Anda di halaman 1dari 77

PENELITIAN

ANALISIS
PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI
NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN
PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

OLEH :
WIDI ASTUTI, drg., M.Kes
DYAN ANGESTI, S.Kom., MM
SRI NAWANGWULAN, SKM., M.Kes

PROGRAM STUDI
D III REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
RS Dr.SOETOMO SURABAYA

1
halaman

HALAMAN SAMPUL

RINGKASAN EKSEKUTIF

Tipe Pendekatan

Masalah Yang Timbul

Prediksi-Kesimpulan- Rekomendasi

DAFTAR ISI…………….....................................................

BAB 1 KAJIAN KEBIJAKAN………………………………….

1.1 Masalah Dasar………………………………………..

1.1.1 Macam Masalah……………………………….

1.1.2 Ciri Masalah…………………………………..

1.1.3 Karakteristik Masalah…………………………

1.1.4 Nilai……………………………………………

1.2. 5 Aktor Yang Terlibat……………………………

1.2 Tujuan Yang Ingin Dicapai……………………………

1.3 Substansi Kebijakan…………………………………..

1.3.1 Ciri Kebijakan……………………………………

1.3.2 Kriteria Kebijakan………………………………..

1.3.3 Tipe Pendekatan…………………………………

1.3.4 Pasal Bermasalah…………………………………

BAB 2 KONSEKUENSI DAN RESITENSI………………………..

2.1 Perilaku Yang Muncul …………………………………

2.1.1 Perilaku Positif………………………………….

2
2.1.2 Perilaku Negatif…………………………………

2.2 Resistensi……………………………………………..

2.2.1 Bentuk…………………………………………

2.2.2 Aktor ………………………………………….

2.2.3 Sumber………………………………………..

2.2.4 Intensitas………………………………………

2.3 Masalah Yang Timbul……………………………………

BAB 3 PREDIKSI…………………………………………………

3.1 Prediksi “Trade-Off”……………………………………

3.2 Prediksi Keberhasilan…………………………………..

BAB 4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI……………………

4.1 Kesimpulan (Kesimpulan Kajian Bab 1 s/d Bab 3)……

4.2 Rekomendasi…………………………………………..

3
4
RINGKASAN EKSEKUTIF

Tipe pendekatan analisis kebijakan Menteri Kesehatan ini adalah predikti


dan normatif.
Prediktif yaitu berorientasi pada kepentingan ke depan agar risiko hukum
yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat
dihindarkan. Normatif dalam hal ini agar upaya pelayanan kesehatan
diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

I. Ringkasan Kebijakan

A. Masalah

Masalah mendasar dalam kebijakan Program Jaminan Kesehatan yaitu


untuk mewujudkan komitmen global, maka pemerintah bertanggung jawab
atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui JKN.
Pemerintah telah merintis dengan menyelenggarakan beberapa bentuk
jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya melalui PT.Askes (Persero)
dan PT.Jamsostek (Persero) untuk hampir seluruh masyarakat termasuk
miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema
Jaminan Kesehatan, namun skema-skema tersebut masih terfragmentasi,
terbagi-bagi sehingga biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit
terkendali.
Untuk mengatasi hal tersebut, telah dikeluarkan salah satunya Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

B. Karakteristik atau ciri masalah dasar adalah:


a. Kesenjangan tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan;
b. Kesenjangan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya
jaminan kesehatan;

5
c. Kesenjangan tingkat ekonomi masyarakat antara tingkat ekonomi tinggi
dan rendah yaitu adanya perbedaan tingkat penghasilan;
d. Buruknya sistem kesehatan di Indonesia, terbukti adanya tren kenaikan
jumlah pasien di RS tersier rata-rata per hari 2500 orang pada awal
diberlakukannya JKN;

C. Tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan ini adalah:


a. Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Pedoman Pelaksanaan Program
JKN bertujuan untuk memberikan acuan bagi BPJS Kesehatan,
Pemerintah (Pusat, Propinsi, kabupaten/Kota) dan Pihak Pemberi
Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan),
peserta program JKN dan pihak terkait dalam penyelenggaraan JKN;
b. Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis kebijakan ini adalah
mengevaluasi dari diterbitkannya kebijakan JKN, yang berdampak luas
pada masyarakat.

II. Masalah yang Timbul

Kebijakan ini menimbulkan masalah, terutama pada awal penerapan


JKN, yang bersumber dari internet maupun surat kabar, yaitu:
1. Rujukan pasien belum berjalan

2. Isu publik/kasus yang terjadi pada pendaftaran BPJS untuk peserta


mandiri, kini tak lagi secara individual, melainkan dalam satu keluarga.
Peserta juga harus memiliki rekening di Bank agar pembayaran bisa
auto debet setiap bulannya;
3. Kartu BPJS Kesehatan tidak bisa langsung dipergunakan begitu selesai
mendaftar dan membayar di Bank, seperti aturan sebelumnya
(Jamkesmas), namun peserta harus menunggu hingga 7 (tujuh) hari ke
depan.
Alasan BPJS, jika tidak ditata sejak awal dikawatirkan akan bermasalah di
kemudian hari, karena iuran peserta adalah jantung BPJS.
6
4. Berdasarkan beberapa kasus yang dikirim tanggal 22 November 2014 oleh
Ketua Umum Relewan Kesehatan Indonesia. Bongkar Kecurangan/ BPJS,
cabut Permenkes Nomor 28/2014, Peraturan BPJS Kesehatan Nomor
4/2014, Peraturan Direksi BPJS Pusat Nomor 211/2014. Makin
menyengsarakan rakyat, harus memiliki rekening, harus satu KK
didaftarkan, E KTP, 7 hari baru aktif.
5. Peraturan tentang JKN belum dipahami oleh masyarakat terutama peserta;
6. Saran kepada Menkes untuk segera mencabut peraturan yang tidak pro
rakyat ini “ Permenkes hampir tidak dapat dilaksanakan karena secara
teknis pembuatan kartu JKN membutuhkan waktu 3 x 24 jam hari kerja.
Permenkes ini dengan sadar menangkal keluarga miskin Indonesia untuk
tidak dapat menggunakan JKN;
7. BPJS harus merevisi Peraturan Direksi BPJS Pusat Nomor 211 Tahun
2014 yang menentukan waktu tunggu valid kartu untuk peserta mandiri
yang memilih kelas 2 dan kelas 1. Sedangkan, asuransi komersial saja
tidak demikian. Seharusnya yang bisa diatur waktu tunggu hanya untuk
benefit operasi elektif. Apakah keluarga miskin harus punya rekening
bank?
8. Belajar dari Asuransi Kesehatan Turkey, sejak tahun 2006 masih defisit.
Tahun 2013 Turkey masih defisit 19% dari total biaya, yang kemudian
dibiayai oleh pemerintah. Menteri Kesehatan dan BPJS harus berjuang ke
Presiden untuk mendapatkan dana kontingensi (dana pengalihan subsidi
BBM) bila terpaksa harus defisit. Bukan membuat aturan yang
menyengsarakan rakyat miskin dengan menghambat dan menangkal
rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan karena takut rugi;
9. RS harus menjelaskan secara rinci risiko biaya kalau pasien naik kelas
walaupun menjadi hak peserta. Sering juga RS sengaja dan mempengaruhi
pasien untuk pindah kelas dengan tujuan mendapat untung dari pasien
yang tuna informasi. Ini merupakan bentuk fraud kesehatan juga;
10. Kebijakan BPJS telah Telan Korban di Surabaya

7
Bagi peserta JKN Mandiri, anak yang baru lahir dianggap sebagai pasien
umum, karena keluarga memang tidak tahu kalau bayinya tidak masuk
BPJS, RS juga tidak menjelaskan;
Komentar peneliti dari masalah tersebut:
a. Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 Bab III
Peserta dan Kepesertaan ketentuan umum butir 1 nomor c disebutkan
bahwa Peserta PBI JKN adalah fakir miskin dan orang tidak mampu,
dilanjutkan butir 5 bahwa Menteri Sosial berwenang menetapkan data
kepesertaan PBI, masalahnya karena ayah M.R.Prayuda belum
memiliki Kartu Peserta, walaupun yang bersangkutan adalah seorang
cleaning service;
b. Peserta Mandiri saja yang harus punya rekening Bank, bukan peserta
miskin, karena peserta miskin atau PBI preminya dibayar oleh
pemerintah dan tidak ada transaksi langsung, artinya pemerintah
langsung membayar ke BPJS, selanjutnya BPJS yang menyelesaikan
klaim atau tagihannya;
c. Program JKN merupakan program baru, terutama peserta mandiri,
dengan jelas disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28
Tahun 2014 Bab III Peserta dan Kepesertaan butir 4 bahwa bayi baru
lahir tidak otomatis jadi peserta, namun harus didaftarkan terlebih
dahulu;
d. Semua program baru pasti banyak masalah yang terjadi, perlu
dilakukan evaluasi atau review kebijakan tentang substansi,
penerapan kebijakan;
11. Dua hari 2000 Peserta Baru, Apapun Alasannya, Tidak Boleh Tolak
Pasien.
Pada awal diberlakukannya JKN, tidak boleh tolak pasien, walaupun
penyakitnya ringan seperti batuk, demam dan pilek;
12. Terapkan Masa Transisi Sebulan. RSUD Dr.Soetomo Beberkan Kendala
JKN ke Menkes saat teleconference adanya masalah di lapangan, yaitu

8
sistem rujukan berjenjang yang belum berjalan, sistem pembiayaan INA
CBG’s;
13. Sebulan Urai Keruwetan Pelaksanaan JKN BPJS. Rujukan Tak Birokratis,
Jatah Obat dibenahi, Koreksi tarif INA CBG’s dan Bikin Satgas, Diskusi di
Graha Pena 10 Februari 2014 dan BPJS telah berupaya memperbaiki satu
persatu masalah di lapangan.
Hadir dalam diskusi tersebut antara lain Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Jatim, Kepala Regional VII BPJS, Kepala Dinas Kesehatan Kota, Direktur
RSUD Dr.Soetomo, Ketua IDI Jatim, Ketua MPPK PB IDI dan Direktur
RSI Jemursari.
14. Rujukan Tetap Tidak jalan
JKN sudah diberlakukan dua pekan, namun sistem rujukan belum juga
berjalan, masalah pelayanan yang ruwet, juga menuai keluhan dokter dan
rumah sakit, plafon biaya INA CBGs dianggap tidak rasional karena
operasi Caesar lebih murah dari khitan. Antrean pasien panjang, jumlah
pasien membludak, kursi tunggu penuh, tidak sedikit yang harus duduk di
lantai dan terkesan keleleran. Pasien dari daerah masih tumplek bleg di
RSUD Dr.Soetomo seperti dari Mojokerto, langsung dirujuk ke RSUD
Dr.Soetomo karena di RS Mojokerto sudah angkat tangan. Juga pasien
penyakit jantung yang dirujuk ke RSU Dr.Suwandhi, hanya sebentar
hanya minta stempel saja, langsung dirujuk ke RSUD Dr.Soetomo;
15. IDI Rekomendasikan kepada Kemenkes soal berbagai keluhan Sistem
JKN, terutama keluhan para dokter mengenai biaya pengobatan, system
pembayaran INA CBG’s bukan hanya plafon untuk semua tindakan,
tetapi juga berkurangnya pendapatan atau jasa dokter dari tindakan medis;
16. RSUD Bingung BPJS Kesehatan belum ada MOU pasien sudah banyak;
17. Plafon BPJS Kesehatan Dinilai Terlalu Rendah, Dokter kawatirkan
Keamanan Pasien, terutama RS Swasta;
18. RS Boleh Terapkan Sistem di luar BPJS untuk Solusi Macetnya Pencairan
Klaim Tunggakan;

9
19. Pihak RS dibolehkan menggunakan system operasional lain meski telah
bergabung dalam BPJS Kesehatan. Salah satunya menggunakan system
fee for service terhadap pasien;
20. Problem Pembayaran Klaim BPJS, RS Kesulitan Ajukan Klaim
RS yang belum menagihkan klaim dan sedang proses verifikasi bisa
mengajukan pembayaran di muka 50% dan RS yang sudah selesai
verifikasi dibayar. Masalah yang terjadi RS sulit melakukan entry data
klaim sehingga BPJS tidak bisa melakukan pembayaran dan BPJS
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memverifikasi semua
tagihan;
21. 71 RS Swasta Tak Terima Pasien BPJS, tetapi tetap wajib sediakan ruang
untuk pasien emergency;
22. Pemprov DKI Jakarta baru bisa menggandeng 81 di antara 152 RS
Swasta di seantero ibukota. Sedangkan 71 RS Swasta lain belum terlibat
kerjasama, umumnya yang belum bekerjasama dengan BPJS adalah RS
yang tergolong elite seperti RS Pondok Indah, RS Metropolitan Medical
Centre (MMC) dan RS Medistra. RS Swasta tidak wajib menerima
peserta BPJS di Kelas III, namun tetap diwajibkan oleh pemerintah
menyediakan ruang perawatan kelas III maksimal 22 % untuk
mengantisipasi pasien emergency;
23. RS Desak Kemenkes Revisi Tarif JKN, tarif rugi ganggu clash flow.
Salah satu hal krusial yang banyak dikeluhkan RS dalam pelaksanaan JKN
adalah tarif berobat dengan Sistem Indonesia Case Based Groups (INA-
CBG’s). Biaya beberapa tindakan atau prosedur pengobatan dinilai tidak
masuk akal. Karena itu RS mendesak adanya revisi tarif untuk beberapa
tindakan tertentu, jika tidak RS bisa merugi;
24. Umur BPJS Tinggal Dua Bulan .
BPJS terancam bangkrut, sebab pendapatan yang masuk dari iuran peserta
tidak sebanding dengan pengeluaran untuk membayar kapitasi dan klaim
pembayaran RS. Selama ini BPJS hanya menggantungkan diri dari dana
peralihan PT.Askes menjadi BPJS.

10
Sebagian besar peserta mandiri yang mendaftar adalah yang sakit, bukan
yang sehat;
25. Sumber Dana Banyak, BPJS Sangat Sehat
Bantahan keras dari Kemenkes terhadap dugaan BPJS diprediksi
bangkrut . Wakil Menteri Kesehatan mengatakan bahwa program JKN yang
dioperatori oleh BPJS sampai saat ini berjalan baik. BPJS menampilkan data
bahwa penerimaan BPJS tahun ini diprediksi 38,2 triliun. Pendapatan itu pasti
didapat karena bersumber dari alokasi peserta PBI yang sudah disepakati dari
APBN. Sumber Pendapatan BPJS dari iuran PBI 52,15%, TNI-POLRI 32,79%
Jamkesda 1,73%, Peserta Mandiri 0,27% WNA 0,04 % dan Badan Usaha/ Formal
13,01%
26. Pemegang BPJS Kesehatan Wajib Milki E-KTP.
Pemerintah mengeluarkan aturan baru terkait syarat pengurusan peserta
BPJS Kesehatan. Warga yang mengurusnya harus memiliki atau setidaknya telah
merekam e-KTP (KTP elektronik). Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat
Kementerian Dalam Negeri tertanggal 11 Sepember 2014. Pada Surat Nomor
471.13/8540/DUKCAPIL itu disebutkan salah satu syarat pengurusan BPJS
Kesehatan yaitu adanya data e-KTP dan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Ketentuan ini berlaku bagi peserta maupun calon peserta.
27. BPJS Evaluasi Sistem Rujukan
Lonjakan pasien di RSUD Dr.Soetomo tidak luput dari perhatian BPJS. Salah satu
penyebabnya adalah system rujukan yang belum maksimal. BPJS sudah
menetapkan dengan ketat system rujukan, artinya rujukan harus berjenjang;
28. Lonjakan Pasien RSUD Dr.Soetomo Pasca BPJS Kesehatan, Terpaksa Rawat
Banyak Pasien di Lorong, Bed tak mencukupi, pasien-pasien dirawat di lorong
Irna Pandan Wangi RSUD Dr.Soetomo, rujukan belum berjalan;
Upaya yang dilakukan RSUD Dr.Soetomo dengan lonjakan pasien:
a. Penambahan bed di setiap kelas sebanyak 10 -15 bed
b. Permintaan penambahan 1.000 Tempat Tidur
c. Penambahan brankar dan matras
d. Pembangunan Gedung Jantung dan Transplantasi Liver

11
e. Pembangunan Gedung Rawat Inap Baru
29. Aturan Tunggu Tujuh Hari BPJS Tetap Berlaku.
BPJS telah merevisi Peraturan BPJS Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Tata
Cara Pendaftaran dan pembayaran Peserta Perorangan BPJS Kesehatan.
Namun aturan tunggu 7 hari pasca penerbitan Kartu BPJS tetap berlaku;
30. Aturan BPJS Kesehatan Nomor 4/2014 (Sumber BPJS Surabaya dan BPJS
Jatim).
a. Kartu berlaku 7 hari setelah pembayaran iuran pertama
b. Jika tidak dapat menunjukkan kartu dianggap pasien umum;
c. Jika kartu tertinggal atau hilang bisa mengurus lagi maksimal tiga hari
sejak dirawat. Melebihi waktu itu dianggap pasien umum;
d. Peserta yang baru mendaftar pada masa perawatan tidak dapat
menggunakan fasilitas kartu.
Pengecualian:
a. Peserta dan bayi baru lahir dari PBI;
b. Peserta dan bayi baru lahir dari peserta tidak mampu yang didaftarkan
oleh pemda/Jamkesda;
c. Peserta dan bayi baru lahir dari penyandang masalah kesejahteraan social;
d. Bayi baru lahir dari peserta perorangan BPJS Mandiri Kelas III yang tidak
mampu membayar, syaratnya membawa Surat Rekomendasi Dinsos.
31. Klaim setahun 5,7 Trilliun, BPJS Waspada Korban Pertama adalah pasien;
Setahun BPJS Kesehatan beroperasi , potensi kecurangan (fraud) klaim
semakin besar. Sebab fasilitas kesehatan yang menjadi provider BPJS kian
banyak. Jumlah pasien kian lama kian bertambah. Modus RS semakin lama
semakin kreatif.
Modus-modus Penipuan BPJS:
a. Upcoding (RS menambahkan paket klaim ke BPJS);
b. Tagihan fiktif (RS menagihkan biaya yang tidak diberikan kepada pasien);
c. Readmission (memulangkan pasien, lalu memasukkan lagi agar tagihan
dobel);

12
d. Dokter menjual obat kepada pasien di luar yang ditanggung BPJS, pada
hal obat setara sudah ditanggung.

