Anda di halaman 1dari 33

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

PRAKTIKUM PRINSIP STRATIGRAFI


ACARA I : PENAMPANG STRATIGRAFI TERUKUR

LAPORAN

OLEH :
HANI ALFIYAH LESTYOWATI
D061181337

GOWA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stratigrafi merupakan cabang Geologi yang membahas tentan pemerian,


pengurutan, pengelompokan, dan klasifikasi tubuh batuan serta korelasinya satu
terhadap lainnya. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda
dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi),
kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya
(kronostratigrafi).
Penampang stratigrafi terukur merupakan suatu penampang atau kolom
yang dimana menggambarkan kondisi stratigrafi suatu wilayah. Penampang
stratigrafi ini memberikan informasi detail tiap litologi. Mulai dari dimensi
ketebalan lapisan batuan hingga genesa dan lingkungan pengendapan. Penampang
stratigrafi sangat membantu untuk memperkirakan dalamnya pemboran yang akan
dilakukan untuk mencari minyak dan gas bumi. Sehingga dalam praktikum ini
kita akan mempelajari bagaimana membuat penampang stratigrafi secara terukur.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dari praktikum penampang stratigrafi terukur ini adalah


agar dapat membuat penampang yag mengambarkan kondisi suat stratigrafi.
Sedangkan tujuan dari praktikum ini sebagai berikut:
1. Peserta dapat memecahkan problem set yang diberikan
2. Peserta dapat membuat penampang stratigrafi.

1.3 Batasan Masalah

Dalam praktikum ini kita akan membuat penampang stratigrafi dengan


menentukan jarak horizotal dan vertikalnya. Kemudian akan dilakukan koreksi
dip dan mencari ketebalan tiap lapisan.
1.4 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan ketika praktikum, antara lain
sebagai berikut:
1. Kalkulator
2. Kertas Grafik
3. Penggaris
4. Double Tip
5. Pensil Warna
6. Cutter
7. ATM
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stratigrafi

Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta
distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antar lapisan
yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi
(litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun
absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas
penyebaran lapisan batuan. (Noor, 2012).
Stratigrafi tersusun dari 2 (dua) suku kata, yaitu kata “strati“ berasal dari
kata “stratos“, yang artinya perlapisan dan kata “grafi” yang berasal dari kata
“graphic/graphos”, yang artinya gambar atau lukisan. Dengan demikian stratigrafi
dalam arti sempit dapat dinyatakan sebagai ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan.
Dalam arti yang lebih luas, stratigrafi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang aturan, hubungan, dan pembentukan (genesa) macam-macam
batuan di alam dalam ruang dan waktu, yaitu sebagai berikut: (Noor, 2012)
1. Aturan: Tatanama stratigrafi diatur dalam “Sandi Stratigrafi”. Sandi
stratigrafi adalah aturan penamaan satuan-satuan stratigrafi, baik resmi
ataupun tidak resmi, sehingga terdapat keseragaman dalam nama maupun
pengertian nama-nama tersebut seperti misalnya: Formasi/formasi,
Zona/zona, Sistem dan sebagainya.
2. Hubungan: Pengertian hubungan dalam stratigrafi adalah bahwa setiap lapis
batuan dengan batuan lainnya, baik diatas ataupun dibawah lapisan batuan
tersebut. Hubungan antara satu lapis batuan dengan lapisan lainnya adalah
“selaras” (conformity) atau “tidak selaras” (unconformity).
3. Pembentukan (Genesa): Mempunyai pengertian bahwa setiap lapis batuan
memiliki genesa pembentukan batuan tersendiri. Sebagai contoh, facies
sedimen marin, facies sedimen fluvial, facies sedimen delta, dsb
4. Ruang: Mempunyai pengertian tempat, yaitu setiap batuan terbentuk atau
diendapkan pada lingkungan geologi tertentu. Sebagai contoh, genesa
batuan sedimen: Darat (Fluviatil, Gurun, Glacial), Transisi (Pasang-
surut/Tides, Lagoon, Delta), atau Laut (Marine: Lithoral, Neritik, Bathyal,
atau Hadal)
5. Waktu: Memiliki pengertian tentang umur pembentukan batuan tersebut
dan biasanya berdasarkan Skala Umur Geologi. Contoh: Batugamping
formasi Rajamandala terbentuk pada kala Miosen Awal; Batupasir kuarsa
formasi Bayah terbentuk pada kala Eosen Akhir.

