Anda di halaman 1dari 13

BIOGRAFI TOKOH PEMBAHARUAN ISLAM di INDONESIA

Tugas mata kuliyah Sejarah Pendidikan Islam


Dosen pembimbing : Luluk Awaliyah.,M.Pd.
Nama : Wahyu Tri Nugroho
Kelas : PAI 1B
NIM : 2020010045

1. K.h Hasyim Asy`ari

Biografi KH. Hasyim Asy’ari


KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid
bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang
juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin
Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri.
Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin
Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga
dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan
pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu 1

Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa
dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa
(Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara
dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar
belakang bangsawan Hindu Jawa.

Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal
14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat
kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di
Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo
kecamatan Jombang.

Majalah Tebuireng

Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional
Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang
masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri
Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai
pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari
santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah
dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.

1
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M Hasyim Asy’ari Tentang Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah, (Surabaya, 2010)
hal. 67
Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah
selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren
baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum
akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke
Makkah.

Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai
Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H.
Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna
menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal
di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah
melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul
ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat
terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke
Indonesia setahun kemudian.

Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari
desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari
Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama,
karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai
Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu:
Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah,
Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di
tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai
Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan
keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan
Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai
Hsyim hingga akhir hayatnya.

Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati
kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat
itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam
di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri
yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu
adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”

Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan dibimbing
mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari
anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan
mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam
bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun,
Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu
ayahnya mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi
beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu
berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan
pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke
Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari
pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang
diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk
kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang
kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara,
di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie
dan Hadith.

Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada
ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah,
Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hashim, Sayyid
Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid
Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim
Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah,
Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang
saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari
Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi.
Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah
saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim
di masa selanjutnya.

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga mmperoleh
kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara
tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’d Allah al-Maymani (mufti di
Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad bin Abdullah
(Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus),
KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).

Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan langsung dari Syaikh
Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut.
Beberapa sisi tertentu dari pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat
juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim
berbeda dengannya. Dialektika intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim)
ini sangat menarik.

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat.
Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa
Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).
Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari

Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi
kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang antara lain;2

1. At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan

Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan oleh
Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai
pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan
bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.

2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam kitab
tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menguntip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya
dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan
sebagai bacaan wajib mereka.

3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah

Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam
madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin
Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam
itu patut kita jadikan rujukan.

4. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan
pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan
dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang
penuh dengan rintangan dan hambatan ini.

5. Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi

Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad
bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji,
dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu
Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab
tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia
pendidikan.

6. Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa


Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah
2
Drs. Abdul Hadi, KH. Hasyim Asy’ari Sehimpun Cerita, dan Karya Maha Guru Ulama Nusantara, (Yogyakarta, 2018)
hal. 28-32
Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan
untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana
sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak
membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.

Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan
luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya
pengetahuannya di bidang tersebut. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak
terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama sam mujtahid yang telah banyak
mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi
keorganisasian seperti halnya NU.

2. K.h Achmad Dahlan

Biografi K.h Achmad Dahlan

Profil KH Ahmad Dahlan


KH Ahmad Dahlan memiliki nama asli Muhammad Darwis, lahir di Yogyakarta, 1 Agustus
1868. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang ada di keluarga KH Abu
Bakar. Ayahnya seorang tokoh agama terkemuka, khatib di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta
di era Hindia Belanda. Ibunya, Siti Aminah, adalah putri Haji Ibrahim, penghulu di Kesultanan
Yogyakarta pada masa itu.

Ditelusuri lebih jauh, silsilah Kiai Dahlan sampai pada salah satu Wali Songo, yaitu Maulana
Malik Ibrahim yang juga terhubung ke Nabi Muhammad SAW. Muhammad Darwisy bin K.H.
Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilyas bin Demang
Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana Ainul Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.

Dahlan mengenyam pendidikan di pesantren. Pada usia 15 tahun, ia berangkat haji dan menetap
di Kota Mekkah selama 5 tahun. Selama di Mekkah, Kiai Dahlan memperdalam ilmu agama dan
juga berinteraksi dengan Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah
yang memiliki pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam.

