecuali pada tinea unguium).
3. Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang disebabkan oleh
Microsposrum spp. (kecuali M.gypsium), oleh karena itu pemeriksaan lesi
dengan menggunakan lampu wood pada tinea korporis tidak terlalu membantu
dalam mengakkan diagnosis.

3.6. Diagnosis Banding


Tidaklah begitu sukar untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada
umumnya, namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosis
itu, misalnya dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea. Kelainan kulit
pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat
terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-
lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.2
Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu
daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung. Kulit kepala berambut juga
sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan-lekukan pada kuku dapat pula
menolong untuk menentukan diagnosis. Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan
kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota badan,
sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat
membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboratorium yang
dapat memastikan diagnosisnya. Tinea korporis kadang-kadang sukar dibedakan
dengan dermatitis seboroika pada sela paha. Lesi-lesi di tempat-tempat predileksi
sangat menolong menentukan diagnosis.2
17

3.7. Tatalaksana
Tatalaksana tinea korporis terdiri dari tatalaksana non-farmakologi dan
farmakologi. Tatalaksana non-farmakologi adalah pasien disarankan untuk
mengenakan pakaian yang ringan dan longgar, serta kulit harus tetap bersih dan
kering.8,10
Tatalaksana farmakologi pada tinea korporis dapat berupa topikal dan oral.
Pilihan terapi pada tinea korporis adalah sebagai berikut.8,10
- Topikal:
- Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari
selama 1–2 minggu.
- Alternatif: golongan azol, misalnya, krim mikonazol, ketokonazol,
klotrimazol dua kali sehari selama 4–6 minggu.
- Sistemik:
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi
- Obat pilihan:
terbinafin oral: dewasa 1 x 250 mg/hari (hingga klinis membaik dan hasil
pemeriksaan laboratorium negatif) selama 2 minggu. Dosis anak dengan
berat badan (BB) 10–20 kg: 62,5 mg/hari; BB 21–40 kg: 125 mg/hari; BB >
40 kg: 250 mg/hari. Terbinafin hanya untuk anak berusia > 4 tahun.
- Alternatif:
- Itrakonazol: dewasa 2 x 100 mg/hari, anak: 3–5 mg/kgBB/hari (maksimal
200 mg/hari) selama 2 minggu
- Griseofulvin oral 500 mg/hari atau 10–25 mg/kgBB/hari selama 2–4
minggu (hanya untuk anak berusia > 4 tahun)
- Ketokonazol 200 mg/hari

Terbinafine bekerja dengan menghambat enzim squalene epoxidase, yang


bertanggung jawab untuk sintesis ergosterol, komponen penting dari dinding sel
jamur. Sama halnya dengan terbinafine, ketokonazole juga bekerja dengan cara
menghambat sintesis ergosterol, namun dengan cara yang berbeda. Ketokonazole
18

bekerja dengan menghambat sitokrom P450, yang mengganggu sintesis


ergosterol, struktur membran sel jamur. Ketokonazole merupakan obat antijamur
berspektrum luas yang mudah digunakan untuk kasus-kasus yang dicurigai infeksi
jamur.11
Hati-hati terhadap efek samping obat sistemik, khususnya ketokonazol. Saat
ini, ketokonazole dengan bentuk sediaan oral tidak lagi digunakan sebagai
pengobatan.12 Hal ini karena beberapa efek samping yang berbahaya, seperti
anemia hemolitik, impotensi, ginekomastia akibat efek antiandrogenik pada
kelenjar adrenal dan testis, serta kerusakan hati.11 Hal ini berbeda dengan yang
diterapkan di Indonesia, ketokonazole dengan bentuk sediaan oral masih
diperbolehkan beredar dan digunakan secara luas, namun penggunaan obat ini
diikuti dengan pengawasan yang ketat, seperti tidak meminumnya lebih dari satu
bulan dan tidak memberikannya kepada pasien yang berusia di atas 60 tahun
karena dapat meningkatkan risiko efek samping tersebut.13

