A. POSISI KASUS
Pada tahun 2016 di Sumatera Selatan telah berlangsung penerimaan calon siswa bintara
Polri. Bahwa Mantan Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan (Bid Dokkes) Polda Sumatera Selatan
Komisaris Besar (Purn) Soesilo Pradoto bersama rekannya Ajun Komisaris Besar Syaiful Yahya yang
pada saat itu menjabat sebagai Kasubbid Kespol Bid Dokkes Polda Sumatera Selatan sekaligus
Sekretaris Panitia Pemeriksaan Kesehatan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan
pidana korupsi secara bersama-sama dengan menerima suap sebesar Rp.6,05 miliar.
Berdasarkan fakta persidangan, Soesilo terbukti menerima suap dari 50 calon siswa dalam
penerimaan anggota brigadir polri, bintara penyidik pembantu, dan bintara umum.
Praktek suap tersebut, telah diatur sejak awal saat siswa yang lulus seleksi penerimaan
bintara Polda Sumsel harus membayar uang masing-masing sebesar Rp250 juta. Untuk bisa
lulus tes bidang kesehatan, Soesilo mematok harga Rp20 juta per orang.
"Semua calon yang ingin meminta bantuan harus berkoordinasi dengan AKBP Syaiful Yahya.
Terdakwa Saiful pun berkoordinasi dengan panitia bidang lain yakni bidang tes akademi,
jasmani, dan psikologi. Caranya dengan menitipkan nomor peserta yang perlu diluluskan
karena sudah membayar sejumlah uang," ujar Abu Hanifah.
Dari 50 orang calon siswa yang memberikan suap hingga Rp6,05 miliar, hanya 25 orang yang
lulus. Kepada 25 orang yang tidak lulus, uangnya dikembalikan oleh Syaiful namun hanya
sebesar Rp350 juta. Sisa uang masih di tangan Saiful.
Dari hasil suap tersebut, Soesilo terbukti menerima uang Rp3 miliar dari Saiful dan Rp350
juta dari salah satu anggota panitia berinisial dr MS. Uang itu dianggap sebagai dana
operasional Soesilo sebagai ketua panitia.
Sementara sisa uang lainnya diserahkan kepada ketua panitia bidang psikologi berinisial ED
sebesar Rp 1 miliar dan ketua panitia bidang jasmani berinisial TA sebesar Rp300 juta.
Sementara ketua tim panitia tes akademik hanya berupa barter.
Atas kasus tersebut pun pengadilan menyita sejumlah barang bukti seperti uang hasil suap
sebesar Rp2,2 miliar yang dirampas untuk negara.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A/Khusus Palembang menjatuhkan vonis lima tahun
penjara dan denda Rp200 juta terhadap mantan Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan (Bid
Dokkes) Polda Sumatera Selatan Komisaris Besar (Purn) Soesilo Pradoto atas
kasus suap penerimaan calon siswa bintara Polri 2016.
B. ANALISIS
Menurut Yurisprudensi :
a. Putusan Hoge Raad tanggal 25 April 1916 mengartikan maksud dari “hadiah”
adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai. Sama halnya seperti yang dimaksud
pada Pasal 5, “sesuatu” tersebut baik berupa benda berwujud, misalnya mobil,
televisi, atau tiket pesawat terbang atau benda tidak berwujud, misalnya hak yang
termasuk dalam Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) maupun berupa fasilitas untuk
bermalam di suatu hotel berbintang.
b. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 19 November 1974 Nomor 77K/Kr/1973
menyatakan bahwa terdakwa dipersalahkan melakukan tindak pidana korupsi c.q.
menerima hadiah, walaupun anggapannya uang yang ia terima itu dalam
hubungannya dengan kematian keluarganya, lagi pula penerima barang-barang itu
bukan terdakwa melainkan istri dan/ atau anak-anak terdakwa.
Pengertian “Janji”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional, kata “janji” mengandung pengertian sebagai berikut :
4. “…….. dsb” ;
Mengacu dari pengertian “menerima hadiah atau janji” tersebut, maka perbuatan
menerima sesuatu hadiah atau janji berupa benda dinyatakan selesai jika nyata-nyata
benda itu telah diterima oleh yang menerima baik secara langsung maupun melalui
orang lain, dengan demikian diperlukan syarat telah beralih kekuasaan atas benda itu ke
tangan yang menerima.
Unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”.
MAHRUS ALI dalam bukunya Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi,
penerbit UII Press, 2013 pada halaman 142-143 menyatakan unsur “diketahui”
menunjukkan kepada aspek kesengajaan (dolus), sedangkan unsur “patut diduga”
menunjukkan pada pro parte dolus proparte culpa, unsur “diketahui atau patut
diduga” harus diarahkan kepada perbuatan menggerakkan pegawai negeri atau
penyelenggara negara agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Menurut ADAMI CHAZAWI dalam bukunya Hukum Pidana Meteriil dan Formil
Korupsi di Indonesia, Bayumedia, 2005 pada halaman 192 menyatakan bahwa unsur
“diketahui atau patut diduga” adalah unsur “kesalahan” si pembuat dalam korupsi
menerima suap Pasal 12 huruf a ini. Unsur kesalahan ini ada dua bentuknya, yaitu :
”Kata “menggerakkan” dalam Pasal 12 huruf a ditafsirkan atau memang tidak sama
artinya dengan kata menganjurkan dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP, sehingga
meliputi cara-cara yang dikemukakan oleh Hazewinkel-Suringa yaitu disamping telah
ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP, “menggerakkan” dapat pula
dengan cara misalnya memberi sugesti (yang bersifat mengajak orang lain supaya
melakukan suatu delik), berbicara secara meyakinkan (overreding), pura-pura
menasihati orang supaya tidak berbuat (schijbare ontrading), memohon secara
memilukan hati (smeekbeden), menceritakan sesuatu dengan membesar-besarkan
hasil yang dapat dicapai (succesverhalen) dan lain-lain”.
MAHRUS ALI dalam bukunya Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi,
penerbit UII Press, 2013 pada halaman 143 menyatakan menggerakkan memiliki arti
bahwa pelaku mempengaruhi kehendak pegawai negeri atau penyelenggara negara
agar kehendak mereka itu terbentuk sesuai dengan apa yang diinginkan atau
dimaksudkan oleh orang yang menggerakkan.
ADAMI CHAZAWI dalam bukunya Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia Cetakan kedua, April 2005, Penerbit Bayumedia, halaman 191- 193
menyatakan:
“Perbedaan suap aktif (Pasal 5) dengan suap pasif seperti Pasal 12 huruf a adalah
“Inisiatif adanya suap dianggap selalu datang dari pembuat suap aktif atau orang
yang menyuap. Di sini tampak bahwa inisiatif suap itu berasal dari pemberi suap”.
“Kata “menggerakkan” berasal dari kata bewegen (Belanda) dalam rumusan Pasal
419 ayat (1) KUHP yang artinya mempengaruhi kehendak orang lain agar kehendak
orang lain itu terbentuk sesuai dengan apa yang diinginkan/dimaksud oleh orang
yang menggerakkan. Orang yang menggerakkan menurut Pasal 12 huruf a ialah
orang yang menyuap bukan orang yang menerima hadiah atau janji, yang ditujukan
agar pegawai negeri yang menerima hadiah atau suatu janji terbentuk kehendaknya
untuk berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya.
C. REKOMENDASI
Bahwa demi kemaslahatan kemanusiaan dan demi keamanan negara Indonesia sebaiknya
kedua terdakwa dijatuhkan vonis paling berat yaitu kurungan selama dua puluh tahun penjara.
Karena jika hanya dijatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda 200juta rupiah tidak membuat
para pelaku jera akan kasus yang dialami dan demi meminimalisir kesamaan kasus yang terjadi.