(Artikel asli dari Idiopatic Nephrotic Syndrom dalam Kliegman: Nelson Textbook of
Pediatrics, 18 Ed diterjemahkan oleh Husnul Mubarak, S.Ked)
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik.
Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis : Sindrom nefrotik
kelainan minimal, glomerulonephritis proliferatif (mesangial proliferation), dan
glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit
berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan ini
mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
PATHOLOGI.
Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus sindrom nefrotik
pada anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal
pada sel mesangial dan matrixnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence
biasanya negative, dan mikroskop electron hanya memperlihatkan hilangnya
epithelial cell foot processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan
SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid.
EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-
90% pasien dibawah umur 6 tahun; FSGS terjadi pada anak yang lebih tua. Dua puluh
hingga tiga puluh persen remaja memiliki SNKM. Insiden FSGS cenderung
meningkat; kemungkinan lebih sering terjadi pada pasien etnis African-American atau
Hispanik.
MANIFESTASI KLINIS
Episode awal dan relaps dapat terjai setelah infeksi ringan dan,biasanya, reaksi
terhadap gigitan serangga, sengatan lebah, atau poison ivy. Anak biasanya datang
dengan keluhan edema ringan, diamana awalnya terjadi disekitar mata dan
ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga sebagai gangguan alergi
karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari kehari. Seiring waktu,
edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital.
Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria
jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah enteropati
kekurangan protein, penyakit hati, penyakit jantung congenital, glomerulonefritis akut
atau kronis, dan malnutrisi protein. Diagnosis selain SNKM dipertimbangkan jika
pasien berumur dibawah 1 tahun, riwayat keluarga, penemuan extrarenal (arthritis,
bercak-bercak, dan anemia), hipertensi atau edema pulmoner, insufisiensi renal akut
atau kronis, dan hematuria.
DIAGNOSIS.
PENATALAKSANAAN.
Anak yang memiliki episode dini pada sindrom nefrotik dan edema ringan hingga
moderat dapat ditangani sebagai pasien rawat jalan. Anak yang terkena biasanya
masih dapat beraktivitas (bersekolah atau aktivitas fisik lainnya) namun terbatas.
Patofisiologi dan penatalaksanaan dari penanganan sindrom nefrotiks sebaiknya
dinilai kembali dengan pemahaman keluarga mengenai penyakit yang terkena pada
anak mereka. Intake sodium sebaiknya dikurangi dengan memulai diet rendah garam
dan dapat dinormalkan kembali setelah remisi terjadi. Walaupun tidak ada data yang
mendukung efektifitas atau keamanannya, diuretik oral juga digunakan oleh banyak
klinisi untuk anak dengan sindrom nefrotik. Karena kemungkinan peningkatan resiko
komplikasi thromboembolik, pemakaian diuretic sebaiknya diberikan pada pasien
dengan gejala yang berat dan harus diamati secara seksama.
Anak dengan gejala edema yang berat, termasuk dengan efusi pleura berat, asites,
atau edema genital yang berat, sebaiknya dirawat inap. Sebagai tambahan restriksi
sodium, restriksi cairan kemungkinan penting pada anak dengan hyponatremic.
Skrotum membengkak dapat dielevasi dengan bantal untuk memicu pembuangan
cairan dengan bantuan gravitasi. Diuresis dapat ditingkatkan dengan pemberian
chlorothiazide (10mg/kg/dosis IV setiap 12 jam) atau metolazone (0,1 mg/kg/dosis
PO bid) diikuti dengan furosemide 30 menit kemudian (1-2 mg/kg/dosis IV q 12 jam).
Pemberian IV 25% human albumin (0.5 g/kg/dosis q 6–12 jam diberikan tiap 1–2
jam) diikuti dengan furosemide (1-2 mg/kg/dosis IV) biasanya diperlukan jika
restriksi cairan dan diuretic parenteral tidak efektif. Terapi ini memerlukan
monitoring status volume, keseimbangan elektrolit serum, dan fungsi renal secara
teliti. Volume overload simptomatik, disertai hipertensi dan gagal jantung, merupakan
komplikasi potensial dari terapi albumin parenteral, kemungkinan dengan infus yang
cepat.
Anak dengan onset sindrom nefrotik pada umur 1 dan 8 tahun sepertinya cenderung
terkena SNKM yang berespon dengan steroid; terapi steroid dapat dimulai tanpa
biopsy renal. Anak dengan gejala yang kemungkinan bukan SNKM (hematuria,
hipertensi, insufisiensi renal, hipocomplementemia, dengan umur <1>8tahun
sebaiknya dipertimbangkan biopsy renal sebelum dilakukan penatalaksanaan.
Pada anak yang diduga SNKM, prednisone sebaiknya diberikan dengan dosis
60mg/m2/hari (dosis maksimal harian, 80mg dibagi dalam 2-3 dosis) selama paling
tidak 4 minggu berurutan. Terdapat bukti yang baik bahwa terapi steroid selama 6
minggu dapat menyebabkan rendahnya angka relaps, walaupun frekuensi efek
samping pemakaian steroid lebih sering terjadi. Delapan puluh hingga 90 % anak
akan berespon dengan terapi steroid (pemeriksaan protein urin negatice selama 3 hari
berturut-turut) setelah 2 minggu terapi.
Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik akan mengalami relaps paling tidak 1 kali
(proteinuria 3-4+ disertai dengan edema). Walaupun angka kejadian relaps berkisar
60-80% yang diketahui pada masa lalu, kejadian relaps anak yang ditangani dengan
terapi steroid yang lama dapat menjadi 30-40%.
Relpas sebaiknya diatasi dengan dosis prednisone harian pada terapi steroid yang
pertamaa hingga anak mengalami remisi. Dosis prednisone kemudian dirubah menjadi
tiap 2 hari dan ditappering setelah 1-2 bulan.
Beberapa pasien akan mengalami relapse dalam menjalani terapi steroid 2 hari sekali
atau dalam 28 hari pertama terapi prednisone dihentikan. Pasien ini disebut sebagai
steroid dependent. Pasien yang berespon baik terhadap terapi prednisone namun
relaps > 4 kali dalam periode 12 bulan dikatakan sebagai frequent relapser. Anak yang
gagal berespon terhadap terapi steroid dikatakan sebagai steroid resistant. Sindrom
nefrotik yang resisten terhadap steroid biasanya FSGS (80%), SNKM (20%), dan
jarang pada glomerulonefritis proliferative.
Pilihan tambahan lainnya untuk anak dengan sindrom nefrotik yang berkomplikasi
adalah pemberian methylprednisolon dosis tinggi. Methylprednisolon biasanya
diberikan sebagai 30mg/kg bolus (maksimal 1000mg), dengan 6 dosis pertama
diberikan 2 hari sekali, diikuti dengan tapering selama periode 18 bulan.
Cyclofosfamid dapat ditambahkan pula pada pasien tertentu
Cyclosporin (3-6 mg/kgBB/24 jam dibagi tiap 12 jam) atau tacrolimus (0,15 mg/kg/24
jam dibagi tiap 12 jam) juga cukup efektif dalam menjaga remisi pada anak dengan
sindrom nefrotik dan juga berguna sebagai obat pendamping steroid. Efek samping
pada anak harus diawasi seperti hipertensi, nefrotoksisitas, hirsutisme, dan
hyperplasia gingival. Mycophenolat dapat mempertahankan remisi pada anak dengan
steroid dependent atau frequent relapser. Kebanyakan anak yang berespon kepada
cyclosporine, tacrolimus, atau mycophenolat cenderung relaps jika pengobatan
dihentikan. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin II
blocker dapat berguna sebagai oba penyerta untuk mengurangi preoteinuria pada
pasien steroid resistant.
KOMPLIKASI.
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik. Anak yang mengalami
relapse memiliki peningkatan resiko terhadap infeksi bakteri akibat hilangnya
immunoglobulin dan properdin faktor B dari berkemih, immunitas seluler yang rusak,
terapi immunosuppressive, malnutrisi, dan edema yang berperan sebagai “media
kultur”. Spontaneous bacterial peritonitis merupakan jenis infeksi yang paling sering
terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infesi saluran kemih dapat pula
ditemukan. Walaupun Streptococcus pneumoniae adalah organisme tersering
penyebab peritonitis, bakteri gram negative seperti Escherchiia coli dapat ditemukan.
Karena demam dan penemuan klinis tersamarkan oleh karena terapi kortikosteroid,
kecurigaan dini, pemeriksaan, dan terapi inisiasi terapi antibiotic penting dilakukan.
Peran dari terapi antibiotic profilaksis selama relaps sindrom nefrotik masih
controversial.
Anak dengan sindrom nefrotik juga mengalami peningkatan resiko terjadinya
kejadian thromboembolik. Insiden komplikasi ii pada anak adalah 2-5%, dimana
angkanya jauh lebih kecil dibandingkan orang dewasa dengan sindrom nefrotik.
Resiko trombosis terkait dengan peningkatan faktro prothrombotik (fibrinogen,
thrombositosis, hemokonsentrasi, dan immobilisasi) dan penurunan faktor fibrinolytik
(menurunnya antithrombin III, protin C dan S akibat berkemih). Antikoagulasi
profilaksis tidak direkomendaksikan pada anak-anak kecuali telah terjadi kejadian
thromboembolik. Diuresis berlebihan juga sebaiknya dicegah dan penggunaan kateter
dibatasi karena merupakan salah satu faktor yang meningkatkan komplikasi
pembekuan.
PROGNOSIS.
Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik memiliki relapse yang berulang, dimana
biasanya menurun frekuensinya seiring dengan bertambahnya usia anak. Walaupun
tidak ada cara yang terbukti untuk memprediksi perjalanan penyakit ini, anak yang
berespon baik dengan terapi steroid dan tidak pernah mengalami relapse selama 6
bulan pertama setelah diagnosis sepertinya jarang mengalami relapse dikemudian
hari. Penting untuk menjelaskan kepada keluarga pada anak dengan sindrom nefrotik
yang berespon baik pada steroid jarang mengalami penyakit ginjal kronis, penyakit ini
juga bukan herediter, dan bahwa anak akan tetap subur (jika tidak menjalani terapi
cyclofosfamid). Untuk menjaga efek psikologis dari anak, dokter sebaiknya
menekankan bahwa pada masa remisi anak sebaiknya dianggap normal dan dapat
menjalani diet dan aktivitas seperti semula, tanpa melakukan pemeriksaan protein
pada urin.
Anak dengan sindrom nefrotik yang resisten terhadap steroid, kebanyakan disebabkan
oleh FSGS, biasanya memiliki prognosis yang lebih jelek. Anak ini dapat mengalami
insufisiensi renal progressice, dan pada akhirnya menyebabkan penyakit ginjal
stadium akhir dan membutuhkan dialysis atau transplantasi ginjal.