3.8. Edukasi
Edukasi secara umum untuk pasien-pasien dengan infeksi tinea adalah
sebagai berikut.10
1. Menjaga kebersihan diri
2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat.
3. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat.
4. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan
terinfeksi jamur.
5. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan keringkan jari kaki setelah mandi.
6. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain. Cuci
handuk yang kemungkinan terkontaminasi.
7. Skrining keluarga.
8. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam
dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan
disinfektan lain.
19

3.9. Komplikasi
Superinfeksi bakteri sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari garukan dan
abrasi kulit. Hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pasca inflamasi dapat terjadi.
Reaksi Dermatofitid (id), juga dikenal sebagai reaksi id, auto-ekzematisasi, atau
eksim diseminata adalah erupsi dermatitis sekunder yang dapat terjadi terkait
dengan infeksi jamur terutama setelah dimulainya pengobatan antijamur sistemik.
Pasien yang sering terkena infeksi jamur ini dapat menimbulkan manifestasi yang
luas, pruritus yang parah, eritematosa, papula bersisik, makulopapule,
papulovesikel, atau pustula. Erupsi dermatosis merupakan reaksi imunologis
terhadap antigen jamur seperti respons hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).
Komplikasi yang jarang adalah psoriatic flare yang dipicu oleh tinea korporis.8

3.10. Prognosis
Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali
bila terpajan ulang dengan jamur penyebab. Tinea pedis menjadi kronik dan
rekuren bila sumber penularan terus menerus ada.10
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam
BAB IV. ANALISIS KASUS

Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan tinea korporis. Diagnosis


ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, yaitu pemeriksaan
dermatologis. Anamnesis pada kasus ini dilakukan dengan ibu pasien
(alloanamnesis). Berdasarkan hasil anamnesis, didapatkan bahwa pasien
mengalami ruam kemerahan yang awalnya kecil, yaitu kurang lebih sebesar uang
logam, namun lama kelamaan semakin luas. Ruam kemerehan tersebut terasa
gatal. Hal ini dibuktikan dengan keterangan ibu pasien yang mengatakan bahwa
pasien seringkali menggaruk bagian lesi terutama saat cuaca panas dan saat pasien
berkeringat. Pada anamnesis juga didapatkan bahwa bahwa pasien sering
berkeringat, namun jarang mengganti baju. Seringkali baju dan kaos dalam pasien
basah karena keringat dan kering dengan sendirinya. Hal ini merupakan salah satu
faktor risiko terjadi tinea. Jamur merupakan mikroorganisme yang tumbuh dengan
baik di media yang lembab.2 Dari anamnesis juga diketahui bahwa ibu pasien juga
mengalami keluhan yang sama. Hal ini bisa menjadi faktor risiko terjadi infeksi
jamur pada anak (pasien). Sejauh ini, penularan di antara anggota keluarga adalah
rute yang paling umum.8
Hasil anamnesis pada laporan kasus ini didukung dengan hasil pemeriksaan
dermatologis pada regio abdomen, yaitu ditemukannya plak eritematosa berbatas
tegas, bentuk lingkaran dengan tepi meninggi dan bagian tengah lebih
tenang/menyembuh (central healing), ukuran diameter kurang lebih 6 cm, jumlah
soliter (satu), distribusi lokalis, yaitu pada abdomen regio umbilikalis. Tampak
multiple vesikel di bagian tepi lesi. Lesi juga disertai dengan erosi dan skuama.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis tersebut dapat dilihat
bahwa keluhan pasien yang disampaikan oleh ibu pasien merupakan gejala klinis
dermatofitosis atau tinea, yaitu gejala subjektif berupa rasa gatal, terutama jika
panas dan berkeringat, sedangkan pada pemeriksaan fisik didapatkan menifestasi
klinis yang objektif berupa plak eritematosa dengan bagian tepi meninggi dan
bagian tengah lebih tenang/menyembuh (central healing). Tampak multiple
vesikel di bagian tepi lesi. Timbulnya kelainan pada kulit disebabkan oleh

