Anda di halaman 1dari 44

PENGARUH SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN

TUBERKULOSIS PARU DIWILAYAH PUSKESMAS BULU TUBAN


2022- 2023

Mini Project
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internship Dokter Indonesia

Disusun oleh:
dr. Masteria Choirunnisa

Pembimbing
dr. Jami’ah

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP KEMENKES


PUSKESMAS BULU
KABUPATEN TUBAN JAWA TIMUR
PERIODE 22 NOVEMBER 2021– 19 MEI 2022
Mini Project Puskesmas
Bulu
HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN
TUBERKULOSIS PARU DIWILAYAH PUSKESMAS BULU TUBAN
2022- 2023

Mini Project
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internship Dokter Indonesia

Disusun oleh:
dr. Masteria Choirunnisa

Pembimbing
dr. Jami’ah

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP KEMENKES


PUSKESMAS KARANGBINANGUN
KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR
PERIODE 22 NOVEMBER 2021– 19 MEI 2022
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat dan bimbingan-Nya saya dapat menyelesaikan miniproject Puskesmas
Karangbinangun ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internship Dokter Indonesia.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan laporan ini:
1. dr. Jami’ah, selaku Kepala Puskesmas Bulu;
2. Staf dan karyawan Puskesmas Bulu;
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan ini,
sehingga sangat diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para
pembaca. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi saya
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Lamongan, 12 Oktober 2022

Penulis.
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................i
COVER DALAM..................................................................................................ii
UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 6
Latar Belakang Masalah .......................................................................... 6
Rumusan Masalah .................................................................................... 7
Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7
Manfaat Penelitian ................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 8
Demam Berdarah Dengue ........................................................................ 8
Definisi Demam Berdarah Dengue ................................................... 8
Epidemiologi Demam Berdarah Dengue ........................................... 9
Etiologi Demam Berdarah Dengue ................................................... 9
Cara Penularan ................................................................................ 10
Patogenesis Demam Berdarah Dengue ........................................... 11
Manefestasi Klinis ........................................................................... 14
Diagnosis Demam Berdarah Dengue .............................................. 15
Penatalaksanaan ............................................................................... 17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 25
Jenis Rancangan Penelitian .................................................................... 25
Populasi dan Sampel .............................................................................. 25
Definisi Operasional .............................................................................. 26
Instrumen Penelitian .............................................................................. 26
Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 26
Jenis dan Cara Pengumpulan Data.......................................................... 27
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................28


Hasil Penelitian ...................................................................................... 28
Pembahasan ........................................................................................... 29
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 30
Kesimpulan ............................................................................................ 30
Rumusan Masalah .................................................................................. 30
Saran ...................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 31
LAMPIRAN ......................................................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini menyerang organ paru
dan juga organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, usus, ginjal,
kandungan, tulang bahkan bisa menyerang otak. Pada tahun 2020 penyakit
tuberkulosis paru di Indonesia menempati peringkat kedua di dunia setelah
India (WHO, 2021).Sampai saat ini, penyakit TB masih menjadi
permasalahan dunia. Berdasarkan data WHO diperkirakan telah terjadi 10.6
juta kasus baru pada tahun 2021 berkisar 10.6 juta kasus atau naik sekitar
600.000 kasus dari tahun 2020 yang diperkirakan 10 juta kasus TBC.
Bakteri Tuberkulosis berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut sebagai Basil
Tahan Asam (BTA), Bakteri TB cepat mati dengan sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh Bakteri ini dapat Dormant atau tertidur lama selama
beberapa tahun. Penularannya bisa melalui cairan didalam saluran nafas yang
keluar ketika penderita batuk kemudian terhirup oleh orang lain yang berada
dilingkungan sekitar penderita TB tersebut.
Lingkungan sosial ekonomi, kualitas rumah kedekatan kontak dengan
penjamu BTA + sangat mempengaruhi penyebaran bakteri ini pada manusia.
Kondisi lingkungan rumah seperti ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi
yang baik, kelembaban, suhu rumah, dan kepadatan hunian rumah menjadi
salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis. Hal
ini sejalan dengan penelitian Bambang (2010) bahwa kepadatan hunian,
ventilasi, kelembaban dalm ruangan, pencahayaan alami, jenis lantai, tingkat
pengetahuan dan kontak langsung dengan penderita BTA positif ada
hubungan dengan kejadian TB paru.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat pada
penyakit demam berdarah dengue di poli umum puskesmas karangbinangun

C. Tujuan
Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan
kejadian TB paru diwilayah Puskesmas Bulu Tuban 2022

D. Manfaat
1. Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman bagi
penulis dalam meneliti secara langsung di lapangan.
b. Untuk memenuhi salah satu tugas peneliti dalam menjalani program
internship dokter umum Indonesia.
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada masyarakat tentang penularan dan kejadian penyakit
TB paru melalui lingkungan fisik rumah yang kurang baik.

