Anda di halaman 1dari 10

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

Nama : MUHAMAD FARIS ALMUZAKI SUSANTO


NIM : 1186000131
MATA KULIAH : PSIKOLOGI KONSELING
PROGRAM : S–1
SEMESTER / KELAS : VI. B
DOSEN : PROF. DR. HJ. ULFIAH, M.Si
ASISTEN : -
HARI : KAMIS, 22 APRIL 2021

PETUNJUK
1. Bacalah Basmallah sebelum menjawab soal !
2. Jawablah semua pertanyaan dengan jelas dan benar !
3. Diharamkan mencontek dan kerjasama !
4. Bobot setiap soal 20 dan skor maksimal 100 !

PERTANYAAN :
1. Ada beberapa hal yang terkait dengan Konsep Dasar Psikologi Konseling, jelaskan :
a. Pengertian Psikologi Konseling!
b. Prinsip-prinsip konseling!
c. Tujuan dan asas-asas konseling!

2. Konseling merupakan proses hubungan antara konselor dengan konseli, agar hubungan
dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan seorang konselor yang memiliki kualifikasi
yang diharapkan. Jelaskan pernyataan di maksud.

3. Anda sudah memahami tentang teori konseling Behavioristik, jelaskan pula perbedaannya
dengan konseling Rasional Emotif perilaku (KREP):
a. Tokohnya
b. Konsep Kuncinya
c. Teknik Konselingnya

4. Menjadi konselor tidaklah mudah, hal ini dibutuhkan syarat-syarat kompetensi yg harus
dimiliki, jelaskan kompetensi yang dimaksud.

5. Jelaskan masalah-masalah konseli dalam konseling dan uraikan tentang konseling


individu serta kelebihan dan kelemahan konseling kelompok.

------------- Selamat Bekerja -------------


JAWABAN

1. a. secara harfiah psikologi adalah ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa. Sedangkan Konseling
(counseling) biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang secara awam dimaknakan
sebagai pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain. Konseling sebagai
cabang dari psikologi adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli
(disebut konselor) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah (disebut konsele) yang
bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Istilah ini pertama kali digunakan
oleh Frank Parsons di tahun 1908 saat ia melakukan konseling karier. Berikut Pengertian
Konseling.
b. Prinsip-primsip konseling meliputi
 Prinsip yang berkenaan dengan sasaran pelayanan
 Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan permasalahan konseli
 Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan program layanan
 Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan layanan.

c. Tujuan konseling adalah pengembangan kemampuan klien untuk mengatasi masalahnya,


memiliki kemampuan untuk mencintai dan bekerja keras, melakukan sesuatu dengan rasa
tanggung jawab dan percaya diri. Atau secara umumnya adalah sebagai pembantu dalam hal
meningkatkan daya psikologis orang yang tergolong normal-distressed, dalam upaya
meningkatkan daya psikologisnya ke arah yang cenderung lebih normal, sedangkan orang
yang sudah normal agar menjadi sehat psikisnya

Asas- asas pelayanan konseling meliputi :

 Asas kerahasiaan

 Asas kesukarelaan

 Asas keterbukaan

 Asas kekinian

 Asas kemandirian

 Asas kegiatan

 Asas kedinamisan

 Asas keterpaduan

2. Seorang konselor harus memiliki beberapa spesifikasi khusus sebagai upaya terciptanya
proses konseling dengan baik. Terdapat beberapa kepribadian konselor yang perlu
diperhatikan dan harus dimiliki seorang konselor untuk kepribadiannya yaitu: memiliki
kepribadian yang kuat, bersifat menerima seseorang sebagaimana adanya, empati, jaminan
emosional, menghindari nasihatnasihat, memiliki ilmu jiwa dalau atau pun psikologi dan
psikoterapi. Untuk terlaksananya suatu komunikasi konseling yang dialogis dengan
mengajak klien berpartisipasi secara aktif, selain dari memahami karakter klien, adalah
menguasai materi bahasan dan menguasai keterampilan berkomunikasi dialogis. Hubungan
antara konselor dan klien merupakan unsur penting dalam konseling. Hubungan konseling
harus dibangun secara spesifik dan berbeda dengan hubungan sosial lainnya. Karena
konseling membutuhkan hubungan yang diantaranya perlu adanya keterbukaan,
pemahaman, penghargaan secara positif tanpa syarat, dan empati.