Pencegahan:
a. Peningkatan kompetensi verifikator untuk deteksi dini inefisiensi;
b. Penyelesaian perselisihan verifikasi sesuai alur penyelesaian klaim
bermasalah;
c. Optimalisasi penjaminan klaim kecelakaan lalu lintas oleh PT Jasa raharja;
d. Optimalisasi penjaminan klaim kecelakaan oleh BPJS Ketenagakerjaan;
e. Optimalisasi fungsi tim antifraud di wilayah dan cabang;
f. Pooling kejadian terindentifikasi potensi inefisiensi melalui aplikasi
antifraud.
32. BPJS Kesehatan Jatim, Kuatkan Verifikator RS. Dokter Cuma Menulis
Rekam Medis
Peluang terjadinya kecurangan (fraud) pada BPJS masih ada, padahal
tindakan penyelewengan seperti tagihan fiktif dan penambahan klaim bakal
berdampak pada kondisi mutu pelayanan kesehatan. Kecurigaan itu ada, tapi
harus ada faktanya dan adanya beberapa point utama dalam penanganan
fraud ;
33. 5,7 Juta Peserta BPJS Malas Bayar Iuran, Denda Keterlambatan Terlalu
Kecil
Diantara 19 juta peserta BPJS se Jatim, terdapat 5,& juta orang atau 30%
yang tidak tertib membayar iuran. Setiap peserta wajib membayar iuran pada
tanggal 10 setiap bulannya, jika lewat waktu tersebut akan dikenai denda 2%
dari iuran . Nilai denda ditentukan per kelas. Tunggakan paling lama 3 bulan.
Saat itu masih bisa mendapat pelayanan kesehatan, jika sampai 6 bulan masih
membandel kartunya akan di non aktifkan. Dapat diaktifkan kembali setelah
mereka membayar semua tunggakan iuran.

34. BPJS Putus Kontrak Empat Rumah Sakit

13
BPJS Kesehatan menyatakan terjadi fraud pengajuan klaim oleh RS
selama tahun 2014. Besarnya kecurangan masih terbilang wajar, belum
masuk ke tahap yang mengancam keuangan BPJS dan BPJS telah
menjatuhkan sanksi terhadap empat RS yaitu memutus kontrak, karena
melakukan kesalahan yang diulang-ulang.

III. Prediksi

3.1 Prediksi “Trade Off ”

Dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun


2014 ini, tentunya akan muncul “ trade off” yaitu adanya pihak yang merasa
diuntungkan dan ada pula yang merasa dirugikan oleh peraturan tersebut.
Peraturan ini sangat menguntungkan pemerintah dan masyarakat, dengan
adanya Sistem Jaminan Kesehatan yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kesehatan dalam bentuk manfaat pemeliharaan kesehatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, akan sangat membantu
pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan.
Pedoman ini memberikan acuan pelaksanaan JKN yang ditujukan pada
seluruh komponen bagi yaitu mulai Pemerintah (Pusat, Propinsi,
Kabupaten/Kota), BPJS Kesehatan, dan Pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan yaitu FKTP dan FKTL, peserta
Program JKN dan pemangku kepentingan lainnya dalam penyelenggaraan
JKN.
Kerugian yang timbul terutama bagi RS Swasta yang bekerjasama dengan
BPJS dikawatirkan akan merujuk pasien ke RS Pemerintah, karena adanya
penurunan nilai manfaat atau plafon bila dibandingkan dengan era PT.Askes
yang dulu karena di RS Swasta sudah dilengkapi pelayanan medis sesuai
standar yang dibutuhkan.

3.2 Prediksi Keberhasilan

14
Prediksi keberhasilan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun
2014 ini adalah sangat tergantung dari kesiapan dari aktor yang terlibat dalam
pelaksanaan baik pemerintah, pemberi pelayanan, BPJS dan masyarakat sebagai
peserta JKN, apabila aktor tersebut melakukan tugas dan peran masing-masing
dengan baik, maka dengan iklim reformasi saat ini peluang keberhasilan peraturan
ini sangat besar.
Apabila pelayanan kesehatan bagi penduduk melalui Program JKN ini
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak yang terlibat, maka
prediksi keberhasilan yaitu peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat
diwujudkan seutuhnya, dan Universal Health Coverage dapat terwujud dengan
baik pada tahun 2019 .

III. Kesimpulan dan Rekomendasi

4.1 Kesimpulan

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014 yang mengatur


Program JKN dan diharapkan dapat menjadi acuan serta dapat memberikan
pemahaman program JKN kepada seluruh stakeholder terkait, ternyata dalam
pelaksanaannya masih menemui beberapa masalahdan upaya perbaikan:

1. Kebijakan ini merupakan revisi dan pengembangan dari kebijakan


sebelumnya yaitu yang melibatkan PT.Askes, sasaran programnya belum
menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, masih terfragmentasi, terbagi-
bagi sehingga biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit
terkendali;
2. Terbitnya kebijakan terlambat yaitu Tanggal 3 Bulan Juni 2014 yang
implementasinya Tanggal 1 Januari 2014;
3. Kebijakan ini ada pasal-pasal yang kurang terinci, sehingga
pelaksanaannya menimbulkan berbagai masalah;
4. Kebijakan ini kurang mengantisipasi globalisasi, sehingga ada
kecenderungan praktek fraud atau kecurangan dari berbagai pihak;
15
5. Timbulnya resistensi dan perilaku positif maupun negative;
6. Upaya perbaikan sudah dilakukan oleh berbagai pihak dengan langkah-
langkah sesuai peraturan yang ada.

4.2 Rekomendasi

Mengkaji adanya masalah-masalah yang mungkin timbul sebagai akibat


penerapan kebijakan ini dan perubahan yang terjadi saat ini, maka
direkomendasikan beberapa rekomendasi yang kami usulkan:
1. Dalam tahap policy formulation perlu dilakukan koordinasi yang baik
antara penyelenggara program lama dan baru, walaupun sebetulnya
penyelenggaranya sama, namun personalnya dapat berbeda;
2. Dalam penyusunan kebijakan atau tahap policy formulation, agar supaya
penerbitannya tidak terlambat dan isinya tidak bertentangan, maka harus
dikoordinasikan dengan baik sehingga tercipta suatu keharmonisan dalam
pelaksanaannya;
3. Untuk mengantisipasi kecurangan, resistensi/penolakan dan perilaku
negatif yang muncul dari berbagai pihak, perlu diberlakukan transparansi
dan sanksi yang lebih tegas;
4. Meninjau kembali beberapa pasal yang bermasalah.

16
17
BAB 1

KAJIAN KEBIJAKAN

Pada penulisan ini yang dilakukan analisis adalah Peraturan Menteri


Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memuat ketentuan pokok yang
selanjutnya dijabarkan dalam berbagai petunjuk teknis sehingga diharapkan
dapat menjadi acuan dan dapat memberikan pemahaman program JKN kepada
seluruh stakeholder terkait (pemangku kepentingan), sehingga
pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik, efektif, efisien, transparan dan
akuntabel.

1.1 Masalah Dasar

Masalah mendasar dalam kebijakan Jaminan Kesehatan yaitu Untuk


mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat resolusi WHA ke-58
Tahun 2005 di Jenewa yang menginginkan setiap Negara mengembangkan
Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh penduduk, maka pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui
JKN.
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan
menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan,
diantaranya melalui PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero) yang
melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran dan
pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah
memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan daerah (Jamkesda). Namun skema-
skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi-bagi sehingga biaya kesehatan
dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.
Untuk mengatasi hal tersebut, telah dikeluarkan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

1
(SJSN) dan Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Salah satu pengaturan teknis pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan pelaksanaan
dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tanggal
18 Januari 2013 Tentang Jaminan Kesehatan beserta Perubahannya yaitu
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tanggal 27
Desember 2013 sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang
tersebut di atas.

1.1.1 Macam Masalah

a. Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang


menjadi misi negara untuk melaksanakannya. Pengembangan Sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat merupakan amanat konstitusi
dalam rangka memenuhi hak rakyat atas jaminan sosial yang dijamin
dalam Pasal 28 H ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945;
b. Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional yang adekuat merupakan
salah satu pilar untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945;
c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN menentukan 5
(lima) jenis program jaminan sosial, salah satunya adalah Jaminan
Kesehatan (JK);
d. PT ASKES (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan dan mulai
beroperasi 1 Januari 2014;
e. Perlu ada Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang jaminan
kesehatan.

1.1.2 Ciri Masalah


Kebijakan ini diterbitkan untuk memecahkan masalah publik yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh fasilitas
2
kesehatan yang ditunjuk dan tenaga pemberi pelayanan dalam upaya
preventif dan kuratif yang menyangkut banyak pihak dan aspek kehidupan
masyarakat, yang meliputi:
a. Nilai Sosial karena pengguna pelayanan kesehatan terdiri dari semua
lapisan masyarakat yang luas tingkat sosialnya;
b. Nilai Ekonomis karena berkaitan dengan pembayaran premi oleh
peserta jaminan kesehatan dan pembayaran klaim oleh BPJS kepada
fasilitas kesehatan yang ditunjuk dan nirlaba artinya dana yang
dikelola oleh BPJS Kesehatan adalah dana amanah yang dikumpulkan
dari masyarakat secara nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit
oriented). Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya
kepentingan peserta;
c. Nilai Teknikal karena adanya standarisasi pelayanan kesehatan mulai
dari tingkat primair, sekunder dan tersier;
d. Mencegah munculnya praktek fraud atau kecurangan baik dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan maupun masyarakat.

1.1.3 Karakteristik Masalah

Karakteristik atau ciri masalah dasar adalah:


c. Kesenjangan tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan;
Masalah kesehatan yang dialami masyarakat juga sangat beragam dan
pelik, sehingga sebagai masyarakat awam masyarakat tidak memahami
masalah kesehatan yang menimpa dirinya apakah tergolong ringan,
sedang dan berat terkait dengan permasalahan sebagaimana pada butir
(1) tersebut;
d. Kesenjangan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya
jaminan kesehatan, sehingga kurang memahami pentingnya
pembayaran iuran atau premi, kurang memahami alur atau tata aturan
JKN yaitu ke fasilitas kesehatan mana tujuan pertama kali apabila
masyarakat mengalami masalah kesehatan;

3
e. Kesenjangan tingkat ekonomi masyarakat antara tingkat ekonomi
tinggi dan rendah yaitu adanya perbedaan tingkat penghasilan;
f. Buruknya sistem kesehatan di Indonesia, terbukti adanya tren kenaikan
jumlah pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr.Soetomo rata-rata per
hari 2500 orang pada awal diberlakukannya JKN. Hal ini disebabkan
karena pasien yang ber penyakit ringan juga berobat ke RSUD
Dr.Soetomo, dan ini membuktikan bahwa penggalakan program
promotif dan preventif belum berjalan sesuai harapan, yang terjadi
selama ini adalah mengedepankan upaya kuratif;

1.2.4 Nilai

Tata nilai yang diatur dalam kebijakan ini adalah;


a. Nilai Ekonomis: pemerataan pelayanan kesehatan dan tenaga
pelayanan kesehatan
b. Nilai Moral: perlindungan masyarakat terhadap penyimpangan standar
dengan tujuan pada keamanan pasien;
c. Nilai Sosial: Hak masyarakat miskin dalam memperoleh pelayanan
kesehatan
d. Nilai Teknikal: Pelayanan kesehatan harus sesuai dengan standar
profesi dan mengikuti perkembangan teknologi.

1.2.5 Aktor yang Terlibat

Aktor yang terlibat dalam memecahkan masalah ini adalah:


a. Pemerintah sebagai regulator yang mengendalikan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan masyarakat (public service), yang meliputi
berbagai kementerian/lembaga terkait antara lain Kementerian
Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, dan Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN);

4
b. Peserta Program JKN Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) adalah seluruh penduduk Indonesia, termasuk orang asing yang
bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah
membayar iuran;
c. Pemberi Pelayanan Kesehatan adalah seluruh fasilitas layanan
kesehatan primer (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dan rujukan
(Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut);
d. Badan Penyelenggara adalah badan hukum publik yang
menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana yang
ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS);
e. Fasilitas kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan mulai
fasilitas pelayanan kesehatan primair, sekunder dan tersier baik
pemerintah maupun swasta yang bekerja sama dengan BPJS
( Klinik Pratama, Puskesmas, Rumah Sakit).

1.2.6 Isu Publik


Kebijakan ini dimaksudkan untuk merevisi kebijakan yang telah ada
sebelumnya yaitu jaminan kesehatan yang dikelola oleh PT. Askes (Persero)
yang berubah menjadi BPJS Kesehatan dan mulai beroperasi 1 Januari 2014
dan perlu ada Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang jaminan kesehatan
kepada seluruh stakeholder terkait.
Isu publik yang terjadi adalah banyaknya kejadian yang menyangkut
hubungan transaksional antara fasilitas kesehatan selaku penyelenggara
pelayanan kesehatan dalam hal ini tenaga dengan masyarakat peserta jaminan
kesehatan; antara institusi penyelenggara pelayanan dengan BPJS selaku badan
yang bertanggung jawab menyelenggarakan program jaminan kesehatan, yang
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip SJSN yaitu:
a. Dana amanat dan nirlaba dengan manfaat untuk semata-mata peningkatan
derajat kesehatan;

5
b. Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang
cost effective dan rasional;
c. Pelayanan yang terstruktur, berjenjang dengan portabilitas
(memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun
mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara
Kesatuan RI) dan ekuitas;
d. Efisien, transparan dan akuntabel.

1.2 Tujuan Yang Ingin Dicapai

Tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan ini adalah:

Dalam rangka melaksanakan ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2004


Tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, tujuan program
pelaksanaan JKN adalah untuk memberikan perlindungan kesehatan dalam bentuk
manfaat pemeliharaan kesehatan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah. Untuk melaksanakan program tersebut, maka
Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Pedoman Pelaksanaan Program JKN
bertujuan untuk memberikan acuan bagi BPJS Kesehatan, Pemerintah (Pusat,
Propinsi, kabupaten/Kota) dan Pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan) , peserta program JKN dan pihak terkait
dalam penyelenggaraan JKN.
Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis kebijakan ini adalah
mengevaluasi/review kebijakan terutama dalam pelaksanaan kebijakan yang
menyangkut masyarakat luas.

1.3 Substansi Kebijakan

1.3.1 Ciri Kebijakan

a. Regulatori: mengatur penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada


seluruh peserta jaminan kesehatan sesuai standar mutu yang
ditentukan;
6
b. Protektif: melindungi masyarakat terhadap penyimpangan yang
mungkin dilakukan oleh penyelenggara upaya pelayanan kesehatan
Penyimpangan tersebut dapat berupa ketidak patuhan terhadap standar
pelayanan medik, hilangnya perlindungan masyarakat miskin dan
penyimpangan aspek administrasi misalnya fraud/kecurangan dalam
mengajukan klaim oleh fasilitas kesehatan yang ditunjuk.

1.3.2.Kriteria Kebijakan

Kriteria yang terkandung dalam kebijakan ini adalah tentang:


a. Kebijakan ini mengatur pelaksanaan JKN dan memberikan acuan bagi
BPJS, Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota) dan pihak
pemberi pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS, peserta
program JKN dan pihak terkait dalam peneyelenggaraan JKN.
b. Penetapan kebijakan ini adalah Menteri Kesehatan RI

1.3.3 Tipe Pendekatan


Tipe pendekatan analisis kebijakan yang dipergunakan dalam menyusun
kebijakan yang berupa Peraturan Menteri Kesehatan adalah predikti dan
normatif.
Prediktif yaitu berorientasi pada kepentingan ke depan agar risiko hukum
yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat
dihindarkan. Normatif dalam hal ini agar upaya pelayanan kesehatan
diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

1.3.4 Pasal Bermasalah


Substansi Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan tanggal 3 Juni 2014 dan diundangkan
tanggal 25 Juni 2014, yang bermasalah adalah:

7
1.3.4.1 Pasal 4
Peraturan ini berlaku pada tanggal diundangkan dan ditetapkan di
Jakarta tanggal 3 Juni 2014 oleh Menteri Kesehatan serta diundangkan di
Jakarta pada tanggal 25 Juni 2014 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia. Sesuai Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011
Tentang BPJS yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, implementasinya
dimulai sejak 1 Januari 2014, namun Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program JKN baru ditetapkan
tanggal 3 Juni 2014 dan diundangkan tanggal 25 Juni 2014, jadi 6 bulan
setelah program berjalan.
Sesuai kalimat Menimbang… Mengingat dan seterusnya… Menetapkan Pasal
1 Pengaturan Pedoman Pelaksanaan JKN bertujuan untuk memberikan acuan
bagi BPJS Kesehatan, Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota) dan
Pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS (FKTP
dan FKTL), peserta program JKN dan pihak terkait dalam penyelenggaraan
JKN dan Bab I PENDAHULUAN butir D Ruang lingkup pengaturan dalam
Pedoman Pelaksanaan Program JKN ini meliputi penyelenggaraan, peserta,
kepesertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan, badan penyelenggara dan
hubungan antar lembaga, monitoring evaluasi, pengawasan dan penanganan
keluhan. Apabila masih menggunakan pedoman yang lama tentunya sudah
tidak sesuai lagi, dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan semakin
meningkat, sehingga terjadinya masalah tidak dapat dihindari.