3. Bagi Tenaga Kesehatan


Agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien,
memberikan informasi yang akurat tentang pengaruh kejadian TB paru
dengan kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi dan pencahayaan rumah di
wilayah kerja puskesmas Bulu Tuban 2022-2023
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TB Paru
1. Definisi TB PARU
Definisi Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri
menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ditandai
dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi, sebagian besar
kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya
termasuk meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe.
2. Epidemiologi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD atau Dengue
Haemorrhagic Fever atau DHF) telah menjadi masalah utama dalam
kesehatan masyarakat global beberapa tahun ini. Setiap tahun diperkirakan
terjadi lebih dari 100 juta kasus DBD di seluruh dunia dan hanya 250.000
kasus yang dilaporkan secara resmi.
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik
Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di
seluruh wilayah tanah. Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di
Surabaya pada tahun 1968 dan menyebar ke berbagai daerah. Sampai tahun
1980, seluruh propinsi di Indonesia, kecuali Timor Timur, telah terjangkit
penyakit ini. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus demam berdarah cenderung
meningkat baik dari segi jumlah maupun wilayah yang terjangkit . Hal ini
dikarenakan vektor penyakit demam berdarah tersebar luas di seluruh tanah
air, meningkatnya kepadatan serta mobilitas penduduk. Secara nasional
penyakit DBD di Indonesia setiap tahun terjadi mulai bulan September
sampai Februari dengan puncak pada bulan Desember atau Januari yang
bertepatan dengan waktu musim hujan.
Faktor iklim, perubahan ekologi dan faktor sosial demografi
memegang peranan penting dalam peningkatan kejadian dan perluasan
daerah endemis penyakit DBD. Tingginya status entomologis vektor DBD
sperti house index (HI), container index, breteau index, dan resting
index yang didukung oleh curah hujan yang tinggi juga dapat mendorong
terjadinya KLB. Status entomologis yang lain berupa ovitrap index (OI) dan
pupal index (PI) juga berperan dalam mengevaluasi pasca
pengendalian vector DBD. Aspek epidemiologi lain yang berperan dalam
kejadian DBD yaitu mekanisme penularan virus dengue.
3.Etiologi
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,
tidak berspora dan tidak berkapsul. Ukuran panjang sekitar 1 – 4 µm dan
lebar 0,3 – 0,6 µm. Mycobacterium terdiri dari lapisan lemak yang cukup
tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel bakteri adalah asam mikolat,
kompleks waxes, trehalosa dimicolat, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomatan.
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri bersifat
tahan asam.
4.Patogenesis
4.1 Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis Primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui
saluran pernapasan akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk
fokus primer. Fokus primer ini mungkin akan timbul dibagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari fokus primer akan tampak
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Fokus primer bersama-sama dengan limfangitis regional disebut
dengan kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
dari di bawah ini : 2 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, dan sarang perkapuran di hilus. 3. Menyebar dengan cara : -
Perkontinuitatum, yaitu meyebar ke sekitarnya. - Bronkogen, baik dari paru
yang bersangkutan maupun ke paru di sebelahnya atau tertelan - Hematogen
dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah, dan
virulensi kuman. Fokus yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier atau
meningitis tuberkulosis. Penyebaran ini dapat menimbulkan tuberkulosis pada
alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, adrenal, genital, dan sebagainya.

4.2 Tuberkulosis Post Primer


Tuberkulosis Post Primer Tuberkulosis post primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada
usia 15 – 40 tahun. Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang dini yang
umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil yang akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : 2 1. Direabsorpsi kembali dan
sembuh tanpa meninggalkan cacat. 2. Sarang tersebut akan meluas dan segera
terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis.
Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
pengapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk
perkejuan dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar. 3.
Sarang pneumonia meluas dan membentuk jaringan kaseosa. Kavitas akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan kaseosa keluar. Kavitas awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik)

5.Klasifikasi
5.1 Berdasarkan Organ Yang Terkena
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.4
2. Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain – lain.
6. Manifestasi Klinis
Gejala Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) ditandai dengan
manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit,
hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure).
Patofisiologi yang membedakan dan menentukan drajat penyakit Dengue
Haemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Fever (DF) yaitu peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
trombositopeni, dan distesis hemoragik. Umumnya pasien mengalami fase
demam selama 2-7 hari, yang diikuti dengan fase kritis selama 2-3 hari. Pada
waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko
untuk terjadi renjatan jika tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat.
Gejala Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yaitu demam tinggi
mendadak antara 38–40 C selama 2–7 hari, demam tidak dapat teratasi
maksimal dengan penularan panas biasa, mual, muntah, nafsu makan
menurun, nyeri sendi atau nyeri otot (pegal–pegal), sakit kepala, nyeri atau
rasa panas di belakang bola mata, wajah kemerahan, sakit perut (diare),
kelenjar pada leher dan tenggorokan terkadang ikut membesar. Gejala
lanjutannya terjadi pada hari sakit ke 3–5, merupakan saat-saat yang
berbahaya pada penyakit demam berdarah dengue yaitu suhu badan akan
turun, jadi seolah–olah anak sembuh karena tidak demam lagi.
7. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
1.Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA postif (apusan atau
kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Dalam kasus ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
8. Diagnosis
8.1 Gambaran Klinis
Tidak ada terapi yang spesifik untuk Dengue Fever, prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat angka kematian
dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan
sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus
DHF. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Asupan
cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen
cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi
secara bermakna (Nasronudin, 2013).
Gambaran klinis penderita tuberkulosis paru dibagi menjadi dua
golongan, yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.5,6
1. Gejala respiratorik, meliputi :
a. Batuk > 3 minggu/ batuk darah - Pada awal terjadinya penyakit,
kuman akan berkembang biak di jaringan paru. Batuk baru akan terjadi bila
bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya bronkus
yang bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan, batuk berubah
menjadi produktif karena diperlukan untuk membuang produk-produk
ekskresi dari peradangan. Sputum dapat bersifat mukoid atau purulen. - Batuk
darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat atau ringannya batuk
darah tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk
darah tidak selalu terjadi pada setiap penderita tuberkulosis paru, kadang-
kadang merupakan suatu tanda perluasan proses tuberkulosis paru. Batuk
darah tidak selalu ada sangkut-paut dengan terdapatnya kavitas pada paru.
b. Sesak napas Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak
napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru, TB paru dengan efusi
pleura yang massif, atau TB paru dengan penyakit kardiopulmoner yang
mendasarinya.
c. Nyeri dada Nyeri dada bersifat tumpul. Adanya nyeri
menggambarkan keterlibatan pleura yang kaya akan persyarafan. Kadang-
kadang hanya berupa nyeri menetap yang ringan. Dapat juga disebabkan
regangan otot karena batuk
2. Gejala sistemik, meliputi :
a. Demam Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Tetapi,
kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. Serangan demam
pertama dapat sembuh sebentar, kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini sehingga pasien merasa
tidak pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis
yang masuk.
b. Keringat di malam hari tanpa disertai aktivitas
c. Anoreksia dan penurunan berat badan - Penyakit tuberkulosis paru
bersifat radang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia
tidak ada nafsu makan sehingga membuat badan penderita makin kurus
(penurunan berat badan)
8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit
umumnya sulit untuk ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
6 Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, namun kadang terdapat retraksi
rongga dada, difragma dan mediastinum.
Palpasi : Fremitus biasanya meningkat.
Perkusi : Tergantung dari beratnya TB, bisa dari pekak sampai redup.
Auskultasi : Suara nafas bronchial, amforik, suara nafas lemah, ronkhi basah.
8.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan, dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan tiga
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berturutan berupa Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS) : 6,7
- S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
- P (pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
UPK.
- S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat
menyerahkan dahak pagi.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dalam skala IUATLD
(International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease) : 6,7
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif.
- Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang hanya disebutkan
dengan jumlah kuman yang ditemukan.
- Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (+1).
- Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (+2).
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (+3).
8.4 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan radiologis
TB paru adalah foto toraks posisi posteroanterior dan lateral. Kelainan
radiologis tuberkulosis paru menurut klasifikasi The National Tuberkulosis
Assosiation of the USA (1961) adalah sebagai berikut:8
1. Minimal lesion
- Infiltrat kecil tanpa kaverne
- Menenai sebagian kecil dari satu paru atau keduanya
- Jumlah keseluruhan paru yang ditemui tanpa memperhitungkan distribusi,
tidak lebih dari luas antara pesendian chondrosternal kedua sampai corpus
vertebra torakalis V (kurang dari 2 sela iga).
2. Moderately advanced lesion
Dapat mengenai sebelah paru atau kedua paru tetapi tidak melebihi
ketentuan sebagai berikut :
- Bercak infiltrat tersebar tidak melebihi volume sebelah paru
- Infiltrat yang mengelompok yang luasnya tidak melebihi 1/3 volume
sebelah paru
- Diameter kaverne bila ada tidak melebihi dari 4 cm.
3. Far advanced lesion
Far advanced lesion merupakan lesi yang melewati moderately advanced
lesion atau ada kavernae yang sangat besar.
8.5 Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis
(OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut : 7,9
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah yang cukup, dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT
Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Minum Obat (PMO).
3. Pengobatan TB dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
- Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
- Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2 Faktor resiko yang mempengaruhi TB