3. a.Tokoh :

Behavioristik : Konseling Behavioral pada mulanya disebut dengan Terapi Perilaku yang
berasal dari konsep dua arah yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F.
Skinner. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk menanggulangi
(treatment) neurosis. Tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-
metode Stimulus-Respon (S-R) sedapat mungkin.

Rational emotif perilaku : Konseling Rasional Emotif Perilaku dikembangkan oleh Albert
Ellis, seorang eksistensialis pada tahun 1955.

b. Konsep kunci :

Behavioristik : Dalam konsep behavior, perilaku manusia merupakan hasil belajar yang dapat
diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi-kondisi belajar. Di mana proses
konseling merupakan suatu proses atau pengalaman belajar untuk membentuk konseli
mengubah perilakunya sehingga dapat memecahkan masalahnya. Sedangkan dasar tori-nya
adalah bahwa perilaku dapat dipahami sebagai hasil kombinasi Stimulus-respon.

Rational emotif perilaku : Konsep atau teori ABC. Model ini menyediakan alat yang berguna
untuk memahami perasaan, pikiran, peristiwa, dan perilaku konseli.

 Activiting event (A) merupakan peristiwa pembangkit, pengakit yang berisi


keberadaan suatu fakta, kejadian atau perilaku atau sikap orang-orang lain Belief (B)
berisi keyakinan (biliefs) atau verbalisasi diri atau “bisik diri” seseorang atas
“Activiting event”.
 Belief (B) keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu
peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu: (1) keyakinan yang rasional
(rational belief atau rB) merupakan cara berpikir atau sistem keyakinan yang tepat,
masuk akal, bijaksana, dan karena itu menjadi produktif, dan (2) keyakinan yang tidak
rasional (irrasional belief atau iB) merupakan keyakinan atau sistem berpikir
seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan karena itu tidak produktif.
 Consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi
individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya
dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari
A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik
yang rB maupun yang iB.
 Disputing (D), tindakan terapeutik untuk menjadikan irrasional ke rasional.
Terdapat tiga bagian dalam tahap disputing, yaitu: 1) Detecting irrational beliefs.
Konselor menemukan keyakinan konseli yang rasional dan membantu konseli untuk
menemukan keyakinan irasionalnya melalui persepsinya sendiri; 2) Discriminating
irrational beliefs. Biasanya keyakinan irasional diungkapkan dengan kata-kata: harus,
pokoknya atau tuntutan-tuntutan lain yang tidak realistik. Membantu konseli untuk
mengetahui mana keyakinan yang rasional dan yang tidak rasional; dan 3) Debating
irrational beliefs. Beberapa strategi yang dapat digunakan: a) The lecture (mini-
lecture), memberikan penjelasan; b) Socratic debate, mengajak konseli untuk beradu
argument; c) Humor, creativity seperti: cerita, metaphors, dan lain-lain; d) Self-
disclosure: keterbukaan konselor tentang dirinya (kisah konselor, dll)
 Effect (E). Hasil akhir dari A-B-C-D berupa Effect (E) dari behavior, kognitif, dan
emotif, bilamana A-B-C-D berlangsung dalam proses berpikir yang rasional dan logis,
maka hasil akhirnya berupa perilaku positif, sebaliknya jika proses berpikir irasional
dan ilogik maka hasil akhirnya berupa tingkah laku negatif.

