Anda di halaman 1dari 10

MAKNA OTONOMI SELUAS-LUASNYA DALAM PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN DAERAH
Bagir Manan

1. Pendahuluan
Tema atau topik “otonomi seluas-luasnya” sudah lama dilupakan,
bahkan ditinggalkan, baik atas dasar pertimbangan konseptual, yuridis,
maupun politik.
Pertama; pertimbangan konseptual.
Meskipun pernah tercantum dalam UUD (UUDS ‘50, Pasal 131 ayat 2)
dan sejak perubahan Kedua UUD 1945, tercantum dalam Pasal 18 ayat
(5) tetapi tidak pernah ada kejelasan secara konseptual substansi atau isi
otonomi seluas-luasnya, yang misalnya membedakan dengan “sistem
otonomi formal” atau “sistem rumah tangga formal” (formele huis
houding). Pembuat catatan ini belum pernah menemukan suatu tulisan
atau kajian integral seluk-beluk otonomi seluas-luasnya. Mudah-
mudahan ada pihak lain yang pernah mengkaji atau menemukan
konsepsi integral tentang otonomi seluas-luasnya.
Kedua; pertimbangan yuridis “definite”.
Telah dicatat (supra), sebutan “otonomi seluas-luasnya” berasal dari
UUDS ‘50 (Pasal 131 ayat 2). UUD 1945 asli (sebelum perubahan) tidak
memuat tentang otonomi seluas-luasnya. Sesungguhnya sebelum
tercantum dalam Pasal 18 ayat (5) sulit sekali “melekat-lekatkan”
otonomi seluas-luasnya dengan UUD 1945, seperti Tap. MPRS No.
XXI/MPRS/1966. Supomo (Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia), yang “menguraikan” isi UUD 1950; tidak memberi penjelasan
makna dan isi otonomi seluas-luasnya. Ketika mencatat Pasal 131,
Supomo hanya menulis: “Pasal ini memuat dekonsentrasi dan dasar
desentralisasi dalam urusan negara. Pada dasarnya otonomi daerah
harus diberikan seluas-luasnya (ayat 2)”. Sebagai anggota delegasi RI di
KMB dan turut menyusun UUDS ‘50, semestinya beliau sangat
mengetahui penggunaan sebutan “otonomi seluas-luasnya” dan
kandungan isi serta sistem otonomi seluas-luasnya. Begitu pula ketika
dimasukkan dalam UUD 1945, Pasal 18 ayat (5).
Akibat tidak jelasnya makna atau pengertian “otonomi seluas-luasnya”,
berbagai peraturan perundang-undangan (Tap. MPRS dan Undang-
Undang) memberi “isi” yang berbeda-beda mengenai otonomi seluas-
luasnya.
Ketiga; faktor politik.
Kecenderungan politik pada sentralisasi bahkan pemusatan kekuasaan,
otonomi seluas-luasnya belum pernah menjadi kenyataan. Berbagai
undang-undang tentang otonomi seluas-luasnya, berisi ketentuan yang
berbeda-beda, termasuk surut atau pudarnya, otonomi itu sendiri.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, atau Undang-Undang No. 5 Tahun
1974 menunjukkan kecenderungan pada sentralisasi, seiring dengan
pemusatan kekuasaan. Pada saat ini (2021), meskipun ada undang-
undang yang mengatur otonomi (Pemerintah Daerah), tetapi berbagai
kebijakan menunjukkan penguatan kembali sentralisasi. Sekedar
contoh. Segala wewenang daerah yang ada sangkut paut dengan
investasi – atas nama “politik satu atap, efisiensi” ditarik menjadi urusan
pusat. Sampai-sampai ada ucapan, akan menindak kepala daerah yang
menghambat investasi. Dalam suatu seminar, seorang Gubernur
menyatakan didaerahnya banyak “illegal mining”, tetapi daerah tidak
dapat bertindak karena tidak berwenang. Pada forum diskusi yang lain,
seorang Walikota menyampaikan berbagai hak daerah atas “bagi hasil”
kekayaan daerah tidak diberikan sebagaimana mestinya sentralisasi
dipandang lebih menjamin efisiensi dari pada desentralisasi cq otonomi.

