Dosen Pengampu: Ns. Roni Basirun Simatupang, S.Kep., M.Si (Han).
Disusun oleh:
Valery Oktavia 1710711051
Hemi Afifah 1710711054 Latifah Khusnul Khotimah 1710711056 Asa Alamanda 1710711062 Savira Ilsa Fahrina 1710711064 Clara Septi Amanda 1710711066 Mastika Chusnul Khotimah 1710711067 Tsilmi Adhari 1710711069 Clara Widya M 1710711070 Indah Burdah Sari 1710711072 Widya Nofira Anwar 1710711074 Muhamad Alfian 1710711103
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN 2020 A. Pelayanan Kesehatan Dasar di Pengungsian Pola pengungsian di Indonesia sangat beragam mengikuti jenis bencana, lama pengungsian dan upaya persiapannya. Pengungsian pola sisipan yaitu pengungsi menumpang di rumah sanak keluarga. Pengungsian yang terkonsentrasi di tempat- tempat umum atau di barak-barak yang telah disiapkan. Pola lain pengungsian yaitu di tenda-tenda darurat disamping kanan kiri rumah mereka yang rusak akibat bencana. Apapun pola pengungsian yang ada akibat bencana tetap menimbulkan masalah kesehatan. Masalah kesehatan berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menyebabkan perkembangan beberapa penyakit menular. Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga memengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi seseorang serta akan memperberat proses terjadinya penurunan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit. Dalam pemberian pelayanan kesehatan di pengungsian sering tidak memadai akibat dari tidak memadainya fasilitas kesehatan, jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan. Kondisi ini makin memperburuk masalah kesehatan yang akan timbul. Penanggulangan masalah kesehatan di pengungsian merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu serta terkoordinasi baik secara lintas program maupun lintas-sektor. Dalam penanganan masalah kesehatan di pengungsian diperlukan standar minimal yang sesuai dengan kondisi keadaan di lapangan sebagai pegangan untuk merencanakan, memberikan bantuan dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan oleh instansi pemerintah maupun LSM dan swasta lainnya. Pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan pengungsi meliputi: 1. Pelayanan pengobatan Bila pola pengungsian terkonsentrasi di barak-barak atau tempat-tempat umum, pelayanan pengobatan dilakukan di lokasi pengungsian dengan membuat pos pengobatan. Pelayanan pengobatan dilakukan di Puskesmas bila fasilitas kesehatan tersebut masih berfungsi dan pola pengungsianya tersebar berada di tenda-tenda kanan kiri rumah pengungsi. 2. Pelayanan imunisasi Bagi pengungsi khususnya anak-anak, dilakukan vaksinasi campak tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Adapun kegiatan vaksinasi lainnya tetap dilakukan sesuai program untuk melindungi kelompok-kelompok rentan dalam pengungsian. 3. Pelayanan kesehatan ibu dan anak Kegiatan yang harus dilaksanakan adalah: Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan, nifas dan pasca-keguguran) Keluarga berencana (KB) Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS Kesehatan reproduksi remaja 4. Pelayanan gizi Tujuannya meningkatkan status gizi bagi ibu hamil dan balita melalui pemberian makanan optimal. Setelah dilakukan identifikasi terhadap kelompok bumil dan balita, petugas kesehatan menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi.Pada bayi tidak diperkenan diberikan susu formula, kecuali bayi piatu, bayi terpisah dari ibunya, ibu bayi dalam keadaan sakit berat. 5. Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vektor Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan memerlukan tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB antara lain: campak, diare, cacar, malaria, varicella, ISPA, tetanus. Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman. Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian. 6. Pelayanan kesehatan jiwa Pelayanan kesehatan jiwa di pos kesehatan diperlukan bagi korban bencana, umumnya dimulai pada hari ke-2 setelah kejadian bencana. Bagi korban bencana yang memerlukan pertolongan pelayanan kesehatan jiwa dapat dilayani di pos kesehatan untuk kasus kejiwaan ringan. Sedangkan untuk kasus berat harus dirujuk ke Rumah Sakit terdekat yang melayani kesehatan jiwa. 7. Pelayanan promosi kesehatan Kegiatan promosi kesehatan bagi para pengungsi diarahkan untuk membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat. Kegiatan ini mencakup: Kebersihan diri Pengolahan makanan Pengolahan air minum bersih dan aman Perawatan kesehatan ibu hamil (pemeriksaan rutin, imunisasi) Kegiatan promosi kesehatan dilakukan melekat pada kegiatan kesehatan lainnya
B. Pengertian dan batasan umum
