Anda di halaman 1dari 4

Awal Nobar Berakhir Bubar

By : Muklas

Kisah cinta orang kaya dan miskin hampir mustahil terjadi. Kisah ini sering kudengr di salah satu
cerita sinetron. Untukku , seperti mimpi. aku memerankan adegan itu. Kisah cinta yang jarang di
temukan di dunia nyata.

Berawal dari kecintaanku terhadap klub liga Inggris, Manchester United. Hampir semua
pertandingannya ku saksikan. Untuk menonton liga inggris tidaklah mudah. Hak siar yang tinggi
membuat siaran televsi telestial hanya menyiarkan pertandingan kecil saja. Untuk menyaksikan tim
besar seperti tim kesayanganku. Sudah pasti, harus berlangganan pada tv berbayar.

Untuk orang sekelasku tidaklah mudah berlangganan tv berbayar. Jalan satu-satunya untuk melihat
pertandingan adalah mengikuti nonton bareng (Nobar). Dimanapun nobar diadakan, aku tetap
melangkahkan kaki ku ke sana. Dengan modal ongkos angkot pulang pergi. Dengan sebotol air
mineral. Tak satupun kulewatkan.

Biasanya, jika pertandingan kecil disiarkan di tv swasta. Aku menyaksikan di warung kopi dekat
rumah. Area yang di sesaki rumah rumah kecil. Jalanan sempit dan becek. Lalulalang anak anak putus
sekolah. Dan teradang lintasan tikus-tikus raksasa. Lingkungan yang keseharian hanya berkerja untuk
makan.

Saat pertandingan big matc, antara Manchester City Vs Manchester United. Aku di ajak oleh
temanku untuk nobar di salah satu mall mewah. Salah satu televisi swasta mengadakan nonton
bareng besar-besaran. Di dalamnya banyak acara selain nonton bola, dance, kuis dan bagi bagi
hadiah.

Saat di parkiran mall, sebuah mobil sedan kebingunan untuk prkir. Penuh sesaknya mobil saat itu.
Tampak mibil itu maju mundur memasukan bodynya di area kosong. Aku langsung mendekati mobil
itu. Ku arahkan ia memasuki area kosong.

“teruus, teruuus, kiriii....hooopppp,” teriakku layaknya tukang parkir.

Ketika mobil berhenti dan suara mesin tidsk terdengar lagi. Seor ang wanita berseragam jersey
merah. Dengan nomor punggung 10. Bertuliskan rooney. Kulit tangannya putih muus. Rambutnya
lurus terurai. Matanya jernih. Bibir tipis dilapisi lipstik merah muda. Seketika ia menutup pintu,
wajahnya berpaling kebelakang. Melemparkan senyum tanpa kata-kata. Aku mematung seperti
mumi. Tak pernah kulihat senyum dari wanita secanti dia.
“Wooy, Renoo...buruaan...” lamunanku tersentak denganteriakan Jein.

Sembari menunggu pertandingan yang satu setengah jam lagi. Aku dan jein berkeliling mall. Meihat-
lihat store yang dijajakan. Aku dan jein hanya bisa tersenyum melihat harga yang tertera. Jangankan
untuk membeli. Melihat saja kami tidak berani.

Hampir satu jam kami memutar di dalaml. Dan kami pun keluar menuju loby mall, temoat
dislenggarakannya pertandingan. Loby yang luas. Layar raksasa yang berdiri tegak di samping pintu
utama. Terdapat beberapa kursi dan meja yang dimiliki beberapan cafee. Semua orang mengenakan
baju merah dan sebagia kecil biru muda. Ketika ada kursi kosong di salah satu kafee aku dan jein
duduk di bangku tersebut. Seketika datang pelayan cafee memberikan kami menu makanan dan
inuman. Aku melihat semua daftar makanan dan inuman. Mataku tertuju pada harga-harga
makanan tersebut. Aku hanya bisa geleng-geemg. Begitu pun jein. Harga yang tertera di dalam tidak
masuk akal bagi dompet kami. Untuk memesan Es teh manis saja, mungkin kami harus pulang
berjalan kaki. Akhirnya kami mundur teratur dengan wajah sinis pelayan. Aku memilih berdiri saja.
Lagian pertandingan akan di mulai.

Orang-orang semakin padat, aku terus mencari tempat yang nyaman. Tanpa terasa aku dan jein
terpisah. Entah di mana ia. Tak masalah, ketika pulang nanti, kami bisa konteekan. Aku terus maju
menuju layar utama. Jalanku pelan di kepadatan orang berdiri. Di sisi kiri kanan terdapat meja dan
kursi yang sudah penuh dengan orang berkantong tebal.

Kakiku terhenti, mungkin tak bisa lagi melangkah. Semakin dekat dengan layar utama. Semakin
padat juga kumpulan orang. Aku putuskan untuk berdiri di sebelah orang yang duduk di kursi cafee.

Pertandingan di mulai. Sorak nyanyian penoton saat itu membuat suasana serasa di stadion. Aku ikut
menyanyi bahasa inggris yang aku pun atak tahu artinya. Di tengah nyanyian, seseorang yang duduk
di sebelahku memanggil. Beberapa kali ia teriak. Tak lama aku memalingkan wajah. Bagaikan di
siram air es. Hatiku dingin melihat wajahnya.

“Maaf, Mas tadi yang di parkiran ya?” tanyanya dengan senyuman kecil.

“Ia mbak, ooh mbak yang bawa mobil tadi kan?” jawabku.