2. Perjalanan normatif otonomi seluas-luasnya


Telah dikemukakan, sebutan: “otonomi seluas-luasnya “hanya”
didapati dalam UUDS ‘50 (Pasal 131 ayat 2). Dalam versi Bahasa
Belanda, Pasal 131 ayat (2) berbunyi:
“Aan de gebieden word een zo ruim mogelijke autonomie
toegekend on hun eigen huishouding to verzorgen”.

2
Otonomi seluas-luasnya diterjemahkan “zo ruim mogelijke
autonomie toegekend” (diberikan otonomi seluas-luasnya). Penggunaan
kata “diberikan” (toegekend dari asal kata “toekennen” = memberikan),
secara konseptual berbeda dengan penggunaan kata “overgelaten”
(dibiarkan) atau “overlaten” (membiarkan) seperti terdapat dalam UUD
Belanda (akan diuraikan lebih lanjut di bawah). Ketentuan UUDS ‘50,
Pasal 131 (termasuk Pasal 131 ayat 2), diatur lebih lanjut dalam UU No.
1 Tahun 1957. Berhubung dengan pemberlakuan kembali UUD 1945
(Dekrit Presiden, 5 Juli 1959), ketentuan-ketentuan UU No. 1 Tahun
1957 harus disesuaikan dengan dasar-dasar pemerintahan daerah
menurut UUD 1945. Akhirnya, UU No. 1 Tahun 1957 dicabut oleh UU
No. 18 Tahun 1965.
Meskipun sebelum ada Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 tidak memuat
ketentuan mengenai otonomi seluas-luasnya, tetapi berbagai undang-
undang yang dibuat berdasarkan UUD 1945, mengakui otonomi seluas-
luasnya, seperti terkandung dalam Penjelasan UU No. 18 Tahun 1965.
“Tentang hak otonomi Daerah kiranya tidak perlu diragu-ragukan,
bahwa Pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik
desentralisasi yang kelak akan menuju kearah tercapainya
desentralisasi teritorial yaitu meletakkan tanggungjawab teritorial
riil dan seluas-luasnya dalam tangan Pemerintah Daerah,
disamping politik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital”.
Dalam kenyataan, seiring dengan pemusatan kekuasaan, unsur-
unsur desentralisasi cq otonomi seluas-luasnya tergeser oleh sentralisasi
atau dekonsentrasi. Kepala Daerah lebih nampak sebagai “alat Pusat”
dari pada sebagai “alat Derah”.
Orde Baru (lahir tahun 1966), secara normatif menegaskan
otonomi seluas-luasnya sebagai subsistem UUD 1945.
1. Tap. MPRS No. XXI/MPRS/1966 tentang pemberian otonomi seluas-
luasnya kepada daerah.
Pada bagian pertimbangan disebutkan:
a. Bahwa karenanya pokok-pokok jaminan pemberian otonomi seluas-
luasnya kepada Daerah-daerah perlu ditetapkan dan direalisasi
dalam waktu sesingkat mungkin dengan jalan antara lain menuju

3
kembali Undang-Undang No.18 Tahun 1965 serta Ketetapan MPRS
No. II/MPRS/1960 paragrap 392 oleh DPR-GR.
b. Bahwa dengan otonomi seluas-luasnya itu diharapkan Daerah-
daerah dapat lebih cepat memperkembangkan swadaya-
swasembada masyarakat dan daerah disegala bidang, sehingga
akan lebih cepat pula tercapainya masyarakat sosialis Pancasila.
c. Bahwa dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah
berarti merealisasi jiwa dan isi Undang-Undang Dasar 1945 secara
murni.
2. UU No. 5 Tahun 1974.
Secara normatif, semestinya UU No. 5 Tahun 1974 merupakan
penjabaran Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966 tentang pemberian
otonomi seluas-luasnya kepada daerah.
Namun lagi-lagi seiring dengan pemusatan kekuasaan – UU No. 5
Tahun 1974 secara substantif tidak menjabarkan otonomi seluas-
luasnya yang dikehendaki Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966, bahkan
lebih cenderung memperkuat sentralisasi.
Bagaimana masa reformasi (mulai 1998).
Reformasi memandang perlu menata kembali pemerintahan
daerah, lebih-lebih setelah perubahan Pasal 18, UUD 1945
(Perubahan Kedua, tahun 2000) yang antara lain mencantumkan:
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat” (UUD 1945,
Pasal 18 ayat 5).
Perlu diperhatikan, ada perbedaan rumusan UUD 1945, Pasal
18 ayat (5) dan UUDS ‘50, Pasal 131 ayat (2).
UUDS ‘50, Pasal 131 ayat (2) menggunakan frasa: “diberikan
otonomi seluas-luasnya”. “Diberikan” atau “toegekend” (Inggris:
“award”) mengandung makna, daerah tidak memiliki otonomi yang
bersifat original. Otonomi daerah ada karena “diberikan”. Hal ini
ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1957:

4
“Tetapi oleh karena di Indonesia ini Daerah-daerah otonom itu
baru ada kemudian dari pada Negara, maka walaupun
Daerah-daerah diberikan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, dapat dikatakan, bahwa seluruh
tugas kewenangan yang ada sudah dalam tangan Pemerintah
Pusat, sehingga Daerah-daerah yang dibentuk kemudian itu
dalam teori akan tidak mempunyai bidang lagi yang berarti
untuk menjalankan tugas kewenangannya”.
Berdasarkan penjelasan ini, otonomi seluas-luasnya harus
diberikan (toegekend, awarded), tidak atas dasar “membiarkan” atau
“membolehkan” (overgelaten).
Bagaimana dengan UUD 1945, Pasal 18 ayat (5)? Tidak ada
kata “diberikan” (toegekend, awarded), melainkan “menjalankan
otonomi seluas-luasnya” (menjalankan sesuatu yang sudah menjadi
urusan rumah tangga atau menjalankan urusan lain yang tidak
termasuk urusan Pemerintah Pusat). Berdasarkan makna tersebut;
sebutan “menjalankan”, lebih bermakna sebagai “overlaten” atau
“overgelaten” (“to leave” atau “left”).
UUD 1945, Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B, diatur lebih
lanjut oleh UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudian dicabut dan
diganti oleh UU No. 23 Tahun 2014.
Ketentuan-ketentuan yang dicatat di atas hanyalah yang
memuat dasar otonomi seluas-luasnya. Selain itu, ada undang-
undang lain seperti UU No.1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional
Daerah, dan UU No. 22 Tahun 1948.
Pada rubrik berikut akan dicatat beberapa substansi
ketentuan UUD dan undang-undang sebagai upaya menemukan
substansi otonomi seluas-luasnya.

3. Substansi otonomi seluas-luasnya.


Semula hanya UUDS ‘50 yang memuat secara konstitusional
“pemberian otonomi seluas-luasnya”. UUD 1945, memuat ketentuan
“menjalankan otonomi seluas-luasnya”, setelah Perubahan Kedua (tahun

5
2000). Tetapi Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966, dan UU No. 32 Tahun
2014 jis UU No. 2 Tahun 2015 dan UU No. 9 Tahun 2015 menyatakan
UUD 1945, mengandung prinsip otonomi seluas-luasnya (supra). Telah
pula dikemukakan, paling tidak yang diketahui pembuat catatan ini,
tidak atau belum diketemukan catatan historis atau kajian keilmuan
mengenai landasan konseptual dan substansi “otonomi seluas-luasnya”.
Secara obyektif (pada saat itu) rujukan terdekat mengenai otonomi
adalah Belanda. Dasar otonomi dalam UUD Belanda dimuat dalam Pasal
124:
(1) Voor provincies en gemeenten word de bevoegdheid to regeling
en bestuur inzake hun huishouding aan hun besturen
overgelaten.
(2) Regeling en bestuur kunnen van de bestunen van provincies en
gemeenten worden bevarderd bij of krechten de wet.
Dalam versi bahasa Inggris, ketentuan diatas berbunyi:
(1) The powers of the provincies and municipalities to regulate and
administer their own affairs shall be left to their administrative
organs.
(2) Provincial and municipal organs may be required by or pursuant
to an set of Parliament to provide regulation and administration.
((1) Wewenang provinsi dan kota (gemeente) mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga dibiarkan pada masing-
masing badan pemerintahannya.
((2) Wewenang badan-badan pemerintahan provinsi dan kota,
mengatur dan mengurus provinsi dan kota dapat ditambah
oleh atau berdasarkan undang-undang).
Berdasarkan ketentuan UUD Belanda (supra), tidak ada unsur
“memberi” (toekennen) atau “diberi” (toegekend) melainkan “membiarkan”
(overlaten) atau “dibiarkan” (overgerlaten).
Mengikuti alur pikiran “penjelasan umum” UU No. 1 Tahun 1957,
hal ini dimungkinkan karena provinsi dan gemeente telah ada dengan
segala wewenangnya sebelum Belanda (Kerajaan Belanda) menjadi satu
negara kesatuan (1814). Membiarkan atau dibiarkan dimaksudkan