2. 1 Environment (Lingkungan)
Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan
yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status
kesehatan yang optimum pula. Kesehatan lingkungan menurut WHO adalah
ilmu dan ketrampilan yang memusatkan perhatiannya pada usaha
pengendalian semua faktor yang ada pada lingkungan fisik manusia yang
diperkirakan menimbulkan/ akan menimbulkan hal-hal yang merugikan
perkembangan fisiknya, kesehatannya maupun kelangsungan hidupnya
(Adnani, 2011).
Lingkungan adalah semua faktor luar dari seseorang individu,
lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan suatu makhluk hidup. Faktor
lingkungan menentukan hubungan interaksi antara agen dan penjamu.
Komponen lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, biologi dan sosial
(Noor, 2016).
Lingkungan sosial ekonomi, kualitas rumah, kedekatan kontak dengan
penjamu BTA + sangat mempengaruhi penyebaran bakteri ini pada
manusia. Kondisi lingkungan rumah seperti ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang baik, kelembapan, suhu rumah, dan kepadatan penghuni
rumah menjadi salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran kuman
tuberkulosis karena kuman tuberkulosis dapat hidup 1-2 jam bahkan samapi
beberapa hari hingga berminggu-minggu penularan TB Paru dapat terjadi
pada kontak dengan penderita melalui droplet (udara) (Najmah, 2016).
2.2Fisik
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.829/Menkes/SK/VII/1999 (dalam buku alamsyah dan mutiawati, 2013) :
kesehatan perumahan adalah kondisi fisik, kimia dan biologik di dalam
rumah, dilingkunagn rumah dan perumahan sehingga memungkinkan
penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Prasarana Kesehatan Lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan
yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, sarana kesehatan lingkungan adalah fasilitas penunjang yang
berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomis,
sosial dan budaya.
Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan
penyakit tuberkulosis, terutama pada pemenuhan physiologis rumah, sebab
sinar ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman
tuberkulosis paru, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi
kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya
kuman tuberkulosis paru dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat
perlu adanya pencahayaan langsung yang cukup dari sinar matahari
(Ruswanto, 2010).
Menurut Ditjen Cipta Karya (dalam buku kasjono,2011) komponen yang
harus dimiliki rumah sehat adalah
a. Fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah dasar
memberi kestabilan bangunan dan merupakan kontruksi penghubung antara
bangunan dengan tanah.
b. Lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari
pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air, untuk rumah
panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu.
c. Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan
masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai.
d. Dinding, rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau
menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan
debu dari luar menjaga kerahasian(privacy) penghuninya.
e. Langit-langit untuk menahan dan menyerap panas matahari.
f. Atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas matahari

1) Sanitasi Rumah Sehat


Rumah sehat adalah rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi
ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam
rangka melindungi penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan
sehingga memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang
optimal (kep. Menkimpraswil, 2002). Rumah sehat dan nyaman merupakan
sumber inspirasi penghuninya dan berfungsi sebagai tempat tinggal yang
digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup
lainnya. Kontruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan merupakan faktor resiko sumber penularan berbagai jenis
penyakit. Kondisi sanitasi perumahan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dapat menjadi penyebab penyakit infeksi saluran pernafasan akut
dan TBC Paru (Adnani, 2011). Perumahan yang sehat sangat diperlukan
bagi manusia, dan yang diartikan segat disini bukan bagus atau indahnya
suatu rumah melainkan harus memenuhi syarat sebagai berikut, yaitu:
a) Keseimbangan ruangan dengan manusia
b) Keluar masuknya (sirkulasi) udara
c) Tidak lembab
d) Pencahayan dengan masuknya sinar matahari
e) Pemisahan rumah dengan kandang ternak
f) Lantai rumah kedap air dan lain sebagainya Dimana semuanya itu
dibutuhkan untuk mencegah penularan penyakit yang ditularkan melalui
udara, karena banyak sekali kuman yang ditularkan melalui udara terbuka,
seperti misalnya penyakit tuberkulosis, infeksi saluran pernafasan dan lainya
sebagainya, dan diharapkan seluruh rumah dapat memenuhi syarat rumah
sehat (Farich, 2012).
2) Keadaan Rumah Yang Memengaruhi Tb Paru
Keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu ventilasi,
pencahayaan, jenis lantai, serta luas bangunan lantai hunian, merupakan
salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis
(Depkes RI, 2008).
a) Kepadatan hunian
Menurut Kepmen Pemukiman Dan Prasarana (2002) bahwa
kebutuhan ruang perorang dihitung berdasarkan aktifitas dasar manusia
didalam rumah. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang perorang adalah 9 m2
dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit adalah 2,80 m. Sedangkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)
menyebutkan bahwa syarat perumahan sederhana sehat minimum 8 m2 /
orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni > 2 orang. Kecuali untuk suami istri dan anak
dibawah 2 tahun. Penelitian yang dilakukan di banyumas diketahui bahwa
orang yang tinggal dirumah dengan kondisi kepadatan hunian rumah tidak
memenuhi syarat sebagian besar menderita TB paru (69,6%) dan yang
tinggal di rumah dengan kondisi kepadatan hunian rumah memenuhi syarat
sebagian besar tidak menderita TB paru (59,2%) (Kurniasih, 2016).