2.2 Hukum Stratigrafi

Pada hakekatnya ada hubungan tertentu antara kejadian dan aturan batuan di
alam, dalam kedudukan ruang dan waktu geologi. Stratigrafi membahas aturan,
hubungan, kejadian lapisan serta tubuh batuan di alam. Sandi stratigrafi
dimaksudkan untuk memberikan pengarahan kepada para ahli geologi yang
bekerja mempunyai persepsi yang sama dalam cara penggolongan stratigrafi.
Sandi stratigrafi memberikan kemungkinan untuk tercapainya keseragaman dalam
tatanama satuan-satuan stratigrafi. Pada dasarnya, Sandi Stratigrafi mengakui
adanya satuan lithostratigrafi, satuan litodemik, satuan biostratigrafi, satuan
sekuen stratigrafi, satuan kronostratigrafi dan satuan geokronologi. Sandi ini dapat
dipakai untuk semua macam batuan. (Noor, 2009)

2.2.1 Satuan Litostratigrafi

Pembagian litostratigrafi dimaksudkan untuk menggolongkan batuan di


bumi secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama yang bersendi pada ciri-ciri
litologi. Pada satuan litostratigrafi penentuan satuan didasarkan pada ciri-ciri
batuan yang dapat diamati di lapangan, sedangkan batas penyebarannya tidak
tergantung kepada batas waktu. Urutan tingkat satuan litostratigrafi resmi dari
besar sampai kecil adalah: Kelompok, Formasi dan Anggota. Formasi adalah
satuan dasar dalam pembagian satuan litostratigrafi. (Noor, 2012)
a) Batas dan Penyebaran Satuan Satuan Litostratigrafi.
 Batas satuan litostratigrafi ialah sentuhan antara dua satuan yang berlainan
ciri litologi, yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan tersebut.
 Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya
atau dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan bidang
yang diperkirakan kedudukannya (batas arbiter).
 Satuan satuan yang berangsur berubah atau menjemari, peralihannya dapat
dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan Sandi.
 Penyebaran satuan satuan litostratigrafi semata mata ditentukan oleh
kelanjutan ciri ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.
 Dari segi praktis, penyebarasan suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh
batas cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.
 Batas batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai
alasan berakhirnya penyebaran lateral (pelamparan) suatu satuan.

b) Stratotipe atau Pelapisan Jenis.


 Suatu stratotipe merupakan perwujudan alamiah satuan litostratigrafi resmi
di lokasi tipe yang dapat dijadikan pedoman umum.
 Letak suatu stratotipe dinyatakan dengan kedudukan koordinat geografi.
 Apabila pemerian stratotipe suatu satuan litostratigrafi di lokasi tipenya
tidak memungkinkan, maka sebagai gantinya cukup dinyatakan lokasi
tipenya

c) Catatan Penting Litostratigrafi:


 Formasi adalah satuan dasar litostratigrafi dan sebagai satuan litostratigrafi
(kelompok, anggota, satuan) yang harus ditentukan berdasarkan deskripsi di
lapangan (kandungan fosil dan umur tidak berperan).
 Cara pengendapan (genesa pengendapan) bukanlah kriteria dalam
membedakan satuan lithostratigrafi; karena genesa pengendapan
memerlukan penafsiran dan oleh karena itu cenderung akan mengalami
revisi dari waktu ke waktu.
 Satuan litostratigrafi harus mempunyai beberapa tingkat keseragaman
litologi, meskipun secara rinci ketidakseragaman mungkin mencirikan
satuan litostratigrafi.
 Satuan litostratigrafi biasanya diachronous, dan berbeda dengan satuan
kronostratigrafi.
 Pemetaan geologi detil biasanya didasarkan pada litostratigrafi, sedangkan
pada peta geologi biasanya satuan satuan litostratigrafi diperlihatkan dengan
satuan kronostratigrafi.
 Meskipun tujuan klasifikasi litostratigrafi harus dilakukan sesederhana
mungkin namun kenyataannya menunjukkan hal ini tidak selalu mudah,
seringkali hasil pemetaan geologi suatu daerah memperlihatkan hubungan
stratigrafi yang sangat rumit dan kadangkala membingungkan.