20
21

dermatofita yang melepaskan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan


epidermis, sehingga menimbulkan peradangan/inflamasi. Respon terhadap
inflamasi dapat berupa eritema, gatal, papulasi, dan kadang vesikulasi. Pada
pemeriksaan fisik juga didapatkan adanya central healing yang merupakan ciri
khas dari tinea. Hal ini karena pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam
stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan
tepi yang meninggi. Di daerah sekitar lesi juga terdapat erosi dan skuama yang
terbentuk akibat garukan pasien.
Berdasarkan uraian anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosa pasien
pada laporan kasus ini adalah tinea korporis karena lesi pada pasien didapatkan di
abdomen, yaitu salah satu bagian kulit yang tidak berambut (glabrous skin).2
Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada kasus ini karena keterbatasan
alat di Puskesmas Sukajadi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikalakuan pada
kasus yang dicurigai infeksi jamur adalah pemeriksaan lampu wood, pemeriksaan
mikroskop dengan KOH, dan kultur jamur. Pemeriksaan lampu wood pada area
yang terinfeksi jamur dermatofita tidak terlalu membantu pada tinea korporis
karena lesi pada tinea korporis tidak berpendar dengan lampu wood.8
Diagnosis tinea korporis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskop
dan potassium hydroxide (KOH) 20%. Sampel yang digunakan adalah sediaan
langsung kerokan kulit, sampel terbaik adalah di bagian tepi lesi. Pada
pemeriksaan ini akan didapatkan hifa panjang dan atau artrospora.10
Gold standard dalam penegakkan diagnosis tinea korporis adalah kultur
jamur, biasanya dilakukan dengan menggunakan Sabouraud pepton-glucose agar.
Pemeriksaan penunjang ini diperlukan terutama jika diagnosis meragukan dan
hasil tes lain tidak meyakinkan, atau infeksi meluas, parah, atau tidak responsif
terhadap pengobatan. Kultur jamur dapat membantu membedakan spesies jamur,
namun kultur jamur mahal dan biasanya membutuhkan waktu 7-14 hari.8
Penatalaksanaan pada pasien melitupi tatalaksana umum dan khusus.
Tatalaksana umum adalah memberikan edukasi pada keluarga pasien, seperti
memperhatikan kebersihan pasien, menganti baju pasien secara berkala, terutama
setelah beraktivitas di luar rumah dan saat pasien berkeringat. serta memakaikan
22

pasien pakaian yang ringan, longgar, dan mudah menyerap keringat. Perlu
disarankan juga untuk melakukan skrining terhadap anggota keluarga lainnya,
terutama yang tinggal serumah dengan pasien dan diharapakn anggota keluarga
yang memiliki keluhan serupa dengan pasien dapat menerima pengobatan yang
tepat dengan segera, sehingga tidak terjadi penularan berulang dalam anggota
keluarga.
Penatalaksaan khusus pada pasien tinea korporis meliputi pemberian obat
antijamur topikal. Obat Antijamur topikal yang menjadi pilihan utama (drug of
choise) pada tinea korporis adalah golongan alilamin, contohnya terbinafine, akan
tetapi obat ini masih jarang ditemukan di Indonesia, 8 sehingga antijamur topikal
yang digunakan pada pasien dalam laporan kasus ini adalah golongan azole, yaitu
ketokonazole krim 2%. Krim ini digunakan dua kali sehari pada bagian lesi
selama 4–6 minggu.2,10
Terbinafine bekerja dengan menghambat enzim squalene epoxidase, yang
bertanggung jawab untuk sintesis ergosterol, komponen penting dari dinding sel
jamur.8 Sama halnya dengan terbinafine, ketokonazole juga bekerja dengan cara
menghambat sintesis ergosterol, namun dengan cara yang berbeda. Ketokonazole
bekerja dengan menghambat sitokrom P450, yang mengganggu sintesis
ergosterol.11
Antijamur sistemik belum diberikan pada kasus ini karena lesi pada kasus
ini soliter dan terdistribusi lokalis. Obat antijamur sistemik diberikan pada lesi
yang kronik atau luas.2,10
Pasien pada laporan kasus ini juga diberikan Chlorpheniramine maleate
(CTM) sirup 3 x 2 mg. Chlorpheniramine maleate (CTM) merupakan salah satu
obat golongan Antihistamin (AH) H1 yang digunakan secara luas untuk
mengobati pruritus akibat berbagai penyebab. Pemberian AH diperlukan untuk
mengurangi gejala pruritus untuk memperbaiki quality of life (QOL) pasien dan
menjaga agar kelainan kulit tidak bertambah berat dan meluas akibat garukan
yang berulang.14
Infeksi kulit akibat jamur, termasuk tinea korporis harus bisa dibedakan dari
penyakit kulit lainnya, sehingga dapat ditataksana dengan tepat. Infeksi kulit
23