Pribadi Sehat dan Bermasalah Pribadi sehat, yaitu bilamana individu mampu
menggunakan kemampuan berpikir rasional untuk memecahkan dan menghadapi
masalah-masalah hidupnya secara bijak. Selain itu individu mampu memanfaatkan segala
kelebihan dan keterbatasan dirinya serta mampu mengaktualisasikan diri, lebih percaya
diri, dan tidak bergantung kepada orang lain serta dapat menyesuaikan diri di tengah-
tengah lingkungannya (Corey, 1982). Pribadi bermasalah dalam perspektif pendekatan
konseling rasional emotif perilaku adalah tingkah laku yang didasarkan pada cara
berpikir yang irrasional. Ciri-ciri berpikir irasional: (1) tidak dapat dibuktikan; (2)
menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang
sebenarnya tidak perlu; (3) menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan
sehari-hari yang efektif.

c.Teknik konseling

Behavioristik : Teknik Konseling Behavior

Perbedaan konseling behavior dibanding dengan metode yang lain adalah pengembangan
prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan untuk diperbaiki
melalui metode ilmiah. Dalam konseling behavior, teknik-teknik spesifik yang beragam dapat
digunakan secara sistematis dan hasilnya bisa dievaluasi. Teknik-teknik tersebut bisa
digunakan jika saatnya tepat untuk menggunakannya dan banyak diantaranya yang bisa
dimasukkan kedalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model lain.

Teknik yang digunakan dalam konseling behavior diantaranya adalah sebagai berikut:

Teknik tingkah laku umum

 Penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada klien ketika tingkah laku
yang baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien. Penguatan harus dilakukan
secara terus-menerus sampai tingkah laku tersebut terbentuk dalam diri klien.
 Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari tingkah laku baru
secara bertahap. Konselor dapat membagi-bagi tingkah laku yang ingin dicapai dalam
beberapa unit, kemudian mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
 Ekstingsi adalah teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku
meladaptif tidak berulang. Ini didasarkan pada pandangan bahwa individu tidak akan
bersedia melakukan sesuatu apabila tidak mendapatkan keuntungan.

Teknik-teknik spesifik

 Desensitisasi Sistematik. Desensitisasi sistematik adalah teknik yang paling sering


digunakan. Desensitiasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-
fobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada
penanganan ketakutan-ketakutan. Teknik ini diarahkan kepada klien untuk
menampilkan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan. Desensitisasi sistematik
melibatkan teknik relaksasi dimana klien diminta untuk menggambarkan situasi yang
paling menimbulkan kecemasan sampai titik dimana klien tidak merasa cemas.
 Latihan Asertif. Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas
adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal
dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan
atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.
 Terapi Aversi. Teknik-teknik pengondisian aversi yang telah digunakan secara luas
untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan
pengasosiasisan tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan
sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus-
stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian
ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat
positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.
 Pengondisian Operan. Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang
menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi dilingkungan untuk
menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang
paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca, berbicara,
berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain, dan sebagainya.
 Penguatan Positif. Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan
ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah
suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Penguatan positif adalah
teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran segera setelah tingkah laku yang
diharapkan muncul. Contoh penguatan positif adalah senyuman, persetujuan, pujian,
bintang emas, mendali , uang, dan hadiah lainnya. Pemberian penguatan positif
dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku baru yang telah terbentuk.
 Pencontohan. Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian
diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Belajar yang bisa diperoleh
melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak langsung dengan
mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Dalam
teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk
berprilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam
hal ini konselor, dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien.
 Token Economy. Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah
laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya
tidak memberikan pengaruh. Metode ini menekankan penguatan yang dapat dilihat
dan disentuh oleh klien yang dapat ditukar oleh klien dengan objek atau hak istimewa
yang diinginkannya. Token economy dapat dijadikan pemikat oleh klien untuk
mencapai sesuatu.

Langkah-langkah Konseling Behavior

Tingkah laku yang bermasalah dalam konseling behavior adalah tingkah laku yang berlebih
(excessive) dan tingkah laku yang kurang (deficit). Contoh tingkah laku yang berlebihan
seperti merokok, terlalu banyak main game dan sering memberi komentar di kelas. Adapun
tingkah laku yang deficit adalah terlambat masuk sekolah, tidak mengerjakan tugas dan bolos
sekolah.

Tingkah laku excessive dirawat dengan menggunakan teknik konseling untuk


menghilangkan atau mengurangi tingkah laku, sedangkan tingkah laku deficit dikonseling
dengan menggunakan teknik meningkatkan tingkah laku. Menurut Komalasari (2011),
tahapan dalam konseling behavior adalah sebagai berikut:

 Melakukan asesmen (assessment)

Tahap ini bertujuan untuk menentukan apa yang dilakukan oleh konseli pada saat ini.
Asesmen dilakukan adalah aktivitas nyata, perasaan dan pikiran konseli. Terdapat enam
informasi yang digali dalam asesmen yaitu:

i. Analisis tingkah laku yang bermasalah yang dialami konseli saat ini. Tingkah laku
yang dianalisis adalah tingkah laku yang khusus.
ii. Analisis tingkah laku yang didalamnya terjadi masalah konseli. Analisis ini mencoba
untuk mengidentifikasi peristiwa yang mengawali tingkah laku dan mengikutinya
sehubungan dengan masalah konseli.
iii. Analisis motivasional.
iv. Analisis self kontrol, yaitu tingkatan kontrol diri konseli terhadap tingkah laku
bermasalah ditelusuri atas dasar bagaimana kontrol itu dilatih atas dasar kejadian-
kejadian yang menentukan keberhasilan self kontrol.
v. Analisis hubungan sosial, yaitu orang lain yang dekat dengan kehidupan konseli
diidentifikasi juga hubungannya orang tersebut dengan konseli. Metode yang
digunakan untuk mempertahankan hubungan ini dianalisis juga.
vi. Analisis lingkungan fisik-sosial budaya. Analisis ini atas dasar norma-norma dan
keterbatasan lingkungan.

 Menentukan tujuan (goal setting)


i. Konselor dan konseli menentukan tujuan konseling sesuai dengan kesepakatan
bersama berdasarkan informasi yang telah disusun dan dianalisis. Fase goal setting
disusun atas tiga langkah, yaitu:
ii. Membantu konseli untuk memandang masalahnya atas dasar tujuan-tujuan yang
diinginkan.
iii. Memperhatikan tujuan konseli berdasarkan kemungkinan hambatan-hambatan
situasional tujuan belajar yang dapat diterima dan dapat diukur.
iv. Memecahkan tujuan ke dalam sub-tujuan dan menyusun tujuan menjadi susunan
yang
berurutan.

 Mengimplementasikan teknik (technique implementation)


Setelah tujuan konseling dirumuskan, konselor dan konseli menentukan strategi belajar yang
terbaik untuk membantu konseli mencapai perubahan tingkah laku yang diinginkan.
Konselor dan konseli mengimplementasikan teknik-teknik konseling sesuai dengan masalah
yang dialami oleh konseli (tingkah laku excessive atau deficit).

 Evaluasi dan mengakhiri konseling (evaluation termination)

Evaluasi konseling behavioristik merupakan proses yang berkesinambungan. Evaluasi dibuat


atas apa yang konseli perbuat. Tingkah laku konseli digunakan sebagai dasar untuk
mengevaluasi efektivitas konselor dan efektivitas tertentu dari teknik yang digunakan.
Terminasi lebih dari sekedar mengakhiri konseling. Terminasi meliputi:

Menguji apa yang konseli lakukan terakhir.

i. Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan.


ii. Membantu konseli mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling ke tingkah laku
konseli.
iii. Memberi jalan untuk memantau secara terus menerus tingkah laku konseli.

Rational emotif perilaku : Konseling REB dalam praktik terapinya memberi arahan adanya
langkah konstruktif yang selalu dipergunakan oleh konselor untuk melakukan perubahan
pemikiran irrasional menjadi rasional (Nelson-Jones, 2001; Parrot III, 2003; Prochaska &
Norcross, 2007; Ellis, 2008). Dalam praktiknya, Ellis merekomendasikan sejumlah teknik yaitu:

 Mengajar dan Memberi Informasi. Teknik ini dipandang sebagai tindakan yang mana
konselor mengawal klien untuk dapat membedakan antara pemikiran rasional dan
pemikiran irrasional dan memahami asal muasal terjadinya masalah. Melalui teknik
ini, konselor (dengan berbagai metode) mengajar klien (1) membebaskan diri dari
pandangan yang irasional sehingga mereka dapat menentukan pilihan tingkah laku
yang efektif dan terhindar dari adanya ancaman, (2) menemukan cara-cara atau
tindakan-tindakan yang lebih tepat untuk merespon keadaan (realitas) sehingga klien
tidak terganggu oleh adanya realita yang dihadapi. Isi informasi yang diajarkan oleh
konselor adalah dinamika konsep A-B-C-D-E yang dikaitkan dengan realitas yang
dihadapi klien, sehingga pemecahan masalah dan pemilihan tingkah laku efektif yang
didasarkan pada pengalaman-pengalaman konselor dan anggota dalam kelas dapat
terjadi. Proses ini secara ekplisit dikenal sebagai proses “E” (experiencing).
 Mendiskusikan Masalah. Diskusi dalam konseling kelompok REBT diarahkan dengan
memanfaatkan pengalaman kelompok untuk mendukung informasi konselor.
 Mempropagandakan Berpikir Ilmiah. Ciri berpikir ilmiah adalah adanya obyek yang
jelas sistematis dan metodis. Obyek yang jelas ditandai oleh adanya realitas sistematis
dalam arti proses pemahaman dan obyek realistis dari pengalaman masing-masing
klien terungkap secara berurutan berada pada posisi sinergis.
 Mengkonfrontasikan dan Menantang. Setelah proses berpikir ilmiah berjalan dengan
efektif, selanjutnya klien diharapkan dapat menantang dan menghadapi pemikiran
irrasional. Itu dapat lebih efektif jika klien dapat menyadari sepenuhnya bahwa
pemikiran irrasional yang selama ini ia pertahankan justru akan merusak diri dan
masa depannya, serta mereka berani mengemukakan beberapa jalan pikiran yang
benar, terhindar dari cara pandang irrasional serta dapat mengemukakan
kemungkinan jalan berpikir yang benar.
 Modeling. Pemodelan atau modeling adalah metode untuk menghasilkan perilaku
baru, atau prosedur dengan mana orang dapat belajar perilaku yang diharapkan
melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain. Modeling efektif untuk
mengarahkan partisipan untuk menata dirinya sendiri dengan cara melihat karakter
atau kepribadian seseorang yang kemudian dapat dimengerti oleh partisipan dan
dipedomani sebagai sumber arah diri.

Sedangkan dalam pelaksanaan Konseling Rasional emotif perilaku, terdiri dari tiga
tahapan, yaitu initial stage, working stage dan final stage. Siklus terapi didasarkan atas
formulasi Dobson (2013) dan Ellis (2008), peneliti mengintegrasikan siklus tersebut dalam
tahapan Konseling emotif behavior, yaitu:

 Initial Stage Sesi pertama, bertujuan melakukan assesment sebagai baseline dari
kondisi pra-konseling. Assesment dilakukan, terhadap belive yang ditengarai
mempengaruhi Activating event dan consequence individu (konseli) tersebut,
selanjutnya, dilakukan interpretasi dan pengujian belief atau bisikan diri, konseli
yang bersifat rasional ataupun irasional. Pada sesi ini konselor harus dapat
mengidentifikasi masalah secara spesifik, konseli diperkenankan untuk
menceritakan terlebih dahulu hal-hal yang membuat mereka ingin mengikuti
konseling dan masalah yang dialami, diskusi mengenai harapan konseli membuat
mereka lebih santai. Setelah diketahui semua keterkaitan dan kedalaman dari
masing-masing aspek, serta bentuk permasalahanya, konselor merumuskan tujuan
konseling yang akan dilaksanakan.
 Working Stage Setelah perumusan tujuan, dilakukan perencanaan dan perumusan
treatment bersama dengan konseli, serta dilakukan kontrak atau komitmen secara
prosedural dan terjadwal. Pada tahap ini, konseli diajak untuk menjalankan peran
aktifnya dalam mengatasi permasalahan, konseli dibantu untuk yakin bahwa
pemikiran dan perasaan negatif tersebut dapat ditantang dan diubah. Konseli
mengeksplorasi ide-ide untuk menentukan tujuan-tujuan rasional. Konselor juga
mendebat pikiran irasional konseli (dispute) dengan menggunakan teknik-teknik
konseling untuk menantang validitas ide tentang diri, orang lain dan lingkungan
sekitar.
 Final stage, pada tahap ini pilihan kegiatan yang dilaksanakan oleh konselor
adalah: 1) Memberi dan menerima balikan 2) Memberi kesempatan untuk
mempraktikan perilaku baru 3) Belajar lebih lanjut dari pengembangan
perencanaan yang spesifik untuk mengaplikasikan perubahan pada situasi diluar
terapi (konseling) 4) Mempersiapkan untuk menghadapi adanya kemungkinan
memburuk 5) Mendampingi dalam meninjau pengalaman dan pemaknaan bagi
dirinya.

4. Karakteristik (Kompetensi) Konselor Menurut Hackney dan Cormier (2009) diantara


karakteristik pribadi konselor yang dipandang penting dalam rangka keberhasilan
konseling adalah kesadaran dan pemahaman diri (self-awareness and understanding),
kesehatan psikologis yang baik (good psychological health), kepekaan dan
pemahaman terhadap ras, etnik dan faktor-faktor budaya (sensitivity to and
understanding of racial, ethnic, and cultural factors in self and others), sikap terbuka
(open-mindedness), bersikap objektif (objectivity), Kompeten (competence), dapat
dipercaya (trustworthness), dan kemenarikan interpersonal (interpersonal
attractiveness).

Anthony Yeo (2007) mengemukakan bahwa konseling akan berlangsung secara efektif,
apabila konselor memiliki pengetahuan dasar tentang teori dan praktik konseling,
kemahiran dalam wawancara, dan keterampilan intervensi dalam memecahkan
masalah. Selanjutnya dia mengemukakan tentang karakteristik konselor itu sebagai
berikut.
 Beliefs Beliefs ini menyangkut keyakinan atau pandangan konselor mengenai
kehidupan, orang, dan masalah. Dalam hal ini konselor diharapkan memiliki
pandangan yang optimistik tentang hidup, bersikap altruistik terhadap orang
lain, dan bersikap realistik dalam menghadapi kenyataan hidup dan masalah-
masalah yang dialaminya. Kualitas konselor tersebut sangatlah sesuai dengan
agama. Berdasarkan alasan tersebut, bukanlah hal yang luar biasa apabila
banyak konselor yang beragama. Bahkan di belahan benua Asia, para helper
professional (konselor) pada umumnya memiliki keyakinan beragama
(memeluk agama).
 Self-awarness Konselor diharapkan memiliki kesadaran diri, seperti terkait
dengan nilai-nilai atau keyakinan-keyakinannya, masalah atau kesulitan yang
dialaminya, dan tingkat kesabarannya.
 Knowledge and skills Konselor perlu memiliki pengetahuan atau wawasan dan
keterampilan yang memadai tentang konseling. Secara terus menerus, konselor
perlu mengembangkan profesionalitasnya, seiring dengan perkembangan teori
dan inovasi dalam bidang konseling.
 A proper view of his role Konselor perlu memiliki pandangan yang tepat
tentang peranannya, jangan sampai memandang dirinya sebagai seseorang
yang tahu segalanya dan dapat melakukan segalanya. Konselor yang kurang
memahami peranannya, mungkin akan terburu-buru untuk membantu konseli
dengan caranya sendiri, tanpa memberikan kesempatan kepada konseli untuk
berpartisipasi aktif memecahkan masalah yang dialaminya. Harus diingat,
bahwa konselor hanya sebagai seorang “enabler” bukan seorang “omnipotent
saviour” (penyelamat yang mahakuasa). Konselor berperan sebagai helper,
yang memberikan “helping” kepada konseli untuk “solve their problems”.
Dengan demikian, tugas utama konselor adalah “helping” bukan “solving”.
Peranan konseli adalah ”to do the work”, dan peranan konselor adalah ”to
help him to do it”.
 Personal qualities Para penulis dalam bidang konseling cenderung sependapat
bahwa terdapat kualitaskualitas pribadi tertentu bagi konselor yang
memfasilitasi efektifitas konseling. Kualitas pribadi itu seperti kesadaran diri,
kehangatan, perhatian, penerimaan, empati, dan pengetahuan. Disini dapat
ditambahkan pendapat Albert Ellis (1985), yaitu sebagai berikut.
i. Konselor harus memiliki minat untuk membantu konselinya, dan
secara energik bekerja untuk memenuhi minatnya tersebut.
ii. Konselor menerima konseli sebagai orang dengan tanpa syarat.
iii. Konselor memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuan
terapeutiknya.
iv. Konselor memiliki pengetahuan teoritik dan praktik yang cukup luas,
bersifat fleksibel (lentur), tidak dogmatik, dan terbuka untuk menerima
keterampilan baru.
v. Konselor mampu mengatasi masalahnya sendiri, sehingga terhindar
dari masalah kecemasan, depresi, rasa permusuhan, rasa rendah diri,
dan mengkasihani diri sendiri.
vi. Konselor bersifat sabar, tekun, dan bekerja keras dalam melakukan
tugasnya.
vii. Konselor memegang teguh etika, bertanggung jawab, dan
menggunakan konseling untuk kepentingan konseli, bukan untuk
kepentingan dirinya.
viii. Konselor bekerja secara profesional, mampu memelihara nilai-nilai
kemanusiaan, dan memiliki kebahagiaan pribadi dalam menjalankan
tugasnya.
ix. Konselor bersemangat dan bersikap optimis dalam bertugas, walaupun
mengalami kesulitan atau masalah dalam hidupnya. Penampilannya ini
ditunjukkan kepada konseli.
x. Konselor berhasrat membantu konselinya secara sungguh-sungguh,
dan merasa bebas untuk merujuk konseli kepada para ahli lain.
 Interpersonal skills Keterampialn interpesonal merupakan keterampilan inti
(core skills) konseling. Keterampilan ini merujuk kepada kemampuan untuk
membangun hubungan dengan konseli, agar dia merasa betah dalam
mengikuti proses konseling. Hubungan yang baik, akan mengembangkan
sikap respek, terbuka, pemahaman, dan partisipasi konseli dalam proses
konseling. Keterampilan interpersonal dasar adalah kemampuan dalam
menerapkan teknikteknik wawancara untuk memfasilitasi terjadinya
komunikasi dengan konseli. Keterampilan itu diantaranya ”attending”, dan
”listening”. Keterampilan interpersonal secara umum dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga kelompok, yaitu : verbalskills, non-verbal skills, dan client
observation skills. Ketiga keterampilan tersebut dipaparkan sebagai berikut.
i. Verbal skills Verbal skills (keterampilan verbal) ini merujuk kepada isi
pembicaraan dalam proses konseling. Konselor menggunakan
keterampilan ini untuk memberikan perhatian kepada konseli agar
memfasilitasi kelancaran arus pembicaraan. Keterampilan verbal ini
meliputi ”vocal qualities”, ”verbal tracking”, dan ”verbal responses”.
 Non-verbal Skills Keterampilan ini terkait dengan tingkah laku non-verbal
konselor dalam memfasilitasi keberlangsungan wawancara dan tingkah laku
attending kepada konseli. Egan (1975) mengemukakan tingkah laku non-verbal
yang membantu itu ke dalam klasifikasi tingkah laku yang disimpulkan dalam
akronim SOLER.
S facing the person Squarely (posisi duduk konselor dan konseli yang baik
dalam proses konseling adalah yang berhadapan (squarely))
O adopting an Open posture (menampilkan postur yang terbuka, yaitu tidak
defensif dan bersikap hangat.)
L Leaning forward (bersandar kedepan,atau duduk agak condong ke arah
konseli biasanya menunjukkan perhatian dan kemauan konselor untuk
mendengarkan konseli.)
E maintaining Eye contact (konselor perlu memelihara kontak mata kepada
konseli.)
R being Relaxed. (Konselor harus bersikap tenang (rileks) pada saat
berhadapan dengan konseli, karena konseli yang datang kepadanya pada
umumnya mengalami stress)
 Client Observation Skills Konselor yang efektif adalah yang secara terus
menerus mengamati tingkah laku konseli. Mungkin konseli bercerita banyak
mengenai dirinya, baik secara verbal maupun non-verbal. Dalam hal ini,
konselor perlu memiliki kesadaran yang tinggi tentang apa yang dikatakan
konseli, khususnya ungkapan melalui gerakan tubuh, ekspresi wajah, kualitas
vokal, dan ketidaksesuaian antara bahasa tubuh dengan bahasa verbal.

5. Masalah yang terjadi pada konseli meliputi, masalah yang diawa untuk di konsultasikan,
berkenaan dengan gangguan dan masalah psikologis. Serta masalah dalam proses konseling
dari pihak konseli diantaranya adalah :
 Konseli yang tidak sepenuhnya percaya akan konselor
 Perasaan canggung dan tidak terbuka
 Konseli yang tidak kunjung mandiri
 Pemahaman konseli akan dirinya sendiri
 Impresi konseli terhadap konselor
 Dll,

Konseling individual yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta
didik atau konseli mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan
guru pembimbing dalam rangka pembahasan pengentasan masalah pribadi yang di derita
konseli. Tujuan umum konseling individu adalah membantu klien menstrukturkan kembali
masalahnya dan menyadari life style serta mengurangi penilaian negatif terhadap dirinya
sendiri serta perasaan-perasaan inferioritasnya. Kemudian membantu dalam mengoreksi
presepsinya terhadap lingkungan, agar klien bisa mengarahkan tingkah laku serta
mengembangkan kembali minat sosialnya.

Konseling kelompok merupakan suatu proses hubungan interpersonal antara seorang


konselor atau beberapa konselor dengan sekelompok klien (konseli).

Dalam proses tersebut konselor berupaya membantu menumbuhkan dan meningkatkan


kemampuan klien untuk menghadapi dan mengatasi persoalan atau hal-hal yang menjadi
kepedulian masing-masing klien melalui; pengembangan pemahaman, sikap, keyakinan, dan
perilaku klien yang tepat dengan cara memanfaatkan suasana kelompok (Sugiyanto).

Menurut Corey (2006) dalam Budi Astuti (2012) menjelaskan bahwa konseling kelompok
lebih memberikan perhatian secara umum pada permasalahan-permasalahan jangka pendek
dan tidak terlalu memberikan perhatian pada treatment gangguan perilaku dan psikologis.

Konseling kelompok memfokuskan diri pada proses interpersonal dan strategi penyelesaian
masalah yang berkaitan dengan pemikiran, perasaan, dan perilaku yang disadari. Metode
yang digunakan adalah dukungan dan umpan balik (feedback) interaktif dalam sebuah
kerangka berpikir saat itu juga.

Konseling kelompok memiliki kelebihan-kelebihan dalam pelaksanaannya, yaitu:

a. Bersifat praktis;

b. Anggota belajar berlatih perilakunya yang baru;

c. Kelompok dapat digunakan untuk belajar mengekspresikan perasaan, perhatian dan


pengalaman;

d. Anggota belajar keterampilan sosial dan belajar berhubungan antar-pribadi secara lebih
mendalam;

e. Mendapat kesempatan diterima dan menerima di dalam kelompok.

Di samping kelebihan-kelebihan yang diperoleh dalam konseling, terdapat kelemahan-


kelemahan konseling kelompok yang perlu diperhatikan, antara lain:

a. Tidak semua orang cocok dalam kelompok;

b. Perhatian konselor lebih menyebar atau meluas;

c. Mengalami kesulitan dalam membina kepercayaan;

d. Klien mengharapkan terlalu banyak tuntutan dari kelompok. Kelompok bukan dijadikan
sebagai sarana berlatih untuk melakukan perubahan namun sebagai tujuan.

Anda mungkin juga menyukai