Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS INTEGRASI DAN DISINTEGRASI TIMOR TIMUR

Timor Timur, wilayah yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia, kini telah
menjadi sebuah negara yang bernama "Timor Leste". Timor Timur awalnya merupakan
wilayah jajahan Portugal hingga tahun 1975. Kemudian berintegrasi dengan Indonesia sesuai
dengan keinginan mayoritas rakyat Timor Timur saat itu. Selama Timor Timur berintegrasi
dengan Indonesia, rakyat Timor Timur jauh lebih sejahtera dan lebih maju dibandingkan
masa penjajahan Portugis dan setelah melepaskan diri dari NKRI. Timor Timur akhirnya
lepas dari NKRI setelah diadakan referendum yang penuh kecurangan pada tahun 1999. Saat
ini Timor Leste menjadi negara termiskin ke-7 di dunia.

A. Masa Kolonial Portugis

Bangsa Portugis menjajah Timor Timur selama kurang lebih 450 tahun. Rakyat Timor
Timur hidup dalam kemiskinan, sebagian besar rakyat buta huruf, dan penuh diskriminasi
bahkan dalam pendiskriminasian penduduk pribumi dilarang menginjak jalan aspal. Sebuah
diskriminasi yang dapat dinilai keterlaluan. Hanya ada sedikit sekali lulusan akademi yang
dihasilkan bangsa Portugis selama menjajah Timor Timur. Orang-orang pada umumnya
hanya tahu Ir. Mario Viegas Carrascalao. Alfred Russel Wallace, seorang naturalis dan
ilmuwan, di tahun 1861 pernah mencatat kondisi kota Dili sebagai pusat administrasi Timor
Portugis : "Tempat paling miskin bahkan dibandingkan kota-kota termiskin di Hindia
Belanda sekalipun. Tak ada tanda-tanda orang bercocok tanam atau peradaban di sekitarnya."
Bisa dikatakan nasib bangsa Indonesia ketika dijajah Belanda lebih beruntung walaupun yang
namanya penjajahan selalu tidak enak.

Pemberlakuan pemberian finta (upeti) kepada pemerintah kolonial Portugis menimbulkan


kebencian di antara para liurai (raja setempat) dan pernah timbul perlawanan pada tahun
1710. Pemberontakan tahun 1710 ini memaksa orang-orang Portugis memindahkan pusat
administrasi kolonialnya dari Lifau ke Dili untuk seterusnya sampai orang-orang Portugis
hengkang dari bumi Lorosae pada tahun 1975. Pada tahun 1859, gubernur Timor Portugis
Afonso de Castro membuat kebijakan tanam paksa yakni tanaman untuk diekspor khususnya
kopi. Kebijakan yang menyengsarakan rakyat ini kembali menimbulkan perlawanan terhadap
penjajah Portugis yang dipimpin oleh para liurai pada tahun 1861. Sistem kerja paksa
kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jose Celestino da Silva dalam bentuk pembangunan
jalan. Di tahun 1908, Gubernur da Silva juga mengganti finta dengan pajak kepala.
Perlawanan liurai yang terbesar dan terakhir adalah perlawanan yang dipimpin oleh Dom
Boaventura (liurai Manufahi). Dom Boaventura melanjutkan perlawanan ayahnya, Dom
Duarte, yang dipaksa menyerah di tahun 1900. Ia mulai mengadakan perlawanan di tahun
1911. Pemerintah kolonial Portugis mengerahkan pasukan pribumi Timor Portugis ditambah
pasukan yang didatangkan dari Afrika Timur Portugis (sekarang Mozambik). Perlawanan
berhasil ditumpas pada tahun 1912. Diperkirakan 25 ribu orang tewas selama kampanye
militer menumpas perlawanan Dom Boaventura. Sang liurai ditangkap dan diasingkan ke
Pulau Atauro sampai akhir hidupnya. Kemudian pemerintah Timor Portugis memberikan
kewenangan langsung kepada suco (desa) sebagai pemerintahan lokal. Dengan demikian,
kekuasaan dan pengaruh para liurai menjadi kecil dan penjajah Portugis dapat mengontrol
secara langsung hingga ke pedalaman.

Pada tahun 1974, di Portugal terjadi Revolusi Bunga (atau disebut juga Revolusi Anyelir)
yang mendorong Portugal mengeluarkan kebijakan dekolonisasi dan mulai meninggalkan
wilayah jajahannya termasuk Timor Timur. Partai-partai politik mulai berdiri di Timor Timur
: APODETI, FRETILIN, UDT, TRABALHISTA, KOTA. UDT (Uniao Democratica
Timorense) menginginkan Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal.
APODETI (Associacao Popular Democratica Timorense) menginginkan Timor Timur
berintegrasi dengan Indonesia. FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor Leste
Independente) menginginkan Timor Timur merdeka sebagai sebuah negara berdaulat.
Ketiganya merupakan tiga partai terbesar. Dua partai kecil lainnya, KOTA (Klibur Oan
Timor Aswain) menginginkan pemerintahan tradisional yang fokus pada
kepemimpinan liurai sedangkan TRABALHISTA yang didukung oleh komunitas Tionghoa
dan Arab hanya menginginkan perubahan yang terkendali. Secara garis besar, dua partai kecil
ini sejalan dengan cita-cita APODETI.

Kerusuhan dan pertumpahan darah merebak ke seluruh bumi Lorosae. Dari sisi kekuatan
senjata, FRETILIN merupakan fraksi yang terkuat sebab mendapat dukungan dari pasukan
pribumi militer Timor Portugis. Pasukan FRETILIN memberikan perlawanan yang hebat
baik terhadap pasukan UDT maupun pasukan APODETI. UDT akhirnya memutuskan untuk
meninggalkan tujuan utamanya memertahankan Timor Timur berada di bawah Portugal dan
bersatu dengan APODETI untuk menghadapi FRETILIN. FRETILIN membantai puluhan
ribu rakyat yang menginginkan Timor Timur bergabung dengan Indonesia termasuk beberapa
tokoh APODETI. Gubernur Timor Portugis waktu itu (gubernur terakhir), Mario Lemos
Pires, yang seharusnya bertanggung jawab memulihkan ketertiban dan keamanan justru
mengevakuasi sebagian besar pasukan Portugis ke Pulau Atauro dan membiarkan koloni
Portugal tersebut dalam kekacauan.

FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan memroklamirkan kemerdekaan Timor


Timur pada tanggal 28 November 1975. APODETI, UDT, TRABALHISTA, dan KOTA
segera mengadakan proklamasi tandingan di Balibo pada tanggal 30 November 1975 yang
menyatakan bahwa Timor Timur menjadi bagian dari NKRI. Naskah proklamasi tersebut
ditandatangani oleh Arnaldo dos Reis Araujo (ketua APODETI) dan Francisco Xavier Lopes
da Cruz (ketua UDT). Pernyataan sikap politik keempat partai diiringi dengan persiapan
pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar
40 ribu orang. Dari perbatasan NTT, pasukan yang terdiri dari para pengungsi ini kembali ke
Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan FRETILIN secara bergerilya. Tak lama
kemudian, TNI datang dan membebaskan Timor Timur dari kebiadaban FRETILIN. Upaya
pembebasan itu dikenal dengan nama Operasi Seroja.

B. Masa Integrasi dengan Indonesia

Gabungan partai yang pro integrasi membentuk PSTT (Pemerintahan Sementara Timor
Timur) dan mengangkat Arnaldo dos Reis Araujo sebagai gubernur pertama serta Francisco
Xavier Lopes da Cruz sebagai wakil gubernur. Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27
Indonesia setelah disahkannya UU no. 7 tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor
Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Timor Timur menjadi provinsi yang
paling unik karena provinsi Indonesia lainnya merupakan bekas wilayah jajahan Belanda,
Timor Timur merupakan satu-satunya provinsi Indonesia bekas wilayah jajahan Portugal.
Presiden Soeharto menyebut bersatunya Timor Timur sebagai "kembalinya anak yang
hilang".

Berbagai infrastruktur mulai dibangun di provinsi termuda itu, mulai dari jalan beraspal
hingga bandara. Bangunan sekolah mulai dari tingkat SD hingga universitas dibangun di
Timor Timur. Bandara Komoro (sekarang Bandara Nicolau Lobato) dibangun di Dili
sehingga berbagai pesawat dapat mendarat dan terbang ke dan dari Timor Timur. Banyak
subsidi dari dana APBN dicurahkan untuk memajukan provinsi termuda ini. GNP per kapita
Timor Timur sebesar $1500 semasa integrasi. Presiden Soeharto juga memerintahkan
pembangunan patung Kristus Raja yang menjadi ikon pariwisata Timor Timur dan simbol
toleransi terhadap umat Katolik. Patung itu menjadi patung Yesus Kristus terbesar kedua di
dunia setelah di Rio de Janeiro. Adalah suatu hal yang unik jika salah satu negara mayoritas
Muslim terbesar memiliki patung Yesus Kristus terbesar kedua di dunia. Almarhum presiden
kedua kita juga memerintahkan pendirian Monumen Integrasi berbentuk liurai dengan borgol
yang terputus di kedua tangan untuk memeringati perjuangan heroik rakyat Timor Timur dari
penjajahan Portugis hingga bersatu dengan Indonesia.

Para transmigran berdatangan untuk menggerakkan roda perekonomian Timor Timur.


Para guru dan dokter didatangkan sehingga tingkat kesehatan dan pendidikan rakyat Timor
Timur meningkat dengan cepat dibanding masa kolonial Portugis. Penggunaan bahasa
Portugis dihapuskan dan diganti bahasa Indonesia untuk mengintegrasikan masyarakat Timor
Timur dengan masyarakat Indonesia lainnya. Namun masyarakat Timor Timur tidak begitu
terkejut dengan penggunaan bahasa Indonesia berkat jasa-jasa para tokoh APODETI yang
dulu memromosikan bahasa Indonesia ke masyarakat Timor Timur. Tidak sedikit putra-putri
Timor Timur yang melanjutkan studi hingga ke Pulau Jawa khususnya di Yogyakarta.
Walaupun pihak separatis terus "menggonggong" menuduh TNI melakukan pembantaian
terhadap orang-orang Timor Timur, ternyata ada banyak putra asli Timor Timur yang turut
mengabdi menjadi prajurit TNI.

Namun PBB tidak pernah mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Setelah
mencairnya Perang Dingin, Amerika Serikat dan Australia yang dulu mendukung Indonesia
untuk segera menyatukan Timor Timur kini menjegal Indonesia dengan berbalik menuduh
Indonesia telah menduduki Timor Timur dan melakukan pelanggaran HAM berat. Suatu
tindakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia. Australia dan Portugal membantu
perjuangan diplomasi FRETILIN dan CNRT (Conselho Nacional de Resistencia Timorense,
partai pecahan FRETILIN) sedangkan Indonesia harus berjuang sendiri. Untungnya ada
beberapa negara mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia yaitu negara-negara
ASEAN, Argentina, Arab Saudi, Irak, dll. Mengapa Australia dengan begitu munafik
mendukung kemerdekaan Timor Timur? Karena Australia ingin menguasai ladang minyak di
Celah Timor (Timor Gap). Australia dahulu mendukung proses integrasi Timor Timur ke
Indonesia hanya karena takut bahaya komunis akan mencapai garis depan Australia jika
Timor Leste merdeka sebab FRETILIN beraliran komunis.

Gerakan separatis semakin kuat dan kekacauan terjadi di seluruh Timor Timur. Untuk itu,
ABRI segera membentuk berbagai kelompok milisi pro integrasi yang terdiri dari putra-putra
asli Timor Timur. Nama-nama kelompok milisi yang dibentuk : Gadapaksi (Garda muda
penegak integrasi), BMP (Besi Merah Putih), Saka, Sera, Mahidi (Mati hidup dengan
Indonesia), Makikit, Halilintar, dll. Komando tertinggi kelompok-kelompok milisi tersebut
berada di tangan Joao da Silva Tavares selaku panglima PPI (Pejuang Pro Integrasi). Para
milisi siap menyerang pemberontak FALINTIL (Forcas Armadas da Libertacao Nacional de
Timor Leste, sayap militer CNRT) dan para pendukung kemerdekaan dan menghancurkan
tempat-tempat yang dianggap milik para pendukung kemerdekaan demi memertahankan
integrasi. Salah satu aksi para milisi yakni mengepung dan menghancurkan rumah seorang
tokoh CNRT, Manuel Viegas Carrascalao, sebab selama ini rumah tersebut dipakai untuk
menampung 124 pendukung kemerdekaan. Di satu sisi, para pendukung kemerdekaan juga
melakukan hal yang sama kepada para pendukung integrasi. Monumen Pancasila di Vikeke
tidak luput menjadi salah satu sasaran pengrusakan kelompok pro kemerdekaan. Banyak
warga sipil yang mengungsi ke perbatasan NTT untuk menghindari kekerasan yang terjadi di
Timor Timur.

Setelah rezim Orde Baru jatuh, tahun 1999, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie
memutuskan untuk mengadakan referendum. Referendum tersebut penuh dengan kecurangan.
Referendum tersebut berada di bawah tanggung jawab UNAMET (United Nations Mission in
East Timor) dan dipenuhi dengan berbagai kecurangan. Perekrutan local staff diambil hanya
dari orang-orang yang pro kemerdekaan atau yang akan memilih opsi merdeka. Sebagian
besar lokasi TPS terletak di dekat pemukiman masyarakat pro kemerdekaan. Para orangtua
dan saudara yang memiliki anak atau saudara anggota milisi pro integrasi dilarang memilih.
Banyak orangtua yang dipaksa bahkan diancam untuk memilih opsi merdeka. Tanggal 5
Agustus 1999 di Bobonaro, salah seorang anggota UNAMET yang bertugas menerima
pendaftaran berkata : "Kedatangan UNAMET hanya untuk bekerjasama dengan FALINTIL,
bukan dengan Indonesia." Akibat dari ucapan ini, sempat terjadi keributan dengan pihak pro
integrasi. Pernah juga terjadi kejadian di mana beberapa petugas Palang Merah asal Australia
ditangkap karena membawa kartu referendum yang opsi merdeka telah dilubangi. Hasilnya
79% memilih merdeka, 21% memilih tetap bersatu dengan otonomi luas. Pertikaian kembali
pecah pasca referendum karena para pendukung integrasi merasa kesal atas kecurangan yang
terjadi selama referendum. Bagaimanapun Indonesia dengan terpaksa harus mengakui hasil
referendum tersebut.

C. Masa Disintegrasi dari Indonesia

Timor Timur berada di bawah PBB hingga tahun 2002. Tanggal 20 Mei 2002, Timor
Timur resmi diakui kemerdekaannya secara internasional. Timor Timur menjadi sebuah
negara dengan nama "Republik Demokratik Timor Leste". Kay Rala Xanana Gusmao
menjadi presiden pertama dan Mari Bin Amude Alkatiri menjadi perdana menteri pertama
negara itu setelah melepaskan diri dari NKRI tahun 2002.

Walaupun telah merdeka, rakyat Timor Leste tetap hidup dalam kemiskinan bahkan
semakin melarat. GNP per kapita yang awalnya $1500 turun drastis menjadi $300.
Penggunaan dolar AS sebagai mata uang Timor Leste menyebabkan standar hidup menjadi
tinggi dan daya beli masyarakat menurun. Australia akhirnya berhasil memeroleh
keinginannya, ladang minyak Celah Timor. Berdasarkan perjanjian, 80% hasil dari ladang
minyak tersebut untuk Australia dan hanya 20% untuk Timor Leste. Harga BBM di Timor
Leste sangat mahal sehingga tidak jarang mobil-mobil orang Timor Leste "minum" premium
bersubsidi di Timor Barat padahal mereka tidak pantas mendapatkan itu sebab mereka bukan
lagi warga negara Indonesia.

Pemerintah Timor Leste menerapkan bahasa Portugis dan bahasa Tetum sebagai bahasa
nasional tetapi bahasa Portugis yang lebih diutamakan. Dengan begitu, pemerintah Timor
Leste telah "sukses" memundurkan Timor Leste hingga 30 tahun ke belakang. Dalam
semalam rakyat Timor Leste menjadi buta bahasa karena pada faktanya hanya kurang dari
3% dari seluruh penduduk Timor Leste yang fasih menggunakan bahasa Portugis. Sebagian
besar yang bisa berbahasa Portugis berasal dari generasi tua. Mayoritas penduduk Timor
Leste justru fasih berbahasa Indonesia karena selama 24 tahun mereka hidup bersatu dengan
Indonesia.

Akibat dari kebijakan bahasa itu, wajah pendidikan Timor Leste turut menjadi bobrok.
Sekolah diliburkan selama sembilan bulan hanya untuk memberi kursus bahasa Portugis
kepada para guru Timor Leste. Pemerintah juga menawarkan kepada para pelajar beasiswa
untuk melanjutkan studi di Portugal. Hasilnya banyak di antara mereka yang gagal dalam
studi. Mereka hanya mendapat pelatihan bahasa Portugis selama lima bulan sebelum
berangkat ke Portugal. Untuk ujian saringannya saja menggunakan bahasa Indonesia.

Pertikaian antar etnis juga sering terjadi. Pada tanggal 8 Februari 2006, lebih dari 400
pasukan Timor Leste etnis Loro Monu melakukan aksi mogok sebagai aksi protes karena
merasa didiskriminasi. Pemerintah memecat sebanyak 594 pasukan etnis Loro Monu. Para
prajurit desertir di bawah Mayor Alfredo Alves Reinado segera melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah. Kerusuhan juga terjadi di seluruh penjuru Timor Leste. Ratusan
bangunan dibakar dan dijarah, sementara 20 orang dilaporkan tewas dalam pertikaian antara
etnis Loro Monu dan Loro Sa'e. Pemerintah Dili tidak dapat mengendalikan pemberontakan
tersebut hingga meminta bantuan militer Australia, Portugal, Selandia Baru, dan Malaysia
tetapi hanya tentara Australia yang datang.

Pasukan PBB pun akhirnya turun tangan menjaga keamanan dan ketertiban di Timor
Leste. Tanggal 29 Mei 2006, ratusan orang berdemonstrasi di luar istana presiden sambil
meneriakkan yel-yel anti PM Mari Alkatiri karena pemerintahannya dianggap gagal. Di hari
yang sama, sebuah gudang pangan milik pemerintah Timor Leste di lain tempat turut dijarah.
Pada tanggal 11 Februari 2008, Presiden Jose Manuel Ramos Horta nyaris terbunuh oleh
tembakan anak buah Mayor Alfredo Reinado, Amaro da Costa. Hal ini menunjukkan betapa
rapuhnya keamanan di Timor Leste. Mayor Alfredo Reinado sendiri tewas beberapa hari
kemudian. Tugas pasukan PBB di Timor Leste berakhir pada bulan Desember 2012 dan
keamanan dan ketertiban kembali diserahkan kepada pemerintah Timor Leste.

Anda mungkin juga menyukai