Pada usia 20 tahun pada 1888, ia kembali pulang ke kampung dan mengubah namanya
Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan. Namanya itu diberi oleh seorang syekh dari
perguruan syariat Syafi’i yang bernama Sayyid Bakri Shatta. Di Mekkah, Kiai Dahlan
berhubungan juga dengan jemaah haji dari Jawa Barat, Minangkabau, Aceh, Sulawesi dan
daerah lain yang memiliki kepercayaan kuat terhadap Islam.

Dari situ, ia bersama teman-teman memiliki keinginan yang sama melawan penjajah Belanda
dan perlunya memurnikan Islam di Indonesia. Sepulangnya dari Makkah ini, ia pun diangkat
menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1902-1904, ia kembali menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan
dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Mekkah. Sepulang dari Mekkah, ia
menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri, anak Kiai Penghulu Haji Fadhil, yang
kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
Dari perkawinan tersebut, ia dikaruniai enam orang anak, yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.

Kiai Dahlan kembali menikah dengan Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah
menikahi Nyai Rum, adik Kiai Munawwir Krapyak. Kiai Dahlan juga mempunyai putra dari
perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Selain itu, ia pernah menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta.

Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan
mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati.

Mendirikan Muhammadiyah

Pada tahun 1912, Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah di kampung halamannya, Kauman,
Yogyakarta. Pada tahun 1921 Muhammadiyah diberi izin oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan cabangnya di daerah lain.

Dalam dakwahnya, Kiai Dahlan melakukan banyak usaha besar yang terarah, seperti mendirikan
rumah pengobatan, rumah sakit, panti asuhan, pemeliharaan kaum miskin, sekolah, serta
madrasah setelah Muhammadiyah kukuh berdiri. Pengalaman mengelola organisasi itu diperoleh
Kiai Dahlan dari keaktifannya dalam organisasi Boedi Utomo dan Sarekat Islam.

Pada tahun 1896, namanya menjadi pembicaraan khususnya di Yogyakarta, karena melakukan
pembetulan terhadap arah kiblat pada langgar-langgar dan masjid-masjid di Yogyakarta. Pada
masa itu kebanyakan tempat ibadah menghadap ke arah Timur dan banyak orang yang
melakukan salat menghadap lurus ke Barat. Kiai Dahlan melakukan pembetulan tersebut dengan
Ilmu Falak yang dikuasainya. Berdasarkan Ilmu Falak tersebut, arah kiblat Pulau Jawa saat itu
seharusnya condong ke Utara kira-kira 24,5 derajat.

Karena kegiatannya yang terlalu sibuk, Kiai Dahlan mengalami gangguan kesehatan sejak tahun
1922. Atas saran dokter, pada tahun 1923, ia harus beristirahat di Gunung Tretes, Malang, Jawa
Timur, sebelum akhirnya kembali ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat tahunan
Muhammadiyah. Dalam pembukaan rapat tahunan tersebut, Kiai Dahlan masih sempat
memberikan sambutan.

Kesehatannya terus menurun hingga akhirnya Kiai Dahlan meninggal pada tanggal 23 Februari
1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta, serta diberi gelar Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden nomor 657 tahun 1961.

Dasar-dasar penetapan itu ada empat faktor. KH. Ahmad Dahlan dianggap telah berhasil
membangkitkan umat Islam bahwa saat itu bangsa Indonesia sedang dijajah yang masih harus
banyak belajar dan berbuat.
Kiai Dahlan merupakan sosok ulama yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Ada
sebuah nasihat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri:

“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan
mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya
dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya.

Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah,
sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari
sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah
lainnya."3

Karya K.h Achmad Dahlan

1. Sekolah Calon Guru, “Al-Qismul Arqa’”


2. Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (Setaraf dengan Volkschool)
3. Dalam buku Islamic Movement in Indonesia, yang diterbitkan Pusat ,Muhammadiyah,
diungkapkan bahwa jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah dari TK-Perguruan Tnggi tidak
kurang dari 9500 unit.4
4. Mencetak selebaran berisi doa sehari-hari, jadwal sholat, jadwal puasa ramadhan, dan masalah
agama islam lainnya.5
5. Menerbitkan buku-buku meliputi masalah fiqih, akaid, tajwid, hadist, sejarah Para Nabi dan
Rasul dan terjemahan ayat-ayat al-Quran mengenai akhlak dan hukum.
6. Menerbitkan terjemahan bku-buku untuk pengajian tingkat lanjut bagi orang tua, seperti Maksiat
Anggota yang Tujuh dari Ihyaul Ulumiddin karya Al- Ghazali.
7. Terbitan lainnya yaitu, Rukuning Islan lan Iman, Aqaid, Salat, Asmaning Para Nabi kang
selangkung, Nasab Dalem Sarta Putra Dalem Kanjeng Nabi, Sarat lan Rukuning Wudhu Tuwin
salat,Rukun lan Bataling Shiyam, Bab Ibadah lan Maksiyating Nggota utawi Poncodriyo, serta
tulisan syeikh Abdul Karim Amrullah di dalam sejarah Al-Munir yang di termahkan ke dalam
bahasa jawa.6
8. Panti Asuhan Yatim Piatu (PAYP), Khusus PAYP putra diasuh oleh Muhammadiyah, sedangkan
PAYP putri diasuh oleh Aisyiah.
9. Majlis Pembina Kesehatan dan Majlis Penegmbanagan Masyarakat.
10. Ikatan Seniman dan Budayawan Muhammadiyah (ISBM), namun ada kendala dalam lemabag ini
baik kurangnya dukungan dari ulama ataupun kondisi politik yang kurang kondusif. Namun,
berdasarkan keputusan Munas tarjih ke-22 tahun 1995 ditetapkan bahwa seni hukumnya mubah
selama tidak mengakibatkan kerusakan, bahaya, kedurhakaan, dan terjauhkan dari Allah.
11. Majlis Ekonomi Muhammadiyah

Organisasi Otonom Muhammadiyah

3
Tagar. Id,biografi kh achmad dahlan
4
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ. Muhammadiyah Surakarta.2008). H. 153
5
Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan Pembaruan Sosial
Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H. 39
6
Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan Pembaruan Sosial
Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H. 45
1. Aisyiah
2. Pemuda Muhammadiyah
3. Nasyiatul Aisyiah
4. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
5. Ikatan Remaja Muhammadiyah
6. Tapak Suci Putra Muhammadiyah
7. Hizbul Wathon

Usaha KH. Ahmad Dahlan dalam Mengatur Lembaga yang Didirikannya


(Muhammadiyah)
Strategi yang dilakukan KH Ahmad Dahlan untuk mengatur Lembaga yang didirikannya ialah: 7
1. Semua bentuk kegiatan Muhammadiyah harus mengarah pada terlaksananya maksud dan tujuan
persyarikatan dan menjalankan misi utama Muhammadiyah dengan sebaik-baiknya sebagai misi
dakwah
2. Pimpinan lembaga Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan persyarikatan
dalam kurun waktu tertentu.
3. Pimpinan Lemabga Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian
tertentu dibidang lembaga tersebut, agar yang bersangkutan memahami betul apa fungsi lembaga
tersebut bagi persyarikatan dan bukan semata-mata untuk mencari nafkah
4. Pimpinan lembaga Muhammadiyah berkewajiban melaporkan pengelolaan lembaga yang
menjadi tanggung jawabnya.
5. Usaha mendapat pengakuan Badan hukum dari Pemerintah.
6. Untuk lembaga sekolah, metode pengajaran tidak hanya menekankan pemahaman secara teoritis
namun juga sangat memperhatikan pada hal-hal yang bersifat praktis.

3. Ahmad Surkati

Biografi ahmad surkati8

Ahmad bin Muhammad Surkati dikenal sebagai pembaharu Islam di Jawa pada permulaan abad
ke-20. Michael Laffan, guru besar sejarah Universitas Princeton, menggambarkan Surkati
sebagai cendekiawan yang diplomatis. Meski disebutkan bahwa ia memandang rendah orang-
orang Belanda seperti ulama-ulama pada umumnya, Surkati tetap menghormati para penasihat
urusan pribumi seperti Snouck Hurgronje dan beberapa penerus Belandanya.