6
provinsi dan gemeente tetap dibiarkan mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan yang memang sudah ada. Tidak demikian dengan
Indonesia, Pemerintahan Pusat mendahului Pemerintahan Pusat. Segala
urusan pemerintahan telah melekat pada pusat. Daerah secara
“atributif” menerima wewenang yang diberikan Pusat.
Bagaimana dengan ketentuan UUD 1945, Pasal 18 ayat (5)?
Apakah dalam pengertian “menjalankan” yaitu menjalankan urusan
pemerintahan yang diberikan Pusat?
Menurut pendapat saya, ketentuan UUD 1945, Pasal 18 ayat (2),
lebih dekat pada pengertian “overlaten” (tu leave) atau “overgelaten” (be
left), bukan “toekennen” atau “toegehend”. Tetapi dari perspektif otonomi
seluas-luasnya, konsep “overlaten” atau “overgelaten” tidak sekedar
mulai kebebasan pada daerah otonom mengatur dan mengurus urusan
rumah tangga daerah yang sudah ada. Dari perspektif otonomi seluas-
luasnya, “overlaten” atau “overgelaten”, mengandung makna, pada
dasarnya semua urusan pemerintahan dapat menajdi urusan rumah
tangga daerah, kecuali yang oleh undang-undang atau berdasarkan
undang-undang, ditetapkan sebagai wewenang Pemerintah Pusat.
Dengan perkataan lain, otonomi seluas-luasnya menunjukkan “residual
power” atau “reserved powers” ada pada daerah (pemerintahan otonom).
Inilah karakteristik utama otonomi seluas-luasnya, dan sekaligus pula
membedakannya dengan konsep “overlaten” atau “overgelaten” seperti
yang diatur dalam UUD Belanda, Pasal 124 yang hanya bebas mengatur
dan mengurus urusan rumah tangga yang sudah ada. Sekedar catatan,
pengertian “reserved powers” dalam otonomi seluas-luasnya berbeda
dengan “reserved powers” seperti diatur Amandemen Ke-X UUD Amerika
Serikat yang bersifat mutlak. Reserved vowers pada otonomi seluas-
luasnya hanya sekedar membolehkan daerah otonomi mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan diluar urusan Pemerintah Pusat tanpa
mengurangi weweang Pemerintah Pusat untuk menambah urusan
Pemerintah Pusat.

7
Namun karakteristik otonomi seluas-luasnya seperti dikemukakan
di atas, mengandung sejumlah persoalan atas karakteristik otonomi
seluas-luasnya.
Pertama; apa perbedaan otonomi seluas-luasnya dengan otonomi (sistem
rumah tangga) formal (formele autonomie, formele huishouding), yang juga
pada dasarnya membolehkan daerah (pemerintah daerah) mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan yang tidak termasuk urusan Pusat atau
urusan rumah tangga daerah yang lebih atas.
Kedua; sesuai prinsip negara kesatuan, setiap saat pembentukan udang-
undang dapat menetapkan suatu urusan rumah tangga daerah, dapat
ditarik – dengan alasan seperti tuntutan uniformitas, efisiensi, ketertiban
umum, keamanan umum – menjadi urusan Pusat. Dalam kenyataan,
lebih banyak urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pusat dari
pada Daerah. Inilah yang terjadi. Bukan desentralisasi, apalagi otonomi
seluas-luasnya, melainkan sentralisasi.
Ketiga; otonomi seluas-luasnya sangat ditentukan oleh inisiatif dan
kreatifitas daerah. Pemerintah daerah yang lebih berorientasi semata-
mata sebagai institusi birokrasi yang nyaman, sulit diharapkan sebagai
sarana mengembangkan dan menerapkan otonomi seluas-luasnya.
Apalah lagi – walaupun diisi menurut tatanan demokrasi – tetapi telah
cukup untuk dipilih sebagai pimpinan daerah karena telah memenuhi
syarat umur, syarat pendidikan, dan berkelakuan baik. Tetapi dapat
juga sebaliknya. Atas nama otonomi seluas-luasnya, daerah (pemerintah
daerah) begitu leluasa sehingga kurang mengindahan prinsip-prinsip
negara kesatuan (berlebihan). Otonomi seluas-luasnya tetap tidak boleh
meniadakan prinsip kekuasaan tertinggi – baik di bidang perundang-
undangan maupun pemerintahan – tetap ada Pemerintah Pusat.
Bagaimana mengindari persoalan-persoalan di atas. Selain
karakteristik yang telah dikemukakan di atas, otonomi seluas-luasnya
disertai dengan berbagai prinsip lain.
Pertama; Pemerintah Pusat, memegang/memiliki kekuasaan eksklusif
(exclusive powers) atau “the sole authority) urusan-urusan pemerintahan
tertentu:

8
- pertahanan (defence);
- hubungan luar negeri (foreign affairs);
- sistem keuangan (monitary system);
- kekuasaan kehakiman (judiciary);
- ketentuan mengenai hukum keperdataan (the regulation of civil law);
- sebagian ketentuan hukum pidana (parthy regulation of criminal law);
- hukum acara (procedural law);
- sejumlah hak-hak dasar (some fundamental rights);
Catatan: Di Indonesia, kekuasaan eksklusif Pemerintah Pusat meliputi:
“Politik luar neger, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, agama (UU No. 23 Tahun 2014).
Kedua; kepada Daerah diberi urusan pangkal sebagai urusan rumah
tangga daerah. Urusan pangkal ditetapkan bersamaan dengan
pembentukan suatu daerah otonomi, urusan pangkal dapat bertambah
dengan beberapa cara:
1) Sesuai prinsip otonomi seluas-luasnya, daerah berwenang
menjadikan suatu urusan pemerintahan sebagai urusan rumah
tangga, sepanjang tidak melampaui batas yang ditentukan oleh
undang-undang atau asas-asas pembatasan otonomi.
2) Secara atributif, undang-undang menetapkan suatu urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangga daerah.
3) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan suatu urusan atau sebagian
dari suatu urusan Pemerintah Pusat kepada daerah (menjadi urusan
rumah tangga daerah. Demikian pula, satuan pemerintahan daerah
yang lebih tinggi dapat mendelegasikan suatu urusan atau sebagian
dari suatu urusan rumah tangga kepada satuan pemerintahan
daerah tingkat lebih rendah.
4) Otonomi seluas-luasnya dilaksanakan dengan “otonomi riil” yaitu
didasarkan kepada faktor-faktor riil, yang nyata, pada masing-masing
daerah. Salah satu konsekuensi otonomi riil, urusan rumah tangga
daerah dapat berbeda – baik jumlah atau jenis antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain.

9
5) Sesuai dengan prinsip negara kesatuan, otonomi seluas-luasnya tetap
dijalankan dengan pembatasan-pembatasan yang meliputi:
a. Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan
kepentingan umum.
b. Peraturan Daerah tidak boleh mengandung ketentuan-ketentuan
yang mengatur soal-soal pokok yang telah diatur dalam peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.
c. Peraturan Daerah tidak boleh mengatur hal-hal yang termasuk
urusan rumah tangga Daerah bawahan dalam wilayahnya.
d. Peraturan Daerah dengan sendirinya tidak berlaku, bilamana hal-
hal yang diatur dalam ketentuan-ketentuan yang dimaksud,
kemudia diatur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
e. Dengan undang-undang dan Peraturan Pemerintah dapat
ditetapkan bahwa suatu keputusan Daerah mengenai pokok-pokok
tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh perintah atasan
(Pasal 78).
Note: tidak semuanya
f. Keputusan-keputusan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan
dengan kepentingan umum, UU, PP, dan Peraturan Daerah yang
lebih tinggi dapat dipertangguhkan atau dibatalkan oleh perintah
atasan (lihat, a.l. UU No.18 Tahun 1965, Pasal 50, Pasal 78, dan
Pasal 80).

10

Anda mungkin juga menyukai