Luas rumah yang cukup memberikan ruang gerak bagi penghuninya,


sehingga terasa bebas resiko benturan yang ada didalam rumah.
Kenyamanan dapat terjadi terjamin karena sirkulasi udara berjalan baik
tanpa menimbulkan kejenuhan udara dalam ruangan yang didalam
terkandung zat-zat buangan dari sesama penghuni misalnya CO2 dan
kuman-kuman patogen.
Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai rumah
dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan
kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalma m2 /
orang apabila ada keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis
sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya. Kepadatan hunian
kamar tidur yang buruk dapat menyebabkan berkurangnya konsumsi
oksigen akan menyesakkan nafas bagi penghuninya. Dengan demikian bila
ada salah satu anggota keluarga yang terkena penyakit infeksi tuberkulosis
akan mudah menular bagi keluarga lainnya. Selain itu, dapat menyebabkan
membran mukossa didalam hidung penghuni menjadi kering sehingga
kurang efektif untuk menghadang kuman tuberkulosis yang masuk kedalam
pernafasan (Notoatmodjo, 2011).
Menurut Nizar (2017) melaporkan faktor yang mempengaruhi penyakit
Tuberkulosis salah satunya kepadatan hunian dalam rumah tangga/KK.
Rata-rata kepadatan huni 3-4 jiwa/rumah/KK, namun ada sekitar 10
kabupaten/kota yang ratarata kepadatan huni mencapai lebih dari 4
jiwa/rumah/KK. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mempermudah
terjadi penularan kasus TB positif dalam rumah. Namun dikabupaten
Bandung ratarata kepadatan huni kurang dari 8 jiwa/m2 mempunyai risiko
kejadian TB hasil tes tuberkulin positif berpotensi sebesar 8 kali
dibandingkan responden yang kepadatan huninya sesuai dengan standar.
Kepadatan hunian luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan
tidak untuk lebih dari dua orang, (Alamsyah dan mutiawati, 2013).
Kepadatan hunian kamar tidur luas lantai bangunan rumah sehat
harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan
rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak
menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan
kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena
penyakit infeksi akan mudah menular kepada anggota keluarga lain. Luas
bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 x 3 m untuk
setiap orang (tiap anggota keluarga) (Notoatmodjo, 2011)
b.) Ventilasi
Ventilasi rumah berfungsi sebagai lobang angin, jalan udara segar dan sinar
matahari serta sirkulasi, letak lubang angin yang baik adalah searah dengan
tiupan angin. Pergantian udara agar lancar diperlukan minimum luas lobang
ventilasi tetap 5% dari luas lantai dan jika ditambah dengan luas lobang
yang dapat memasukkan udara lainnya (celah, pintu, jendela, lobang
anyaman bambu dan sebagainnya menjadi berjumlah > 10-20% luas lantai
(Adnani, 2011).
Menurut Nizar (2017) ada hubungan antara ventilasi dengan
kejadian TB paru, ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat
berpeluang penularan TB sebesar 4,05 kali berrisiko dibandingkan rumah
dengan ventilasi kamar tidur yang memenuhi syarat.
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah
untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap sejuk. Hal ini
berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut
tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 dalam
rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya
menjadi meningkat. Di samping itu, tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan kelembapan udara dalam ruangan naik karena terjadinya
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembapan ini akan
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri
penyebab penyakit).
c) Kondisi Lantai
Lantai rumah ubin atau semen adalah baik, namun tidak cocok untuk
kondisi ekonomi pedesaan. Lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah
orang yang mampu di pedesaan, dan ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk
lantai rumah pedesan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang
terpenting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah
pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak
berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudiaan dipadatkan
dengan benda-benda yang berat, dan dilakukan berkalikali. Lantai yang
basah dan berdebu menimbulkan sarang penyakit (Notoatmodjo, 2011).
d) Pencahayaan
Menurut keputusan keputusan Mentri Kesehatan (Kemenkes) No.
829/Menkes/SK/VII/1990 Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung
maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas
penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan. Pedoman Umum
Rumah Sehat (2002) Matahari sebagai potensi terbesar yang dapat
digunakan sebagai pencahayaan alami pada siang hari. Pencahayaan yang
dimaksud adalah penggunaan terang langit, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) cuaca dalam keadaan cerah dan tidak berawan
2) ruangan kegiatan mendapatkan cukup banyak cahaya
3) ruang kegiatan mendapatkan distribusi cahaya secara merata
Menurut Nizar (2017) bahwa pencahayaan alam yang tidak masuk
dalam kamar berhubungan dengan kejadian TB paru. Rumah yang sehat
memerlukan cahaya yang cukup tidak kurang dan tidak terlalu banyak.
Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama cahaya matahari,
disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik
untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak
cahaya dalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusak
mata.
Cahaya dapat dibedakan menjadi dua, yakni : a) Cahaya alamiah,
yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-
bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh karena itu, rumah
yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.seyogianya
jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20%
dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. b) Cahaya buatan, yaitu
menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak
tanah, listrik, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2011).

