Anda di halaman 1dari 13

GEJALA PERGESERAN KELEMBAGAAN UPAH PADA PERTANIAN

PADI SAWAH
Sri Hery Susilowati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian


Jl. A. Yani 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Technology causes changes in agricultural production and institutional systems. In term of working-
relation institution, a change from in-kind (bawon and kedokan) payment system to cash (daily and contract)
system is more efficient to the land owners in reducing harvesting costs. However, daily and contract payments
could raise moral hazard carried out by the workers in terms of working intensity and quality. An alternative
implemented by the land owners to control moral hazard is through establishment of patron-client relation with
permanent workers.

Key words : working-relation institution, moral hazard, patron-client, bawon, kedokan, fixed wage

ABSTRAK

Teknologi telah menyebabkan perubahan pada sistem produksi maupun tatanan kelembagaan
pertanian. Dalam kelembagaan hubungan kerja pertanian, perubahan sistem pengupahan dari sistem bawon dan
kedokan ke sistem pengupahan tetap, baik harian maupun borongan, dipandang oleh pemilik lahan merupakan
cara yang lebih efisien dalam mengurangi biaya panen. Namun, pada dasarnya sistem pengupahan harian dan
borongan memberi peluang buruh tani untuk melakukan kecurangan (moral hazard) baik dalam intensitas jam
kerja maupun kualitas kerja. Salah satu strategi yang dilakukan pemilik lahan untuk menekan munculnya moral
hazard adalah dengan membangun hubungan patron-client dengan buruh tani melalui penggunaan buruh
langganan dan buruh tetap.

Kata kunci : kelembagaan hubungan kerja, moral hazard, patron-client, bawon, kedokan, upah tetap

PENDAHULUAN baik? Dalam konteks kelembagaan hubungan


kerja pertanian, perubahan teknologi telah
mengubah sistem pengupahan, yang bisa jadi
Pembangunan pertanian merupakan mengakibatkan distribusi pendapatan petani
upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat semakin timpang (Kasryno et al., 1981).
tani, yang dicapai melalui investasi teknologi, Perubahan aturan dalam kedokan yang meng-
pengembangan produktivitas tenaga kerja, haruskan buruh tani untuk ikut mengerjakan
pembangunan prasarana ekonomi, serta pena- pekerjaan lain tanpa dibayar dan turunnya
taan dan pengembangan kelembagaan per- bagian bawon yang diterima, mengindikasikan
tanian. Menurut Johnson (1985), sumberdaya bahwa kesempatan kerja semakin berkurang
manusia, bersama-sama dengan sumberdaya dan meminggirkan posisi buruh tani yang
alam, teknologi dan kelembagaan merupakan semakin lemah. Bentuk-bentuk kelembagan
faktor utama yang secara sinergis mengge- yang sebelumnya mengedepankan kebersa-
rakkan pembangunan pertanian untuk menca- maan dan shared poverty berubah ke sistem
pai peningkatan produksi pertanian . yang lebih komersial yang menyebabkan nilai
Teknologi merupakan faktor yang upah riil buruh pertanian semakin menurun.
mutlak diperlukan dalam meningkatkan pro- Beban kerja meningkat sementara nilai upah
duksi. Introduksi teknologi pertanian tidak tetap, sehingga beban per satuan nilai upah
hanya merubah sistem produksi tetapi juga menjadi meningkat. Namun apakah perubahan
merubah tatanan kelembagaan perekonomian yang melemahkan posisi buruh tani tersebut
desa. Permasalahannya adalah apakah peru- akan diterima oleh buruh tani dengan begitu
bahan tatanan kelembagaan tersebut akan saja?
diikuti oleh distribusi pendapatan yang lebih

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 48 - 60

48
Dalam redistribusi berlaku istilah zero merupakan respons dari kelangkaan sumber-
sum game, yang artinya kenaikan peran relatif daya (lahan pertanian yang terbatas) yang
suatu faktor akan menurunkan peran relatif mengakibatkan munculnya kekurangan bahan
faktor lain sehingga perubahan total adalah pangan (food shortage) dan tekanan populasi
nol. Dalam konteks posisi buruh sebagai yang semakin berat pada lahan. Dalam meng-
penyedia tenaga kerja, peningkatan beban per hadapi permasalahan tersebut masyarakat
satuan nilai upah akan diikuti dengan penu- pedesaan memiliki kemampuan untuk ber-
runan upaya (effort) dan kualitas kerja. Hal ini adaptasi dan dalam prosesnya mengarah
dimungkinkan terjadi dalam kondisi pasar pada praktek-praktek usahatani dengan meng-
tenaga kerja bersifat imperfect information gunakan tenaga kerja intensif. Hal ini ditandai
(Binswanger, 1981). Suplai tenaga kerja dengan semakin berkembangnya sistem bagi
menurut Rodgers (1994) merupakan suatu hasil, sistem sewa yang semakin rumit serta
sistem hubungan yang kompleks, yang tidak kesepakatan hubungan ketenagakerjaan yang
hanya sekedar menyangkut pembayaran upah semakin kompleks. Dengan kata lain, menurut
sebagai imbalan dari jumlah waktu kerja, Geertz (1963) dalam merespons munculnya
namun juga menyangkut tingkat komitmen dan faktor-faktor dari luar tersebut, kelembagaan
motivasi kerja, intensitas kerja, kontinyuitas pedesaan tidaklah berubah sama sekali me-
kerja, kondisi lingkungan, tingkat pendapatan, lainkan melakukan penyesuaian, dalam upaya
standard konsumsi, dan pengawasan kerja menyerap peningkatan populasi tersebut.
terhadap buruh tani. Artinya pemilik lahan dan Revolusi Hijau telah mengakibatkan
buruh tani memiliki strategi masing-masing pergeseran dalam kelembagaan masyarakat
untuk mencapai second best maximization pedesaan. Produktivitas per hektar meningkat
Tulisan ini berisi tinjauan beberapa dengan diadopsinya benih unggul dan tekno-
hasil kajian. Tujuan penulisan adalah untuk logi Panca Usahatani. Efisiensi usahatani
menganalisis pergeseran sistem kelembagaan melalui penggunaan alat mekanis pertanian
hubungan kerja pertanian, dari sistem bawon yang lebih murah, mengakibatkan kesempatan
dan kedokan ke sistem upah harian, serta kerja bagi buruh tani berkurang yang kemu-
penggunaan buruh langganan dan buruh tetap dian mendorong terjadinya perubahan kelem-
sebagai upaya untuk mengurangi biaya bagaan hubungan kerja di pedesaan. Dengan
pengawasan kerja terhadap buruh tani. kata lain, perubahan sumberdaya dan peru-
bahan teknologi telah mendorong perubahan
tatanan kelembagaan hubungan ketenaga-
TEORI KOVENSIONAL KELEMBAGAAN kerjaan atau sistem pengupahan di pedesaan.
UPAH BAWON DAN UPAH TETAP
Definisi kelembagaan sangat bera-
gam. Salah satunya, kelembagaan dapat di-
Hayami dan Ruttan (1984) menyata- artikan sebagai aturan (rule) yang dianut oleh
kan bahwa munculnya inovasi kelembagaan masyarakat dalam melakukan transaksi de-
adalah akibat dari kelangkaan relatif sumber- ngan pihak lainnya (Hayami dan Ruttan,
daya. Kelangkaan suatu sumberdaya relatif 1984). Kelembagaan pedesaan secara seder-
terhadap sumberdaya lainnya, melalui meka- hana mengacu pada aktivitas atau praktek-
nisme pasar, akan mendorong penemuan praktek tradisional dalam kehidupan seharihari
teknologi baru yang pada akhirnya diikuti oleh di pedesaan, seperti bagi hasil, pemasaran
inovasi kelembagaannya. Seberapa jauh suatu hasil pertanian, hubungan ketenagakerjaan
institutional innovation diterima masyarakat dan organisasi-organisasi yang dibentuk oleh
tergantung pada struktur kekuasaan, kepenti- pemerintah, misalnya koperasi. Sedangkan ke-
ngan individu, keadaan adat dan kebudayaan lembagaan ketenagakerjaan (labor institution)
masyarakat. Perubahan kelembagaan juga merupakan lembaga sosial yang terbentuk
akan menentukan perubahan hak dan pe- karena penggunaan tenaga kerja dalam pro-
nguasaan (property right) yang pada akhirnya ses produksi, pemberian upah dan kondisi
menentukan pola pemanfaatan sumberdaya. kerja, dan terkait dengan jaminan pendapatan
Mengacu pada teori diatas, revolusi dan sosial. Lembaga ketenagakerjaan tersebut
hijau yang mengawali pemanfaatan inovasi akan mempengaruhi struktur maupun fungsi
teknologi usahatani intensif, dapat dipandang pasar tenaga kerja (Rodgers, 1994).

GEJALA PERGESERAN KELEMBAGAAN UPAH PADA PERTANIAN PADI SAWAH Sri Hery Susilowati

49
Bentuk-Bentuk Hubungan Melalui perjanjian atau kesepakatan,
Ketenagakerjaan dan Kelembagaan Upah pekerja akan melakukan pekerjaan tertentu
Sistem Bawon dalam proses usahatani padi tanpa dibayar.
Namun mereka akan mempunyai hak untuk
Bawon merupakan upah natura yang panen dan menerima bagian tertentu dari
diberikan pemilik lahan kepada buruh tani , produksi. Tenaga kerja lain di luar kelompok
khususnya untuk kegiatan panen yang meru- pengedok tersebut tidak dapat ikut panen
pakan bagian tertentu dari hasil panen. Collier apabila tidak ada ijin dari kelompok pengedok,
et al. (1974) menyebutkan pada sistem bawon bukan dari pemilik lahan. Dengan demikian
tradisional, panen padi merupakan aktivitas kelompok pengedok mempunyai hak untuk
komunitas yang dapat diikuti oleh semua atau menentukan siapa orang-orang yang bisa
kebanyakan anggota komunitas dan menerima terlibat dalam kegiatan panen tersebut. De-
bagian tertentu dari hasil. Menurut tradisi di ngan kata lain sistem kedokan merupakan
beberapa tempat, petani tidak dapat mem- suatu kesepakatan yang memberikan hak ber-
batasi jumlah orang yang ikut memanen. Sis- buruh panen secara terbatas kepada seke-
tem tersebut merupakan bawon yang “benar- lompok pekerja terkait dengan kewajiban
benar terbuka” dalam arti setiap orang diijinkan pekerjaan yang mereka lakukan pada proses
ikut memanen (Hayami dan Kikuchi, 1981). usahatani padi.
Sistem “bawon terbuka” pada per- Kewajiban pekerjaan yang mereka
kembangannya kemudian menjadi sistem lakukan pada proses usahatani padi tersebut
panen yang hanya terbuka untuk orang satu adalah mencangkul oleh buruh laki-laki (mem-
desa yang sama. Sistem lain menentukan perbaiki galengan sawah atau saluran air),
restriksi lebih lanjut batas maksimum peserta penanaman padi yang dilakukan oleh buruh
yang boleh ikut. Bahkan sistem bawon yang perempuan, dan menyiangi tanaman yang
lebih ketat adalah sistem bawon dengan dilakukan baik oleh buruh laki-laki maupun
peserta tertentu (yang diundang saja). Hasil perempuan. Dalam prakteknya jenis pekerjaan
kajian Hayami dan Kikuchi menemukan bahwa yang menjadi kewajiban pengedok bervariasi
secara berangsur-angsur telah terjadi per- antar daerah. Menurut Sinaga dan Collier
alihan dari bawon yang lebih terbuka ke arah (1975) pada awalnya sistem kedokan diguna-
sistem bawon yang lebih terbatas sampai kan petani agar kecukupan tenaga kerja
kemudian muncul sistem “kedokan”. Sistem selama proses produksi dapat terjamin. Dalam
“bawon terbuka” yang mengijinkan semua perkembangannya, kemudian sistem tersebut
orang untuk ikut memanen, dewasa ini hampir lebih banyak digunakan petani pemilik sawah
tidak dilakukan lagi semenjak dilakukan Revo- untuk membatasi jumlah buruh pemanen,
lusi Hijau pada tahun 1970-an. dalam rangka menekan biaya panen.
Dalam sistem kedokan, karena penge-
Sistem Kedokan dok tidak dibayar dengan upah tunai, maka
Kata kedokan berasal dari bahasa pemilik lahan tidak perlu mengeluarkan banyak
Jawa “kedok” yang berarti plot atau bagian biaya selama musim tanam. Menurut Wiradi
tertentu dari sawah. Istilah kedokan di bebe- (1978) karena hak memanen telah diberikan
rapa desa di Jawa Barat disebut juga sebagai kepada pengedok, maka secara tidak lang-
“ceblokan” atau “ngepak-ngedok”. Kolff (1936) sung petani dapat membatasi jumlah pemanen
dalam Wiradi (1978) mendefinikasi kedokan sehingga risiko kehilangan hasil dan pencurian
sebagai berikut: dapat dikurangi. Utami dan Ihallaw (1973)
menyatakan, sistem pengupahan panen seca-
“whereby an agreement is entered into ra bawon yang mengijinkan banyak tenaga
between the owner of the ground and untuk ikut panen, akan menyebabkan banyak
some second party amounting to this, kehilangan hasil, baik kehilangan karena ter-
in one or more in these sections cecer maupun pencurian. Karena kehilangan
(kedoks) the latter agrees to attend to hasil tersebut juga akan menjadi bagian hasil
certain definite jobs againts payments yang akan mereka terima dan menjadi
in the form of the fraction of the product tanggungjawab mereka, maka menurut Wiradi
that is grown on the land he works”. (1978), dengan sistem kedokan, kehilangan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 48 - 60

