Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA OTAK BERAT (COB)

Tugas Ini Disusun Sebagai Salah Satu Bentuk Penugasan Dalam Praktik Profesi Ners Stase
Keperawatan Gadar Kritis

Disusun Oleh :

FARIS NUR FITRA (20650196)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2021
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis merupakan suatu trauma/ruda paksa yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2013).
Brain Injury Association of America mendefinisikan cedera kepala sebagai suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Penangan khususnya pada klien dengan Cidera Kepala Berat (CKB) yang mengalami
perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian epidural (EDH) maupun
subdural (SDH) dilakukan tindakan trepanasi/kraniotomi.
Epidural hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan
lapisan duramater, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya Arteri meningica
media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena
emmisaria, Sinus venosus duralis.
Subdural hematoma (SDH)  merupakan suatu perdarahan yang terdapat pada rongga
diantara lapisan duramater dengan araknoidea, sumber perdarahan dapat berasal dari
Bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis.
Intracranial hematoma (ICH) sendiri merupakan perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Menurut Dorland (2018), kraniotomi/trepanasi adalah setiap operasi terhadap
cranium. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat
tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan
(Hinchliff, Sue. 2013).
Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intrakranial. (Brunner & Suddarth. 2012).
Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang
tengkorak untuk, untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan
darah atau menghentikan perdarahan.

2. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2016).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan adalah
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000
populasi di Amerika Serikat (Coronado, Thomas, 20017).

penyebab lain terjadinya trauma kepala antara lain :


a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Serangan yang disebabkan karena olah raga
i. Perkelahian

3. Mekanisme Trauma Kepala


Menurut Tarwoto (2017) mekanisme cedera memegang peranan yang sangat sadar
dalam berat ringannya dari trauma kepala. Mekanisme cedera kepala dapat dibagi
menjadi :
a. Cedera Percepatan (akselerasi) yaitu jika benda yang bergerak membentur kepala
yang diam, misalnya pada orang-orang diam kemudian terpukul atau terlempar
batu.
b. Cedera Perlambatan (Deselerasi) yaitu jika kepala bergerak membentur benda
yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur.
c. Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi
akibat trauma, misalnya ada fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau
pemotongan pada jaringan otak.

4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala
(Gennarelli, 2016 ; Israr dkk, 2011). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang
bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan
kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering
dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Akselerasi-deselerasi terjadi karena
kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi
solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap
kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang
dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2013).
Pembedahan Trepanasi/Craniotomy

Prosedur operasi invasif Perdarahan Otak Prosedur Anestesi

Penekanan pada susunan saraf pusat (S


Luka insisi Trauma jaringan Kerusakan neuromuskular Penurunan aliran darah ke otak

Mengaktivasi reseptor nyeri


Penurunan kelembaban luka
Penurunan suplay O2 ke otak
Paralisis Penurunan tonus otot sensori Penekanan pusat pernapasan
Penekanan pada sistem ka

Mengaktivasi reseptor nyeri Infeksi bakteri


Kelemahan pergerakan sendi
Perubahan persepsi sensori
Gangguan metabolismeHipoksia jaringan
Penurunan kerja organ pernapasan
Penurunan cardiac
Resiko infeksi
Melalui sistem saraf ascenden
Kontraktur Peningkatan asam laktat Penurunan RR
Penurunan ekspansi paru
Suplai darah berk
Merangsang thalamus dan korteks serebri
Gangguan mobilitas fisik
Edema otak
Penurunan aliran
Ketidakadekuatan suplai O2
Muncul sensasi nyeri Risiko perfusi serebral tidak efektif
Perfusi perifer tidak
Pola napas tidak efektif
Nyeri
5. sifikasi
Cedera kepala berdasarkan klasifikasinya dapat dibagi menjadi :
a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau luka
penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki akses langsung ke otak.
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: komusio (gagar otak), kontusio (memar), dan laserasi
(Brunner & Suddarth, 2001)

Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala dapat dibagi menjadi :


a. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan
nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur
tengkorak, kontusio/hematoma
b. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral,
laserasi, hematoma dan edema serebral

Berikut adalah standar penilaian berdasarkan Gaslow Coma Scale (GCS)


E = Eyes / Buka mata
 Spontan 4
 Respon terhdap perintah lisan 3
 Respon terhadap rangsangan sakit 2
 Tidak ada respon 1
M = Motorik respons / Respon motorik
 Sesuai perintah 6
 Terlokasi pada tempat sakit 5
 Menarik terhadap rangsang sakit 4
 Fleksi abnormal 3
 Respon ekstensor 2
 Tidak ada respon 1
V = Verbal response
 Bicara sesuai, terorientasi 5
 Bicara kacau 4
 Bicara tidak sesuai 3
 Kata-kata tak berarti 2
 Tidak ada respon verbal 1
 Terintubasi T
Ketiga tersebut di gabungkan atau dijumlahkan menjadi penilaian GCS = E M V
(urutan yang sering di gunakan urutannya untuk berkomunikasi dengan dokter atau
petugas kesehatan lain adalah Eyes (E) motorik (M) Verbal (V))

Jumlah sekor :
15 = Compos mentis (CM)
14 – 11 = Somnolen
11 – 8 = Apatis
8 – 7 = Soporus
misalkan : E3 M5 V4 = 12 ( kesadaran somnolen)

Klasifikasi kraniotomi/trepanasi
Secara umum ada dua pendekatan melalui tengkorak yang digunakan:
a. Di atas tentorium (kraniotomi supratentorial) ke dalam kompartemen
supratentorial.
b. Di bawah tentorium ke dalam kompartemen infratentorial (fossa posterior).
c. Pendekatan transfenodial melalui sinus mulut dan hidug digunakan untuk membuat
akses ke kelenjar hipofisis.

6. Manifestasi Klinis
Gejala klinis trauma kepala sebagai berikut:
a. Battle sign : warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid
b. Hemotipanum : perdarahan di daerah membrane timpani telinga
c. Periorbital ecchymosis : mata warna hitam tanpa trauma langsung
d. Rhinorrhe : cairan serebrospinal keluar dari hidung
e. Otorrhe : cairan serebrospinal keluar dari telinga

Gejala Klinis untuk trauma kepala ringan, sebagai berikut:


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau dan muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan kepribadian diri
f. Letargik

Gejala Klinis untuk trauma kepala berat, sebagai berikut:


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan perubahan di otak, menurun
atau meningkat
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernapasan)
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas

Manifestasi kilnis Subdural hematoma (SDH) antara lain:


a. Nyeri kepala 
b. Bingung 
c. Mengantuk 
d. Menarik diri 
e. Berfikir lambat 
f. Kejang 
g. Udem pupil
Indikasi operasi menurut EBIC (Europe Brain Injuy Commition) pada perdarahan
subdural adalah jika perdarahan tebalnya lebih dari 1cm, jika terdapat pergeseran garis
tengah lebih dari 5mm.

Manifestasi klinis Epidural hematoma (EDH) antara lain:


a. Penurunan kesadaran
b. Adanya lateralisasi
Adanya ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh,
dapat berupa Hemiparese/plegi, pupil anisokor, reflek patologis satu sisi. Adanya
lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil
anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH
sedangkan hemiparese/plegi letaknya kontralateral dengan lokasi EDH.
c. Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian analgesia
d. Bingung
e. Susah Bicara
f. Pengelihatan kabur
g. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
h. Pusing
i. Mual
j. Wajah tampak pucat
k. Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan
bentuk bikonvek diantara 2 sutura.
Indikasi dilakukan operasi pada EDH jika hasil CT Scan menunjukkan terjadinya
perdarahan volumenya lebih dari 20cc atau tebal lebih dari 1cm atau dengan
pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5mm, tanda-tanda lokal dan
peningkatan TIK > 25 mmHg, keadaan pasien memburuk.

