Anda di halaman 1dari 10

SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

UJUNG SENJA PABRIK-PABRIK GULA DI BATAVIA


AWAL ABAD KE-18

Huddy Husin

Program Studi Pendidikan Sejarah, FIPPS


Universitas Indraprasta PGRI
Email: hudi0212@gmail.com

ABSTRACT

Transitional forms of commodities in the international market from the beginning of spice to the
sugarcane (sugar), tea, rubber and others responded by the colonial Dutch East Indies with a test and
cultivation of plant species of the commodity. Sugarcane is one of the plants which are priorities for
the Dutch East Indies colonial government to be managed and produki (although the number is still
minimum scale), this attempt to force the colonial government to involve other communities, especially
Tioghoa who have skills in managing sugarcane crop. Not only felt the sweet result of the production
of sugar cane (sugar) but the journey also gives a lot of negative consequences such as criminal
tendency and resistance to the colonial government conducted by the Chinese. This paper tries to
explain how the effort to membangu industrialization of the sugar cane plant culminate in a social
movement, then the direction of its development would benefit the colonial government. Through this
article also hoped we can learn how the logical consequence of industrialization itself, and preparing
for its development direction in order not to evolve towards a state that is destructive.

Keyword :Sugar Factory, Batavia

ABSTRAK

Peralihan bentuk komoditi di pasar internasional dari semula rempah-rempah menuju tanaman
tebu (gula), teh, karet dan lain sebagainya direspon oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda
dengan melakukan uji coba dan pembudidayaan jenis-jenis tanaman komoditi tersebut. Tebu
adalah salah satu tanaman yang menjadi prioritas bagi pemerintah kolonial Hindia-Belanda
untuk dikelola dan produki (meski dalam jumlah skala yang masih minimum), upaya ini
memaksa pemerintah kolonial untuk melibatkan kelompok masyarakat lain khususnya
Tioghoa yang memiliki keterampilan dalam mengelola tanaman Tebu. Tidak hanya dirasakan
manis hasil dari produksi tebu (gula) akan tetapi dalam perjalanannya juga memberikan
banyak konsekuensi yang bertendensi negatif seperti kriminalitas dan perlawanan kepada
pemerintah kolonial yang dilakukan oleh etnis Tionghoa. Tulisan ini mencoba menerangkan
bagaimana usaha untuk membangu industrialisasi tanaman tebu tersebut berujung pada
sebuah gerakan sosial, yang kemudian arah perkembangannya justru menguntungkan
pemerintah kolonial. Melalui tulisan ini pula diharapkan kita dapat belajar bagaimana
konsekensi logis dari industrialisasi itu sendiri, dan mepersiapkan arah perkembangannya agar
tidak berkembang menuju keadaan yang bersifat destruktif.
Kata kunci : Pabrik Gula, Batavia

- 139 -
SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

PENDAHULUAN Tengah (Surakarta dan Yogyakarta).


Dengan dibentuknya wilayah-wilayah industri
Beberapa barang-barang komoditi yang perkebunan baru tersebut, maka beberapa pabrik-
menjadi primadona pada awal abad ke-16 seperti pabrik awal yang menjadi perintis awal bagi
rempah-rempah, kapas, beras, hasil laut dan lain pengusahaan tebu dan gula di Batavia,
sebagainya menjadi ciri khas yang memberikan berangsur-angsur mulai menghilang dan
identitas tersendiri bagi aktivitas perdagangan di berpindah. Hal ini sesuai dengan ketetapan dari
Nusantara. Kemajuan teknologi dan peralihan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang
kebutuhan pasar internasional terhadap barang- menetapkan Batavia hanya sebagai pusat
barang komoditi perdagangan, memberikan perniagaan, pusat pemukiman orang-orang Eropa
perubahan pula secara mendasar tentang jenis dan pusat pemerintahan, bukan sebagai wilayah
tanaman yang diproduksi di Nusantara. Rempah- Industri.
rempah yang sempat menjadi primadona di Berpindahnya areal industri perkebunan di
pasaran internasional, perlahan demi perlahan Batavia, secara umum berlangsung pada awal
digantikan dengan tanaman komoditi lainnya, abad ke-18, setelah momentum berakhirnya
seperti : gula, kopi, tembakau dan kopra. Hal ini Perang Jawa, dan setelah perjanjian giyanti (yang
secara umum terjadi pada akhir abad ke-17, di memisahkan dua kerajaan besar di Jawa Tengah,
Nusantara fenomena ini ditandai dengan Surakarta dan Yogyakarta). Pembahasan
dimusnahkannya beberapa tanaman rempah- mengenai masa akhir keberadaan pabrik-pabrik
rempah yang berada di wilayah Nusantara bagian gula di Batavia dipandang sangat menarik, hal ini
timur (Maluku) oleh perwakilan pemerintahan didasarkan atas : pertama, hilang dan
VOC. berpindahnya pabrik-pabrik gula di Batavia
Keberhasilan atas percobaan VOC merupakan sebuah fenomena tersendiri yang
terhadap upaya penanaman tanaman tebu, berlaku dalam hukum-hukum sosiologi
tembakau dan kopi di wilayah Jawa, menjadi perkotaan. Naik dan berkembangnya aktivitas
titik awal bagi peralihan produksi tanaman sosial-ekonomi sebuah masyarakat dalam
komoditi di Nusantara. Batavia yang telah wilayah tertentu, akan memberikan dampak pada
menjadi pijakan awal bagi VOC di Jawa, penyusunan ulang beberapa kelengkapan
menjadikannya wilayah percobaan untuk infrastruktur kota, yang diorientasikan kepada
memproduksi tanaman-tanaman yang laku dalam kebutuhan hidup penduduk diwilayah tersebut.
pasaran internasional. Pada tahun 1648, seorang Kedua, persoalan mengenai berpindahnya
pengusaha Belanda yang bernama Anthony pabrik-pabrik gula di pinggiran Batavia, dalam
Paviljoen, menyewa beberapa luas tanah yang diskursus sejarah juga ditandai dengan
berada di pinggiran Batavia (Weltevreden) dan kemampuan atau adaptasinya manusia terhadap
mengusahakan pertanian dan peternakan dengan ekologi yang mengitari dirinya. Hal tersebut
seorang China yang bernama Phoa Bing Am. dijelaskan oleh Kuntowijoyo dalam bukunya
Usaha mereka untuk menanam tebu dan proses yang berjudul Budaya dan Masyarakat.
pengolahan menjadi komoditi gula mencapai Masyarakat memiliki kemampuan dalam
keberhasilan, dimana kemudian hasil-hasilnya mengelola dan beradaptasi terhadap lingkungan
diperjual-belikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (lingkungan, fisik, lingkungan alam
gula di Batavia dan untuk kepentingan ekspor ke dan lingkungan simbolik). Ketiga, persoalan
Negeri Induk. mengenai tata–kelola lingkungan dan ekologi
Seiring dengan semakin meluasnya daerah sebuah kota merupakan persoalan yang cukup
jajahan VOC dan pemerintah kolonial Hindia- menarik ditinjau melalui ilmu sejarah, karena
Belanda (sesudah perang Jawa), perluasan daerah akan dilihat segi-segi yang mempengaruhinya
penanaman tanaman komoditi tebu semakin luas. serta dapat melihat continuitas dari arah
Hal tersebut juga diiringi pula kesuksesan dan perkembangannya.
keuntungan yang besar hasil penjualan gula di Melalui penulisan ini diharapkan dapat
pasar internasional oleh pemerintah Hindia- memberikan uraian dan penjelasan mengenai
Belanda. Pembangunan pusat-pusat industri baru perubahan morfologi kota, khususnya yang
mulai dibuka dibeberapa wilayah lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial-ekonomi
berada jauh dari wilayah Batavia, seperti masyarakat kota di Batavia (kini Jakarta).
Bandung, Cirebon, hingga ke wilayah Jawa Penelitian ini juga akan mencoba untuk membuat
kita untuk berfikir ulang mengenai bagaimana

