Anda di halaman 1dari 18

SISTEM INDERA

1 April 2021

KELOMPOK 4

NAMA ANGGGOTA:

10. Khoirunnisa’ Min Amrina Rosyada 4401419070


11. Tri Wahyu Subekti 4401419071
12. Amriyah Ummi Ma'rifah 4401419073

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
1. Buatlah skema yang menggambarkan mekanisme kegiatan berikut:
a. Melihat benda di tempat gelap dan terang
b. Mendengar bunyi bel sekolah
c. Mencium wangi parfum orang yang disukai
d. Mengecap rasa (manis, asin, pahit, asam) pilih salah satu saja
e. Kulit yang terkena air panas
2. Pilih dua kasus kelainan pada sistem indera (harus dari dua indera yang berbeda), lalu
analisis kasus tersebut, mulai dari penyebab, gejala, pada bagian apa mekanisme di indera
tersebut mengalami gangguan, bagaimana pengobatan dan langkah pencegahannya.
SKEMA MEKANISME MELIHAT BENDA DI TEMPAT GELAP DAN TERANG

TERANG REMANG

Rodopsin terurai Rodopsin terbentuk

Rodopsin terbentuk Rodopsin terbentuk

Iodopsin terbentuk

Sel Konus Menerima Sel Batang Aktif


Cahaya

Otot sfingter pupil Otot dilator iris


berkontraksi berkontraksi

Pupil mengecil Pupil membesarl

Mata dapat Melihat

Retina merupakan lapisan dalam yang halus dan peka terhadap cahaya. Pada retina terdapat sel-
sel fotoreseptor:
1. Sel basilus/sel batang
Mengandung pigmen rodopsin. Rodopsin adalah senyawa yang mengandung
vitamin A dan protein tertentu. Sel basilus sensitif terhadap cahaya lemah. Jika terkena
cahaya, rodopsin terurai menjadi vitamin A dan protein. Jika tidak ada cahaya, rodopsin
akan terbentuk kembali.
2. Sel konus/ sel kerucut
Mengandung pigmen iodopsin. Iodopsin adalah senyawa yang terdiri dari retinin
dan opsin. Sel konus berperan menerima warna dan sinar yang kuat.
SKEMA MEKANISME MENDENGAR BUNYI BEL SEKOLAH

SUARA BEL

Masuk ke saluran telinga


Melalui Telinga luar

Gendang Telinga
Bergetar

Tulang telinga
tengah bergetar kuat

Cairan di Koklea
ikut bergetar

Cairan di Koklea ikut


bergetar

Sel-sel rambut (sensoris) pada membran


basilar mendeteksi suara

Stereocillia terbuka dan mengubah


menjadi impuls listrik

Saraf pendengaran mengirim sinyal ke Otak mendeteksi suara bel


otak dan otak mengubah menjadi bunyi masuk maka kita akan bereaksi
yang kita pahami untuk memasuki kelas
Dikutip dari National Institute on Deafness and Other Communication Disorders
(NIDCD), berikut adalah urutan proses mendengar yang perlu Anda ketahui:

1. Gelombang suara memasuki telinga luar dan berjalan melalui lorong sempit yang
disebut saluran telinga, yang mengarah ke gendang telinga.
2. Gendang telinga bergetar dari gelombang suara yang masuk dan mengirimkan
getaran ini ke ketiga tulang kecil di telinga tengah.
3. Tulang di telinga tengah memperkuat atau meningkatkan getaran suara dan
mengirimnya ke koklea.
4. Setelah getaran menyebabkan cairan di dalam koklea bergetar, gelombang suara
berjalan di sepanjang membran basilar. Sel-sel rambut, yaitu sel sensorik yang
berada di atas membran basilar, mengendalikan gelombang suara. Sel-sel rambut
di dekat ujung lebar koklea kemudian mendeteksi suara bernada tinggi, sedangkan
yang lebih dekat ke tengah mendeteksi suara bernada rendah.
5. Saat sel-sel rambut bergerak, komponen seperti rambut yang sangat kecil (dikenal
dengan stereocilia) yang bertengger di atas sel-sel rambut menabrak struktur dan
lengkungan di atasnya. Ini menyebabkan stereocilia terbuka. Kemudian, bahan
kimia masuk ke dalam sel dan menciptakan sinyal listrik.
6. Saraf pendengaran kemudian membawa sinyal ini ke sistem saraf pusat (otak) dan
mengubahnya menjadi suara yang kita kenal dan pahami.