Gejala Klinis ICH


Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang
disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens
yang indikasi dilakukan operasi jika Single diameter lebih dari 3cm, Perifer, adanya
pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
a. CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre
menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d. Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
f. BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
h. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak.
m. Mielografi
Untuk mengganbarkan ruang sub arachnoid sepinal dan menunjukkan adanya
penyimpangan medulla spinalis.

8. Diagnosis
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi tomografi computer (pemindaian CT)
untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran
ventrikel, dan perubahan posisinya. Pencitraan resonans magnetik (MRI) memberikan
informasi serupa dengan pemindaian CT, dengan tambahan keutungan pemeriksaan
lesi di potongan lain. Angiografi serebral dapat digunakan untuk meneliti suplai darah
tumor atau memberi informasi mengenai lesi vascular. Pemeriksaan Doppler
transkranial mengevaluasi aliran darah pembuluh darah intrakranial.

9. Terapi
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO 2 ini
yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin
kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO 2 yang meninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intrakranial.
Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau
hematoma di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan
trepanasi. Indikasi dilakukanya trepanasi yaitu penurunan kesadaran tiba-tiba di depan
mata, adanya tanda herniasi/lateralisasi, adanya cedera sistemik yang memerlukan
operasi emergensi dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Teknik Operasi Trepanasi Kepala :
a. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang
lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring
kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi)
misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
b. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan
lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih
baik. Keringkan dengan duk steril. Pasang duk steril di bawah kepala untuk
membatasi kontak dengan meja operasi
c. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan
melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut untuk kosmetik, sinus
untuk menghindari perdarahan, sutura untuk mengetahui lokasi, zygoma sebagai
batas basis cranii, jalannya N ke-VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai
dengan canthus lateralis orbita)
d. Desinfeksi
Desinfeksi  lapangan operasi  dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
e. Operasi
1) Insisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak
tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan
fiksasi pada doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan
rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar
CT scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian
dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula
interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan
sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian
masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya.
Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara  tulang
dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator
kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling
dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan
dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi
dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan
dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah
tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan
profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk
mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara
simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi
perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya
adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berla-
wanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian
bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat
dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut
tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah
duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai
pelindung terhadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk
pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang
subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak
ada darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak
yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari
perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan
kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang
jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang
dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak
dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara
sebagai berikut:
- Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar
kulit.
- Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
- Pasang drain subgaleal.
- Jahit galea dengan vicryl 2.0.
- Jahit kulit dengan silk 3.0.
- Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
- Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada
tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang
akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada tulang
yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4
buah ditepi dan  2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura). Lakukan
fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis demi lapis
seperti diatas.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

Intervensi Keperawatan
a. Kraniotomi supratentorial
 Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat dengan leher pada kesejajaran
netral.
 Posisikan pasien miring atau terlentang. (Hindari memposisikan pasien pada
sisi operasi bila tumor besar telah diangkat)
b. Kraniotomi Intratentorial
 Pertahankan leher dalam kesejajaran lurus.
 Hindari fleksi leher untuk mencegah kemungkinan robekan garis jahitan.
 Posisikan pasien miring. (Periksa protokol untuk peddoman posisi pasien)
c. Transfenoidal
 Pertahankan tampon nasal di tempatnya dan kuatkan sesuai kebutuhan.
 Instruksikan pasien untuk menghindari meniup hidup.
 Berikan perawatan oral sering.
 Pertahankan kepala tempat tidur tinggi utuk meningkatkan drainase vena dan
drainase dari sisi pembedahan.