2.2.2 Satuan Litodemik

Pembagian satuan litodemik dimaksudkan untuk menggolongkan batuan


beku, metamorf dan batuan lain yang terubah kuat menjadi satuan-satuan bernama
yang bersendi kepada ciri-ciri litologi. Batuan penyusun satuan litodemik tidak
mengikuti kaidah Hukum Superposisi dan kontaknya dengan satuan litostratigrafi
dapat bersifat extrusif, intrusif, metamorfosa atau tektonik. Batas antar satuan
litodemik berupa sentuhan antara dua satuan yang berbeda ciri litologinya, dimana
kontak tersebut dapat bersifat ekstrusif, intrusif, metamorfosa, tektonik atau
kontak berangsur. (Noor, 2012)
Tata nama satuan dasar Litodemik yang terdiri dari nama geografi dan ciri
utama komposisi litologinya, misalnya Diorit Cihara. tingkat tingkat satuan
litodemik ada dua, antara lain : (Noor, 2012)
1) Urutan tingkat Satuan Litodemik resmi, masing-masing dari besar ke kecil
adalah: Supersuite, Suite, dan Litodem.
2) Litodem adalah satuan dasar dalam pembagian Satuan Litodemik, satuan
dibawah litodem merupakan satuan tidak resmi.
2.2.3 Satuan Biostratigrafi

Pembagian biostratigrafi dimaksud untuk menggolongkan lapisan-lapisan


batuan di bumi secara bersistem menjadi satuan satuan bernama berdasar
kandungan dan penyebaran fosil. Satuan biostratigrafi ialah tubuh lapisan batuan
yang dipersatukan berdasar kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai
sendi pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya. Kelanjutan satuan biostratigrafi
ditentukan oleh penyebaran kandungan fosil yang mencirikannnya. (Noor, 2012)
Zona ialah satuan dasar biostratigrafi. Zona adalah suatu lapisan atau tubuh
batuan yang dicirikan oleh satu takson fosil atau lebih. Urutan tingkat satuan
biostratigrafi resmi, masing-masing dari besar sampai kecil ialah: Super-Zona,
Zona, Sub-Zona, dan Zenula. Berdasarkan ciri paleontologi yang dijadikan sendi
satuan biostratigrafi, dibedakan: Zona Kumpulan, Zona Kisaran, Zona Puncak,
dan Zona Selang. Berikut adalah penjelasanya : (Noor, 2012)

a) Zona Kumpulan
 Zona Kumpulan ialah kesatuan sejumpah lapisan yang terdiri oleh
kumpulan alamiah fosil yang hkas atau kumpulan sesuatu jenis fosil.
 Kegunaan Zona Kumpulan, selain sebagai penunjuk lingkungan kehidupan
purba dapat juga dipakai sebagai penciri waktu.
 Batas dan kelanjutan zona Kumpulan ditentukan oleh batas terdapat
bersamaannya (kemasyarakatan) unsur-unsur utama dalam kesinambungan
yang wajar.
 Nama Zona Kisaran harus diambil dari satu unsur fosil atau lebih yang
menjadi penciri utama kumpulannya.

b) Zona Kisaran
 Zona Kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran stratigrafi
untur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada.
 Kegunaan Zona Kisaran terutama ialah untuk korelasi tubuh-tubuh lapisan
batuan dan sebagai dasar untuk penempatan batuan batuan dalam skala
waktu geologi.
 Btasa dan Kelanjutan Zona Kisaran ditentukan oleh penyebaran tegak dan
mendatar takson (takson-takson) yang mencirikannya.
 Nama Zona Kisaran diambil dari satu jenis atau lebih yang menjadi ciri
utama Zona.

c) Zona Puncak
 Zona Puncak ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan perkembangan
maksimum suatu takson tertentu.
 Kegunaan Zona Puncak dalam hal tertentu ialah untuk menunjukkan
kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan dan dapat dipakai sebagai
petunjuk lingkungan pengendapan purba, iklim purba
 Batas vertikal dan lateral Zona Puncak sedapat mungkin bersifat obyektif
 Nama-nama Zona Puncak diambil dari nama takson yang berkembang
secara maksimum dalam Zona tersebut.

d) Zona Selang
 Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal/akhir dari dua
takson penciri.
 Kegunaan Zona Selang pada umumnya ialah untuk korelasi tubuh-tubuh
lapisan batuan
 Batas atas atau bawah suatu Zona Selang ditentukan oleh pemunculan awal
atau akhir dari takson-takson penciri.
 Nama Zona Selang diambil dari nama-nama takson penciri yang merupakan
batas atas dan bawah zona tersebut.

e) Zona Rombakan

Zona Rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh banyaknya
fosil rombakan, berbeda jauh dari pada tubuh lapisan batuan di atas dan di
bawahnya.
f) Zona Padat

Zona Padat ialah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya fosil
dengan kepadatan populasi jauh lebih banyak dari pada tubuh batuan di atas dan
dibawahnya.

2.2.4 Satuan Sekuen Stratigrafi

Pembagian sikuenstratigrafi ialah penggolongan lapisan batuan batuan di


bumi secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama berdasarkan gerak relatif
muka laut. Pembagian ini merupakan kerangka untuk menyusun urutan peristiwa
geologi. Satuan sikuenstratigrafi ialah suatu tubuh lapisan batuan yang terbentuk
dalam satuan waktu tertentu pada satu siklus perubahan relatif muka laut. Batas
atas dan bawah satuan sikuenstratigrafi adalah bidang bidang ketidakselarasan
atau bidang keselarasan padanannya. (Noor, 2012)
Tingkat dari satuan sikuenstratigrafi, masing-masing dari besar sampai kecil
adalah Megasikuen, Supersikuen dan Sikuen. Sikuen ialah satuan dasar dalam
pembagian satuan sikuenstratigrafi. Tatanama satuan sikuenstratigrafi resmi ialah
dwinama (binomial). Untuk tingkat sikuen atau yang lebih tinggi, dipakai istilah
tingkatnya dan diikuti nama geografi lokasitipenya. (Noor, 2012)

2.2.5 Satuan Kronostratigrafi

Pembagian kronostratigrafi ialah penggolongan lapisan-lapisan secara


bersistem menjadi satuan bernama berdasarkan interval waktu geologi. Interval
waktu geologi ini dapat ditentukan berdasar geo-kronologi atau metoda lain yang
menunjukkan kesamaan waktu. Pembagian ini merupakan kerangka untuk
menyusun urutan penafsiran geologi secara lokal, regional dan global. Pembagian
waktu geologi ialah pembagian waktu menjadi interval-interval tertentu
berdasarkan peristiwa geologi. Interval waktu geologi ini disebut sebagai satuan
geokronologi. Cara penentuannya didasarkan atas analisis radiometrik atau
isotropik. (Noor, 2012)
Klasifikasi kronostratigrafi pada sedimen atau batuan sedimen melibatkan
pembentukan yang bersifat isochrons (terbentuk pada waktu yang sama), hal ini
menjadi dasar untuk merekonstruksi paleogeografi. 1. Secara tradisional,
biostratigrafi telah dipakai sebagai dasar yang paling penting untuk klasifikasi
kronostratigrafi. 2.Teknik penanggalan numerik menjadi sangat penting didalam
penentuan satuan kronostratigrafi. Metoda penanggalan radiometrik pada
hakekatnya didasarkan atas peluruhan isotop radioaktif  N = jumlah isotop
anak; N0 = jumlah awal isotop induk; λ = konstanta peluruhan; t = waktu 
Penanggalan radiometri melibatkan sejumlah besar isotop dan serangkaian
peluruhan, dengan waktu paruh yang bervariasi dan aplikasi untuk rentang waktu
kurang dari satu abad hingga miliaran tahun. (Noor, 2012)

2.2.6 Satuan Geokronologi

Klasifikasi kronostratigrafi pada sedimen atau batuan sedimen melibatkan


pembentukan yang bersifat isochrons (terbentuk pada waktu yang sama), hal ini
menjadi dasar untuk merekonstruksi paleogeografi. Secara tradisional,
biostratigrafi telah dipakai sebagai dasar yang paling penting untuk klasifikasi
kronostratigrafi. Teknik penanggalan numerik menjadi sangat penting didalam
penentuan satuan kronostratigrafi. (Noor, 2012)

2.3 Penampang Stratigrafi Terukur

Dalam penelitian geologi, pengamatan stratigrafi disepanjang lintasan yang


dilalui perlu dibuat, baik dengan cara menggambarnya dalam bentuk sketsa profil
lintasan ataupun melalui pengukuran stratigrafi. Adapun tujuan dari pembuatan
profil lintasan adalah untuk mengetahui dengan cepat hubungan antar batuan /
satuan batuan secara vertikal. (Noor, 2009)

Gambar 2.1 Penampang Stratigrafi


2.3.1 Metoda Pengukuran Stratigrafi

Pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran terperinci


urut-urutan perlapisan satuan stratigrafi, ketebalan setiap satuan stratigrafi,
hubungan stratigrafi, sejarah sedimentasi dalam arah vertikal, dan lingkungan
pengendapan. Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan mempunyai
arti penting dalam penelitian geologi. (Noor, 2012)
Pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan terhadap singkapan singkapan
yang menerus, terutama yang meliputi satu atau lebih satuan satuan stratigrafi
yang resmi. Metoda pengukuran penampang stratigrafi banyak sekali ragamnya.
Namun demikian metoda yang paling umum dan sering dilakukan di lapangan
adalah dengan menggunakan pita ukur dan kompas. Metoda ini diterapkan
terhadap singkapan yang menerus atau sejumlah singkapan-singkapan yang dapat
disusun menjadi suatu penampang stratigrafi. (Noor, 2012)

2.3.2 Menghitung Ketebalan

Tebal lapisan adalah jarak terpendek antara bidang alas (bottom) dan bidang
atas (top). Dengan demikian perhitungan tebal lapisan yang tepat harus dilakukan
dalam bidang yang tegak lurus jurus lapisan. Bila pengukuran di lapangan tidak
dilakukan dalam bidang yang tegak lurus tersebut maka jarak terukur yang
diperoleh harus dikoreksi terlebih dahulu dengan rumus:

d = dt x cosinus ß

( ß = sudut antara arah kemiringan dan arah pengukuran).

Didalam menghitung tebal lapisan, sudut lereng yang dipergunakan adalah


sudut yang terukur pada arah pengukuran yang tegak lurus jurus perlapisan.
Apabila arah sudut lereng yang terukur tidak tegak lurus dengan jurus perlapisan,
maka perlu dilakukan koreksi untuk mengembalikan kebesaran sudut lereng yang
tegak lurus jurus lapisan. Biasanya koreksi dapat dilakuan dengan menggunakan
tabel “koreksi dip” untuk pembuatan penampang. (Noor, 2009)
1) Pengukuran pada daerah datar
Pengukuran pada daerah datar, apabila jarak terukur adalah jarak tegak lurus
jurus, ketebalan langsung di dapat dengan menggunakan rumus :
T = d sin ∂
(dimana d adalah jarak terukur di lapangan dan ∂ adalah sudut kemiringan
lapisan). Apabila pengukuran tidak tegak lurus jurus, maka jarak terukur harus
dikoreksi seperti pada cara diatas. (Noor, 2009)

Gambar 2.3 Posisi pengukuran pada daerah datar

2) Pengukuran pada Lereng


a) Pengukuran pada Lereng Searah
Bila kemiringan lapisan (∂ ) lebih besar daripada sudut lereng (s) dan arah
lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah :

T = d sin (∂ - s ). (Gambar 2.4 b)

Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada sudutlereng dan arah lintasan
tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah:

T = d sin (s - ∂ ). (Gambar 2.4 c)


Gambar 2.4 Posisi pengukuran pada lereng yang searah dengan kemiringan lapisan

b) Pengukuran pada Lereng berlawanan


Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng dan arah
lintasan tegak lurus jurus maka:

T = d sin ( ∂ + s ) (Gambar 2.5 b)

Apabila jumlah sudut lereng dan sudut kemiringan lapisan adalah 900 (lereng
berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan tegak lurus jurus maka:

T = d (Gambar 2.5 c)

Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng dan arah
lintasan tegak lurus jurus, maka :

T = d sin (1800 - ∂ - s) (Gambar 2.5 d )

Bila lapisannya mendatar, maka :

T = d sin (s)
Gambar 2.5 Posisi pengukuran pada lereng yang berlawanan dengan kemiringan lapisan
BAB III
METODELOGI

Pada praktikum acara penampang stratigrafi terukur ini, berikut adalah


tahapan-tahapan pembuatan laporan, antara lain :

3.1 Tahap Pendahuluan

Pada tahap ini, dilakukan asistensi acara oleh asisten ke praktikan untuk
dipaparkan bagaimana sistematikanya ketika praktikum. Pada tahap ini praktikan
akan membuat tugas pendahuluan yakni bab 1 sampai bab 3 laporan.

3.2 Tahap Praktikum

Pada tahap praktikum, praktikan akan memecahkan problem set yang


diberikan dan membuat penampang stratigrafi dari hasil problem set tersebut.

3.3 Tahap Analisis Data

Pada tahap ini, praktikan telah membuat penampang stratigrafi berdasarkan


interprestasi sendiri. Kemudian akan diasistensikan untuk dibuatkan laporan.

3.4 Tahap Pembuatan Jurnal

Tahap ini, laporan sementara yang sudah diasistensikan akan dibuatkan


laporan sebagai hasil akhirnya.
Tabel 3.1 Flow Chart

Tahap Pendahuluan

Tahap Praktikum

Tahap Analisis Data

Tahap Pembuatan Jurnal


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Stratigrafi Daerah Penelitian

4.1.1 Kompleks Basement

Kompleks Basement ini merupakan lapisan yang paling tua dengan


beranggotakan satuan sekis mika yang terbentuk pada kala Kapur Bawah sehingga
memiliki hubungan yang tidak selaras dengan Formasi Walanae. Hal ini
disebabkan karena adanya rumpang waktu pengendapan antara kedua formasi ini.
Batuan Sekis Mika yang dijumpai memiliki ciri fisik warna segar biru
kehitaman, warna lapuk kecokelatan, tekstur lepidoblastik, struktur schistose,
komposisi mineral Biotir, Muskovit, dan Hornblende, dengan arah foliasi 25° dan
penyebaran N 100°E.

4.1.2 Formasi Walannae

Formasi Walannae ini dijumpai batupasir, batugamping yang berselingan


dengan batulempung, batulanau, dan konglomerat yang berumur Miosen Tengah
hingga Pliosen. Berikut adalah anggota dari Formasi Walanae diurutkan dari yang
tertua hingga termuda.

1. Satuan Batupasir Halus

Batupasir yang tertua memiliki ciri fisik warna segar abu-abu, warna lapuk
cokelat kehitaman, tekstur klastik dengan ukuran butir 1/8 – ¼ mm, komposisi
silikaan, struktur berlapis dan struktur sedimen berupa laminasi. Satuan ini
memiliki tebal 13 meter. Satuan ini dijumpai sepanjang 17 meter dengan slope
27° terbentuk di lingkungan laut dangkal.

2. Satuan Batugamping

Terdapat satuan batugamping diatasnya yang memiliki tebal 14 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar abu-abu kecokelatan, warna lapuk cokelat
kehitaman, tekstur bioklastik, komposisi kimia karbonatan, struktur berlapis.
Adapun kedudukan batuannya N 100°E/22°. Satuan ini dijumpai sepanjang 21
meter dengan slope 20° dan terbentuk di lingkungan laut dangkal.

3. Satuan Batulempung

Terdapat satuan batulempung diatasnya yang memiliki tebal 6,5 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar abu-abu kecokelatan, warna lapuk abu-abu
kehitaman, tekstur klastik dengan ukuran butir <1/256 mm, struktur laminasi.
Batulempung ini dijumpai sepanjang 11 meter dengan slope 16° dan memiliki
kedudukan N 93°E/41°. Satuan ini terbentuk di lingkungan laut dangkal.