Dalam Sejarah Islam di Nusantara (2015), Laffan menuliskan upaya Surkati mendekati para
penerus Snouck seperti D.A. Rinkes dan B.J.O. Schrieke. Surkati mengirim surat dengan harapan
mereka akan mengizinkannya memimpin persoalan agama Islam secara damai di bawah
kekuasaan Belanda (hlm. 237-238).

Dalam suratnya, lanjut Laffan, Surkati bersungguh-sungguh saat menunjukkan keinginan


berkontribusi mengangkat moral masyarakat dari seluruh kelas melalui serangkaian program.

7
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ. Muhammadiyah Surakarta.2008). H. 206
8
Tirto. Id : Ahmad Surkati, Ahmad Surkati, Sang Guru Pembaru Islam di Tanah Jawa
Surkati mengklaim programnya ini dapat menghasilkan keamanan yang menyeluruh di Hinda
Belanda. Di samping itu juga amat menguntungkan pemerintah kolonial, karena dapat
menghasilkan pemahaman yang lebih baik antara pemerintah dengan yang diperintah. Terakhir,
Surkati mengungkit pula permasalahan agama dan iklim pasca-Perang Dunia I.

Gagasan-gagasan Surkati menarik perhatian para pejabat kolonial. Meskipun tidak semua
penasihat memercayai Surkati, ia berhasil menumbuhkan hubungan baik antara gerakan
pembaruan Islam dengan para penasihat urusan pribumi.

Sebenarnya siapakah Ahmad Surkati? Mengapa ia amat mendukung perubahan praktik Islam di
Jawa?

Dari Hijaz ke Hindia Belanda


Meskipun darah Sunda mengalir dalam nadinya, Ahmad Surkati tidak lahir di Jawa. Ia lahir
ketika keluarganya tengah hijrah ke Dongola, Sudan antara 1874-1875. Kebetulan Surkati
dilahirkan dalam keluarga cendekiawan Islam. Baik ayah maupun kakeknya pernah menuntut
ilmu agama di Mesir.

Di Sudan, Surkati tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berpikiran jernih. Ia sering kali
diperlakukan istimewa oleh sang ayah dengan diajak bepergian menghadiri majelis-majelis yang
bersifat ilmiah. Meski tidak suka mematuhi peraturan sekolah, Surkati dikenal sangat jenius dan
bisa menghafal Alquran hanya dengan sekali membaca.

Setelah menyelesaikan ilmu agama dasar di Sudan, Surkati pindah ke Makkah pada 1896
sembari melaksanakan ibadah haji. Di sana ia tidak bermukim lama, tetapi malah melanjutkan
perjalanan ke Madinah untuk menuntut ilmu agama dan bahasa Arab selama empat tahun.
Setelah lulus dari Madinah, Surkati memilih tinggal Makkah selama 11 tahun untuk
memperdalam fikih.

Berkat kemampuannya, pada 1909, Surkati berhasil mendapatkan pengakuan dari para
cendekiawan Makkah. Tak butuh waktu lama sampai Surkati dihadiahi posisi guru kehormatan
di Kota Suci itu. Sebelumnya, Surkati juga sudah menjalin hubungan baik dengan kelompok
reformis Islam di Mesir.

Sepak terjang Surkati sampai juga ke telinga para pemimpin Jamiatul Khair di Batavia. Mereka
sangat terkesan dan mengundang cendekiawan muda itu datang ke Jawa untuk menjadi guru.

Surkati menerima tawaran pergi ke Batavia, meski ia sudah kerap mendengar kabar bahwa
pemerintah kolonial suka menindas orang-orang Muslim dari Semenanjung Arab. Menurut
catatan Natalie Mobini-Kesheh dalam The Hadrami Awakening: Community and Identity in The
Netherlands East Indies, 1900-1942 (1999: 54), keputusan Surkati timbul berkat keinginannya
berjuang memajukan Islam di Hindia Belanda, khususnya Jawa.