- 140 -
SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

seharusnya mengelola kota Jakarta kedepan, dan perkebunan ada disepanjang selatan dan
sesuai dengan takdir historisnya sebagai kota sebelah timur wilayah Batavia. Batavia
kolonial, yang menjadi pusat bagi kehidupan umumnya dikenal sebagai wilayah administrasi
niaga, pemukiman dan pemerintahan. pemerintahan dari pada sebagai wilayah
perindustrian dan perdagangan. Hal ini dapat
dimaklumkan karena di Batavialah pusat
PEMBAHASAN pemerintahan kolonial Belanda saat itu, yakni
dengan berdirinya kantor pusat Gubernur Jendral
Kondisi Geografis dan Ekologi Batavia sebagai perwakilan dari negeri induk Belanda
(saat ini kita kenal dengan museum Fatahillah).
Jakarta (dahulu Batavia) pada awalnya Selain sebagai sentral kekutan politik
sebagai sebuah kota pusat perdagangan yang pemerintah kolonial Belanda, Batavia juga
didirikan oleh VOC dan Pemerintah kolonial menjadi tempat yang strategis bagi
Belanda. Wilayah ini dipilih oleh Belanda karena pengembangan sektor perekonomian. Hal ini
letaknya yang strategis dalam wilayah disebabkan posisinya yang berdekatan dengan
perdagangan. Disebelah barat berdiri kerajaan daerah-daerah penghasil pertanian dan
Banten yang saat itu menjadi pusat perdangan perkebunan yakni daerah-daerah hinterland.
dengan orang-orang atau pedagang dari pulau Depok, Bogor, Bekasi, dan daerah terluar Banten
Sumatera. Sementara disebelah timur terdapat bagian barat sebagai daerah penyuplai hasil
kerajaan Cirebon, yang menjadi salah satu bumi. Dengan demikian Batavia dapat
wilayah perdagangan yang besar di pesisir utara melakukan kontrol dan pengawasan secara
pulau jawa. Kota Batavia bersebelahan dengan langsung dan ketat terhadap daerah-daerah
Bekasi, Cakung sebagai distrik dari wilayah Jati penghasil pertanian dan perkebunan. Berangkat
Negara disebelah timur. Di sebelah barat dari kata kunci yakni control dan pengawasan,
Batavia berbatasan dengan wilayah Banten. maka kemudian Batavia mengambil peran
Untuk sebelah selatan Batavia berbatasan dengan sebagai kota pusat administratif / pemerintahan
wilayah-wilayah seperti Depok, Bogor dan dalam kerangka mendukung misi negeri induk
sebagian wilayah Banten sementara bagian Utara Belanda yakni sebagai basis penyokong
Batavia berbatasan langsung dengan laut Jawa kehidupan negeri induk. Van den Bosch
dan Kepulauan Seribu. menggunakan konsep ini di Nusantara sebagai
Batavia masa penjajahan kolonial Belanda tempat mengambil keuntungan bagi negeri
memiliki luas sekitar 10 sampai dengan 12 induk, atau seperti yang dikatakan Baud “gabus
Kilometer, menurut catatan kependudukan pada tempat Nederland mengapung”, dengan kata lain
awal abad ke-19 Batavia memiliki jumlah Jawa dipandang sebagai sapi perahan
penduduk sebesar 103.513 jiwa, dengan rincian (Kartodirjo, 1993 : 305).
sebagai berikut Belanda ± 1.363 jiwa Eropa Golongan etnik yang terbesar di
lainnya ± 5.175 jiwa, China ± 24.000, Arab dan Batavia adalah Betawi yang kebanyakan
India ± 100 jiwa dan orang-orang dari Nusantara berdiam di daerah pesisir, sementara itu
(Indonesia) ±78.000 (Abeyasekere, 1989 : 57- orang-orang yang berasal dari Sunda
65). Daerah yang paling padat jumlah mendiami daerah disebelah selatan dan
penduduknya ialah sepanjang wilayah pelabuhan
orang-orang seperti dari Jawa, Sumatera,
sunda kelapa (saat ini bernama Muara Angke/
Pasar Ikan). Berkaitan dengan kepadatan Madura, Makasar, Bali dan etnis lainnya
penduduk ialah keadaan penggarapan tanah, tersebar secara merata diseluruh wilayah
yang pada akhirnya sangat tergantung kepada Batavia. Selain orang-orang dari Nusantara,
lingkungan fisik. Sepanjang wilayah kota Jakarta juga terdapat beberapa ernis lain yang
yang secara umum berbentuk dataran-dataran berasal dari luar Nusantara, selain tentunya
rendah, dimana pada awalnya yakni masa orang Eropa (Belanda) seperti Arab, China,
pemerintahan kolonial Hindia –Belanda diluputi Jepang, India yang jumlahnya tidak terlalu
oleh areal persawahan dan perkebunan guna banyak. Kedatangan orang-orang asing ke
kepentingan ekonomi kolonial, jenis-jenis sawah Nusantara, khsusnya di Batavia saat itu tidak
yang dapat dijumpai ialah sawah tadah hujan lain adalah untuk berdagang dan membuka
yang bergantung pada musim. Daerah-daerah
lahan pertanian dan perkebunan, hasil dari
yang menjadi sentral daerah industri pertanian