4. Satuan Batugamping

Terdapat satuan batugamping diatasnya yang memiliki tebal 18 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar putih kekuningan, warna lapuk cokelat kehitaman,
tekstur bioklastik, komposisi kimia karbonatan, struktur berlapis dan kedudukan
batuannya N 120°E/25°. Satuan ini dijumpai sepanjang 21 meter dengan slope 20°
dan terbentuk di lingkungan laut dangkal.

5. Satuan Batulempung

Terdapat satuan batulempung diatasnya yang memiliki tebal 4,3 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar cokelat muda, warna lapuk cokelat kehitaman,
tekstur klastik, ukuran butir <1/256 mm, struktur berlapis dan kedudukan
batuannya adalah N 105°E/27°. Satuan ini dijumpai sepanjang 7 meter dengan
slope 16° dan terbentuk di lingkungan laut dangkal.

6. Satuan Batulanau

Terdapat satuan batulanau diatasnya yang memiliki tebal 5,3 meter.


Memiliki ciri fisik warna segar kecoklatan, warna lapuk cokelat kehitaman,
tekstur klastik dan kedudukan N 102°E/22°. Satuan ini dijumpai sepanjang 9
meter dengan slope 11° dan terbentuk di lingkungan laut dangkal.

7. Satuan Batupasir Kasar


Terdapat satuan batupasir yang memiliki tebal 3 meter. Memiliki ciri fisik
warna segar abu-abu kehitaman, tekstur klastikm, ukuran butir 1 – ½ mm.
Batupasir ini dijumpai sepanjang 18 meter dengan slope 14° dan memiliki
kedudukan N 102°E/24°. Satuan ini terbentuk di lingkungan laut dangkal.

8. Satuan Konglomerat

Terdapat satuan konglomerat yang memiliki tebal 11 meter. Memiliki ciri


fisik warna segar abu-abu kecokelatan, warna lapuk abu-abu kehitaman, tekstur
klastik dengan ukuran butir ¼ - 64 mm, sortasi buruk, kebundaran subangular
hingga subrounded, fragmen dari batuan beku berupa basalt, matriks batuan beku,
dan semen berupa gelas silika. Batuan konglomerat ini dijumpai sepanjang 18
meter dengan slope 14° dan memiliki kedudukan N 144°E/31°. Satuan ini
terbentuk di lingkungan darat

Gambar 4.1 Penampang stratigrafi terukur daerah penelitian

4.2 Perhitungan

4.2.1 Koraksi Dip

Rumus: tan-1 (sinβ x tan dip)

1. Stasiun 1
Koreksi dip = tan-1 (sin 75 x tan 25)
Koreksi dip = 24,08˚
2. Stasiun 2
Koreksi dip = tan-1 (sin 32 x tan 31)
Koreksi dip = 17,32˚
3. Stasiun 3
Koreksi dip = tan-1 (sin 78 x tan 22)
Koreksi dip = 21,55˚
4. Stasiun 4
Koreksi dip = tan-1 (sin 80 x tan 41)
Koreksi dip = 40,124˚
5. Stasiun 5
Koreksi dip = tan-1 (sin 58 x tan 25)
Koreksi dip = 21,55˚
6. Stasiun 6
Koreksi dip = tan-1 (sin 68 x tan 27)
Koreksi dip = 25,22˚
7. Stasiun 7
Koreksi dip = tan-1 (sin 70 x tan 22)
Koreksi dip = 20,756˚
8. Stasiun 8
Koreksi dip = tan-1 (sin 72 x tan 24)
Koreksi dip = 22,91˚
9. Stasiun 9
Koreksi dip = tan-1 (sin 30 x tan 31)
Koreksi dip = 17,32˚

4.2.2 Beda Tinggi

Rumus : Jarak lintasan x sin slope

1. Stasiun 1 – Stasiun 2
Beda tinggi = 17 meter x sin 27˚
Beda tinggi = 7,701 meter
2. Stasiun 2 – Stasiun 3
Beda tinggi = 21 meter x sin 20˚
Beda tinggi = 7,14 meter
3. Stasiun 3 – Stasiun 4
Beda tinggi = 11 meter x sin 16˚
Beda tinggi = 3,025 meter
4. Stasiun 4 – Stasiun 5
Beda tinggi = 21 meter x sin 20˚
Beda tinggi = 7,14 meter
5. Stasiun 5 – Stasiun 6
Beda tinggi = 7 meter x sin 16˚
Beda tinggi = 1,925 meter
6. Stasiun 6 – Stasiun 7
Beda tinggi = 9 meter x sin 11˚
Beda tinggi = 1,717 meter
7. Stasiun 7 – Stasiun8
Beda tinggi = 5 meter x sin 17˚
Beda tinggi = 1,46 meter
8. Stasiun 8 – Stasiun 9
Beda tinggi = 18 meter x sin 14˚
Beda tinggi = 4,35 meter

4.2.3 Jarak Datar

Rumus : Jarak lintasan x cos slope

1. Stasiun 1 – Stasiun 2
Jarak lintasan = 17 meter x cos 27˚
Jarak lintasan = 15, 147 meter
2. Stasiun 2 – Stasiun 3
Jarak lintasan = 21 meter x cos 20˚
Jarak lintasan = 19,73 meter
3. Stasiun 3 – Stasiun 4
Jarak lintasan = 11 meter x cos 16˚
Jarak lintasan = 10,57 meter
4. Stasiun 4 – Stasiun 5
Jarak lintasan = 21 meter x cos 20˚
Jarak lintasan = 19,73 meter
5. Stasiun 5 – Stasiun 6
Jarak lintasan = 7 meter x cos 16˚
Jarak lintasan = 6,72 meter
6. Stasiun 6 – Stasiun 7
Jarak lintasan = 9 meter x cos 11˚
Jarak lintasan = 8,883 meter
7. Stasiun 7 – Stasiun8
Jarak lintasan = 5 meter x cos 17˚
Jarak lintasan = 4,78 meter
8. Stasiun 8 – Stasiun 9
Jarak lintasan = 18 meter x cos 14˚
Jarak lintasan = 17,46 meter

4.2.4 Ketebalan

Rumus : Panjang mistar x skala

1. Stasiun 2
Ketebalan = 13 cm x 100
Ketebalan = 13 m
2. Stasiun 3
Ketebalan = 14 cm x 100
Ketebalan = 14 m
3. Stasiun 4
Ketebalan = 6,5 cm x 100
Ketebalan = 6,5 m
4. Stasiun 5
Ketebalan = 18 cm x 100
Ketebalan = 18 m
5. Stasiun 6
Ketebalan = 4,3 cm x 100
Ketebalan = 4,3 m
6. Stasiun 7
Ketebalan = 5,3 cm x 100
Ketebalan = 5,3 m
7. Stasiun 8
Ketebalan = 3 cm x 100
Ketebalan = 3 m
8. Stasiun 9
Ketebalan = 11 cm x 100
Ketebalan = 11m
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang bisa kita dapatkan dari praktikum ini adalah
sebagai berikut :
1. Ketebalan dari setiap lapisan berdasarkan penampang stratigrafi terukur
bertuturut-turut dari sekis mika (stasiun 1) hingga konglomerat (stasiun 9)
adalah 13 m; 14 m; 6,5 m; 18m; 4,8 m; 5,3 m; 3 m dan 11 m.
2. Stratigrafi daerah penelitian dibagi atas dua yakni Kompleks Tektonik
Bantimala atau Kompleks Basement yang terdiri atas satuan Sekis Mika dan
Formasi Walanae yang terdiri atas satuan Batupasir, Batugamping,
Batulempung, Batugamping, Batulempung, Batulanau, Batupasir Kasar dan
Konglomerat. Adapun hubungan antara Kompleks Tektonik Bantimala atau
Kompleks Basement dengan Formasi Walanae adalah tidakselaras karena
adanya rumpang waktu pengendapan.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Mustaghfirin. 2013. Geologi Dasar 2 kelas X semester II. Jakarta :


Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Noor, Djauhari.2009. Pengantar Geologi. Bogor : PT. Graha Ilmu
Noor, Djauhari.2012. Pengantar Geologi. Bogor : PT. Graha Ilmu
L
A
M
P
I
R
A
N

Anda mungkin juga menyukai