“Di antara kematianku berjuang atas nama Islam di Jawa, dan kematianku tanpa berjuang atas
nama Islam di Mekkah, aku memilih Jawa,” tulis Mobini-Kesheh mengutip Perdana Suara edisi
khusus Ahmad Surkati.

Sekitar Oktober 1911, Surkati tiba di Jawa. Ia ditemani dua orang guru asing. Berdasarkan
penelusuran Mobini-Kesheh, semenjak Surkati menjadi pengawas di sekolah-sekolah Jamiatul
Khair, guru-guru asing mulai berdatangan dari Arab. Dua tahun setelah kedatangan Surkati,
empat guru lain tiba di Jawa, semuanya lulusan Makkah, berdarah Sunda, dan masih cukup
muda.

Kedatangan guru-guru asing, menurut Mobini-Kesheh, memberikan semangat pembaruan Islam


di tanah Jawa. Mereka dengan getol mulai mengajarkan gagasan-gagasan reformasi Islam di
sekolah-sekolah. Akibat perbedaan interpretasi hukum Islam, terjadi kerenggangan hubungan
antara kelompok reformis Islam dengan para pemimpin Jamiatul Khair yang konservatif.

Surkati sendiri hanya bertahan tiga tahun di Jamiatul Khair. Pada 1914 ia memutuskan hubungan
kerja akibat perbedaan pandangan dengan para pembesar organisasi itu. Keputusan Surkati
ternyata berdampak pada perpecahan organisasi, karena guru-guru pendukung Surkati yang
berhaluan reformasi Islam turut mengundurkan diri.

Atas dorongan dari pada pendukungnya, Surkati memutuskan membuka sekolah sendiri di
Batavia yang diberi nama Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Ia juga mendirikan yayasan untuk
mendukung keuangan organisasi. Berkat hubungan baik Surkati dengan para penasihat urusan
pribumi, Al-Irsyad langsung mendapatkan pengakuan resmi dari Pemerintah Kolonial pada
Agustus 1915.

Gerakan Reformasi Pendidikan Islam


Kendati memiliki wawasan keagamaan yang luas, tidak mudah mengulik pemikiran Ahmad
Surkati. Menurut salah seorang muridnya, Umar Hubeis, Surkati adalah cendekiawan yang suka
bekerja dalam kesunyian dan tidak banyak menulis, sehingga ia tidak bisa dikenali dari publikasi
atau ucapannya.

“Kita hanya dapat mengarahkan Anda kepada para siswa yang dididik olehnya,” kata Umar
Hubeis seperti dikutip majalah Al-Misbah edisi Februari 1929.

Birsi Affandi dalam disertasi Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1945): Pembaharu & Pemurni Islam
di Indonesia (1999) berhasil mengumpulkan pengakuan terhadap ketokohan Ahmad Surkati. A.
Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis), menuturkan bahwa Surkati adalah gurunya. Begitu pula
dengan para reformis Islam seperti pendiri Persis Haji Zamzam dan pendiri Muhammadiyah
Ahmad Dahlan adalah sahabat sekaligus murid dari prinsip dan pemikiran Surkati (hlm. 1).

Mobini-Kesheh juga menunjuk adanya idealisme dan integritas tinggi dalam membawa
perubahan Islam di Jawa dalam diri Ahmad Surkati. Saat pertama kali tiba di Batavia, Surkati
mendapati kaum Muslim di Hinda Belanda terjebak dalam keterbelakangan dan ketidaktahuan.
Agar dapat menuntun kelompok-kelompok tersebut, Al-Irsyad didirikan sebagai lembaga yang
dapat membimbing kaum Muslim ke arah pencerahan.

Sejak 1915, yayasan Al-Irsyad secara konsisten menggalang dana untuk kebutuhan program-
program bimbingan dan pemurnian Islam. Sepanjang dasawarsa 1920-an hingga 1930-an, Al-
Irsyad berhasil membangun gedung-gedung pertemuan, sekolah, dan perpustakaan. Para tokoh
Al-Irsyad tak henti-hentinya menyebarkan tradisi Arab, mengajarkan bahasa Arab, Belanda, dan
bahasa-bahasa lainnya.