- 141 -
SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

penerapan UU Agraria (Agrarische wet) Batavia, dan sebagian wilayah pedalaman di


tahun 1870 yang memperbolehkan orang- Batavia. Fenomena ini pula yang mungkin saja
orang asing (investasi) asing untuk masuk secara tepat dijelaskan oleh Leonard Blusse
kedalam Nusantara membuka lahan industri sebagai persekutuan aneh antara penguasa Eropa
dengan etnis Tionghoa di Batavia (Blusse, 2004:
pertanian dan perkebunan.
xii).
Kebijakan Kolonial Terhadap Industri Masuknya para imigran yang datang
Gula di Batavia Abad ke-18 secara bergelombang ke wilayah Batavia sebagai
konsekuensi dari kesepemahaman antara
penguasa VOC dengan tokoh-tokoh etnis
Pasar internasional pada akhir abad ke-17
Tionghoa memberikan dampak terhadap
menunjukkan perubahan permintaan dalam hal
bertambahnya jumlah pupolasi orang-orang Cina
jenis komoditi perdagangan, dimana gejala
di Batavia. Blackburn (2011: 36) menjelaskan
tersebut terwujud dalam bentuk penurunan
bahwa pada tahun 1674 orang-orang Cina yang
permintaan terhadap komoditi rempah-rempah.
tinggal di wilayah Batavia sebanyak 2.747 orang,
Penurunan dan perubahan permintaan terhadap
dan pada tahun 1739 jumlah mereka meningkat
komoditi rempah-rempah, bukan hanya terjadi
pesat hingga mencapai angka 4.389 orang.
karena over produksi komoditi rempah-rempah,
Pertumbuhan populasi imigran Cina ini pula
akan tetapi juga dikarenakan munculnya satu
yang kemudian menuntut adanya pembukaan
komoditi perdagangan yang menjadi primadona
wilayah-wilayah baru untuk bermukim dan
baru, yakni gula. Permintaan terhadap komoditi
berusaha bagi mereka, kebutuhan tempat-tempat
gula di pasar internasional, memaksa para
peribadatan dan lain sebagainya. Bahka mungkin
wilayah-wilayah di Asia khususnya di Nusantara,
pula pertumbuhan populasi ini, yang kelak juga
penguasa lokal dan VOC bersepakat untuk
akan menjadi salah satu faktor bagi meletusnya
menghancurkan tanaman rempah-rempah dengan
perlawanan/ pemberontakan orang-orang Cina
jalan membakarnya.
dipenghujung abad ke-17.
Pemusnahan terhadap tanaman rempah-
Kehadiran tenaga-tenaga terampil dalam
rempah di beberapa wilayah di Nusantara, seperti
membangun produksi gula di Batavia, telah
yang terjadi di wilayah Maluku, dilakukan oleh
memberikan jalan bagi VOC untuk mempercepat
VOC untuk menyelamatkan perekonomian VOC.
usaha tersebut dengan jalan menetapkan
Pemusnahan tanaman rempah-rempah tidak
kebijakan mengenai kependudukan (demografi)
hanya akan meredam menurunnya suplai di
dan ketentuan-ketentuan mengenai sistem sewa
pasaran internasiona, akan tetapi mencoba untuk
tanah. Langkah-langkah yang ditempuh oleh
menanam tanaman komoditi lainnya seperti
VOC dalam menyusun produksi gula pertama-
kelapa, karet, teh dan lainnya. Upaya lainnya
tama ialah dengan membuka lahan seluas-
yang dilakukan oleh VOC guna membangun
luasnya di sekitar daerah terluar Batavia
produksi gula di wilayah kekuasaannya
(Omenlanden). Wilayah di sekitar luar Batavia
khususnya di Batavia, yakni dengan
merupakan daerah yang kemudian dilakukan
mendatangkan para tenaga terampil yang berasal
sistem sewa tanah, dengan peraturan yang cukup
dari Cina. Fenomena inilah yang dikatakan oleh
mengikat. Terjadi tiga hubungan yang mendasar
Susan Blackburn sebagai upaya membangun
dalam sistem sewa tanah tersebut, antara lain
Batavia dengan bantuan orang-orang Cina
VOC, Pengusaha Cina dan Penduduk Pribumi.
(Blackburn, 2011: 33).
Segi tiga hubungan relasi produksi
VOC berupaya merangkul orang-orang
tersebut, merupakan jenis pola relasi yang sangat
Cina untuk datang dan membantu VOC untuk
bertolak belakang dengan pola relasi produksi
membangun Batavia, dengan jalan memberikan
dari sistem ekonomi kapitalisme di Eropa. Pada
memerikan para tokoh Cina jabatan sebagai
model atau pola hubungan relasi di Eropa,
kapiten dan letnan (Suratminto, 2004: 16). Upaya
hubungan produksi hanya terjadi antara
ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari
pengusaha dan kaum buruh, sementara itu
keasadaran pemimpin VOC, bahwa orang-orang
kelompok aristokrat menjadi fasilitator dan
Cina telah lama berdagang dan bermukim di
melindungi aktivitas ekonomi yang berjalan.
wilayah Jayakarta. Kemampuan orang-orang
Pada titik inilah kita dapat memahami bahwa
Cina ini pula yang mengantarkan terbukanya
dalam usaha untuk membangun produksi dan
pintu bagi orang-orang Cina untuk masuk ke
industrialisasi awal komoditi gula di Batavia,