akibat jamur memiliki prognosis yang baik jika diobati dengan benar, penyakit
akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur
penyebab.2
BAB V. KESIMPULAN

Kesimpulan laporan kasus adalah sebagai berikut.


- Tinea korporis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur
superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tidak berambut. Lesi
kulit berupa makula/plak eritematosa yang gatal, terutama bila berkeringat, tepi
aktif dengan bagian tengah yang lebih tenang (central healing), serta skuama.
Pada tepi lesi di jumpai papula–papula atau vesikel yang merupakan tanda
peradangan.
- Penegakkan diagnosis tinea korporis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang.
- Tatalaksana tinea kapitis meliputi tatalaksana umum berupa edukasi dan
tatalaksana khusus berupa tatalaksana kausatif dan simptomatik. Tatalaksana
kausatif dengan menggunakan obat antijamur topikal dan sistemik, baik
menggunakan golongan alilamin ataupun azole.
- Prognosis tinea korporis adalah baik jika diterapi dengan tepat.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Bongonim F, Gago S, Oladele RO, Denning DW. Global and Multi-National


Prevalence of Fungal Diseases-Estimate Precision. J Fungi. 2017;3(4):p.57.
2. Widaty S dan Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi SLSW,
Bramono K, dan Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
pp.109–116.
3. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paler AS, Leffell DJ, Wolff K.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th ed. New York: McGraw-
Hill. 2012, p. 152.
4. Yossela T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J Majority. 2015;
4(2):p.122–128.
5. Hayette M dan Sacheli R. Dermatophytosis, trends in epidemiology and
diagnostic approach. Curr Fungal Infect Rep. 2015;9(3):p.164–179.
6. Ely JW, Rosenfeld S, dan Seabury SM. Diagnosis and management of tinea
infection. Am Fam Physician. 2014;90(10).
7. Sahoo AK dan Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and
tinea pedis: A comprehensive review. Indian Dermatol online J. 2016;
7(2):p.77.
8. Leung AKC, Lam JM, Leong KF, Hon KL. Tinea corporis: An updated
review. Drugs Context. 2020;9:1–12.
9. Nenoff P, Krüger C, Ginter‐Hanselmayer G, dan Tietz HJ. Mycology–an
update. Part 1: dermatomycoses: causative agents, epidemiology and
pathogenesis. J Dtsch Dermatol Ges. 2014;12(3):pp.188-210.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
(PERDOSKI); 2017.
11. Dias MFRG, Quaresma-Santos MVP, Schechtman RC, Bernandes-Filho F,
Amorim AG, da F, dan Azulay DR. Treatment of superficial mycoses :

25
26

review-part II. Anais Brasileiros de Dermatologia An. 2013; 88(6):pp.937–


944.
12. FDA. FDA advises against using oral ketoconazole in drug interaction studies
due to serious potential side effects; 2016 [cited August 2022]. Available
from https://www.fda.gov/drugs/drugsafety/ucm371017.htm.
13. Badan POM Republik Indonesia RI. Pembatasan penggunaan ketoconazole
(oral) terkait dengan risiko liver injury. Buletin Berita MESO.
2015;33(1):p.2.
14. Wisesa TW. Penggunaan Antihistamin dalam bidang dermatologi. Dalam:
Menaldi SLSW, Bramono K, dan Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2016. pp.411–416.

Anda mungkin juga menyukai