Reaksi:
Rangsangan suara menghasilkan interaksi dengan bagian otak lain untuk
memberikan respons yang sesuai. Itu sebabnya, jika Anda mendengar alarm kebakaran,
tubuh Anda akan secara otomatis bereaksi yang mengarah ke pelarian, jantung berdebar,
dan kesiapan untuk segera bergerak
SKEMA MEKANISME MENCIUM WANGI PARFUM ORANG YANG DISUKAI

Sel sensoris pada indera penciuman adalah neuron, sedangkan letak badan selnya di
otak, sehingga disebut sel saraf kranialis. Sistem penciuman berada di atap rongga
hidung di pelat kribriform - bagian tulang ethmoid berlubang yang memisahkan lobus
frontal otak besar dari rongga hidung. Melalui hubungan langsung dengan sistem
limbik dan korteks serebral, bau berkaitan dengan emosi dan ingatan yang dialami,
sehingga dalam membentuk perilaku dan komunikasi antar hewan. Oleh karena itu,
indera penciuman berperan dalam membedakan wangi parfum setiap orang, apalagi
bau orang yang disukai.
Mekanismenya:

a. Molekul bau dalam saluran hidung pertama kali bertemu dengan reseptor
pada silia primer neuron sensorik penciuman. Setiap neuron
mengekspresikan satu jenis reseptor protein pada ekstensi dendritik ini.
Namun, setiap bau dapat mengikat banyak protein reseptor yang berbeda.
Ujung dendritik neuron orde pertama ini berada dalam lapisan tipis mukus
dengan epitel pendukung yang berdekatan. Kelenjar Bowman mengeluarkan
cairan serosa yang kaya glikoprotein, yang menghangatkan, melembabkan,
dan memerangkap udara, membantu melarutkan partikel bau gas.
b. Komponen aksonal neuron sensorik penciuman individu kemudi an
bergabung untuk membentuk bundel neurovaskular yang memproyeksikan
melalui pelat cribriform. Kumpulan akson kolektif ini membentuk saraf
penciuman. Proyeksi aksonal saraf penciuman sinaps dengan dendrit sel
mitral dan berumbai dalam struktur bola yang dikenal sebagai glomeruli.
c. Sel mitral orde kedua kemudian memproyeksikan melalui saluran penciuman
ke area tertentu di dalam otak yang memproses informasi penciuman,
termasuk korteks piriform, tuberkulum penciuman, amigdala, dan korteks
entorhinal.
d. Proses penciuman melibatkan konversi stimulus kimiawi, bau, menjadi
sinyal listrik yang dikirim ke otak untuk interpretasi. Mekanisme ini dimulai
setelah neuron sensorik penciuman mengalami depolarisasi sebagai respons
terhadap pengikatan molekul bau ke reseptor berpasangan G -protein
(GPCR). Protein G yang terdisosiasi mengaktifkan kaskade intraseluler
melalui adenylyl cyclase yang menghasilkan molekul siklik adenosin
monofosfat (cAMP) yang mengikat dan membuka saluran ion di dalam
membran plasma neuron.
e. Selanjutnya, masuknya ion natrium dan kalsium positif dan keluarnya ion
klorida negatif terjadi.
f. Depolarisasi saraf berlanjut sampai potensi ambang batas terjadi,
melepaskan potensi aksi yang dihasilkan.
g. Potensi aksi berjalan ke saraf penciuman melalui pelat kribriform menuju
glomeruli di bola olfaktorius.
h. Glomeruli kemudian memproyeksikan ke area tertentu di dalam otak tempat
pemrosesan, modulasi, dan interpretasi tingkat yang lebih tinggi terjadi.
SKEMA MEKANISME MENGECAP RASA MANIS

Penjelasan:

1. Molekul gula berikatan ke suatu protein reseptor di permukaan sel reseptor sensoris
2. Pengikatan menginisiasi jalur transduksi sinyal yang melibatkan protein G dan
fosfolipase C
3. Aktivitas fosfolipase c membangkitkan pembawa pesan kedua, IP3, yang berikatan ke
saluran kalsium pada RE, dan kemudian membukanya. Ca2+, pembawa pesan kedua
yang lain, mengalir ke dalam sitosol.
4. IP3 dan Ca2+ menyebabkan pembukaan saluran natrium, memungkinkan Na+
berdifusi ke dalam sel reseptor pengecap.
5. Depolarisasi mengaktivasi neuron sensoris melalui suatu proses yang belum dipahami
sepenuhnya
SKEMA MEKANISME KULIT YANG TERKENA AIR PANAS

2. Sel reseptor di kulit 1. Stimulus yang terdeteksi


menerima rangsang berupa diterima oleh saraf sensorik
panas (stimulus). sebagai sinyal listrik.

3. Sinyal respon dari saraf 4. Sinyal diteruskan ke sistem


penghubung dibawa oleh syaraf pusat (otak dan
saraf motorik menuju efektor sumsum tulang belakang)
organ. oleh saraf sensorik.

5. Efektor organ berkontraksi


menjauhkan kaki dari
sumber panas.
STUDI KASUS GANGGUAN SISTEM INDERA

1. Studi kasus 1 “ Strabismus (Mata Juling) ”

Penyebab
Strabismus atau biasa disebut dengan mata juling dapat disebabkan oleh
masalah pada otot mata, saraf yang mengirimkan informasi ke otot, atau pusat
kendali di otak yang mengarahkan gerakan mata. Pada kebanyakan kasus,
penyebab mata juling dipengaruhi oleh faktor keturunan sehingga disebut
juga dengan strabismus bawaan. Pada mata terdapat 6 otot berbeda yang
bekerja secara bersamaan untuk menggerakkan mata.
Pada penderita strabismus, otot-otot mata tersebut tidak mampu bekerja
bersamaan. Akibatnya, salah satu mata fokus melihat ke suatu objek,
sementara yang lainnya melihat ke arah yang berbeda. Hal tersebut
menyebabkan retina mengirimkan dua sinyal berbeda ke otak. Hal ini tentu
dapat membingungkan otak dalam memproses sinyal menjadi gambar.
Seringnya otak akan mengabaikan sinyal yang dikirim oleh mata yang fokus
dan pergerakannya lebih lemah.
Jika terus dibiarkan, mata yang diabaikan otak mungkin saja mengalami
penurunan fungsi dan lama-kelamaan akan kehilangan kemampuan melihat
dengan baik. Kehilangan pandangan ini disebut ambliopia atau “mata malas”.
Ambliopia yang terjadi terlebih dulu juga dapat menjadi penyebab mata
juling. Selain itu, terdapat juga beberapa kondisi kesehatan yang bisa menjadi
penyebab mata juling pada anak-anak, seperti:
- Apert Syndrome (kelainan genetik yang mempengaruhi pertumbuhan
tengkorak)
- Cerebral palsy
- Congenital rubella
- Hemangioma dekat mata selama masa bayi
- Incontinentia Pigmenti Syndrome (kelainan genetik langka yang
memengaruhi kulit)
- Noonan Syndrome (kelainan genetik langka yang mempengaruhi
tampilan wajah)
- Prader-Willi Syndrome (kondisi genetik yang menyebabkan
terbentuknya otot yang lemah)
- Retinopathy of prematurity (kelainan yang mempengaruhi mata)
- Retinoblastoma (kanker langka pada retina)
- Cedera otak traumatis
- Trisomi 18 (kelainan genetik yang menyebabkan cacat lahir)
- Penyakit lain yang menyebabkan kehilangan penglihatan

Sementara strabismus yang baru muncul pada usia dewasa disebabkan oleh:
- Botulisme
- Diabetes (menyebabkan kondisi yang disebut acquired paralytic
strabismus)
- Penyakit Graves
- Guillain-Barré Syndrome
- Cedera pada mata
- Cerebral palsy
- Keracunan akibat kerang-kerangan
- Stroke
- Cedera otak traumatis

Gejala
- Mata yang terlihat tidak sejajar
- Mata yang tidak bergerak bersamaan
- Sering berkedip atau menyipitkan mata terutama di bawah terik
matahari
- Memiringkan kepala untuk melihat sesuatu
- Rasa tegang pada mata
- Sakit kepala
- Penglihatan kabur
- Penurunan persepsi atau perkiraan akan jarak.
- Penglihatan ganda

Strabismus (Mata Juling) terjadi karena saraf abdusen mengalami


gangguan
Saraf abdusen bertanggung jawab mengoperasikan otot rektus lateral,
yaitu otot yang menarik mata ke arah sisi kepala. Jika saraf ini terganggu,
maka bisa membuat mata juling. Normalnya mata mempunyai penglihatan
binokuler yaitu setiap saat terbentuk bayangan tunggal dari kedua bayangan
yang diterima oleh kedua mata sehingga terjadi fusi dipusat penglihatan. Hal
tersebut dapat terjadi karena dipertahankan oleh otot penggerak bola mata
agar selalu bergerak secara teratur, gerakan otot yang satu akan mendapatkan
keseimbangan gerak dari otot yang lainnya sehingga bayangan benda yang
jadi perhatian selalu jatuh tepat dikedua fovea sentralis.
Gangguan gerakan bola mata terjadi bila terdapat satu atau lebih otot
mata yang tidak dapat mengimbangi gerakan otot mata lainnya maka akan
terjadi gangguan keseimbangan gerakan mata sumbu penglihatan akan
menyilang mata menjadi strabismus.

Pengobatan
Pengobatan strabismus ditujukan untuk mengurangi risiko terjadinya
komplikasi, seperti ambliopia atau kebutaan permanen. Semakin cepat gejala-
gejala ditangani, semakin efektif hasil pengobatannya. Berikut adalah
beberapa pilihan pengobatan untuk mata juling:
- Mengggunakan kacamata atau lensa kontak, terutama jika terdapat
gangguan penglihatan lain seperti rabun dekat.
- Penggunaan lensa prisma, yaitu lensa yang lebih tebal untuk
mengurangi pergerakan mata yang sulit untuk fokus melihat ke satu
arah.
- Menggunakan penutup mata yang dipakai untuk menutup bagian mata
yang berfungsi paling baik. Hal ini dilakukan guna meningkatkan
kemampuan penglihatan mata yang lebih lemah.
- Injeksi botulinum toxin atau botox yang disuntikkan pada salah satu otot
permukaan mata.
- Terapi otot mata untuk melatih fokus penglihatan dan meningkatkan
koordinasi pergerakan otot mata.
- Operasi untuk memperbaiki kerusakan otot mata dengan mengubah
bentuk atau posisi otot mata. Pengobatan ini juga dibarengi dengan
terapi otot mata.

Langkah Pencegahan
Mata juling umumnya tidak dapat dicegah. Namun, pencegahan
terhadap komplikasi mata juling dapat dilakukan dengan deteksi dini dan
penanganan sesegera mungkin secara tepat. Bayi yang baru lahir dan anak
hingga usia tiga tahun juga harus menjalani pemeriksaan mata secara
menyeluruh untuk mengevaluasi kemampuan penglihatannya.