- 142 -
SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

terdapat peran yang cukup besar dari kalangan wilayah ommelanden, diantaranya di kampung
pengusaha Eropa dan China. Dua kelompok Pagaraman, Pekojan, Patuakan, Anke dan
inilah yang menjadi pilar utama dalam Gudang Panjang (Bonda Kanumuyoso dalam
merealisasikan penyelenggaraan usaha gula di Titik Balik Historiografi Indonesia, 2008: 78).
Batavia, meskipun bukanlah satu hal mudah Wilayah-wilayah tersebut pada masa VOC
untuk diketahui siapa yang memiliki ide awal merupakan wilayah yang terkenal sebagai sentra
dan berusaha untuk membudi-dayakan tanaman perdagangan budak di Batavia.
tebu di Batavia. Seiring dengan dibukanya Batavia bagi
Pembukaan wilayah luar Batavia tersebut kedatangan etnis Tionghoa, perlahan-lahan
sebagai wilayah pertanian dan perkebunan tebu mulai dibukalah keran pembangunan industri
untuk industri gula di Batavia, memberikan gula di Batavia. Kedatangan etnis Tionghoa
konsekuensi berupa pertambahan jumlah etnis
disisi lain sebagai upaya untuk menjadi
Tionghoa yang masuk kedalam wilayah Batavia,
Batavia sebagai bandar baru perdagangan di
sehingga hal ini memunculkan kecemasan bagi
pemimpin VOC. Meskipun dilain sisi masuknya pesisir utara Jawa, juga dimanfaatkan pula
etnis Tionghoa kedalam wilayah Batavia juga oleh VOC sebagai tenaga terampil untuk
memberikan keuntungan bagi pemerintah VOC mengelola perkebunan tebu di Batavia.
dalam bentuk pemungutan pajak dan penugasan Menghadapi pertumbuhan dan
penjagaan ketertiban. Kepada para tokoh-tokoh perkembangan industri gula di Batavia, tidak
Cina yang telah memberikan jasa kepada VOC, dapat dipisahkan pula peran dari kelompok
pemerintahan VOC memberikan atau lainnya yakni kelompok pribumi baik yang
memudahkan para tokoh-tokoh tersebut untuk sejak lama bermukim di Batavia maupun
membeli tanah dan menyewa tanah di Batavia yang menjadi pendatang menetap maupun
(Yudisthira, Tempat dan Waktu tidak diketahui). temporal. Secara umum mungkin tidak
Tanah-tanah yang di dapatkan oleh orang-
terlalu sulit untuk menjelaskan dimana peran
orang Cina tersebut melalui praktek jual-beli
ataupun sewa dari VOC, dipergunakan oleh dan posisi dari kelompok masyarakat
orang-orang Cina tersebut untuk membangun pribumi dalam sektor industri gula di Batavia
perkebunan tebu, sebagian dipergunakan untuk (sebagai tenaga kerja dan pemasok tenaga
menanam padi dan jenis umbi-umbian lainnya. kerja), akan tetapi peran dan posisi yang
Selain berprofesi sebagai pemilik tanah tersebut, dimainkan terbilang cukup strategis dan
orang-orang Cina juga memiliki profesi lainnya, determinan.
yakni sebagai tukang kayu, dan pembuat arak Berkaitan dengan posisi dari kelompok
(Suratminto, 2004: 12). Berkaitan dengan pribumi dalam produksi gula di Batavia,
pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia kelompok pribumi diposisikan sebagai tenaga
bagi produksi gula di Batavia yang dilakukan kerja dalam produksi tersebut. Wujud konkrit
oleh etnis Tionghoa, sistem sewa tanah telah jenis pekerjaan tersebut adalah menjadi buruh
menopang kebutuhan sumber daya manusia dalam penanaman tebu, dimana secara khusus
tersebut. Berdasarkan sistem sewa tanah secara kemudian bertugas sebagai pemasok kayu bakar
umum yang berlaku sejak masa VOC hingga dalam industri penggilingan tebu dan melakukan
masa pemerintahan kolonial kelak, dalam sistem pengeringan terhadap batang-batang tebu yang
sewa tanah para penduduk pribumi yang siap diolah setelah panen (Furnivall, 2009: 43).
bermukim di atas tanah tersebut merupakan hak Semakin berkembangnya kebutuhan penopang
bagi sang penyewa tanah, digunakan untuk industri gula di Batavia, maka semakin besar
kepentingan penyewa tanah (sebagai petani pula dibutuhkan spesialisasi pekerjaan lain,
penggarap). seperti para pencari kayu bakar, buruh angkut,
Pada situasi yang berbeda, seandainya buruh pengeringan tebu, buruh penjaga areal
dalam tanah yang disewa oleh orang-orang Cina perkebunan selain para pekerja yang berada di
tersebut tidak terdapat penduduk pribumi yang dalam pabrik. Pencari kayu bakar, buruh angkut
bermukim, ataupun terjadi kekuarangan tenaga dan pengering merupakan jenis pekerjaan yang
penggarap, pengusaha etnis Cina dapat bisa di dapatkan oleh pribumi tanpa harus
memenuhi kebutuhan sumber daya manusia menjadi burh dalam pabrik gula. Mengenai
melalui pasar tenaga kerja (jual-beli budak). pendapatan yang di dapatkan oleh para pribumi
Pasar jual-beli budak di Batavia terdapat di yang berasal dari keberadaan industri gula di
- 143 -
SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