Pengertian dan batasan yang digunakan dalam pedoman ini adalah pengertian dan batasan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, dan penjelasannya : Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan (a) perbaikan lingkungan daerah bencana; (b) perbaikan prasarana dan sarana umum; (c) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; (d) pemulihan sosial psikologis; (e) pelayanan kesehatan; (f) rekonsiliasi dan resolusi konflik; (g) pemulihan sosial ekonomi budaya; (h) pemulihan keamanan dan ketertiban; (i) pemulihan fungsi pemerintahan; dan (j) pemulihan fungsi pelayanan publik. Kegiatan rehabilitasi harus memperhatikan pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan, kondisi sosial, adat istiadat, budaya dan ekonomi. 1. Perbaikan lingkungan daerah bencana merupakan kegiatan fisik perbaikan lingkungan untuk memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta ekosistem suatu kawasan. Kegiatan perbaikan fisik lingkungan sebagaimana dimaksud mencakup lingkungan kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan usaha, dan kawasan bangunan gedung. 2. Perbaikan prasarana dan sarana umum merupakan kegiatan perbaikan prasarana dan sarana umum untuk memenuhi kebutuhan transportasi, kelancaran kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Kegiatan perbaikan prasarana dan sarana umum mencakup: (a) perbaikan infrastuktur dan (b) fasilitas sosial dan fasilitas umum. Kegiatan perbaikan prasarana dan sarana umum memenuhi ketentuan mengenai: (a) persyaratan keselamatan; (b) persyaratan sistem sanitasi; (c) persyaratan penggunaan bahan bangunan; dan (d) persyaratan standar teknis konstruksi jalan, jembatan, bangunan gedung dan bangunan air. 3. Pemulihan sosial psikologis ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana, memulihkan kembali kehidupan sosial dan kondisi psikologis pada keadaan normal seperti kondisi sebelum bencana. Kegiatan membantu masyarakat terkena dampak bencana sebagaimana dimaksud dilakukan melalui upaya pelayanan sosial psikologis berupa: (a) bantuan konseling dan konsultasi; (b) pendampingan; (c) pelatihan; dan (d) kegiatan psikososial 4. Pelayanan kesehatan ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana dalam rangka memulihkan kondisi kesehatan masyarakat melalui pemulihan sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Kegiatan pemulihan kondisi kesehatan masyarakat terkena dampak bencana sebagaimana dimaksud dilakukan melalui: (a) membantu perawatan lanjut korban bencana yang sakit dan mengalami luka; (b) menyediakan obat-obatan; (c) menyediakan peralatan kesehatan; (d) menyediakan tenaga medis dan paramedis; dan (e) memfungsikan kembali sistem pelayanan kesehatan termasuk sistem rujukan.
C. Pelayanan Kesehatan pasca bencana
1. Cakupan Pengertian : a. Yang dimaksud dengan pemulihan pelayanan kesehatan adalah aktivitas memulihkan kembali segala bentuk pelayanan kesehatan sehingga minimal tercapai kondisi seperti sebelum terjadi bencana. b. Pemulihan sistem pelayanan kesehatan adalah semua usaha yang dilakukan untuk memulihkan kembali fungsi sistem pelayanan kesehatan yang meliputi: 1) SDM Kesehatan; 2) sarana/prasarana kesehatan; 3) kepercayaan masyarakat.
SDM Kesehatan 1) Berfungsinya kembali instansi kesehatan pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan setempat yang dilaksanakan oleh staf lokal seperti saat sebelum bencana. 2) Berfungsinya kembali pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta yang dilakukan oleh staf kesehatan lokal. 3) Penggantian tenaga medis meninggal dunia karena bencana oleh staf setempat, baik lewat pengangkatan baru maupun promosi atau mutasi di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta. Sarana/Prasarana Kesehatan 1) Pulihnya fungsi koordinatif yang dilakukan oleh dinas kesehatan setempat yang melibatkan semua unsur kesehatan. 2) Tercapainya jumlah minimal alat pelayanan medis dan obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di wilayah tersebut dan terjamin keberlanjutannya. 3) Terjaminnya keberlanjutan pelayanan kesehatan dengan adanya kepastian pendanaan. 4) Membangun kembali RS, puskesmas, dan sarana pelayanan kesehatan publik yang rusak atau hancur di daerah bencana. Masyarakat 1) Terbentuknya kepercayaan masyarakat untuk kembali menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan publik setempat. 2) Tertanganinya korban-korban bencana baik yang luka maupun cacat hingga dapat melakukan aktivitas seperti sediakala. 3) Adanya pemulihan bagi korban-korban yang mengalami cacat tubuh menetap sehingga tidak dapat melakukan aktivitasnya seperti sediakala. 3. Prosedur/Persyaratan Teknis a. Setiap kegiatan pemulihan pelayanan kesehatan harus dilakukan setelah dilakukan analisis dampak bencana terhadap pelayanan kesehatan. b. Penyusunan rencana pemulihan sistem pelayanan kesehatan dilakukan oleh BPBD dan atau BNPB dan dibantu oleh lembaga/dinas/instansi yang relevan baik swasta maupun milik pemerintah. c. Skenario, mekanisme dan pelaksanaan pemulihan sistem pelayanan kesehatan harus mempertimbangkan dan atau mengikuti adat budaya orang atau kelompok masyarakat di daerah bencana serta ketentuan-ketentuan lain yang relevan dan telah ditetapkan oleh dinas/instansi yang mempunyai kewenangan untuk itu.
