Email : Febby_Paliyama@ymail.com
Pendahuluan
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan
atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk
dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup
banyak jumlahnya. Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa: “seorang dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”.
Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang
profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI
pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia.
Masalah yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara
dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien, baik dalam bentuk komunikasi
sehari-hari yang diharapkan mempererat hubungan antar manusia maupun dalam bentuk
pemberian informasi sebelum dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau
komplikasi. Para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan
medis dianggap sebagai domain hukum. Pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai
pelanggaran terhadap etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum. Oleh sebab itu, setiap
dokter diharapkan untuk dapat menjalankan pelayanannya dengan berpedoman pada prinsip
etik kedokteran dan ketentuan hukum yang berlaku.
Skenario kasus
Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A,seorang dokter
anak.ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obygn B sewaktu melahirkan
dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. baik dokter B maupun C tidak pernah mengatakan
bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana.10 hari
pasca lahir orangtua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi.
Bioetik atau Biomedicalethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan
atau penelitian di bidang biomedis. Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah :
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan perbuatan seseorang atau institusi dilihat dari moralnya. Penilaian baik buruknya
dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya.
Terdapat 2 teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontoloogi dan teleologi.
Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari
perbuatannya itu sendiri. Sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik buruknya
tindakan dengan melihat hasil atau akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran
agama, tradisi dan budaya. Sedangkan teleologi mendasarkan pada penalaran dan
pembenaran kepada azas manfaat.1
Empat kaidah dasar moral untuk mencapai suatu keputusan etik :
a. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditunjukan
kepada kebaikan pasien. Dokter harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya
2
Etika Profesi Kedokteran
terjaga keadaan kesehatannya. Pengertian berbuat baik di sini adalah bersikap ramah
atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajibannya.1
Tindakan konkrit dari beneficience meliputi:
Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter
Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
keburukannya
Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang
Menjamin kehidupan baik
Pembatasan “goal based”
Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / preferensi pasien
Minimalisasi akibat buruk
Kewajiban menolong pasien gawat darurat
Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
Tidak menarik honorarium di luar kepantasan
Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
Mengembangkan profesi secara terus-menerus
Memberikan obat berkhasiat namun murah
Menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita harus memperlakukan orang lain
seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain
b. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai ‘primum non nocere’ atau ‘do
no harm’. Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi:1
Menolong pasien emergensi
Kondisi untuk menggambarkan criteria ini adalah:
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)
Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien
Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
Mengobati secara tidak proporsional
3
Etika Profesi Kedokteran
Mencegah pasien dari bahaya
Menghindari misinterpretasi dari pasien
Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian
Memberiksan semangat hidup
Melindungi pasien dari serangan
Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan yang
merugikan pihak pasien/ keluarganya
c. Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien (the rights to
self determinations). Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai makhluk
hidup yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri).1
Tindakan konkrit dari autonomi meliputi:
Menghargai hak menentukan nasibnya sendiri
Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)
Berterus terang
Menghargai privasi
Menjaga rahasi pasien
Menghargai rasionalitas pasien
Melaksanakan informed consent
Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
Mencegah pihak lain ,emgintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk
keluarga pasien sendiri
Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi
Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien
Menjaga hubungan
d. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya adalah memperlakukan
semua pasien sama dalam kondisi yang sama.1
Tindakan konkrit yang termasuk justice meliputi:
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4
Etika Profesi Kedokteran
Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability,
quality)
Menghargai hak hukum pasien
Menghargai hak orang lain
Menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan)
Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dll
Tidak melakukan penyalahgunaan
Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil
Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat
Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan
Bijak dalam makroalokasi
Etika Klinis
Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik
yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu :
1. Medical Indication
Dalam topik medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi
yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek
indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah
beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa
dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin
informed consent2.
2. Patient Preferences
Pada topik patient preferrence kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian pasien
tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah
autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat
volunter sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat
keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dll2.
3. Quality of Life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa dan
5
Etika Profesi Kedokteran
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, nonmaleficence dan autonomy2.
4. Contextual Features
Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya,
kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum.
Etik dan Disiplin Profesi Dokter
Didalam praktek kedokteran terdapat aspek etik profesi, disiplin profesi dan aspek
hukum yang sangat luas, yang sering tumpang tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada
inform consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme dll.
Norma etik profesi, disiplin profesi dan hukum pidana memang dalam satu garis,
dengan etik profesi di satu ujung dan hukum pidana diujung lainnya. Disiplin profesi terletak
diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung.. Bahkan didalam praktek kedokteran,
aspek etik profesi dan/atau disiplin profesi sering kali tidak dapat dipisahkan dari aspek
hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik profesi yang telah diangkat menjadi norma
hukum yang mengandung nilai-nilai etik
Aspek etik profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik profesi seorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku disiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki sanksi
moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat
administratif3.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini
profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran
etik profesi, disiplin profesi dan juga sekaligus pelanggaran hukum. Selain Kode Etik Profesi
diatas, praktek kedokteran juga berpegang pada prinsip – prinsip moral kedokteran, prinsip –
prinsip moral yang dijadikan arahan dalam menilai baik – buruknya atau benar salahnya
suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi
pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis dan pedoman
dalam melakukan penelitian dibidang medis.
6
Etika Profesi Kedokteran
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan
etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga
MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah, dan cabang.
Pada dasarnya suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan
membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi
dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentu peringatan hingga kebentuk yang lebih
berat seperti kewajiban menjalani pendidikan atau pelatihan tertentu (bila akibat kurang
kompeten) dan pencabutan hak nya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK
setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi)
kedokteran1,2
Berdasarkan kasus ini hubungannya dengan empat kaedah dasar moral untuk mencapai
keputusan etik adalah:
Prinsip benificience
Sesuai dengan prinsip beneficence yaitu untuk kebaikan pasien, dokter A harus dapat
melakukan pemeriksaan terhadap bayi yang berusia 10 hari tersebut dengan sebaik-
baiknya dan kemudian menjelaskan apa yang terjadi kepada bayi tersebut kepada
orang tuanya sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dia miliki, tetapi dalam hal ini
dokter A juga tidak boleh menjelekkan rekan sejawatnya dokter B dan dokter C.
Dokter juga perlu untuk memberikan pendapatnya kepada orang tua pasien mengenai
hal penuntutan kepada dokter B dan dokter C, dokter A dapat menanyakan apakah ibu
korban yakin bahwa fraktur klavikula pada bayi ibu tersebut benar terjadi karena
kelalaian dokter B dan dokter C, karena bila tidak yakin tidak menutup kemungkinan
ibu korban dapat dituntut kembali oleh dokter B dan dokter C.
Prinsip non-maleficience
Disini dokter A sebagai seorang dokter anak tentunya tidak terlalu kompeten untuk
menangani kasus fraktur tulang klavikula pada bayi, untuk mengurangi kemungkinan
terjadi tindakan yang dapat merugikan atau melukai pasien sebaiknya dokter A
merujuk pasien ke rumah sakit yang memiliki dokter bedah tulang yang lebih
kompeten di bandingkan dirinya.
Prinsip autonomi
Prinsip otonomi disini tidak dapat dilakukan kepada pasien, karena pasien masih
berusia 10 hari dan belum dapat mengambil keputusannya sendiri, oleh sebab itu yang
dimintai keputusan oleh dokter A adalah ibu atau orang tua korban.
7
Etika Profesi Kedokteran
Dokter tentunya harus menjelaskan mengenai fraktur tulang klavikula yang terjadi
pada anaknya, apa tujuan pemeriksaan radiologi yang dilakukan, tindakan-tindakan
medis apa yang akan dilakukan pada pasien, dan meminta persetujuan orang tua
korban setelah menjelaskan informasi-infromasi yang jelas mengenai setiap tindakan
kepada orang tua pasien.
Prinsip justice
Dalam kasus ini bila pasien adalah orang yang tidak mampu dokter juga harus
memberikan pelayanan kesehatan sebaik-sebaiknya sama seperti bila ia menghadapi
pasien yang mampu secara ekonomi, dokter juga tidak boleh membeda-bedakan
pasien, semua pasien harus dipandang sama oleh seorang dokter tanpa memandang
status sosial, rasa tau latar belakang pasien.
HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
Pada awalnya hubungan antara dokter pasien adalah hubungan yang bersifat
paternalistic,dengan prinsip moral utama adalah beneficence.Sifat hubungan paternalistiuk ini
kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien,dan dianggap tidak sesuai dengan
perkembangan moral (orang barat ) saat ini,sehingga berkembanglah teori hubungan
kontraktual.Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teoori social contract di bidang
politik.Vetch mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas,yang
meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan,tetapi saling
menghargai.Dokter akan mengembanm tanggungjawab atas segala keputusan
teknis,sedangkan pasien tetap memgang kendali keputusan penting,terutama yang terkait
dengan nilai moral dan gaya hidup pasien.hubungan kontrak mengharuskan terjadinya
pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepatan,namun juga memberikan
peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.
8
Etika Profesi Kedokteran
Hubungan kontrak semacam ini harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan
mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu.Oleh karena itu sejak sebelum Masehi
telah ada Code of Hammurabi yang mengancam dengan pidana bagi dokter yang karena
salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya,dan Code of Hittites yang
mewajibkan dokter untuk membayar rugi kepada pasiennya yang telah terbukti dirugikan
karena kesalahnnya /kelalaiannya1,4.
Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) terdiri dari 4 kewajiban, yaitu kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri
sendiri. KODEKI diatur dalam S.K.P.B. IDI No: 221/PB/A.4/04/2002, adalah:4
Kewajiban Umum
- Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.
- Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
- Pasal 3
9
Etika Profesi Kedokteran
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
- Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
- Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
- Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
- Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
- Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai
rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
- Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
- Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
- Pasal 7d
10
Etika Profesi Kedokteran
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.
- Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan
yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik
maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat
yang sebenar-benarnya.
- Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
- Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.
- Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
- Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
11
Etika Profesi Kedokteran
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
- Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
- Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan.
Dengan tersusunnya Kode Etik Kedokteran ini berserta dengan prinsip-prinsip moral
dasar dan teori etik klinik, diharapkan dokter-dokter dapat memberikan pelayanan yang
terbaik. Dalam hal seorang dokter melanggar etika kedokteran (tanpa melanggar norma
hukum), maka ia dapat dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban.5
HUBUNGAN KESEJAWATAN
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga
kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin diperlakukan.
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
12
Etika Profesi Kedokteran
Hubungan dokter dengan teman sejawatnya telah tertuang dalam KODEKI pasal 14 dan
15, yaitu:5
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis
Rekam Medis 5
makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan
diatas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus
memahami dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.
Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang rekam
medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya rekam
medis yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/kesehatan
yangberkualitas.
Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas dalam
UUPK seperti terdapat pada pasal 46:
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis
(2) Rekam medissebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai menerimapelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus
dibubuhi nama, waktu, dan tandatangan petugas yang memberikan pelayanan atau
tindakan.
Selanjutnya dalam pasal 79 diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat, yaitu denda
paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja tidak membuat rekam medis.
Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis, disebut pengertian
RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan,pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan3,5.
Isi Rekam medis
Di rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu:
13
Etika Profesi Kedokteran
- RM untuk pasien rawat jalan
- RM untuk pasien rawat inap,untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat,
RM memiliki informasi pasien, antara lain:
a. identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)
b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang : keluhan utama, riwayat sekarang, riwayat
penyakit yang pernah diderita,riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin
diturunkan
c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen,
scanning,MRI, dan lain lain.
d. Diagnosis dan/atau diagnosis banding.
Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan
yangberwenang.Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam
rawat jalan, dengan tambahan :
Persetujuan tindakan medic
Catatan konsultasi
Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan
Resume akhir dan evaluasi pengobatan.Secara umum kegunaan RM adalah:
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut
ambilbagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan
membaca RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat
pasien (misalnya, pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui
penyakit,perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus
berjumpa satusama lain. Ini tentu merupa-kan sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis
agarrencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan
pengobatanselama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu
diperlukan bukti bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan
serta perkembangan penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat
mengungkapkan dengan jelas.
14
Etika Profesi Kedokteran
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan
kepadapasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang
ditulis ataudata yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan
studi ataupun evaluasi dari pelayanan yang diberikan.
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter
maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima
semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan
dan data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila
catatan yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter
dan rumahsakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti
sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan
pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat diper-
gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah sakit
pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan
penelitian.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien.
Bilapasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan
segala biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai
bahan dokumentasi, bila diperlukan dapat digunakan sebagai dasar untuk
pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yangmemerlukan masa mendatang
6, 7
DAMPAK PENUNTUTAN HUKUM
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik profesi, disiplin profesi dan aspek
hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada
informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Sebenarnya banyak
kasus penuntutan hukum kepada dokter yang diduga melakukan kelalaian medic. Apabila
penuntutan dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat diharapkan berperan dalam upaya
menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Namun disisi lain, penuntutan
sendiri dapat menyebabkan banyak dampak negative juga.6
15
Etika Profesi Kedokteran
Norma etik profesi disiplin profesi dan hukum pidana memang berada dalam satu
garis, dengan etik profesi di satu ujung dan hukum pidana di ujung lainnya. Disiplin profesi
terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung. Bahkan di dalam praktek
kedokteran, aspek etik profesi dan/atau disiplin profesi seringkali tidak dapat dipisahkan dari
aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik profesi yang telah diangkat menjadi
norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai – nilai etika. Aspek etik
profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan
penilaian perilaku etik profesi seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan
penilaian perilaku diiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki sanksi moral dipaksa
berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin profesinya).
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. MKEK
dalam perjalanannya telah diperkuat dengan landasan hukum yang diatur dalam UU No.18
tahun 2002 tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan
gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda.
Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI,sedangkan gugatan perdata
dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa
16
Etika Profesi Kedokteran
oleh MKEK, dapat pula diperiksa dipengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan
diantara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu
dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap
berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidativ), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan.
Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah / brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin
Praktek Tenaga Medis, Perijinan Rumah Sakit tempat kejadian, bukti hubungan
dokter dengan Rumah Sakit, hospital by laws SOP dan SPM setempat, rekam medis,
dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya,
membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa
lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli
di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI
Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk
SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah
dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan,6.
17
Etika Profesi Kedokteran
Gugatan yang tidak dibatasi terutama kerugian immaterial akan cenderung mengakibatkan
semakin rumitnya lingkaran setan pelayanan dokter dengan biaya yang tinggi. Demikian pula
biaya gugatan ganti rugi melalui persidangan, pengacara dan success fee. Oleh karena itu
World Medical Association menganjurkan kepada IDI untuk mencari jalan inovatif dalam
menyelesaikan masalah tuntutan ganti rugi seperti lebih memilih penyelesaian melalui
arbitrase daripada mellalui pengadilan. Penuntutan juga mengakibatkan tekanan psikologi
bagi para dokter yang diduga melakukan kelalaian medis. Meskipun pembayaran ganti rugi
dilakukan dengan menggunakan uang pertanggung jawaban asuransi profesi, namun
peristiwa penuntutan tersebut sudah mengakibatkan kegelisahan, depresi, perasaan bersalah
dan kehilangan rasa percaya diri dokter, karena nama baik dan reputasi dokter yang
bermasalah tersebut dapat tercemar. Para dokter yang pernah mengalami penuntutan akan
menderita litigation stress syndrome dengan derajat yang bervariasi.6
Pemberian sanksi disiplin oleh MKDKI dan MKDKIP, ada tiga alternatif sanksi
disiplin, antara lain:
Pemberian peringatan tertulis.
Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain pemberian sanksi disiplin dan etik, dokter yang telah melakukan kelalaian medis akan
diberikan sanksi perdata dan pidana yang diputuskan melalui pengadilan umum. Hal ini
diatur dalam undang-undang, antara lain:
Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata
Setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-
hatiannya.
Pasal 1367 KUH Perdata
Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang
18
Etika Profesi Kedokteran
menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.
Pasal 54 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan ayat (1):
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan.
Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya
seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban yang
lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu
ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak,
serta menurut keadaan.
Pasal 1371 KUH Perdata
Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena
kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-
biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau
cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan
kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan. 6,7
Pasal 1372 KUH Perdata
Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian
kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
Pasal 359 KUHP
Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP
1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-
luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan
atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
19
Etika Profesi Kedokteran
Pasal 361 KUHP
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan,
dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.6 ,7
SOLUSI
Dalam kasus ini, langkah yang harus ditempuh oleh dokter A adalah harus sesuai dan
berdasar pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dimana selain menghargai dan
melayani pasien dengan sebaiknya, juga menjaga hubungan yang baik dengan rekan
sejawatnya. Dokter A dalam menghadapi pasien dan sejawatnya dilandaskan pada etika
kedokteran sbb:
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Setiap dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih
saying dan penghormatan atas martabat manusia
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga
kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien5, 6.
20
Etika Profesi Kedokteran
Dalam kasus ini juga perlu di ingat bahwa pasien bayi ini merupakan pasien dokter B dan
dokter C yang merupakan rekan sejawat kita, kita perlu memberi tahukan kepada dokter C
mengenai kejadian tersebut karena terdapat peraturan yang mengatur mengenai bagaimana
berhubungan dengan rekan sejawat yang tercantum dalam pasal 15 ”Setiap dokter tidak
boleh mengambil alih pasen dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau
berdasarkan prosedur yang etis”.
- Dokter A juga perlu menerangkan kepada ibu pasien mengenai pasal 26 Undang-
undang no. 36 / 2009 tentang kesehatan yang berbunyi “Dalam hal tenaga kesehatan
diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
Artinya, dokter A dan pasien tidak boleh langsung menuntut dokter B dan C dengan tuduhan
kelalaian maupun malpraktik. Dokter A harus terlebih dahulu mengadakan komunikasi
dengan dokter B dan C mengenai kondisi pasien mereka, melakukan pencocokan rekam
medis dan informed consent.
- dokter tidak boleh melarang ibu korban bila berkeinginan untuk menuntut dokter B
dan dokter C bila ibu korban merasa dirugikan atas perasaan dirugikannya akibat
kelalaian medis yang dituduhkan ibu korban kepada dokter B dan dokter C, dokter A
tidak mempunyai hak untuk melarang ibu korban.
PENUTUP
KESIMPULAN
Semua kasus klinis dianggap kelalaian cedera pribadi di bawah hukum. Meskipun,
kelalaian klinis adalah bidang studi khusus di bawah hukum cedera pribadi karena melibatkan
kelalaian profesional yang memerlukan prinsip-prinsip hukum yang berbeda dan aturan
prosedur. Namun, mencari kompensasi dalam hal klaim atas kelalaian medis bukanlah
sederhana dan kerumitan prosedur bebas. Klaim dapat menguntungkan secara finansial hanya
21
Etika Profesi Kedokteran
ketika penderita mampu membuktikan bahwa ia memang menerima perawatan kesehatan di
bawah standar dibandingkan dengan perawatan kesehatan profesional yang kompeten di
bidang yang relevan kedokteran. Kita perlu juga membuktikan di depan hukum bahwa ia
telah menderita kerugian sebagai akibat dari kelalaian medis.
Daftar Pustaka
1. Sampurna B. Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Departemen Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.h.30-2.
2. FK UI. Persetujuan tindakan medic. Dalam : peraturan perundang-undangan bidang
kedokteran. Edisi 1, cetakan ke-2. Jakarta: Bagian Kedokteran forensic FK UI.1994.h
20-23
3. Sampurna B. Syamsu Z, Siswaja TD. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Dalam :
Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi mahasiswa kedokteran dan hukum.
Jakarta: Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2010.h.49-51.
4. Hanafiah M.Jusuf, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta:
EGC.2008
5. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Cetakkan Kedua. Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994
6. Achadiat CM. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta: EGC.2006
7. Kode etik kedokteran Indonesia. Modul Emergency Medicine II. Jakarta: UKRIDA;
2011
22
Etika Profesi Kedokteran
23
Etika Profesi Kedokteran