Batavia, dalam penelitian ini tidak di dapatkan menipis dan berkurang (terdapat pula kasus
laporan pasti dan data yang berhasil dihimpun. penanaman tebu di wilayah tandus, kurang subur
Sebagai gambaran penunjang mungkin dan mengakibatkan kerugian).
dapat di pahami mengenai pendapatan
masyarakat pribumi pada masa awal Peristiwa Geger Pecinan
pembangunan industri gula di Batavia ini, akan
sedikit membuat kita memiliki informasinya, Peristiwa perlawanan etnis Tionghoa di
beradasarkan laporan/ pernyataan yang diberikan Batavia ini merupakan sebuah peristiwa yang
oleh penelitian-penelitian terdahulu mengenai cukup unik jika ditinjau melalui perspektif
perkembangan industri gula di Batavia multidimensional. sebuah pertanyaan mendasar
(Yudisthira, Tempat dan Waktu tidak diketahui). dapat kita kemukakan disini, mengapa peristiwa
Furnivall menjelaskan bahwa pada tahun 1637 ini terjadi dan dilakukan oleh kelompok etnis
produksi gula menghasilkan 196 pikul, kemudian Tionghoa, bukan oleh kelompok pribumi yang
pada tahun 1653 menjadi 12.000 pikul. Leih mengalami penghisapan (penindasan) yang
lanjut menurut Furnivall, budidaya gula cukup besar. Pertanyaan ini akan coba dijelaskan
cenderung meluas pada 1710 dengan jumlah melalui penggambaran secara umum mengenai
pabrik yang mencapai 130 pabrik, dengan peristiwa pemberontakan orang Cina di Batavia
penghasilan hingga tahun 1779 mencapai pada tahun 1740. Hubungan dagang antara VOC
100.000 pikul panen (Furnivall, 2009: 43-44). dengan etnis Tionghoa sudah terjalin cukup lama
Sekiranya dan jauh sebelum VOC masuk dan berkuasa di
melalui pertambahan jumlah hasil yang diraih wilayah Batavia. Pertemuan dengan etnis
dalam produksi gula di Batavia yang mencapai Tionghoa secara menetap mulai berlangsung
ratusan ribu pikul di akhir abad ke-18 ketika pimpinan VOC di Batavia saat itu J.P.
memberikan kepada kita bahwa terjadi Coen memberikan tawaran bagi para pedagang
peningkatan ekonomi yang berkaitan dengan Cina untuk melakukan aktivitas perdagangan di
pendapatan para pribumi yang berasal dari kota Batavia, hal tersebut dilandasi oleh motif
industri gula di Batavia. Perubahan dan alternatif keuntungan perdagangan yang bisa di dapatkan
profesi yang bisa dilakukan oleh kelompok oleh VOC. Sartono menjelaskannya sebagai
pribumi menjadi semakin bervariasi, para politik “pintu terbuka”, dan kebijakan tersebut
penduduk pribumi tidak hanya bergantung dilakukan pada saat hubungan politik antara
kepada profesi sebagai petani saja, akan tetapi VOC dan Banten sedang memanas (Kartodirjo,
juga bisa menjadi buruh pabrik, buruh angkut 1993: 220).
dan buruh pengering pada pabrik-pabrik gula di Pada tahun 1705 permintaan pasar
Batavia. inetrnasional terhadap komoditi perdagangan
gula semakin meningkat, dan hal ini semakin
Situasi dan Peristiwa Politik di Jawa Abad ke- menambah daftar panjang masuknya imigran
18 Cina kedalam wilayah Batavia. Semakin
berkembangnya populasi etnis Tionghoa di
Pada perjalanannya pembukaan industri Batavia pada tahun 1739 sebanyak 10.574 orang
gula di Batavia memang cukup menguntungkan memberikan konsekuensi berupa persediaan
bagi VOC, akan tetapi kemudian terjadi lahan tempat tinggal dan lapangan pekerjaan
persoalan yang cukup serius dalam produksi gula semakin menyempit. Pada tahun 1739, etnis
tersebut. Sartono Kartodirjo menjelaskan bahwa Tionghoa yang datang merupakan kelompok
cukup banyak tanah yang disewakan menjadi pendatang yang tidak memiliki kecakapan
tanah partikelir dan diubah menjadi tempat bekerja, mereka melakukan perbuatan kasar,
penanaman tebu (Kartodirjo, 1993: 301). pencurian, penipuan dan tindakan tidak terpuji
Keadaan tersebut disatu sisi memacu lainnya (Vermeulen dalam Lilie Suratminto,
perkembangan dan peningkatan produksi dan 2004: 16).
keuntungan dari industri gula di Batavia, akan Keadaan sosial yang semakin tidak tertib
tetapi di sisi lain keadaan tersebut juga dan cenderung mengarah kepada distabilitas ini
memberikan konsekuensi berupa semakin semakin bertambah kacau pada saat harga gula di
berkurangnya bahan bakar (kayu bakar) sebagai pasar internasional menurun ( tahun 1722).
komponen utama pengolahan tebu menjadi gula, Merosotnya harga komoditi gula di pasar
serta ketersedian lahan tanah yang semaikn internasional, memberikan efek kejut yang cukup

- 144 -
SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

besar bagi keuangan VOC. Menurut Sartono perdagangan kota. Bagi para penduduk Cina
Kartodirjo (1993: 221) pada akhir tahun tiga yang masih bertahan dalam kota Batavia, dan
puluhan (Abad XVIII) VOC mengalami tidak terlibat dengan pemberontakan masih
kemunduruan, beban keuangan untuk menutuo toko-toko kelontong mereka, karena
menyelenggarakan pemerintahan di Batavia jauh takut dengan kebijakan penertiban yang
melampaui penerimaan, ada defisit terus- dilakukan oleh pemerintah VOC. Sementara itu
menerus. Hal ini direspon dengan kebijakan banyak juga toko-toko yang ditinggalkan oleh
VOC yang memberlakukan para penduduk etnis orang-orang Cina yang terlibat dalam
Tionghoa untuk memiliki surat lisensi dengan pemberontakan. Kejadian ini juga memberikan
membayar dua ringgit. Pendataan terhadap etnis dampak yang cukup besar bagi perkebunan dan
Tionghoa dan memberlakukan penangkapang pabrik tebu yang berada di Batavia, dilaporkan
terhadap oarang-orang Cina yang tidak memiliki bahwa kejadian tersebut telah
lisensi dilakukan oleh pemerintah VOC hingga membumihanguskan beberapa pabrik gula,
tahun 1740. Proses penangkapan yang cukup dengan cara di bakar.
besar dilakukan pada saat terjadi perayaan Imlek Menurut Vermuelen akibat perusakan dan
di Tanjung Priuk dan Bekasi, sebanyak kurang pembakaran pabrik gula tersebut, hanya tersisa
lebih 1000 orang ditangkap dan kemudian 82 pabrik dari 130 pabrik yang pernah
diangkut dan di deportasi ke wilayah Sailan beroperasi. 82 pabrik tersebut kembali digunakan
(Kartodirjo, 1993: 222). dan diberikan kepada orang-orang Cina yang
Kejatuhan komoditi gula di pasar tidak terlibat pemberontakan untuk melakukan
internasional, peningkatan jumlah penduduk usaha produksi gula kembali. Hal ini dilakukan
dalam kehidupan sosial di Batavia, serta prilaku untuk memenuhi kebutuhan gula di negeri
(budaya) politik pemerintah VOC yang Belanda yang mencapai konsumsi sebesar
cenderung pragmatis menghadapi persoalaan 7.821.144 pound. Sementara itu dari 82 pabrik
sosial-ekonomi menjadi semacam pemantik bagi yang masih dapat dioperasikan kemmbali,
terciptanya satu momentum peristiwa di Batavia. mampu memproduksi gula sebanyak 8.000.000
Maka pada tanggal 9 Oktober 1974 meletuslah pound (Yudisthira, tempat dan waktu tidak
peristiwa tragedi Angke. Pagi hari sekitar pukul diketahui). Keadaan yang demikian sempat
8 pagi para pemberontak Cina berkumpul di membuat jatuh penerimaan dan pendapatan VOC
gerbang kota Batavia untuk melakukan protes, dari sektor komoditi gula, akan tetapi peristiwa
akan tetapi dibawah pimpinan anggota Raad van tersebut memberikan hal positif pula bagi VOC
Indie (Dewan Hindia) von Imhoff dan van berkaitan dengan produksi gula, tingkat
Aerden, para pemberontak berhasil dikalahkan konsumsi gula di kota Batavia berkurang,
dengan bantuan persenjataan meriam-meriam meskipun tidak didapatkan laporan resmi dan
Belanda (Yudisthira, Tempat dan Waktu tidak jumlahnya, berkurangnya penduduk di Batavia,
diketahui). akibat pembunuhan dan deportasi yang dilakukan
Selain membunuh para etnis Tionghoa terhadap warga Cina, membuat pengurangan
yang melakukan penyerbuan ke pintu gerbang jumlah konsumsi gula untuk produksi arak
kota Batavia, pemerintah VOC juga melakukan
penangkapan kepada orang-orang Cina yang Mataram (Pakubuwono II melawan VOC)
masih hidup dan mendeportasi mereka ke Ceylon
(Suratminto, 2004: 21). Usaha lain juga Peristiwa perlawanan etnis Tionghoa di
dilakukan dengan melakukan pengejaran Batavia memberikan satu konsekuensi panjang
terhadap para kelompok pemberontak yang bagi upaya pemulihan keamanan di sekitar
melarikan diri ke wilayah lain diluar Batavia wilayah Batavia dan wilayah lainnya di pulau
(Kartodirjo, 1993: 224). Sejak tanggal 22 Jawa, yang bersinggungan dengan kepentingan
Oktober 1740, Gubernur Jendral Adrian VOC seperti Semarang dan Surabaya. Peristiwa
Valckenier menyatakan bahwa kondisi di dalam geger pecinan atau sebagain menyenbutkan
kota sudah aman dari peristiwa yang cukup besar sebagai tragedi Angke, seolah-olah menyulut
tersebut (Yudisthira, Tempat dan Waktu tidak permasalahan sebelumnya yakni perang antara
diketahui). Sultan Agung dari Mataram dengan pihak VOC
Sejak peristiwa tersebut berlangsung di Batavia. Sunan Paku Buwana II (selanjutnya
keadaan ekonomi di Batavia mengalami akan disingkat menjadi PB II) melakukan
kemunduran, diakibatkan oleh berhentinya perlawanan terhadap VOC dengan memberikan

- 145 -
SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

bantuan kepada para pemberontak, di wilayah menghadapi PB. II dari daerah Sukawati.
Semarang dan Surabaya. Pemberontakan dan perlawanan terhadap PB. II
Setelah pemberontakan yang terjadi di semakin besar, dan ini dianggap sebagai fakta
wilayah Semarang dan Surabaya dapat di atasi atas upaya kudeta yang akan dilakukan oleh para
oleh pemerintah VOC, kemudian memaksa PB. pangeran lain terhadap kekuasaan PB. II. Pada
II untuk berhadapan secara langsung dengan perkembangannya PB. II meminta bantuan
VOC. Keadaan ini semakin membuat PB. II kepada VOC untuk mengamankan kekuasaannya
kesulitan, dikarenakan pihak pemerintah VOC, dan menjaga tahta kerajaan bagi anaknya yakni
memberikan informasi kepada PB. II mengenai PB. III. Sebelum wafat PB. II membuat
rencana kudeta yang akan dilakukan oleh para perjanjian dengan VOC, bahwa VOC akan
pangeran lainnya yang sudah terbuang terhadap membantu PB. II untuk menumpas perlawana
kekuasaan yang dimiliki PB. II. Keadaan inilah Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said,
yang kemudian membuat PB. II untuk kembali serta melakukan penjagaan dan perlindungan
berunding dan mengikat kerjasama dengan terhadap proses suksesi PB. III menuju tahta
pemerintah VOC, serta melakukan pembersihan Kerajaan Mataram (Ricklefs, 2011: 148).
terhadap perlawanan yang dilakukan oleh Raden Perjanjian tersebut juga disertasi dengan
Mas Said (Ricklefs, 2011: 147). kompensasi diberikannya kekuasaan atau vasal
Perlawanan yang dilakukan oleh Raden Mataram yakni wilayah Priangan dan sebagian
Mas Said, merupakan perlawanan yang wilayah Jawa bagian Timur kepada VOC,
dilakukan kepada PB. II untuk mengkritisi sebagai imbalan untuk melaksanakan perjanjian
ketidak konsitenan PB. II terhadap perlawan tersebut.
kepada VOC. Raden Mas Said adalah putra PB. Selain pemberian wilayah tersebut, PB II
I, tidak lain adalah kemenakan PB. II, yang juga berjanji agar raja selanjutnya
bergabung dengan pemberontak Cina melawan mengutamakan perjanjian dengan pihak VOC,
VOC atas titah sang paman (PB. II). Setelah bilama mana akan naik tahta dan di dahului
pemberontakan selesai, Raden Mas Said tidak dengan kesepakatan perjanjian sebelum nak
kembali ke Keraton, akan tetapi mundur ke tahta. Mendengar perjanjian yang dilakukan oleh
daerah Sukawati (sebelah timur Sala sampai PB. II dengan pemerintah VOC, Pangeran
lereng Gunung Lawu). Dari daerah itu Raden Mangkubumi dan Raden Mas Said semakin
Mas Said melakukan perlawanan terhadap PB. II, gencar melakukan perlawanan. Perlawanan yang
sementara itu di lain sisi PB. II meminta bantuan berangsung cukup lama membuat VOC berfikir
kepada Pangeran Mangkubumi untuk meredam keras untuk dapat menertibkan keadaan, maka
perlawanan terhadap pemeberontakan Rden Mas dilangsungkalah mediasi antara VOC,
Said, dan dijanjikan akan diberikan wilayah Sala perwakilan Susuhunan Mataram dengan Raden
hingga lereng Gunung Lawu kepada Pangeran Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. Perjanjian
Mangkubumi (Ricklefs, 2011: 146). tersebut berlangsung pada 12 Februari 1755, di
Pangeran Mangkubumi pada akhirnya sebuah desa yang bernama desa Giyanti
dapat menangkap Raden Mas Said, dalam satu (Kartodirjo, 1993: 233).
dialog Raden Mas Said bertanya kepada Melalui seragkaian peristiwa politik
Pangeran Mangkubumi, bagaimana seorang tersebut, VOC sudah hampir menguasai sebagain
Pangeran dapat menjadi dan membatu seorang pulau Jawa yang didapatkan melalui keterlibatan
Raja yang tidak memiliki konsistensi. Sebelum VOC dalam peristiwa suksesi pemimpin lokal di
diserahkannya Raden Mas Said kepada PB. II, Jawa (Mataram). Luasnya daerah kekuasaan dan
Pangeran Mangkubumi menghadap PB. II dalam manajemen yang kurang baik, membuat VOC
satu jamuan acara, yang juga di hadiri oleh menghadapi masa akhir dari kekuasaannya,
pimpinan VOC. Pada pertemuan tersebut, PB. II ditambah pula dengan masuknya imperium
mengatakan bahwa tanah lungguh yang akan Inggris ke wilayah VOC dan kemudian
diberikan melampaui batas dan diturunkan memegang penuh kontrol dan kekuasaan di
menjadi seribu cacah (Kartodirjo, 1993: 230). Hindia-Belanda, khususnya di Jawa. Keadaan-
Selepas petermuan tersebut, Pangeran keadaan yang demikian membuat VOC semakin
Mangkubumi meninggalkan Keraton dan tidak terpuruk dan membuat pemerintahan Kerajaan
memberikan Raden Mas Said kepada PB. II. Belanda di Negeri induk mengambil kebijakan
Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said membubarkan VOC dan menggantikannya
bersatu dan membangun aliansi untuk dengan perwakilan resmi Kerajaan Belanda

- 146 -
SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

dibawah pengawasan Mentri Tanah Jajahan. Cheribon dan pedalaman Jawa lainnya (hasil
Dengan berakhirnya kekuasaan VOC, maka penanaman Tebu di Batavia menurut Raffles
berakhir pula penanaman tebu yang hanya mencapai 6.000.000 pon).
tersentral di Batavia, hal ini dilakukan dengan Pada perjalanannya pembukaan industri
semakin luas dan besarnya kekuasaan pemerintah gula di Batavia memang cukup menguntungkan
kolonial Hindia-Belanda, hasil dari peristiwa bagi VOC, akan tetapi kemudian terjadi
suksesi pemimpin lokal di Jawa. persoalan yang cukup serius dalam produksi gula
tersebut. Sartono Kartodirjo menjelaskan bahwa
PENUTUP cukup banyak tanah yang disewakan menjadi
tanah partikelir dan diubah menjadi tempat
Permintaan terhadap komoditi gula di penanaman tebu.
pasar internasional, memaksa para wilayah- Keadaan tersebut disatu sisi memacu
wilayah di Asia khususnya di Nusantara, perkembangan dan peningkatan produksi dan
penguasa lokal dan VOC bersepakat untuk keuntungan dari industri gula di Batavia, akan
menghancurkan tanaman rempah-rempah dengan tetapi di sisi lain keadaan tersebut juga
jalan membakarnya. Pemusnahan terhadap memberikan konsekuensi berupa semakin
tanaman rempah-rempah di beberapa wilayah di berkurangnya bahan bakar (kayu bakar) sebagai
Nusantara, seperti yang terjadi di wilayah komponen utama pengolahan tebu menjadi gula,
Maluku, dilakukan oleh VOC untuk serta ketersedian lahan tanah yang semaikn
menyelamatkan perekonomian VOC. menipis dan berkurang (terdapat pula kasus
Pemusnahan tanaman rempah-rempah tidak penanaman tebu di wilayah tandus, kurang subur
hanya akan meredam menurunnya suplai di dan mengakibatkan kerugian).
pasaran internasional, akan tetapi mencoba untuk
menanam tanaman komoditi lainnya seperti
kelapa, karet, teh dan lainnya. Upaya lainnya DAFTAR PUSTAKA
yang dilakukan oleh VOC guna membangun
produksi gula di wilayah kekuasaannya Abeyasekere, Susane. 1989. Jakarta a History.
khususnya di Batavia, yakni dengan Oxford University Press : Singapore.
mendatangkan para tenaga terampil yang berasal Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400
dari Cina. Fenomena inilah yang dikatakan oleh Tahun. Masup. Jakarta.
Susan Blackburn sebagai upaya membangun Blusse, Leonard. 2004. Persekutuan Aneh :
Batavia dengan bantuan orang-orang Cina. VOC Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan
berupaya merangkul orang-orang Cina untuk Belanda di Batavia VOC. LKIS. Jakarta.
datang dan membantu VOC untuk membangun Furnivall, J.S. 2009. Hindia-Belanda Studi
Batavia, dengan jalan memberikan memerikan Tentang Ekonomi Majemuk. Freedom
para tokoh Cina jabatan sebagai kapiten dan Institute Jakarta.
letnan. Upaya ini sesungguhnya merupakan Kartodirjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah
kelanjutan dari keasadaran pemimpin VOC, Indonesia Baru : 1500-1900 Dari
bahwa orang-orang Cina telah lama berdagang Emporium sampai Imperium. Gramedia.
dan bermukim di wilayah Jayakarta. Jakarta.
Kemampuan orang-orang Cina ini pula yang Marihandono, Djoko (penyunting). 2008. Titik
mengantarkan terbukanya pintu bagi orang-orang Balik Historiografi Indonesia. Wedatama
Cina untuk masuk ke Batavia, dan sebagian Widya Sastra. Jakarta.
wilayah pedalaman di Batavia. Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Indonesia
Kedatangan etnis Tionghoa ke wilayah Modern. Gajah Mada University Press.
Batavia, memicu pembukaan industri gula secara Yogyakarta.
besar-besaran, dan selama beroperasi industri Suratminto, Lilie. 2004. Pembantaian Etnis Cina
gula di Batavia telah cukup banyak menghasil di Batavia 1740. Jurnal Wacana, Vol. 6
pendapatan bagi VOC, dimana data terakhir No.1, April. Jakarta.
sebelum VOC di bubarkan pada tahun 1795 Yudisthira, Ardi dkk. Pengaruh Terjadinya
pendapatan tersebut setelah dikonversi menjadi Tragedi Angke Tahun 1740 Terhadap
mata uang gulden mencapai 190.000 gulden pada Bidang Sosial-Ekonomi di Batavia.
tahun 1795. Pendapatan tersebut dihasilkan dari (Tempat dan waktu tidak diketahui).
penanaman gula yang berada diwilayah Batavia,

- 147 -
SOSIO-E-KONS, Vol. 8 No. 2 Agustus 2016, hal. 139-147 Husin, Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia…..

148

Anda mungkin juga menyukai