2.3 Host (Penjamu)

Penjamu adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang
dapat mempengaruhi dan timbulnya suatu perjalanan penyakit (Kunoli,
2013).
Semua umur dapat tertular TB paru, tetapi kelompok resiko tertinggi adalah
kelompok usia produktif. Diperkirakan 95% kasus TB Paru dan kematian
akibat TB Paru didunia terjadi di negara berkembang dan penghasilan
rendah. Di indonesi, berdasarkan karakteristik penduduk, prevanlensi TB
Paru cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, pada pendidikan
rendah dan tidak bekerja (Najmah, 2016).
1. Umur
Merupakan parameter yang penting menjelaskan fakta secara epidemiologi.
Beberapa penyakit umur dapat menjelaskan hanya penyakit tertentu saja,
oleh karena setiap masalah kesehatan kesakitan ataupun kematian sangat
berhubungan erat dengan umur, insiden TB tertinggi pada kelompok usia
25-44 tahun pada median 37 tahun sebesar 36 persen kelompok usia 45-64
tahun sekitar 21 persen, untuk kesembuhan penderita Tuberkulosis BTA
positif umur tidak bermakna meskipun usia produktif lebih dominan tertular
TB adalah laki-laki. (Nizar, 2017). Penyakit TB sebagain besar menyerang
usia produktif hal tersebut juga ditemukan di penelitian Niko di Kota Solok
Tahun 2011 menyatakan faktor resiko penyakit TB paru positif lebih tinggi
pada usia produktif pada umur 40-49 tahun yaitu 14 responden dan yang
palng sedikit berkisar antara >60 tahun yaitu 2 responden.
2. Status Gizi
Indeks Masa Tubuh (IMT) atau Boddy Mass Index (BMI) merupakan
indikator untuk memantau status gizi pada kelompok umur >18 tahun.
Status gizi seseorang akan mempegaruhi risiko tertular TB. Seseorang
dengan status gizi buruk, bahkan mengalami malnturisi, menyebabkan
penurunan fungsi paru, perubahan analisis gas dalam darah, dan
produktivitas kerja. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman
yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk
bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit
tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah
status gizi yang baik. Selain itu, status gizi buruk juga mempengaruhi daya
tahan tubuh dimana penurunan daya tahan tubuh berkaitan erat dengan
peningkatan infeksi kuman TB (Fatimah, 2008).
3. Status sosial ekonomi
Rendahnya status sosial ekonomi menyebabkan rendahnya akses pelayanan
kesehatan, putusnya pengobatan penderita TB pada umumnya karena
mahalnya biaya transportasi. Selain itu variabel sosial budaya terbukti
merupakan faktor resiko kejadian TB maupun kesembuhan (Nizar, 2017)
4.Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’ dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2011).
Pengetahuan tentang tuberkulosis merupakan dasar tindakan pencegahan
dan pengobatan. Ketidaktahuan masyarakat menghalangi tindakan
pencegahan TB paru. Dengan pengetahuan yang meningkat, masyarakat
akan semakin mengerti tentang tindakan pencegahan sehingga tingkat
kejadian TB paru dapat diminimalisasikan. Pengetahuan akan menimbulkan
kesadaran seseorang dan akhirnya akan menyebabkan orang tersebut
berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan
dibagi kedalam 6 tingkat (Notoatmodjo, 2011), yaitu
1. Tahu (know) : diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau ransangan yang telah diterima.
2. Memahami (comprehension) : diartikan sebagai suatu kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasi materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application) : diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil
(sebenarnya).
4. Analisis (analysis) : suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannyasatu sama lain.

2.4. Agent (bibit penyakit)

Agent (faktor penyebab) adalah suatu subtansi tertentu yang


keberadaannya atau ketidak beradaannya dapat menimbulkan penyakit atau
mempengaruhi perjalanan atau penyakit golongan yang dapat menimbulkan
penyakit adalah golongan biologik dan fisik. Golongan biologik yang
banyak menimbulkan penyakit adalah mikroorganisme seperti virus, bakteri,
dan jamur. Golongan fisik suhu yang terlalu tinggi atau rendah suara yang
terlalu bising, tekanan udara, kelembaban udara, radiasi, atau trauma
mekanis yang dialami seseorang yang dapat menimbulkan beberapa
penyakit (Kunoli, 2013).

Tuberkulosis disebabkan oleh mycobacterium tuberkulosis, sejenis


kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panajng 1-4 μm dan tebal 0,3-
0,6 μm dan digolongkan dalam batil asam (BTA). Basil tuberkulosis
berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak bengkok, bergranular,
berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Panjang kuman
ini panajngnya 1-4 mikron dan lebarnya antara 0,3-0,6 mikron. Basil
ͦ
tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37 C dengan
tingkat pH optimal 6,4 - 7,0. Untuk membelah 1 – 2 kuman membutuhkan
waktu 14-20 jam (Najmah, 2016).

C. Profil Puskesmas Bulu


1. Geografis, Batas Wilayah, Jumlah Penduduk
Wilayah UPT Puskesmas Karangbinangun berada di Kecamatan
Karangbinangun Kabupaten Lamongan, terletak di tengah-tengah Wilayah
Administratif
a. Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Dukun
Sebelah Timur : Kecamatan Glagah
Sebelah Selatan : Kecamatan deket
Sebelah Barat : Kecamatan Kalitengah
b. Luas Wilayah : + 42, 29 Km², yang terdiri dari
c. Wilayah kerja UPT Puskesmas Karangbinangun dikelilingi oleh dua
Sungai Bengawan Jero dan Bengawan Solo.
d. Jumlah Penduduk : 33.451 Jiwa
2. Visi dan Misi Serta Tujuan UPT Puskesmas Karangbinangun
Visi UPT Puskesmas Karangbinangun adalah:
“Terwujudnya kemandirian hidup sehat bagi masyarakat kecamatan
Karangbinangun”
Misi UPT Puskesmas Karangbinangun adalah:
Dalam rangka mewujudkan visi sebagaimana tersebut di atas, UPT
Puskesmas Karangbinangun memiliki 3 (tiga) misi sebagai berikut:
1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat kecamatan
Karangbinangun melalui pemberdayaan masyarakat
2. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara terpadu,
berkesinambungan, bermutu, merata dan berkeadilan
3. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat beserta lingkungan kecamatan Karangbinangun dengan
mengutamakan upaya promotif dan preventif
Tujuan UPT Puskesmas Karangbinangun adalah:
Mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja upt puskesmas
karangbinangun.
3. Jenis Pelayanan
Secara garis besar pelayanan di UPT Puskesmas Karangbinangun terdiri
atas:
I. UPAYA KESEHATAN PERORANGAN
1. Pelayanan di dalam gedung
Unit pendaftaran, Unit Pengobatan Umum, Unit
Pengobatan Gigi dan Mulut, Unit Pelayanan Kesehatan Ibu
Anak dan Keluarga Berencana, Unit Pelayanan Imunisasi,
Unit Pelayanan Gawat Darurat, Unit pelayanan Rawat Inap,
Unit Pelayanan Kefarmasian, Unit Pelayanan
Laboratorium, Unit Konsultasi Gizi, Unit Pengobatan TB,
Unit Tata Usaha
2. Pelayanan di luar gedung
Pustu, Polindes, Ponkesdes
II. UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
1. Upaya Esensial
Pelayanan Promosi Kesehatan, Pelayanan kesehatan
lingkungan, Pelayanan kesehatan ibu, anak dan keluarga
berencana, Pelayanan gizi, Pelayanan pencegahan dan
pengendalian penyakit
2. Upaya Pengembangan
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), Kesehatan Lansia, P2
TB, P2 Imunisasi, P2 DBD, Survailans Penyakit
III. UPAYA INOVATIF
Pos Gizi Desa, Dusun Percontohan Binaan PHBS,
Paguyuban TB Paru
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei analitik, Berdasarkan segi waktu,
penelitian ini bersifat cross sectional, dimana data data dari tiap variabel
dikumpulkan dalam waktu bersamaan.