1.3.4.2 Bab II Penyelenggaraan


B. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan butir 5. Kepesertaan bersifat wajib
“ Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi
seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan
ekonomi rakyat dan pemerintah, serta kelayakan penyelenggaraan
program”.

8
Pasal ini tidak menjelaskan kriteria tentang kemampuan ekonomi rakyat dan
kemampuan pemerintah, serta kelayakan penyelenggaraan program”

1.3.4.3 Bab III Peserta dan Kepesertaan


A. Ketentuan Umum butir 1. C
“ Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan adalah fakir
miskin dan orang tidak mampu”

Pasal ini tidak dijelaskan kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu, karena
dalam pelaksanaannya sering menimbulkan masalah dalam hal penetapan
data kepesertaan. Menteri yang berwenang menetapkan data kepesertaan
adalah Menteri Sosial dan mekanisme penetapan data kepesertaan ini
memerlukan waktu yang lama terutama berkaitan dengan kepesertaan PBI
baru. Penetapan data kepesertaan sebagaimana butir 5 disebutkan “Menteri
Sosial berwenang menetapkan data kepesertaan PBI. Selama seseorang
ditetapkan sebagai peserta PBI, maka yang bersangkutan berhak
mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan dalam JKN dan pasal 6. “ Sampai
ada pengaturan lebih lanjut oleh Pemerintah tentang jaminan kesehatan bagi
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PKMS) maka gelandangan,
pengemis, orang terlantar dan lain-lain menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah. Demikian untuk penghuni panti-panti sosial serta penghuni
Rutan/Lapas yang miskin dan tidak mampu”.

1.3.4.4 Bab IV Pelayanan Kesehatan


A. Ketentuan Umum Pasal 1 sampai dengan pasal 9 tentang hak peserta
mendapat pelayanan kesehatan dan mekanisme pelayanan kesehatan serta
rujukan termasuk fungsi, kewajiban pelayanan tingkat pertama, kedua dan
ketiga.
Butir 2 disebutkan “ manfaat jaminan yang diberikan kepada peserta dalam
bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif)
berdasarkan kebutuhan medis yang diperlukan”. Butir ini baik karena
mencakup kebutuhan dasar peserta, namun tidak dijelaskan secara terperinci,

9
sehingga dalam pelaksanaannya, karena persepsi yang berbeda dari masing-
masing pemberi pelayanan kesehatan.
Butir 8 disebutkan “ Rujukan parsial dapat dilakukan antar fasilitas kesehatan
dan biayanya ditanggung oleh fasilitas kesehatan yang merujuk”. Pasal ini
memberatkan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang merujuk, karena dana
kapitasi kecil, sehingga apabila ada pasien yang memang harus dirujuk
memaksakan dengan mengatur dana dari sumber lain yang akibatnya dapat
menimbulkan kecurangan.
Butir 10 disebutkan bahwa” Status kepesertaan pasien harus dipastikan sejak
awal masuk FKRTL . Bila pasien berkeinginan menjadi peserta JKN dapat
diberi kesempatan untuk melakukan pendaftaran dan pembayaran iuran
peserta JKN yang selanjutnya menunjukkan nomor identitas peserta JKN
selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja sejak yang bersangkutan dirawat
atau sebelum pasien pulang (bila pasien dirawat kurang dari 3 hari). Jika
sampai waktu yang telah ditentukan pasien tidak dapat menunjukkan nomor
identitas peserta JKN maka pasien dinyatakan sebagai pasien umum.
Pasal ini mengatur kepastian status kepesertaan pasien di FKRTL, namun
bagi peserta waktu 3 x 24 jam untuk mengurus pendaftaran sangatlah tidak
mungkin lebih-lebih bagi pasien miskin.
Butir C. Manfaat Jaminan Kesehatan disebutkan bahwa “ Manfaat JKN
terdiri atas 2(dua) jenis, yaitu manfaat medis dan manfaat non medis.
Manfaat medis berupa pelayanan kesehatan yang komprehensif (promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative) sesuai dengan indikasi medis yang tidak
terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan.
Pada kenyataannya pelayanan kelas I, II dan III selain berbeda kamar, juga
berbeda dokter yang menangani, obat yang diberikan.
Butir D. Pelayanan Obat, Penyediaan Obat dan Penggunaan Obat butir 2. b.
Penggunaan obat di luar Formularium Nasional di FKRTL hanya
dimungkinkan setelah mendapat rekomendasi dari Ketua Komite Farmasi
dan Terapi dengan persetujuan Komite Medik atau Kepala/Direktur RS yang

10
biayanya sudah termasuk dalam tarif INA CBG’s dan tidak boleh dibebankan
kepada peserta.
Pasal ini sebetulnya merupakan solusi terbaik, namun mekanisme yang harus
ditempuh terlalu panjang, sehingga dikawatirkan memperparah kondisi
pasien.
Butir E. Peningkatan Kelas Perawatan nomor 4. Disebutkan “ Dalam hal
ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh, peserta dapat dirawat di
kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi paling lama 3(tiga) hari. Selanjutnya
dikembalikan ke ruang perawatan yang menjadi haknya. Bila masih belum
ada ruangan sesuai haknya, maka peserta ditawarkan untuk dirujuk ke
fasilitas kesehatan lain yang setara atau selisih biaya tersebut menjadi
tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan.
Pasal ini baik, karena merupakan solusi yang bertujuan untuk mengatasi
masalah kekurangan ruang perawatan, dengan meningkatkan kelas perawatan
namun berlaku bagi yang mampu saja karena dalam kenyatannya,
diberlakukan urun biaya selisih yang harus ditanggung sendiri. Apabila
masih belum ada ruangan yang menjadi haknya, maka peserta ditawarkan
untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang setara, hal ini selain merugikan
pasien yang harus dipindah-pindah juga fasilitas kesehatan yang setara dalam
kenyataan juga mengalami masalah yang sama yaitu kekurangan kamar.
Butir E nomor 5 disebutkan bahwa “ bila kelas sesuai hak peserta
penuh dan kelas satu tingkat di atasnya penuh, peserta dapat dirawat di kelas
satu tingkat lebih rendah paling lama 3(tiga) hari dan kemudian dikembalikan
ke kelas perawatan sesuai haknya dan nomor 6 disebutkan bahwa “bila
semua kelas perawatan di rumah sakit tersebut penuh, maka rumah sakit
dapat menawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang setara dengan
difasilitasi oleh FKRTL yang merujuk dan berkoordinasikan dengan BPJS
Kesehatan.
Bila kelas yang lebih rendah dari haknya lebih dari 3(tiga) hari, maka
BPJS Kesehatan membayar ke FKRTL sesuai dengan kelas di mana pasien
dirawat.

11
Pasal ini juga merugikan peserta, karena jika tidak tersedia kamar
sesuai haknya, peserta tetap berada di kelas yang lebih rendah sampai
dinyatakan boleh pulang, walaupun biaya ditanggung oleh BPJS.

1.3.4.4 Bab V Pendanaan

Ketentuan Umum nomor 7 disebutkan

“ Fasilitas kesehatan tidak diperbolehkan meminta iur biaya kepada peserta


selama mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya”.

Pasal ini baik, karena melarang fasilitas kesehatan meminta tambahan biaya,
namun pelaksanaannya sulit, karena fasilitas kesehatan menganggap sebagai
pasien umum apabila status peserta belum pasti.
Ketentuan Umum nomor 8 disebutkan bahwa:

“ Fasilitas Kesehatan mengajukan klaim setiap bulan secara regular paling


lambat tanggal 10 bulan berikutnya, kecuali kapitasi, tidak perlu diajukan
klaim oleh fasilitas kesehatan”.

Ketentuan Umum nomor 9 disebutkan

“ Klaim yang diajukan oleh fasilitas kesehatan terlebih dahulu dilakukan


verifikasi oleh verifikator BPJS Kesehatan yang tujuannya adalah untuk
menguji kebenaran administrasi pertanggungjawaban pelayanan yang telah
dilaksanakan oleh fasilitas kesehatan.

Pada kenyataannya pelaksanaannya mundur tidak bisa tepat waktu, karena


perlu verifikasi pada pihak fasilitas kesehatan maupun BPJS, sehingga
pembayaran klaim juga mundur.
Sumber Pendanaan disebutkan:

“Sumber pendanaan dalam penyelenggaraan JKN berasal dari iuran


peserta PBI dan bukan PBI”.

Pasal ini pelaksanaannya sering bermasalah terutama menyangkut Peserta


PBI karena dana berasal dari berbagai sumber yaitu ada yang berasal dari
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Tingkat II.

12
Butir C. Mekanisme Pembayaran butir 2. Mekanisme Pembayaran ke
Fasilitas Kesehatan disebutkan:
“ BPJS kesehatan akan membayar kepada FKTP dengan kapitasi dan non
kapitasi. Untuk FKRTL, BPJS Kesehatan akan membayar dengan system
paket INA CBG,s dan di luar paket INA CBG’s dan terkait denagn butir 5.
Disebutkan “ Pembayaran pelayanan kesehatan dengan menggunakan
system INA CBG’s terhadap FKRTL berdasarkan pada pengajuan klaim
dari FKRTL baik untuk pelayanan rawat jalan maupun untuk pelayanan
rawat inap. Klaim FKRTL dibayarkan oleh BPJS Kesehatan paling lambat
15 hari setelah berkas klaim diterima lengkap.

Pasal ini tujuannya mengatur sistem pembayaran kapitasi dan non kapitasi
juga di FKRTL dengan sistem INA CBG’s dan non INA CBG’s. Dalam
pelaksanaannya dalam pengelolaannya, harus memenuhi ketentuan peraturan
perundangan di bidang pengelolaan daerah karena dana kapitasi mulai Bulan
Januari sampai dengan Bulan April 2014 telah disetor ke Kas Daerah,
sehingga mekanismenya rumit.
Sistem INA CBG’s pelaksanaannya perlu dilakukan evaluasi atau koreksi,
karena tarifnya terlalu rendah.

1.3.4.5 Bab VII Monitoring, Evaluasi dan Penanganan Keluhan


Butir E. Penanganan Keluhan, meliputi beberapa prinsip yaitu
obyektif, responsive, koordinatif, efektif, efisien, akuntabel, transparan.
Penanganan ini sudah baik namun dalam pelaksanaannya karena adanya
berbagai macam keluhan baik keluhan medis maupun administratif, dan
berasal dari peserta dengan fasilitas kesehatan, antara peserta dengan BPJS
Kesehatan, antara BPJS dengan fasilitas kesehatan, BPJS dengan asosiasi
fasilitas kesehatan, serta besar kecilnya masalah, maka pelaksanaan prinsip-
prinsip tersebut menemui berbagai kendala pula, walaupun sudah diatur pula
sampai siapa mediatornya mulai jenjang bawah sampai jenjang tertinggi
yaitu Tim Monev dan Menteri Kesehatan.

13
BAB 2
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun
2014 ini, maka akan muncul beberapa perilaku kebijakan baik yang bersifat
positif, perilaku negatif dan resistensi.
2.1 Perilaku Yang Muncul

2.1.1 Perilaku Positif

a. Jawa Pos, Minggu, 5 Januari 2014 menyebutkan bahwa Presiden


Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengawasi langsung pelaksanaan
Program JKN ke RSUD Dr.Soetomo dan Puskesmas Pucang, ternyata
transisi BPJS berjalan baik. SBY ingin seluruh rakyat Indonesia
tercover asuransi kesehatan sehingga bisa mendapatkan pelayanan

14
kesehatan dengan baik. Petugas BPJS, para pimpinan RS, dan dokter
juga diminta bekerja dengan baik;
b. Pemerintah dalam hal ini Presiden RI sudah memperhitungkan dengan
cermat tentang insentif dokter dan tenaga lain disesuaikan dengan
kemampuan anggaran Negara, namun ada persoalan di lapangan
diantaranya persoalan penyaluran di daerah dan besaran yang
seharusnya diterima oleh dokter dan tenaga lain. Presiden
mengintruksikan agar dikeluarkan aturan tambahan untuk memastikan
penyaluran dan besaran insentif dokter dan tenaga lain tepat waktu dan
tepat jumlah.
c. Dalam penyelenggaraan JKN berbagai pihak sesuai kewenangannya
melaksanakan monitoring evaluasi. Aspek yang perlu dilakukan
monitoring yaitu Kepesertaan, Fasilitas Kesehatan, SDM Kesehatan,
Obat dan Alat Kesehatan, Utilisasi Pelayanan dan Keuangan, serta
Organisasi dan Kelembagaan. Penyelenggaraan JKN aspek yang
dievaluasi adalah status kesehatan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi
jaminan sosial, fiscal. Para pihak yang melakukan monitoring dan
evaluasi adalah Otoritas Jasa Keuangan, (OJK), Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan, BAPPENAS dan BPJS-
Kesehatan, sehingga permasalahan yang terjadi dapat dipecahkan
sedini mungkin;
d. Pemerintah Provinsi Jawa Timur:
1) Gubernur diwakili oleh Wakil Gubernur meluncurkan Program
JKN di RSUD Dr.Soetomo pada Tanggal 31 Desember 2014 dan
menargetkan penduduk Jawa Timur yang tercover asuransi
kesehatan bisa mencapai 60% pada Tahun 2015 dan pada Tahun
2019 seluruh penduduk harus tercover asuransi kesehatan;
2) Pemerintah Provinsi Jawa Timur tanggal 3 Januari 2014
mengumpulkan pihak-pihak terkait (Direktur RSUD Dr.Soetomo,
Kepala BPJS Regional Jatim, Kepala Jamsostek Jatim, Kepala Biro
Kesra Pemda Jatim, dan LSM Peduli JKN) untuk memberikan
15
jaminan kepada masyarakat bahwa tidak akan ada pasien yang
ditelantarkan meski mereka belum masuk data BPJS (Jawa Pos,
Sabtu 4 Januari 2014);
3) Pemerintah Provinsi mendorong Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) agar segera mendaftarkan buruhnya ke BPJS, terutama
bagi karyawan yang belum terdaftar di Jamsostek.
e. Peserta Baru Program JKN terutama Peserta Bukan PBI berbondong-
bondong mendaftarkan diri sebagai peserta dengan membayar iuran.
Sesuai berita yang dimuat di Jawa Pos, Selasa 7 Januari 2014 “ Premi
Murah Jadi Daya Tarik JKN”. Kementerian Kesehatan terus
memonitor perkembangan respon masyarakat terhadap pemberlakuan
Program JKN yang dimulai 1 Januari 2014 yang menuai tanggapan
positif dari publik. Media yang dipakai untuk memonitor adalah
Layanan Halo Kemkes di nomor telepon (012) 500567, pada tanggal 6
Januari 2014 jumlah penelpon sejumlah 300 orang yang menanyakan
Program JKN, bagaimana Program JKN dan di mana harus mendaftar;
f. Pemberi Pelayanan Kesehatan adalah seluruh fasilitas layanan
kesehatan primer (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dan rujukan
(Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut) mempersiapkan diri
dengan semua sumberdaya yang ada dalam rangka melayani seluruh
peserta sesuai standar yang ditentukan;
g. RSUD Dr.Soetomo telah melapor ke Gubernur dan Menteri Kesehatan
sehubungan dengan membengkaknya pasien di RSUD Dr.Soetomo
pada awal diterapkannya BPJS, langkah yang ditempuh Direktur
adalah:
1) Melapor kepada Gubernur dan mengevaluasi membengkaknya
pasien sampai tanggal 30 Januari 2014 dan mensosialisasikan
aturan pelayanan kesehatan dan sistem rujukan;
2) Melapor kepada Menteri Kesehatan terkait dengan system INA
CBG’s. Perhitungan system tersebut dinilai tidak cocok untuk
berobat, karena menggunakan system paket, ibarat dulu orang beli
16
bakmi seporsi harga sepuluh ribu, sekarang bakmi seporsi tambah
telur dibayar kurang dari sepuluh ribu. Masukan ini sudah diterima
oleh Menteri Kesehatan bahkan berbagai persoalan sudah
dilaporkan kepada presiden.
h. BPJS Jawa Timur sebagai Penyelenggara Program JKN
1) BPJS menjaring peserta mandiri yakni masyarakat umum yang
belum tercover asuransi. Agar jumlah peserta meningkat, BPJS
membuka pendaftaran di tiga RS yaitu RSUD Dr.Soetomo, RS
Haji, dan RSUD Sidoarjo dengan target mencakup masyarakat
mandiri yang belum mempunyai asuransi.
2) Pada Tanggal 10 Februari 2014 mengadakan diskusi di Graha
Pena, Jawa Pos yang dihadiri oleh Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur, Kepala Regional VII BPJS, Kepala Dinas
Kesehatan Kota Surabaya, Direktur RSUD Dr.Soetomo Surabaya,
Ketua IDI Jatim, Ketua MPPK IDI dan Direktur RSI Jemursari
yang bertujuan Mengurai Keruwetan Pelaksanaan JKN-BPJS
dengan memperbaiki satu persatu masalah yang terjadi di
lapangan.
3) Untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh pihak pemberi
pelayanan, BPJS melakukan upaya peningkatan pengawasan untuk
mencegah kecurangan.
Klaim ke BPJS digolongkan tiga kategori, yaitu:
(a) Layak sesuai peraturan yang berlaku
(b) Tidak Layak
(c) Pending jika ada tindakan medis yang diduga tidak benar,
sehingga BPJS berhak menunda pembayaran kepada RS.
Pentarifan RS bukanlah perkara mudah, banyak yang terlibat.
Misalnya petugas coding atau coder, jika data yang dimasukkan
salah, karena diagnosis utama atau diagnosis tambahan salah
dalam menterjemahkan, dimasukkan INA CBG’s, keluar code dan
nilai tarifnya. Jika coder ragu dan tidak menanyakan pada
17
dokternya maka code dan tarifnyapun salah, maka tagihan juga
salah dan dokter hanya menulis rekam medisnya. Akibatnya
muncul potensi upcoding yakni kode klasifikasi penyakit
dinaikkan ke tingkat yang lebih parah, tujuannya jumlah klaim
kian besar.