50
hasil yang hampir mencapai 25 persen dari masih kuat. Ini menjadikan upah harian yang
penerimaan kotor akan dapat dihemat. diberikan tidak hanya berupa uang, namun
Dengan memiliki tanggung jawab buruh juga diberi makan dan minum bahkan
panen dan harapan memperoleh bagian panen juga rokok. Besarnya nilai atau biaya untuk
yang lebih banyak, pengedok akan lebih ber- makan, minum dan rokok buruh tani relatif
hati-hati dalam melakukan panen dan memba- besar. Beban tersebut pada akhirnya meru-
tasi jumlah anggota pengedok, dan hanya pakan salah satu faktor yang menyebabkan
menyertakan teman dekat atau anggota famili pergeseran sistem upah harian ke upah
mereka. Wiradi (1978) menyimpulkan bahwa, borongan, karena dalam upah borongan tidak
bagi tenaga kerja atau buruh secara umum, disediakan makan, minum, dan rokok.
sistem kedokan berarti mengurangi kesem-
patan kerja mereka. Namun berbeda bagi Sistem Upah Borongan
pengedok, sistem ini diterima karena lebih
menjamin untuk memperoleh bagian hasil Besarnya upah borongan umumnya
yang lebih besar dibandingkan sistem pengu- sangat tergantung dari prestasi kerja buruh
pahan panen (bawon) secara normal. tani. Semakin tinggi produktivitas kerja, secara
teoritis semakin tinggi pula upah yang diterima
Besarnya bawon dan bagian kedokan buruh tani. Variasi produktivitas antar individu
bervariasi antar desa. Di daerah Jawa Tengah buruh tani atau kelompok buruh tani meru-
dan Jawa Barat, pengedok menerima seper- pakan determinan upah kerja buruh tani. Pada
lima bagian hasil, sementara pembawon ha- awalnya pengupahan borongan muncul pada
nya menerima seperlimabelas bagian. Jika kegiatan pengolahan lahan dengan traktor.
ada buruh diluar kelompok pengedok tersebut Terdapat beberapa hal yang mendorong mun-
terlibat panen (atas seijin kelompok penge- culnya sistem borongan, antara lain: (1)
dok), maka ia akan menerima sepertiga dari jadwal tanam secara serentak untuk meng-
bagian buruh pengedok tersebut. Sedangkan hambat serangan hama wereng dan tikus
di Jawa Timur pengedok menerima seper- sehingga pengolahan lahan juga harus se-
sepuluh bagian dari hasil panen. Buruh di luar rentak; (2) sistem pengairan yang semakin
kelompok pengedok yang bergabung akan baik dan penjadwalan pengairan yang semakin
menerima setengah dari bagian pengedok teratur dan ketat memaksa petani untuk
tersebut (Wiradi, 1974). mempercepat pengolahan lahan agar dapat
Meskipun eksistensi dari sistem kedo- melakukan penanaman tepat pada waktunya;
kan terkait erat dengan masalah kehilangan (3) penggunaan bibit unggul yang berumur
hasil yang relatif lebih kecil, namun keber- pendek, sehingga pengolahan lahan harus
lanjutan sistem ini juga tidak terlepas dari dilakukan dengan cepat, (4) penggunaan
prinsip moral yang dianut oleh masyarakat traktor dengan upah borongan akan mampu
Jawa. Prinsip kebersamaan dalam menikmati menyelesaikan kegiatan pengolahan tanah
rezeki, kendati seberapa kecil rezeki itu akan dengan cepat, bahkan kurang dari satu hari;
dibagi. Oleh Geertz (1963) situasi demikian (5) pengupahan dengan sistem borongan
disebut sebagai shared poverty (kemiskinan secara total dinilai lebih murah dibandingkan
berbagai), suatu kelembagaan desa dalam upah harian, terutama bila nilai makan
bentuk pemerataan kerja dan hasil. (termasuk minum dan rokok) buruh tani juga
diperhitungkan; (6) tidak merepotkan pemilik
lahan karena tidak perlu menyediakan makan.
Sistem Upah Harian Pada awalnya sistem upah borongan terbatas
Dalam sistem upah harian, secara pada kegiatan pengolahan lahan dengan
teoritis tingkat upah diperhitungkan berdasar- traktor, namun kemudian berkembang pada
kan rata-rata produktivitas tenaga kerja per kegiatan penanaman, penyiangan, dan sampai
hari. Lazimnya jumlah jam kerja per hari antar panen.
kegiatan maupun antar desa bervariasi, demi-
kian pula dengan besarnya upah harian.
Sistem Sambatan
Dalam hubungan ketenagakerjaan di
pedesaan, sifat kekerabatan dan tenggang Sistem sambatan diartikan sebagai
rasa antara pemilik lahan dan buruh umumnya sistem saling membantu bekerja secara ber-

GEJALA PERGESERAN KELEMBAGAAN UPAH PADA PERTANIAN PADI SAWAH Sri Hery Susilowati

51
giliran atau sistem hubungan pertukaran Di beberapa daerah sistem sambatan
tenaga kerja (exchange for labor). Istilah secara berangsur-angsur cenderung berku-
sambatan berasal dari bahasa Jawa “sambat” rang. Beberapa faktor yang menyebabkan
yang berarti mengeluh (to sigh) atau minta berkurangnya sistem sambatan antara lain
pertolongan. Pada prinsipnya sistem sambatan karena semakin timpangnya penyebaran luas
adalah memobilisasi tenaga kerja luar garapan. Ketimpangan ini menyebabkan per-
keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga tukaran tenaga kerja menjadi asimetris atau
kerja dalam keluarga pada usahatani padi, tidak lagi seimbang. Selain itu, dengan mema-
terutama saat musim sibuk. Sistem ini diatur sukkan nilai konsumsi yang harus disediakan,
melalui kebiasaan setempat, dimana petani sistem sambatan menjadi relatif lebih mahal
diminta untuk bekerja membantu pemilik lahan dibandingkan dengan sistem kerja upahan.
untuk kegiatan tertentu di sawah tanpa diberi Besarnya nilai konsumsi ini tidak hanya untuk
upah. Pemilik lahan hanya menyediakan yang bekerja di sawah tetapi juga bagi yang
makanan, tetapi pada gilirannya mereka harus masak dan mengantarkan makanan ke sawah.
mengganti bantuan tersebut secara propor-
sional pada waktu diperlukan. Konsep sam-
batan digunakan di berbagai wilayah dengan Paradigma Pergeseran Kelembagaan Upah
istilah yang berbeda, namun pada prinsipnya Bawon ke Upah Tetap
konsep tersebut secara umum identik dengan Perubahan-perubahan dalam penye-
gotong-royong (Koentjaraningrat, 1974). Me- diaan sumberdaya dan perubahan teknologi
nurut Koentjaraningrat, konsep gotong royong telah menimbulkan tekanan pada kelembaga-
memiliki nilai budaya yang terkait dengan an desa yang telah terbentuk dalam keadaan
hubungan manusia, dimana: (1) manusia tidak yang relatif tetap. Pada situasi sistem ekonomi
dapat hidup sendiri melainkan terikat dengan uang belum berkembang di pedesaan, sistem
komunitas dan lingkungan alamnya; (2) de- hubungan kerja yang berkembang adalah
ngan demikian, kehidupan seseorang tergan- sistem sambatan. Hal ini dapat ditelusuri dari
tung pada orang lain; (3) selalu membangun kesejajaran faktor-faktor yang melatarbelaka-
hubungan yang baik dengan sesama adalah ngi eksistensi sistem sambatan dengan karak-
keharusan; dan (4) apa yang dilakukan terha- teristik masyarakat tradisional. Pada situasi
dap sesama komunitas seyogyanya dilandas- peradaban ekonomi uang telah masuk ke
kan pada semangat kesetaraan atau keseja- pedesaan, sistem kelembagaan yang masuk
jaran (mutual benefit atau mutual empathy). akal adalah sistem pengupahan tetap (baik
Terdapat beberapa alasan yang mela- melalui sistem pengupahan harian maupun
tarbelakangi eksistensi sistem sambatan atau sistem borongan). Dengan sistem ini biaya
resiprositas ketenagakerjaan, yaitu: kebutuhan tenaga kerja mengacu pada nilai produktivitas
tenaga kerja yang tidak terpenuhi oleh tenaga marginal tenaga kerja tersebut. Terdapat bukti
kerja dalam keluarga, komunitas menghadapi bahwa sistem hubungan kerja sambatan se-
aktivitas yang sejenis dalam jangka waktu makin lama semakin tidak populer. Dibanding-
tertentu, masyarakat relatif homogen dan ada kan dengan sistem pengupahan tetap, partisi-
semangat kolektif, dan sistem ekonomi belum pasi rumah tangga dalam sistem sambatan
sepenuhnya mengarah pada dominasi meka- relatif rendah.
nisme pasar (monetized economy). Perubahan penyediaan sumberdaya
Perbedaan adat diperkirakan turut pertanian melalui pertumbuhan angkatan kerja
melatarbelakangi terbentuknya variasi sistem pertanian di pedesaan sementara luas lahan
sambatan di berbagai daerah. Sebagai gam- pertanian relatif tetap, mengakibatkan turun-
baran, pada masyarakat Bugis pekerjaan nya produktivitas marginal tenaga kerja terha-
berburuh adalah suatu hal yang menurunkan dap lahan, yang tercermin melalui penurunan
martabat sehingga berburuh tani tidak lazim upah riil. Perubahan penyediaan sumberdaya
dilakukan di desa-desa Sulawesi Selatan tersebut pada akhirnya berdampak pada
(Wiradi dan Makali, 1981). Sistem sambatan perubahan hubungan kerja di pedesaan. Hal
dinilai sesuai untuk memecahkan masalah ini dapat ditunjukkan melalui perubahan pe-
ketenagakerjaan pertanian saat musim sibuk ngupahan dalam kegiatan panen dari sistem
terutama waktu pengolahan tanah. bawon terbuka ke sistem kedokan. Dengan
sistem kedokan jumlah pemanen yang cen-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 48 - 60

52
derung bertambah karena meningkatnya mation dalam pasar tenaga kerja dimana
angkatan kerja pertanian di pedesaan dapat buruh memiliki private information, maka
dibatasi. sistem pengupahan tetap cenderung akan
Sistem kedokan pada akhirnya ber- mendorong timbulnya moral hazard yang
kembang lebih lanjut ke sistem transaksi dilakukan oleh tenaga kerja atau buruh, yang
tebasan. Dalam hal ini perubahan teknologi akan mengakibatkan alokasi sumberdaya
juga memiliki peran dalam perubahan hubu- menjadi tidak efisien. Hal ini dapat dijelaskan
ngan kerja tersebut. Dalam transaksi tebasan, sebagai berikut. Pada industri perkotaan yang
umumnya petani menjual padi yang masih bercirikan proses mekanisasi, maka standar
tegak di sawah kepada para pedagang. Tugas kerja yang diterapkan terhadap buruh relatif
memanen ditanggung pedagang yang mempe- tinggi dan pelaksanaannya mudah dipantau.
kerjakan sejumlah tenaga yang dibayar de- Tetapi pada proses produksi komoditas
ngan upah tetap (borongan atau harian). pertanian, selain faktor produksi tenaga kerja,
Ketika produktivitas padi masih relatif rendah variasi kondisi ekologi misalnya menyangkut
(sebelum teknologi pada revolusi hijau dite- cuaca (temperatur dan kelembaban) juga
rapkan), nilai bawon mungkin sepadan dengan merupakan penentu utama. Diperlukan per-
tingkat upah di pasaran. Dengan meningkat- lakuan yang berbeda terhadap tanaman
nya produktivitas lahan ditambah dengan ataupun hewan dalam kondisi temperatur dan
meningkatnya pertumbuhan tenaga kerja kelembaban yang berbeda. Dengan demikian
pedesaan, bagian upah riil yang diterima pem- tenaga kerja bukan lagi satu-satunya faktor
bawon akan meningkat dan nilai upah sistem penentu dalam proses produksi. Hal ini terkait
bawon bisa lebih besar relatif dibandingkan dengan apakah seorang pekerja melakukan
dengan tingkat upah harian di pasaran. Dalam pekerjaannya dengan upaya (effort) sempurna
situasi tersebut bisa saja petani pemilik dalam menghadapi variasi ekologi tersebut
berusaha mempertahankan tingkat upah yang atau tidak. Kualitas kerja yang demikian
diberikan tetap seperti semula dengan sangat sukar dipantau. Kegiatan pertanian
mengganti sistem bawon dengan upah harian. yang dilakukan di ruangan terbuka semakin
Hanya saja besarnya biaya untuk menentang mempersulit pemantauan. Dalam kondisi ter-
kebiasaan yang sudah ada dalam komunitas sebut upaya kerja buruh menjadi sangat sulit
desa diperkirakan akan sangat besar. Oleh diketahui sehingga diperlukan biaya untuk
karena itu setelah tahun 1970 sebagian besar melakukan pemantauan. Hal ini akan mening-
pemilik lahan di beberapa desa di Jawa katkan biaya transaksi dan menjadikan proses
Tengah dan Jawa Barat (khususnya di produksi menjadi tidak efisien.
Kabupaten Cianjur) beralih dari sistem bawon Jika informasi sempurna dan tidak ada
ke sistem tebasan dengan tenaga yang oleh ongkos transaksi, sistem pengupahan tetap
penebas dibayar dengan upah tetap, yaitu akan bergerak menuju keseimbangan optimal
melalui upah harian atau borongan (Hayami sebagaimana dijelaskan melalui konsep eko-
dan Hafid, 1979). nomi neoklasik, dimana maksimisasi keuntu-
Perubahan kelembagaan upah se- ngan pada fungsi produksi akan tercapai pada
perti diuraikan di atas sejalan dengan upaya saat nilai produk marginal tenaga kerja sama
mengurangi biaya panen. Bagi petani pemilik, dengan biaya faktor marginal yang dalam hal
penggunaan sistem upah tetap dipandang ini adalah nilai (upah) tenaga kerja. Pemilik
lebih efisien dibandingkan dengan sistem lahan akan mempekerjakan tenaga kerja pada
bawon. Hipotesis tersebut dibuktikan melalui tingkat upah tertentu, dengan asumsi pasar
hasil-hasil kajian Collier et al., (1973) dan dalam kondisi informasi sempurna, sehingga
Sinaga dan Collier (1975). Namun benarkah pemilik lahan betul-betul mengetahui kualitas
perubahan sistem panen dari sistem bawon kerja buruh yang dicerminkan melalui upaya
yang mengedepankan prinsip shared poverty kerja. Namun di dalam pasar tenaga kerja,
ke sistem pengupahan tetap, akan menye- upah buruh (baik harian maupun borongan)
babkan alokasi sumberdaya menjadi lebih ditetapkan sebelum buruh bekerja, sehingga
efisien? Tulisan ini mencoba menganalisis pemilik lahan tidak akan mengetahui secara
anggapan tersebut dari aspek kualitas tenaga persis kualitas kerja yang akan diberikan buruh
kerja, bahwa pada kondisi imperfect infor- kepadanya. Hanya buruh yang mengetahui
apakah ia buruh betul-betul akan bekerja

GEJALA PERGESERAN KELEMBAGAAN UPAH PADA PERTANIAN PADI SAWAH Sri Hery Susilowati

53
dengan upaya maksimum sehingga mengha- harian dan borongan bersama-sama dengan
silkan kualitas kerja yang maksimum. Buruh bawon dan kedokan dapat diterima dan
memiliki private information menyangkut kua- digunakan masyarakat dalam satu wilayah
litas atau upaya kerja yang ia berikan dalam yang sama. Jika petani dapat menerima sis-
kegiatan tersebut, sementara di sisi lain tem pengupahan tetap yang dinilai berpotensi
pemilik lahan hanya menerima hasil kerja memunculkan penyimpangan dibanding sistem
buruh dengan nilai upah yang telah ditetapkan yang lain sehingga mengakibatkan ongkos
pada awal transaksi. Sulit bagi pemilik lahan transaksi yang lebih besar, sudah barang tentu
untuk menghindari pekerja upahan yang tidak ada mekanisme tertentu dimana pemilik lahan
jujur, bukan hanya dalam hal lama (intensitas) mampu mentolerir kenaikan ongkos transaksi
kerja secara fisik namun juga dalam hal tersebut dan memiliki strategi tertentu dalam
kualitas kerja. Konsep private information mengendalikan ketidakjujuran tersebut.
inilah yang memberi peluang bagi buruh, yang Secara teoritis pemilik lahan akan
secara naluriah memiliki opportunistic behavior melakukan strategi sebagai berikut. Pertama,
untuk bertindak tidak jujur. menerapkan sistem bonus dan penalty. Pem-
Apabila kondisi tersebut terjadi maka berian bonus kepada pekerja untuk memoti-
pemilik lahan perlu upaya ekstra untuk menga- vasi agar mereka memberikan upaya kerja
wasi kerja buruh sehingga tindak kecurangan maksimal. Secara teoritis dalam pasar tenaga
tersebut dapat dihindari. Hal ini tentu saja akan kerja upah pekerja dibayarkan sesuai dengan
menambah beban biaya dan menyebabkan nilai produk marginal tenaga kerja (efficiency
high cost of transaction yang pada akhirnya wage unit). Pemberian bonus (atau pemberian
proses produksi menjadi tidak efisien. Dengan upah yang lebih tinggi dari efficiency unit) akan
kondisi imperfect information pada pasar meningkatkan pendapatan dan dengan demi-
tenaga kerja, apakah efisiensi akan tercapai kian meningkatkan asupan nutrisi buruh.
pada saat nilai produk maginal tenaga kerja Terdapat korelasi positif antara tingkat nutrisi
sama dengan tingkat upah? Konsep ekonomi dan upaya kerja dan dampaknya terhadap
konvensional neoklasik yang sebagaimana peningkatan produktivitas tenaga kerja
diuraikan di atas hanya akan berlaku apabila (Stiglitz, 1976; Wonnacott, 1962; Binswanger,
pasar menghadapi informasi yang sempurna, 1981). Sebaliknya akan sulit menerapkan
dalam arti pemilik lahan memperoleh informasi sistem penalty karena tenaga kerja bukan
yang sempurna tentang kualitas tenaga kerja satu-satunya determinan dalam proses pro-
pada awal transaksi. Dalam kondisi imperfect duksi pertanian. Faktor eksternal yaitu variasi
information, maka konsep ekonomi neoklasik ekologi dan cuaca juga merupakan faktor
tersebut tidak akan valid (analogi dari penentu. Demikian pula hubungan antara
argumentasi yang dikembangkan oleh Stiglitz buruh, terutama di pedesaan Jawa, pada
(1974), dalam konteks bagi hasil atau share umumnya didasarkan pada sifat kekerabatan
cropping). Argumentasi tersebut ingin mene- yang tinggi. Faktor-faktor tersebut akan mem-
gaskan bahwa dalam kondisi adanya imperfect persulit dalam menentukan standard pember-
information pada pasar tenaga kerja, akan lakuan penalty. Secara ekonomi penerapan
memunculkan moral hazard (ketidakjujuran penalty dalam bentuk penurunan upah relatif
atau penyimpangan) sehingga sistem pembe- terhadap upah pasar juga tidak akan mengun-
rian upah fixed wage tidak akan menghasilkan tungkan petani. Dalam kondisi suplai tenaga
alokasi sumberdaya yang efisien. Pernyataan kerja berlebih, pekerja akan tetap mau bekerja
yang sama juga dikemukakan oleh Akerlof seberapapun upah mereka diturunkan, namun
(1970). mereka juga akan melakukan penyesuaian
Pertanyaan selanjutnya adalah, jika upaya kerja mereka sesuai dengan penurunan
sistem upah tetap tersebut tidak efisien kare- upah yang mereka terima.
na mengandung potensi penyimpangan yang Alternatif kedua adalah dengan mene-
tinggi, tetapi kenapa sistem upahan tersebut rapkan hubungan bapak dan anak (patron-
dapat bertahan? Bahkan fenomena menunjuk- client), suatu hubungan yang menyangkut
kan sistem pengupahan tersebut justru se- ikatan dua pihak, dimana seorang individu
makin berkembang. Beberapa hasil kajian juga dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi
menunjukkan bahwa sistem pengupahan (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 48 - 60

54
daya yang dimiliki untuk memberikan perlin- Dari berbagai hasil kajian, penggunaan buruh
dungan atau keuntungan kepada seseorang langganan muncul dalam kaitan dengan peng-
yang status sosial ekonominya lebih rendah gunaan sistem pengupahan harian maupun
(client) yang sebaliknya membalas dengan borongan. Sudah barang tentu seberapa da-
memberikan bantuan dan dukungan (Hayami lam ikatan para buruh dan majikan yang
dan Kikuchi, 1981; Scott, 1972; Schmid, 1987). mengarah pada hubungan patron-client terse-
Seorang pemilik lahan mungkin akan lebih but sangat bervariasi, mengikuti kompleksitas
suka mempekerjakan buruh dengan sistem hubungan yang telah terjadi dan perbedaan
upah harian yang berpotensi memunculkan sosial budaya yang melatarbelakanginya.
moral hazard, namun sistem pengupahan ter-
sebut dia barengi dengan membangun hubu-
ngan patron-client dengan buruh. Hubungan BUKTI-BUKTI EMPIRIS
patron-client antara majikan dan buruh pada
umumnya melibatkan lebih dari satu aktivitas Paradigma yang diperkenalkan Collier
ekonomi yang sifatnya personal (multifaced et al. (1973) tentang pergeseran bawon/
and personalized economy contracts). Misal- kedokan ke upah harian dengan cara teba-
nya selain memburuh dalam kegiatan usaha- san, serta argumentasi Stiglitz (1974) tentang
tani, buruh juga selalu ikut membantu majikan ketidakefisienan upah harian karena berpo-
pada saat kerepotan. Sebaliknya, majikan tensi menimbulkan moral hazard, sampai pada
sering membantu buruh pada saat kekura- penggunaan sistem patron-client untuk me-
ngan uang, misalnya dengan ikut menyum- ngatasi moral hazard tersebut, akan diper-
bang biaya sekolah anaknya. Melalui hubu- dalam melalui beberapa hasil kajian empiris
ngan patron-client tersebut peluang majikan berikut.
untuk ditipu buruh dan peluang buruh
melakukan tindak penyimpangan kerja akan
berkurang. Bagi buruh, opportunity cost untuk Pergeseran Sistem Bawon dan Kedokan ke
melakukan penyimpangan akan sangat besar Sistem Pengupahan Tetap: Masalah
karena apabila tindakan tidak jujur tersebut Efisiensi Biaya Produksi
diketahui, akan merusak hubungan dan tran-
Observasi Hayami dan Hafid (1979)
saksi dengan majikan. Dengan demikian hubu-
pada 48 desa di Jawa Tengah dan Jawa Barat
ngan patron-client tersebut akan mengurangi
menemukan bahwa di 18 desa contoh sistem
kesempatan buruh melakukan tindakan tidak bawon dilakukan berdampingan dengan sis-
jujur, sementara bagi majikan akan mengura-
tem tebasan dengan sistem pengupahan
ngi biaya pengawasan, mengurangi pencurian
tetap. Memang terdapat pemusatan sistem
produksi tanaman dan dengan demikian akan
bawon maupun sistem pengupahan harian di
menurunkan biaya transaksi. Dengan melaku-
beberapa desa, namun kecenderungan me-
kan kerjasama dalam jangka waktu yang
nunjukkan sistem pengupahan telah bergeser
cukup panjang, majikan akan tahu kemam-
dari sistem bawon ke sistem pengupahan
puan dan kejujuran buruh. Sudah barang tentu
tetap. Apa yang mendorong pergeseran ter-
untuk membangun hubungan patron-client, sebut? Argumentasi Collier et al. (1973)
suatu saat majikan harus mengeluarkan biaya adalah bahwa pergeseran sistem bawon ke
yang lebih besar dari sekedar mengupah
sistem pengupahan tetap adalah untuk me-
buruh menurut harga pasar. Namun pada saat
nurunkan biaya panen melalui peningkatan
yang lain, bantuan tenaga yang diberikan
pengawasan terhadap pemanen. Hasil kajian
buruh dan keluarganya pada saat majikan
Hayami dan Hafid (1979) pada kenyataannya
mengalami kerepotan, akan bernilai besar bagi
mendukung argumentasi tersebut. Sistem
majikan. Oleh karena hubungan tersebut
tebasan lebih banyak diterapkan di desa-desa
merupakan jalinan yang kompleks dan rumit,
yang semula menggunakan sistem bawon
maka keseimbangan ekonomi hanya dapat
terbuka dibandingkan dengan desa-desa yang
dilihat secara jangka panjang. Dalam jangka
menggunakan sistem kedokan. Dengan demi-
pendek bisa jadi secara ekonomi ada pihak kian bukan tanpa alasan untuk mengasumsi-
yang diuntungkan atau dirugikan. kan bahwa petani menjalankan sistem ter-
Secara empris hubungan patron-client sebut untuk meningkatkan pengawasan mere-
tercermin dari penggunaan buruh langganan. ka terhadap pemanen. Hal ini didukung oleh

GEJALA PERGESERAN KELEMBAGAAN UPAH PADA PERTANIAN PADI SAWAH Sri Hery Susilowati

55
kenyataan bahwa sistem upah tetap tidak lahan dan buruh tani di dalam suatu komu-
banyak dijumpai di desa-desa kedokan karena nitas desa dibandingkan dengan sistem pe-
peserta panen terbatas pada mereka yang ngupahan tetap. Adopsi sistem bawon tidak
melakukan jasa-jasa tambahan, sehingga pe- terlepas dari pandangan bahwa hubungan
milik lahan tidak perlu memperketat penga- sosial pada komunitas petani prakapitalis
wasan mereka. disesuaikan untuk menjamin kebutuhan pokok
Upaya pengawasan terhadap pema- minimum bagi seluruh anggota. Prinsip dasar-
nen dan mengurangi biaya panen menurut nya menghendaki agar semua orang memiliki
argumentasi Collier et al. (1973), oleh Hayami penghidupan yang sama. Dengan demikian
dan Hafid (1979) ditunjukkan melalui pengura- terdapat kontrol terhadap anggota yang berke-
ngan jumlah peserta panen. Dengan menggu- cukupan supaya membagi-bagikan kekayaan
nakan sistem pengupahan tetap, jumlah pe- atau menetapkan kewajiban-kewajiban khusus
manen berkurang 12 persen dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan minimum para
dengan sistem pengupahan bawon. Jumlah anggota yang miskin (Scott, 1972). Prinsip
jam kerja juga mengalami pengurangan seki- dasar tersebut tercermin pada sistem kelem-
tar 10 persen. Demikian pula bagian hasil yang bagaan kerja dalam kegiatan panen yang
diberikan kepada buruh dengan upah tetap pertama kali diterapkan, yaitu sistem bawon
sekitar 8,2 persen. Ini lebih kecil dibandingkan terbuka, dimana setiap orang baik dari dalam
dengan bagian hasil untuk pembawon sebesar desa maupun luar desa diijinkan untuk ikut
10 persen. Sementara untuk penggunaan memanen. Untuk menolak kebiasaan tersebut,
sistem kedokan, bagian hasil yang diberikan pemilik lahan akan menanggung biaya sosial
kepada pemanen sebesar 16,3 persen meru- yang tinggi, misalnya akan dipandang sebagai
pakan yang terbesar dibandingkan sistem orang yang kurang dermawan dan tidak murah
bawon terbuka dan sistem upah harian. hati. Oleh karenanya pemilik lahan cenderung
Besarnya bagian hasil panen yang diberikan tetap menggunakan sistem bawon atau
kepada pengedok oleh pemilik tanah dapat kedokan meskipun sistem pengupahan tetap
dipandang merupakan biaya pengawasan dipandang lebih efisien. Namun terlepas dari
implisit yang telah diperhitungkan ke dalam sudut pandang sosiologi seperti dikemukakan
pembagian hasil panen. Dengan mengguna- diatas, pertimbangan ekonomi, terutama me-
kan sistem kedokan, pemilik lahan tidak perlu nyangkut kepastian untuk memperoleh tenaga
mengeluarkan biaya pengawasan karena pada kerja pada saat musim puncak kegiatan
sistem kedokan telah melekat pengawasan (pengolahan tanah, tanam dan panen) menjadi
intern. Dalam sistem kedokan, pengedok telah dasar kenapa pemilik lahan masih tetap
memiliki anggota kelompok masing-masing mempertahankan sistem kedokan, selain per-
sehingga dengan sendirinya timbul kontrol di timbangan untuk memperkecil kegiatan pe-
antara mereka, karena bila anggota ketahuan ngawasan terhadap buruh.
berbuat tidak benar akan dikeluarkan dari Hasil kajian Soentoro et al. (1982) di
kelompok. beberapa desa di Jawa Barat juga menemu-
Hasil kajian Hayami dan Hafid (1979) kan bahwa sistem kedokan justru dijumpai
di atas mendukung argumentasi Collier et al. secara dominan di desa-desa yang secara
(1973), dimana sistem pengupahan tetap umum menerapkan upah harian. Sistem hubu-
dipandang lebih efisien dibandingkan dengan ngan kerja harian, borongan, kedokan serta
sistem bawon dan kedokan. Namun yang penggunaan buruh tetap hadir secara berdam-
menjadi pertanyaan, apabila sistem pengu- pingan dalam satu desa. Hasil serupa ditunjuk-
pahan tetap dipandang lebih efisien diban- kan pula melalui beberapa kajian, dimana sis-
dingkan dengan sistem bawon terbuka dan tem bawon/kedokan maupun sistem pengu-
sistem kedokan, kenapa pemilik lahan tidak pahan tetap digunakan secara berdampingan
semuanya beralih ke sistem pengupahan dalam satu desa (Soentoro, 1989; Saleh et al.,
tetap? Ditinjau dari konsep sosiologi, kepu- 1988; Hadi et al., 1985; Erwidodo et al., 1985
tusan petani menggunakan buruh tani tidak dan Susilowati et al., 2000). Dengan demikian
semata-mata karena pertimbangan efisiensi. argumentasi Collier et al. (1973) tentang per-
Sistem bawon merupakan suatu hubungan geseran sistem bawon dan kedokan ke sistem
kerja yang lebih awal digunakan oleh pemilik pengupahan tetap, apabila hanya ditinjau dari
sisi efisiensi biaya produksi adalah tidak tepat.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 48 - 60

56
Dengan hanya mempertimbangkan efisiensi sistem tersebut berpotensi menimbulkan moral
biaya produksi, secara rasional petani akan hazard atau penyimpangan. Namun dalam
berpindah ke sistem pengupahan tetap. Pada kenyataannya sistem tersebut justru makin
kenyataannya kedua sistem hubungan kerja berkembang. Secara teoritis hubungan patron-
tersebut dapat hadir secara bersama-sama client merupakan salah satu cara untuk me-
dalam satu wilayah yang sama. nekan penyimpangan yang mungkin muncul
Seperti halnya pada hasil kajian dari penggunaan sistem upah harian. Cara
Hayami dan Hafid (1979), sistem pengupahan tersebut ditempuh melalui penggunaan buruh
tetap lebih efisien dibandingkan dengan sistem langganan dan buruh tetap. Kerjasama dan
bawon/kedokan, disimpulkan pula dari hasil interaksi antara buruh dengan majikan di
kajian Soentoro et al. (1982). Total upah ta- dalam ikatan sistem buruh tetap dan buruh
nam dan panen yang diberikan pemilik lahan langganan dalam waktu lama, sudah barang
kepada pengedok sekitar 23 persen lebih ting- tentu akan menyebabkan timbulnya hubungan
gi dibandingkan dengan sistem upah harian. khusus yang tidak hanya sekedar transaksi
Menurut Kasryno et al. (1981) perbedaan ting- pada saat kegiatan, melainkan ada hubungan
kat upah antar sistem hubungan kerja tersebut yang mengarah pada bentuk patron-client.
karena perbedaan unsur risiko yang ditang- Hasil kajian Kasryno et al. (1981) di
gung. Tingkat upah pengedok lebih tinggi di- empat desa di Jawa Barat menemukan petani
bandingkan dengan sistem pengupahan harian yang menggunakan buruh tetap dijumpai di
karena adanya unsur risiko yang ditanggung dua desa. Buruh tetap bekerja pada seorang
oleh buruh pengedok, disamping penanggu- pemilik lahan untuk berbagai macam kegiatan,
han waktu pembayaran upah setelah peker- baik kegiatan pertanian maupun nonpertanian.
jaan selesai dilakukan. Sebaliknya tingkat Penggunaaan buruh tetap bagi pemilik lahan
upah harian bisa lebih rendah dibandingkan adalah untuk kepastian memperoleh tenaga
dengan upah sistem kedokan, namun untuk kerja dengan kualitas terjamin serta memper-
mendapatkan produktivitas kerja yang baik kecil biaya transaksi yang berupa biaya penga-
sistem upah harian menghendaki unsur pe- wasan, karena buruh tetap adalah mereka
ngawasan dalam pekerjaan. yang telah dipercaya oleh pemilik lahan serta
Meskipun terdapat anggapan bahwa diketahui kemampuannya. Sementara bagi
suatu kelembagaan dinilai lebih efisien diban- buruh tani, memilih sebagai buruh tetap selain
dingkan yang lain, perkembangan sistem untuk memperoleh kepastian kesempatan
kelembagaan mana yang dominan di suatu kerja, juga dapat memperoleh manfaat eko-
wilayah akan bervariasi. Menurut Hayami dan nomi lain (bukan hanya sekedar upah kerja),
Ruttan (1985) variasi akan terjadi menurut yang diperoleh dengan memposisikan dirinya
kelangkaan relatif sumberdaya maupun kon- sebagai client dalam hubungan yang menga-
disi sosial budaya wilayah setempat. Thesis rah pada pola patron-client tersebut. Hasil
tersebut telah dibuktikan melalui beberapa kajian Kasryno et al. (1981) menunjukkan,
hasil kajian (Susilowati et al., 2000, 2001; bahwa tanpa memperhitungkan nilai ekonomi
Saptana et al., 2000), dimana perkembangan lain yang diberikan pemilik lahan kepada buruh
sistem kelembagaan hubungan kerja di bebe- tetap, pendapatan buruh tetap pada umumnya
rapa wilayah relatif bervariasi. Meskipun lebih tinggi dibandingkan buruh lainnya. Demi-
terdapat variasi antar wilayah, namun secara kian pula tingkat curahan kerja buruh tetap per
umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan tahun sekitar 12 persen lebih tinggi dibanding-
sistem bawon dan kedokan cenderung menga- kan curahan kerja buruh tani lainnya.
lami penurunan, sebaliknya penggunaan sis- Penggunaan buruh langganan juga
tem pengupahan tetap cenderung meningkat. mengandung tujuan sama dengan pengguna-
an buruh tetap. Hasil kajian Susilowati et al.
Penggunaan Buruh Langganan dan Buruh (2000) menemukan bahwa penggunaan buruh
Tetap: Hubungan Patron-Client antara langganan memperlihatkan perkembangan
Buruh-Majikan untuk Mengurangi Biaya yang semakin meningkat selama dua periode.
Pengawasan Apabila penggunaan sistem buruh langganan
tersebut merupakan satu indikasi terjalinnya
Stiglitz (1974) menyatakan bahwa hubungan patron-client antara buruh dan maji-
penggunaan upah harian tidak efisien karena

GEJALA PERGESERAN KELEMBAGAAN UPAH PADA PERTANIAN PADI SAWAH Sri Hery Susilowati

57
kan, maka meningkatnya penggunaan buruh dia, kultur budaya, teknologi dan kelembaga-
langganan tersebut konsisten dengan mening- an. Perbedaan ketersediaan sumberdaya,
katnya penggunaan sistem upah harian. budaya dan kelembagaan daerah menentukan
Dugaan kemungkinan terjalinnya hu- arah perkembangan sosial ekonomi masyara-
bungan patron-client dalam penggunaan buruh kat meskipun teknologi yang diperkenalkan
langganan dapat ditelusuri dari sifat hubungan sama. Perkembangan teknologi bibit unggul
antara buruh dan majikan. Hasil kajian telah mengakibatkan pangsa faktor produksi
Susilowati et al. (2001) di Jawa Barat mem- lahan meningkat. Pangsa tenaga kerja mem-
buktikan bahwa hubungan buruh langganan perlihatkan penurunan yang konsisten dengan
dan majikan yang terjalin pada kenyataannya peningkatan produktivitas tanaman. Peruba-
tidak hanya sekedar hubungan transaksi di han terlihat pada aturan sistem bawon dan
pasar tenaga kerja. Namun hubungan tersebut kedokan yang semakin merugikan buruh tani.
diperkuat melalui hubungan famili. Sekitar 17 Perbedaan kultur budaya dan sumber-
persen buruh langganan memiliki hubungan daya yang tersedia antar daerah mempenga-
famili dengan pemilik lahan. Dengan adanya ruhi seberapa jauh suatu sistem kelembagaan
hubungan famili akan timbul saling keperca- mampu berkembang atau setidaknya mampu
yaan (trust) antara buruh dan majikan, sehing- bertahan oleh tekanan perubahan teknologi.
ga peluang buruh melakukan penyimpangan Kajian ini memperlihatkan adanya variasi arah
dapat ditekan. Selain itu buruh yang memiliki perubahan sistem kelembagaan antar daerah
hubungan famili dapat sekaligus berfungsi yang cukup besar. Namun secara umum
sebagai pengawas terhadap buruh lainnya. tampak bahwa sistem bawon terbuka pada
Pada umumnya bagian bawon yang diberikan kegiatan panen telah digantikan dengan
akan lebih besar. sistem bawon terbatas dan kedokan yang
Selain melibatkan hubungan famili, semuanya bertujuan membatasi free entry
pemilik lahan juga menggunakan buruh lang- tenaga kerja. Sistem kedokan di beberapa
ganan yang tidak memiliki hubungan famili te- daerah juga cenderung berkurang digantikan
tapi memiliki “hubungan khusus”. Selain terkait oleh sistem upah harian dan borongan. Secara
dengan hubungan majikan-pengedok, hubung- umum dapat disimpulkan sistem kelembagaan
an khusus inilah yang mengarah pada hubung- hubungan kerja yang mengedepankan keber-
an patron-client, dimana hubungan antara bu- samaan dan kemiskinan bersama (shared
ruh dan majikan tidak hanya sebatas transaksi poverty) telah bergeser ke sistem yang lebih
pada kegiatan di sawah melainkan melibatkan berorientasi uang dan waktu.
kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya personal. Perubahan sistem bawon ke sistem
Dengan adanya hubungan tersebut peluang harian dan borongan merupakan cara untuk
buruh untuk berbuat tidak jujur terkait dengan mengurangi keterlibatan tenaga kerja panen.
intensitas dan kualitas kerja akan berkurang. . Dari sisi petani, perubahan tersebut dipandang
Alasan petani mempekerjakan buruh lebih menguntungkan karena dapat mengura-
langganan yang utama adalah karena hasil pe- ngi biaya panen dan kehilangan hasil. Namun
kerjaan menjadi lebih baik, memperoleh jami- perubahan sistem bawon ke sistem upah
nan tenaga kerja, terikat kebiasaan setempat, harian memberi peluang buruh tani untuk
dan sifat dari kegiatan yang mengharuskan melakukan tindakan tidak jujur menyangkut
menggunakan buruh langganan (Susilowati et kualitas dan jam kerja. Strategi yang dilakukan
al., 2001; Suryani dan Susilowati, 2000). petani untuk mengatasi hal tersebut adalah
Dengan demikian penggunaan buruh lang- menjalin hubungan patron-client dengan buruh
ganan merupakan cara yang dipandang efektif langganan dan buruh tetap, serta meng-
untuk menekan peluang terjadinya penyimpa- gunakan buruh yang mempunyai hubungan
ngan yang dilakukan oleh buruh tani. famili yang sekaligus berfungsi sebagi pe-
ngawas.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN DAFTAR PUSTAKA

