Anda di halaman 1dari 7

2.

1 Definisi
Fibrilasi atrium (FA) merupakan takiaritmia supraventrikular yang khas dan yang
paling umum ditemui.1 Fibrilasi atrium disebabkan oleh aktivitas listrik yang abnormal
yang ditandai dengan takiaritmia yang bersifat paroksimal atau kurang dari tujuh hari
maupun bersifat persisten atau lebih dari tujuh hari.2

2.2 Epidemiologi
Prevalensi fibrilasi atrium umumnya meningkat seiring bertambahnya usia.
Prevalensi fibrilasi atrium di seluruh dunia adalah sekitar 1% dan sekitar 9% ditemui
pada usia diatas 75 tahun. Risiko terkena fibrilasi atrium pada usia 80 tahun melonjak
hingga 22%. Selain itu, fibrilasi atrium sering dijumpai pada laki laki dan juga ditemui
pada ras kulit putih.2
Di Indonesia sendiri, terjadi peningkatan persentasi populasi usia lanjut yaitu pada
tahun 2000-2005 sebesar 7,74% menjadi 28,68% pada tahun 2045-2050. Prevalensi di
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita menunjukkan bahwa persentasi
selalu meningkat setiap tahunnya yaitu 7,1% pada tahun 2010 menjadi 9,8% pada tahun
2013.1

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi FA Berdasarkan ACC/AHA/ESC adalah sebagai berikut3
a. Terdeteksi pertama kali (first detected) yaitu pada individu yang pertama kali datang
dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat ringannya gejala
yang muncul.
b. Rekuren adalah dua atau lebih episode FA
c. Paroksismal adalah terminasi FA spontan kurang dari tujuh hari
d. Persisten adalah paroksismal fibrilasi atrium yang menetap dalam 7 hari dan
dilakukan kardioversi untuk pengendalian irama.
e. Persisten lama (long standing) adalah fibrilasi atrium yang bertahan lebih dari 1
tahun dan kardioversi masih dilakukan.
f. Permanen adalah fibrilasi atrium dengan episode menetap dan tidak responsif dengan
kardioversi
Gambar 1. Klasifikasi FA menurut waktu presentasinya 1

Selain dari 5 kategori yang telah disebutkan diatas, terdapat klasifikasi FA


menurut ciri-ciri pasien:1
a. FA sorangan (lone) adalah FA yang tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnyatermasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung
seperti pembesaran atrium kiri, dan usia pasien di bawah 60 tahun.
b. FA non-valvular adalah FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
c. FA sekunder adalah FA yang terjadi dikarenakan adanya kondisi primer yang dapat
memicu terjadinya FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis,
miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut
lainnya. Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA
valvular.

FA juga dapat dibedakan berdasarkan keepatan laju respon ventrikel (interval


RR) yaitu1
a. FA dengan respon ventrikel cepat yaitu laju ventrikel >100x/ menit
b. FA dengan respon ventrikel normal yaitu laju ventrikel 60- 100x/menit
c. FA dengan respon ventrikel lambat yaitu laju ventrikel <60x/menit

2.4 Etiologi
Etiologi dari fibrilasi atrium adalah sebagai berikut:2,4
a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
- Peningkatan katub jantung
- Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
- Hipertrofi jantung
- Kardiomiopati
- Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor pulmonary
chronic)
- Tumor intracardiac

b. Proses Infiltratif dan Inflamasi


- Pericarditis atau miocarditis
- Amiloidosis dan sarcoidosis
- Faktor peningkatan usia

c. Proses Infeksi
- Demam dan segala macam infeksi

d. Kelainan Endokrin
- Hipertiroid
- Feokromotisoma
- Diabetes

e. Neurogenik
- Stroke
- Perdarahan Subarachnoid

f. Iskemik Atrium
- Infark miocardial
g. Obat-obatan
- Alkohol
- Kafein

h. Penyakit jantung bawaan


i. Genetik

2.5 Patofisiologi
Terdapat dua konsep mekanisme terjadinya FA yaitu adanya faktor pemicu
(trigger) dan faktor-faktor yang melanggengkan. Adanya faktor pemicu biasanya
menjadi mekanisme utama terjadinya FA yang sering kambuh tetapi masih dapat
konversi secara spontan. Sedangkan adanya faktor-faktor yang melanggengkan dapat
menyebabkan terjadinya FA yang tidak dapat konversi secara spontan.1
2.5.1 Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya FA1
Penyakit jantung struktural dapat mencetus remodelling yang perlahan
namun bersifat progresif baik di ventrikel maupun atrium. Di atrium, proses
remodelling yang terjadi ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan deposisi jaringan ikat dan fibrosis
di atrium. Proses ini dapat menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot
dan serabut konduksi di atrium dan dapat menjadi faktor pemicu sekaligus faktor
yang melanggengkan terjadinya FA. Substrat elektroanatomis ini memfasilitasi
terjadinya sirkuit reentri yang akan melanggengkan terjadinya aritmia.
Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung juga
memiliki peran yang penting dalam patofisiologi FA, yaitu melalui peningkatan
Ca2+ intraselular oleh sistem saraf simpatis dan pemendekan periode refrakter
efektif atrium oleh sistem saraf parasimpatis (vagal). Melalui vena pulmoner
(VP), stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan terangsangnya FA.
Sehingga pleksus ganglionik dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target
ablasi.
Setelah munculnya FA, terjadi perubahan sifat elektrofisiologis atrium,
fungsi mekanis, dan ultra struktur atrium dalam rentang waktu dan dengan
konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Pada hari-hari pertama terjadinya FA,
pemendekan periode refrakter efektif atrium terjadi dan proses remodelling
elektrikal memberikan kontribusi terhadap peningkatan stabilitas FA.
Pemendekan periode refrakter terjadi melalui mekanisme penurunan
(downregulation) arus masuk kalsium (melalui kanal tipe-L) dan peningkatan
(up-regulation) arus masuk kalium.
Beberapa hari setelah kembali ke irama sinus, periode refrakter atrium
akan kembali normal dan juga dapat terjadi gangguan fungsi kontraksi atrium
melalui mekanisme penurunan arus masuk kalsium, hambatan pelepasan kalsium
intraselular dan perubahan pada energetika miofibril.

2.5.2 Mekanisme elektrofisiologis


Adanya pemicu (trigger) dan substrat sangat dibutuhkan dalam awitan
dan keberlangsungan takiaritmia. Sehingga mekanisme elektrofisiologis FA dapat
dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme
reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat yang mana
kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul bersamaan.
a. Mekanisme Fokal1
Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu dari daerah-
daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%) bervariasi dari vena kava
superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista terminalis (3,7%),
sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%), dan septum interatrium.
Mekanisme triggered activity dan reentri terlibat dalam mekanisme
seluler dari aktivitas fokal. VP memiliki periode refrakter yang lebih pendek
dan adanya perubahan drastis orientasi serat miosit menyebabakan vena
pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan melanggengkan
takiaritmia atrium.
Akan terjadi pelambatan frekuensi FA secara progresif yang
merupakan hasil dari intervensi ablasi di daerah pemicu yang memiliki
frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada atau dekat dengan batas
antara VP dan atrium kiri) pada pasien dengan FA paroksismal dan selanjutnya
terjadi konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan FA
persisten, lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi atau konversi ke irama
sinus karena daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di
seluruh atrium.

b. Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis)1


Dalam mekanisme reentri mikro, FA disebabkan oleh adanya konduksi
kontinu yang dihasilkan oleh gelombang-gelombang reentry yang menjalar ke
otot dinding atrium. Moe mengemukakan hipotesis bahwa FA dilanggengkan
oleh banyaknya wavelet yang tersebar secara acak dan saling bertabrakan satu
sama lain dan kemudian padam, atau terbagi menjadi banyak wavelet lain
yang terus-menerus merangsang atrium. Oleh karenanya, sirkuit reentri ini
tidak stabil, beberapa menghilang, sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-
sirkuit ini memiliki panjang siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan
setidaknya 4-6 wavelet mandiri untuk melanggengkan FA.

Gambar 2. Mekanisme elektrofisiologis FA1

c. Fibrilasi atrium menyulut FA (AF begets AF)1


Alessie dkk mengemukakan konsep FA menyulut FA pertama kali.
Mereka mengemukakan bahwa pemacuan atrium dengan teknik pacurentet
(burst pacing) akan menyebabkan FA, yang akan kembali ke irama sinus.
Kemudian jika dilakukan pacu-rentet maka akan muncul FA kembali. Apabila
proses ini dilakukan terus menerus, maka durasi FA akan bertambah lama
sampai lebih dari 24 jam. Oleh karena itu pada pasien yang mengalami FA
paroksismal dapat berkembang menjadi FA persisten atau permanen.

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang diakibatkan FA berhubungan dengan kecepatan laju
ventrikel, penyakit yang mendasari FA, lamanya FA dan komplikasi yang ditimbulkan
FA. Gejala umum dapat berupa ansietas, palpitasi, dispneu, pusing, nyeri dada, cepat
lelah dan gejala tromboemboli. Sekitar 25% pasien FA bersifat asimptomatik terutama
pada pasien lanjut usia dan pasien dengan FA persisten.

2.7 Diagnosis
a. Anamnesis1
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Sekitar 50% episode
FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala ringan yang
dikeluhkan pasien antara lain:
- Palpitasi yang umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai pukulan genderang,
gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
- Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
- Presinkop atau sinkop
- Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik.
Sehingga penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis
harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.
Selain mencari gejala-gejala tersebut, perlu ditanyakan pertanyaan relevan
dalam anamnesis pada setiap pasien yang dicurigai mengalami FA seperti:

b. Pemeriksaan Fisik1
Pemeriksaan fisis yang dilakukan dapat memberikan informasi tentang dasar
penyebab dan gejala sisa dari FA.
 Tanda Vital
Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-
140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia
atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia.

 Kepala dan leher


Biasanya menunjukkan eksoftalmus, pembesaran tiroid, peningkatan tekanan
vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri karotis mengindikasikan penyakit
arteri perifer dan kemungkinan adanya komorbiditas penyakit jantung koroner.
 Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya ronki,
efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya
penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK,
asma)
 Jantung
Pergeseran dari punctum maximum atau adanya bunyi jantung tambahan (S3)
mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri.
Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal.
Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi
laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.
 Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau
edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit
arterial perifer atau curah jantung yang menurun.
 Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular
terkadang dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks dapat ditemukan
pada hipertiroidisme.

DAFTAR PUSTAKA
1. PERKI. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia. 2014.
http://www.inaheart.org/upload/image/FA_Final_Launch.pdf
2. Nesheiwat Z, Goyal A, Jagtap M. Atrial Fibrillation. Treasure Island (FL): StatPearls.
2020. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526072/
3. Fuster V, Rydén LE, Cannom DS, Crijns HJ, Curtis AB, Ellenbogen KA, et al.
ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation. Circulation. 2006;114(7):700–52.
4. ACCF/AHA Pocket Guidelne. Management of Patients With Atrial Fibrillation.
American: American College of Cardiology Foundation and American Heart
Association. 2011

Anda mungkin juga menyukai