2.1.2 Perilaku Negatif

Adanya perilaku tidak mematuhi kebijakan yang dilakukan oleh:

a. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebagai regulator


dalam menetapkan kebijakan ini lambat, baru ditetapkan tanggal 3 Juni
2014, implementasinya per 1 Januari 2014;
b. Peserta Program JKN:
1) Pembayaran premi tidak rutin
Jawa Pos, Jum’at 13 Februari 2015 menyebutkan bahwa 5,7 juta
Peserta BPJS malas Bayar Iuran”. Diantara 19 juta peserta BPJS se
Jawa Timur, 5,7 juta atau 30% tidak tertib membayar premi.
Sesuai aturan setiap peserta wajib membayar iuran selambat-
lambatnya pada tanggal 10 setiap bulan, jika lewat tanggal tersebut
peserta dikenai denda keterlambatan sebesar 2% dari iuran (terlau
rendah), sehingga menganggap enteng denda itu dan malas bayar
iuran.
2) Pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS
3) Melanggar aturan, terutama pasien lama RSUD Dr.Soetomo tidak
berobat ke RS tipe C atau B terlebih dahulu, namun langsung ke
RSUD Dr.Soetomo karena belum memahami prosedur pelayanan
yang diterapkan di BPJS, sehingga pasien RSUD Dr.Soetomo
membludak
c. Pemberi Pelayanan Kesehatan adalah seluruh fasilitas layanan
kesehatan primer (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dan rujukan
(Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut);

18
1) Jawa Pos, Sabtu, 28 Februari 2015 disebutkan “BPJS Putus
Kontrak Empat RS” Adanya kecurangan/fraud yang terjadi di RS
berkaitan dengan klaim yang diajukan, sehingga BPJS
menjatuhkan sanksi bagi RS dengan memutus kontrak dengan
empat RS. Kesalahan tersebut antara lain RS masih menarik biaya
dari pasien padahal seluruh biaya pelayanan kesehatan sudah
ditanggung BPJS;
2) Jawa Pos, Februari 2015 disebutkan “ Setahun Rp.5.7 T, BPJS
Waspadai Fraud”
Modus-modus Penipuan BPJS, antara lain:
a) Upcoding (RS menambahkan paket klaim ke BPJS);
b) Tagihan fiktif (RS menagihkan biaya yang tidak diberikan
kepada pasien);
c) Readmission (memulangkan pasien, lalu memasukkannya lagi
agar tagihan dobel);
d) Dokter menjual obat kepada pasien di luar yang ditanggung
BPJS, padahal obat setara sudah ditanggung;

Upaya Pencegahan:
a) Peningkatan kompetensi verifikator untuk deteksi dini
inefisiensi;
b) Penyelesaian perselisihan verifikasi sesuai alur penyelesaian
klaim bermasalah;
c) Optimalisasi penjaminan klaim kecelakaan lalu lintas oleh PT.
Jasa Raharja;
d) Optimalisasi penjaminan klaim kecelakaan oleh BPJS
Ketenagakerjaan;
e) Optimalisasi tugas Tim Antifraud di wilayah dan cabang;
f) Pooling kejadian teridentifikasi potensi inefisiensi melalui
aplikasi antifraud.
d. BPJS yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan
19
1) Jawa Pos, Kamis 23 Januari 2014 disebutkan bahwa “RSUD
Bingung BPJS Kesehatan”, yang terjadi di RSUD Sidoarjo yaitu:

a) Belum ada MOU antara BPJS Kesehatan dengan Dinas


Kesehatan, RSUD, Puskesmas, apotek, dan layanan kesehatan
dasar lain;

b) Database peserta yang tergabung dengan BPJS Kesehatan


belum ada di RSUD, validasi penerimaan pasien masih
manual;

c) Ada Pergub yang menyatakan RSUD Bangil, Pasuruan dan


RSUD Prof. dr.Sukandar Mojosari Mojokerto harus mengirim
pasien ke RSUD Sidoarjo sebelum dirujuk ke RSUD
Dr.Soetomo;

Perincian dan MOU terkait dengan Pergub tersebut belum jelas.

2) Jawa Pos, Senin, 22 September 2014 menyebutkan “BPJS sudah


menerapkan aturan ketat terkait sistem rujukan, yaitu rujukan harus
berjenjang, artinya kalau ada yang sakit, harus ditangani fasilitas
kesehatan tingkat pertama, pakai dokter keluarga”, yang terjadi
hingga kini masih ada yang langsung merujuk pasien ke RS tipe A,
namun itu atas permintaan pasien sendiri dan biaya sepenuhnya
ditanggung oleh pasien sendiri.
3) Beberapa RS mengeluh tentang pembayaran klaim yang diajukan
karena verifikasi oleh BPJS cukup lama sebagaimana disebutkan
dalam Jawa Pos Selasa, 25 Februari 2014 disebutkan “ RS
Kesulitan Ajukan Klaim”. Dari 181 RS yang bekerjasama dengan
BPJS belum satupun yang pembayarannya beres. Masalahnya
adalah RS kesulitan meng-entry (merupakan hal baru) data tagihan
dengan sistem INA CBG’s dan verifikasi yang dilakukan BPJS
cukup lama karena masih masa transisi, akibatnya sangat
mengganggu clash-flow RS
1.2 Resistensi

20
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun
2014 ini, maka ada beberapa resistensi/penolakan yang muncul diantara
pelaksana kebijakan ini, yaitu:
1.2.1 Bentuk resistensi berupa:

a. Tidak bersedia membayar di FKTP dan FKTL apabila berobat


karena tidak masuk quota, bagi keluarga miskin yang belum
mempunyai kartu JKN;

b. Tidak bersedia membayar premi secara rutin karena belum


memahami konsep dan manfaat jaminan kesehatan;

c. Penurunan kualitas pelayanan oleh tenaga medis, karena


penerapan sistem kapitasi, permintaan incentif bulanan tidak
dipenuhi;

1.2.2 Aktor adalah :

a. Keluarga miskin yang belum mempunyai kartu JKN

b. Peserta Program JKN Mandiri

c. Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS


terutama tenaga medis dan institusi pemberi pelayanan

d. BPJS sebagai penyelenggara apabila ada Pemberi Pelayanan


Kesehatan yang melanggar aturan, dilakukan sanksi pemutusan
kerjasama;

2.2.3 Sumber Resistensi

a. Ancaman terhadap resistensi baik individu, kelompok


Apabila diantara 19 juta peserta BPJS se Jawa Timur, yaitu 5,7 juta
atau 30% tidak tertib membayar premi tidak dilakukan upaya
penyuluhan dikawatirkan jumlahnya semakin meningkat dan
mengakibatkan ancaman yang besar terhadap sumber pendapatan
BPJS, walaupun persentase peserta mandiri hanya 0,27% dari
sumber lainnya yaitu peserta PBI 52,15%, PNS, TNI-POLRI 32,
79%, Jamkesda 1,73% WNA 0,04% dan Badan Usaha Formal
13,01% (Jawa Pos, Sabtu, 15 Maret 2014).

21
b. Ancaman ekonomi, sosial juga merupakan hal yang cukup
dominan karena:

1) Bila tarif INA CBG’s jika tidak dievaluasi mengakibatkan RS yang


bekerjasama dengan BPJS terutama RS Swasta akan menolak
karena kerugian yang dialami oleh RS;
2) Incentif bagi dokter dan tenaga lain, jika tidak dievaluasi atau
diperhatikan, mengakibatkan penurunan mutu pelayanan kesehatan
2.2.4 Intensitas Resistensi
Intensitas resistensi ini semakin meningkat apabila masyarakat yang
drop out dalam membayar premi tidak diberikan penyuluhan dan jika
tarif INA CBG’s serta incentif tenaga dokter serta tenaga lainnya tidak
dilakukan koreksi.
2.3 Masalah yang Timbul
Munculnya kebijakan ini menimbulkan masalah, terutama pada awal
penerapan JKN, yaitu:
35. Rujukan pasien belum berjalan
Pasien yang berkunjung ke RSUD Dr.Soetomo 2.876 orang dalam
sehari dan di Instalasi Rawat Darurat (IRD) 300 orang, sudah
dilaporkan ke Gubernur selaku pemilik RS. Gubernur memberi masa
transisi kepada RSUD Dr.Soetomo untuk tetap menerima pasien dan
Direktur RSUD Dr.Soetomo akan melakukan evaluasi sampai tanggal
30 Januari, setelah itu pasien tidak dapat langsung berobat ke RSUD
Dr.Soetomo bila penyakitnya ringan, sebelumnya harus ke RS tipe C
dan B terlebih dulu. Sesuai aturan RSUD Dr.Soetomo tidak bisa
mengajukan klaim ke BPJS, klaim akan diajukan ke pihak yang
merujuk.
36. Sesuai Aturan BPJS Kesehatan Nomor 4/2014 yang ditetapkan oleh
Direktur Utama BPJS pada tanggal 17 Oktober 2014 sebagai
pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014
disebutkan bahwa:
a. Kartu berlaku tujuh hari setelah pembayaran iuran pertama;

22
b. Jika tidak dapat menunjukkan kartu, dianggap pasien
umum;

c. Jika kartu tertinggal atau hilang, bisa mengurus lagi maksimal 3


(tiga) hari sejak dirawat. Melebihi waktu itu dianggap pasien
umum;

d. Peserta yang baru mendaftar pada masa perawatan tidak dapat


menggunakan fasilitas kartu.

Pengecualian:

a. Peserta dan bayi baru lahir dari PBI;

b. Peserta dan bayi baru lahir yang merupakan anak peserta tidak
mampu yang didaftarkan pemda/Jamkesda;

c. Peserta dan bayi baru lahir dari penyandang masalah kesejahteraan


social (PMKS);

d. Bayi baru lahir dari peserta perorangan BPJS Mandiri Kelas III
yang tidak mampu membayar, syaratnya: membawa surat
rekomendasi dinsos (sumber BPJS Surabaya dan BPJS Jatim –
Jawa Pos 29 November 2014).

Isu publik/kasus yang terjadi:

Sumber:http:kebijakankesehatanindonesia.net/25-berita/berita/2042-bpjs-
kesehatan-terapkan-aturan-baru
Pendaftaran BPJS untuk peserta mandiri, kini tak lagi secara individual,
melainkan dalam satu keluarga. Peserta juga harus memiliki rekening di
Bank agar pembayaran bisa auto debet setiap bulannya.
Kartu BPJS Kesehatan tidak bisa langsung dipergunakan begitu selesai
mendaftar dan membayar di Bank, seperti aturan sebelumnya
(Jamkesnas ?), namun peserta harus menunggu hingga 7 (tujuh) hari ke
depan.
Alasan BPJS Kesehatan (Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan
antar Lembaga)
a. Harus dibuat sistem yang terencana dan rapi, karena peserta BPJS
jumlahnya sudah lebih dari 130.286.704 jiwa (20 Oktober 2014),
23
target akhir tahun 131 juta dan tidak bisa diterapkan manajemen yang
terburu-buru;
b. Masyarakat harus diingatkan bahwa masalah kesehatan bisa terjadi
kapan saja, sehingga setiap anggota dalam keluarga harus memiliki
jaminan kesehatannya dan untuk membiasakan masyarakat membuat
perencanaan;
c. Rekening di Bank untuk memudahkan para peserta, dengan system
auto debet pembayaran iuran lebih lancar sehingga kartu bisa seketika
bisa dipergunakan, karena salah satu penyebab ada peserta walaupun
tidak banyak yang enggan membayar iuran.
Karena jika tidak ditata sejak awal dikawatirkan akan bermasalah di
kemudian hari, karena iuran peserta adalah jantung BPJS.
Komentar peneliti:
Program JKN baru diberlakukan mulai 1 Januari 2014, masyarakat
Indonesia terutama peserta mandiri masih baru menjadi peserta dan
sebagian besar yang menjadi peserta adalah yang sakit, sehingga BPJS
kawatir jika tidak diatur lebih ketat akibatnya merugikan BPJS (Sumber:
Jawa Pos, Jum’at 14 Maret 2014, Umur BPJS Tinggal Dua Bulan)
37. Berdasarkan beberapa kasus yang terjadi: Korban kebijakan BPJS dan
Kemenkes (OPINI 24 November 2014)
http://Kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/11/24/korban2-kebijakan-
bpjs-kemenkes-705488.html
Kasus 1
“Kasus dikirim tanggal 22 November 2014 oleh Ketua Umum Relewan
Kesehatan Indonesia. Bongkar Kecurangan/ BPJS, cabut Permenkes
28/2014, Peraturan BPJS Kesehatan 4/2014, Peraturan Direksi BPJS
Pusat nomor 211/2014. Makin menyengsarakan rakyat, harus memiliki
rekening, harus satu KK didaftarkan, E KTP, 7 hari baru aktif.
Di RSUD C Cengkareng, Jakarta Barat: pasien a.n M.R.Prayuda usia 5
bulan diagnose gizi buruk dan diare. Pasien dimintai uang sama RS
sebesar Rp.945.000. Pekerjaan ayah cleaning service dan akan
mengurus BPJS hari Senin, pihak RS bilang tidak bisa, akhirnya pinjam
uang demi anaknya”.

Komentar peneliti:
24
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 Bab III Peserta
dan Kepesertaan ketentuan umum butir 1 nomor c disebutkan bahwa
Peserta PBI JKN adalah fakir miskin dan orang tidak mampu, dilanjutkan
butir 5 bahwa Menteri Sosial berwenang menetapkan data kepesertaan
PBI.
Masalahnya karena ayah M.R.Prayuda belum memiliki Kartu Peserta,
walaupun yang bersangkutan adalah seorang cleaning service.
Menurut Jawa Pos, disebutkan “Bayi baru lahir dari peserta perorangan
BPJS Mandiri Kelas III yang tidak mampu membayar, syaratnya:
membawa surat rekomendasi Dinsos (sumber BPJS Surabaya dan BPJS
Jatim – Jawa Pos 29 November 2014).
38. Bab IV Pelayanan kesehatan

Butir A nomor 5 yang berbunyi

“ Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari


pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua
hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas
rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau pelayanan kesehatan
tingkat pertama, kecuali pada keadaan gawat darurat, kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan
pertimbangan ketersediaan fasilitas”.

Isu publik/kasus yang terjadi:

Kronologis kejadian:
“Tanggal 18 November 2014 isteri saya yang hamil 33 minggu
mengalami pecah ketuban, langsung dibawa ke Klinik Persalinan Faskes I
di RS Bhayangkara Brimob, Kelapa Dua, Depok. Sesuai hasil
pemeriksaan Bidan ketuban sudah pecah dan pembukaan I, dan disarankan
untuk dirujuk ke RS RSIA H yang memiliki fasilitas NICU tanpa surat
rujukan karena di RS Bhayangkara belum tindakan.
Diagnosa di RSIA mengalami rembesan ketuban dan belum ada
pembukaan, sehingga harus diobservasi 3 hari.
Tindakan yang diberikan : infuse untuk mencegah kontraksi, tanggal 19
Nov dilakukan CTG (pemeriksaan jantung) hasil jantung janin tidak stabil
sorenya di CTG lagi hasilnya masih tidak stabil sampai dinyatakan gawat
janin kemudian operasi Caesar, dan bayi harus masuk NICU tanpa
tanggungan BPJS. Kamar di kelas 3 karena Kelas 1 penuh. Tanggal 21
25
Nov berhasil pindah ke Kelas 1. Dijelaskan oleh petugas ada perbedaan
pembayaran karena beda kelas dan perbedaannya pada visit dokter,
tindakan medis/obat-obatan dan bila pindah kelas selisih harga menjadi
tanggungan pribadi”

Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab:

1) Penjelasan petugas bahwa peserta BPJS ada beda batas tertentu untuk
masing-masing kelas;
2) Pasien ini ditanggung BPJS sejak masuk ke RSIA yaitu sejak
observasi;
3) Total biaya mulai observasi, operasi hingga hari akhir di kelas 3;
4) Karena mengalami mutasi kelas maka harga kelas berubah disesuaikan
dengan kelas rawat terakhir;
5) Bagaimana seharusnya tanggungan BPJS untuk kasus ini?
Saran kepada Menkes untuk segera mencabut peraturan yang tidak pro
rakyat ini “
Permenkes nomor 28 tahun 2014, Pelayanan Kesehatan, poin 10. Status
kepesertaan pasien harus dipastikan sejak awal masuk Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat lanjutan (FKRTL). Bila pasien ingin menjadi peserta
JKN dapat diberi kesempatan untuk melakukan pendaftaran dan
pembayaran iuran peserta JKN selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja.
Jika tidak, maka pasien dinyatakan sebagai pasien umum. Permenkes
hampir tidak dapat dilaksanakan karena secara teknis pembuatan kartu
JKN membutuhkan waktu 3 x 24 jam hari kerja. Permenkes ini dengan
sadar menangkal keluarga miskin Indonesia untuk tidak dapat
menggunakan JKN;
a) BPJS harus merevisi Peraturan Direksi BPJS Pusat Nomor 211 Tahun
2014 yang menentukan waktu tunggu valid kartu untuk peserta
mandiri yang memilih kelas 2 dan kelas 1. Sedangkan, asuransi
komersial saja tidak demikian. Seharusnya yang bisa diatur waktu
tunggu hanya untuk benefit operasi elektif. Apakah keluarga miskin
harus punya rekening bank?

26
b) Belajar dari Asuransi Kesehatan Turkey, sejak tahun 2006 masih
deficit. Tahun 2013 Turkey masih deficit 19% dari total biaya, yang
kemudian dibaiyai oleh pemerintah. Mestinya Menkes dan BPJS
berjuang ke Presiden untuk mendapatkan dana kontingensi
(dana pengalihan subsidi BBM) bila terpaksa harus deficit. Bukan
membuat aturan yang menyengsarakan rakyat miskin dengan
menghambat dan menangkal rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan
karena takut rugi;
c) RS harus menjelaskan secara rinci risiko biaya kalau pasien naik
kelas walaupun menjadi hak peserta. Tarif pelayanan dan tindakan RS
di Indonesia mengikuti kelas perawatan, makin tinggi kelas
perawatan semakin mahal tarif yang ditentukan: malahan sering
berlipat-lipat. Sering juga RS sengaja dan pengaruhi pasien untuk
pindah kelas dengan tujuan mendapat untung dari pasien yang tuna
informasi. Ini merupakan bentuk fraud kesehatan juga.
Komentar peneliti:
a. Peserta Mandiri saja yang harus punya rekening Bank, bukan
peserta miskin, karena peserta miskin atau PBI preminya dibayar
oleh pemerintah dan tidak ada transaksi langsung, artinya
pemerintah langsung membayar ke BPJS, selanjutnya BPJS yang
menyelesaikan klaim atau tagihannya;
b. Semua program baru pasti banyak masalah yang terjadi, perlu
dilakukan evaluasi atau review kebijakan tentang substansi,
penerapan kebijakan.
39. Judul Kebijakan BPJS telah Telan Korban di Surabaya
Kejadiannya :
Fitri Amiyati terdaftar sebagai peserta BPJS Mandiri.
Adanya bayi pasangan Fitri Amiyati – Hamid yang tertunda
kepulangannya dari RSUD dr.Soewandi akibat aturan tersebut. Pasca
persalinan bayi Fitri harus menjalani serangkaian pemeriksaan di RS.
Masalah muncul ketika pihak RS meminta keluarga membayar biaya

27
perawatan bayi, karena bayi Fitri terdaftar sebagai pasien umum. Hal ini
membuat risau keluarga, karena keluarga memang tidak tahu kalau
bayinya tidak masuk BPJS, RS juga tidak menjelaskan.
Komentar Peneliti:
Program JKN merupakan program baru, terutama peserta mandiri,
dengan jelas disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28
Tahun 2014 Bab III Peserta dan Kepesertaan butir 4 bahwa:
“Bayi baru lahir dari peserta pekerja bukan penerima upah, peserta bukan
pekerja, peserta pekerja penerima upah untuk anak keempat dan
seterusnyaharus didaftarkan selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja
sejak yang bersangkutan dirawat atau sebelum pasien pulang (bila psien
dirawat kurang dari 3 hari). Jika sampai waktu yang telah ditentukan
pasien tidak dapat menunjukkan nomor identitas peserta JKN maka pasien
dinyatakan sebagai pasien umum”.

40. Jawa Pos Rabu, 1 Januari 2014

Hari ini pemerintah resmi memberlakukan SJSN, Wagub meluncurkan


program SJSN dan BPJS di RSUD Dr.Soetomo kemarin (31 Desember
2013). Target Pemprov penduduk Jatim yang tercover asuransi 60% pada
tahun 2015 dan 100% pada tahun 2019;
Saat ini 17 juta penduduk resmi menjadi peserta asuransi (42%). Persiapan
sudah dilakukan, semua RS pemerintah wajib bermitra dengan BPJS
(sebanyak 181 resmi menandatangani kerjasama dari 344 RS yang ada,
terdapat 55 RS pemerintah);
41. Jawa Pos Sabtu, 4 Januari 2014, Dua hari 2000 peserta baru, apapun
alasannya, tidak boleh tolak pasien.
Menurut Direktur RSUD Dr.Soetomo:
Jumlah pasien di RSUD Dr.Soetomo tidak juga menurun pasca penerapan
JKN, jumlah pasien tidak pernah di bawah 2500 tiap hari. Bahkan pada
hari Jum’at kemarin di bawah 2000, sekarang malah 2500, RS tidak boleh
menolak pasien, walaupun penyakitnya ringan seperti batuk, demam dan
pilek;

28
42. Jawa Pos, Kamis 9 Januari 2014. Terapkan Masa Transisi Sebulan. RSUD
Dr.Soetomo Beberkan Kendala JKN ke Menkes saat Teleconference
Masalah di lapangan:
a. Sistem rujukan berjenjang yang belum berjalan
Jumlah pasien tidak jauh beda sebelum JKN. Dalam sehari (8 Januari
2014) jumlah pasien yang berobat 2.876 orang ditambah IRD 300
orang. Rencana akan dirapatkan dengan Gubernur dan dievaluasi .
Setelah itu pasien tidak boleh langsung berobat ke RSUD Dr.Soetomo,
dari Puskesmas harus ke RSU C atau B dan sosialisasi kepada pasien.
Karena dampaknya tidak bisa mengajukan klaim ke BPJS jika
penyakitnya ringan-ringan saja. Juga pasien sudah terbiasa ke RSUD
Dr.Soetomo (Dr.Soetomo minded);
b. Sistem pembiayaan INA CBG’s
Sistem pembiayaan ini dinilai tidak cocok untuk berobat, untuk itu
RSUD Dr.Soetomo akan mengevaluasi sampai bulan Maret
mendatang. Contoh px hipertensi di Poli Penyakit Dalam hanya diberi
jatah obat seminggu, padahal sebelumnya diberi jatah untuk satu
bulan, karena paket obat hanya 300 ribu, sementara kebutuhan obat
sebulan 1 juta. Kalau diberi jatah 1 bulan RS rugi, kalau 1 minggu
pasien bolak-balik ke RS. Sistem tersebut untuk mengcover obat saja
kurang, belum termasuk biaya untuk tenaga dokter dan perawat.
Contoh lain pasien ca paket berobat selama 5 hari biaya sekitar 2 juta,
karena suatu hal pasien tsb dirawat lebih dari 5 hari, praktis biaya obat
maupun perawatan melebihi paket. Dan RS tidak mungkin terus
nomboki, karena itu akan mengajukan klaim ke BPJS. Sementara ini
RSUD Dr.Soetomo selama ini dengan system subsidi silang.
43. Jawa Pos, Selasa 11 Februari 2014. Sebulan Urai Keruwetan Pelaksanaan
JKN BPJS. Rujukan Tak Birokratis, Jatah obat dibenahi
Koreksi tarif INA CBG’s dan Bikin Satgas
Diskusi di Graha Pena 10 Februari 2014
BPJS telah berupaya memperbaiki satu persatu masalah di lapangan.

29
Hadir dalam diskusi tersebut :
a. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jatim
“ Upaya preventif dan promosi kesehatan dianggap tidak menarik
karena isinya penyuluhan, padahal itu investasi kesehatan jangka
panjang”
Tren kenaikan pasien di semua lini yang terjadi di RSUD Dr.Soetomo
merupakan bukti buruknya system pelayanan kesehatan selama ini;
Karena itu JKN bertujuan mengedepankan upaya preventif daripada
kuratif
Upaya yang perlu diperbaiki adalah SDM di Pelayanan Kesehatan
Primair, agar sistem rujukan berjalan. Sistem rujukan harus berubah
dari primair ke tersier. Untuk itu dibutuhkan kerjasama dengan IDI
maupun PERSI;
b. Kepala Regional VII BPJS
“ Memang masih banyak kekurangan dan akan kami bicarakan.
Intinya, program ini berjalan sambil kita lakukan perbaikan-
perbaikan”;
c. Kepala Dinas Kesehatan Kota
“ Banyak upaya yang kami lakukan untuk memperbaiki system
rujukan dan pelayanan. Seperti mengumpulkan seluruh Kepala
Puskesmas dan dokter”
Masalah system rujukan, banyak pasien mondar-mandir karena tidak
tahu harus berobat ke mana. Obat yang 7 hari sudah diperbaiki
menjadi 23 hari dengan mengklaim;
d. Direktur RSUD Dr.Soetomo
Beberapa tantangan yang harus dihadapi RS antara lain:
1) Sejak Pelaksanaan JKN terjadi antrean pasien di semua lini, IRD,
IRJ dan IRNA. Di IRJ pasien 2500 orang yang mengantar 3-4
orang, kalau ditotal pengunjung sehari 7500 orang, sehingga
kesimpulan sistem rujukan yang diterapkan BPJS belum berjalan;

30
sebagai RS tersier/Tipe A ada kriteria pelayanan medis yang
ditangani RSUD Dr.Soetomo, yaitu:
Seharusnya tidak semua pasien ke RSUD Dr.Soetomo, jika RS
Tipe D, C, dan B tidak lagi mampu menangani baru ke RSUD
Dr.Soetomo;
2) RSUD Dr.Soetomo wajib memberikan layanan terhadap pasien
gawat darurat maupun kasus ringan yang telah ditangani dan
tinggal mendapat perawatan ringan;
3) Perbedaan persepsi masyarakat tentang tata aturan JKN , upaya
sosialisasi program JKN pada pasien;
4) Pembayaran INA CBG’s yang tujuannya adalah efisiensi dan
efektivitas pengobatan, namun system tersebut banyak keluhan
terutama dari dokter.
e. Ketua IDI Jatim
“ Risiko medis akibat sistem paket INA CBG’s tidak hanya ditanggung
rumah sakit, tapi juga dokter. Karena itu, harus ada pembagian risiko
termasuk untuk BPJS;
f. Ketua MPPK PB IDI
“ Untuk membuat pasien tertawa, semua orang harus tertawa, ya RS nya,
dokter, BPJS, pemerintah, dan pasien”;
g. Direktur RSI Jemursari
“ Memang memuaskan semua pihak itu sulit. JKN ini adalah system yang
bagus, niat yang baik ini, pelaksanaannya agar diperbaiki”dan
memuaskan semua pihak sangat tidak mungkin serta keluhan tarif INA
CBG’s, perlu manajemen yang baik agar RS tidak rugi, usul untuk
menyesuaikan dan koreksi tarif INA CBG’s.
44. Jawa Pos, Selasa 14 Januari 2014, Rujukan Tetap Tidak jalan
JKN sudah diberlakukan dua pekan , namun system rujukan belum juga
berjalan, masalah pelayanan yang ruwet, juga menuai keluhan dokter dan
rumah sakit, plafon biaya INA CBGs dianggap tidak rasional karena operasi
Caesar lebih murah dari chitan. Antrean pasien panjang, jumlah pasien

31
membludak, kursi tunggu penuh, tidak sedikit yang harus duduk di lantai dan
terkesan keleleran. Pasien dari daerah masih tumplek bleg di RSUD
Dr.Soetomo seperti dari Mojokerto, langsung dirujuk ke RSUD Dr.Soetomo
karena di RS Mojokerto sudah angkat tangan. Juga pasien penyakit jantung
yang dirujuk ke RSU Dr.Suwandhi, hanya sebentar hanya minta stempel saja,
langsung dirujuk ke RSUD Dr.Soetomo;
45. Jawa Pos, Kamis 16 Januari 2014, IDI Rekomendasikan kepada Kemenkes
soal berbagai keluhan Sistem JKN
Terutama keluhan para dokter mengenai biaya pengobatan. IDI
menyampaikan beberapa rekomendasi agar pelaksanaan JKN ke depan lebih
baik. Ketua IDI Jatim mengakui bahwa system pembayaran INA CBG’s yang
diberlakukan BPJS di RS mendapat keluhan dari berbagai spesialis, bukan
hanya adanya plafon untuk semua tindakan, tetapi juga berkurangnya
pendapatan atau jasa dokter dari tindakan medis;
46. Jawa Pos, Kamis 23 Januari 2014, RSUD Bingung BPJS Kesehatan belum
ada MOU pasien sudah banyak.
Masalah BPJS Kesehatan di Sidoarjo:
a. Belum ada MOU antara BPJS Kesehatan, Dinkes, RSUD, Puskesmas,
Apotek dana Layanan Kesehatan dasar lain;
b. Database peserta yang tergabung dengan BPJS Kesehatan belum ada. Di
RSUD, validasi penerimaan pasien masih manual;
c. Ada Pergub yang menyatakan RSUD Bangil, Pasuruan, dan RSUD
Prof.Dr, Soekandar Mojosari, Mojokerto, harus mengirim pasien ke
RSUD Sidoarjo sebelum dirujuk ke RSUD Dr.Soetomo. Perincian dan
MOU terkait dengan Pergub tersebut belum jelas.
47. Jawa Pos, Selasa 18 Februari 2014, Plafon BPJS Kesehatan Dinilai Terlalu
Rendah, Dokter kawatirkan Keamanan Pasien.
Praktisi kesehatan mengeluhkan penetapan plafon biaya medis oleh BPJS
Kesehatan Mereka berharap penetapan biaya medis disesuaikan lagi berdasar
aturan saat PT Askes dulu. Contoh plafon CT Scan dipatok 200 ribu, pada hal
biaya riel sekitar 700 ribu hingga 900 ribu. Dengan penurunan nilai manfaat

32
atau plafon, dikawatirkan bagi keamanan pasien. Pada hal di RS Swasta sudah
dilengkapi pelayanan medis sesuai standar yang dibutuhkan.
48. Jawa Pos, Senin 24 Februari 2014, RS Boleh Terapkan Sistem di luar BPJS
Solusi Macetnya Pencairan Klaim Tunggakan
Untuk menyiasati belum cairnya tunggakan klaim, pihak RS dibolehkan
menggunakan system operasional lain meski telah bergabung dalam BPJS
Kesehatan. Salah satunya menggunakan system fee for service terhadap
pasien.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengatakan system fee for service
akan sangat membantu RS untuk mendapatkan dana segar. Kalau RS hanya
mengandalkan BPJS maka RS tidak akan bisa hidup. RS menerima BPJS
merupakan keharusan, namun juga berhak mendapatkan pendapatan lain dari
sistem fee for service. System fee for service sah-sah saja, kalau pasien tidak mau
repot-repot mengantri hanya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di tingkat
pelayanan kesehatan primair, jika punya uang maka RS bisa melayani. Walaupun
tetap membayar iuran BPJS, anggap saja sedekah.
49. Jawa Pos, Selasa 25 Februari 2014 Problem Pembayaran Klaim BPJS, RS
Kesulitan Ajukan Klaim
Uraian
Belum menagihkan kliam 44 RS
Sedang Proses Verifikasi 68 RS
Selesai Verifikasi 69 RS
Jumlah 181 RS
Keterangan : RS yang belum menagihkan klaim dan sedang proses verifikasi bisa
mengajukan pembayaran di muka 50%
RS yang sudah selesai verifikasi dibayar minggu ini
Masalah:
RS sulit melakukan entry data klaim sehingga BPJS tidak bisa melakukan
pembayaran dan BPJS membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
memverifikasi semua tagihan.

33
50. Jawa Pos, Sabtu 1 Maret 2014, 71 RS Swasta Tak Terima Pasien BPJS, tetapi
tetap wajib sediakan ruang untuk pasien emergency.
Tidak semua RS Swasta di Jakarta saat ini bergabung dan terlibat dalam program
JKN. Sejak JKN diluncurkan tanggal 1 Januari 2014 , Pemprov DKI Jakarta baru
bisa menggandeng 81 di antara 152 RS Swasta di seantero ibukota. Sedangkan 71
RS Swasta lain belum terlibat kerjasama. Kadinkes DKI berusaha memperluas
kerjasama dengan RS Swasta, tujuannya agar semakin bagus kualitas pelayanan
kesehatan di Jakarta. Umumnya yang belum bekerjasama dengan BPJS adalah RS
yang tergolong elite seperti RS Pondok Indah, RS Metropolitan Medical Centre
(MMC) dan RS Medistra. Meski RS Swasta tidak wajib menerima peserta BPJS
di Kelas III, namun tetap diwajibkan oleh pemerintah menyediakan ruang
perawatan kelas III maksimal 22 % untuk mengantisipasi pasien emergency.
51. Jawa Pos, Kamis 13 Maret 2014 RS Desak Kemenkes Revisi Tarif JKN, tarif rugi
ganggu clash flow.
Salah satu hal krusial yang banyak dikeluhkan RS dalam pelaksanaan JKN
adalah tarif berobat dengan Sistem Indonesia Case Based Groups (INA- CBG’s).
Biaya beberapa tindakan atau prosedur pengobatan dinilai tidak masuk akal.
Karena itu RS mendesak adanya revisi tarif untuk beberapa tindakan tertentu, jika
tidak RS bisa merugi.
Sebetulnya INA- CBG’s bukan merupakan hal baru, system ini sudah pernah
dipakai untuk biaya pengobatan pasien Jamkesnas sejak Tahun 2009, hanya saat
itu digunakan INA-CBG’s 3.1. Saat ini menggunakan INA-CBG’s 4.0, dari
peralihan ini diperlukan adanya proses, apalagi system ini diberlakukan untuk
pasien JKN yang tidak hanya peserta Jamkesnas, tapi juga Askes, Jamsostek, dan
TNI-POLRI dan banyak yang merasa tidak siap dengan system itu.
Dengan INA CBG’s RS tidak bisa menghitung untung rugi satu persatu tindakan,
melainkan secara keseluruhan. RSUD Dr.Soetomo mengalami sedikit keuntungan
di kelas I dan II, sebaliknya untuk kelas III mereka rugi sehingga harus ada
subsidi silang untuk menutupi. Kemenkes harus merevisi kasus-kasus yang
mengalami kerugian besar.
Poin layak revisi dalam skema INA-CBG’s:

34
a. Ada tarif yang terlalu murah kalau ukurannya dilihat dari tariff, ada tariff yang
jauh lebih tinggi;
b. Jasa untuk dokter kurang. Manajemen RS biasanya memprioritaskan
pembayaran obat, sarana lain-lain dan sisanya baru untuk jasa;
c. Pengendalian biaya RS akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan.
52. Jawa Pos, Jum’at 14 Maret 2014, Umur BPJS Tinggal Dua Bulan
BPJS terancam bangkrut, sebab pendapatan yang masuk dari iuran peserta
tidak sebanding dengan pengeluaran untuk membayar kapitasi dan klaim
pembayaran RS. Selama ini BPJS hanya menggantungkan diri dari dana peralihan
PT.Askes menjadi BPJS. Kemenkes menargetkan tahun ini jumlah peserta yang
tercover BPJS sebesar 121,6 juta orang, hingga Februari lalu jumlah peserta BPJS
mencapai 117 juta orang.
Sebagian besar peserta mandiri yang mendaftar adalah yang sakit, bukan yang
sehat. Mereka yang sehat belum banyak yang mendaftar. Jika yang mendaftar
banyak yang sakit, dana yang terkumpul tidak cukup untuk membiayai kapitasi
dan klaim. Selama ini terbantu dana peralihan PT.Askes yang jumlahnya 5,5
triliun. BPJS telah mengkalkulasikan tiap bulan dana yang dibutuhkan untuk
membayar kapitasi dan klaim sekitar 2 triliun, jadi dana peralihan PT Askes
hanya dapat digunakan untuk pembayaran kapitasi dan kliam selama 2-3 bulan ke
depan. Saat ini peserta mandiri yang mendaftar BPJS sebesar 850 ribu orang.
BPJS mendorong pemerintah daerah untuk mendaftarkan warganya, terutama
yang sehat. Jika tid
Ak BPJS terancam bangkrut dan akan dikembalikan ke pemerintah.
53. Jawa Pos, Sabtu 15 Maret 2014, Sumber Dana Banyak, BPJS Sangat
Sehat
Bantahan keras dari Kemenkes terhadap dugaan BPJS diprediksi bangkrut . Wakil
Menteri Kesehatan mengatakan bahwa program JKN yang dioperatori oleh BPJS
sampai saat ini berjalan baik. BPJS menampilkan data bahwa penerimaan BPJS
tahun ini diprediksi 38,2 triliun. Pendapatan itu pasti didapat
karena bersumber dari I alokasi buat peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)

35
yang sudah disepakati dari APBN. Selain itu dari iuran PNS, Pegawai Pemda,
TNI-POLRI, Jamkesnas, peserta mandiri. Walaupun peserta mandiri belum
maksimal, namun posisi keuangan BPJS sangat aman.
Target pendapatan setahun dari peserta mandiri 104 milliar, namun dalam dua
bulan BPJS mampu mencapai pendapatan 43,5 milliar, karena itu BPJS optimis
bahwa jumlah peserta mandiri terus meningkat.
Pengeluaran ditingkat layanan primair 650 milliar per bulan, pelayanan kesehatan
tingkat lanjut antara 2 – 2,4 triliun per bulan, termasuk biaya non kapitasi dan di
luar INA-CBG’s sekitar 1,6 triliun. Jumlah pengeluaran tersebut pasti tercover
dari pendapatan BPJS.
Tentang masa depan BPJS, Kepala Regional VII BPJS optimistis pendapatan
yang diterima naik karena pendaftar peserta mandiri terus bertambah.
Sumber Pendapatan BPJS:
PBI 52,15%, TNI-POLRI 32,79% Jamkesda 1,73%, Peserta Mandiri 0,27% WNA
0,04 % dan Badan Usaha/ Formal 13,01%
54. Jawa Pos, Jum’at 19 September 2014, Pemegang BPJS Kesehatan Wajib Milki E-
KTP.
Pemerintah mengeluarkan aturan baru terkait syarat pengurusan peserta
BPJS Kesehatan. Warga yang mengurusnya harus memiliki atau setidaknya telah
merekam e-KTP (KTP elektronik). Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat
Kementerian Dalam Negeri tertanggal 11 Sepember 2014. Pada Surat Nomor
471.13/8540/DUKCAPIL itu disebutkan salah satu syarat pengurusan BPJS
Kesehatan yaitu adanya data e-KTP dan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Ketentuan ini berlaku bagi peserta maupun calon peserta.
Aturan E-KTP pada pengurusan BPJS:
a. Pemilik maupun mereka yang akan mendaftar BPJS Kesehatan harus punya e-
KTP;
b. Dispendukcapil mengeluarkan Surat Keterangan bila fisik e-KTP belum
diterima;
c. Usia di bawah 17 tahun bisa mengurus BPJS Kesehatan berdasarkan NIK
yang tercantum di KSK.

36
55. Jawa Pos, Senin, 22 September 2014, BPJS Evaluasi Sistem Rujukan
Lonjakan pasien di RSUD Dr.Soetomo tidak luput dari perhatian BPJS. Salah satu
penyebabnya adalah system rujukan yang belum maksimal. BPJS sudah
menetapkan dengan ketat system rujukan, artinya rujukan harus berjenjang, jika
ada yang sakit harus ditangani oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama, pakai
dokter keluarga. Hingga kini masih ada yang merujuk langsung ke RS Tipe A,
namun atas permintaan dari pasien sendiri. Hal ini biaya ditanggung oleh pasien
sendiri, walaupun pasien tersebut peserta BPJS.
56. Jawa Pos, Senin, 22 September 2015 Lonjakan Pasien RSUD Dr.Soetomo
Pasca BPJS Kesehatan, Terpaksa Rawat Banyak Pasien di Lorong, Bed tak
mencukupi, pasien-pasien dirawat di lorong Irna Pandan Wangi RSUD
Dr.Soetomo.
Sudah hamper Sembilan bulan program BPJS Kesehatan bergulir, antusiasme
masyarakat sangat tinggi dalam menyambutnya, namun belum diimbangi
dengan system rujukan BPJS yang tepat.

Data Perbandingan Jumlah Pasien sebelum dan sesuadah BPJS (Tahun 2013
dan Tahun 2014)
Tempat Pelayanan Jumlah Pasien Jumlah Pasien
Tahun 2013 Tahun 2014
Pasien Kelas I 2.053 2.448
Pasien Irna Medik 1.051 1.186
Pasien Rawat Jalan 3.000/hari 5.000/hari

Upaya yang dilakukan RSUD Dr.Soetomo dengan lonjakan pasien:


f. Penambahan bed di setiap kelas sebanyak 10 -15 bed
g. Permintaan penambahan 1.000 Tempat Tidur
h. Penambahan brankar dan matras
i. Pembangunan Gedung Jantung dan Transplantasi Liver
j. Pembangunan Gedung Rawat Inap Baru
k. Rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS:
1) 4 (empat) RS sekunder milik Pemprov: RSUD Haji, RS Jiwa Menur,
RS Karang Tembok, RS Mata Masyarakat;
37
2) 2 (dua) RS tersier : RSUD Dr.Soetomo dan RSAL Dr.Ramelan
3) 2 (dua) RS milik Pemkot : RSUD Dr. Suwandhi dan RSUD Bhakti
Dharma Husada;
4) 6 (enam) RS milik TNI/POLRI: RS Bhayangkara HS Samsuri, RS
Brawijaya, RS Rumkital Dr.Oepomo, RS Rumkital Gunungsari, RS
Sumitro Lanud Mulyono, RS Rumkitban Surabaya;
5) 13 (tiga belas) RS Swasta: RSIDarus Syifa, RS Wijaya, RS Muji
rahayu, RS Bunda, RS Bhakti rahayu, RS Toyal, RS PHC, RSIA
Pura Raharja, Klinik Utama dasa Medika;
6) 1(satu) RS milik Pemerintah Pusat: RS Airlangga;
7) 167 (Seratus Enam Puluh Tujuh) Fasilitas kesehatan primair: 62
Puskesmas, 60 Pustu, 27 Klinik TNI/POLRI, 44 Klinik Pratama, 30
dokter keluarga dan 7 dokter gigi.
57. Jawa Pos, Senin 24 November 2014. Aturan Tunggu Tujuh Hari
BPJS Tetap Berlaku.
BPJS telah merevisi Peraturan BPJS Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Tata
Cara Pendaftaran dan pembayaran Peserta Perorangan BPJS Kesehatan.
Namun aturan tunggu 7 hari pasca penerbitan Kartu BPJS tetap berlaku.
Dengan demikian peserta yang baru mendaftar BPJS Kesehatan dapat
menggunakan haknya dalam asuransi social itu terhitung 7 hari setelah
menerima kartu BPJS Kesehatan. Kartu baru bisa diterbitkan pasca dilakukan
pembayaran pertama. Aturan ini tetap berlaku bagi pekerja, bukan pekerja
penerima upah atau self employed seperti pemilik warung, nelayan,
pengacara dokter bukan PNS. Juga berlaku bagi peserta mandiri yang
mendaftarkan diri di BPJS Kesehatan untuk layanan kelas I dan II di RS,
alasannya mereka dirasa mampu membayar biaya RS sendiri. Pengecualian
aturan ini untuk bayi baru lahir dari pasangan PBI yang memang merupakan
masyarakat tidak mampu yang iurannya ditanggung pemerintah. Kemudian
bayi baru lahir tersebut masuk Jamkesda.
58. Jawa Pos, 29 November 2014 Aturan BPJS Kesehatan Nomor
4/2014 (Sumber BPJS Surabaya dan BPJS Jatim).
38
e. Kartu berlaku 7 hari setelah pembayaran iuran pertama
f. Jika tidak dapat menunjukkan kartu dianggap pasien umum;
g. Jika kartu tertinggal atau hilang bisa mengurus lagi maksimal tiga hari
sejak dirawat. Melebihi waktu itu dianggap pasien umum;
h. Peserta yang baru mendaftar pada masa perawatan tidak dapat
menggunakan fasilitas kartu.
Pengecualian:
e. Peserta dan bayi baru lahir dari PBI;
f. Peserta dan bayi baru lahir dari peserta tidak mampu yang didaftarkan
oleh pemda/Jamkesda;
g. Peserta dan bayi baru lahir dari penyandang masalah kesejahteraan social;
h. Bayi baru lahir dari peserta perorangan BPJS Mandiri Kelas III yang tidak
mampu membayar, syaratnya membawa Surat Rekomendasi Dinsos.
59. Jawa Pos, Rabu 11 Februari 2015 Klaim setahun 5,7 Trilliun, BPJS
Waspada Korban Pertama adalah pasien
Setahun BPJS Kesehatan beroperasi , potensi kecurangan (fraud) klaim
semakin besar. Sebab fasilitas kesehatan yang menjadi provider BPJS kian
banyak. Jumlah pasien kian lama kian bertambah. Modus RS semakin lama
semakin kreatif.
Modus-modus Penipuan BPJS:
e. Upcoding (RS menambahkan paket klaim ke BPJS);
f. Tagihan fiktif (RS menagihkan biaya yang tidak diberikan kepada pasien);
g. Readmission (memulangkan pasien, lalu memasukkan lagi agar tagihan
dobel);
h. Dokter menjual obat kepada pasien di luar yang ditanggung BPJS, pada
hal obat setara sudah ditanggung.

Pencegahan:
g. Peningkatan kompetensi verifikator untuk deteksi dini inefisiensi;
h. Penyelesaian perselisihan verifikasi sesuai alur penyelesaian klaim
bermasalah;

39
i. Optimalisasi penjaminan klaim kecelakaan lalu lintas oleh PT Jasa raharja;
j. Optimalisasi penjaminan klaim kecelakaan oleh BPJS Ketenagakerjaan;
k. Optimalisasi fungsi tim antifraud di wilayah dan cabang;
l. Pooling kejadian terindentifikasi potensi inefisiensi melalui aplikasi
antifraud.
60. Jawa Pos, Kamis 12 Februari 2015, BPJS Kesehatan Jatim, Kuatkan
Verifikator RS. Dokter Cuma Menulis Rekam Medis
Peluang terjadinya kecurangan (fraud) pada BPJS masih ada. padahal
tindakan penyelewengan seperti tagihan fiktif dan penambahan klaim bakal
berdampak pada kondisi mutu pelayanan kesehatan. Kecurigaan itu ada, tapi
harus ada faktanya.
Beberapa point utama dalam penanganan fraud yaitu:
a. Menjalin komitmen bersama RS untuk mencegah fraud;
b. Sudah ada kemitraan yang baik antara BOJS dengan fasilitas kesehatan
(provider);
c. BPJS punya verifikator disetiap RS, diperlukan peningkatan pengawasan
internal melalui verifikator untuk mencegah fraud;
d. Klaim ke BPJS ada 3 kategori yaitu layak, tidak layak dan pending. Jika
ada tindakan medis yang diduga tidak benar, BPJS berhak menunda
pembayaran kepada RS;
e. Penarifan bukan perkara mudah, banyak pihak yang terlibat. Misalnya
petugas coding atau coder yang tugasnya memasukkan data coding. Jika
ditingkat coding salah, tagihan tidak akan benar dan dokter hanya menulis
rekam medisnya, diterjemahkan oleh coder. Diagnosis utama dan diagnose
tambahannya apa, dimasukkan INA CBG’s, keluar code nilainya berapa.
Coder tidak jarang ragu terhadap hasil rekam medisnya, seharusnya coder
kembali ke dokter untuk menanyakannya. Masalah yang terjadi coder
tidak melakukan langkah tersebut, sehingga muncul potensi upcoding,
yakni kode klasifikasi penyakit dinaikkan ke tingkat yang lebih parah,
tujuannya klaim ke BPJS kian besar.

40
Jika terjadi dugaan fraud, RS akan meminta koreksi kepada RS, jika
diperbaiki klaim tetap cair. Jika ada dugaan kecurangan dan memenuhi
fakta kesalahan, ada Dewan Pertimbangan Medik (DPM) yang bisa
memproses laporan tersebut, namun tidak mengeksekusi, hanya
mengeluarkan fatwa benar tidaknya kecurigaan tersebut. Yang bisa
menindak hanya Tim Kendali Mutu dan Biaya. KPK dan BPK yang
melakukan pemeriksaan.
61. Jawa Pos, Jum’at 13 Februari 2015. 5,7 Juta Peserta BPJS Malas
Bayar Iuran, Denda Keterlambatan Terlalu Kecil
Diantara 19 juta peserta BPJS se Jatim, terdapat 5,& juta orang atau 30%
yang tidak tertib membayar iuran. Setiap peserta wajib membayar iuran pada
tanggal 10 setiap bulannya, jika lewat waktu tersebut akan dikenai denda 2%
dari iuran . Nilai denda ditentukan per kelas. Tunggakan paling lama 3 bulan.
Saat itu masih bisa mendapat pelayanan kesehatan, jika sampai 6 bulan masih
membandel kartunya akan di non aktifkan. Dapat diaktifkan kembali setelah
mereka membayar semua tunggakan iuran.
62. Jawa Pos, Sabtu, 28 Februari 2015. BPJS Putus Kontrak Empat
Rumah Sakit
BPJS Kesehatan menyatakan terjadi fraud pengajuan klaim oleh RS
selama tahun 2014. Besarnya kecurangan masih terbilang wajar, belum
masuk ke tahap yang mengancam keuangan BPJS. Kecurangan tersebut
ditemukan ketika total klaim selama Tahun 2014 lebih tinggi jika
dibandingkan dengan proyeksi anggaran mereka. Berdasar data selama
Tahun 2014 total klaim mencapai 42,6 triliun ada selisih 2%. Penyumbang
terbanyak selisih itu karena jumlah peserta membludak.
Terkait pengajuan klaim BPJS telah menjatuhkan sanksi terhadap empat RS yaitu
memutus kontrak, karena melakukan kesalahan yang diulang-ulang. Kesalahan
tersebut RS masih mengutip uang dari peserta BPJS Kesehatan, pada hal seluruh
biaya sudah ditanggung oleh BPJS.

41
BAB 3

PREDIKSI

3.3 Prediksi “Trade Off ”

Dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun


2014 ini, tentunya akan muncul “ trade off” yaitu adanya pihak yang merasa
diuntungkan dan ada pula yang merasa dirugikan oleh peraturan tersebut.
Peraturan ini sangat menguntungkan pemerintah dan masyarakat, karena
dengan adanya Sistem Jaminan Kesehatan yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kesehatan dalam bentuk manfaat pemeliharaan kesehatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, akan sangat membantu pemerintah
dan masyarakat (yang telah membayar iuran maupun iurannya dibayar oleh
pemerintah), dalam meningkatkan derajat kesehatan.
Pengaturan Pedoman ini memberikan acuan pelaksanaan JKN yang
ditujukan pada seluruh komponen bagi yaitu mulai Pemerintah (Pusat, Propinsi,
Kabupaten/Kota), BPJS Kesehatan, dan Pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan yaitu FKTP dan FKTL, peserta Program
JKN dan pemangku kepentingan lainnya dalam penyelenggaraan JKN.

42
Kerugian yang timbul terutama bagi RS Swasta yang bekerjasama dengan
BPJS dikawatirkan akan merujuk pasien ke RS Pemerintah, karena adanya
penurunan nilai manfaat atau plafon bila dibandingkan dengan era PT.Askes yang
dulu karena di RS Swasta sudah dilengkapi pelayanan medis sesuai standar yang
dibutuhkan.

3.4 Prediksi Keberhasilan

Prediksi keberhasilan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun


2014 ini adalah sangat tergantung dari kesiapan dari aktor yang terlibat dalam
pelaksanaan baik pemerintah, pemberi pelayanan, BPJS dan masyarakat sebagai
peserta JKN, apabila aktor tersebut melakukan tugas dan peran masing-masing
dengan baik, maka dengan iklim reformasi saat ini peluang keberhasilan peraturan
ini sangat besar.
Sebagaimana diketahui bahwa kesehatan merupakan kebutuhan dasar
manusia untuk dapat hidup layak dan produktif, untuk itu diperlukan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang terkendali baik biaya maupun
mutunya, melalui Program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.
Pengelolaan dana pelayanan kesehatan bagi peserta program JKN adalah
merupakan dana amanah dan harus dikelola secara efektif dan efisien serta
dilaksanakan secara terkoordinasi, terpadu dari berbagai pihak terkait baik pusat
maupun daerah.
Apabila pelayanan kesehatan bagi penduduk melalui Program JKN ini
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak yang terlibat, maka
prediksi keberhasilan yaitu peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat
diwujudkan seutuhnya, dan Universal Health Coverage dapat terwujud dengan
baik pada tahun 2019 .

43
BAB 4

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.3 Kesimpulan

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014 yang mengatur


Program JKN dan diharapkan dapat menjadi acuan serta dapat memberikan
pemahaman program JKN kepada seluruh stakeholder terkait, ternyata dalam
pelaksanaannya masih menemui beberapa masalah dan upaya perbaikan:
1. Kebijakan ini merupakan revisi dan pengembangan dari kebijakan sebelumnya
yaitu yang melibatkan PT.Askes, sasaran programnya belum menjangkau
seluruh masyarakat Indonesia, masih terfragmentasi, terbagi-bagi sehingga
biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali;
2. Terbitnya kebijakan terlambat yaitu Tanggal 3 Bulan Juni 2014 yang
implementasinya Tanggal 1 Januari 2014;
3. Kebijakan ini ada pasal-pasal yang kurang terinci, sehingga pelaksanannya
menimbulkan masalah;

44
4. Kebijakan ini kurang mengantisipasi globalisasi, sehingga ada kecenderungan
praktek fraud atau kecurangan dari berbagai pihak;
5. Timbulnya resistensi dan perilaku positif maupun negative
6. Upaya perbaikan sudah dilakukan oleh berbagai pihak dengan langkah-langkah
sesuai peraturan yang ada.

4.4 Rekomendasi

Mengkaji adanya masalah-masalah yang mungkin timbul sebagai akibat


penerapan kebijakan ini dan perubahan yang terjadi saat ini, maka
direkomendasikan beberapa rekomendasi yang kami usulkan:
1. Dalam tahap policy formulation perlu dilakukan koordinasi yang baik antara
penyelenggara program lama dan baru, walaupun sebetulnya penyelenggaranya
sama, namun personalnya dapat berbeda;
2. Dalam penyusunan kebijakan atau tahap policy formulation, agar supaya
penerbitannya tidak terlambat dan isinya tidak bertentangan, maka harus
dikoordinasikan dengan baik sehingga tercipta suatu keharmonisan dalam
pelaksanaannya;
3. Untuk mengantisipasi kecurangan, resistensi/penolakan dan perilaku negatif
yang muncul dari berbagai pihak, perlu diberlakukan transparansi dan sanksi
yang lebih tegas;
4. Meninjau kembali beberapa pasal yang bermasalah sebagaimana sudah
disebutkan pada Bab terdahulu.

45
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI, 2013. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional


(JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Kemenkes

Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta:


Kementerian Kesehatan
Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan penyelenggara
Jaminan Sosial. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Jakarta:


Sekretariat Kabinet

Peraturan Presiden RI, 2013. Perubahan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun


2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Jakarta: Sekretariat Kabinet

46
Notoatmodjo,S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta

PBB. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. San Fransisco: 1948

Rahmadaniaty Latar, Nurhayani, M.Alwy Arifin. Kesiapan Stakeholder dalam


Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Tual: 2014

Widyasih, Eka, Mubin, M.Fatkhul, Hidyati, Eny. Persepsi Masyarakat terhadap


Pelayanan BPJS di RSI Kendal. Kendal: 2014

http://kebijakankesehatanindonesia.net/25-berita/berita/2042-bpjs-kesehatan-
terapkan-aturan-baru. Diakses Desember 2014

Lampiran

RINGKASAN KLIPPING KORAN JKN RSUD Dr.SOETOMO DAN


LAIN-LAIN

1. Jawa Pos Rabu, 1 Januari 2014


Hari ini pemerintah resmi memberlakukan SJSN, Wagub meluncurkan
program SJSN dan BPJS di RSUD Dr.Soetomo kemarin (31 Desember
2013). Target Pemprov penduduk Jatim yang tercover asuransi 60% pada
tahun 2015 dan 100% pada tahun 2019;
Saat ini 17 juta penduduk resmi menjadi peserta asuransi (42%). Persiapan
sudah dilakukan, semua RS pemerintah wajib bermitra dengan BPJS
(sebanyak 181 resmi menandatangani kerjasama dari 344 RS yang ada,
terdapat 55 RS pemerintah);

47
2. Jawa Pos Sabtu, 4 Januari 2014 , Dua hari 2000 peserta baru, apapun
alasannya, tidak boleh tolak pasien.
Jelas Dodo Anondo Direktur RSUD Dr.Soetomo:
jumlah pasien di RSUD Dr.Soetomo tidak juga menurun pasca penerapan
JKN, jumlah pasien tidak pernah di bawah 2500 tiap hari. Bahkan pada hari
Jum’at kemarin di bawah 2000, sekarang malah 2500, RS tidak boleh
menolak pasien, walaupun penyakitnya ringan seperti batuk, demam dan
pilek;

3. Jawa Pos, Kamis 9 Januari 2014. Terapkan Masa Transisi Sebulan. RSUD
Dr.Soetomo Beberkan Kendala JKN ke Menkes saat teleconference
Masalah di lapangan:
a. Sistem rujukan berjenjang yang belum berjalan
Jumlah pasien tidak jauh beda sebelum JKN. Dalam sehari (8 Januari
2014) jumlah pasien yang berobat 2.876 orang ditambah IRD 300 orang.
Akan dirapatkan dengan Gubernur dan dievaluasi . Setelah itu pasien tidak
boleh langsung berobat ke RSUD Dr.Soetomo, dari Puskesmas harus ke
RSU C atau B dan sosialisasi kepada pasien. Karena dampaknya tidak bisa
mengajukan klaim ke BPJS jika penyakitnya ringan-ringan saja. Juga
pasien sudah terbiasa ke RSUD Dr.Soetomo (Dr.Soetomo minded);
b. Sistem pembiayaan INA CBG’s
Sistem pembiayaan ini dinilai tidak cocok untuk berobat, untuk itu RSUD
Dr.Soetomo akan mengevaluasi sampai bulan Maret mendatang. Contoh
px hipertensi di Poli Penyakit Dalam hanya diberi jatah obat seminggu,
padahal sebelumnya diberi jatah untuk satu bulan, karena paket obat hanya
300 ribu, sementara kebutuhan obat sebulan 1 juta. Kalau diberi jatah 1
bulan RS rugi, kalau 1 minggu pasien bolak-balik ke RS. Sistem tersebut
untuk mengcover obat saja kurang, belum termasuk biaya untuk tenaga
dokter dan perawat. Contoh lain pasien ca paket berobat selama 5 hari
biaya sekitar 2 juta, karena suatu hal pasien tsb dirawat lebih dari 5 hari,
praktis biaya obat maupun perawatan melebihi paket. Dan RS tidak
mungkin terus nomboki, karena itu akan mengajukan klaim ke BPJS.
Sementara ini RSUD Dr.Soetomo selama ini dengan system subsidi
silang.

4. Jawa Pos, Selasa 11 Februari 2014. Sebulan Urai Keruwetan Pelaksanaan


JKN BPJS. Rujukan Tak Birokratis, Jatah obat dibenahi
Koreksi tarif INA CBG’s dan Bikin Satgas
Diskusi di Graha Pena 10 Februari 2014
BPJS telah berupaya memperbaiki satu persatu masalah di lapangan.

48
Hadir dalam diskusi tersebut :
a. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jatim Dr. Harsono
“ Upaya preventif dan promosi kesehatan dianggap tidak menarik
karena isinya penyuluhan, padahal itu investasi kesehatan jangka
panjang”
Tren kenaikan pasien di semua lini yang terjadi di RSUD Dr.Soetomo
merupakan bukti buruknya system pelayanan kesehatan selama ini;
Karena itu JKN bertujuan mengedepankan upaya preventif daripada
kuratif
Upaya yang perlu diperbaiki adalah SDM di Pelayanan Kesehatan
Primair, agar sistem rujukan berjalan . Sistem rujukan harus berubah
dari primair ke tersier. Untuk itu dibutuhkan kerjasama dengan IDI
maupun PERSI;
b. Kepala Regional VII BPJS Dr.Kisworowati
“ Memang masih banyak kekurangan dan akan kami bicarakan.
Intinya, program ini berjalan sambil kita lakukan perbaikan-
perbaikan”;
c. Kepala Dinas Kesehatan Kota Dr.Febria Rachmanita
“ Banyak upaya yang kami lakukan untuk memperbaiki system
rujukan dan pelayanan. Seperti mengumpulkan seluruh Kepala
Puskesmas dan dokter”
Masalah system rujukan, banyak pasien mondar-mandir karena tidak
tahu harus berobat ke mana. Obat yang 7 hari sudah diperbaiki
menjadi 23 hari dengan mengklaim;
d. Direktur RSUD Dr.Soetomo Dr.Dodo Anondo
Beberapa tantangan yang harus dihadapi RS antara lain:
1) Sejak Pelaksanaan JKN terjadi antrean pasien di semua lini, IRD,
IRJ dan IRNA. Di IRJ pasien 2500 orang yang mengantar 3-4
orang, kalau ditotal pengunjung sehari 7500 orang, sehingga
kesimpulan sistem rujukan yang diterapkan BPJS belum berjalan;
sebagai RS tersier/Tipe A ada kriteria pelayanan medis yang
ditangani RSUD Dr.Soetomo, yaitu:
a) Seharusnya tidak semua pasien ke RSUD Dr.Soetomo, jika RS
Tipe D, C, dan B tidak lagi mampu menangani baru ke RSUD
Dr.Soetomo;
b) RSUD Dr.Soetomo wajib memberikan layananterhadap pasien
gawat darurat maupun kasus ringan yang telah ditangani dan
tinggal mendapat perawatan ringan;
2) Perbedaan persepsi masyarakat tentang tata aturan JKN , upaya
sosialisasi program JKN pada pasien;

49
3) Pembayaran INA CBG’s yang tujuannya adalah efisiensi dan
efektivitas pengobatan, namun system tersebut banyak keluhan
terutama dari dokter.
e. Ketua IDI Jatim Dr.Boedi S
“ Risiko medis akibat sistem paket INA CBG’s tidak hanya
ditanggung rumah sakit, tapi juga dokter. Lha BPJS apa? Karena itu,
harus ada pembagian risiko;
f. Ketua MPPK PB IDI Dr.Pranawa
“ Untuk membuat pasien tertawa, semua orang harus tertawa, ya RS
nya, dokter, BPJS, pemerintah, dan pasien”
g. Direktur RSI Jemursari Dr.Rochmad Romdoni
“ Memang memuaskan semua pihak itu sulit. JKN ini adalah system
yang bagus, niat yang baik ini, pelaksanaannya ayo diperbaiki”.
Program JKN Bagus, memuaskan semua pihak sangat tidak mungkin
Keluhan tarif INA CBG’s, perlu manajemen yang baik agar RS tidak
rugi, usul untuk menyesuaikan dan koreksi tarif INA CBG’s

5. Jawa Pos, Selasa 14 Januari 2014, Rujukan Tetap Tidak jalan


JKN sudah diberlakukan dua pekan , namun system rujukan belum juga
berjalan, masalah pelayanan yang ruwet, juga menuai keluhan dokter dan
rumah sakit, plafon biaya INA CBGs dianggap tidak rasional karena operasi
Caesar lebih murah dari chitan. Antrean pasien panjang, jumlah pasien
membludak, kursi tunggu penuh, tidak sedikit yang harus duduk di lantai dan
terkesan keleleran. Pasien dari daerah masih tumplek bleg di RSUD
Dr.Soetomo seperti dari Mojokerto, langsung dirujuk ke RSUD Dr.Soetomo
karena di RS Mojokerto sudah angkat tangan. Juga pasien penyakit jantung
yang dirujuk ke RSU Dr.Suwandhi, hanya sebentar hanya minta stempel saja,
langsung dirujuk ke RSUD Dr.Soetomo;

6. Jawa Pos, Kamis 16 Januari 2014, IDI Rekomendasikan kepada Kemenkes


soal berbagai keluhan Sistem JKN
Terutama keluhan para dokter mengenai biaya pengobatan. IDI
menyampaikan beberapa rekomendasi agar pelaksanaan JKN ke depan lebih
baik. Ketua IDI Jatim mengakui bahwa system pembayaran INA CBG’s yang
diberlakukan BPJS di RS mendapat keluhan dari berbagai spesialis, bukan
hanya adanya plafon untuk semua tindakan, tetapi juga berkurangnya
pendapatan atau jasa dokter dari tindakan medis;

7. Jawa Pos, Kamis 23 Januari 2014, RSUD Bingung BPJS Kesehatan, belum
ada MOU pasien sudah banyak.

50
Masalah BPJS Kesehatan di Sidoarjo:
a. Belum ada MOU antara BPJS Kesehatan, Dinkes, RSUD, Puskesmas,
Apotek dana Layanan Kesehatan dasar lain;
b. Database peserta yang tergabung dengan BPJS Kesehatan belum ada. Di
RSUD, validasi penerimaan pasien masih manual;
c. Ada Pergub yang menyatakan RSUD Bangil, Pasuruan, dan RSUD
Prof.Dr, Soekandar Mojosari, Mojokerto, harus mengirim pasien ke
RSUD Sidoarjo sebelum dirujuk ke RSUD Dr.Soetomo. Perincian dan
MOU terkait dengan Pergub tersebut belum jelas.

8. Jawa Pos, Selasa 18 Februari 2014, Plafon BPJS Kesehatan Dinilai Terlalu
Rendah, Dokter kawatirkan Keamanan Pasien.
Praktisi kesehatan mengeluhkan penetapan plafon biaya medis oleh BPJS
Kesehatan Mereka berharap penetapan biaya medis disesuaikan lagi berdasar
aturan saat PT Askes dulu. Contoh plafon CT Scan dipatok 200 ribu, pada hal
biaya riel sekitar 700 ribu hingga 900 ribu. Dengan penurunan nilai manfaat
atau plafon, dikawatirkan bagi keamanan pasien. Pada hal di RS Swasta sudah
dilengkapi pelayanan medis sesuai standar yang dibutuhkan.

9. Jawa Pos, Senin 24 Februari 2014, RS Boleh Terapkan Sistem di luar BPJS
Solusi Macetnya Pencairan Klaim Tunggakan
Untuk menyiasati belum cairnya tunggakan klaim, pihak RS dibolehkan
menggunakan system operasional lain meski telah bergabung dalam BPJS
Kesehatan. Salah satunya menggunakan system fee for service terhadap
pasien.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengatakan system fee for
service akan sangat membantu RS untuk mendapatkan dana segar. Kalau RS
hanya mengandalkan BPJS maka RS tidak akan bisa hidup. RS menerima
BPJS merupakan keharusan, namun juga berhak mendapatkan pendapatan lain
dari sistem fee for service. System fee for service sah-sah saja, kalau pasien
tidak mau repot-repot mengantri hanya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan primair, jika punya uang maka RS
bisa melayani. Walaupun tetap membayar iuran BPJS, anggap saja sedekah.

10. Jawa Pos, Selasa 25 Februari 2014 Problem Pembayaran Klaim BPJS, RS
Kesulitan Ajukan Klaim
Uraian
Belum menagihkan kliam 44 RS
Sedang Proses Verifikasi 68 RS
Selesai Verifikasi 69 RS

51
Jumlah 181 RS
Keterangan : RS yang belum menagihkan klaim dan sedang proses verifikasi
bisa mengajukan pembayaran di muka 50%
RS yang sudah selesai verifikasi dibayar minggu ini
Persoalan
RS sulit melakukan entry data klaim sehingga BPJS tidak bisa melakukan
pembayaran dan BPJS membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
memverifikasi semua tagihan.

11. Jawa Pos, Sabtu 1 Maret 2014, 71 RS Swasta Tak Terima Pasien BPJS,
tetapi tetap wajib sediakan ruang untuk pasien emergency.
Tidak semua RS Swasta di Jakarta saat ini bergabung dan terlibat dalam
program JKN. Sejak JKN diluncurkan tanggal 1 Januari 2014 , Pemprov DKI
Jakarta baru bisa menggandeng 81 di antara 152 RS Swasta di seantero
ibukota. Sedangkan 71 RS Swasta lain belum terlibat kerjasama. Kadinkes
DKI berusaha memperluas kerjasama dengan RS Swasta, tujuannya agar
semakin bagus kualitas pelayanan kesehatan di Jakarta. Umumnya yang
belum bekerjasama dengan BPJS adalah RS yang tergolong elite seperti RS
Pondok Indah, RS Metropolitan Medical Centre (MMC) dan RS Medistra.
Meski RS Swasta tidak wajib menerima peserta BPJS di Kelas III, namun
tetap diwajibkan oleh pemerintah menyediakan ruang perawatan kelas III
maksimal 22 % untuk mengantisipasi pasien emergency.

12. Jawa Pos, Kamis 13 Maret 2014 RS Desak Kemenkes Revisi Tarif JKN,
tarif rugi ganggu clash flow.
Salah satu hal krusial yang banyak dikeluhkan RS dalam pelaksanaan JKN
adalah tariff berobat dengan Sistem Indonesia Case Based Groups (INA-
CBG’s). Biaya beberapa tindakan atau prosedur pengobatan dinilai tidak
masuk akal. Karena itu RS mendesak adanya revisi tarif untuk beberapa
tindakan tertentu, jika tidak RS bisa merugi.
Sebetulnya INA- CBG’s bukan merupakan hal baru, system ini sudah pernah
dipakai untuk biaya pengobatan pasien Jamkesnas sejak tahun 2009, hanya
saat itu digunakan INA-CBG’s 3.1. Saat ini menggunakan INA-CBG’s 4.0,
dari peralihan ini diperlukan adanya proses, apalagi system ini diberlakukan
untuk pasien JKN yang tidak hanya peserta Jamkesnas, tapi juga Askes,
Jamsostek, dan TNI-POLRI dan banyak yang merasa tidak siap dengan
system itu.
Dengan INA Cbg’s RS tidak bisa menghitung untung rugi satu persatu
tindakan, melainkan secara keseluruhan. RSUD Dr.Soetomo mengalami
sedikit keuntungan di kelas I dan II, sebaliknya untuk kelas III mereka rugi

52
sehingga harus ada subsidi silang untuk menutupi. Aka Kemenkes harus
merevisi kasus-kasus yang mengalami kerugian besar.
Poin layak revisi dalam skema INA-CBG’s:
a. Ada tarif yang terlalu murah kalau ukurannya dilihat dari tariff, ada tarif
yang jauh lebih tinggi;
b. Jasa untuk dokter kurang. Manajemen RS biasanya memprioritaskan
pembayaran obat, sarana lain-lain dan sisanya baru untuk jasa;
c. Pengendalian biaya RS akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan.

13. Jawa Pos, Jum’at 14 Maret 2014, Umur BPJS Tinggal Dua Bulan
BPJS terancam bangkrut, sebab pendapatan yang masuk dari iuran peserta
tidak sebanding dengan pengeluaran untuk membayar kapitasi dan klaim
pembayaran RS. Selama ini BPJS hanya menggantungkan diri dari dana
peralihan PT.Askes menjadi BPJS. Kemenkes menargetkan tahun ini jumlah
peserta yang tercover BPJS sebesar 121,6 juta orang, hingga Februari lalu
jumlah peserta BPJS mencapai 117 juta orang.
Sebagian besar peserta mandiri yang mendaftar adalah yang sakit, bukan yang
sehat. Mereka yang sehat belum banyak yang mendaftar. Jika yang mendaftar
banyak yang sakit, dana yang terkumpul tidak cukup untuk membiayai
kapitasi dan klaim. Selama ini terbantu dana peralihan PT.Askes yang
jumlahnya 5,5 triliun. BPJS telah mengkalkulasikan tiap bulan dana yang
dibutuhkan untuk membayar kapitasi dan klaim sekitar 2 triliun, jadi dana
peralihan PT Askes hanya dapat digunakan untuk pembayaran kapitasi dan
kliam selama 2-3 bulan ke depan. Saat ini peserta mandiri yang mendaftar
BPJS sebesar 850 ribu orang. BPJS mendorong pemerintah daerah untuk
mendaftarkan warganya, terutama yang sehat. Jika tid
BPJS terancam bangkrut dan akan dikembalikan ke pemerintah.

14. Jawa Pos, Sabtu 15 Maret 2014, Sumber Dana Banyak, BPJS Sangat Sehat
Bantahan keras dari Kemenkes terhadap dugaan BPJS diprediksi bangkrut.
Wakil Menteri Kesehatan mengatakan bahwa program JKN yang dioperatori
oleh BPJS sampai saat ini berjalan baik. BPJS menampilkan data bahwa
penerimaan BPJS tahun ini diprediksi 38,2 triliun. Pendapatan itu pasti
didapat
karena bersumber dari I alokasi buat peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
yang sudah disepakati dari APBN. Selain itu dari iuran PNS, Pegawai Pemda,
TNI-POLRI, Jamkesnas, peserta mandiri. Walaupun peserta mandiri belum
maksimal, namun posisi keuangan BPJS sangat aman.

53
Target pendapatan setahun dari peserta mandiri 104 milliar, namun dalam dua
bulan BPJS mampu mencapai pendapatan 43,5 milliar, karena itu BPJS
optimis bahwa jumlah peserta mandiri terus meningkat.
Pengeluaran ditingkat layanan primair 650 milliar per bulan, pelayanan
kesehatan tingkat lanjut antara 2 – 2,4 triliun per bulan, termasuk biaya non
kapitasi dan di luar INA-CBG’s sekitar 1,6 triliun. Jumlah pengeluaran
tersebut pasti tercover dari pendapatan BPJS.
Tentang masa depan BPJS, Kepala Regional VII BPJS optimistis pendapatan
yang diterima naik karena pendaftar peserta mandiri terus bertambah.
Sumber Pendapatan BPJS:
PBI 52,15%, TNI-POLRI 32,79% Jamkesda 1,73%, Peserta Mandiri 0,27%
WNA 0,04 % dan Badan Usaha/ Formal 13,01%

15. Jawa Pos, Jum’at 19 September 2014, Pemegang BPJS Kesehatan Wajib
Milki E-KTP.
Pemerintah mengeluarkan aturan baru terkait syarat pengurusan peserta
BPJS Kesehatan. Warga yang mengurusnya harus memiliki atau setidaknya
telah merekam e-KTP (KTP elektronik). Kebijakan tersebut tertuang dalam
Surat Kementerian Dalam Negeri tertanggal 11 Sepember 2014. Pada Surat
Nomor 471.13/8540/DUKCAPIL itu disebutkan salah satu syarat pengurusan
BPJS Kesehatan yaitu adanya data e-KTP dan nomor induk Kependudukan
(NIK). Ketentuan ini berlaku bagi peserta maupun calon peserta.
Aturan E-KTP pada pengurusan BPJS:
a. Pemilik maupun mereka yang akan mendaftar BPJS Kesehatan harus
punya e-KTP;
b. Dispendukcapil mengeluarkan Surat Keterangan bila fisik e-KTP belum
diterima;
c. Usia di bawah 17 tahun bisa mengurus BPJS Kesehatan berdasarkan NIK
yang tercantum di KSK.

16. Jawa Pos, Senin, 22 September 2014, BPJS Evaluasi Sistem Rujukan
Lonjakan pasien di RSUD Dr.Soetomo tidak luput dari perhatian BPJS.
Salah satu penyebabnya adalah system rujukan yang belum maksimal. BPJS
sudah menetapkan dengan ketat system rujukan, artinya rujukan harus

54
berjenjang, jika ada yang sakit harus ditangani oleh fasilitas kesehatan tingkat
pertama, pakai dokter keluarga. Hingga kini masih ada yang merujuk
langsung ke RS Tipe A, namun atas permintaan dari pasien sendiri. Hal ini
biaya ditanggung oleh pasien sendiri, walaupun pasien tersebut peserta BPJS.

17. Jawa Pos, Senin, 22 September 2015 Lonjakan Pasien RSUD Dr.Soetomo
Pasca BPJS Kesehatan, Terpaksa Rawat Banyak Pasien di Lorong, Bed
tak mencukupi, pasien-pasien dirawat di lorong Irna Pandan Wangi
RSUD Dr.Soetomo.
Sudah hampir Sembilan bulan program BPJS Kesehatan bergulir, antusiasme
masyarakat sangat tinggi dalam menyambutnya, namun belum diimbangi
dengan system rujukan BPJS yang tepat.
Data Perbandingan Jumlah Pasien sebelum dan sesuadah BPJS (Tahun
2013 dan Tahun 2014)

Tempat Pelayanan Jumlah Pasien Jumlah Pasien


Tahun 2013 Tahun 2014
Pasien Kelas I 2.053 2.448
Pasien Irna Medik 1.051 1.186
Pasien Rawat Jalan 3.000/hari 5.000/hari

Upaya yang dilakukan RSUD Dr.Soetomo dengan lonjakan pasien:


a. Penambahan bed di setiap kelas sebanyak 10 -15 bed
b. Permintaan penambahan 1.000 Tempat Tidur
c. Penambahan brankar dan matras
d. Pembangunan Gedung Jantung dan Transplantasi Liver
e. Pembangunan Gedung Rawat Inap Baru
Rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS:
1) 4 (empat) RS sekunder milik Pemprov: RSUD Haji, RS Jiwa Menur, RS
Karang Tembok, RS Mata Masyarakat;
2) 2 (dua) RS tersier : RSUD Dr.Soetomo dan RSAL Dr.Ramelan;
3) 2 (dua) RS milik Pemkot : RSUD Dr. Suwandhi dan RSUD Bhakti Dharma
Husada;

55
4) 6 (enam) RS milik TNI/POLRI: RS Bhayangkara HS Samsuri, RS Brawijaya,
RS Rumkital Dr.Oepomo, RS Rumkital Gunungsari, RS Sumitro Lanud
Mulyono, RS Rumkitban Surabaya;
5) 13 (tiga belas) RS Swasta: RSIDarus Syifa, RS Wijaya, RS Muji rahayu, RS
Bunda, RS Bhakti rahayu, RS Toyal, RS PHC, RSIA Pura Raharja, Klinik
Utama dasa Medika;
6) 1(satu) RS milik Pemerintah Pusat: RS Airlangga;
7) 167 (Seratus Enam Puluh Tujuh) Fasilitas kesehatan primair: 62 Puskesmas,
60 Pustu, 27 Klinik TNI/POLRI, 44 Klinik Pratama, 30 dokter keluarga dan 7
dokter gigi.

18. Jawa Pos, Senin 24 November 2014. Aturan Tunggu Tujuh Hari BPJS Tetap
Berlaku.
BPJS telah merevisi Peraturan BPJS Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Pendaftaran dan pembayaran Peserta Perorangan BPJS Kesehatan. Namun aturan
tunggu 7 hari pasca penerbitan Kartu BPJS tetap berlaku. Dengan demikian
peserta yang baru mendaftar BPJS Kesehatan dapat menggunakan haknya dalam
asuransi social itu terhitung 7 hari setelah menerima kartu BPJS Kesehatan. Kartu
baru bisa diterbitkan pasca dilakukan pembayaran pertama. Aturan ini tetap
berlaku bagi pekerja, bukan pekerja penerima upah atau self employed seperti
pemilik warung, nelayan, pengacara dokter bukan PNS. Juga berlaku bagi peserta
mandiri yang mendaftarkan diri di BPJS Kesehatan untuk layanan kelas I dan II di
RS, alasannya mereka dirasa mampu membayar biaya RS sendiri. Pengecualian
aturan ini untuk bayi baru lahir dari pasangan PBI yang memang merupakan
masyarakat tidak mampu yang iurannya ditanggung pemerintah. Kemudian bayi
baru lahir tersebut masuk Jamkesda.

19. Jawa Pos, 29 November 2014 Aturan BPJS Kesehatan Nomor 4/2014
(Sumber BPJS Surabaya dan BPJS Jatim).
a. Kartu berlaku 7 hari setelah pembayaran iuran pertama;
b. Jika tidak dapat menunjukkan kartu dianggap pasien umum;

56
c. Jika kartu tertinggal atau hilang bisa mengurus lagi maksimal tiga hari
sejak dirawat. Melebihi waktu itu dianggap pasien umum;
d. Peserta yang baru mendaftar pada masa perawatan tidak dapat
menggunakan fasilitas kartu;
Pengecualian:
a. Peserta dan bayi baru lahir dari PBI;
b. Peserta dan bayi baru lahir dari peserta tidak mampu yang didaftarkan
oleh pemda/Jamkesda;
c. Peserta dan bayi baru lahir dari penyandang masalah kesejahteraan social;
d. Bayi baru lahir dari peserta perorangan BPJS Mandiri Kelas III yang tidak
mampu membayar, syaratnya membawa Surat Rekomendasi Dinsos.
20. Jawa Pos, Rabu 11 Februari 2015 Klaim setahun 5,7 Trilliun, BPJS Waspada
Korban Pertama adalah pasien
Setahun BPJS Kesehatan beroperasi , potensi kecurangan (fraud) klaim
semakin besar. Sebab fasilitas kesehatan yang menjadi provider BPJS kian
banyak. Jumlah pasien kian lama kian bertambah. Modus RS semakin lama
semakin kreatif.
Modus-modus Penipuan BPJS:
a. Upcoding (RS menambahkan paket klaim ke BPJS);
b. Tagihan fiktif (RS menagihkan biaya yang tidak diberikan kepada pasien);
c. Readmission (memulangkan pasien, lalu memasukkan lagi agar tagihan
dobel);
d. Dokter menjual obat kepada pasien di luar yang ditanggung BPJS, pada
hal obat setara sudah ditanggung.
Pencegahan:
a. Peningkatan kompetensi verifikator untuk deteksi dini inefisiensi;
b. Penyelesaian perselisihan verifikasi sesuai alur penyelesaian klaim
bermasalah;
c. Optimalisasi penjaminan klaim kecelakaan lalu lintas oleh PT Jasa raharja;
d. Optimalisasi penjaminan kliam kecelakaan oleh BPJS Ketenagakerjaan;
e. Optimalisasi fungsi tim antifraud di wilayah dan cabang;
f. Pooling kejadian terindentifikasi potensi inefisiensi melalui aplikasi
antifraud.

21. Jawa Pos, Kamis 12 Februari 2015, BPJS Kesehatan Jatim, Kuatkan
Verifikator RS. Dokter Cuma Menulis Rekam Medis

57
Peluang terjadinya kecurangan (fraud) pada BPJS masih ada. Padahal
tindakan penyelewengan seperti tagihan fiktif dan penambahan klaim bakal
berdampak pada kondisi mutu pelayanan kesehatan. Kecurigaan itu ada,
tapi harus ada faktanya.
Beberapa point utama dalam penanganan fraud yaitu:
a. Menjalin komitmen bersama RS untuk mencegah fraud;
b. Sudah ada kemitraan yang baik antara BOJS dengan fasilitas kesehatan
(provider);
c. BPJS punya verifikator disetiap RS, diperlukan peningkatan pengawasan
internal melalui verifikator untuk mencegah fraud;
d. Klaim ke BPJS ada 3 kategori yaitu layak, tidak layak dan pending. Jika
ada tindakan medis yang diduga tidak benar, BPJS berhak menunda
pembayaran kepada RS.
Penarifan bukan perkara mudah, banyak pihak yang terlibat. Misalnya petugas
coding atau coder yang tugasnya memasukkan data coding. Jika ditingkat
coding salah, tagihan tidak akan benar dan dokter hanya menulis rekam
medisnya, diterjemahkan oleh coder. Diagnosis utama dan diagnose
tambahannya apa, dimasukkan INA CBG’s, keluar code nilainya berapa.
Coder tidak jarang ragu terhadap hasil rekam medisnya, seharusnya coder
kembali ke dokter untuk menanyakannya. Masalah yang terjadi coder tidak
melakukan langkah tersebut, sehingga muncul potensi upcoding, yakni kode
klasifikasi penyakit dinaikkan ke tingkat yang lebih parah, tujuannya klaim ke
BPJS kian besar.
Jika terjadi dugaan fraud, RS akan meminta koreksi kepada RS, jika
diperbaiki klaim tetap cair. Jika ada dugaan kecurangan dan memenuhi fakta
kesalahan, ada Dewan Pertimbangan Medik (DPM) yang bisa memproses
laporan tersebut, namun tidak mengeksekusi, hanya mengeluarkan fatwa benar
tidaknya kecurigaan tersebut. Yang bisa menindak hanya Tim Kendali Mutu
dan Biaya. KPK dan BPK yang melakukan pemeriksaan.

58
22. Jawa Pos, Jum’at 13 Februari 2015. 5,7 Juta Peserta BPJS Malas Bayar Iuran,
Denda Keterlambatan Terlalu Kecil
Diantara 19 juta peserta BPJS se Jatim, terdapat 5,& juta orang atau 30%
yang tidak tertib membayar iuran. Setiap peserta wajib membayar iuran pada
tanggal 10 setiap bulannya, jika lewat waktu tersebut akan dikenai denda 2%
dari iuran . Nilai denda ditentukan per kelas. Tunggakan paling lama 3
bulan. Saat itu masih bisa mendapat pelayanan kesehatan, jika sampai 6
bulan masih membandel kartunya akan di non aktifkan. Dapat
diaktifkan kembali setelah mereka membayar semua tunggakan iuran.

23. Jawa Pos, Sabtu, 28 Februari 2015. BPJS Putus Kontrak Empat Rumah Sakit
BPJS Kesehatan menyatakan terjadi fraud pengajuan klaim oleh RS
selama tahun 2014. Besarnya kecurangan masih terbilang wajar, belum
masuk ke tahap yang mengancam keuangan BPJS. Kecurangan tersebut
ditemukan ketika total klaim selama Tahun 2014 lebih tinggi jika
dibandingkan dengan proyeksi anggaran mereka. Berdasar data selama Tahun
2014 total klaim mencapai 42,6 triliun ada selisih 2%. Penyumbang
terbanyak selisih itu karena jumlah peserta mebludak.
Terkait pengajuan klaim BPJS telah menjatuhkan sanksi terhadap empat RS
yaitu memutus kontrak, karena melakukan kesalahan yang diulang-ulang.
Kesalahan tersebut RS masih mengutip uang dari peserta BPJS
Kesehatan, pada hal seluruh biaya sudah ditanggung oleh BPJS.

59
60

Anda mungkin juga menyukai