Anda di halaman 1dari 4

Aku dan gadis penyuka laut

Oleh : Muklas

Kau bilang sangat menyukai laut. Kau memang tidak mengatakannya langsung kepadaku
sebagaimana juga hal-hal lainnya. Namun, dari balik dinding kamar aku pernah menddengar kau
bicara tentang itu; tentang keinginanmu berdiri di depan laut dan kau menyaksikan ikan-ikan
berlompatan.

Aku berharap kita dapat bersama menikmati hembusan angin. Duduk bersandar di atas kayu dengan
cat yang mulai pudar, sesekali mendengar kicauan burung Dara Laut Batu dan lantunan mesin kapal
yang mungkin sedikit mengganggu, memandang daratan yang mengecil dan sedikit membiru. Aku
juga sering mempimpikan apa yang kau bayangkan selama ini. Aku sudah mempersiapkan segalanya;
dari penyewaan kapal yang tidaklah murah, makanan yang akan kita bawa, penginapan, dan
berbagai keperluan lain yang sudah aku tuliskan dalam catatan kecilku.

Aku sedikit bingung mengapa orang tuaku menyetujui semua yang kuinginkan termasuk yang sudah
kita rencanakan. Tak satu permintaan pun yang diberi jawaban “tidak” oleh mereka. Begitu juga
denganmu, aku mendengar jawaban yang sama dari kedua orangtuamu dari balik diding tirai itu.
Seperti subuah kebetulan , kata “iya” selalu menjadi kata-kata yang keluar dari mulut Ayah dan Ibu
kita yang terkadang ditemani dengan tetesan airmata. Hal yang secara kebetulan juga kita rasakan
saat pertamakali berkenalan dua bulan yang lalu diruangan yang agak sempit ini. Banyak kesamaan
yang kita miliki, termasuk sebuah perasaan yang tabu bagi kebanyakan orang. Namun, bagi kita itu
hal yang biasa.

Saat langit di tepi jendela sudah menghitam. Suara kegaduhan aktifitas orang sudah berhenti
sedikit demi sedikit. Kedua sosok yang menemani kita dengan masker di wajah, sudah terjaga dalam
mimpi mereka. Di saat itulah aku dan kau saling melemparkan pertanyaan dan jawaban. Malam-
malam kita lalui dengan cerita kecil, berbagi senyuman tipis dari bibir kita sembari menurunkan
masker yang kita gunakan. Dan yang tak tertinggal, merencanakan sesuatu yang akan kita lakukan
nantinya dengan keyakinan luar biasa yang kita miliki.

“Nanti kalau kita udah keluar dari sini, kita langsung aja kan ke pulau itu?.” Suara kecilmu
memalingkan wajahku kearahmu dari memandang langit-langit atap dan lampu yang sedikit redup.

“Iya, Aku udah bilang sama Bapak buat sewa kapal ke sana, yang lainnya juga udah di siapin Ibu,
udah tenang aja, kamu tinggal berangkat aja.”

“kamu bilang dengan siapa perginya?.”


“Teman.”

“Aku?.”

Aku menggelengkan kepala ke arahmu tanda isyarat yang aku yakin kau juga menegrti apa yang
kumaksud. Dan aku ingin kepastian darimu jika rencana yang ingin kita lakukan bukan sekedar
bualan belaka.

“Beneran kan kita akan pergi ke sana?.”

“Iya, itu sudah kuimpikan dari dulu, sudah lama aku ingin ke pulau itu dengan orang yang sepesial
bagiku, tapi tak pernah sekalipun rencana itu terwujud, hanya penghiyanatan sebagai final dari
rencana yang sudah aku impikan selama ini, mungkin kau lah orang sepesial yang akan menemaniku
disana.”

Aku tersenyum lepas mendengar jawabanmu. Hatiku seperti bunga yang sudah layu disiram dengan
air pegunungan yang masih jernih. “baiklah, kamu janji ya?. “ aku mengancungkan jari kelingking dan
mengepalkan kembali ke arahmu dengan penuh suka yang tidak bisa kusembunyikan, dan kau
membalas sama persis dengan apa yang aku lakukan.

Sejak kita berjanji akan menghabisan waktu di pulau yang sering kita bicarakan. Pikiranku hanya
tertuju ke sana. Beratus rencana sudah kutulis dipikiranku dan juga di catatan kecilku, ada saja
rencana-rencana baru yang terlintas di dalam pikiranku. Ibarat kacang hijau yang mulai
menumbuhkan kecambah, begitu juga hatiku yang sudah menumbuhkan perasaan yang berbeda
sejak kau sebutkan kata sepesial ke arahku.