“Ia,” jawabnya singkat sambil sama sama menyaksikan kembali pertandingan.

Di tengah menonton. Kami terkadang saling tatap ketika gol hampir terjadi. Sambil memegang
kepala. Kepalaku menoleh ke arahnya. Demikian yang dilakukan. Sesekali kami melempar senyuman
kecil.
Babak petama selesai. Pertandingan imbang 1-1. Suara penonton mulai turun volume. Aku
menatapnya ragu. Kulihat dia sibuk dengan gawainya. Ingin rasanya bibir berucap sekedar hai, dari
mana, dan entah apa lagi. Tetapi karena kesadaranku akan kondisi. Semua yang nempel dibadannya
jelas menunjukkan kemewahan. Sedangkan diriku, untuk beli baju KW saja aku berbulan bulan
nabung.

Seketika keberanianku muncul. Entah angin apa yang mebuat bibirku berani barkata. Dengan ragu
ragu, bibirku berucap beberapa kata ke arahnya.

“Suka nonton bola juga mbak?”

“Ia” jawaban singkatnya yang di bumbui dengan senyuman tipis.

“Udah lama mbak Fans MU?”

“Ia, dulu waktu kecil sering liat paman nonton MU, yaa karena dulu kan seneng liat ronaldo, jadinya
fans MU juga.”

15 menit waktu istirahat kami habiskan mengobrol. Aku sudah tidak canggung lagi bertanya. 15
menit serasa sejam setngah bagiku. Ingin rasanya kuluapkan kesenangan pada smeua orang yang
ada di sini. Melly yang memperkenalkan namanya sepertinya nyaman ngobrol denganku. Tak ada
jarak sedikitpun antara kami. Hingga kami bertukar kontak telepon.

Di menit akhir babak kedua, kedudukan masih imbang 1-1. Prediksiku hasil akan imbang. Namun di
detik-detik wasit akan meniup peluit panjang. Tendangan robin van versie mengoyak jaring gawang
joe hart. Semua pendukung setan merah berlompat merayakan. Aku teriak histeris dengan gol itu.
Saling cas kedua telapak tangan pada orang yang berdiri di sekitarku. Entah siaa mereka aku tidak
tahu. Termasuk dengan meli. Dia refleks berdiri dan mengakat tangannya e arahku. Dunia terasa
lambat. Gerakan tangannya yang gemulai tak mengedipkan mata.

Setelah pertemuan itu, aku dan melly sering berkomunikasi. Lewat chat, facebook bahkan telponan.
Tiada hari tanpa tawa yang ia rasakan. Menurutnaya aku lucu dan mengasyikkan. Memang dia di
rumah hanya tinggal sendiri ditemani dua pembantunya. Papa dan Mamanya selalu sibuk dengan
urusan masing-masing. Hanya sesekali saja mereka berinteraksi dengan mely. Dengan lelakipun dia
tidak terlalu perduli. Baginya laki laki hanya memanfaatkan kesenangan pada wanita. Tapi tidak
denganku. Dia menganggaku laki laki yang bisa menghiasi hari-harinya. Membuatnya tertawa.
Menghiasi dunia yang selama ini hampa dirasa.

Setelah tiga bulan kami berteman. Kamipun berpacaran setelah dia mengungkapkan isi hatinya. aku
ragu sebenarnya dengan ucapannya. Aku anggap dia hanya bercanda. Aku merasatida tidak pantas
menjadi pavarnya. Gadis komplek berparan dengan pemuda pinggir kali. Bagai langit dan bumi.
Tetapi melly tak perduli, dia bersikukuh ingin mejadi pacarku. Sungguh aku tak percaya.

Selama kami pacaran, aku tak pernah berani macam-macam dengannya. Jangankan berindak jauh,
memagang tangannya saja aku gemetar. Kami sering menghabiskan waktu dengan jalan-jalan,
nobar, nongkrong di kafe yang pasti semua dia yang traktir. Tak sekali pun aku diijinkan untuk
membayar. Bahkan, aku pernah di ajak ke rumahnya, dengan berbagai alasan aku menolaknya, akan
tetapi kalau dia sudah merengek, aku harus mengikuti. Tak bisa kubayangkan betapa mewahnya
rumahnya. Halaman rumah yang di kelilingin taman yang indah.

Di hari ulang tahunku, melly ingin aku merayakannya dengannya di rumahku. Selama hidupku, tak
pernah sekalipun aku meniup lilin di atas kue tart. Aku juga bingung, apa saja yang harus dilakukan
dalam perayaan ulang tahun. Sebenarnya aku menolak dia ke rumahku. Aku mengajaknya untuk
merayakannya di tempat lain saja. Tetapi lagi-lagi melly selalu memeksa.

Hari itu, itulah pertama kali ia masuk ke daerah perkampunganku. Terasa jauh antara komplek
perumahannya dengan rumahku. Komplek perumahan mewah dengan jalan yang lebar, bersih,
indah dan asri. Lalu lalang mobil-mobil pemilik rumah gedong itu. Berbandik terbalik dengan wilayah
perumahaknku. Jalan yang sempit. Sungai yang mengeluarkan bau. Tikus tikus got yang berlalu
lalang. Anak-anak kecil ingusan yang berlarian tak beraturan.

Tak tampak sedikit pun raut wajah muram pada mely. ia sangat menikmati suasan di komlek
prumahanku. Sedikit pun aku tak menyangka mely dengan mudahnya terbiasa dengan kekumuhan
dan bising. Pdahal semua berbandin 360 drajat.

Anda mungkin juga menyukai