Sejak 1917, Al-Irsyad sudah mulai membuka cabang di penjuru Jawa. Pembukaan pertama
dilakukan di Surabaya dan Tegal. Sepanjang 1918-1919, cabang Al-Irsyad bertambah lagi di
Cirebon, Pekalongan, dan Bumiayu. Selanjutnya tahun 1927-1928, Al-Irsyad kembali
berkembang di Banyuwangi, Bondowoso, dan Bogor. Sebagian madrasah Al-Irsyad ini ada yang
mendatangkan guru-guru reformis lulusan Mesir, di samping tenaga pengajar lulusan madrasah
cabang Surabaya dan Pekalongan.

Menurut Birsi Affandi, perkembangan Al-Irsyad yang amat pesat kemungkinan didukung adanya
peningkatan kesadaran mengenai pentingnya pendidikan di kalangan Arab non-sayid. Tak hanya
komunitas Arab, kalangan bumiputra pun turut bersekolah di Al-Irsyad berkat prinsip Surkati
yang memandang perlunya pemahaman dua arah antara kaum Muslim lokal dengan komunitas
Arab.

4. Ahmad Hasan

AHMAD Hassan adalah salah satu tokoh pendiri Islam. Ia adalah tokoh utama organisasi
persatuan Islam (Persis). Ia terkenal sebagai ulama yang sangat militan, teguh pendirian,
dan memiliki kecakapan luar biasa. Kita hanya baru mengenalnya secara sekilas saja.
Oleh karena itu, untuk mengobati rasa penasaran kita tentang beliau, mari kita kenali
lebih dekat mengenai beliau.9

Ahmad Hassan atau A Hassan bin Ahmad lahir tahun 1887 di Singapura. Ayahnya bernama
Ahmad yang berasal dari India dan dan bergelar Pandit. Ibunya bernama Muznah yang berasal
dari Palekat Madras, tetapi lahir di Surabaya. Ahmad dan Muznah menikah di Surabaya ketika
Ahmad pergi berdagang ke kota itu dan kemudian menetap di Singapura.

Pada usia 12 tahun, A Hassan belajar mandiri dengan bekerja di sebuah toko milik iparnya.
Sambil bekerja, ia menyempatkan diri belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab
sebagai kunci untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam. Dia juga mengaji pada Haji
Ahmad di Bukittiung, dan pada Muhammad Thaib, seorang guru yang terkenal, di Minto Road.

Ahmad Hassan banyak mempelajari ilmu nahwu dan sharaf dari Muhammad Thaib. Sebagai
orang yang keras kemauannya dalam menuntut ilmu, ia tidak keberatan jika harus datang dini
hari sebelum Subuh. Namun, karena merasa tidak ada kemajuan setelah kira-kira empat bulan
belajar nahwu dan sharaf, ia memutuskan untuk beralih mempelajari bahasa Arab pada Said
Abdullah al-Musawi selama tiga tahun.

9
Islampos.com:
Selain itu, ia juga belajar kepada pamannya, Abdul Lathif (seorang ulama yang terkenal di
Malaka dan Singapura), Syekh Hasan (seorang ulama yang berasal dari Malabar), dan Syekh
Ibrahim (seorang ulama dari India). Beliau mempelajari dan memperdalam Islam dari beberapa
guru tersebut sampai kira-kira tahun 1910, menjelang usia 23 tahun.

Selain memperdalam ilmu agama Islam, dari tahun 1910 hingga tahun 1921, Ahmad Hassan
melakukan berbagai macam pekerjaan di Singapura. Dari tahun 1910 sampai tahun 1913, ia
menjadi guru tidak tetap di madrasah orang-orang India yang terletak di Arab Street, Baghdad
Street, dan Geylang Singapura. Ia juga menjadi guru tetap di Madrasah Assegaf di Jalan Sulthan.
Sekitar tahun 1912-1913, ia menjadi anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan
oleh Singapore Press.

