Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Kesehatan mental merupakan permasalahan yang tak pernah luput dan selalu
menjadi perhatian bagi masyarakat. Banyaknya peningkatan kesehatan mental seperti
peningkatan pasien gangguan jiwa, kejadian bunuh diri, membuat masalah kesehatan
mental tidak bisa diabaikan. Indikator kesehatan mental yang perlu diperhatikan menurut
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam riset kesehatan dasar, tidak hanya
berupa penilaian terhadap gangguan jiwa berat, tetapi juga di fokuskan pada penilaian
terhadap gangguan mental emosional (Kemenkes RI, 2013).

Gangguan mental adalah masalah psikiatri yang paling sering terjadi. Salah satu
bentuk gangguan mental emosional adalah stres. Di Amerika Serikat gangguan mental
emosional berupa stres terjadi pada lebih dari 23 juta individu setiap tahunnya, dengan
prevalensi satu dari empat individu (Stuart, 2006).

Faktor yang menjadi pencetus stres pada Narapidana menurut Tantri (2007)
adalah karna adanya perubahan kehidupan setelah tinggal di penjara. Stres pada
narapidana dapat di picu karna adanya tekanan fisik, psikis, dan sosial yang di alami oleh
narapidana. pelanggaran hukum akan menjadi aib tersendiri baik bagi narapidana,
keluarganya, maupun orang yang berhubungan dengan narapidana tersebut, sehingga
menjadi stressor tersendiri bagi narapida. Salah satu contoh Penyebab stres napi remaja
yaitu kerinduan pada keluarga, kejenuhan di lembaga pemasyarakatan baik karena bosan
dengan makanannya, adanya masalah 4 dengan teman serta rasa bingung ketika
memikirkan masa depannya nanti setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaan bagi Narapidana atau orang-


orang yang melakukan kejahatan. Kasus Narkotika Narapidana tanpa terlebih dahulu
membekalinya dengan pembinaan yang memadai juga akan memperkuat pasar narkotik
dan obat illegal serta menguntungkan para pemasok (pengedarnya).

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk mendidik Narapidana


Narkotika untuk menjadi warga negara yang baik yang kemudian dikembalikan kepada
masyarakat. Pemakai, pengedar dan penjual narkotika dalam perspektif hukum
merupakan seorang pelaku pidana. Namun bila dicermati dengan lebih seksama, banyak
kalangan berpendapat bahwa sebenarnya mereka merupakan korban dari sindikat atau
mata rantai peredaran dan perdagangan narkotika, psikotropika dan obat terlarang.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka ”penghukumannya” pun perlu dilakukan
tersendiri, dengan pola penanganan, pembinaan, dan perlakuan yang berbeda pula.
Karena pemidanaan terhadap pemakai, pengedar dan penjual merupakan salah satu
permasalahan yang selalu menjadi topik yang menarik untuk di bahas, selalu terdapat pro
dan kontrak yang mengiringi pembahasan masalah tersebut. Pemidanaan dapat diartikan
sebagai suatu hukuman yang diberikan kepada seseorang yang melanggar aturan hukum
yang berlaku, dalam hal ini pemakai, pengedar dan penjual narkotika dikatakan sebagai
pelanggar hukum karena telah menyalahgunakan narkotika.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa defenisi dari narapidana korban narkotika ?
2. Bagaimana tingkat kecemasan yang dirasakan narapidana korban narkotika ?
3. Bagaimana dukungan sosail yang diberikan untuk narapidana korban narkotika ?
4. Apa sajakah hambatan pelaksanaan pada korban narkotika ?
5. Apakah factor-faktor yang mempengaruhi narapidana korban narkotika ?
6. Terapi apakah yang dapat diterapkan untuk mengurangi kecemasan pada korban
narkotika ?
1.3 TUJUAN PENULISAN

Agar mahasiswa dapat mengerti, memahami dan mengaplikasikan dari rumasan


masalah diatas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFENISI NARAPIDANA PADA KORBAN NARKOTIKA

Narapidana adalah individu pelaku tindak pidana yang telah di nyatakan


bersalah oleh majelis hakim dan di hukum penjara dalam jangka waktu tertentu
serta di tempatkan dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan sebagai
tempat pelaksanaan hukuman tersebut (Widianti, 2011). Menurut data dari
kepolisian daerah pada tahun 2011 di seluruh provinsi di Indonesia tercatat
sebanyak 347.605 jumlah tindak pidana di seluruh provinsi di Indonesia (Badan
Pusat statistik, 2012).

Dampak menyandang status narapidana merupakan stressor yang berat dalam


kehidupan seseorang, Menurut Bukhori (2009) dan Wijayanti (2010) narapidana yang
menjalani hukuman akan kehilangan kemerdekaan dan kebebasan, adanya ancaman
terhadap pemenuhan kebutuhan fisiologis seperti pemenuhan kebutuhan seksual,
kehilangan hak pribadi, kehilangan rasa aman dan nyaman, kehilangan akses informasi,
kehilangan mendapatkan kebaikan dan bantuan serta akan adanya stigma buruk dari
masyarakat. Narapidana dalam menjalani hukuman berada di lingkungan yang berbeda
budaya sehingga akan timbul perasaan tidak aman dan dituntut untuk mampu
menyesuaikan diri dengan rutinitas lembaga pemasyarakatan yang kaku,
hilangnya privasi, dan mengalami suatu kondisi yang tidak menyenangkan.
Banyaknya perubahan - perubahan dan permasalahan yang dialami narapidana
akan menyebabkan narapidana dalam suatu ketidaknyamanan dan berdampak
pada masalah kesehatan mental seperti kecemasan (Liwarti, 2013).

Faktor yang berpengaruh terhadap kondisi psikososial narapidana adalah


kebermaknaan hidup dan dukungan sosial keluarga yang mungkin merupakan
pelajaran berharga untuk membantu proses kematangan dan memberi sumbangan
kebaikan di masa yang akan datang (Bukhori, 2012). Banyaknya narapidana
pengguna narkotika yang akan keluar dari lembaga pemasyarakatan dan kembali
menjalani kehidupan di masyarakat mempunyai masalah psikososial saat kembali
ke masyarakat. Salah satu masalahnya adalah tidak diterimanya mantan
narapidana pengguna narkotika di masyarakat yang memungkinkan mereka akan
kembali melakukan tindakan kriminal lagi.

penyalahaguna narkotika sebenarnya berkeinginan memperbaiki diri untuk


dapat diterima kembali di masyarakat, namun masa lalunya membuat dirinya
merasa pasrah. Hal ini mereka anggap sebagai takdir yang harus mereka jalani
dan merupakan resiko dari berkecimpung dalam narkotika dan semua perbuatan
yang pernah mereka kerjakan. Resiko ini dianggap juga sebagai konsekuensi dari
sebuah perbuatan. Mereka merasa harus bertanggung jawab atas segala masalah
yang menjadi akibat dari menggunakan narkotika selama ini. Pandangan negatif
yang ada di masyarakat terhadap dirinya merupakan nasib kehidupannya yang
harus mereka tanggung sebagai akibat dari perbuatannya (Thoits, 2015).

Peran perawat jiwa dalam hal ini adalah meningkatkan kepercayaan diri
mantan narapidana untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki dalam
masyarakat sehingga akan mampu merubah persepsi masyarakat terhadapnya.
Keputusasaan yang dialami oleh mantan narapidana bila tidak mendapat
penanganan akan menyebabkan gangguan yang lebih serius. Konseling dapat
diberikan sebagai upaya mengurangi masalah psikososial mantan narapidana yang
dapat menyebabkan kembali ke narkotika sebagai jalan keluarnya dapat
dihindarkan. Pengkajian psikososial terhadap mantan narapidana yang kembali ke
masyarakat merupakan salah satu peran psychiatric forensic nursing sebagai
tindakan tersier untuk mengurangi masalah kejiwaan di masyarakat.
kecemasan merupakan diagnosa keperawatan tertinggi pada
narapidana,Penelitian narapidana di Norwegia yang mengatakan bahwa angka
kecemasan pada narapidana mencapai 30,7%. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh University of South Wales menyatakan bahwa sebanyak 43% narapidana
mengalami kecemasan (Butler dkk., 2005 dikutip dari Naidoo, 2012). Harner
dkk., (2010) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa angka kecemasan pada
narapidana mencapai angka 52%. Menurut Utari (2012) dalam penelitiannya
mengatakan tingkat kecemasan narapidana di lembaga pemasyarakatan Bandung
mencapai 38% kecemasan berat, dan 28% kecemasan sedang dan 34% kecemasan
ringan.

Kecemasan yang dialami narapidana secara berkelanjutan dapat


menimbulkan berbagai dampak seperti mengalami gangguan jiwa dan kejadian
bunuh diri pada narapidana. Menurut data dari the Sub-directorate General for
Prison Health (1998) mengatakan bahwa 6% dari populasi narapidana di penjara
dalam menjalani hukuman mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Pina, dkk., (2006) pada narapidana di Norwegia didapatkan
hasil bahwa, 7% mengalami gangguan kepribadian, 2,5% mengalami gangguan
afektif, 15% mengalami gejala skizofrenia dan 12% beresiko melakukan bunuh
diri. Pembatasan fisik, keadaan terisolasi, pengawasan yang ketat, stress berat,
kuatnya tekanan sosial dari keluarga, dari sesama narapidana, sipir, dan
pemberitaan media massa merupakan stressor yang menjadi penyebab narapidana
melakukan tindakan bunuh diri (Pujileksono, 2009).

2.2 TINGKAT KECEMASAN NARAPIDANA

salah satu tingkat kecemasan yang dapat terjadi pada individu ialah
kecemasan ringan. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari hari (Stuart, 2006), dimana kecemasan ringan akan membuat
individu menjadi waspada, lapang persepsi meningkat, dapat mengidentifikasi
masalah, dan membuat individu mampu bekerja secara efektif. Menurut
Varcarolis (2010).
Kecemasan yang dialami korban narkotika akan mengalami perasaan
negatif ketika kembali ke masyarakat tidak hanya merasa malu dengan
perbuatannya namun juga tidak diberinya kesempatan untuk memperbaiki diri
oleh masyarakat dikarenakan stigma yang diberikan oleh masyarakat. Keadaan ini
menyebabkan mantan narapidana yang berkeinginan untuk diterima kembali ke
masyarakat harus pasrah dengan keadaan tersebut. Perasaan malu ketika
mengetahui tanggapan negatif dari masyarakat membuat mantan narapidana
pengguna narkotika merasa tidak pantas berada di tengah masyarakat. Adanya
kesempatan untuk berbuat baik membuat mantan narapidana merasa dihargai
yang merupakan dukungan moral untuk kembali ke masyarakat.

kecemasan ringan dapat menimbulkan gejala fisik berupa merasa kurang


nyaman, gelisah, mudah tersinggung, serta adanya perilaku yang menunjukkan
ketegangan ringan. Gejala fisik diatas, berdasarkan identifikasi jawaban respoden
juga ditemukan dalam penelitian ini, dimana 64,55% narapidana yang mengalami
kecemasan ringan menyatakan tidak merasa tenang dan tidak dapat duduk
istirahat dengan mudah, 54,85% narapidana menyatakan merasa mudah marah
selama berada di lembaga pemasyarakatan, 50,6% narapidana mengatakan lebih
gugup dan cemas dari biasanya selama berada di lembaga pemasyarakatan.

Narapidana di lembaga pemasyarakatan berada pada usia dewasa awal.


Berdasarkan hal diatas dapat dinyatakan bahwa usia merupakan salah satu factor
yang mempengaruhi kecemasan. Narapidana dengan usia dewasa awal memiliki
kemampuan yang efektif dan konstruktif dalam menyelesaikan masalah sehingga
memiliki memilki kecemasan ringan Kecemasan ringan yang dialami narapidana
di lembaga pemasyarakatan dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, karena
sebagian besar (94,5%) narapidana berjenis kelamin laki-laki.

Berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan perbandingan kecemasan


ringan yang dialami responden laki-laki dan perempuan ialah 1: 3, sementara
perbandingan untuk kecemasan sedang yang dialami antara responden laki-laki
dan perempuan ialah 1: 4 bahwa perbandingan kecemasan antara Laki laki dan
perempuan ialah 1: 2. Hal diatas senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
University Of South Wales yang menyatakan bahwa masalah kecemasan pada
narapidana lebih rendah tingkat kejadiannya pada laki-laki dibanding perempuan
yaitu 1: 2. Menurut Patel (2012) laki-laki memiliki tingkat kecemasan yang lebih
rendah dari pada perempuan, karena adanya pengaruh hormone estrogen dan
progesterone yang menyebabkan perempuan lebih cemas dari laki-laki. Menurut
Goleman (2001 dikutip dari Hidayah, 2010) Laki-laki lebih aktif, eksploratif,
berfikir lebih rasional, lebih optimis, mudah beradaptasi, dan lebih baik dalam
menangani stressor, dibandingkan dengan wanita yang cenderung lebih sensitive,
dan emosional.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kecemasan ringan yang dialami


narapidana di lembaga pemasyarakatan ialah tingkat pendidikan, berdasarkan
hasil penelitian didapatkan lebih dari separuh (53,2%) narapidana di lembaga
pemasyarakatan memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Tingkat
pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap kemampuanberfikir, dimana
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin mudah berfikir
rasional dan menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah
baru (Stuart & Sundeen, 2005). Berdasarkan hal diatas data diketahui bahwa
tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kecemasan, semakin tinggi tingkat
pendidikan yang dimiliki individu maka semakin tinggi pula pengetahuanya
sehingga akan berpengaruh terhadap perilaku individu tersebut, termasuk dalam
menggunakan koping yang konstruktif dalam menyelesaikan masalah maka
menurunkan tingkat kecemasan.

Kecemasan sedang dimanifestasikan dengan gej ala seperti berkeringat,


nadi dan tekanan darah meningkat, gangguan lambung, sakit kepala, gangguan
berkemih, suara bergetar, insomnia, dan mudah tegang (Varcarolis, 2010).
Narapidana hampir sebagian waktu tidak pernah merasa semuanya baik-baik saja
dan merasa akan ada hal buruk yang akan terjadi, 73,83% narapidana
menyatakanselama berada di lembaga pemasyarakatan tangannya tidak pernah
kering dan hangat, dan 69,62% narapidana menyatakan tidak dapat tertidur dan
istirahat malam dengan mudah.
Kecemasan sedang narapidana Hal ini sejalan dengan penemuan
penelitian sebelumnya yaitu penelitian kualitatif di Inggris yang menghasilkan
temuan bahwa lamanya masa hukuman didalam penjara menyebabkan
menurunnya status kesehatan mental yang mengarah kepada munculnya gejala
marah, frustasi, dan kecemasan. Hal ini diungkapkan oleh Bukhori (2009) yang
menyatakan bahwa ketidaksehatan mental bisa dialami oleh semua orang
termasuk narapidana yang hidup dalam kamar hunian dalam waktu yang cukup
lama, bisa beberapa tahun, puluhan tahun bahkan seumur hidup. Berdasarkan
identifikasi jawaban respoden, didapatkan 87% narapidana yang tidak mengalami
kecemasan tidak pernah merasa akan pingsan selama berada di lembaga
pemasyarakatan, 76% narapidana tidak pernah merasa jari jari tangan dan kaki
mati rasa dan kesemutan, 69% narapidana tidak penah merasa tangan dan kaki
gemetar selama berada di lembaga pemasyarakatan, 68% narapidana menyatakan
tidak pernah merasa wajah terasa panah dan merah dan. Hal ini menggambarkan
bahwa narapidana mempunyai koping yang adaptif dan konstruktif, mampu
menerima keadaan yang dialaminya serta mampu melakukan adaptasi dan
menyesuaikan diri dengan kondisi dan lingkungan yang ada di lembaga
pemasyarakatan.

2.3 DUKUNGAN SOSIAL NARAPIDANA

Menurut Yanita (2001, dikutip dari Hasyim 2009) bentuk dukungan sosial
terdiri dari dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental,
dan dukungan informative. Dukungan emosional mencakup ungkapan empati,
kepedulian, perhatian kepada seseorang, dukungan penghargaan terjadi melalui
ungkapan hormat atau penghargaan positif pada seseorang untuk membangun
perasaan yang lebih baik terhadap diri seseorang tersebut, dukungan instrumental
berupa bantuan langsung seperti memberi pinjaman uang, sedangkan dukungan
informative mencakup pemberian nasihat, saran, sugesti, informasi, petunjuk
mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh individu tersebut.
Dukungan sosial diperlukan narapidana dalam menjalani hukuman.
Dukungan sosial yang diterima dapat membantu narapidana merasa tenang,
diperhatikan, dicintai, dan menimbulkan rasa percaya diri (Nur & Shanti, 2010).
Adanya dukungan sosial akan membantu narapidana dalam menangani masalah
pribadi dan sosial serta dapat mengatasi masalah kesehatan mental yang rentan
terjadi pada narapidana seperti kecemasan (Balogun, 2014).

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya dukungan sosial yang


diterima narapidana di lembaga pemasyarakatan karena pemberi dukungan sosial
itu sendiri, dimana pemberi dukungan sosial harus berasal dari orang orang
terdekat dan berhubungan dengan narapidana dengan. Dimana dalam penelitian
ini dukungan sosial berasal dari orang terdekat dan berhubungan dengan
narapidana yaitu keluarga, teman dan petugas lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan hal di atas dapat dinyatakan bahwa narapidana mendapatkan
dukungan sosial yang tinggi selama menjalani hukuman karena dukungan yang
diterima berasal dari orang orang disekitarnya.

2.4 HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN NARAPIDANA PADA


KORBAN NARKOTIKA
Setiap Lapas Narkotika pasti akan mengahadapi suatu hambatan atau
kendala yang dapat menggangu berjalannya proses pembinaan yang dilaksanakan
di dalam Lapas tersebut. Demikian halnya juga dengan Lapas Narkotika Klas IIA
Yogyakarta ini mempunyai hambatan atau kendala, baik dari dalam maupun dari
luar Lapas, pada waktu melaksanakan proses pembinaannya terhadap narapidana.
Dalam melaksanakan suatu pembinaan, tidaklah terlepas dari hambatan-hambatan
yang ada. Disini mencoba untuk mengklasifikasikan hambatan dalam proses
pembinaan yang didapat dari wawancara, hambatan tersebut antara lain yakni:
1. Kurangnya Kualitas dan juga Kuantitas Petugas dari Lapas Narkotika Klas II
A Yogyakarta. Marasidin Siregar (Wawancara Senin, 14 Januari 2013) selaku
Kalapas menyatakan Jumlah petugas pada umumnya sudah memenuhi untuk
melakukan pembinaan, namun untuk ahli tenaga medis masih sangatlah
kurang. Lapas narkotika hanya memilik 2 orang dokter dan juga 2 orang
perawat, sehingga masih sangat kurang dibandingkan dengan jumlah
narapidana yang mencapai 200 orang lebih. Tenaga medis sangat dibutuhkan
dalam proses pembinaan di Lapas Narkotika karena para narapidana sangat
rentan terhadap penyakit. Untunglah saja, Lapas ini bekerjasama dengan RS.
Grasia dan juga RS. Sardjito dalam bidang medis sehingga masih dapat
mengantisipasi bila terjadi masalah-masalah yang berhubungan dengan
kesehatan.
2. Faktor Sarana dan Prasarana. Kurangnya sarana dan juga prasarana dalam
bidang olahraga karena hanya terdapat dua lapangan yang cukup kecil, yang
satu digunakan untuk kegiatan upacara dan bola voly, dan yang mana satunya
dipergunakan untuk kegiatan olahraga badminton dan futsal. Menurut Rudi
Purnama yang merupakan salah satu Warga Binaan mengungkapkan, “Iya
mas kalo ada yang ingin main futsal itu harus tunggu yang main badminton
selesai dulu, jadi gantian-gantian...” (Wawancara Senin, 14 Januari 2013,
dengan Bimaswat Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta). Serta kurangnya
lahan untuk program kemandirian dimana hanya disediakan bengkel kerja,
lahan perkebunan, dan perikanan yang kurang memadai, sebab masih banyak
program kemandirian yang akan direncanakan untuk masa mendatang namun
belum memiliki cukup lahan untuk terealisasikannya program tersebut seperti,
bengkel motor dan gypsum. Seperti yang diungkapkan oleh Syawaldi selaku
Kepala Seksi Kegiatan Kerja (Wawancara Jumat, 18 Januari 2013 di Bengkel
Kerja Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta), yaitu rencananya akan ada
kegiatan kerja baru, ada bengkel motor dan pembuatan gypsum, alat-alatnya
sudah ada tapi belum tau tempatnya dimana mas, bengkel kerjanya tidak
begitu luas.
3. Faktor dari pihak Pemerintah. Pembinaan narapidana tidak hanya
tanggungjawab dari Lapas saja melainkan juga tanggungjawab bersama antara
Lapas, pemerintah, dan juga masyarakat. Disinilah peran pemerintah sudah
cukup baik namun masih kurang dalam hal belum dibuatnya suatu pengaturan
khusus tentang Lapas narkotika, sehingga pembinaan di Lapas Narkotika
masih bertumpu pada UndangUndang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, dimana undang-undang ini masih bersifat umum.
4. Faktor dari para Narapidana. Menurut Marasidin Siregar selaku Kalapas,
dalam pelaksanaan program pembinaan faktor penghambat itu juga bisa
berasal dari narapidananya. Tidak sedikit narapidana yang kurang sadar
terhadap pentingnya pembinaan ini dikarenakan sifat mereka yang cenderung
malas. Kebanyakan dari mereka itu berasal dari kalangan orang-orang yang
mampu, mereka seakan bermalas malasan dan tidak begitu tertarik dengan
program pembinaan (Wawancara Jumat, 18 Januari 2013 di Bengkel Kerja
Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta). Disamping itu juga kadang-kadang
ada Warga Binaan yang berselisih dengan Warga Binaan lain sehingga
menimbulkan keributan. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan reward and
punishment. Narapidana yang memiliki kelakuan baik akan mendapatkan
penghargaan yaitu seperti, mendapatkan pembebasan bersyarat dan cuti
menjelang bebas. Untuk narapidana yang melanggar tata tertib itu akan
mendapatkan punishment.
5. Faktor Masyarakat. Para masyarakat itu seharusnya juga ikut berpartisipasi
dalam pelaksanaan pembinaan karena tujuan utama dalam pembinaan ini
adalah narapidana ini bisalah diterima lagi oleh masyarakat. Namun harapan
itu tidak selalu sesuai dengan kenyataan, hanya sedikit saja masyarakat yang
ingin berpartisipasi selebihnya mereka hanya bersikap acuh terhadap
narapidana. Padahal yang dibutuhkan oleh narapidana ini adalah perhatian
dari sekeliling daerah lingkungannya. Menurut Marasidin Siregar selaku
Kalapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta: Ada beberapa kelompok kecil
masyarakat yang bersedia membantu program pembinaan, namun kebanyakan
masyarakat ini masih acuh (Wawancara hari Senin, pada tanggal 14 Januari
2013 dengan Kepala Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta).
6. Faktor Dana. Faktor penghambat ini akan terjadi di hampir semua Lapas di
Indonesia, memang untuk membuat suatu program pembinaan bagi
narapidana itu tidaklah membutuhkan biaya yang sedikit, ketiadaan suatu
anggaran biaya akan sangat mempengaruhi jalannya proses pembinaan
narapidana karena hampir semua hambatan di dalam keseluruhan proses
pembinaan itu terbentur dalam hal anggaran dana atau biaya. Marasidin
Siregar, selaku Kalapas mengungkapkan, pada prinsipnya setiap program
pastinya memerlukan dana. Tidak terlepas dalam pelaksanan pembinaan ini
yang juga memerlukan dana. Dengan dana yang terbatas membuat Lapas ini
mencari jejaring untuk mendapatkan sponsor. Tidak banyak yang bisa
membantu, sehingga membuat petugas harus ekstra efisien dalam
menggunakan dana (Wawancara Senin, 14 Januari 2013 dengan Kepala Lapas
Narkotika Klas IIA Yogyakarta.

2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NARAPIDANA

PENGGUNA NARKOTIKA

1) Perasaan Bersalah Terhadap Keluarga Partisipan mengungkapkan bahwa


dirinya merasa bersalah terhadap keluarga atas perbuatannya. Maksud dari
tema ini adalah partisipan merasa mempunyai salah selama ini terhadap
keluarga, seperti perasaan berdosa terhadap orang tua dan belum
membahagiakan anak dan istri. Perasaan berdosa terhadap orang tua,
partisipan selama ini merasa berdosa karena belum bisa membahagiakan
orang tuanya sehingga partisipan salah satunya berkeinginan untuk membuat
orang tua bisa hidup tenang di masa tuanya. Selama ini partisipan
menggunakan narkotika dan menjadi beban pikiran oran tua. Setelah kembali
ke masayarakat untuk yang terakhir kali dari lembaga pemasyarakatan,
partisipan tidak ingin meneruskan menggunakan narkotika.
2) Berserah Diri Menerima Keadaan Partisipan mengungkapkan bahwa dirinya
pasrah menerima keadaan. Definisi pasrah menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI, 2015) adalah suatu keadaan dari seseorang untuk
menyerahkan sepenuhnya. Pada tema ini yang dimaksud dengan pasrah adalah
partisipan menyerahkan sepenuhnya tanggapan masyarakat atas keberadaan
dirinya. Tema itu didapat dari beberapa sub tema seperti berikut: Menerima
takdir, dua partisipan mengatakan bahwa semua hal yang saat ini dialami
merupakan takdir (ketetapan tuhan) atau nasib (sesuatu yang telah ditetapkan
oleh tuhan atas diri seseorang) (KBBI, 2015) yang harus dijalani sehingga
mereka siap menanggung risiko apapun dan partisipan mengartikan dengan
garis hidup.
3) Mendapat Dukungan Moral dari Keluarga, Teman dan Lingkungan untuk
Menjadi Baik Moral yang berati bantuan yang berupa sokongan batin yang
bukan berupa barang atau uang diterima (KBBI, 2015) oleh partisipan.
Partisipan merasa mendapatkan dukungan tersebut dari keluarga, teman dan
lingkungan. Mereka mengungkapkan bahwa dirinya “mendapat dukungan
moral untuk memperbaiki diri” tersebut seperti berikut: Mendapat dukungan
moril dari keluarga, salah satu partisipan mendapatkan dukungan dari
keluarga berupa kepercayaan untuk bertanggung jawab dengan apa yang
dikerjakan. Sehingga setelah mendapatkan permasalahan seperti ini, partisipan
harus berani mempertanggungjawabkannya. Selain itu pada dua partisipan
yang lain mendapat dukungan moril dari orang tua berupa saran dan nasihat
untuk berhenti menggunakan narkotika.

Mendapat dukungan moral dari teman dan tetangga yang berupa saran-saran
dari tetangga serta penghargaan dari tetangga dan mendapat bantuan dan
dukungan dari teman-temannya dalam mencari pekerjaan. Selain itu tidak
adanya teman yang mengungkit permasalahan masa lalunya membuat
partisipan merasa harus siap untuk kembali ke masyarakat.

4) Malu Terhadap Perbuatan yang Pernah Dijalani Partisipan mengungkapkan


bahwa dirinya “malu terhadap perbuatan yang pernah dijalani”. Perasaan malu
ini dirasakan oleh partisipan dimana maksud dari malu adalah merasa tidak
enak hati karena telah berbuat sesuatu yang kurang baik di masyarakat (KBBI,
2015) seperti berikut: Minder, partisipan merasa rendah diri (KBBI, 2015)
atau tidak percaya diri bergaul dengan tetangga, selain itu adanya perilaku dari
tetangga yang tampak memperbincangkan dirinya yang dirasakan oleh
partisipan membuat bahwa dirinya merasa rendah diri.
5) Merasa Tidak Pantas Di tengah Masyarakat Partisipan mengungkapkan bahwa
dirinya merasa tidak pantas hidup atau berada di tengah masyarakat seperti:
merasa tidak berharga, pertisipan merasa kalau dirinya tidak berharga di
masyarakat seperti dilihat saja tidak pantas. Merasa sebagai orang yang paling
hina sehingga merasa seperti orang buangan. Partisipan merasa dirinya sudah
tidak pantas lagi untuk dilihat orang lain yang berada pada lingkungan
tersebut karena partisipan merasa paling rendah derajatnya. Sehingga
partisipan mengungkapkan dengan kata-kata “mburuhne” (bahasa Jawa) yang
berarti mempekerjakan orang lain untuk melakukan suatu kegiatan yang tidak
ingin dilakukan dengan memberikan sejumlah imbalan uang kepada orang
yang melakukannya.
6) Diberi Kesempatan untuk Berbuat Baik Partisipan mengungkapkan bahwa
dirinya “diberi kesempatan untuk berbuat baik” seperti berikut: Diberi
kepercayaan lagi di masyarakat, partisipan mendapatkan kembali
pekerjaannya seperti yang dulu karena ajakan dan kepercayaan teman akan
kemampuannya sehingga membuat partisipan merasa dihargai dan percaya
diri untuk kembali ke masyarakat. Kesempatan untuk berpikir berubah, ajakan
untuk mengikuti kegiatan keagamaan dirasakan oleh partisipan sebagai salah
satu moment untuk merenung arti kehidupannya. Hal ini tersirat dalam
kutipan
7) Merasa Tidak Diberi Kesempatan untuk Berbuat Baik Partisipan
mengungkapkan bahwa dirinya “merasa tidak diberi kesempatan untuk
berbuat baik” seperti berikut: Disepelekan tetangga, perasaan disepelekan
karena partisipan sudah berusaha untuk memperbaiki diri dengan mengikuti
kegiatan di kampung namun ada beberapa sindiran yang diartikan
menyepelekan oleh partisipan, selain itu ada partisipan yang menyatakan
bahwa ada perkataan tetangga tidak menyenangkan yang menurutnya adalah
tidak percaya dirinya telah berubah. Partisipan merasa bahwa tetangganya
merasa cemas dan kurang percaya bila dirinya telah meninggalkan narkotika.
8) Tidak Mempunyai Keinginan untuk Kembali Ke Narkotika Semua partisipan
ternyata “tidak mempunyai keinginan untuk kembali ke narkotika”, alasan
dari partisipan untuk meninggalkan narkotika berbedabeda seperti berikut:
Berniat untuk berhenti, partisipan menyatakan bahwa keinginan untuk
berhenti berawal dari diri sendiri walaupun ada dukungan untuk berhenti dari
orang lain bila tidak ada niatan yang kuat untuk meninggalkan narkotika maka
akan sulit terbebas. Partisipan meyakini dan membuktikan bahwa dengan niat
yang kuat maka akan dapat meninggalkan narkotika.
Keinginan untuk tidak memakai narkotika, partisipan setelah merasa terbebas
dari narkotika maka mereka berusaha untuk menunjukkan kepada orang lain
bahwa dirinya telah terbebas. Hal ini dilakukan untuk menghindari ajakan
atau merupakan usaha dari partisipan agar orang lain tidak lagi mengajak
untuk menggunakan narkotik.

2.6 TERAPI UNTUK MENGURANGI KECEMASAN NARAPIDANA PADA


KORBAN NARKOTIKA

Acceptance dan Commitment Therapy Acceptance dan Commitment


Therapy (ACT) merupakan suatu terapi yang bertujuan untuk meningkatkan
aspek psikologi yang lebih fleksibel atau kemampuan untuk menjalani perubahan
yang terjadi saat ini dengan lebih baik (Hayes, 2007). Dalam ACT, klien diajak
untuk tidak menghindari tujuan hidupnya, meskipun dalam upaya untuk
mencapainya akan ditemukan pengalaman-pengalaman yang tidak
menyenangkan. Menurut Stroshal (2002), tujuan ACT adalah :

1. Membantu klien menggunakan pengalaman langsung untuk mendapatkan


respon yang lebih efektif dan tetap bertahan dalam hidupnya.
2. Mampu mengontrol penderitaan yang dialaminya
3. Menyadari bahwa penerimaan dan kesadaran merupakan upaya alternative
untuk tetap bertahan dalam kondisi yang dihadapinya
4. Menyadari bahwa penerimaan akan terbentuk oleh adanya pikiran dan apa
yang diucapkan
5. Menyadari bahwa diri sendiri sebagai tempat penerimaan dan
berkomitmen melakukan tindakan yang akan dihadapi
6. Memahami bahwa tujuan dari suatu perjalan hidup adalah memilih nilai
dalam mencapai hidup yang lebih berharga.
Terapi ACT dapat digunakan dalam menangani masalah : Kecemasan,
menangani masalah penyakit kronik,Gangguan pola kebiasaan, Masalah
psikotik.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Kesehatan mental merupakan permasalahan yang tak pernah luput dan


selalu menjadi perhatian bagi masyarakat. Banyaknya peningkatan kesehatan
mental seperti peningkatan pasien gangguan jiwa, kejadian bunuh diri, membuat
masalah kesehatan mental tidak bisa diabaikan. Indikator kesehatan mental yang
perlu diperhatikan menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam riset
kesehatan dasar, tidak hanya berupa penilaian terhadap gangguan jiwa berat,
tetapi juga di fokuskan pada penilaian terhadap gangguan mental emosional
(Kemenkes RI, 2013).

Kecemasan yang dialami narapidana secara berkelanjutan dapat


menimbulkan berbagai dampak seperti mengalami gangguan jiwa dan kejadian
bunuh diri pada narapidana. Menurut data dari the Sub-directorate General for
Prison Health (1998). Dukungan sosial diperlukan narapidana dalam menjalani
hukuman. Dukungan sosial yang diterima dapat membantu narapidana merasa
tenang, diperhatikan, dicintai, dan menimbulkan rasa percaya diri (Nur & Shanti,
2010). Adanya dukungan sosial akan membantu narapidana dalam menangani
masalah pribadi dan sosial serta dapat mengatasi masalah kesehatan mental yang
rentan terjadi pada narapidana seperti kecemasan (Balogun, 2014).

Peran perawat jiwa dalam hal ini adalah meningkatkan kepercayaan diri
mantan narapidana untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki dalam
masyarakat sehingga akan mampu merubah persepsi masyarakat terhadapnya.
Keputusasaan yang dialami oleh mantan narapidana bila tidak mendapat
penanganan akan menyebabkan gangguan yang lebih serius. Konseling dapat
diberikan sebagai upaya mengurangi masalah psikososial mantan narapidana yang
dapat menyebabkan kembali ke narkotika sebagai jalan keluarnya dapat
dihindarkan. Pengkajian psikososial terhadap mantan narapidana yang kembali ke
masyarakat merupakan salah satu peran psychiatric forensic nursing sebagai
tindakan tersier untuk mengurangi masalah kejiwaan di masyarakat.

4.2 SARAN

kita Sebagai mahasiswa harus tahu bagaiman cara penangan pada


narapidana khusunya pada kasus korban narkotika, agar tidak banyak didapatkan
kasus korban dalam narkotika. Jadi kami berharap dengan adanya makalah ini
dapat membantu dan memahami apa saja yang dimaksud dengan narapidana dan
bagaimana asuhan keperawatan yang harus kita berikan pada pasien korban
narkotika.

Anda mungkin juga menyukai