3.1 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu dengan kasus TB
Populasi adalah keseluruhan subyek yang mempunyai karakteristik
tertentu yang sesuai dengan penelitian. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua penderita TB dalam pengobatan tahun 2022-2023
Sampel adalah bagian dari populasi . Sampel pada penelitian ini
adlah individu penderita TB dalam pengobatan. Besar Sampel dalam
penelitian ini adalah 21 responden, yang ditentukan berdasarkan
perhitungan :
Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan data dilakukan setiap hari selasa dan kamis. mulai November
hingga April dan ketika pasien mengambil obat di ruang p2p dan ketika ada
kunjungan rumah penderita TB yang dalam pengobatan. Pengambilan data
dilakukan dengan teknik random sampling.

Definisi Operasional

Sanitasi lingkungan diukur dengan menggunakan kuisioner. Setiap


variable terdiri dari 10 pertanyaan..
Penialaian menggunakan jawaban ya/ tidak:
1. Untuk pilihan jawaban ya/benar mendapat nilai 1
2. Untuk pilihan jawaban tidak/salah mendapat nilai 0
Sehingga didapatkan skor tiap responden adalah :
- Maksimal : 1x10 = 10
- Minimal : 0x10 = 0
- Median :5
- Kuartil 1 : 2,5
- Kuartil III : 7,5
Berdasarkan pembagian kuartil tersebut , pemberian skor ditetapkan sbb :
- ≥ kuartil III (≥7,5) : Sangat Baik
- ≥ median s.d kuartil III (≥5 s.d ≤7,5) : Baik
- < median s.d kuartil I (≥2,5 s.d <5) : Kurang
- < kuartil I (<2,5) : Sangat Kurang
B. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara mengedarkan suatu daftar pertanyaan
yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden
tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda-tanda
tertentu.

C. Jenis dan Cara Pengumpulan Data


1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data primer
yang diperoleh secara langsung atau dari lembaran kuesioner yang
diberikan peneliti secara langsung kepada responden.
2. Cara Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, cara pengumpulan data yaitu sebagai berikut:
a. Menentukan jumlah sampel dengan teknik random samle
b. Memberikan kuesioner kepada pasien/responden yang telah
ditentukan kriterianya.
c. Mengumpulkan semua kuesioner yang telah diisi oleh responden
yang telah ditentukan jumlahnya.

D. Pengolahan dan Analisis Data


1. Pengolahan Data
Semua data dikumpulkan, dicatat, dan dikelompokkan
kemudian dimasukkan ke komputer dan selanjutnya diolah dengan
menggunakan program statistik komputer.
2. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin


Responden Di Puskesmas Bulu Tahun 2022-2023

Jenis Kelamin n Presentase


Laki-Laki 13 57 %
Perempuan 10 43%

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui jenis kelamin responden di Wilayah Kerja


Puskesmas Bulu Tahun 2022-2023 yang paling banyak yaitu laki-laki sebanyak
13 (57%).

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Terakhir


Responden Di Puskesmas Bulu Tahun 2022-2023

Pendidikan Terakhir Jumlah Presentase


SD 10 43%
SLTP 7 30%
SLTA 6 27 %

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui pendidikan responden di Wilayah Kerja


Puskesmas Bulu Tahun 2022-2023 yang paling banyak yaitu SMA sebanyak SD
(43%).
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Pekerjaan Di
Puskesmas Bulu Tahun 2022-2023
Jenis Pekerjaan n Presentase
Nelayan 7 31 %
Petani 6 26%
Swasta 1 4%
Pelajar 9 39%
Tidak Bekerja

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui pekerjaan responden di Wilayah Kerja


Puskesmas Bulu Tahun 2022-2023 yang paling banyak yaitu Tidak Bekerja 39%

Tabel 4.4 Kepadatan hunian Sebaran distribusi frekuensi responden


menurut kepadatan hunian dapat dilihat pada tabel berikut ini

Kepadatan hunian n Presentase


Tidak memenuhi 17 73 %
2
syarat<8m

Memenuhi syarat 6 27%


2
>8m

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa lebih banyak responden mempunyai


2
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat (<8m ) (73%)

Tabel 4.5 Pengaruh Ventilasi Dengan Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja


Puskesmas Bulu Tahun 2022-2023

Kepadatan hunian n Presentase


Tidak memenuhi 19 82 %
syarat <10%

Memenuhi syarat 4 8%
>10%
Tabel 4.6 Pengaruh Pencahayaan Dengan Kejadian Tb Paru Di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu Tahun 2022-2023

Pencahayaan n Presentase
Tidak baik 18 78 %

Baik
5 22%

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan kuisioner kepada
responden di dapatkan hasil tingkat pengetahuan tentang demam berdarah
dengue tinggi sebesar 92% dan sedang 8%, kurang 0%. Dengan kemajuan
teknologi dan mudahnya mendapatkan informasi tentang demam berdarah
dengue menjadi salah satu faktor yang meningkatkan pengetahuan responden.
Hasil tingkat sikap terhadap penyakit demam berdarah dengue
didapatkan hasil 96% hasil tinggi, 4% hasil rendah, dan 0% hasil rendah.
Hasil tingkat perliaku terhadap penyakit demam berdarah dengue didapatkan
hasil 96% hasil tinggi, 4% hasil sedang, dan 0% hasil rendah.

Pengauh antara Kepadatan Hunian Dengan Kejadian TB Paru

Dari hasil penelitian tentang kedapatan hunian terdapat total kepadatan


hunian yang memenuhi syarat adalah 73% dan yang tidak memenuhi syarat yaitu
28%. Menurut teori Notoatmodjo (2011) kepadatan hunian kamar tidur luas lantai
bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya, artinya luas
lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya
agar tidak menyebabkan over load. Hai ini tidak sehat, sebab disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi akan mudah menular kepada anggota kelurga lainnya.
Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 x 3 m untuk
setiap orang (tiap anggota keluarga).