Kita banyak merasakan hal yang sama di ruangan ini. Melihat orang-orang yang menutup wajah
mereka dengan masker sambil bertanya seadanya pada kita. Mereka menyetel wajah yang riang
pada kita walau kita tahu itu semua hanya kepura-puraan. Entah sudah berapa botol cairan infus
Cyclophosphamide yang kita habiskan dalam beberapa bulan, dan juga tak terhitung kita berbicara
ringan dengan sosok pria paruh baya berjas putih yang selalu memberikan semangat pada kita. Hal
ini yang membuat kita terasa lebih dekat layaknya pertemanan bertahun-tahun walau hanya kiasran
dua bulan.

Akan tetapi janji yang sudah kita sepakati sepertinya semakin hari semakin memudar. Kau mungkin
sudah lupa dengan janjimu itu. Kau sedikit berubah denganku dalam tingkah maupun perkataan.
Tak banyak kau berbicara padaku, bahkan senyummu selama ini yang aku lihat sudah mulai langka di
ruangan yang sempit dan sedikit dingin dari semburan AC.
Malam itu ingin kuingatkan kembali janji yang telah kita sepakati. Namun kau hanya diam beribu
bahasa yang hanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Matamu sayu dengan sedikit
kedipan, wajahmu mulai pucat bersamaan dengan bibirmu yang dulunya indah. Rambut di kepalamu
juga kulihat sudah berkurang dan kupastikan jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

“Linda! Lindaa! Lindaaaa!.” Suara kecilku memanggilmu di malam yang sangat jelas terdengar suara
detik jam dinding. Beratus kali mungkin aku memanggil namamu, namun tak sedikitpun kau
memalingkan wajah ke arahku, paling tidak memberikan isyarat. Tak henti-hentinya suaraku yang
hampir berbisik ku tujukan padamu. Sampai tak terasa kedua mataku menghentikan fungsinya di
malam itu.

------------------------

“Iya dok, nggak apa-apa, terimakasi banyak ya Dok.” Jawab seseorang wanita yang kuduga sudah
berusia 50 tahunan dengan sedikit suara isakan.

Hanya kata itu yang kudengar pagi itu dari balik dinding tirai. Selebihnya hanya suara pelan yang
entah apa dikatakan pria paruh baya yang selama ini memberi semangat pada kita. Tak lama masuk
dua orang laki-laki memakai baju seragam putih dengan gantungan kartu nama yang menempel di
dada kiri mereka. Suara kesibukan kudengar disampingku. Tak lama, aku melihat wanita yang biasa
menemanimu berjalan pelan dengan menutup wajahnya dengan kain hitam. Kemudian berlanjut
dengan suara empat roda yang berputar diatas lantai. Di balik suara itu melintas di depanku ranjang
yang kau tempati bersama dua laki-laki berseragam putih seperti pengawal bagimu. Sebuah tiang
kecil yang masih berdiri kokoh tepat di atas kepalamu menyisakan setengah botol cairan infus
kemoterapi yang biasa kita gunakan setiap hari. Kau mau ke mana lin? Mengapa tidak menungguku?
Kenapa kau tidur dengan menutup wajauhmu? Apakah kau tak mau melihatku lagi?.

Aku hanya bisa terdiam ketika tirai itu di buka kembali, badanku tak berdaya, mulutku seperti
terkunci, bantal yang berada di bawah kepalaku mulai basah sedikit-demi sedikit. Aku hanya bisa
memandang lantai kosong bersisa lemari kecil, bangku pelastik, dan saluran oksigen yang menempel
di dinding tepat di atas lemari kecil itu. Aku tidak bisa lagi melihat senyumu, mendengar suaramu,
ceritamu dan juga masa sedihmu kala itu.

Andai kau bisa bertahan sebentar lagi. Kita bisa mewujudkan impian kita yang telah kita rencanakan
selama di ruangan ini. Berdiri di depan Laut, memandang ikan-ikan berenang dan sebagian kecil
berlompatan. Menghabiskan hari-hari dengan tawa, menikmati senja di atas dermaga. Lalu kau
sandarkan kepalamu di atas pundakku, dengan gerakan tanganku yang mengusap rambut
dikepalamu. Dan Aku yakin, sebagian besar orang akan melihat sinis dengan keberadaan kita,
begitupun dengan Tuhan.

**********************

Anda mungkin juga menyukai