Ahmad Hassan bukanlah tokoh tersohor yang aktif dan populer akan sumbangsihnya di bidang
politik. Ia memilih pokus untuk membina kawula muda dari segi kapasitas agama. Natsir, adalah
muridnya yang sangat populer akan pemikiran dan pribadi yang sangat religius. Atas nasihat
Hassan sebagai mentor bagi Natsir, Natsir yang pandai berbahasa Belanda mendebat pendeta
yang menyudutkan Nabi Muhammad SAW melalui surat kabar yang beredar ketika itu. Aksi ini
mendapat dukungan penuh dari Hassan dan juga mentor Natsir yang lain yakni K.H Agus Salim.

Tak hanya Natsir yang banyak belajar kepada Hassan terkait ilmu agama, presiden pertama
Indonesia yakni Soekarno juga belajar agama kepada Hassan. Meski Soekarno tidak mewarisi
pemikiran Hassan, namun Hassan tak kenal lelah untuk terus menularkan ilmu agama
kepadanya. Hubungan Hassan dan Soekarno semakin terlihat ketika Soekarno diasingkan ke
Endah, Flores, oleh pemerintahan Belanda. Soekarno acap kali berkorespondensi kepada Hassan
terutama menyangkut masalah-masalah agama.

Kumpulan surat-menyurat Soekarno kepada Hassan diabadikan dalam buku “Di bawah Bendera
Revolusi Jilid 1”. Hassanlah yang setia mengirimkan Soekarno majalah dan buku-buku Islam
untuk menemani hari-hari sepinya Soekarno selama pembuangan.

Ahmad Hassan adalah orang yang konsisten akan pemikiran dan gagasannya. Pemahaman dan
pemikirannya senantiasa berlandaskan al-qur’an dan as-sunnah. Gagasan dan pemikiran
kenegaraan juga tak pernah ia pisahkan dengan konsep Islam. Bagi Hassan, Islam adalah agama
syumul yang mengatur segalanya termasuk hal-ihwal kenegaraan.

Ketika Soekarno merumuskan konsep Nasionalisme yang memisahkan peran agama, Hassan pun
menolak. Nasionalisme ala Hassan, ketika kecintaan kita kepada bangsa dan tanah air kita, kita
landaskan kepada Islam. Suatu negara tidak boleh melandaskan prinsip kenegaraannya hanya
berdasarkan kepentingan rakyat saja namun harus ada kepentingan dan cita-cita mulia Islam
didalamnya. Gagasan inilah yang diwariskan kepada murid kesayangannya, Natsir.

Tahun 1936 didirikannya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) sebuah wadah perjuangan Islam
yang menyatukan berbagai macam ormas Islam. Didalamnya bergabung NU, Muhammadiyah,
Persis, Sarekat Islam, dan hampir semua ormas Islam lainnya kecuali Ahmadiyah. Tiga tahun
berselang, diadakan Kongres Islam di Solo yang membicarakan berbagai persoalan agama dan
politik termasuk aliran sesat dan beberapa kasus yang menghina Islam.
Persis dipilih sebagai ketua komisi untuk membahas kasus aliran sesat dan kasus yang menghina
Islam ketika itu. Pemilihan dan pengangkatan ini tak lepas atas sumbangsih Hassan yang berhasil
membuat persis disegani dan dihormati oleh ormas Islam lainnya.

Ahmad Hassan memiliki reputasi yang cukup memikat karena berani berhadapan langsung
dengan aliran-aliran sesat di Indonesia. Tahun 1933, Hassan berdebat dengan Ahmadiyah dan
diliput secara nasional. Bisa dibilang, persis menjadi tersohor dan sangat disegani ketika itu tak
terlepas dari peran besar tokoh yang menyejarah dan monumental yakni Ahmad Hassan. Sosok
Ahmad Hassan layak disejajarkan dengan tokoh pergerakan lainnya; Cokroaminoto, Agus Salim,
Wahid Hasyim, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai