Anda di halaman 1dari 12

Makalah Pendidikan Kewarganegaraan

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Fakultas DKV Universitas Putra Indonesia “YPTK” Padang

OLEH

ALIZA MUTIA PUTRI K


20101159110133

FAKULTAS DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

UNIVERSITAS PUTRA INDONESIA “YPTK”

PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang sudah

melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah- Nya sehingga saya bisa menyusun Tugas

Pendidikan Kewarganegaraan ini dengan baik serta tepat waktu. Seperti yang sudah

kita tahu “Pendidikan Kewarganegaraan” juga termasuk mata kuliah yang penting

di jurusan Desain Komunikasi Visual.Untuk itu semuanya perlu dibahas pada

makalah ini mengenai asal usul Pendidikan Kewarganegaraan.

Tugas ini saya buat untuk memberikan ringkasan tentang keberadaan

Pendidikan Kewarganegaraan untuk memudahkan dalam mempelajarinya. Semoga

makalah yang saya buat ini bisa mempermudah dalam proses belajar dan dapat

membuat pengetahuan kita jadi lebih luas lagi. Saya menyadari kalau masih banyak

kekurangan dalam menyusun makalah ini .

Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat saya

harapkan guna kesempurnaan makalah ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada

Dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan .Kepada pihak yang

sudah menolong turut dan dalam penyelesaian makalah ini. Atas perhatian serta

waktunya, saya sampaikan banyak terima kasih.

Batam , 20-11-2020
i
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................................. 1

1.2 TUJUAN PENULISAN ........................................................................................... 2

1.3RUMUSAN MASALAH .......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian demokrasi ................................................................................................ 3

B. Studi kasus demokrasi ............................................................................................... 4

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 8

Kesimpulan ................................................................................................................... 8

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1.1 LATAR BELAKANG


Istilah “demokrasi” menjadi panglima di negeri ini setelah rezim otoriter
Soeharto lengser dari tahta kekuasaannya pada Mei 1998. Namun, istilah yang tepat
dan netral untuk menggambarkan Indonesia saat ini adalah „Indonesia pasca-
Soeharto‟ bukan „Indonesia pasca-Orde Baru‟ ataupun „era reformasi atau
demokrasi‟.

Selain itu, istilah „pasca Orde Baru‟ menandakan bahwa sistem otoriter
tidak berlaku lagi. Padahal dalam tataran prakteknya, warisan rezim tersebut masih
ada bahkan langgeng. Perilaku elit saat ini pun tak jauh berbeda dengan perilaku
elit di era Orde Baru. Saat ini, semua lapisan masyarakat Indonesia bersorak
gembira menyambut udara segar di bawah payung demokrasi. Sumbatan yang
dahulu dibungkam selama 32 tahun, kini dengan bebas dapat diteriakkan tanpa
seorang pun yang dapat membungkamnya karena kebebasan berpendapat telah
dilindungi oleh undangundang.

Momentum “kudeta Soeharto” seolah menjadi langkah awal bagi


masyarakat di republik ini untuk membenahi segala aspek kehidupan baik di bidang
sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama dengan tujuan utama yaitu
kesejahteraan rakyat. Di sinilah pada akhirnya, demokrasi semakin mantab diyakini
oleh rakyat Indonesia sebagaimana ungkapan Abraham Lincoln dalam pidatonya
pada peresmian makam nasional Gettysburg, Amerika Serikat 1863. Lincoln
mengatakan, bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat (Urofsky, 2001; 2). Ringkasnya, pemegang kekuasaan sejati dan
kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Inilah makna yang paling hakiki dari demokrasi
yang sedang dipuji-puji negeri ini. Kini, era yang dipuji-puji tersebut telah berumur
14 tahun (1998-2012). Demokrasi yang diambil dari kata demos yang berarti
masyarakat, dan kratein yang berarti mengatur telah jauh dari kenyataan yang
berlaku di panggung politik yang penuh dengan sandiwara (Ketchum, 2004; 28).
1
1.2 TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui apa itu demokrasi

2. Mengetahui kasus mengenai demokrasi

1.3RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu demokrasi

2. Apa saja kasus mengenai demokrasi

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian demokrasi
Demokrasi merupakan gabungan dari dua kata dalam Bahasa Yunani
yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Dari
bahasa Inggris demos dan kratos diserap menjadi democracy. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, demokrasi dalam istilah politik yang berarti pemerintahan
rakyat.Dalam demokrasi ada pilar demokrasi dengan kata lain trias politica yang
membagi kekuasaan menjadi 3, yaitu yudikatif, eksekutif, dan legislative.

Yudikatif adalah lembaga yang memegang kekuasaan di bidang kehakiman.


Lembaga ini terdiri dari Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan
Komisi Yudisial (KY). Eksekutif adalah lembaga yang memegang kekuasaan
pemerintahan. Lembaga inilah yang paling luas wewenangnya dan tugasnya.
Sedangkan Legislatif adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Lembaga ini terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Dewan PerwakilanDaerah
(DPD).

Praktik demokrasi telah dijadikan sebagai sistem politik yang dianut oleh
sebagian besar negara di dunia. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya
berbeda-beda tergantung dari sudut pandang masing-masing negara. Demokrasi
memiliki berbagai macam bentuk, diantaranya berdasarkan titik berat perhatian,
ideologi, serta proses penyaluran kehendak rakyat.

3
B. Studi kasus demokrasi

Studi Kasus Demokrasi Jelang Sidang Paripurna DPRRI 2019

Jelang Paripurna DPRRI 2019 pada bulan Oktober nanti, DPRRI dan Pemerintah
'ngebut' melakukan beberapa perubahan terkait perundangan. Sayangnya, apapun
alasannya, perubahan perundangan yang diusulkan dan diterapkan ternyata
merongrong demokrasi.

Proses revisi undang undang no 30, 2002 tentang KPK yang hanya dilakukan
selama 12 hari setelah rencana revisi ditetapkan, telah diketok palu kemarin 17
September 2019. Perubahan ini merupakan kejutan bagi hampir semua pihak.
Kitapun dipertontonkan suatu teka teki, apakah Presiden terkejut dengan rencana
DPRRI, karena Presiden nampak tidak konsisten dan berubah ubah dalam
mengomentari rencana revisi UU KPK. Revisi ini sebetulnya hanya menambahkan
isu keputusan pansel capim KPK yang memilih mereka yang di dalamnya terdapat
calon yang memiliki rekam jejak tidak etis. Dan ternyata, calon itu pulalah yang
dimenangkan menjadi Ketua KPK. Gelombang protes dan deklarasi dari berbagai
pihak, baik guru besar, dosen dan civitas akademica lebih dari 30 universitas di
Indonesia terjadi.

Surat KPK yang dilayangkan kepada Presiden untuk meminta waktu bertemu dan
berkonsultasi dengan Presiden tidak ditanggapi. Tanggapan berupa komentar
barulah ada ketika tiga dari lima pimpinan KPK, termasuk Ketua KPK
mengundurkan diri. Banyak pihak memberikan tanggapan dan mencoba menengahi
ketegangan yang ada. Namun toh revisi UU KPK telah diketok palu, setelah
melalui proses penggodokan dalam ruang hotel. Bisa dikatakan bahwa revisi ini
tidak demokratis. Tidak melibatkan konsultasi publik. Publik kecewa dan protes
terus mengalir hingga kini.

Walaupun Presiden berjanji bahwa revisi akan memperkuat KPK, perubahan yang
terjadi bahkan menggerogoti KPK. Ini makin menjadi nyata, ketika semua pihak,
termasuk KPK dan masyarakat baru mengetahui pasal pasal perubahannya, setelah
semua terjadi.
4
Ini preseden super buruk dalam sejarah demokrasi kita. Perubahan UU KPK itu,
antara lain :

 Korupsi bukan lagi menjadi kejahatan luar biasa. Ia kembali menjadi kejahatan
biasa, dengan tanpa melalui prosedur khusus, yang ada dalam pemeriksaan
tersangka yang sebelumnya. Perubahan ini tidak lagi merujuk pada UU KPK,
tetapi kembali mengikuti prosedur hukum acara pidana;
 Kewenangan Pimpinan KPK yang sebelumnya memuat sebagai penyidik dan
penuntutu umum dihapus;
 Kewenangan untuk menggeledah, menyita dan menyadap harus meminta
persetujuan tertulis Dewan Pengawas;
 Kewenangan merekrut penyidik independen dicabut;
 Pegawai KPK tunduk pada UU ASN (tertera pada pasal 24) yang berpotensi
mengganggu kemandirian pegawai KPK;
 Dewan Pengawas KPK mengawasi dan mengevaluasi kerja staf, pejabat dan
komisioner dan pimpinan KPK dan turut serta dalam persoalan keseharian
pelaksaan teknis penanganan perkara (pasal 37);
 KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan dengan batas 2 tahun (Pasal
40). Ini membatasi gerak KPK untuk mengembangkan penyelidikan. Artinya,
perkara besar sulit dicakup;
 Revisi UU KPK langsung berlaku setelah diundangkan (pasal 70 c). Saat ini KPK
mrnangani kasus E-KTP yang telah memakan waktu 3 tahun. Artinya ada potensi
tersangka E-KTP di SP3 kan. Juga, kasus kasus seperti BLBI akan berpotensi
menguap.

Revisi ini di klaim telah divalidasi oleh banyak pihak, dan dengan berbagai metode,
termasuk dalam bentuk studi. Penolakan dan protes terus terjadi. Kita tidak tahu ini
akan terjadi sampai kapan.

Ternyata , cobaan tidak hanya di UU KPK. Revisi Undang Undang KUHP telah
pula diproses. Disebutkan oleh DPRRI bahwa RKUHP akan disahkan pada 24
September.