10. Komplikasi
Komplikasi bedah intrakranial meliputi peningkatan TIK, infeksi, dan defisit
neurologik.
a. Peningkatan TIK dapat terjadi sebagai akibat edema serebral atau pembengkakan
dan diatasi dengan manitol, diuretik osmotik. Pasien juga memerlukan intubasi
dan penggunaan agens paralisis.
b. Infeksi mungkin karena insisi terbuka. Pasien harus mendapat terapi antibiotik,
dan balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan
drainase, bau menyengat, drainase purulen, dan kemerahan serta bengkak
sepanjang garis insisi.
c. Defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pascaperasi status
neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

 Primary Survey

a. Airway
- Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah dilakukan
pembedahan akibat pemberian anestesi.
- Potency jalan nafas, à meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
- Auscultasi paru à keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.
b. Breathing
- Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga
terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa
berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi
sputum pada jalan napas.
- Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR  < 10 X / menit à depresi
narcotic, respirasi cepat, dangkal à gangguan cardiovasculair atau rata-rata
metabolisme yang meningkat.
- Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma,
retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
c. Circulating:
- Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
- Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
d. Disability : berfokus pada status neurologi
- Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik dan tanda-
tanda vital.
- Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan, kelemahan
atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah.
Secondary Survey : Pemeriksaan fisik

a. Abdomen.
Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati  teraba 2 jari bawah iga,dan limpa tidak
membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit.
Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus dilakukan pada
gastrointestinal.
b. Ekstremitas
Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot ekstremitas atas 4-4 dan
ekstremitas bawah 4-4., akral dingin dan pucat.
c. Integumen.
Kulit keriput, pucat. Turgor sedang
d. Pemeriksaan neurologis
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan
pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
 Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
 Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, foto fobia.
 Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
 Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
 Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
 Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi,
disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

Tersiery Survey

a. Kardiovaskuler
Klien nampak lemah, kulit  dan kunjungtiva pucat dan akral hangat. Tekanan darah
120/70 mmhg, nadi 120x/menit, kapiler refill 2 detik. Pemeriksaan laboratorium: HB =
9,9 gr%,  HCT= 32 dan PLT = 235.
b. Brain
Klien dalam keadaan sadar, GCS: 4-5-6 (total = 15), klien nampak lemah, refleks dalam
batas normal.

c. Blader
Klien terpasang doewer chateter urine meliputi jumlah dan warna

1. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Gangguan mobilitas fisik b.d kontraktur
c. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala
d. Pola nafas tidak efekti b.d hambatan upaya nafas
e. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan aliran arteri
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri

D.0077 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Observasi:


diharapkan tingkat nyeri menurun
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Pengertian : Kriteria Hasil: frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
Pengalaman sensorik Memburu Cukup Sedang Cukup Membaik
atau emosional yang k Memburu Membaik
berkaitan dengan k
kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, 1 Frekuensi nadi
dengan onset
  1 2 3 4 5
mendadak atau lambat
dan berintensitas 2 Pola nafas
ringan hingga berat
yang berlangsung   1 2 3 4 5
kurang dari 3 bulan.
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
Meningka Menurun
t

3 Keluhan nyeri

  1 2 3 4 5

4 Meringis

  1 2 3 4 5

5 Gelisah

1 2 3 4 5
6 Kesulitan tidur

1 2 3 4 5
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan Mobilitas Mobilitas Fisik Dukungan mobilisasi


Fisik
Observasi:
D.0054 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
diharapkan mobilitas fisik meningkat  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
 Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Pengertian : Kriteria Hasil:  Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
sebelum memulai mobilisasi
Keterbatasan dalam Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
 Monitor kondisi umum selama melakukan
gerakan fisik dari suatu Menurun Meningkat
atau lebih ekstremitas
secara mandiri 1 Pergerakan ekstremitas

  1 2 3 4 5

2 Kekuatan otot

  1 2 3 4 5

Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun


Meningkat Menurun

3 Nyeri

  1 2 3 4 5

4 Kaku sendi

  1 2 3 4 5

5 Gerakan terbatas

1 2 3 4 5

6 Kelemahan fisik
1 2 3 4 5
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi

Risiko Perfusi Serebral Perfusi Serebral Manajemen Peningkatan TIK


Tidak Efektif
Observasi
D.0017 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x8 jam diharapkan
tidak terjadi risiko perfusi serebral tidak efektif.  Identifikasi penyebab peningkatan TIK
 Monitor tanda atau gejala peningkatan TIK
Pengertian : Kriteria Hasil:  Monitor MAP
Terapeutik
Berisiko mengalami No Meningka Cukup Sedan Cukup Menurun
penurunan sirkulasi . t meningkat g Menurun  Berikan posisi semi fowler
darah ke otak 1. Tekanan Intrakranial  Hindari pemberian cairan IV hipotonik
1 2 3 4 5  Cegah terjadinya kejang
2. Sakit kepala Kolaborasi
1 2 3 4 5
3. Gelisah
1 2 3 4 5
 Kolaborasi dalam pemberian sedasi dan anti konvulsan,
4. Kecemasan jika perlu
1 2 3 4 5  Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
5. Agitasi
1 2 3 4 5
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi

Pola nafas tidak Pola Napas Pemantauan Respirasi


efektif
Observasi:
D.0005 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi  Monitor pola nafas, monitor saturasi oksigen
adekuat membaik .  Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
upaya napas
Pengertian : Kriteria Hasil:  Monitor adanya sumbatan jalan nafas
Terapeutik
Inspirasi dan/atau Menurun Cukup Sedang Cukup Meningk
ekspirisasi yang Menurun Meningk at
tidak memberikan at
ventilasi adekuat
1 Dipsnea

  1 2 3 4 5

2 Penggunaan otot bantu napas

  1 2 3 4 5

Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik


Memburu Membaik
k

3 Frekuensi napas

  1 2 3 4 5

4 Kedalaman napas

  1 2 3 4 5
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi

Perfusi Perifer Perfusi Perifer Perawatan Sirkulasi


Tidak Efektif
Observasi:
D.0009 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
diharapkan perfusi perifer meningkat  Periksa sirkulasi perifer
 Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
Pengertian : Kriteria Hasil:  Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau
bengkak pada ekstremitas
Terapeutik

 Hindari pemasangan infus atau pengambilan


darah di area keterbatasan perfusi
 Hindari pengukuran tekanan darah pada
ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
 Hindari penekanan dan pemasangan torniquet
pada area yang cedera
 Lakukan pencegahan infeksi
 Lakukan hidrasi
Edukasi

 Anjurkan berhenti merokok


 Anjurkan berolahraga rutin
 Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan
darah, antikoagulan, dan penurun kolestrol, jika
perlu
 Anjurkan untuk melakukan perawatan kulit
yang tepat
 Anjurkan program diet untuk memperbaiki
sirkulasi
 Informasikan tanda dan gejala darurat yang
harus dilaporkan
Penurunan sirkulasi Meningka Cukup Sedang Cukup Menuru
darah pada level t Meningk Menuru n
kapiler yang dapat at n
mengganggu 1 Warna kulit pucat
metabolisme tubuh
  1 2 3 4 5

2 Edema perifer

1 2 3 4 5

3 Kelemahan otot

Memburuk Cukup Sedan Cukup Membaik


Memburu g Membaik
k

4 Pengisian kapiler

1 2 3 4 5

5 Akral

1 2 3 4 5

 6 Turgor Kulit

1 2 3 4 5
DAFTRA PUSTAKA

Dochterman, Joanne McCloskey et al.2014. Nursing Interventions Classification (NIC).


Missouri :Mosby

Moorhead, Sue et al. 2018. Nursing Outcome Classification (NOC). Missouri : Mosby

Potter&Perry.2011. Fundamental Keperawatan. Jakarta:EGC

Price, Sylvia A. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1. Jakarta:
EGC

Price, Sylvia A. 2016. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Jakarta:
EGC

Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC

Zen Akatsuki. 2011. Trepanasi / KranioktomiI pada EDH dan SDH.


http://akatsuki-ners.blogspot.com/2011/08/trepanasi-kranioktomii-pada-edh-dan-
sdh.html. Diakses (online) 23 Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai