Anda di halaman 1dari 19

Makalah Praktek Rumah Sakit

“DM TIPE 2 DENGAN NEFROPATI”

Dosen pengampu : Dr. Gunawan Pamudji W., MSi., Apt

Oleh : KELOMPOK 5/B4


1. Zainab (1820364086)
2. Zaniroh (1820364087)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Penyakit Diabetes Melitus
(DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berhubungan
dengan defisiensi relatif atau absolut sekresi insulin yang ditandai dengan hiperglikemia
kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan. DM merupakan kondisi
meningkatnya kadar gula darah yang berisiko menimbulkan komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular.
Distribusi penyakit ini juga menyebar pada semua tingkatan masyarakat dari
tingkat sosial ekonomi rendah sampai tinggi, pada setiap ras, golongan etnis dan daerah
geografis. Gejala DM yang bervariasi yang dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga penderita tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang lebih
banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun, gejala tersebut
berlangsung lama tanpa memperhatikan diet, olah raga, pengobatan sampai orang tersebut
memeriksakan kadar gula darahnya.
Penyakit diabetes melitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai penyulit menahun, seperti penyakit serebrovaskular,
penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai, gangguan pada mata,
ginjal dan syaraf. Usaha untuk menyembuhkan kembali menjadi normal sangat sulit
jika sudah terjadi penyulit, karena kerusakan yang terjadi umumnya akan menetap.
Usaha pencegahan diperlukan lebih dini untuk mengatasi penyulit tersebut dan
diharapkan akan sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak
menguntungkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Nefropati Diabetika adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang merupakan
penyebab utama gagal ginjal, Ada 5 fase Nefropati Diabetika. Fase I, adalah hiperfiltrasi
dengan peningkatan GFR, AER (albumin ekretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase II ekresi
albumin relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih terdapat
hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang menjadi Nefropati
Diabetik. Fase III, terdapat mikro albuminuria (30-300mg/24j). Fase IV, Difstick positif
proteinuria, ekresi albumin >300mg/24j, pada fase ini terjadi penurunan GFR dan hipertensi
biasanya terdapat. Fase V merupakan End Stage Renal Disease (ESRD), dialisa biasanya
dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.
B. Etiologi
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM
dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati Diabetika.
Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase
Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).
C. Faktor Resiko
Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati Diabetika. Dari studi
perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko antara lain:
1. Hipertensi dan prediposisi genetika
2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika
a. Antigen HLA (human leukosit antigen) Beberapa penelitian menemukan hubungan
Faktor genetika tipe antigen HLA dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok
penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9
b. Glukose trasporter (GLUT) Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5
mempunyai potensi untuk mendapat Nefropati Diabetik.
3. Hiperglikemia
4. Konsumsi protein hewani
D. Patofisiologi
Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran
ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus
membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada
NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel
meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap
pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat
menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan
ada hiperfiltrasi glomerus.
E. Gambaran Klinik
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada penderita diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya
nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperfasi membran basal glomerulus.
Tampaknya berbagai factor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan
glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi
genetik merupakan factor-faktor utama yang menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas
terhadap membran basal dapat melalui 2 alur, yaitu :
1. Alur Metabolik (metabolic pathway) : Glukosa dapat bereaksi secara proses non-
enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosylation
end – products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus
ginjal.
2. Alur Poliol (polyol pathway) : Terjadi peningkatan sarbitol dalam jaringan akibat
meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan
sarbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar mioinositol yang menyebabkan
gangguan osmolaritas membran basal
Kunci perubahan pada glomerulopati diabetik adalah bertambahnya zat-zat extraseluler
abnormalitas morfologi yang paling dini pada nefropati diabetik adalah penebalan
membran basement glomerulus (GBM) dan perluasan mesangial selama penumpukan zat-
zat ekstraselular.
Urutan hipotesis terjadinya nefopati diabetik :
1. Akibat diabetes, diperberat dengan adaanya hipertensi, maka pada ginjal timbul
gangguan hemodinamik (Abnormal Renal Hemodynamics). Dari keadaan tersebut,
timbullah 2 efek yang merugikan, yaitu :
 Auto regulasi ginjal hilang (loss of renal autoregulation). Akibatnya, arteriol
aferen mengalami dilatasi bersamaan dengan konstriksi pada arteriol eferen, dan
menyebabkan intraglomerulus meningkat (increased intraglomerular pressure)
 Peningkatan kepekaan dari arteri eferen terhadap angiotensin-II, norepineprin,
dan vasopressine, sehingga timbullah vasokonstriksi pada arteriol eferen (efferent
arteriolar constriction). Seperti disebutkan pada butir a, bersamaan dengan
afferent arteriolar dilation terjadilah increased intraglomerular pressure (IIP)
2. Increased Intraglomerular pressure mempunyai 2 efek negatif, yaitu:
 Merangsang sintesis radikal bebas (RB)
 Merangsang pelepasan sitokin (increased cytokines released = ICR) seperti : ET1,
VPF1, A-II, TGF-ß, dan PDGF.
 RB, hiperglikemia, dan AGE juga merangsang terjadinya ICR.
3. Selain itu, hiperglikemia merangsang terbentuknya AGE, Glycated albumin. Glycated
albumin ini akan merangsang terjadinya ekspansi matriks mesangium. Terakhir,
Fisher et al., (1996) menyatakan bahwa hipergklikemia dapat mendesak atau
mengganti matriks plasminogen. Pendesakan/penggantian plasminogen oleh glukosa
ini menyebabkan degradasi mesangium berkurang dan terjadilah ekspansi mesangium
yang khas untuk ND.
4. Fase akhir dari patogenesis ND adalah terjadinya mesangial matrix expansion yang
dipacu oleh sitokin, glycated albumin (lihat butir 3), hiperglikemia (melalui
displacement matrix plasminogen oleh glukosa), dan TXB2.
5. Dengan adanya mesangial matrix expansion pada DM disertai albuminuria persisten,
maka diagnosis nefropati diabetik klinik dapat ditegakkan.
6. Cilostazol (CS) dan albuminuria :
Dalam glomeruli terdapat kelainan mnetabolisme prostaglandin. Pada DM produksi
TXB2 (metabolit TXA2) di glomerulirenalis diduga meningkat, ekskresi TXB2
melalui urin juga meningkat dan mempunyai peran penting pada patogenesis
terjadinya befropatik diabetik.
F. Tatalaksana Terapi
Tujuan pengobatan
• Mengurangi simtom hiperglisemia
• Mengurangi onset danperkembangan komplikasi mikrvaskular dan makrovaskular
• Mengurangi mortalitas
• Meningkatkan kualitas hidup
• Level glukosa plasma dan darah lengkap serta hemoglobinterglikosilasi (HbA1C)
Terapi farmakologi
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon
glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun
dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam
amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian
metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke
dalam sel. Macam-macam sediaan insulin:
 Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
 Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan
jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda
yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau
mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
 Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:
Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama
pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat (Depkes RI
2005). Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara
tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoadasidosis, stres berat, berat badan yang menurun cepat
dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan (PERKENI, 2015).
Algoritme Penanganan Diabetes Melitus Tipe II (PERKENI 2015)
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes
mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan
satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
 Sulfonilurea.
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan
lebih. Yang termasuk obat golongan ini antara lain:
1. Glibenklamida
Mempunyai efek hipoglikemik yang poten, sehingga pasien perlu diingatkan
untuk melakukan jadwal makanan yang ketat. Dalam batas-batas tertentu
masih dapat diberikan pada pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal
(Soegondo 2015). Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal
(Depkes RI 2005).
2. Glikazida
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang sehingga tidak begitu sering
menyebabkan hipoglikemik. Dapat diberikan pada gangguan fungsi hati dan
ginjal yang ringan (Soegondo 2015).
3. Glipizida
Mempunyai masa kerja yang lebih lama dibandingkan dengan glibenklamid.
Mempunyai efek menekan produksi glukosa hati dan meningkatkan jumlah
reseptor insulin (Depkes RI 2005). Glipizida memiliki waktu paruh yang
paling pendek (2-4jam) dari agen yang lebih kuat.
4. Glikuidon
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang dan juga jarang menyebabkan
hipoglikemik. Karena hampir seutuhnya diekskresi melalui empedu dan usus,
dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati yang lebih
berat (Soegondo 2015).
5. Glimepirida
Memiliki masa kerja yang panjang dengan waktu paruh 5 jam, sehingga
memungkinkan pemberian dosis sekali sehari dan karenanya dapat
meningkatkan kepatuhan pasien (Katzung 2002). Untuk pasien beresiko tinggi
yaitu lanjut usia, gangguan ginjal atau yang melakukan aktivitas berat dapat
diberikan obat ini (Soegondo 2015).
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemi post prandial (PERKENI, 2011).
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu:
1. Repaglinid
Merupakan derivat asam benzoat dan mempunyai efek hipoglikemik yang
ringan sampai sedang. Diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati. Efek samping yang dapat terjadi pada
obat ini adalah keluhan gastrointestinal (Soegondo 2015).
2. Nateglinid
Merupakan derivat fenilalanin dengan cara kerja yang hampir sama dengan
repaglinid. Diabsorbsi cepat setelah pemberian oral dan diekskresi terutama
melalui urin. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat ini
adalah keluhan infeksi saluran pernafasan atas (Soegondo 2015).
 Biguanid
Obat golongan biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan terutama berkerja di
hati dengan mengurangi hepatic glucose output dan menurunkan kadar glukosa
darah sampai normal serta tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Obat
golongan ini banyak dipakai sebagai terapi awal diabetes sesudah diagnosis
ditegakkan. Contoh obat golongan biguanid adalah metformin (Soegondo 2015).
1. Thiazolindion
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh
terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPAR γ (Peroxisome
Poliferator Activated Receptor Gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk
menurunkan resistensi insulin. Contoh obat golongan ini antara lain:
2. Pioglitazone
Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein transporter glukosa, sehingga meningkatkan uptake glukosa di sel-sel
jaringan perifer. Saat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal.
3. Risoglitazone
Cara kerja hampir sama dengan pioglitazone, diekskresikan melalui urin dan
feses. Mempunyai efek hipoglikemik yang cukup baik jika dikombinasikan
dengan metformin (Depkes RI 2005).
 Inhibitor α-Glukosidase
Acarbose merupakan suatu penghambat enzim alfa glukosidase yang terletak pada
dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi
pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi
peningkatan kadar glukosa post prandial (Depkes RI 2005). Efek samping yang
paling sering ditemukan adalah kembung dan flatulens (PERKENI 2011).
 DPP-IV-Inhibitor
Obat golongan baru ini mempunyai cara kerja menghambat suatu enzim yang
mendegradasi hormon inkretin endogen, hormon GLP-1, dan GIP yang berasal
dari usus, sehingga dapat meningkatkan kadarnya setelah makan, yang kemudian
akan meningkatkan sekresi insulin yang dirangsang glukosa, mengurangi sekresi
glukagon dan memperlambat pengosongan lambung. Contoh obat dari golongan
ini adalah sitagliptin dan vildagliptin (Soegondo 2015).
Terapi Non-Farmakologi
a. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,
protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70% • Protein : 10-15% • Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan
fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan
memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian
dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak
0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan
berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah
kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol
tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan
yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh
dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan,
ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.
b. Olahraga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur
jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu
olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus
pengaruhnya bagi kesehatan.
Kasus 5. DM tipe 2 komplikasi nefropati
Pasien Ny. T, umur 65 th sebelumnya sudah beberapa kali dating ke RS karena DM tipe 2
yang dideritanya sejak 5 tahun yang lalu. Kali ini pasien datang ke RS dengan keluhan lemas,
mual muntah,1 bulan sebelum masuk RS pasien mengeluh sakit di bagian pinggang, dan dari
hasil pemeriksaan BUN, kreatinin serum, mikroalbuminuria semua data menunjukkan adanya
peningkatan signifikan.
Identitas Pasien
 Nama Pasien : Ny. T
 Umur : 65 tahun
 Tanggal MRS : 17 Juni 2016
 Diagnosis : DM tipe 2, Hipertensi, Nefropati
 Riwayat penyakit terdahulu : DM ± 5 th
 Riwayat pemakaian obat sebelumnya : Metformin, Captopril dan HCT namun tidak
rutin digunakan
 Riwayat alergi : (-)

Tanda2 Vital
Parameter Penyakit / Nilai 17/6 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6 24/6 25/6
Tanggal Norma
l
Tekanan Darah (mm 120/80 150/10 155/10 150/90 150/9 150/9 150/9 150/90 150/9 150/90
Hg) 0 0 0 0 0 0
Nadi (kali per menit) 80 89 89 88 88 88 87 88 86 89
Suhu Badan (oC) 37-37 37 38,6 38,9 38,5 38,5 38,4 38,2 37,8 37,8
Respirasi (kali per 20 24 23 23 22 23 23 22 23 22
menit)

Pemeriksaan Lab
Laboratorium Rutin / Tanggal Nilai Normal 17/6 20/6 21/6

GDS < 140mg/dL 280 290 270


HbA1C <7% 10,6
Hb 11,7-15,3 g/dL 12,6 12,7 12,2
Na 13,6-14,5mg/dL 15,8 15,7 14,9
K 3,5-5,1 mg/dL 3,2 3,4 3,3
Cl 98-107 mg/dL 98 92,7 95
GFR 60 ml/menit/luas
area ( stage ringan )
Kreatinin serum 0,6-1,3 mg/dl >1,3 mg/dL
Asam urat 2-6,5mg/dl 7,5 mg/dL

Terapi Pasien
Terapi (Nama Obat, Aturan Pakai 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Kekuataan)
Injeksi sefotaksim 3x1 gram √ √ √ √ √ √ √ √ √
Metformin 500 mg 2x 1 tab √ √ √ √ √ √ √ √ √
Glibenklamid 5 mg 1x1 tab √ √ √ √ √ √ √ √ √
Insulin glargin 16 Unit (malam) √ √ √ √ √ √ √ √ √
Ranitidin 3x1 Amp √ √
Amlodipin 5 mg 3x1 √ √ √ √ √ √ √

1. Apakah terapi yang diberikan sudah tepat? Adakah DRP pada kasus ini?
2. Apa parameter yang bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan terapi pada pasien DM?
apakah parameter tsb sudah muncul pada data di atas?
3. Pasien mendapat antibiotic, apakah diperlukan? Apa saran anda?
4. Apakah penggunaan obat-obat diatas sudah sesuai dosisnya?
5. Berikan PIO yang tepat kepada pasien

FORM DATA BASE PASIEN


UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. T No.rekam medis :-
Tempat/ tgl lahir :- dokter yang merawat : -
Umur : 65Tahun Tanggal MRS : 17juni
2016
BB :
Alamat :-
Ras :-
Pekerjaan :-
Sosial :-

Riwayat masuk RS : beberapa kali datang ke RS karena DM tipe 2


Riwayat penyakit terdahulu : DM ± 5 Tahun
Riwayat Sosial :

Kegiatan
Pola Makan/Diet Ya / Tidak
- Vegetarian Ya / Tidak .....................batang/hari
Merokok Ya / Tidak
Meminum Alkohol Ya / Tidak
Meminum Obat Herbal

Riwayat alergi : -

Keluhan / Tanda Umum


Tangga Subyektif Obyektif
l
Lemas, mual muntah, 1 bulan yang lalu
mngluh sakit dibagian pinggang

Hasil lab dan tana vital terakhir


Data Normal nilai Nilai
GDS < 140mg/dL 270
HbA1C <7% 10,6
Hb 11,7-15,3 g/dL 12,2
Na 13,6-14,5mg/dL 14,9
K 3,5-5,1 mg/dL 3,3
Cl 98-107 mg/dL 95

GFR 60 ml/menit/luas area


(stage ringan )
Kreatinin serum 0,6-1,3 mg/dl >1,3 mg/dL
Asam urat 2-6,5mg/dl 7,5 mg/dL
Tekanan Darah (mm Hg) 120/80 150/90
Nadi (kali per menit) 80 89
Suhu Badan (oC) 37-37 37,8
Respirasi (kali per menit) 20 22

RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGOBATAN


NAMA PENYAKIT TANGGAL/TAHUN NAMA OBAT

Diabetes melitus 5 tahun Metformin, Captopril & HCT

OBAT YANG DIGUNAKAN SAAT INI


No Nama obat Indikasi Dosis Rute Inter ESO Outcome
. aksi terapi
1 Injeksi Infeksi sal Dewasa 1 g/ Iv hipersensitivitas
sefotaksim nafas bawah, 12 jam
infeksi saluran
urogenital
2 Metformin 500 Dm tipe 2 Dewasa 500- Oral Anoreksia, mual kadargula
mg 3000mg/ hari muntah, diare darah turun
3 Glibenklamid Dm tipe 2 2,5-20 Oral Hipoglikemik kadar gula
5 mg mg/hari darah turun
4 Insulin glargin Dm ( insulin 1x malam Intra kadar
krja panjang) hari muscular guladarah
turun
5 Ranitidin Tukak 150 mg (2x1) Oral Sakit kepala,
lambung konstipasi,
diare, mual
6 Amlodipin 5 Hipertensi 5mg/hari Oral Edema, tekanan darah
mg (ccb) gangguan tidur, stabil
sakit kepala
7 Captopril Hipertensi 2x12,5 Oral Hipotensi, batuk tekanan darah
(acei) mg/hari stabil
8 hct Hipertensi 12,5-25 Oral Hiponatremi, tekanan darah
(diuretik ) mg/hari hipokalsemi, stabil
hipokalemia

PROBLEM MEDIK : DIABETES + NEFROPATI


Subjektif Objektif Terapi Analisis/ Drp Plan Monitoring
asesment
Lemas, mual GDS : 270mg/dl Insulin Menurut Kurang Metformin GDS
muntah HbA1C : 10,6 glargin, PERKENI bila tepat 500 mg (2x1) <140mg/dl,
GFR : 60 ml metformin, kadar HbA1C diturunksn HbA1C <7%,
(mild) glibenklamid >10% maka hati-hati + penurunan GFR,
Serum kreatinin : dilakukan Insulin basal serum kreatinin
>1,3 mg/dL perubahan gaya + insulin <1,3mg/dl
hidup sehat dan prandial
insulin intensif
(insulin basal
bersamaan
insulin prandial)
PROBLEM MEDIK : HIPERTENSI
Lemas TD 150/90 Amlodpin Hipertensi Kurang Captopril TD
mmHg dengan diabetes tepat 12,5 mg(2x1) 140/90mmHg
melitus
nefropati tidak
menggunakan
CCB menurut
PERKENI
hipertensi
dengan DM
diberikan
ACEI/ARB,
CCB merupakan
lini kedua
Mual muntah Injeksi -
Ranitidin
Injeksi Pengob Dihilangkan
cefotaxim atan
tanpa
indikasi

Plan/Pengobatan
1. DM + nefropati : insulin rapid acting : aspart (30 menit sebelum makan), + insulin long
acting : glargine (digunakan malam hari)
2. Hipertensi : captopril 12,5 mg (2x sehari )
3. Mual muntah diberi injeksi ranitidine, bila tidak mual muntah lagi dihentikan.
Non farmakologi
1. Asam urat : menjaga pola hidup, hindari makanan daging, bayam, emping, nangka,
jeroan, otak, lemak
2. DM : istirahat yang cukup, berolahraga, hindari pekerjaan berat, menjaga kebersihan
tubuh, merawat luka dengan baik (jika ada luka)
3. Hipertensi : hindari makanan tinggi garam
Monitoring :
1. Kontrol nilai HbA1C (< 7 ) 3 bulan sekali
2. Kontrol berat badan
3. Kontrol kadar gula darah ( 200 mg/dl)
4. Kontrol tekanan darah ( < 140/90 mmHg)
5. Kontrol GFR ( 90 ml/menit)
6. Kadar asam urat (2-6,5 mg/dl)

SOAL
1. Apakah terapi yang diberikan sudah tepat? Adakah DRP pada kasus ini?
Terapi belum tepat, pengobatan DM dengan nefropati menggunakan kombinasi
insulin, pengobatan hipertensi menggunakan golongan ACEI
DRP pada kasus ada pengobtan yang tidak ada indikasi yaitu injeksi cefotaxim, tidak
ada nilai laboratorium dan keluhan pasien yang mengarah infeksi
2. Apa parameter yang bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan terapi pada pasien DM?
apakah parameter tsb sudah muncul pada data di atas?
Parameter sebagai tolakukur keberhasilan adalah kadar GDS, HbA1C, GFR yang
dalam rentang normal, dalam kasus sudah terdapat parameter tersebut
3. Pasien mendapat antibiotic, apakah diperlukan? Apa saran anda?
Tidak diperlukan karena tidak ada data yang menyatakan pasien infeksi, sebaiknya
dihentikan
4. Apakah penggunaan obat-obat diatas sudah sesuai dosisnya?
Sudah sesuai dosisnya
5. Berikan PIO yang tepat kepada pasien
1. Meminum obat yang rutin
2. Kontrol TD, DM rutin serta HbA1C 3bulan sekali
3. Untuk mencegah hipoglikemik/bila merasa pusing sewaktu bisa membawa
permen pemanis di kantong / tas
4. Mengatur pola hidup yang baik, makan makanan yang bergizi, rutin olahraga,
kebersihan luka (jika ada luka), hindari makanan (daging, jeroan,bayam,dll)
5. Menggunakan alas kaki untuk mencegah luka pada kaki, membersihkan kaki
setiap hari, menggunakan sepatu yang nyaman, bila ada luka pada kaki segera ke
dokter untuk ditangani

DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2005, Pharmaceutical Care untuk Diabetes Melitus, Jakarta.

ISFI, 2017-2018, Informasi Spesialit Obat Indonesia Volume 51, PT. Isfi penerbitan.

Langi, Y.A., 2011, Penatalaksanaan Ulkus Kaki Diabetes Secara Terpadu, Jurnal Biomedik, 3
(2), hlm. 95-101.

NHS, 2013, Antimicrobial Guidelines for The Empirical Management of Diabetic Foot
Infections, Universitas Hospitals of Leicester.

PERKENI, 2015, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015,
Jakarta.
Sukandar, E.Y, Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.P., dan Kusnandar, 2013,
ISO Farmakoterapi, Isfi Penerbitan, Jakarta.
Christine DV, Agnes L. Devinition and management of persistent allergic rhinitis –the
ARIA guidelines. J of the World Allergy Organization; March/April 2005; 17 (2):
78-9
Dipiro J et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th edition. McGraw-Hill : USA

Anda mungkin juga menyukai