2. Studi kasus 2 “Epistaksis (Mimisan)”

Penyebab
Penyebab mimisan terbagi menjadi penyebab lokal, umum dan
idiopathic / penyebab yang tidak diketahui. Faktor lokal hidung berupa
trauma, infeksi, benda asing, tumor, perubahan atmosfer seperti perbedaan
tekanan mendadak, dan septum deviasi/sekat hidung yang bengkok.
Sedangkan faktor lokal nasofaring akibat adanya radang atau tumor seperti
adenoiditis, angiofibroma, dan tumor ganas. Faktor keadaan tubuh secara
umum meliputi sistem kardiovaskuler seperti hipertensi, kelainan darah dan
pembuluh darah, penyakit liver, penyakit ginjal, obat-obatan seperti salisilat
dan antipembekuan darah, penekanan pada mediastinum akibat tumor, infeksi
akut pada umumnya seperti influenza, alergi dan siklus menstruasi yang tidak
tetap. Infeksi akut seperti pada demam berdarah dengue juga dapat
menimbulkan keluhan mimisan akibat berkurangnya jumlah trombosit yang
berperan pada pembekuan darah. Masing-masing penyebab tersebut perlu
diidentifikasi karena memerlukan pemeriksaan penunjang dan penanganan
yang berbeda.

Gejala
- Pusing
- Kelemahan
- Kebingungan
- Pingsan
- Kehilangan darah yang berlebihan dari nosebleeds tidak sering terjadi

Epistaksis (Mimisan) terjadi karena perdarahan di bagian depan septum,


pleksus Kiesselbach
Epistaksis merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai, 10 - 12%
dari populasi dimana 10% diantaranya memerlukan tindakan. Sekalipun
kebanyakan kasus sembuh sendiri, beberapa kasus membutuhkan intervensi.
Insidens epistaksis sedikit lebih sering pada laki laki. .4 Hampir 90 % adalah
epistaksis anterior, oleh karena perdarahan di bagian depan septum, pleksus
Kiesselbach, umumnya dapat diatasi. Perdarahan dari bagian posterior kavum
nasi disebut epistakis posterior berkisar antara 5 -10%, tampon hidung 48 –
83% kurang berhasil, sehingga dilakukan penanganan melalui tindakan bedah
endoskopi.
Arteri karotis eksterna mencapai rongga hidung melalui arteri fasialis
dan maksilaris interna yang merupakan cabang dari arteri karotis eksterna.
Pembuluh darah sfenopalatina merupakan cabang arteri maksilaris interna,
sebagian besar rongga hidung diperdarahi oleh arteri ini. Arteri ini memasuki
rongga hidung di ujung posterior konka media untuk memerdarahi bagian
dinding lateral hidung dan juga memberi cabang ke septum. Salah satu cabang
terminal arteri fasialis adalah cabang superior arteri labialis, yang
memerdarahi dasar anterior hidung dan anterior septum melalui cabang
septal. Arteri maksilaris interna, setelah memasuki fosa pterigopalatina
memberi cabang - cabang , arteri alveolar superior, arteri palatina desenden,
arteri infra orbita, arteri sfenopalatina, arteri pterigoid dan arteri faringeal.
Arteri palatina desenden memasuki rongga hidung melalui kanalis palatina
mayor untuk memerdarahi dinding lateral hidung dan juga memerdarahi
septum mealalui cabang septal.
Arteri karotis interna memerdarahi rongga hidung melalui arteri
oftalmika, cabang arteri ini adalah arteri etmoid posterior. Litle’s area
lokasinya di bagian anterior septum hidung, terdapat anastomosis submukosa
pembuluh darah yang banyak dari cabang arteri karotis eksterna dan interna.
Perdarahan banyak berasal dari area ini karena pembuluh darah yang banyak
dan daerah ini terekspos keluar. Anastomosis terjadi antara cabang arteri
sfenopalatina, arteri palatina mayor, arteri labialias, dan arteri etmoid
anterior, anyaman pembuluh darah ini disebut juga plexus Kiesselbach.
Perdarahan di daerah ini akibat mukosa kering sering terjadi di daerah ini, dan
daerah ini mudah untuk di korek - korek.