Pembangunan pedesaan merupakan Akerlof, George A. 1970. The market for ‘Lemons’:
hasil interaksi antara sumberdaya yang terse- Quality, Uncertainty and the Market

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 48 - 60

58
Mechanism. Quarterly Journal of Econo- Koentjaraningrat, R.M. 1974. Kebudayaan, Mentali-
mics, vol 84 tet, dan Pembangunan . P.T. Gramedia,
Binswanger, H.P., M.R. Rosenzweig. 1981. Jakarta
Contaractual Arrangements, Employment Kolff, G.H. Van der. 1936. The Historical Develop-
and Wages in Rural Labor Markets: A ment of the Labor Relationships in a
Critical Review. Agricultural Development Remote Corner of Java as the Apply to the
Council, New York, and International Crops Cultivation of Rice. Institute of Pasific
Research Institute for the Semi-Arid Relations.
Tropics, India Rodgers, Gerry., 1994. Workers, Institutions and
Collier, W. L., Soentoro, G. Wiradi dan Makali. Economic Growth in Asia. International
1974. Agricultural Technology and Institute for Labour Studies. Geneva.
Institutional Change in Java. Food Saleh, C., B.Rachman., M. Gunawan, B. Winarso,
Research Institute Studies, Vol. 13. No. 21. 1988. Dampak Program Pembangunan
Collier, W.L., G. Wiradi dan Makali 1973. Recent Pertanian terhadap Tenaga Kerja, Pening-
Changes in Rice Harvesting Methods. katan Pendapatan dan Kesejahteraan
Bulletin of Indonesian Economic Studies, Masyarakat di Pedesaan Jawa Barat.
Vol 9. Juli. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Agro
Erwidodo, Soentoro, M. Syukur, Sumaryanto, E. Ekonomi. Badan Litbang Pertanian. Depar-
Suryani, Y. Marisa., S. Pasaribu., 1995. temen Pertanian.
Studi Dinamika Kesempatan Kerja dan Saptana, Mahesti, M., dan Mat Syukur. 2000. Pola
Pendapatan di Pedesaan (PATANAS). Hubungan Kerja dan Sistem Upah Sektor
Analisa Data Sensus Rumah Tangga. Pertanian di Pedesaan Jawa Timur.
Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Prosiding Perspektif Pembangunan Perta-
Ekonomi Pertanian. Badan Litbang nian dan Pedesaan dalam era Otonomi
Pertanian. Departemen Pertanian. Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Geertz. Clifford. 1963. Agricultural Involution; The Pertanian. Badan Litbang Pertanian. De-
Process of Ecological Change in Indo- partemen Pertanian dan Kehutanan.
nesia. Berkeley, University of California Schmid, A. Allan. 1987. Property, Power and
Press. Public Choice. An Inquiry into Law and
Hadi, P.U., R.A. Somantri, A.R. Nurmanaf, H.T. Economics. Praeger Publishers. New York
Kalo. 1985. Pola Kesempatan Kerja dan Scott, James C. 1972. The Erosion of Patron-Client
Sumber Pendapatan di Pedesaan Jawa Bonds and Social Change in Rural
Barat. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Southeast Asia. Journal of Asian Studies,
Badan Litbang Pertanian. Departemen Vol. XXXII, No. 1, New York.
Pertanian. Sinaga, Rudolf S., William L. Collier. 1975. Social
Hayami, Y. and V.W. dan Ruttan, 1984. Agricultural and Regional Implications of Agricultural
Development, An International Perspec- Development. Prisma vol 1. November.
tive. The John Hopkins University Press, Soentoro, 1982. Perkembangan Kesempatan Kerja
Baltimore and London. dan Hubungan Kerja Pedesaan : Studi
Hayami, Y. dan Anwar Hafid. 1979. Rice Harvesting Kasus di Empat Desa di Jawa Barat. Studi
and Welfare in Rural Java. Bulletin of Dinamika Pedesaan. Yayasan Survey Agro
Indonesian Economic Studies, Vol. 15 Ekonomi. Bogor.
(Juli). Soentoro, 1989. Keragaan Hubungan Kerja dan
Hayami, Y. and M. Kikuchi. 1981. Asian Village Penguasaan Tanah Pada Pasca Adopsi
Economy at the Crossroads An Economic Teknologi (Kasus di Sulawesi Selatan).
Approach to Institutional Change. Prosiding Patanas. Evolusi Kelembagaan
University of Tokyo Press. Pedesaan. Pusat Penelitian Agro Ekonomi.
Johnson, Bruce F., dan Petter Kilby. 1985. Badan Penelitian dan Pengembangan
Agricultural and Structural Transformation. Pertanian. Departemen Pertanian.
Oxford University Press. New York Stiglitz, Joseph E. 1976. The Efficiency Wage
Kasryno, F., Makali, C. Saleh, A. Nasution, dan R.S. Hyphothesis, Surplus Labor and Distribu-
Sinaga. 1981. Perkembangan Institusi dan tion of Income in LDC’s. Oxford Economic
Pengaruhnya terhadap Distribusi Penda- Papers, New Series 28.
patan dan Penyerapan Tenaga Kerja: Stiglitz, Joseph, E. 1974. Incentives and Risk
Studi Kasus di Empat Desa di Jawa Barat. Sharing in Sharecropping. Review of
Studi Dinamika Pedesaan. Bogor. Economic Studies, Vol 61 . April.

GEJALA PERGESERAN KELEMBAGAAN UPAH PADA PERTANIAN PADI SAWAH Sri Hery Susilowati

59
Suryani, E. dan S.H. Susilowati. 2000. Pola ngunan Pertanian (Panel Petani Nasional)
Hubungan Kerja Pertanian di Pedesaan Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial
Kalimantan Selatan. Prosiding Perspektif Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Perta-
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan nian. Departemen Pertanian.
dalam era Otonomi Daerah. Pusat Pene- Utami, W. dan John Ihalauw. 1973. Some
litian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Consequenses of Small Farm Size.
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian Bulletin of Indonesians Economics Studies.
dan Kehutanan. vol 9. Juli.
Susilowati, S.H., C. Saleh, A.K. Zakaria, S. Wiradi, G. 1978. Rural development and Rural
Wahyuni, Supriyati, Supadi, Waluyo dan Institutions : A Study of Institutional
Tjetjep. 2001 Studi Dinamika Ekonomi Changes in Java. A Thesis for Degree of
Pedesaan (PATANAS) Usahatani, Kete- Master of Social Science Universiti Sains
nagakerjaan, Pendapatan dan Konsumsi. Malaysia.
Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Per- Wiradi, G. dan Makali. 1981. Penguasaan Tanah
tanian. Departemen Pertanian. dan Kelembagaan dalam Prospek Pem-
bangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia.
Susilowati, S.H., N. Syafa’at dan Supriyati, 2000. Faisal Kasryno, penyunting. Yayasan Obor
Perubahan Pengusaan Aset, Tenaga Kerja Indonesia.
dan Teknologi Pedesaan. Buku Teknologi
Unggulan. Pemacu Pembangunan Perta- Wiradi, G. 1974. Proses Panen dan Alat-Alat yang
nian. Vol 3, Januari. Badan penelitian dan Digunakan. Paper Series No. 2. Survey
Pengembangan Pertanian. Departemen Agro Ekonomi. Bogor.
Pertanian. Wonnacott, Paul.1962. Disguised and Over
Susilowati. S.H., E. Suryani, Tri, J.P., Kuscahyo, Unemployment in Under Developed Eco-
B.P., Ernawati dan Imam S. 1995. Studi nomics. Quarterly Journal of Economics,
Pendasaran Wilayah dan Dampak Pemba- vol 76.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 48 - 60

60

Anda mungkin juga menyukai