4. Pelaksanaan dan Organisasi
a. Program pemulihan pelayanan kesehatan dilakukan atas setiap unsur kesehatan yang terkena dampak bencana. b. Pelaksanaan program pemulihan dilaksanakan oleh BPBD dan/atau BNPB serta Pemerintah dengan memfungsikan semua instansi terkait dan sumber daya daerah yang dapat dikerahkan untuk menjamin jalannya program dan dapat melibatkan lembaga nonpemerintah maupun asing yang mempunyai tujuan yang sama. c. Dalam hal program pemulihan yang dilakukan di wilayah yang meliputi lebih dari satu daerah Kabupaten/Kota, koordinasi dilakukan oleh BPBD Provinsi dan atau BNPB serta Pemerintah Provinsi; d. Dalam hal program pemulihan yang dilakukan di wilayah yang meliputi lebih dari satu daerah provinsi, koordinasi dilakukan BNPB.
D. Koordinasi Pelayanan Kesehatan Pasca Bencana
1. Koordinasi a. Masa Recovery Setelah masuk masa recovery, koordinasi semakin jelas, baik internal maupun eksternal. Koordinasi internal ditandai oleh kegiatan briefing pagi telah dijalankan kembali, walaupun belum optimal seperti sebelum terjadi bencana. Briefing dilakukan untuk pendistribusian tugas, sehingga setiap petugas mempunyai beban dan tanggung jawab. Puskesmas juga telah melakukan pertemuan dengan lintas sektoral. Hal tersebut terbukti adanya pemindahan pelayanan kesehatan dari tenda ke Balai Desa sebagai hasil pertemuan lintas sektoral di Kecamatan setempat. Pemindahan pelayanan dari tenda ke balai desa berkaitan dengan persiapan pembangunan kembali Puskesmas terdampak oleh donatur. Donatur untuk rekonstruksi Puskesmas terdampak merupakan hasil koordinasi Pemda/Dinas Kesehatan setempat dalam mendistribusikan lembaga donatur. Kasus masyarakat yang berulang kali mendapatkan imunisasi TT merupakan dampak pendataan program kesehatan yang lemah pada masa emergency. Hal tersebut terjadi karena koordinasi antara puskesmas dan relawan yang sangat longgar dan belum terkoordinasinya program kesehatan di tingkat Kabupaten dan Puskesmas. Kontrol terhadap relawan tidak dijalankan karena petugas merasa tidak mempunyai kewenangan untuk menegur para relawan. 2. Kepemimpinan a. Masa Recovery Setelah masa emergency, pola kepemimpinan bergeser kembali ke sentralistik, karena himbauan Dinas Kesehatan untuk segera memulihkan kondisi pelayanan Puskesmas setelah hari ketujuh. Salah satu faktor yang mendukung pola kepemimpinan kembali ke sentralistik adalah kepindahan pelayanan ke Balai Desa. Pulihnya koordinasi Dinas Kesehatan dengan Puskesmas juga berpengaruh terhadap pola kepemimpinan yang sentralistik, karena Dinas Kesehatan mulai membuat program kesehatan seperti imunisasi TT serta rekonstruksi Puskesmas dan Pustu. Setelah pelayanan dipindahkan ke Balai Desa, Manajemen Puskesmas dapat melakukan briefing walaupun belum dapat dilakukan setiap pagi seperti kondisi sebelum gempa. Dampak perubahan tersebut adalah fungsi koordinasi elemen puskesmas berjalan sesuai tupoksi yang telah ditetapkan sebelum bencana. 3. Pengorganisasian a. Masa Recovery Desain pengorganisasian kembali pada birokrasi mesin setelah masuk pada masa recovery. Kepala puskesmas mulai melakukan briefing pagi untuk melakukan pembagian tugas. Hal tersebut juga sejalan dengan sistem organisasi dari dinas kesehatan Bantul semakin membaik. Instruksi dari Dinas Kesehatan Bantul yang harus dijalakan oleh Puskesmas adalah imunisasi TT terhadap seluruh masyarakat agar terhindar dari penyakit tetatus. Dalam menjalankan program imunisasi TT, Puskesmas juga melibatkan kader. Hal tersebut berarti kegiatan pelayanan kesehatan juga berkembang ke pelayanan di luar gedung seperti kegiatan posyandu. Instruksi dari Dinas menunjukkan bahwa pengorgansasian yang semula bersifat adhokrasi kembali berjalan dengan birokrasi mesin. Birokrasi mesin adalah technostructure yang mendominasi pengorganisasian, kontrol yang dilakukan melalui standarisasi dan struktur yang dihasilkan. Departemen Kesehatan yang bertindak sebagai technostructure serta Bupati sebagai apex kemudian kepala dinas sebagai middle line dan puskesmas sebagai operating core, kembali mendominasi pengorganisasian. Birokrasi mesin kembali dijalankan setelah koordinasi vertikal Dinas Kesehatan dengan Puskesmas berjalan normal.