Kepadatan hunian sangat mempengaruhi penularan penyakit TB Paru,


berdasarkan penelitian dilapangan bahwa kondisi rumah yang berada diwilayah
kerja puskesmas Bulu yang kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat ternyata
mudah terkena TB. Sehingga kepadatan hunian tidak bisa terhindar lagi, dengan
demikian bila ada salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi
tuberkulosis akan lebih menular kepada anggota keluarga lainnya. Sebaiknya
masyarakat menghindari jumlah penghuni yang overload dan manfaatkan ruangan
yang kosong dan selalu membuka jendela kamar agar cahaya matahari dapat
masuk dalam rumah dan selalu menjaga kebersihan rumah secara rutin.

Pengaruh antara kondisi ventilasi dengan kejadian TB Paru

Dari hasil penelitian tentang ventilasi dengan kejadian TB Paru yaitu total
ventilasi yang memenuhi syarat adalah 8% % dan yang tidak memenuhi syarat
adalah 82%. Menurut teori Adnani, 2011 ventilasi rumah berfungsi sebagai
lobang angin, jalan udara segar dan sinar matahari serta sirkulasi, letak lubang
angin yang baik adalah searah dengan tiupan angin. Pergantian udara agar lancar
diperlukan minimum luas lobang ventilasi tetap 5% dari luas lantai dan jika
ditambah dengan luas lobang yang dapat memasukkan udara lainnya (celah, pintu,
jendela, lobang anyaman bambu dan sebagainnya menjadi berjumlah > 10-20%
luas lantai.

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih


triyantono & widyanto, 2016 terdapat pengaruh kondisi ventilasi rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Kalibagor Kabupaten
Banyumas Tahun 2016.

Berdasarkan hasil dilapangan menunjukan bahwa ventilasi rumah yang


berada diwilayah kerja puskesmas panjang tidak memenuhi syarat lebih besar
menderita TB Paru, dimana luas ventilasi <10% dari luas lantai sehingga cahaya
matahari tidak bisa masuk langsung kedalam rumah dan jarak antara rumah satu
dengan yang lainnya sangat berdekatan yang membuat cahaya matahari tidak bisa
masuk langsung kedalam rumah dan hampir sebagian besar masyarakat di Bulu
tidak pernah membuka jendela rumahnya. Sebaiknya masyarakat membuka
jendela kamar setiap hari agar sirkulasi udara mengalirkan udara secara alamiah
dan sinar matahari dapat langsung masuk kedalam rumah agar kondisi kamar
tidak lembab.

Pengaruh antara kondisi pencahayaan dengan kejadian TB Paru

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa total dari kondisi pencahayaan
kasus dan control yang terbanyak adalah kondisi pencahayaan yang baik yaitu
22% sedangkan kondisi pencahayaan yang tidak baik yaitu 78%. Menurut teori
Nizar, 2017 pencahayaan kamar tidur yang tidak cukup merupakan salah satu
penyebab terjadinya penyakit TB Paru. Pencahayaan yang baik menurut
Kemenkes No 829 tahun 199 pencahayan alam dan / atau buatan langsung
maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas
penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Dawile, sondakh &
maramis 2013 hasil penelitiannya terdapat pengaruh antara pencahayaan alami
dengan Tuberkulosis paru. Berdasarakan hasil dilapanagan diwilayah kerja
puskesmas panjang bahwa pencahayaan rumah pada kasus tidak memenuhi syarat
dimana cahaya matahari tidak bisa masuk kedalam rumah yang disebabkan
jumlah ventilasi rumah sangat sedikit dan padatnya pemukiman masyarakat
panjang yang mengakibatkan cahaya matahari tidak bisa masuk langsung kedalam
rumah. Sehingga diharapkan masyarakat memberikan genting kaca yang
pencahayaan rumahnya kurang agar kondisi ruangan rumah atau kamar tidak
lembab.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Bulu Tuban


Tahun 2022-2023, maka peneliti memperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan kepadatan hunian


yang tidak memenuhi syarat pada kasus 32 (64,0%) responden dan yang
memenuhi syarat 16 (36,0%) responden, ventilasi rumah yang tidak
memenuhi syarat pada kasus 40 responden (80,0%) dan yang memenuhi
syarat 10 responden (20,0%), pencahayaan rumah yang tidak baik pada
kasus 41 responden (82,0%) dan yang baik 9 responden (18,0%),
kelembaban yang tidak memenusi syarat pada kasus 35 responden (70,0%)
dan yang memenuhi syarat 15 responden (30,0%).
2. Ada pengaruh antara kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan dengan
kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Bulu Tuban Tahun 2022-
2023.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka peneliti menyarankan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Bagi Puskesmas
Perlu diadakan rutin penyuluhan untuk lebih meningkatkan
pengetahuan tentang penyakit demam berdarah dengue saat sebelum
memasuki musim hujan.
2. Bagi Pasien
Diharapkan dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
sebagai cara untuk mencegah terjadinya penyakit demam berdarah
dengue.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan MS, 2014. Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang


Kedokteran dan Kesehatan. 2nd edition, Jakarta: Sagung Seto.
Delliana J, 2008. Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Report: Asia
Pacific Dengue Program Managers Meeting. World Health Organization,
Geneva.
Dharma R, Hadinegoro SR., Priatni I, 2015. Disfungsi Endotel pada DHF. Jurnal
Ilmiah Makara, Seri Kesehatan, viewed 2 oktober 2022,
<http://www.research.ui.ac.id>.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2015. Kesehatan Jawa Timur dalam
Angka 2011-2015. Viewed 2 oktober 2022,
<http://www.dinkes.jatimprov.go.id>.
Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T, 2016. Tatalaksana Dengue
Haemorrhagic Fever di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T, 2016. Tatalaksana Dengue
Haemorrhagic Fever di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Hapsari, M.M, Herawati Y, A.D.B. Sachro, H. Farida, Setiati T.E., 2009.
Pemberian Tranfusi Darah pada Pasien DHF. Semarang : Media Medika
Indonesia.
Hiswani, 2013. Pencegahan dan Pemberantasan DHF. Sumatra Utara: Universitas
Sumatra Utara.
Jaya I, 2013. Hubungan Kadar Hematokrit Awal Dengan Derajat Klinis di RS
PKU Muhammmadiyah Surakarta Tahun 2008. Solo: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Jurnah M, Arif D, Bahar M, Burhanuddin, 2011. Uji hematologi pasien terduga
Dengue Haemorrhagic Fever indikasi rawat inap. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory 17(3): 139–42.
Kelton JG,Powers P, Julian J, Boland V, Carter CJ, Gent M, 2011. Sex related
differences in platelet aggregation: influence of the hematocrit. Blood
Journal of American Society Hematology 56(1): 38-41.
Krishnamurti C, Kalayanarooj S, Cutting M, Peat RA, Rothwell SW, Reid T, et al,
2015. Mechanicms of hemorrhage in dengue without circulatory collapse.
Am J Trop Med Hyg. (cited 2015 July 17). Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1123504/.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N, 2013. Robbins and Cotran Pathology Basis of
Disease. 9th edition, Philaelphia: Elsevier Saunders, 123-143, 198-203, 365,
347-348, 356-357, 649-651, 656-658.
Matondang, AV, Djoko Widodo, dkk, 2014. The correlation between
thrombopoietin and platelet count in adult dengue viral infection patients.
Acta Med Indonesia J Intern Med. Vol 36(2) page 62-69. (cited 2012 july
17). Available from
http://www.inaactamedica.org/archives/2004/15673939.pdf.
Michael B, Deen J, Buchy P, Gubler D, Harris E, Hombach J, 2015. World Health
Organization dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and
control new edition 2015. Switzerland: WHO press 2015, viewed 2 Oct
2022, <http://www.cdc.gov>.
Nasronudin, 2013. Penyakit Infeksi di Indonesia dan Solusi Kini Mendatang. 2nd
edition, Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR.
Nurhayati, D, 2014. Perbedaan Nilai Maksimum dan Minimum Protein Plasma,
Hematokrit, dan Trombosit terhadap Awal Kejadian Syok Penderita DHF di
Instalasi Kesehatan Anak RS Dr. Sardjito. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Shepherd SM, 2009. Dengue Fever. viewed 2 Oktober 2022,
<www.emedicine.medscape.com>.
Soedarmo, S.S.P, 2008. Dengue Haemorrhagic Fever pada Anak. Ed. 2. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia: 26 - 45
Soegeng S, 2008. Dengue Haemorrhagic Fever. 2nd edition, Surabaya: Airlangga
University Press.
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan H, 2007. Dengue Haemorrhagic Fever.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: FKUI, 1709-1713.
Sutedjo AY, 2007. Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Yogyakarta: Amara Books, 27-28, 125-126.
World Health Organisation, 2015. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis,
treatment, prevention and control. New edition, Geneva: viewed 2 Oktober
2022, <www.who.int>.
LAMPIRAN

KUESIONER

IDENTITAS (Lingkari sesuai jawaban yang benar)


Nama :
Jenis Kelamin:
a. Perempuan b. Laki-laki
Usia:
I. PERNYATAAN TERKAIT PENGETAHUAN DBD :
1. Penyebab penyakit demam berdarah adalah ?
a. Virus / bibit penyakit penyakit yang sangat kecil
b. Makanan / minuman yang tidak dimasak dengan bersih
c. Terkena kutukan/ guna-guna
2. Tanda – tanda orang yang menderita penyakit demam berdarah adalah ?
a. Demam mendadak
b. Nyeri sendi / otot / tulang
c. Semua benar
3. Cara penyebaran penyakit demam berdarah adalah ?
a. Melalui gigitan nyamuk yang sebelumnya menggigit penderita
demam berdarah
b. Melalui debu / angin
c. Melalu batuk / dahak
4. Nyamuk penular demam berdarah senang beristirahat di ?
a. Dekat cahaya lampu
b. Pakaian yang tergantung
c. Di ruangan ber- AC
5. Nyamuk penular demam berdarah biasa menggigit orang pada ?
a. Siang hari
b. Sore hari
c. Malam hari
6. Pola demam pada penyakit demam berdarah dengue adalah ?
a. Seperti pelana kuda
b. Demam tinggi yang menetap selama 1 minggu
c. Panas hanya tinggi malam hari
7. Pertolongan pertama pada penderita demam berdarah adalah ?
a. Banyak minum
b. Kompres air es
c. Kompres alcohol
8. Yang termasuk gerakan 3M adalah ?
a. Menguras bak mandi
b. Makan makanan bergizi
c. Memasak air yang di minum
9. Pengapasan (fogging) dilakukan saat ?
a. Ada yang terkena demam berdarah dengue di lingkungan rumah
b. Berkala 1 bulan sekali
c. Berkala 1 minggu sekali
10. Kegunaan dari bubuk abate adalah :
a. Menghilangkan warna pada air
b. Membunuh jentik – jentik nyamuk
c. Menghilangkan bau pada air
II. PERNYATAAN BERKAITAN DENGAN SIKAP

Beri tanda silang (ν) pada pernyataan dibawah ini:


No PERNYATAAN Ya Tidak
Menurut anda, apakah upaya pencegahan penyakit demam
1 berdarah (3M) merupakan kebutuhan masyarakat yang
harus dilakukan ?
Apakah anda setuju diadakan pencegahan secara rutin di
2
lingkungan tempat tinggal anda?
Menurut anda, apakah penanggulangan penyakit demam
3
berdarah hanya merupakan tanggung jawab pemerintah ?
Menurut anda, apakah foging (pengasapan) efektif
4
mencegah demam berdarah ?
Saya merasa memiliki peranan penting dalam usaha
5
penanggulangan demam berdarah
III. PERNYATAAN BERKAITAN DENGAN PERILAKU
No PERNYATAAN Ya Tidak
Apakah keluarga anda menguras dan membersihkan bak
1 mandi / tempat penampungan air yang berada dirumah 1x /
minggu ?
Apakah anda menggunakan abate pada tempat
2
penampungan air di rumah ?
Apakah keluarga anda menggunakan perlindungan
terhadap gigitan nyamuk pada saat beristirahat di pagi hari
3
dan sore hari (contoh : memakai lotion anti nyamuk / obat
nyamuk/ memakai kelambu)
Apakah keluarga anda pernah melakukan pengewasan
4
terhadap jentik nyamuk di rumah ?
Pernahkah keluarga anda mengikuti kegiatan pencegahan
5 demam berdarah yang dilakukan di lingkungan tempat
tinggal?

Anda mungkin juga menyukai