5
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) memerinci pasal-pasal yang berpotensi
memperlemah demokrasi. Beberapa pasal itu, misalnya pasal 281 RKUHP tentang
penghinaan terhadap pengadilan. Pasal ini dinilai berpotensi dapat memidanakan
jurnalis dan media yang menulis putusan pengadilan. Abdul, wakil dari AJI
menuntut agar DPR dan pemerintah menyabut pasal 281 soal penghinaan terhadap
pengadilan. Pasal itu dengan mudah bisa dipakai untuk menjerat jurnalis dan media
yang selama ini kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan. (CNN
Indonesia, 16 September 2019).

Media mudah dibungkam bila memberi kritik terkait perilaku penegak hukum yang
tak patuh undang undang. Masih terdapat 9 pasal lain yang berpotensi mengganjal
demokrasi pada usulan revisi ini, termasuk diantaranya kriminalisasi hak privat
warga. Revisi UU MD3. Usulan revisi adalah termasuk, antara lain menambah
jumlah ketua DPRRI dari 5 menjadi 10. Ini artinya hanya merupakan upaya
pembagian kekuasaan.

Korupsi di Indonesia

Indonesia, untuk kesekian kalinya turut serta menjadi salah satu negara yang
dinilai TI, data menunjukkan adanya penurunan posisi dalam peringkat. Peringkat
Indonesia turun dari 86 ke 89, meski skornya meningkat dari 37 menjadi 38. Ini
adalah perbandingan CPI tahun 2017 dan 2018. Soal turunnya peringkat dan juga
soal korupsi berupa skandal jual beli jabatan diangkat berkali kali dalam debat
Capres terakhir. Sayang sekali, diskusi mendalam terkait bagaimana situasi korupsi
di negeri ini tidak mendapat sentuhan berarti.

Peneliti TI Indonesia menyampaikan bahwa dari CPI 2018 itu, Indonesia memiliki
upaya positif antikorupsi yang telah dilakukan oleh Pemerintah, KPK, kalangan
bisnis dan juga masyarakat sipil. Penelitian penelitian yang menjadi dasar
penyusunan CPI 2018 mencatat bahwa peringkat Indonesia diuntungkan oleh
adanya kemudahan berusaha dan perizinan yang ramah investasi. Kontribusi positif
ini dilaporkan oleh Global Insight Country Risk Ratings dan Political and Economy
Risk Consultancy. Sementara, maraknya praktik korupsi dalam
sistem politik menggerogoti posisi Indonesia dalam CPI.

6
Terdapat lima dari sembilan aspek yang berkontribusi pada mandegnya indeks
adalah dari laporan the World Economic Forum, Political Risk Service,
Bertelsmann Foundation Transformation Index, Economist Intelligence Unit
Country Ratings, World Justice Project -- Rule of Law Index.

Sementara itu, terdapat dua aspek yang berkontribusi pada penurunan indeks, yaitu
laporan IMD World Competitiveness Yearbook dan Varieties of Democracy

7
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa cita-cita


demokrasi yang berujung pada kesejahteraan rakyat, pada tataran prakteknya
belum bisa dijalankan sesuai dengan harapan. Hambatan-hambatan pun muncul
justru dari aktornya, baik dari elit lokal (baik bupati beserta jajarannya dan
DPRD) hingga pejabat tingkat paling bawah, yaitu Lurah dan Kades.

Bahkan masyarakatnya menjadi ikut-ikutan sebagai penghambat bagi lajunya


demokrasi lokal. Masyarakat diberikan uang sebagai bagian dari proses
kampanye kandidat. Sebaliknya, masyarakat pun berpikir: kandidat pemimpin
yang memberi uang banyak, itulah yang dipilih. Pola pikir pragmatis tidak hanya
dari atas, tapi dari bawah juga.

Disinilah peran leadership elit lokal menjadi faktor penting. Pada kenyataannya,
fungsi pemerintah lokal sebagai pelayan publik tidak dapat dijalankan dengan
baik. Kebutuhan dasar masyarakat berupa jalan raya, ketersediaan air, keamanan
fisik dan psikologis maupun keadilan hukum tidak dapat dikelola oleh
pemerintah lokal

Kapankah kita bisa mewujudkan negeri ini benar-benar menjadi negeri


sejahtera? Sehingga kita bisa berdongeng pada anak cucu kita kelak, bahwa ada
sebuah negeri makmur yang pernah Tuhan ciptakan di muka bumi ini, sebuah
negeri yang nyaman untuk ditinggali oleh siapapun, sebuah negeri yang indah
akan pesona alam panoramanya bernama Indonesia.

8
DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/ACER/Downloads/JSPUMY_PraktekDemokrasiLokalStudiKasusdiLampungT

engah_2011.pdf/

https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/pengertian-demokrasi-4529/

https://www.researchgate.net/publication/335227300_PEMBAHASAN_STUDI_KASUS_

SEBAGAI_BAGIAN_METODOLOGI_PENELITIAN

https://www.kompasiana.com/leya21951/5d823be00d82304c5951dd53/studi-kasus-

demokrasi-yang-mati-di-negeri-pencoleng?page=all

Anda mungkin juga menyukai