Pengobatan
- Dilakukan pemeriksaan hidung untuk menentukan lokasi perdarahan,
dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior menggunakan spekulum hidung,
lampu kepala dengan cahaya yang baik, hidung diperiksa. Kavum nasi
dibersihkan, darah dan bekuan darah dihisap dengan penghisap dengan
ujung penghisap yang khusus, sehingga visualisai rongga hidung
maksimal.
- Tampon anterior. Pengobatan dengan topikal dekongestan karena side
efect nya minimal, sering digunakan sebagai first line terapi epistaksis.
Dilaporkan penggunaan topikal oxymetazolin di ruang emergensi
didapatkan hasil yang baik sekitar 65-75% kasus, namun penggunaannya
harus hati - hati pada kasus hipertensi, terutama pada pasien yang sangat
cemas dengan perdarahan yang profus, di samping itu juga obat tidak dapat
mencapai target daerah yang berdarah saat kavum nasi penuh darah.

- Pemberian obat anti perdarahan dapat membantu menghentikan darah


untuk sementara. Mimisan yang tidak berhenti dengan tindakan sederhana
seperti penekanan daerah hidung dengan ibu jari, maka perlu dilakukan
penghentian perdarahan dengan menggunakan kauter pada lokasi
perdarahan. Kauterisasi merupakan tindakan menutup pembuluh darah
yang terbuka sebagai sumber perdarahan dengan menggunakan alat.

Langkah Pencegahan
- Berhati-hati saat mengorek hidung dan tidak mengorek hidung terlalu
dalam.
- Hindari membuang ingus terlalu kencang.
- Berhenti merokok, karena rokok dapat mengurangi kelembapan hidung
dan meningkatkan risiko terjadinya iritasi hidung.
- Menjaga kelembapan bagian dalam hidung, dengan mengoleskan
petroleum jelly (petrolatum) di dinding lubang hidung sebanyak tiga kali
sehari.
- Rutin memeriksakan diri ke dokter jika sedang mengonsumsi obat-obatan
pengencer darah, seperti warfarin atau aspirin.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, N. A. & J. B. Reece. (2008). Biologi, Edisi Kedelapan Jilid 3.
Terjemahan: Damaring Tyas Wulandari. Jakarta: Erlangga.
Marbun, E. (2017). Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis. Jurnal
Kedokteran Meditek, 23(62). DOI:10.36452/jkdoktmeditek.v23i62.1556
Farbiszewski, R. & Kranc, R. 2013. Olfactory Receptors and the Mechanism of
Odor Perception. Polish Annals of Medicine 20(1):51-55. DOI:
10.1016/j.poamed.2013.02.002
Irawati, L. (2012). Fisika Medik Proses Pendengaran. Majalah Kedokteran
Andalas, 36(2), 155-162.
Kusuma, Anna Mailasari. 2021. “Sering Mimisan, Berbahayakah?”.
https://www.rskariadi.co.id/news/369/SERING-MIMISAN-
BERBAHAYAKAH/Artikel. Diakses pada tanggal 3 April 2021
https://bio1152.nicerweb.com/Locked/media/ch50/taste.html (diakses pada: 4
April 2021, pukul 17.00 WIB)
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542239/ (diakses pada: 5 April 2021,
pukul 08.00 WIB)
hellosehat.com. (2020, 22 Desember). Strabismus (Mata Juling). Diakses pada
3 April 2021, dari https://hellosehat.com/mata/gangguan-
penglihatan/strabismus/
https://www.alodokter.com/pupil-mata-si-hitam-yang-peka-terhadap-cahaya
http://tecnologiamedicaoftalmo.blogspot.com/2017/03/pupila.html

Anda mungkin juga menyukai